Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 3, Maret 2022

 

ANALISIS GERAKAN JAMAAH ANSHARUSY SYARIAH SEBAGAI ORGANISASI ISLAM RADIKAL DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEDAULATAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

 

Rodon Pedrason

Universitas Pertahanan, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan fenomena muncul dan berkembangnya salah satu organisasi Jamaah Ansharusy Syariah (JAS) sebagai salah organisasi radikal di Indonesia dan potensi ancaman yang ditimbulkan terhadap kedaulatan NKRI. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif fenomologis dengan desain studi kasus terhadap gerakan JAS di wilayah Bekasi, Solo, dan Surabaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa arah pergerakan JAS relatif terstruktur, rapi, dan terorganisasi, dengan menggunakan strategi soft dan terbuka untuk merangkul berbagai tokoh lintas kalangan dan terlibat aktif dalam agenda isu yang sama seperti anti Syi�ah, penistaan agama, dan komunisme. Dengan menggunakan strategi ini, potensi JAS untuk semakin diterima masyarakat menjadi lebih terbuka. Walaupun JAS belum menunjukkan pergerakan radikal maupun aksi teror, menguatnya gerakan JAS perlu mendapatkan perhatian karena berupaya mengubah ideologi dan sistem penyelenggaraan Negara yang syah. Hasil penelitian menyarankan kepada Pemerintah untuk melakukan upaya pencegahan radikalisme, baik melalui hard approach maupun soft approach untuk mengurangi potensi ancaman terhadap NKRI.

 

Kata Kunci: �jamaah ansharusy syariah; organisasi islam radikal; radikalisme; potensi� ancaman

 

Abstract

This study aims to describe the phenomenon of the emergence and development of one of the Jamaah Ansharusy Syariah (JAS) organizations as a radical organization in Indonesia and the potential threats posed to the Republic of Indonesia. This research is a phenomological qualitative research with a case study design of the JAS movement in the Bekasi, Solo, and Surabaya areas. The results show that the direction of the JAS movement is relatively structured, neat, and organized, using a soft and open strategy to embrace various cross-sectional figures and be actively involved in the agenda of the same issues such as anti-Shia, blasphemy, and communism. By using this strategy, the potential for JAS to be increasingly accepted by the community becomes more open. Although JAS has not shown any radical movements or acts of terror, the strengthening of the JAS movement needs attention because it seeks to change the ideology and system of legitimate state administration. The results of the study suggest that the Government should make efforts to prevent radicalism, both through a hard approach and a soft approach to reduce potential threats to the Republic of Indonesia.

 

Keywords:� jamaah ansharusy syariah; radical islamic organizations; radicalism; potential threats

 

Received: 2022-02-20; Accepted: 2022-02-05; Published: 2022-03-18

 

Pendahuluan

Fenomena radikalisme organisasi Islam di Indonesia dapat ditarik dari kemunculan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin Kartosoewirjo era 1950-1960-an yang melakukan perlawanan terhadap Pemerintah. Pada tahun 1962, gerakan DI/TII dapat ditumpas melalui kolaborasi antara TNI-Rakyat, namun gerakan ini terlanjur mendapat simpati dan dukungan sebagian kalangan umat Islam, sehingga anggota DI/TII yang tidak tertangkap menjadi embrio untuk menggerakkan kembali tradisi radikalisme di Indonesia (Zulfadli, 2017). Selain adanya embrio dari dalam, fenomena radikalisme di Indonesia dipengaruhi pula adanya pengaruh dari luar, - faham Wahabi -, yang dibawa Muhammad Natsir dan disemai di organisasi Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII). Kemampuan organisasi ini bekerjasama dengan Universitas Ibn Saud, membuahkan beasiswa dan pendirian Lembaga Pengetahuan Bahasa Arab (LPBA) atau lebih dikenal LIPIA. Menurut (Barton, 2009), Darul Islam dan LIPIA menjadi cikal bakal tumbuh kembangnya Islam radikal di Indonesia, baik secara struktural maupun kultural.

Ditinjau dari pembabakannya, fenomena radikalisme organisasi Islam di Indonesia dapat dibagi ke dalam 4 (empat) fase, yakni: pertama, fase DI/TII (1950-1960) dengan tokoh utamanya Kartosoewirjo, Kahar Muzakkar, dan Daud Beureuh. Kedua, fase Komando Jihad (1970-1980) dengan tokoh utamanya mantan anggota DI/TII. Ketiga, fase gerakan teror dan kekerasan� yang muncul pasca-reformasi 1998 yang memanfaatkan kondisi instabilitas dalam negeri. Dan keempat, fase kelompok Islam radikal baru, yang memiliki sedikit keterkaitan dengan tokoh gerakan sebelumnya dan lebih dipengaruhi oleh berbagai peristiwa global akibat kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) (Mubarak, 2015). Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba�asyir telah muncul pada fase kedua melalui penelusuran jejak mereka yang awalnya aktif di Dewan Dakwah, memilih bergabung ke Negara Islam Indonesia (NII) melalui Haji Ismail Pranoto, pada akhir 1970-an, dengan beberapa kelompok muda lain, seperti: Irfan Awwas dan saudaranya, Fihiruddin alias Abu Jibril. Peran sentral Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba�asyir dalam pengembangan jejaring gerakan Islam radikal terlihat pada saat mobilisasi mujahidin untuk berjihad ke Afghanistan pada akhir 1980-an (Solahudin, 2011).

Gerakan organisasi yang mengusung Ideologi Islam di Indonesia tertekan sampai titik terendah pada masa Pemerintahan Orde Baru, terutama ketika Pemerintah menerapkan kebijakan asas tunggal Pancasila bagi organisasi kemasyarakatan melalui UU No. 8/1985, yang menimbulkan ketegangan dengan kalangan umat Islam (Nashir, 2013). Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba�asyir merupakan tokoh-tokoh yang secara terang-terangan menentang kebijakan ini, dan terpaksa melarikan diri ke Malaysia, April 1985, karena tekanan dari Pemerintah (Zulfadli, 2017). Penelitian menggunakan 3 (tiga) teori-konsep sebagai alat untuk memahami gerakan Jamaah Ansharusy Syariah sebagai organisasi Islam radikal di Indonesia, yakni teori-konsep Gerakan Sosial, teori-konsep radikalisme, dan teori-konsep organisasi. Teori-konsep gerakan sosial muncul pada abad ke-19 untuk memotret gerakan buruh dan gerakan petani. Konsep ini mengalami pergeseran makna di abad 20 untuk mendeskripsikan beragam fenomena perilaku kolektif mulai dari sekte agama, protes massal, termasuk revolusi yang lebih terorganisir. Menurut (Tourine, 1985), gerakan sosial merupakan interaksi yang berorientasi normatif antara lawan/saingan dengan berbagai penafsiran yang sarat konflik dengan model masyarakat yang berlawanan di sebuah medan budaya bersama. Konsep gerakan sosial Tourine, sangat dipengaruhi oleh konsep model identitas murni yang dikembangkannya.

(Sztomka, 2004) menjelaskan konsep gerakan sosial sebagai gerakan kolektivitas berdasarkan tujuan bersama terhadap keinginan adanya perubahan tertentu dalam masyarakat. Kendatipun tingkat keterikatan kolektivitas dalam gerakan sosial memiliki derajat yang lebih rendah dibandingkan organisasi formal, namun mereka memiliki derajat spontanitas yang lebih tinggi, terlembaga, dan bentuknya tidak konvensional (Tarrow, 1994), mengidentifikasi bahwa karakteristik utama dari gerakan sosial adalah kelompok yang tidak melembaga, tidak terwakili, dan bergerak dalam alur interaksi yang berseberangan dengan elit atau pihak oposisi. Gerakan sosial mampu melewati batas-batas geografi dengan mudah dikarenakan perkembangan TIK, sehingga suatu gerakan di belahan bumi tertentu akan mudah diketahui dan menginspirasi gerakan sosial serupa di belahan bumi lain. Ditinjau dari penggeraknya, gerakan sosial dapat terjadi karena adanya ide (Ritzers, 2012) atau tokoh besar (great individual) Rakhmad (1999: 55) yang menggerakan sekelompok orang untuk melancarkan suatu gerakan. Selaras dengan pendapat (Sztomka, 2004) yang menyatakan bahwa gerakan sosial merupakan suatu gerakan kolektif, (Relativism, 1968) menjelaskan bahwa gerakan sosial dilakukan untuk mewujudkan perubahan sosial yang melibatkan sejumlah orang yang terkoordinasi, baik dalam organisasi formal maupun non-formal untuk melakukan perubahan, atau menantang suatu perubahan. Sedangkan (Ritzers, 2012), memberikan penekanan bahwa gerakan sosial merupakan usaha yang keras dan terorganisasi yang dilakukan oleh orang-orang dalam jumlah relatif besar, dengan tujuan untuk melakukan perubahan atau menentang perubahan.

Gerakan Islam radikal sebagai suatu gerakan sosial yang dibangun melalui tahap awal pengkaderan memerlukan wadah yang disebut organisasi. Organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja terus menerus untuk mencapai suatu tujuan Bersama (Ndraha, 2011). Di era Reformasi, pasca lengsernya Soeharo para mujahidin yang pulang dari Afghanistan, - kemudian dikenal luas sebagai bagian dari Jamaah Islamiyah (JI) -, terlibat dalam serangkaian aksi teror berdarah (Mubarok, 2020), dengan mendasarkan data laporan International Crisis Group (CGI), menemukan adanya keterkaitan hubungan kekerabatan dan kesejarahan antara mujahidin baru anggota JI dengan gerakan DI/TII. �Lintasan sejarah kemunculan Jamaah Ansharusy Syariah (JAS) dimulai pada saat Abu Bakar Ba'asyir sebagai pimpinan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) menyatakan dukungan terhadap kepemimpinan Syaikh Abu Bakar Al-Baghdadi sebagai pimpinan ISIS, dan mempersilahkan kepada anggota yang tidak setuju untuk keluar dari JAT. Beberapa anggota JAT yang tidak setuju kemudian keluar dan membentuk organisasi baru, Jamaah Ansharusy Syariah dan merupakan organisasi yang termasuk ke dalam fase keempat pergerakan organisasi Islam radikal di Indonesia.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis dengan rancangan studi kasus. Penelitian ini dilakukan untuk melakukan eksplor terkait fenomena Jamaah Ansharusy Syariah. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap sepuluh anggota Jamaah Ansharusy Syariah. Rentang usia informan antara 35-50 tahun. Lokasi penelitian dilakukan di wilayah Bekasi, Solo, dan Surabaya. Wawancara dilakukan secara semi terstruktur dengan menggunakan pedoman wawancara yang menjadi patokan dalam alur penelitian. Oleh sebab itu, wawancara meliputi: 1) sejarah terbentuknya Jamaah Ansharusy Syariah; 2) struktur organisasi Jamaah Ansharusy Syariah; dan 3) pergerakan Jamaah Ansharusy Syariah. Wawancara dilakukan disekitar wilayah organisasi Jamaah Ansharusy Syariah dengan waktu masing-masing informan 60-100 menit. Analisis data dilakukan dengan menggunakan kualitatif interpretative yaitu melalui reduksi, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Terbentuknya Jamaah Ansharusy Syariah

Terbentuknya JAS dilatarbelakangi oleh adanya perpecahan internal di dalam kelompok Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) pasca Abu Bakar Ba'asyir (Amir JAT) menyatakan bai�at terhadap Daulah Islamiyah ISIS di Lapas Nusakambangan pada 18 Juli 2014. Ditinjau dari prosesnya, bai�at yang dinyatakan Abu Bakar Ba'asyir merupakan keberhasilan Narapidana Terorisme (Napiter) pendukung ISIS, seperti Qomaruddin alias Abu Yusuf (Jamaah Islamiyah/JI Lampung), Zulkifli Lubis (JI Sumut), Abdurrahim Thoyyib alias Abu Husna dan Hari Kuncoro (JI, eks napiter) dalam mempengaruhi dan mendesak Abu Bakar Ba'asyir yang sebelumnya dianggap belum menyatakan sikap terhadap ISIS. Hal ini didukung pernyataan Muhammad Achwan (Amir Binniyabah JAT saat itu), bahwa Abu Bakar Ba'asyir sebelum berbai�at dalam posisi tidak mendapatkan informasi yang berimbang terkait ISIS.

Ketidakberimbangan informasi tentang ISIS seperti yang disampaikan oleh Muhammad Achwan, selaras dengan pernyataan Haris Abu Ulya, Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), yang menjelaskan analisis mengapa Abu Bakar Ba'asyir berbai�at dikarenakan Abu Bakar Ba'asyir dikelilingi oleh napiter-napiter pro ISIS, termasuk terdapat peran Aman Abdurrahman (Amir Tauhid Wal Jihad/TWJ, napiter Lapas Kembang Kuning) yang rutin berkomunikasi melalui telepon (Zulfadli, 2017). Hal inilah yang kemudian menjadi sebab semakin mempertajam konflik di antara kelompok pendukung, karena sebagian jamaah yang kemudian tergabung ke dalam JAS menganggap tokoh-tokoh pendudkung ISIS telah �menjerumuskan� dan memanfaatkan Abu Bakar Ba'asyir untuk mendukung ISIS dan memecat Muhammad Achwan dan kawan-kawan. Pasca dipecatnya dari JAT, beberapa anggota JAT seperti Muhammad Achwan (mantan Amir Biniyabah JAT), Fuad Al-Hazimi (mantan Dewan Syuro JAT), Abdurrachim Ba�asyir alias Iim (Majelis Syariah JAT), dan Mujayin Marzuki alias Gunawan (mantan Dewan Syuro JAT), mendirikan organisasi baru dengan nama Jamaah Ansharusy Syariah (JAS), yang dideklarasikan secara terbuka pada tanggal 11 Agustus 2014 di Asrama Haji Kota Bekasi, Jawa Barat.

B.    Struktur dan Sayap Organisasi JAS

Secara stuktur, organisasi JAS terdiri atas Pusat dan Wilayah. Di Pusat, posisi Amir merupakan pimpinan tertinggi organisasi, dan dibawahnya terdapat struktur Katibul �Aam, Mahkamah Syariah (Majelis Syariah dan Majelis Syuro), serta bidang-bidang (dakwah, tarbiyah, hisbah, dan syariah I�lam). Sedangkan di wilayah, struktur organisasi mengikut struktur Pusat dengan menempatkan Amir Wilayah sebagai pimpinan tertinggi organisasi di wilayah. JAS melakukan strategi pembentukan organisasi bayangan yang memiliki aktivitas sosial ke masyarakat, dengan tujuan untuk menghindari kecurigaan masyarakat dan pantauan aparat. Organisasi tersebut bernama Medis dan Aksi Kemanusiaan (MeDAN) dengan tugas menyelenggarakan kegiatan kemanusiaan dalam upaya membaur. Dalam rapat koordinasi Forum MeDAN, 16 Oktober 2016 di Maktab MeDAN Bontokape, Kabupaten Bima, Yudo Ratmiko memerintahkan seluruh anggota untuk meningkatkan kemampuan fisik, keterampilan medis, dan SAR. Jika perlu, harus diadakan kegiatan naik gunung untuk meningkatkan sejumlah keterampilan, terutama fisik anggota.

Dalam pengembangan organisasi di beberapa wilayah, JAS seringkali menghadapi kendala, terutama terkait dengan tetap bertahannya beberapa jamaah di JAT seperti terjadi di Serang, Banten. Bahkan, secara kuantitas jumlah jamaah JAS Wilayah Banten menyusut tajam pasca beralihnya jamaah JAS Mudiriyah Sumatera (Lampung, Bengkulu, OKU Sumsel), bergabung ke JAD. Kendatipun JAS Wilayah Banten kurang terkonsolidasi dan hanya diperkuat oleh 100 orang jamaah, namun dalam kegiatannya sering berkolaborasi dengan jamaah JAT dan jamaah lainnya.

C.    Pergerakan Jamaah Ansharusy Syariah

Pasca pendeklarasian Jamaah Ansharusy Syariah (JAS), sejumlah pengurus JAT di beberapa wilayah menyatakan diri bergabung dengan JAS dan melakukan muahadah (Perjanjian) kepada Muhammad Achwan (Amir JAS). �Pada tanggal 30-31 Agustus 2014 di Bima, NTB sekitar 100 orang aktivis jama�ah menyatakan diri bergabung dengan JAS dan telah melakukan muahadah kepada Muhammad Achwan. Mereka memilih bergabung dengan JAS setelah ada keputusan Abu Bakar Ba'asyir yang memutuskan bagi anggota jamaah yang tidak mau mengakui deklarasi Khilafah oleh ISIS berarti sudah keluar dari JAT. Selanjutnya, pada tanggal 5-6 September 2014 di Jawa Timur jamaah yang semula merupakan anggota JAT menyatakan kesiapan bergabung dengan JAS dan melaksanakan muahadah kepada Amir JAS. Hal serupa terjadi pula di wilayah Jawa Barat, mantan jamaah JAT di beberapa daerah di Bandung, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Cirebon, Majalengka, dan Cilacap menyatakan diri bergabung dengan JAS. Sedangkan jamaah Jabodetabek menyatakan diri bergabung dengan JAS dilaksanakan pada tanggal 13 September 2014.

Pada periode awal (2014-2016), Pimpinan JAS berupaya mengenalkan JAS ke publik dan pergerakan ormas Islam lainnya, antara lain dengan menyelenggarakan tabligh akbar bertema �Derita Gaza, Derita Kita Semua Duka Gaza Duka Kita Semua� pada tanggal 14 September 2016 di Masjid Al-Muhajirin, Jalan Dr. Semeru Raya No.1 Grogol, Jakarta Barat dengan menghadirkan pembicara Fuad Al Hazimi dan Andi Syaifuddin. Selain itu, JAS mengeluarkan press release tentang penerbitan akun jejaring sosial. Upaya pengenalan organisasi JAS ke publik dilakukan pula melalui kegiatan kajian-kajian, bedah buku, dan latihan fisik (i�dad), seperti yang dilakukan oleh MeDAN (organisasi sayap JAS) yang melakukan latihan fisik dalam bentuk penanggulangan bencana pada tanggal 4-5 Juli 2015 di Gunung Raung, Banyuwangi.

D.    Analisis Strategi Pergerakan Jamaah Ansharusy Syariah

Dengan mengacu pada awal pendiriannya pada tahun 2014, pembentukan JAS merupakan dampak dari perpecahan internal petinggi JAT terkait dengan perbedaan pandangan penyikapan terhadap Khilafah Islamiyah bentukan ISIS antara Abu Bakar Ba'asyir dengan pengurus JAT lainnya. Walaupun tidak dalam satu struktur-formal keorganisasian, namun JAS diyakini masih tetap menghormati dan menganggap Abu Bakar Ba'asyir sebagi figur sentral atas dasar persamaan tujuan untuk mewujudkan Syariat Islam. Hal ini diperkuat dengan penunjukkan Abdurrohim Ba�asyir dalam struktur JAS yang dapat menjadi tanda bahwa JAS akan tetap menjaga link dan wadah berjamaah bagi para simpatisan dan pengikut Abu Bakar Ba'asyir. Memasuki periode 2015, pola konsolidasi JAS cenderung semakin solid dengan agenda terstruktur, setelah sebelumnya menitikberatkan pada penguatan basis jamaah (umat) di kalangan pendukung loyal Abu Bakar Ba'asyir. Ditinjau dari laju pertumbuhannya, JAS relatif tumbuh dengan cepat. Beberapa faktor pendukung terhadap laju pertumbuhan JAS di periode ini adalah sebagai berikut.

Pertama, sejak ditakfirkan oleh kelompok radikal pendukung IS/ISIS seperti JAT dan Tauhid Wal Jihad (TWJ), menjadikan JAS sebagai organisasi alternatif bagi jamaah atau kelompok yang tidak setuju terhadap konsep jihad ISIS. Selain itu, JAS juga cukup jeli melihat gerbong JAT di wilayah dalam rangka memperluas jaringan struktur organisasi kewilayahan di daerah. Kedua, penggunaan soft strategy yang dikombinasikan dengan keberadaan tokoh kharismatik dalam organisasi JAS, seperti Muhammad Achwan, Fuad Al Hazimi (mantan Imam Besar Masjid Australia), dan Abdurrohim Ba�asyir (putra Abu Bakar Ba'asyir) memberikan pengaruh signifikan dalam memperluas simpati dan dukungan jamaah. Kombinasi strategi ini dinilai efektif, karena sebagai besar pengurus JAS di daerah merupakan loyalis Muhammad Achwan yang dapat dimanfaatkan untuk menarik jamaah JAT lainnya. Dan ketiga, JAS mampu melakukan konsolidasi melalui beragam kegiatan, termasuk di ranah publik seperti kegiatan bedah buku, tabligh akbar, dan penggalangan dana, serta mampu mengangkat isu-isu aktual. Keberadaan sayap organisasi MeDAN dalam kegiatan kemanusiaan pun memberikan kontribusi.

Pada periode tahun 2016, JAS terus memperkuat internal organisasi dengan mengadopsi pola pembinaan jamaah (ummah) untuk mewujudkan penegakan Syari�ah Islam di Indonesia. Sementara di sisi eksternal, JAS terus melakukan respons dan pengawalan terhadap isu-isu yang berkembang terkait umat Islam di negara lain, antara lain: terhadap kasus Rohingya di Myanmar, bergabungnya jamaah dengan milisi JN di Suriah dan Irak, melalui modus wisata umrah atau tugas belajar luar negeri. Jamaah JAS yang berjihad ke Suriah dibatasi waktunya antara 3 bulan sampai dengan 1 tahun, dan harus pulang untk membagi ilmu dan pengalaman kepada jamaah JAS ayng belum bisa berangkat berjihad.

Pada tahun 2017, JAS secara konsisten menerapkan strategi jihadul kalimah, sebagai bagian implementasi metode jihad secara halus (lisan) yang muaranya untuk mendapatkan simpati masyarakat, termasuk lintas elemen ormas Islam. Intensnya konsolidasi JAS melalui organisasi sayap dan afiliasinya dengan didukung oleh sikap keterbukaan, kesediaan berbaur, dan bergabung dalam berbagai kegiatan lintas elemen dapat menjadi pintu masuk untuk memperluas dukungan.

JAS mampu mengembangkan ide dan gagasan kreatif yang berpotensi semakin mendekatkan diri kepada masyarakat antara lain melalui ide program pelatihan Da�i, pelatihan pesantren kilat, serta pelatihan driver dan bisnis online berbasis materi dari JAS. Aksi-aksi sosial yang dilakukan JAS, terutama melalui MeDAN merupakan upaya menggalang masyarakat sekaligus melakukan rekruitmen guna mendukung agenda jihad jangka panjang yang menjadi agenda utama JAS. Strategi tersebut selaras dengan fatwa Al-Qaeda yang menyatakan bahwa perjuangan penegakan Khilafah Islam tidak akan tercapai tanpa dukungan mayoritas Umat Islam. Memasuki tahun 2018, JAS dan jaringannya di daerah secara terbuka melakukan strategi siyasah politik, yaitu terlibat dan masuk dalam ranah politik praktis, baik di tingkat lokal maupun nasional. Walaupun JAS Markaziyah (Pusat) melalui Muhammad Achwan (Amis JAS) menyatakan beberapa point kesepakatan yang salah satunya adalah bahwa JAS tidak akan ikut berpartisipasi dalam Pemilu di Indonesia, namun jaringan JAS di Daerah merespon berbeda. Di Jawa Barat misalnya, JAS Wilayah Jawa Barat terlibat aktif dalam isu-isu politik yang berkembang seperti kampanye �#2019 Ganti Presiden#�, dan JAS wilayah Jawa Tengah terlibat aktif dalam mengkampanyekan salah satu pasangan Pilgub Jawa Tengah.

Pergerakan tokoh-tokoh JAS Wilayah Nusa Tenggara di wilayah Jawa (Jakarta, Bekasi, Tangerang, Malang, dan Solo) mengikuti kegiatan �Ijtima Ulama di Jakarta menunjukkan penguatan langkah strategis JAS Nusa Tenggara untuk ikut aktif pada tataran pergerakan nasional.

 

Kesimpulan

Berdasarkan deskripsi dan uraian tentang pergerakan JAS sebagai organisasi Islam radikal, dapat ditarik beberapa hal sebagai kesimpulan. Pertama, ditinjau dari pola pergerakan JAS, pola konsolidasi JAS semakin solid dan terstruktur pasca perpecahan JAT, menunjukkan indikasi keberhasilan strategis penguatan basis jamaah di kalangan loyalis Abu Bakar Ba'asyir dengan memanfaatkan figur alternatif seperti Muhammad Achwan dan Abdurrohim Ba�asyir. Penerapan soft strategy dan terbuka memungkinkan JAS dapat merangkul tokoh dari lintas kalangan. Kedua, kendatipun JAS belum menempuh strategi radikal melalu iaksi teror, menguatnya JAS perlu mendapatkan perhatian karena arah afiliasi dan referensi pemikiran tokoh-tokoh JAS sangat dipengaruhi oleh doktrin tokoh-tokoh Al-Qaeda, baik secara mazhab maupun pola strategi gerakan. Hal ini diperkuat dengan kepulangan anggota jaringan JAS dari Suriah yang tergabung dalam Jabhah Nushroh/JN-Al-Qaeda, rawan menjadi mentor-mentor di internal JAS dalam menyebarkan doktrin-doktrin dan dapat memperkuat radikalisme jamaah JAS di masa depan.


BIBLIOGRAFI

 

Barton, Greg. (2009). The historical development of Jihadi Islamist thought in Indonesia. Radical Islamic Ideology in Southeast Asia, 30�53. Google Scholar

 

Mubarak, M. Zaki. (2015). Dari NII ke ISIS: Transformasi ideologi dan gerakan dalam Islam radikal di Indonesia kontemporer. Epistem�: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, 10(1), 77�98. Google Scholar

 

Mubarok, Jaih. (2020). Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Google Scholar

 

Nashir, Haedar. (2013). Islam Syarekat. Jakarta: Mizan.

 

Ndraha, Taliziduhu. (2011). Kybernology: Ilmu Pemerintahan Baru 2. Jakarta: Rineka Cipta.

 

Relativism, Cultural. (1968). In International Encyclopedia of the Social Sciences, vol. 3. David L. Sills, ed. New York: Macmillan Company and The Free Press. Google Scholar

 

Ritzers, George. (2012). Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Persada Media.

 

Solahudin. (2011). NII sampai JI: Salafy jihadisme di Indonesia. Komunitas Bambu. Google Scholar

 

Sztomka, Piotr. (2004). Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

 

Tarrow, Sidney. (1994). Power In Movement: Collective Action And Politics. Cambridge, UK: Cam. Google Scholar

 

Tourine, Alan. (1985). Social Movement and Social Change: The Challenge of Social Change. London: Sage.

 

Zulfadli, Zulfadli. (2017). Radikalisme Islam Dan Motif Terorisme Di Indonesia. Akademika: Jurnal Pemikiran Islam, 22(1), 173�198. Google Scholar

 

Copyright holder:

Rodon Pedrason (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: