Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 3, Maret 2022

 

KADAR RADHA�AH MUHAMMAD AL-GHAZALI PERSEPEKTIF MAQASID AL-SYARI�AH IMAM SYATIBI

 

Muhammad iFauzan

UIN Malang, Jawa Timur, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Asi adalah kebutuhan pokok yang tidak bisa ditunda (dharuriat) pasca bayi lahir.iAsal menyusui anaknya bagi seorang ibu hukumnya adalah sunnah, namun hal itu terjadi bila seorang ayah merupakan orang yang mampu dan ada orang lain yang mau menyusui anaknya. Menganalisis sebuah fatwa meggunakan Teori maqasid as-syariah adalah langkah yang tepat, hal ini sudah dilakukan oleh para Ilmuwan islam terdahulu hingga sekarang. Berdasarkan persoalan diatas, maka penelitian ini membahas tentang metode Muhammad al-Ghazali dalam menetapkan kadar Radha�ah kemudian dipandang dalam persepektif Maqasid Syari�ah Imam Syatibi. Sebagai sinkronisasi, pendapat Muhammad al-Ghazali dengan konsep maqasid al-syari�ah. Hasil dari penelitian ini adalah: Muhammad al-Ghazali dalam menentukan kadar radha�ah, didasari dengan metode kritik matan hadis kadar radha�ah minimal lima kali penysusuan. Ada empat langkah dalam menguji matan� hadis radha�ah :pertama, pengujian dengan al-Qur�an, ke-dua, pengujian dengan Hadis, ke-tiga, pengujian dengan Sejarah, ke-empat, pengujian dengan Kebenaran fakta ilmiah. Dalam perspektif maqasid al-syari�ah imam syatibi, pendapat muhammad al-Ghazali tidak memenuhi kriteria lima penjagaan daruriat al-Khamsah, walaupun penulis hanya menerapkan tiga kaidah saja: Hifdzun al-Din,� hifdzun nasab, Hifdzun aql. Berdasarkan maq�shid� ada lima cara Untuk mengoperasionalkan ijtihad, yaitu: Pertama, memahami tujuan dari teks-teks dan hukum. Kedua, mengumpulkan antara kulliy�t al-�mmah dan dalil-dalil khusus. Ketiga, mujtahid wajib mempertimbangkan dalil-dalil parsial untuk menghadirkan kulliy�t al-syar�'ah dan tujuan-tujuan syariah secara umum, serta kaidah-kaidahnya yang global. Keempat, jalbu al-mash�lih wa dar�u al-maf�sid (mendatangkan kemashlah�tan dan mencegah kerusakan). Kelima, dengan mempertimbangkan akibat suatu hukum (i'tib�r al-ma�l�t). Dari kelima langkah minimal dikerucutkan dua langkah pokok dalam menetukan ijtihad: Jalbu al-Mash�lih wa Dar�u al-Maf�sid Mutlaqa�n. dan I�tib�r al-Ma�l�t (Mempertimbangkan Akibat Suatu Hukum).

�Kata iKunci: iKadar, Radha�ah, Muhammad al-Ghazali

Abstract

Breastfeeding is a basic need that cannot be postponed (dharuriat) after the baby is born. i The origin of breastfeeding for a mother is sunnah, but it happens when a father is a capable person and someone else wants to breastfeed his child. Analyzing a fatwa using the maqasid as-syariah theory is the right step, this has been done by previous Islamic scientists until now. Based on the problems above, this study discusses the method of Muhammad al-Ghazali in determining the level of Radha'ah then viewed from the perspective of Maqasid Syari'ah Imam Syatibi. As a synchronization, Muhammad al-Ghazali's opinion with the concept of maqasid al-syari'ah. The results of this study are: Muhammad al-Ghazali in determining the level of radha'ah, based on the method of criticism of the matan hadith, the level of radha'ah is at least five times. There are four steps in testing the matn of hadith radha'ah: first, testing with the Qur'an, second, testing with Hadith, third, testing with history, fourth, testing with the truth of scientific facts. In the perspective of maqasid al-syari'ah imam syatibi, muhammad al-Ghazali's opinion does not meet the criteria of five daruriat al-Khamsah safeguards, even though the author only applies three rules: Hifdzun al-Din, hifdzun nasab, Hifdzun aql. Based on maq�shid there are five ways to operationalize ijtihad, namely: First, understand the purpose of the texts and the law. Second, collecting between kulliy�t al-�mmah and specific arguments. Third, the mujtahid must consider partial arguments to present kulliy�t al-syar�'ah and the objectives of sharia in general, as well as its global rules. Fourth, jalbu al-mash�lih wa dar'u al-maf�sid (bringing goodness and preventing damage). Fifth, by considering the consequences of a law (i'tibar al-ma�l�t). From the five steps, at least two main steps are narrowed in determining ijtihad: Jalbu al-Mash�lih wa Dar�u al-Maf�sid Mutlaqa�n. and I�tib�r al-Ma�l�t.

 

Keywords: Kadar, Radha�ah, Muhammad al-Ghazali

 

Pendahuluan

Seorang balita atau bayi yang baru lahir biasanya langsung diletakkan diatas tubuh seorang ibu agar segera diberikan persusuan kepada anak tersebut. Asal menyusui anaknya bagi seorang ibu hukumnya adalah sunnah, namun hal itu terjadi bila seorang ayah merupakan orang yang mampu dan ada orang lain yang mau menyusui anaknya. Jika semua hal itu tidak ada, maka menyusui anak tersebut hukumnya wajib (Ahmad Sawi al-Maliki, n.d.). Hak Radha�ah (Persusuan) anak dalam masa bayi adalah kebutuhan pokok yang tidak bisa ditunda (dharuriat). Untuknya Allah memerintahkan kepada ibu-ibu agar seyogyanya mereka menyusui si bayi dengan ihsan, banyak ayat yang menganjurkan syari�at Rodho�ah tersebut, salah satunya Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah 23:

Terjemahnya:

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. (Ahmad Sawi al-Maliki, n.d.)

ASI selain sebagai asupan gizi penting juga sebagai asupan dimasa pertumbuhannya. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh pakar kesehatan menunjukkan bahwa anak-anak yang di masa bayinya mengkonsumsi ASI jauh lebih cerdas, lebih sehat, dan lebih kuat daripada anak-anak yang dimasa kecilnya tidak menerima air susu ibu (ASI). (Ahmad Sawi al-Maliki, n.d.)

Perlu difahami komposisi air susu ibu (ASI) memiliki lebih dari 200 biofaktor (nutrisi yang terintegrasi dalam jumlah dan perbandingan yang tepat, sehingga menghasilkan nutrisi tumbuh kembang dan imunitas) sementara susu formula hanya sekitar 30-40 biofaktor. Riset� menunjukkan bahwa IQ pada bayi yang diberi air susu ibu (ASI) memiliki IQ poin 4,3 lebih tinggi pada usia 18 bulan, 4-6 poin lebih tinggi pada usia 3 tahun, dan 8,3 poin lebih tinggi pada usia 8,5 tahun, dibandingkan bayi yang tidak diberi ASI. Dengan menyusui akan merangsang terbentuknya Emotional Intelligence pada anak (EQ) serta meningkatkan kualitas hubungan antara ibu dan anak, sehingga anak mempunyai kecerdasan rohani yang optimum (SQ)(Ahmad Sawi al-Maliki, n.d.)

Menurut para pemikir Islam atau dalam pandangan ulama ahl al-Fiqih Radha�ah juga menjadikan pengaruh pada kedudukan/status nasab kemahraman seorang anak kepada ibu dan saudara dari anak sepersusuan. Hal ini terjadi ketika sibayi menyusu kepada wanita yang lain (tidak melahirkannya). Menurut Muhammad al-Ghazali bayi dapat dikatakan semahram dengan ibu dan saudara-saudara radha�ah dengan cukup satu kali hisapan. Saudara radha�ah disandarkan pada terjadinya persusuan bukan kepada seberapa banyak dan hitungan tertentu.Penasaban atau stastus kemahraman dalam Islam adalah sesuatu yang sangat diperhatikan dalam syariat Islam, karna dengan status nasab maka akan merubah sebuah kondisi yang drastis dari keadaan yang sebelumnya (tidak senasab atau tidak semahram). Feomena ibu kandung berudzur dalam memmberikan persusuannya kepada anak bukan hal yang baru terjadi dizaman ini bahkan ni terjadi sejak zaman dahulu, misalnya Nabi Muhammad SAW manusia yang paling mulia, beliau ketika bayi di persusukan kepada selain ibu kandungnya, diawal beliau menyusu kepada Tsuwaibah al-aslamiyah hamba sahaya abu Lahab, kurang lebih beliau menyusu kepadanya� selama empat bulan, kemudian dilanjutkan Halimah As-Sa�diyah, yang menyusu kepadanya dengan akad awal diberi upah selama persusuannya.(Ahmad Sawi al-Maliki, n.d.)Alternatif memberikan hak Radha�ah orang lain memang menjadi solusi bagi ibu kandung. Namun radha�ah dengan jumlah tertentu secara hukum Islam akan megubah status kemahraman anak tersebut.Kadar penentuan Muhammad al-Ghazali pada Radha�ah harus diselaraskan dengan Maqosid as-Syari�ah. Maqasid as-syariah memiliki Lima point penjagaan atau disebut dengan Dharuriat al-Khomsah, yakni menjaga agama (hifdzun al-din), menjaga jiwa (hidzun nafs), menjaga kehormatan (hifdzun nasab), menjaga akal (hidzun al-aql), dan menjaga harta (hifdzu al-maal). Penetapan Muhammad al-Ghazali pada kadar radha�ah yang menjadi parameter saudara Radha�ah tidak bisa lepas dari pembahasan maqasid as-syari�ah. Lima penjagaan (Dharuriat al khamsah) atau maksud diturunkannya syaria�ah harus selaras dengan maksud penetapan paramater sauadara radha�ah. Jika Metode dalam istinbath hukum seorang Ulama dijadikan rujukan dan dijadikan Fatwa, namun Fatwa tersebut tidak selaras dengan maqasid as-syariah maka bisa ditolak pendapatnya

 

Metode Penelitian

Menurut Muhammad al-Ghazali ada lima kriteria keshahihan hadis, tiga berkaitan dengan sanad dan dua kriteria terkait dengan matan. Tiga kriteria yang terkait dengan sanad adalah: (1) Periwayat harus orang yang dhabit, (2) Periwayat harus adil, dan (3) Kriteria pertama dan kedua harus dimiliki seluruh rawi dalam sanad. Adapun dua ikriteria yang terkait dengan matan, adalah: (1)Matan Hadis tidak syadz (salah seorang rawi bertentangan periwayatannya dengan rawi lain yang lebih akurat dan lebih dipercaya),(2) Matan hadis tidak mengandung illah qadihah (cacat yang diketahui oleh para ahli hadis, sehingga mereka menolaknya).

 

Hasil dan Pembahasan

1.     Pengertian kadar Radha�ah

Secara etimologi kadar berasal dari kata Qadar (bahasa arab) yang memiliki makna kuasa, ketentuan tuhan, sifat bawaan, (kodrat). Dan Kadar juga memilki beberapa arti lainnya, seperti, ukuran yang untuk menentukan suatu Norma. Adapun Radh�ah bermula dari bahasa Arab (radha�ah) yaitu ibu menyusui anak atau juga difahami anak mengisap air Susu ibu.(Ahmad Sawi al-Maliki, n.d.)

Pengertian� Radha�ah disisi lain diartikan �adalah mengisapnya seorang air susu dari payudara. Meurut istilah fikih, radha�ah berarti seorang ibu yang menyusui anaknya,dan salah satu konsukensi penting terjadinya proses Radha�ah adalah salah satu sebab penting terjadinya hubungan kemahraman/ mahram,

2.     Kadar Radha�ah empat madzhab yang mengakibatkan pengharaman pernikahan.

Menurut para ulama ada enam syarat Kadar rodho�ah yang mengharamkan pernkahan, yaitu:

1.   Air Susu harus berasal dari manusia, menurut jumhur baik perawan atau sudah mempunyai suami atau tidak mempunyai suami.

2.   Air Susu masuk melalui kerongkongan anak, baik dengan isapan langsung dari putting Susu maupun melalui alat penampungan susu seperti gelas, botol dan lain-lain.

3.   Menurut mayoritas ulama, penyusuan yang dilakukan melalui mulut (wajur) karena bersifat mengenyangkan sebagaimana persusuan atau melalui hidung (sa�ut) karena adanya sifat memberi makan. Ulama Hanafiyyah, Syafi�iyyah, dan Hanabilah mengatakan apabila susu itu dialirkan melalui injeksi, bukan mulut atau hidung maka tidak menimbulkan dengan cara ini tetap haram. Begitu juga menurut Imam Muhammad, penyuntikan kemahraman ini tetap menimbulkan hukum kemahraman. Sedangkan menurut ulama Malikiyyah meskipun seperti batalnya puasa karena persusuan.(Ahmad Sawi al-Maliki, n.d.)

4.   Menurut ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah, air susu itu harus murni, tidak bercampur dengan yang lainnya. Apabila susu itu bercampur dengan cairan lainnya, maka menurut mereka harus diteliti manakah yang lebih dominan. Apabila yang dominan adalah Susu, maka mengharamkan nikah. Apabila yang dominan adalah cairan lain, maka tidak mengharamkan nikah.

Menurut ulama Syafi�iyyah dan Hanabilah, Susu yang dicampur dengan cairan lain itu pun dianggap sama saja hukumnya, tetap mengharamkan nikah. Menurut Abu Hanifah dan Imam Abu Yusuf, yang haram dinikahi adalah wanita yang air susunya lebih banyak dalam campuran itu. (Al-Zuhaily, 1989)Akan tetapi, menurut Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani dan Zufar bin Hudail bin Qaisy al-Kufi, seluruh pemilik susu yang dicampur itu haram dinikahi anak tersebut, baik jumlah susu mereka sama atau salah satunya lebih banyak, karena dua susu yang dicampur masih sejenis (Ibnu Hammam, n.d.).

5.   Menurut Empat Mazhab Fiqih dan jumhur ulama, susuan itu harus dilakukan pada Usia anak sedang menyusu. Jika diatas dua tahun, maka tidak mengharamkan nikah. Alasannya adalah firman Allah swt dalam surah Al- Baqarah ayat 233 yang menyatakan bahwa sempurnanya susuan adalah dua tahun(Abdul Azis Dahlan, n.d.). Menurut jumhur ulama, radha�ah hanya dapat terjadi dalam masa anak-anak. Jumhur ulama menyatakan bahwa kasus Salim merupakan Rukhsah (keringanan hukum) baginya.(Abdul Azis Dahlan, n.d.)

6.   Menurut Mazhab Syafi�i dan Hanabali, penyusuan harus dilakukan dengan lima kali isapan yang terpisah, Apabila penyusuan tersebut kurang dari lima kali isapan, maka tidak ada hukum mahram. Apabila ada keraguan (syak) dalam hitungannya, maka harus dibangun adanya keyakinan dalam persusuan tersebut karena hal itu pada asalnya adalah tidak adanya persususan yang menimbulkan mahram, namun meninggalkan keraguan lebih diutamakan, karena syak merupakan hal yang Samar. Hal ini didasarkan pada tiga dalil, yaitu:

��� Artinya:

� �Dari Aisyah ra, Sesungguhnya dia berkata: �Ayat al-Qur�an pernah turun dalam ���mengharamkan wanita tempat menyusu jika susuan (mencapai) sepuluh kali susuan, kemudian dinaskh menjadi lima kali susuan. Lalu Rasulullah wafat dan hukum lima kali susuan itu masih dibaca dalam al-Qur�an�(Abu Husein Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, 2000).

Berdasarkan hadis diatas menjelaskan tentang susuan yang dinasakh dari sepuluh kali susuan menjadi lima kali susuan, dan hukum lima kali susuan ini berlaku semenjak wafatnya Rasulullah sampai sekarang.Sedangkan menurut Imam Malik dan Hanafi ASI yang banyak atau sedikit tetap dihukumi mahram meskipun satu kali isapan (Wahbah az-Zuhaily, n.d.).

3.     Kadar Radha�ah Muhammad al-Ghazali�

Muhammad al-ghazali� dalam menentukan seberapa kadar persusuan yang menjadikan kemahraman disandarkan kepada terjadinya persusuan, yakni dengan kata lain muhammad Al-Ghzalai memandang bahwa ketika bayi� menyusu kepada seorang ibu maka sudah berlaku kemahraman dan hukum-hukum� yanng berkaitan dengannya, maka akan berlaku ketika itu. Sehingga sedikit dan banyaknya air susu ibu yang masuk ke perut si anak� tidak menjadi Illah (sebab) terjadinya� kemahraman. Muhammads Al-Ghazali� dalam menentukan kadar Rodho�ah� tidak hanya� terpaku pada nash� hadis nabi Muhammad SAW,(dalam istidlal dan istinbath hukum), namun beliau justru� menggabungkan teori ilmu dasar kedokteran dan ilmu pengantar pengetahuan dan pendukung lainnya, sehingga memiliki kesimpulan dan pandangan yang berbeda dengan pandangan ulama lain termasuk beberapa� ulama Mutaqoddimin (terdahulu).(Muhammad al-Ghazali dan Yusuf al-Qaradhawi, 2008)

4.     Bagian I: Biografi Muhammad Al-Ghazali

a.     Riwayat ipendidikan

Muhammad ial- iGhazali, iLahir ipada itanggal i22 iseptember i1917 iM, idi iNakhla� ial- iInab, ial- iBukhairah iMesir, idesa iterkenal idimesir iyang ibanyak imelahirkan itokoh-tokoh iislam iterkemuka ipada izamannya. iDi iantara itokoh-tokoh itersebut iadalah iMahmud isyaltut, iSyaikh iHasan ial- iBanna. iMuhammad ial- iBasri, iSyaikh iMuhammad ial-Madani, iSyaikh iAbd ial- iAziz iIsa, idan iSyaikh iAbd iAllah ial- iMursyid. (Abd al-Halim, 1993)

Pendidikan idasar iMuhammad ial-Ghazali idimulai idari imadrasah idi idesanya, idistulah iia imenghafalkan ial-Qur�an i30 ijusz, isetelah iitu iia imasuk isekolah iagama iIbtida�iyyah idi iiskandariyyah iselama itiga itahun idan imemperoleh iijazah ipersamaan, iKemudian imeneruskan ipendidikan iTsanawiyah iselama idua itahun idan ilulus ipad itahun i1937 iM. igelar isarjana ipada iidi ifakultas iUshuluddian, iUniversitas ial- iAzhar itahun 1941 iM. iMeskipun iia iaktif idalam ikegiatan idakwah, ipada itahun i1943 iM, iia imemperoleh igelar iM,agister idari iFakultas iBahasa iArab iUniversitas iyang isama.iSelain ibanyak iberkecimpung idalam ibidang idakwah, ijuga ibanyak imenggeluti idunia ipendidikan idan ikebudayaan. iAdapun iaktivitas iMuhammad ial- iGhazali iselama idi iMesir iantara ilain; itahun i1943, iia iditunjuk isebagai iimam idan ikhatib imasjid ial- iutba� ial-Khadra idi iKairo.(Suryadi, 2008)� ��������

b.     Aktivitasnya idi ial- iIkhwan ial-Muslimun�����������������������

Ketika iia imasih imenduduki ibangku idi itingkat iakhir isekolah iTsanawiyah idi iIskandariyyah, itepatnya ipada itahun1935 iM, Muhammad ial-Ghazali ipertama ikali iberkenalan idengan iSyeikh iHasan ial- iBanna i(1906-1949 iM), idi iMasjid iAbd ial- iRahman ibin iHarmuzketika iHasan ial- iBanna imenyampaikan idakwah iatau iceramah. iPerkenalan isemakin iintensif iketika iMuhammad ial-Ghazali ikuliah idi iUniversitas ial-Azhar, iKairo, idan idirekrut ioleh iImam iHasan ial- iBanna iuntuk imenjadi ianggota ial-Ikhwan ial- iMuslimun (John L. Eposito, 1995)

Bahkan iselanjutnya imenjadi isalah isatu itokoh ial i�Ikhwan ial-Muslimun. Keterlibatannya idengan ial-Ikhwah ial-Muslimun, imengantarkan iMuhammad ial-Ghazali ikedalam ipenjara iMiliter ikelas isatu idi iTantha ibersama ibeberapa ipengikut ial-Ikhwah ial-Muslimun, isetelah ikeluar idari ipenjara iakhir itahun i1949, iMuhammad ial-Ghazali isemakin itekun idalam iberdakwah.

1)       Karya- ikaryanya

Diantara ibuku-buku �karyanya iadalah: Aqidah ial- iMuslim i(cet. iIII. i1990), Azma ial-syura ifi ial-mujtamiat ial-Arabiyyah ial-Islamiyah, iBi ial-Idhofah iila ial-Mukhadorot iwa ial-Hadis ial-Idza�iyah, ial-Dakwah ial-Islamiyah itastaqbil iqornuha ial-khamis iasr i(cet. iIII i1990).

2)      Metode kontemporer Muhammad al-Ghazali dalam Memahami Hadis

Menurut Muhammad al-Ghazali iada ilima ikriteria ikeshahihan ihadis, itiga iberkaitan idengan isanad idan idua ikriteria iterkait idengan imatan. iTiga ikriteria iyang iterkait idengan isanad iadalah: i(1) iPeriwayat iharus iorang iyang idhabit, i(2) iPeriwayat iharus iadil, idan i(3) iKriteria ipertama idan ikedua iharus idimiliki iseluruh irawi idalam isanad. Adapun idua ikriteria iyang iterkait idengan imatan, iadalah: i(1)Matan iHadis itidak isyadz(salah iseorang irawi ibertentangan iperiwayatannya idengan irawi ilain iyang ilebih iakurat idan ilebih idipercaya),(2) iMatan ihadis itidak imengandung iillah iqadihah i(cacat iyang idiketahui ioleh ipara iahli ihadis, isehingga imereka imenolaknya)iDari iberbagai ipernyataanya idalam ibuku ial-Sunnah ial-Nabawiyyah ibaina iAhl ial-Fiqh iwa iAhl ial-Hadis, iDapat iditarik ikesimpulan itentang itolok iukur iyang idigunakan iMuhammad ial-Ghazali idalam ikritik imatan. iada i4 imacam iyaitu:

a)           Pengujianengan ial-Qur�an

Muhammad ial-Ghazali imengecam ikeras iorang-orang iyang imemahami idan imengamalkan isecara itekstual ihadis-hadis iyang ishahih isanadnya, inamun imatanya ibertentangan idengan ial-Qur�an. iHal itersebut ikarna iadanya ikeyakinan itentang ikedudukan ihadis isebagai isumber iotoriatif isetelah ial-Qur�an, itidak isemua ihadis iorisinil, idan itidak isemua ihadis idipahami isecara ibenar ioleh iperiwayatanya. I

Pengujian idengan ial-Quran iyang idi imaksud iadalah isetiap ihadis iharus idi ipahami idalam ikerangka imakna-makna iyang idi itunjukan ioleh ial-Quran ibaik isecara ilangsung iataupun itidak. iIni iartinya ibisa ijadi iterkait idengan imakna ilahiriyah ikandungan ial-Quran, iatau ipesan-pesan, isemangat idan inilai-nilai iyang idi ikandung ioleh iayat-ayat ial-Quran, iataupun idengan imenganalogkan i(qiyas) iyang idi idasarkan ipada ihukum-hukum ial-Quran. Penerapan ikritik ihadis idengan ipengujian ial-Quran imendapatkan iporsi iterbesar idari iMuhammad ial-Ghazali idi ibandingkan itiga itolak iukur ilainnya. i

b)           Pengujian idengan iHadis

Pengujian iini imemiliki ipengertian ibahwa imatan ihadis iyang idijadikan idasar iargumen itidak ibertentangan idengan ihadis imutawatir idan ihadis ilainnya iyang ilebih ishahih. iMenurut iMuhammad ial-Ghazali, isuatu ihukum iyang iberdasarkan iagama itidak iboleh idiambil ihanya idari isebuah ihadis iyang iterpisah idari iyang ilainnya. iKemudian ihadis-hadis iyang itergabung iitu idi ikomparasikan idengan iapa iyang iditunjukkan ioleh ial-Quran. i

c)            Penhgujian idengan iFakta iHistoris

Tidak ibisa idi ipungkiri, ibahwa ihadis imuncul idalam ihistorisitas itertentu, ikarenanya iantara ihadis idan isejarah imemiliki ihubungan isinergis iyang isaling imenguatkan isatu isama ilain. iAdanya ikecocokan ihadis idengan ifakta isejarah imenjadikan ihadis imemiliki isandaran ivaliditas iyang ikokoh, isebaliknya ibila iterjadi ipenyimpangan iantara ihadis idan isejarah, imaka isatu idi iantara ikeduanya idi iragukan ikebenarannya. i

d)           Pengujian idengan ikebenaran iilmiah i

Pengujian iini idi iartikan ibahwa isetiap ikandumgan imatan ihadis itidak iboleh ibertentangan idengan iteori iilmu ipengetahuan, idan ijuga imemenuhi irasa ikeadilan iatau itidak ibertentangan idengan ihak iasasi imanusia. iOleh isebab iitu, itidak imasuk iakal ibila ihadis inabi imengabaikan irasa ikeadilan, ibagaimanapun ishahihnya isanad ihadis, ijika imuatan iinformasinya ibertentangan idengan iprinsip-prinsip ikeadilan idan iprinsip-prinsip ihak iasasi imanusia, imaka ihadis itersebut itak ilayak ipakai.

Contoh itema ihadis iyang idiangkat ioleh iMuhammad ial-Ghazali idalam imempraktekkan ipengujian ikritik imatan. i

1.)         Hadis itentang imayat idiazab ikarena itangisan ikeluarganya, i

�Sesunngunya iseorang imayit ikarena itangisan ikeluarganya, iHR imuslim iNo.1536� ioleh iIbn isa�ad idalam ithabaqat ial-Kubra, iAisyah imenolak ihadis itersebut ikarna ibertentang idengan ifirman iAllah, ial-An�am iayat i164. I

Muhammad ial-Ghazali imenolak ihadis itersebut, itermasuk iditolak ipula ipendapat isebagian iulama ibahwa iyang idimaksud imayit imukmin imerasa isakit iadalah isakit isetelah iditinggal iwafatnya, ikarna ibertentangan idengan iQ.S. iFushilat iayat i30. iDisamping iitu, isecara ilogika itangisan ianggota ikeluarga iyang iditinggal iadalah iwajar idan isesuai iwatak imanusia, itidak iberdosa iapabila imelakukannya.(Al-Ghazali, 1996)

1.     Pengertian Maqasid Syari�ah �

Makna secara istilah jika dilihat para ulama klasik tidak memberikan definisi secara tegas makna dari maqasid as-syari�ah hal ini karna dianggap sudah jelas, hal serupa yang diungkapkan imam syatibi. Bahwa tidak memberikan definisi istilah secara dalam kitabnya karna dianggap sudah mafhum, Al-Ghazali dalam al-mustasfa hanya menyebutkan ada lima point maqasid syari�ah, yaitu memelihra agama, memelihara jiwa, akal, keturunan, dan Harta. Adapun menurut ibnu asyur dalam bukunya Maqasid syari�ah� adalah hal-hal yang dikehendaki syar�i (Allah) untuk meujudkan tujuan-tujuan manusia yang bermanfaat, atau untuk memelihara kemaslahatan umum dalam tindakan-tindakan secara khusus.(Kholqi, 2019)

2.     Maqasid Syari�ah Imam Syatibi

Imam Syatibi tercatat sebagai orang yang pertama penggagas ilmu secara diskursus sekaligus ulama yang pertama menyusun� kitab maqasid syari�ah secara detail dan lengkap. Sebelum membahas dan menerapkan kaidah-kaidah lima maqasid syari�ah dengan pendapat muhammad al-Ghazali dalam menentukan kadar saudara radha�ah. terlebih� dahulu menjelaskan tentang ta�l�l al-syari�ah (illat dishariatkannya hukum) menurut Imam Syatibi. Menurutnya� bahwa ditetapkannya suatu hukum adalah untuk kemashlah�tan hamba baik di dunia� dan akhirat.

langkah-langkah dasar teori Imam Syatibi dalam menetapkan sebuah Hukum dengan Illat sebagai berikut:

1)     Mengetahui Maq�shid Harus sesuai dengan Bahasa Arab

Al-Qur‟an� seacara keseluruhan diturunkan menggunakan bahasa Arab, maka sudah semestinya untuk memahaminya harus menggunakan bahasa Arab. Syariah tidak akan bisa difahami dengan baik, kecuali oleh orang yang faham bahasa Arab. bahkan bisa dikatakan, Sejauh mana seseorang memahami bahasa Arab, sejauh itu pula pemahaman mereka terhadap syariah.(Raisuni, 1992) Dalam menggunakan lafad arab terkadang yang dimaksud adalah dzahir teks dan terkadang yang dimaksud �m pada satu sisi dan kh�s pada sisi yang lain, �m yang dimaksud kh�s, dan dz�hir tujuannya bukan dz�hir.(Ati, 2007)

2)     Perintah dan larangan syari�ah dipahami sebagai ta�l�l (mempunyai illat) dan dahiriyah (teks apa adanya)�

Ketika Kata larangan dan perintah berada pada awal kalimat secara jelas menunjukkan pada tujuan sy�ri, perintah-perintah bertujuan mendatangkan ke-mashlah�t-an secara langsung maupun tidak langsung yang dikehendaki Allah. Larangan-larangan bertujuan mencegah hal-hal yang mendatangkan keburukan. dan prinsip ini adalah sesuatu yang umum dengan tanpa melihat illat. Jika melihat pada illat hukum dan mashlah�t hukum, maka hal ini merupakan asal syar‟i. (Miskari, 2019)

Pada perintah dan larangan tergantung pada illat dan maslahah suatu Hukum, karenanya berpegang pada perintah dan� larangan bisa merealisasikan tujuan syariat. Imam Syathibi menegaskan perlunya menghargai dz�hir teks dan tidak mengabaikannya, akan tetapi dengan tanpa berlebihan, dan tidak mengingkari illat dan �maslah�t yang tetap. (Toriquddin, 2014)

3)     Maq�shid al-Ashliyah (Tujuan Asal) wa al-Maq�shid al-Tabi�iyyah (Tujuan Pengikut)

Hukum-hukum syara� pasti mempunyai tujuan yang mendasar, yang bisa disebut sebagai tujuan utama (maq�shid al-ashliyah) dan tujuan ikutannya (maq�shid al-tabi‟iyyah). Seperti disyariatkannya zakat maal yang tujuan dasarnya adalah untuk membersihkan si-pemilik harta. sedangkan tujuan ikutannya,tolong menolong kepada orang lain, berbagi kenikmatan dengan yang faqir, mengentas kemiskinan dan lain-lain. Semua ini merupakan tujuan syara� dari diyariatkannya zakat maal. Tujuan-tujuan ini ada yang dijelaskan secara dzhahir teks atau diisyaratkan, ada juga yang �diketahui dengan dalil lain dan dengan cara penelitian dari teks tersebut. (Toriquddin, 2014) Maq�shid al-taw�bi‟ (tujuan pengikut) berfungsi sebagai penguat terhadap tujuan asal, Ringkasnya menurut Imam Syatibi bahwa tujuan asal adalah hal-hal yang bersifat dar�riyat.(Toriquddin, 2014)

1.   Suk�t al-Sy�ri� (diamnya Sy�ri�)

Diamnya Rasulullah SAW terkadang menunjukkan pada suatu hukum tertentu. Hal ini jika dilakukan oleh Nabi SAW ketika menyaksikan perbuatan atau perkataan disebut dengan sunnah taqrīriyah (sunnah yang bersifat penetapan suatu hukum). Berlaku pula dengan diamnya al-Qur‟an dari sesuatu di zaman Rasulullah SAW, hal ini menunjukkan kebolehan perbuatan itu seperti masalah azl.

Salah satu metode penjelasan hukum syar�i sebagaimana kasus diatas adalah dengan diam, dari situlah tujuan syariah ditetapkan dengan cara mencari illat, hikmah, istiqra‟ atau maq�m.(Muhammad Bakr Ismail Habib, n.d.)

2.   Al-Istiqra� (Teori Induksi)

Istiqra� menurut bahasa berarti pengikutsertaan, terus-menerus (at-tat�bu‟).sebuah metode pemikiran yang bertolak dari suatu kekhususan menuju pada yang umum, kadang-kadang juga bertolak dari yang kurang umum menuju pada yang lebih umum. istiqra' dalam istilah ilmu hukum Islam adalah sebuah metode pengambilan kesimpulan umum yang dihasilkan oleh fakta-fakta khusus yang digunakan oleh ahli-ahli Fiqih untuk menetapkan suatu hukum.

Definisi yang lain dikemukakan oleh Ibnu Sina (w.� 428 H/1037 M) dengan menyatakan, jika� kesimpulan itu didasarkan pada kesamaan� karakteristik semua satuannya disebut istiqra‟� t�m (induksi sempurna) dan jika didasarkan� pada kesamaan karakteristik mayoritas� satuannya disebut istiqra‟ masyhur atau� istiqra‟ n�qis (induksi tidak sempurna).

3.   Mencari Petunjuk dari Para Sahabat

Cara untuk mengetahui tujuan syari'ah Diantaranya ialah dengan cara mencari petunjuk� dan mengikuti para sahabat dalam memahami� hukum-hukum dalam al-Qur‟an dan Hadits,� kemudian menerapkannya dalam kehidupan nyata.� Hal ini didasarkan karena kekuatan iman� mereka, dan mereka hidup sezaman dengan turunya� al-Qur‟an, bahkan melihat langsung apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, sepatutnya jika pemahaman mereka� mendalam tentang Islam, jernihnya hati,� tunduk, ikhlas pada agama Islam dan taat tanpa tapi pada Rasulullah SAW.(Muhammad Abd. al-��ti, n.d.)

Selain� enam teori dasar, ada kaidah-kaidah pokok bagi mujtahid yang merupakan prinsip dalam mengeluarkan pendapat.setidaknya dua prinsip sebagai berikut:

a.      Jalbu al-Mash�lih wa Dar�u al-Maf�sid Mutlaqa�n

Harus diusahakan untuk merealisasikan dan menjaga kemaslahatan dari banyak sisi. Begitupula ketika ada kemungkinan kerusakan yang akan terjadi maka harus� diusahakan untuk mencegah dan menutup jalannya, walaupun tidak ada teks secara khusus. (Ahmad Al-Raisuni, n.d.)

b.     Mempertimbangkan Akibat Suatu Hukum (I�tib�r al-Ma�l�t)

Dikatakan mujtahid ketika berijtihad� mempertimbangkan akibat dari suatu hukum tersebut, memprediksi akibat hukum dan fatwa-fatwanya, dan tidak dianggap bahwa tugasnya hanyalah menetapkan hukum saja. namun tugas seorang mujtahid juga menentukan hukum dalam satu perbuatan dan memperkirakan akibat-akibat yang ditimbulkan dari hukum tersebut. Jika ia tidak melakukan hal demikian maka orang tersebut belum sampai pada derajat seorang mujtahid.

5.     Penerapan Maqasid dharuriat al-khamsah dengan penetapan kadar Radha�ah Muhammad al-Ghazali

Maq�shid� al- dlar�riy�t ini ada lima yaitu: menjaga� Agama, menjaga jiwa, menjaga keturunan,� menjaga harta, menjaga akal. dari kelima kaidah tersebut. penulis hanya akan menerapkan tiga kaidah, hal ini sesuai dengan keterkaitan masalah yang penulis angkat dan juga didasari pendeknya ilmu penulis. tiga kaidah tersebut adalah menjaga agama,� menjaga keturunan dan menjaga akal.

1)     Hifdzun Ad-Din

Ketika kadar radha�ah di sandarkan pada masuknya ASI ke bayi maka berdampak pada baik buruknya akhlak si bayi terutama ketika menginjak dewasa, hal ini didasarkan pada seringnya si bayi bermu�amalah dengan orangtua radha�ah dan juga anggota keluarga radha�ah yang berstatus sebagai radha�ah. Tentu fenomena ini sangatlah lumrah diprediksi karna teman-teman dekat saja disabdakan Rasulullah:

المرأ على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل����������������������������������������������������������������������

Artinya: �Agama seseorang bergantung pada� agama teman (dekat) nya, maka hendaklah salah satu diantara kalian melihat kepada siapa ia berteman �

 

Dalam hadis lain rasulullah mengibaratkan teman dekat seperti berdekatan dengan pandai besi atau penjual minyak wangi:

Artinya: �Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi atau engkau akan minyak wangi darinya dan kalaupun tidak engkau tetap akan mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaiannmu dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.� (Bukhari, 1986)

 

Tentu ikatan saudara sepersusuan adalah ikatan yang dekat, bahkan dapat dikatakan lebih dekat ketimbang teman dekat, ketika si bayi dikatakan semahram radha�ah maka ia akan sering bergaul, belajar, dan bercengkrama dengan saudara dan orangtua se mahram radha�ah.

Konsekueni yang dihasilkan dalam ikatan saudara radha�ah juga lebih serius,dan ikatan itu tidak dijumpai layaknya sekedar teman dekat. Konsekuensi kursial yaitu dilarangnya menikah kepada saudara sepersusuan. Artinya hal ini secara gamblang dapat dipahami bahwa prediksi akan terkontaminasinya si-bayi pada keburukan sangat mungkin terjadi.

2)     Hifdzun Nasab

Menjaga nasab merupakan hal yang penting sehingga seorang muslim diperintahkan untuknya menjaganya, termasuk ketika Rasulullah memerintahkan menyambung silaurahmi, maka nasab yang disebabkan radha�ah masuk dalam kategori orang yang diperintahkan untuk disambung silaturahminya, dan� seperti ketika Rasulullah memerintahkan lelaki untuk memilih wanita, agar memiliki nasab yang baik:

عن أبي هريرة رصي الله عن النبي صلى الله وسلم قال تنكح المأةلآربع لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها فاظفر بذاتالدين تربت يدك�������������������������������������������������������������������������������������

Artinya: �Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: Wanita itu dinikahi karena empat hal, hartanya nasabnya, kecantikannya dan agamanya, namun dari empat itu paling utama yang harus jadi perhatian adalah agamanya, maka kamu akan selamat.� (Ibnu Hajar al-asqalani, 2006)

 

Konsekuensi Saudara radha�ah mengakibatkan terhubungnya jalur nasab dari orangtua yang menyusui kepada si bayi. maka semua� jalur saudara radha�ah keatas menjadi semahram sebagaimana mahram saudara kandung. Maka bertambah dua jalur nasab kemahraman dari satu ibu radha�ah, lalu bagaimana ketika si bayi menyusu kepada lebih dari dua ibu (selain ibu kandung). Sehiungga semakin banyak wanita yang haram (terhalang) untuk dinikahi dan semakin banyak orang yang harus disambung silaturahminya. kemudian yang paling berat adalah tidak boleh memutuskan silaturahmi dari semua nasab radha�ah tadi.

3)     Hifdzun aql (menjaga akal)

Syari�at islam melarang minum khomr �pada Q.S AN-Nisa 43, Al-Midah ayat 90. salah satu mafsadat dilarangnya khamr adalah dapat merusak akal, namun sudah menjadi perkara yang ma�lum, rusaknya akal bukan hanya disebabkan dari minuman atau sesuatu yang dikonsumsi, hari ini banyak orang yang rusak akalnya gara-gara psikisnya tergannggu atau mental akalnya menjadi rendah.

Si bayi ketika disandarkan nasab kemahramannhya kepada orang yang mulia secara nasab maupun kedudukan dimasyarakat,� tentu ia akan bangga dan merasa diuntungkan atas keadaannya tersebut. Dan ketika ia dewasa tidak perlu minder dimasyarakat juga teman-teman sejawatnya. Namun Sebaliknya ketika si bayi tersebut disandarkan kepada orangtua yang buruk kedudukannya dimasyarakat seperti orangtua radha�ahnya terjerat kasus korupsi, bandar narkoba,� mencuri dan keburukan-keburukan lainnya, tentu� hal ini akan berpengaruh terhadap akal si anak, dan dapat diprediksi mental si anak akan down, minder dimasyarakat dan dihadapan teman-temannya.

Keadaan seperti itu meskipun berlangsung sebentar akan menganggu akal anak tersebut, apatah lagi jika keadaan tersebut berlangsung lama, dikhawatirkan akan merusak akalnya. Maka penetapan saudara radha�ah persepektif Muhammad al-Ghazali� dapat mengantarkan kepada mafsadat akal si-anak. Dan tidak dapat dikatakan juga mewujudkan hifdzu al-aql (menjaga akal).

 

 

Kesimpulan

Penasaban atau stastus kemahraman dalam Islam adalah sesuatu yang sangat diperhatikan dalam syariat Islam, Menurut muhammad al-Ghazali,� seorang bayi cukup hanya dengan satu kali radha�ah dapat menyebabkan hubungan nasab kemahraman.

Metode� muhammad al-Ghazali dalam menentukan kadar radha�ah, didasari dengan metode kritik matan hadis yang menentukan kadar radha�ah minimal lima kali penysusuan. Ada empat langkah Muhammad al-Ghazali adalam menguji matan sebuah� hadis:pertama, pengujian dengan al-Qur�an, ke-dua, pengujian dengan Hadis, ke-tiga, pengujian dengan Sejarah, ke-empat, pengujian dengan Kebenaran fakta ilmiah.� Dalam perspektif maqasid al-syari�ah imam syatibi, pendapat muhammad al-Ghazali tidak memenuhi kriteria lima penjagaan daruriat al-Khamsah, walaupun penulis hanya menerapkan tiga kaidah saja, pertama, Hifdzun al-Din (menjaga agama), hifdzun nasl(menjaga nasab), Hifdzun aql (menjaga akal). Berdasarkan maq�shid� ada lima cara Untuk mengoperasionalkan ijtihad. Dari kelima langkah minimal dikerucutkan dua langkah pokok dalam menetukan ijtihad.pertama, ) Jalbu al-Mash�lih wa Dar�u al-Maf�sid Mutlaqa�n. ke-dua, I�tib�r al-Ma�l�t (Mempertimbangkan Akibat Suatu Hukum). mujtahid dianggap tidak cukup jika ia hanya seorang ahli hukum yang mahir terhadap tek-steks syariah secara rinci, namun ia juga dituntut cerdas terhadap karakteristik dan rahasia kejiwaan manusia dan ilmu kemasyarakatan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBILIOGRAFI

 

Abd al-Halim. (1993). al-Syaikh Muhammad al-Ghazali Marahil Azhimah fi HayahMujahid Azhim. kairo.

 

Abdul Azis Dahlan. (n.d.). Ensiklopedia Hukum Islam. jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoce.

 

Abu Husein Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi. (2000). Terjemah Shahih Muslim, (Jakarta: Pustaka Amani, cet II, 2000), 25.e. jakarta: pustaka amani.

 

Ahmad Al-Raisuni. (n.d.). Nadariy�t al-Maq�shid Inda al-Im�m al-Sh�thibi. Beirut.

 

Ahmad Sawi al-Maliki, Hasiyah al Aalmah as Shawi. (n.d.). Tafsir al-Jalalain.

 

Al-Ghazali, Muhammad. (1996). al-Sunnah al-nabawīyah bayna ahl al-fiqh. wa ahl al-hadīth. Dār al-shurūq.

 

Al-Zuhaily, Wahbah. (1989). al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu. Juz VII, Damsyiq: Dar Al-Fikr.

 

Ati, M. A. (2007). al-Maqasid al-Syar�iyyah wa Asaruha fi al-Fiqh al-Islami. Kairo: Dar Al-Hadis.

 

Bukhari, I. (1986). Sahih Bukhari.

 

Ibnu Hajar al-asqalani. (2006). bulughul maraam min adillah al-ahkam. kairo.

 

Ibnu Hammam. (n.d.). Syarh Fath al-Qadir.

 

John L. Eposito. (1995). The Modern Islamic World. new york.google scholar

 

Kholqi, Ahmad Muhammad Sa�dul. (2019). Urgensi Pengetahuan Maqashidus Syari�ah Dalam Memahami Hukum-Hukum Masalah Kontemporer. MIYAH: Jurnal Studi Islam, 13(01), 39�57.

 

Miskari, Miskari. (2019). Politik Hukum Islam Dan Maqasid Al-Syariah. Al Imarah: Jurnal Pemerintahan Dan Politik Islam, 4(1), 57�82.

 

Muhammad Abd. al-��ti. (n.d.). Al-Maq�shid al-Shar‟iyyah wa atharuh�.

 

Muhammad al-Ghazali dan Yusuf al-Qaradhawi. (2008). Metode Kontemporer Pemahaman Hadis Nabi. Yogyakrta.

 

Muhammad Bakr Ismail Habib. (n.d.). Al-Maq�sid alSyarīah al-Isl�miyyah.

 

Raisuni, Ahmad. (1992). Nadhariyyat al-Maqashid �Inda al-Imam al-Syatibi. Beirut: Al-Muassasah Al-Jami�iyyah Liddirasat Wa Al-Nasyr Wa Al-Tauzi.

Suryadi, Suryadi. (2008). Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif Muhammad al-Ghazali dan Yusuf al-Qardhawi. Yogyakarta: Teras.

 

Toriquddin, Moh. (2014). Teori Maqashid Syari�ah Perspektif Al-Syatibi. Journal de Jure, 6(1).google scholar

 

Wahbah az-Zuhaily. (n.d.). Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu.

 

Copyright holder:

Muhammad Fauzan (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: