Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 6, Juni 2022
PERILAKU
SWAMEDIKASI PADA PEROKOK DI INDONESIA
Nur
Fatimah, Prastuti Soewondo
Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Swamedikasi merupakan kegiatan dalam pemilihan dan penggunaan obat baik itu modern, herbal maupun obat tradisional
oleh seseorang untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit.
Swamedikasi juga dapat memberikan beban ekonomi ataupun kerugian kesehatan jika tidak terpantau
secara berkala. Motivasi masyarakat memilih sehingga dapat membeli obat
sendiri tanpa mempertimbangkan efektivitas dari obatnya karena
informasi yang dengan sangat
mudah. Kemudian, merokok juga perilaku yang dapat menimbulkan beban kesehatan, ekonomi, dan sosial. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran perilaku swamedikasi yang dilakukan oleh perokok di
Indonesia serta determinana
yang memperngaruhinya. Studi
ini merupakan studi kuantitatif dengan menggunakan data Sukunder Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tahun
2020. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah responden
yang merokok aktif, berusia 15 � 64 dengan mengacu pada hasil sensus penduduk 2020 persentase usia produktif, serta responden yang mengalami probabilitas dengan melakukan swamedikasi karena mengalami gangguan kesehatan. Analisis deskriptif digunakan untuk melihat prevalensi swamedikasi terhadap perokok. Selanjutnya dilakykan Analisis Regresik digunakan untuk melihat faktor
determinan yang mempengaruhi
keputusan perokok untuk melakukan swamedikasi. Hasil analisis menunjukan bahwa variable Jenis Kelamin, Pendidikan, Status
Perkawinan dan Lokasi Wilayah menunjukan
signifikasi sebesar (p=0.032)
yang berarti bahwa berpengaruh secara signifikansi terhadap swamedikasi. Sehingga dengan adanya penelitian
ini dapat menjadi advokasi untuk melakukan swamedikasi terhadap perilaku perokok.
Kata Kunci: Perokok: Swamedikasi
Abstract
Self-medication
is when a person chooses and uses medications to treat disease or symptoms of
disease, whether contemporary, herbal, or traditional. If self-medication is
not managed on a regular basis, it can become a financial burden as well as a
health risk. People's motivation to choose so that they can buy their own
medicine without considering the medicine's effectiveness because information
is readily available. Then there's the fact that smoking is a behavior that has
health, economic, and social consequences. The goal of this study is to give an
overview of smokers' self-medication behavior in Indonesia, as well as the
factors that influence it. This is a quantitative research based on secondary
data in preparation for the 2020 National Socio-Economic Survey (SUSENAS). The
criteria for membership in this study were respondents who smoked actively,
aged 15 � 64 with reference to the results of the 2020 population census, the
percentage of productive age, as well as respondents who experienced a probability
by self-medication because of health problems. Descriptive analysis was used to
see the prevalence of self-medication against smokers. Furthermore, regression
analysis was used to see the determinant factors that influence the smoker's
decision to self-medicate. The results of the analysis showed that the
variables of Gender, Education, Marital Status and Regional Location showed a
significance of (p = 0.032) which means that it has a significant effect on
self-medication. So that this research can be an advocate for self-medication
of smoking behavior.
Keywords:
Perokok, Swamedikasi
Pendahuluan
Menurut
WHO, swamedikasi atau pengobatan sendiri adalah kegiatan pemilihan dan penggunaan obat baik itu
modern, herbal maupun obat tradisional oleh seseorang untuk mengatasi penyakit atau gejala
penyakit (WHO, 1998). Swamedikasi
dinilai dari beberapa perspektif. Perspektif pertama dari sisi Public Health meliputi beberapa perilaku yang dapat meringankan beban pelayanan kesehatan formal baik dari segi
beban kegiatan maupun beban ekonomi.
Dipandang dari perspektif lain, perilaku swamedikasi pada saat sekarang tidak
terpantau serta dapat menimbulkan dampak negatif baru seperti penyakit
yang tidak teratasi hingga kemungkinan timbulnya masalah kesehatan. Menurut (WHO, 2015)
pada tahun 2015 di Indonesia diperkirakan
36% atau sekitar 60 juta pendduduk Indonesia merokok secara rutin, hal ini
berbeda dengan jumlah konsumsi rokok di negara lain yang bisa diperkiran akan menurun, tetapi di Indonesia bahkan sudah diperkirakan
oleh WHO bahwa pada tahun
2025 akan meningkat hingga 90% penduduk Indonesia menjadi perokok aktif. Jika konsumsi rokok setiap tahunnya
tidak bisa diminimalkan maka angka kematian akibat merokok di Indonesia juga akan terus meningkat.
Berbagai riset dan kajian telah membuktikan
berbagai kerugian yang timbul akibat tingginya
konsumsi rokok. Selain menjadi faktor risiko kematian
terbesar kedua di Indonesia
menurut Institute of Health Metrics and Evaluation
(IHME) pada tahun 2019, konsumsi
rokok juga meningkatkan risiko stunting dan memperparah dampak kesehatan akibat Covid-19.
Motivasi
masyarakat memilih sehingga dapat membeli obat sendiri
tanpa mempertimbangkan efektivitas dari obatnya karena informasi yang dengan sangat mudah dari iklan
di TV, etiket maupun brosur. Oleh karena itu, apoteker mempunyai
peranan penting dalam kegiatan swamedikasi (Yusrizal, 2017).
Menurut Data
dari Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) menyatakan bahwa terdapat peningkatan prevalensi merokok penduduk umur 10 Tahun dari
28,8% pada tahun 2013 menjadi
29,3% pada tahun 2018. (Kemenkes
2020) Proporsi penduduk
yang mengonsumsi tembakau (hisap dan kunyah) pada laki-laki tahun 2018 sebesar 62,9%, sedangkan pada perempuan sebesar 4,8%. Secara keseluruhan jenis kelamin rata-rata penduduk yang mengonsumsi tembakau (hisap dan kunyah) tahun 2018 sebesar 33,8%. Usia pertama kali merokok tertinggi pada usia 15-19 tahun (52,1%) dan 10-14 tahun
(23,1%). Artinya sejak usia SD dan SMP banyak remaja sudah mulai
merokok. Bahkan 2,5% sudah mulai merokok
sejak usia 5-9 tahun (Atlantas Tembakau Indonesia).
Indonesia juga diketahui
sebagai negara dengan jumlah perokok yang besar. Data yang dihimpun oleh Global
Adult Tobaco Survey (GATS) tahun
2016 (Pratiwi, 2014:2) menyatakan
bahwa Indonesia memiliki prestasi buruk di dunia yaitu sebagai negara ketiga terbesar dalam hal mengonsumsi
rokok. Data ini berdasarkan WHO (World Health Organization) yang mengatakan bahwa 4,8% dari 13 milyar konsumen rokok berasal dari Indonesia, dan diperkirakan jumlah ini akan terus
meningkat. Kristina dkk dalam penelitian nya menyebutkan bahwa biaya beban
penyakit akibat perilaku perokok pada tahun 2015 menunjukan kerugian akibat perokok di Indonesia mencapai US$
2177 Million atau 2,5% dari
total Gross Domestic Product (GDP).
Dalam
kutipan yang disarankan
oleh WHO 2020, menjelaskan bahwa
prevalensi perokok di
Indonesia adalah salah satu
yang tertinggi di dunia, dimana
62,9%. Dua pertiga anak di Indonesia terpapar asap roko orang lain di rumah dan bukti mengindikasikan bahwa paparan ini
berkontribusi pada stunting dan menghambat
terhadap perkembangan serta pertumbuhan anak-anak. Implikasi terhadap kesetaraan juga terjadi pada orang miskin menanggung
dampak kesehatan dan ekonomi yang lebih besar dari penggunaan
tembakau atau terhadap perilaku perokok di Indonesia. Sehingga menurut WHO bahwa cara yang paling efektif dan berdampak untuk mengurangi dampak kesehatan serta ekonomi terhadap perilaku perokok dan penggunaan perokok adalah dengan menerapkan
kebijakan cukai tembakau. Cukai hasil tembakau lebih tinggi yang membuat produk-produk termbakau lebih tidak terjangkau yang akan mengurangi prevalensi perokok pada semua segmen populasi.
Dan oleh karena itu, kenaikan cukai hasil tembakau merupakan sebuah kebijakan yang progresif juga untuk mendukung pembangunan sumber daya manusia yang bebas perokok.
Penelitian
de Moraes, dkk menyebutkan bahwa perokok lebih berpeluang
melakukan swamedikasi dibandingkan yang bukan perokok. Hal ini menjadi paradoks karena perokok yang sudah mengeluarkan uang untuk membeli rokok
ternyata juga lebih memilih untuk membeli
obat secara mandiri ketika mengalami gangguan kesehatan. Fenomena yang menarik adalah yang mengeluarkan uang untuk membeli rokok tersebut
khususnya di Sebagian besar
negara-negara berkembang adalah
masyarakat yang termasuk kategori miskin. Secara impact finansial sangat merugikan baik dalam kesehatan
dan ekonomi. Selain mengancam kesehatan, rokok juga memperburuk taraf sosial-ekonomi keluarga Indonesia, khususnya keluarga miskin. Berdasarkan hasil Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan
Badan Pusat Statistik (BPS) di bulan
Maret 2021, konsumsi rokok merupakan pengeluaran kedua tertinggi masyarakat miskin di perkotaan dan perdesaan setelah konsumsi beras. Dilihat dari total pengeluaran, konsumsi rokok mencapai 11,9% di perkotaan dan
11,24% di perdesaan. Angka tersebut
hanya lebih rendah dari konsumsi
beras dan bahkan lebih tinggi dibandingkan
pengeluaran untuk protein seperti daging, telur, tempe, serta
ikan. Menurut Pusat Kajian Jaminan
Sosial (PKJS) Universitas Indonesia, 1% peningkatan pengeluaran untuk rokok juga meningkatkan kemungkinan rumah tangga menjadi
miskin sebesar 6%.
Penelitian
mengenai swamedikasi terhadap populasi Perokok di Indonesia sudah pernah ada yang melakukan analisis, tetapi melalui proporsi terbesar dalam belanja rumah
tangga (SUSENAS, 2017). Penelitian
ini bertujuan untuk melihat bagaimana
implementasi serta besaran gambaran Swamedikasi di populasi SUSENAS
2020 terhadap masyarakat
yang merokok di Indonesia dan determinan
yang memengaruhi perilaku perokok. Serta menjadi evaluasi apakah tingkat swamedikasi terhadap perilaku perokok pada tahun 2020 masih menunjukan prevalensi yang tinggi, sehingga penelitian ini dapat digunakan
menjadi advokasi oleh instansi yang berwenang dalam mempertimbangkan impact kedepan. �
Penelitian
ini merupakan penelitian kuantitatif yang menggunakan pendekatan ekonometrik dengan menganalisis data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun
2020. SUSENAS merupakan survei
tahunan yang dilakukan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS) untuk
mengumpulkan data demografi,
sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia.
Variabel
yang digunakan dalam penelitian merujuk pada jawaban pertanyaan kuesioner VSEN20. K. Kuesioner ini berisi pertanyaan
tentang keterangan pokok anggota rumah
tangga atau tiap individu dalam
rumah tangga. Variabel-variabel dalam penelitian ini dibentuk dari jawaban
pertanyaan yang terdapat
pada kuesioner tersebut. Hubungan antara variabel dependen merupakan keputusan melakukan swamedikasi dan variabel independen (faktor�faktor yang memengaruhi perilaku swamedikasi pada perilaku perokok). Sehingga dapat disimpulkan melalui persamaan berikut:
Yi (keputusan perokok dalam swamedikasi)
= β0 + + β1 Jenis Kelamin
+ β2 Status perkawinan + β3 Pendidikan +
Lokasi Wilayah + e
(Persamaan 1)
Analisis
data SUSENAS yang dilakukan dengan
menggunakan metode Two
Stage One Phase Stratified Sampling yang dilakukan
bedasarkan 34 provinsi dengan jumlah ukuran
sampel 345.000 rumah tangga yang tersebar dari 514 kabupaten/kota.
Kriteria
inklusi dalam penelitian ini adalah responden yang merokok aktif, berusia 15 � 64 dengan mengacu pada hasil sensusn penduduk 2020 persentase usia produktif, serta responden yang mengalami probabilitas dengan melakukan swamedikasi karena mengalami gangguan kesehatan.
Kriteria
ekslusi adalah responden yang tidak lengkap dalam pengisian
jawaban quisoner sehingga tidak tercantum dalam survei yang menyebabkan missing
data.
Analisis
data menggunakan analisi deskriptif untuk menggambarkan proporsi dari prevalensi perokok dalam melakukan
swamedikasi dan distribusi responden bedasarkan variable
interest dalam penelitian. Dilanjutka dengan analisis regresi logistic untuk menentukan variable determinan yang mempengaruhi keputusan perokok untuk melakukan swamedikasi Ketika responden mengalami ganguuan kesehatan. Pengelolaan data penelitian ini menggunakan software STATA MP 16.
Hasil dan Pembahasan
Dari target 345.000 sampel rumah tangga, hanya
334.229 sampel rumah tangga yang dapat diolah. Responden yang termasuk dalam kriketria inklusi sebesar 234,951 orang. Distribusi karakteristik variable
dapat di lihat pada Tabel. 1
Tabel 1
Distribusi Responden Bedasarkan Variabel Penelitian
Variabel |
N
= 206,533 |
Persentase |
Perilaku Swamedikasi |
|
|
��� Tidak Melakukan Swamedikasi |
43,221 |
75.10 |
��� Melakukan Swamedikasi |
14,334�� |
24.90 |
Jenis Kelamin� |
|
|
�� Laki-laki |
164,932������ |
49.35 |
Perempuan |
69,297���� �� |
50.65 |
Tingkat Pendidikan |
|
|
� Rendah |
169,683������ |
85.17 |
� Tinggi |
29,540����� |
14.83 |
Status Perkawinan |
|
|
� Belum Menikah |
56,938 |
27.57 |
� Menikah |
149,595 |
72.43 |
Wilayah Daerah |
|
|
� Kota |
137,862 |
41.25 |
� Desa |
196,367����� |
58.75 |
Bedasarkan Tabel.1 bahwa responden
yang memilih melakukan swamedikasi sebesar 24.90
lebih kecil dari yang tidak melakukan swamedikasi Ketika mengalami sakit. Responden yang bertempat tinggal di desa lebih banyak daripada
responden di kota. Bedasarkan jenis kelamin laki-laki lebih dominan dalam
perokok dibandingkan Wanita
sebesar 164,932.
����������� Responden Pendidikan rendah merupakan akumulasi dari SD, SMP, SMA sehingga dalam penelitian ini adalah lebih
banyak responden yang berpendidikan rendah dibandingkan dengan responden yang di Perguruan
Tinggi. Ditinjau dari
status perkawinan respoden dalam penelitian ini lebih banyak
responden yang Menikah dengan persentasi sebesar 72,43 %.
Tabel 2
Hasil Regresi Logistik Determinan Perilaku Swamedikasi
Variabel |
Coef |
OR |
p |
Jenis Kelamin |
|
|
|
�� Laki-laki |
0.1354 |
1.145 |
0.056 |
�� Perempuan (Ref) |
|
|
|
Tingkat Pendidikan |
|
|
|
�� Rendah (Ref) |
|
|
|
�� Tinggi |
-0.0819 |
0.9213 |
0.007 |
Status Perkawinan |
|
|
|
�� Belum Menikah
(Ref) |
|
|
|
�� Menikah |
-0.0499 |
0.9512 |
0.066 |
Wilayah Daerah |
|
|
|
�� Kota |
-0.0769 |
0.9259 |
0.000 |
�� Desa (Ref) |
|
|
|
Konstanta Prob > chi2 Pseudo R2 |
1.1765 0.00088 19,00% |
3.2431 |
0.032 |
Hasil uji regresi logistic menunjukan bahwa semua kovariat
(variable independent) secara Bersama-sama memiliki hubunagan
yang signifikansi pada keputusan
melakukan swamedikasi dimana nilai p=0.032 �
����������� Kovariat dari
faktor independent yang digunakan
dalam penelitian ini dapat menjelaskan
variable independent nya sebesar
19,0% (Pseudo r2=0.19). Bedasarkan semua variable yang di teliti dalam penelitian ini berpengaruh secara signifikansi terhadap keputusan melakukan swamedikasi.
����������� Kondisi lokasi
wilayah juga mempengaruh, dimana
responden yang bertempat tinggal di kota akan lebih berpeluang
tidak melakukan swamedikasi dibandingkan dengan responden yang berlokasi di wilayah pedesaan.
Hasil analisis juga menunjukan
bahawa semakin tinggi Pendidikan responden perokok semakin tidak berpeluang untuk melakukan swamedikasi.
����������� Responden perokok
laki-laki akan lebih berpeluang dibandingkan dengan responden perempuan. Serta dari hasil analisis
juga di sebutkan bahwa, perokok yang sudah kawin akan lebih
berpeluang melakukan swamedikasi dibandingkan belum kawin.
Bedasarkan
hasil analisis logistik pada Tabel.2 menjelaskan
bahwa pengguna rokok di Indonesia terhadap swamedikasi memiliki hubungan yang signifikan dengan jelas kelamin
dimana probabilitas laki-laki lebin besar serta peluang
pada laki-laki lebih besar 1,1 kali dibandingkan dengan perempuan. Laki-laki menggunakan rokok elektrik dengan tujuan untuk
mendapatkan kenikmatan terhadap rasa, fasilitas social
dan tambahan energy. Studi lainnya yang dilakukan di
Surabaya dan semarang juga menunjukan
bahwa prevalensi perokok elektrik adalah laki-laki (Damayanti, 2016).
Menurut Suka Direja 2021, dalam penelitian nya dijelaskan bahwa jenis kelamin laki-laki
sebesar 20,31% merokok setiap hari, ini
disebabkan seolah menegaskan stereotip yang diyakini masyarakat bahwa Sebagian besar laki-laki dengan status berteman dengan perokok dan mendapatkan dukungan baik untuk
melakukan perilaku merokok. Dengan kondisi lain, bahwa
perempuan dan rokok dianggap hal yang menyalahi norma dan mengingkari kodrat sebagai perempuan. Pada penelitian yang dilakukan (Liu, Wu, Hu, & Hung, 2017),
ditemukan diantara laki-laki dan perempuan, laki-laki lebih tinggi mengeluarkan biaya terkait medis
akibat biaya rawat jalan dan rawat inap yang dilakukan karena pengidap strok, dibandingkan perempuan. Selain itu, tingkat
mortalitas lakilaki juga lebih tinggi dibandingkan
perempuan. Penelitian oleh (Casetta et al., 2017)
menyebutkan penelitian oleh
Lopez dan kawan-kawan pada tahun
1990 memiliki hasil bahwa adanya kecenderungan
kebiasaan merokok yang lebih lambat pada wanita daripada pria sehingga hal
tersebut menunda terjadinya risiko mortalitas akibat penurunan kesehatan.
Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa proporsi terbesar yang memiliki probabilitas melakukan swamedikasi dalah responden yang hanya memiliki tingkat pendidikan dasar atau rendah. Dalam
penelitian ini untuk Pendidikan rendah adalah SD, SMP dan SMA. Selanjutnya,
semakin tinggi tingkat pendidikan probabilitas melakukan swamedikasi semakin menurun. Tingkat pengetahuan dan tingkat literasi merupakan determinan penting yang memegaruhi perilaku kesehatan. Delaney menyatakan bahwa perokok yang memilki tingkat pendidikan rendah menganggap bahwa perilaku merokok tidak berbahaya
terhadap kesehatan. Kelompok yang sama juga memiliki tingkat kesadaran yang rendah dalam memanfaatkan pelayanan Kesehatan (Delaney, 2017).
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Maria yang menyebutkan
bahwa terdapatnya hubungan antara tingkat pendidikan dengan prevalensi perokok, yang mana tingkat pendidikan rendah memiliki prevalensi perokok yang lebih tinggi dibanding kelompok pendidikan lainnya. Sejalan dengan hal itu,
penelitian yang dilakukan
oleh Sukma menunjukkan adanya hubungan dan kecenderungan seseorang untuk merokok yang menurun pada tingkat pendidikan yang semakin tinggi. Hal tersebut memang sesuai dengan
teori yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan
sebagai salah satu faktor sosio-kultural dan memengaruhi perilaku merokok pada seseorang. Menurut Notoatmodjo, bahwa status Pendidikan rendah adalah kondisi pengetahuan dan pemahaman tentang swamedikasi daoat terjadi apabila
proses pemberian edukasi yakni melalui Pendidikan kesehatan maupun di fasilitas kesehatan. Sehingga strategi yang bisa dilakukan dalam kasus swamedikasi dalam perilaku perokok dengan bekerja sama dengan
stekholder instansi
Pendidikan untuk memberikan
kesehatan dalam upaya peningkatan pemahaman masyarakat mengenai swamedikasi khusunya terhadap perilaku perokok. Menurut Figueiras, semakin terdidik seseorang, maka orang tersebut akan memiliki
kepercayaan diri lebih dalam mendiagnosis
diri dan melakukan pengobatan sendiri dan kurang kepercayaan di dokter, terutama dengan adanya kelainan
akut,dan mereka
lebih mampu memilih yang obat yang sesuai untuk memperhatikan
gejala mereka. Sedangkan orang yang kurang berpendidikan lebih memilih konsultasi medis untuk menangani
keluhannya karena kurangnya pengetahuan tentang obat-obatan (Figueiras, Caama�o and Gestal-Otero, 2000). Latar belakang pendidikan kesehatan cenderung lebih memilih swamedikasi
dibandingkan dengan pasien dengan latar
belakang pendidikan non kesehatan (p=0,016). Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Helal
dan Albou-Elwafa yang menunjukkan
bahwa mahasiswa dengan latar belakang
pendidikan kesehatan memiliki kecenderungan swamedikasi yang lebih tinggi dibandingkan mahaswa non kesehatan (OR 2,2 dengan CI 95% 1,6-2,9). Hal ini ini dapat pula dikaitkan dengan tingkat pengetahuan mengenai obat-obatan yang lebih banyak pada pasien dari latar
belakang pendidikan non-kesehatan, terkait dengan informasi mengenai obat-obatan yang mungkin diperoleh di bangku Pendidikan (Helal & Abou-ElWafa, 2017).
Status perkawinan
disebut dapat memengaruhi perilaku kesehatan terkait dengan kebiasaan keluarga. Hasil Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menyebutkan
bahwa sebanyak 35,2% keluarga menyimpan obat untuk digunakan
kembali secara
Bersama.� Kebiasaan
menyimpan obat untuk dipergunakan oleh anggota keluarga lain memperbesar peluang untuk melakukan swamedikasi. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Via Dolorosa Halilinta,
2020 menggunakan data SUSENAS 2017 menunjukan bahwa semakin tinggi Pendidikan seseorang akan semakin tinggi kemungkinan untuk melakukan swamedikasi pada perokok. Hasil studi ini menunjukkabn bahwa di Indonesia, pendidkan menengah dan pendidikan tinggi memiliki probabilitas yang lebih besar terhadap merokok elektrik dibandingkan dengan pendidikan rendah. Ketiga kelompok pendidikan menjelaskan bahwa mayoritas alasan penggunakan rokok elektrik adalah dikarenakan rokok elektrik sama bahayanya dengan rokok tembakau.
Berbeda dengan studi yang dilakukan di Hawai mengindikasikan bahwa pendidikan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan penggunaan rokok elektrik. Beberapa studi di Indonesia pun menunjukkan bahwa mayoritas pengguna rokok elektrik adalah orang yang memiliki pendidikan tinggi (Istiqomah, Cahyo, & Indraswari, 2016).
Hasil penelitian Kaushal dkk.,
(2012) menunjukkan bahwa ibu rumah tangga
melakukan swamedikasi didasari oleh resep sebelumnya 49%, iklan di koran dan televisi 26%, informasi dari teman 17%, dan lain-lain 8%. Hasil penelitian
Ahmed dkk. (2014) menunjukkan
bahwa sumber yang paling umum dari informasi
untuk melakukan pengobatan sendiri adalah saran dari keluarga, teman, dan tetangga. Hal ini didukung juga oleh penelitian
yang dilakukan Setyawati
(2012), menjelaskan bahwa pemilihan obat analgetik antipiretik pada masyarakat di Kelurahan Pondok Karanganom Klaten salah satunya didasari oleh adanya informasi tentang obat analgetik antipiretik dapat diperoleh dari iklan media massa sebesar 84%, pengalaman teman/keluarga 14%, petugas kesehatan 0% dan leaflet/kemasan obat 2%.
Bedasarkan
hasil analisis, bahwa wilayah lokasi tempat tinggal juga menunjukan pengaruh terhadap swamedikasi. Ini dikarenakan bahwa wilayah di desa kurang terjangkau nya fasilitas pelayanan
kesehatan, kemudian kurang nya SDM di pedesaan untuk memenuhi pelayanan kesehatan, sehingga memilih untuk melakukan
swamedikasi. Berbeda dengan hasil yang di lakukan oleh Via Dolorosa Halilinta,
2020 bahwa perokok yang bertempat di kota lebih berpeluang tidak melakukan swamedikasi. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan ketersediaan sarana pelayanan kesehatan dan sarana transportasi menuju fasilitas kesehatan formal. Penelitian yang dilakukan oleh Fu
et al., (2014) juga menyebutkan bahwa
individu yang tinggal di perkotaan memiliki pengeluaran medis yang lebih tinggi dibandingkan
dengan yang tinggal di pedesaan. Perbedaan ini dapat disebabkan
karena ketersediaan teknologi intensif spesialisasi yang lebih canggih di layanan medis perkotaan, hal ini jelas
akan memengaruhi jumlah biaya yang dikeluarkan ketika individu memeriksakan kesehatannya. Selain itu, di daerah perkotaan lebih banyak sumber daya
medis yang dialokasikan dibandingkan dengan di pedesaan, hal ini
juga dapat mengakibatkan ketidak seimbangan pemanfaatan layanan kesehatan antara penduduk kota dan desa karena masyarakat
pedesaan yang miskin tidak mampu untuk membayar
biaya pengobatan yang
mahal. Masyarakat kota juga cenderung
lebih banyak dan rutin melakukan berbagai pemeriksaan kesehatan, seperti tes laboratorium untuk pemeriksaan kesehatan umum dibandingkan dengan masyarakat pedesaan. Proporsi swamedikasi yang tinggi di pedesaan umumnya karena kurangnya fasilitas kesehatan dan faktor ekonomi (Aqeel dkk., 2014). Dijelaskan oleh Lawrence Green dalam
(Notoatmodjo, 2003) bahwa perilaku itu sendiri
dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu faktor predisposisi
yang terwujud dalam bentuk (pengetahuan, nilai, sikap, dan persepsi yang berhubungan dengan motivasi individu ataupun kelompok dalam masyarakat, ada faktor pendukung seperti lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya
fasilitas kesehatan misalnya puskesmas, obat-obatan, sekolah kesehatan. faktor pendorong yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang termasuk dalam kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
Kesimpulan
Bedasarkan
hasil analisis pada responden yang merokok dari data SUSENAS 2020, perilaku swamediasi terjadi banyak pada perokok. Variable
yang di ambil dalam penelitian ini juga menunjukan bahwa adanya pengaruh dalam terwujudkan swamedikasi. Dibuktikan dengan semua variable dalam hasil analisis
Logistik menunjukan nilai p=0.032. sehinggan penelitian ini dapat menjadi masukan
terhadap stakeholder yang berwenang
untuk memberikan perhatian yang khusus terhadap perokok agar tidak dengan mudah
melakukan swamedikasi. Perlunya diberikan edukasi dan informasi yang berkala mengenai dampak yang akan terjadi terhadap perilaku merokok yang merugikan baik dari segi ekonomi
dan kesehatan, serta memberikan edukasi yang terarah untuk mengatasi
kesembuhan bagi penderita gangguan kesehatan.
Casetta, Brunilda, Videla, Alejandro J., Bardach, Ariel,
Morello, Paola, Soto, Natalie, Lee, Kelly, Camacho, Paul Anthony, Hermoza
Moquillaza, Rocio Victoria, & Ciapponi, Agust�n. (2017). Association
between cigarette smoking prevalence and income level: a systematic review and
meta-analysis. Nicotine & Tobacco Research, 19(12), 1401�1407.
Google Scholar
Damayanti, Apsari. (2016). Penggunaan rokok elektronik di
komunitas personal vaporizer Surabaya. Jurnal Berkala Epidemiologi, 4(2),
250�261. Google Scholar
Delaney, Lori. (2017). The impact of smoking on healthcare
provision. International Journal of Nursing and Clinical Practices, 4,
Article-number. Google Scholar
Helal, R. M., & Abou-ElWafa, H. S. (2017). Self-medication
in university students from the city of Mansoura, Egypt. Journal of
Environmental and Public Health, 2017. Google Scholar
Istiqomah, Delima Rahayu, Cahyo, Kusyogo, & Indraswari,
Ratih. (2016). Gaya Hidup Komunitas Rokok Elektrik Semarang Vaper Corner. Jurnal
Kesehatan Masyarakat (Undip), 4(2), 203�212.
Google Scholar
Liu, Chun Ting, Wu, Bei Yu, Hu, Wen Long, & Hung, Yu
Chiang. (2017). Gender-based differences in mortality and complementary therapies
for patients with stroke in Taiwan. Complementary Therapies in Medicine,
30, 113�117. Google Scholar
WHO. (2015). The Millenium Development Gols for Health.
Jakarta : World Health Organitation.
Yusrizal, Yusrizal. (2017). Gambaran Penggunaan Obat Dalam
Upaya Swamedikasi Pada Pengunjung Apotek Pandan Kecamatan Jati Agung Kabupaten
Lampung Selatan Tahun 2014. Jurnal Analis Kesehatan, 4(2), 446�449. Google Scholar
Copyright
holder: Nur Fatimah, Prastuti
Soewondo (2022) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |