Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 6, Juni 2022

 

PERILAKU SWAMEDIKASI PADA PEROKOK DI INDONESIA

 

Nur Fatimah, Prastuti Soewondo

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Swamedikasi merupakan kegiatan dalam pemilihan dan penggunaan obat baik itu modern, herbal maupun obat tradisional oleh seseorang untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit. Swamedikasi juga dapat memberikan beban ekonomi ataupun kerugian kesehatan jika tidak terpantau secara berkala. Motivasi masyarakat memilih sehingga dapat membeli obat sendiri tanpa mempertimbangkan efektivitas dari obatnya karena informasi yang dengan sangat mudah. Kemudian, merokok juga perilaku yang dapat menimbulkan beban kesehatan, ekonomi, dan sosial. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran perilaku swamedikasi yang dilakukan oleh perokok di Indonesia serta determinana yang memperngaruhinya. Studi ini merupakan studi kuantitatif dengan menggunakan data Sukunder Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tahun 2020. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah responden yang merokok aktif, berusia 15 � 64 dengan mengacu pada hasil sensus penduduk 2020 persentase usia produktif, serta responden yang mengalami probabilitas dengan melakukan swamedikasi karena mengalami gangguan kesehatan. Analisis deskriptif digunakan untuk melihat prevalensi swamedikasi terhadap perokok. Selanjutnya dilakykan Analisis Regresik digunakan untuk melihat faktor determinan yang mempengaruhi keputusan perokok untuk melakukan swamedikasi. Hasil analisis menunjukan bahwa variable Jenis Kelamin, Pendidikan, Status Perkawinan dan Lokasi Wilayah menunjukan signifikasi sebesar (p=0.032) yang berarti bahwa berpengaruh secara signifikansi terhadap swamedikasi. Sehingga dengan adanya penelitian ini dapat menjadi advokasi untuk melakukan swamedikasi terhadap perilaku perokok.

 

Kata Kunci: Perokok: Swamedikasi

 

Abstract

Self-medication is when a person chooses and uses medications to treat disease or symptoms of disease, whether contemporary, herbal, or traditional. If self-medication is not managed on a regular basis, it can become a financial burden as well as a health risk. People's motivation to choose so that they can buy their own medicine without considering the medicine's effectiveness because information is readily available. Then there's the fact that smoking is a behavior that has health, economic, and social consequences. The goal of this study is to give an overview of smokers' self-medication behavior in Indonesia, as well as the factors that influence it. This is a quantitative research based on secondary data in preparation for the 2020 National Socio-Economic Survey (SUSENAS). The criteria for membership in this study were respondents who smoked actively, aged 15 � 64 with reference to the results of the 2020 population census, the percentage of productive age, as well as respondents who experienced a probability by self-medication because of health problems. Descriptive analysis was used to see the prevalence of self-medication against smokers. Furthermore, regression analysis was used to see the determinant factors that influence the smoker's decision to self-medicate. The results of the analysis showed that the variables of Gender, Education, Marital Status and Regional Location showed a significance of (p = 0.032) which means that it has a significant effect on self-medication. So that this research can be an advocate for self-medication of smoking behavior.

 

Keywords: Perokok, Swamedikasi

 

Pendahuluan

Menurut WHO, swamedikasi atau pengobatan sendiri adalah kegiatan pemilihan dan penggunaan obat baik itu modern, herbal maupun obat tradisional oleh seseorang untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit (WHO, 1998). Swamedikasi dinilai dari beberapa perspektif. Perspektif pertama dari sisi Public Health meliputi beberapa perilaku yang dapat meringankan beban pelayanan kesehatan formal baik dari segi beban kegiatan maupun beban ekonomi. Dipandang dari perspektif lain, perilaku swamedikasi pada saat sekarang tidak terpantau serta dapat menimbulkan dampak negatif baru seperti penyakit yang tidak teratasi hingga kemungkinan timbulnya masalah kesehatan. Menurut (WHO, 2015) pada tahun 2015 di Indonesia diperkirakan 36% atau sekitar 60 juta pendduduk Indonesia merokok secara rutin, hal ini berbeda dengan jumlah konsumsi rokok di negara lain yang bisa diperkiran akan menurun, tetapi di Indonesia bahkan sudah diperkirakan oleh WHO bahwa pada tahun 2025 akan meningkat hingga 90% penduduk Indonesia menjadi perokok aktif. Jika konsumsi rokok setiap tahunnya tidak bisa diminimalkan maka angka kematian akibat merokok di Indonesia juga akan terus meningkat. Berbagai riset dan kajian telah membuktikan berbagai kerugian yang timbul akibat tingginya konsumsi rokok. Selain menjadi faktor risiko kematian terbesar kedua di Indonesia menurut Institute of Health Metrics and Evaluation (IHME) pada tahun 2019, konsumsi rokok juga meningkatkan risiko stunting dan memperparah dampak kesehatan akibat Covid-19.

Motivasi masyarakat memilih sehingga dapat membeli obat sendiri tanpa mempertimbangkan efektivitas dari obatnya karena informasi yang dengan sangat mudah dari iklan di TV, etiket maupun brosur. Oleh karena itu, apoteker mempunyai peranan penting dalam kegiatan swamedikasi (Yusrizal, 2017). Menurut Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menyatakan bahwa terdapat peningkatan prevalensi merokok penduduk umur 10 Tahun dari 28,8% pada tahun 2013 menjadi 29,3% pada tahun 2018. (Kemenkes 2020) Proporsi penduduk yang mengonsumsi tembakau (hisap dan kunyah) pada laki-laki tahun 2018 sebesar 62,9%, sedangkan pada perempuan sebesar 4,8%. Secara keseluruhan jenis kelamin rata-rata penduduk yang mengonsumsi tembakau (hisap dan kunyah) tahun 2018 sebesar 33,8%. Usia pertama kali merokok tertinggi pada usia 15-19 tahun (52,1%) dan 10-14 tahun (23,1%). Artinya sejak usia SD dan SMP banyak remaja sudah mulai merokok. Bahkan 2,5% sudah mulai merokok sejak usia 5-9 tahun (Atlantas Tembakau Indonesia).

Indonesia juga diketahui sebagai negara dengan jumlah perokok yang besar. Data yang dihimpun oleh Global Adult Tobaco Survey (GATS) tahun 2016 (Pratiwi, 2014:2) menyatakan bahwa Indonesia memiliki prestasi buruk di dunia yaitu sebagai negara ketiga terbesar dalam hal mengonsumsi rokok. Data ini berdasarkan WHO (World Health Organization) yang mengatakan bahwa 4,8% dari 13 milyar konsumen rokok berasal dari Indonesia, dan diperkirakan jumlah ini akan terus meningkat. Kristina dkk dalam penelitian nya menyebutkan bahwa biaya beban penyakit akibat perilaku perokok pada tahun 2015 menunjukan kerugian akibat perokok di Indonesia mencapai US$ 2177 Million atau 2,5% dari total Gross Domestic Product (GDP).

Dalam kutipan yang disarankan oleh WHO 2020, menjelaskan bahwa prevalensi perokok di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia, dimana 62,9%. Dua pertiga anak di Indonesia terpapar asap roko orang lain di rumah dan bukti mengindikasikan bahwa paparan ini berkontribusi pada stunting dan menghambat terhadap perkembangan serta pertumbuhan anak-anak. Implikasi terhadap kesetaraan juga terjadi pada orang miskin menanggung dampak kesehatan dan ekonomi yang lebih besar dari penggunaan tembakau atau terhadap perilaku perokok di Indonesia. Sehingga menurut WHO bahwa cara yang paling efektif dan berdampak untuk mengurangi dampak kesehatan serta ekonomi terhadap perilaku perokok dan penggunaan perokok adalah dengan menerapkan kebijakan cukai tembakau. Cukai hasil tembakau lebih tinggi yang membuat produk-produk termbakau lebih tidak terjangkau yang akan mengurangi prevalensi perokok pada semua segmen populasi. Dan oleh karena itu, kenaikan cukai hasil tembakau merupakan sebuah kebijakan yang progresif juga untuk mendukung pembangunan sumber daya manusia yang bebas perokok.

Penelitian de Moraes, dkk menyebutkan bahwa perokok lebih berpeluang melakukan swamedikasi dibandingkan yang bukan perokok. Hal ini menjadi paradoks karena perokok yang sudah mengeluarkan uang untuk membeli rokok ternyata juga lebih memilih untuk membeli obat secara mandiri ketika mengalami gangguan kesehatan. Fenomena yang menarik adalah yang mengeluarkan uang untuk membeli rokok tersebut khususnya di Sebagian besar negara-negara berkembang adalah masyarakat yang termasuk kategori miskin. Secara impact finansial sangat merugikan baik dalam kesehatan dan ekonomi. Selain mengancam kesehatan, rokok juga memperburuk taraf sosial-ekonomi keluarga Indonesia, khususnya keluarga miskin. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) di bulan Maret 2021, konsumsi rokok merupakan pengeluaran kedua tertinggi masyarakat miskin di perkotaan dan perdesaan setelah konsumsi beras. Dilihat dari total pengeluaran, konsumsi rokok mencapai 11,9% di perkotaan dan 11,24% di perdesaan. Angka tersebut hanya lebih rendah dari konsumsi beras dan bahkan lebih tinggi dibandingkan pengeluaran untuk protein seperti daging, telur, tempe, serta ikan. Menurut Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia, 1% peningkatan pengeluaran untuk rokok juga meningkatkan kemungkinan rumah tangga menjadi miskin sebesar 6%.

Penelitian mengenai swamedikasi terhadap populasi Perokok di Indonesia sudah pernah ada yang melakukan analisis, tetapi melalui proporsi terbesar dalam belanja rumah tangga (SUSENAS, 2017). Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana implementasi serta besaran gambaran Swamedikasi di populasi SUSENAS 2020 terhadap masyarakat yang merokok di Indonesia dan determinan yang memengaruhi perilaku perokok. Serta menjadi evaluasi apakah tingkat swamedikasi terhadap perilaku perokok pada tahun 2020 masih menunjukan prevalensi yang tinggi, sehingga penelitian ini dapat digunakan menjadi advokasi oleh instansi yang berwenang dalam mempertimbangkan impact kedepan. �

 

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang menggunakan pendekatan ekonometrik dengan menganalisis data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2020. SUSENAS merupakan survei tahunan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mengumpulkan data demografi, sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia.

Variabel yang digunakan dalam penelitian merujuk pada jawaban pertanyaan kuesioner VSEN20. K. Kuesioner ini berisi pertanyaan tentang keterangan pokok anggota rumah tangga atau tiap individu dalam rumah tangga. Variabel-variabel dalam penelitian ini dibentuk dari jawaban pertanyaan yang terdapat pada kuesioner tersebut. Hubungan antara variabel dependen merupakan keputusan melakukan swamedikasi dan variabel independen (faktor�faktor yang memengaruhi perilaku swamedikasi pada perilaku perokok). Sehingga dapat disimpulkan melalui persamaan berikut:

Yi (keputusan perokok dalam swamedikasi) = β0 + + β1 Jenis Kelamin + β2 Status perkawinan + β3 Pendidikan + Lokasi Wilayah + e

(Persamaan 1)

Analisis data SUSENAS yang dilakukan dengan menggunakan metode Two Stage One Phase Stratified Sampling yang dilakukan bedasarkan 34 provinsi dengan jumlah ukuran sampel 345.000 rumah tangga yang tersebar dari 514 kabupaten/kota.

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah responden yang merokok aktif, berusia 15 � 64 dengan mengacu pada hasil sensusn penduduk 2020 persentase usia produktif, serta responden yang mengalami probabilitas dengan melakukan swamedikasi karena mengalami gangguan kesehatan.

Kriteria ekslusi adalah responden yang tidak lengkap dalam pengisian jawaban quisoner sehingga tidak tercantum dalam survei yang menyebabkan missing data.

Analisis data menggunakan analisi deskriptif untuk menggambarkan proporsi dari prevalensi perokok dalam melakukan swamedikasi dan distribusi responden bedasarkan variable interest dalam penelitian. Dilanjutka dengan analisis regresi logistic untuk menentukan variable determinan yang mempengaruhi keputusan perokok untuk melakukan swamedikasi Ketika responden mengalami ganguuan kesehatan. Pengelolaan data penelitian ini menggunakan software STATA MP 16.

 

Hasil dan Pembahasan

Dari target 345.000 sampel rumah tangga, hanya 334.229 sampel rumah tangga yang dapat diolah. Responden yang termasuk dalam kriketria inklusi sebesar 234,951 orang. Distribusi karakteristik variable dapat di lihat pada Tabel. 1

 

Tabel 1

Distribusi Responden Bedasarkan Variabel Penelitian

Variabel

N = 206,533

Persentase

Perilaku Swamedikasi

 

 

��� Tidak Melakukan Swamedikasi

43,221

75.10

��� Melakukan Swamedikasi

14,334��

24.90

Jenis Kelamin�

 

 

�� Laki-laki

164,932������

49.35

Perempuan

69,297���� ��

50.65

Tingkat Pendidikan

 

 

� Rendah

169,683������

85.17

� Tinggi

29,540�����

14.83

Status Perkawinan

 

 

� Belum Menikah

56,938

27.57

� Menikah

149,595

72.43

Wilayah Daerah

 

 

� Kota

137,862

41.25

� Desa

196,367�����

58.75

 

Bedasarkan Tabel.1 bahwa responden yang memilih melakukan swamedikasi sebesar 24.90 lebih kecil dari yang tidak melakukan swamedikasi Ketika mengalami sakit. Responden yang bertempat tinggal di desa lebih banyak daripada responden di kota. Bedasarkan jenis kelamin laki-laki lebih dominan dalam perokok dibandingkan Wanita sebesar 164,932.

����������� Responden Pendidikan rendah merupakan akumulasi dari SD, SMP, SMA sehingga dalam penelitian ini adalah lebih banyak responden yang berpendidikan rendah dibandingkan dengan responden yang di Perguruan Tinggi. Ditinjau dari status perkawinan respoden dalam penelitian ini lebih banyak responden yang Menikah dengan persentasi sebesar 72,43 %.

 

Tabel 2

Hasil Regresi Logistik Determinan Perilaku Swamedikasi

Variabel

Coef

OR

p

Jenis Kelamin

 

 

 

�� Laki-laki

0.1354

1.145

0.056

�� Perempuan (Ref)

 

 

 

Tingkat Pendidikan

 

 

 

�� Rendah (Ref)

 

 

 

�� Tinggi

-0.0819

0.9213

0.007

Status Perkawinan

 

 

 

�� Belum Menikah (Ref)

 

 

 

�� Menikah

-0.0499

0.9512

0.066

Wilayah Daerah

 

 

 

�� Kota

-0.0769

0.9259

0.000

�� Desa (Ref)

 

 

 

Konstanta

Prob > chi2

Pseudo R2

1.1765

0.00088

19,00%

3.2431

0.032

 

Hasil uji regresi logistic menunjukan bahwa semua kovariat (variable independent) secara Bersama-sama memiliki hubunagan yang signifikansi pada keputusan melakukan swamedikasi dimana nilai p=0.032 �

����������� Kovariat dari faktor independent yang digunakan dalam penelitian ini dapat menjelaskan variable independent nya sebesar 19,0% (Pseudo r2=0.19). Bedasarkan semua variable yang di teliti dalam penelitian ini berpengaruh secara signifikansi terhadap keputusan melakukan swamedikasi.

����������� Kondisi lokasi wilayah juga mempengaruh, dimana responden yang bertempat tinggal di kota akan lebih berpeluang tidak melakukan swamedikasi dibandingkan dengan responden yang berlokasi di wilayah pedesaan. Hasil analisis juga menunjukan bahawa semakin tinggi Pendidikan responden perokok semakin tidak berpeluang untuk melakukan swamedikasi.

����������� Responden perokok laki-laki akan lebih berpeluang dibandingkan dengan responden perempuan. Serta dari hasil analisis juga di sebutkan bahwa, perokok yang sudah kawin akan lebih berpeluang melakukan swamedikasi dibandingkan belum kawin.

 

Pembahasan

Bedasarkan hasil analisis logistik pada Tabel.2 menjelaskan bahwa pengguna rokok di Indonesia terhadap swamedikasi memiliki hubungan yang signifikan dengan jelas kelamin dimana probabilitas laki-laki lebin besar serta peluang pada laki-laki lebih besar 1,1 kali dibandingkan dengan perempuan. Laki-laki menggunakan rokok elektrik dengan tujuan untuk mendapatkan kenikmatan terhadap rasa, fasilitas social dan tambahan energy. Studi lainnya yang dilakukan di Surabaya dan semarang juga menunjukan bahwa prevalensi perokok elektrik adalah laki-laki (Damayanti, 2016). Menurut Suka Direja 2021, dalam penelitian nya dijelaskan bahwa jenis kelamin laki-laki sebesar 20,31% merokok setiap hari, ini disebabkan seolah menegaskan stereotip yang diyakini masyarakat bahwa Sebagian besar laki-laki dengan status berteman dengan perokok dan mendapatkan dukungan baik untuk melakukan perilaku merokok. Dengan kondisi lain, bahwa perempuan dan rokok dianggap hal yang menyalahi norma dan mengingkari kodrat sebagai perempuan. Pada penelitian yang dilakukan (Liu, Wu, Hu, & Hung, 2017), ditemukan diantara laki-laki dan perempuan, laki-laki lebih tinggi mengeluarkan biaya terkait medis akibat biaya rawat jalan dan rawat inap yang dilakukan karena pengidap strok, dibandingkan perempuan. Selain itu, tingkat mortalitas lakilaki juga lebih tinggi dibandingkan perempuan. Penelitian oleh (Casetta et al., 2017) menyebutkan penelitian oleh Lopez dan kawan-kawan pada tahun 1990 memiliki hasil bahwa adanya kecenderungan kebiasaan merokok yang lebih lambat pada wanita daripada pria sehingga hal tersebut menunda terjadinya risiko mortalitas akibat penurunan kesehatan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi terbesar yang memiliki probabilitas melakukan swamedikasi dalah responden yang hanya memiliki tingkat pendidikan dasar atau rendah. Dalam penelitian ini untuk Pendidikan rendah adalah SD, SMP dan SMA. Selanjutnya, semakin tinggi tingkat pendidikan probabilitas melakukan swamedikasi semakin menurun. Tingkat pengetahuan dan tingkat literasi merupakan determinan penting yang memegaruhi perilaku kesehatan. Delaney menyatakan bahwa perokok yang memilki tingkat pendidikan rendah menganggap bahwa perilaku merokok tidak berbahaya terhadap kesehatan. Kelompok yang sama juga memiliki tingkat kesadaran yang rendah dalam memanfaatkan pelayanan Kesehatan (Delaney, 2017). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Maria yang menyebutkan bahwa terdapatnya hubungan antara tingkat pendidikan dengan prevalensi perokok, yang mana tingkat pendidikan rendah memiliki prevalensi perokok yang lebih tinggi dibanding kelompok pendidikan lainnya. Sejalan dengan hal itu, penelitian yang dilakukan oleh Sukma menunjukkan adanya hubungan dan kecenderungan seseorang untuk merokok yang menurun pada tingkat pendidikan yang semakin tinggi. Hal tersebut memang sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan sebagai salah satu faktor sosio-kultural dan memengaruhi perilaku merokok pada seseorang. Menurut Notoatmodjo, bahwa status Pendidikan rendah adalah kondisi pengetahuan dan pemahaman tentang swamedikasi daoat terjadi apabila proses pemberian edukasi yakni melalui Pendidikan kesehatan maupun di fasilitas kesehatan. Sehingga strategi yang bisa dilakukan dalam kasus swamedikasi dalam perilaku perokok dengan bekerja sama dengan stekholder instansi Pendidikan untuk memberikan kesehatan dalam upaya peningkatan pemahaman masyarakat mengenai swamedikasi khusunya terhadap perilaku perokok. Menurut Figueiras, semakin terdidik seseorang, maka orang tersebut akan memiliki kepercayaan diri lebih dalam mendiagnosis diri dan melakukan pengobatan sendiri dan kurang kepercayaan di dokter, terutama dengan adanya kelainan akut,dan mereka lebih mampu memilih yang obat yang sesuai untuk memperhatikan gejala mereka. Sedangkan orang yang kurang berpendidikan lebih memilih konsultasi medis untuk menangani keluhannya karena kurangnya pengetahuan tentang obat-obatan (Figueiras, Caama�o and Gestal-Otero, 2000). Latar belakang pendidikan kesehatan cenderung lebih memilih swamedikasi dibandingkan dengan pasien dengan latar belakang pendidikan non kesehatan (p=0,016). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Helal dan Albou-Elwafa yang menunjukkan bahwa mahasiswa dengan latar belakang pendidikan kesehatan memiliki kecenderungan swamedikasi yang lebih tinggi dibandingkan mahaswa non kesehatan (OR 2,2 dengan CI 95% 1,6-2,9). Hal ini ini dapat pula dikaitkan dengan tingkat pengetahuan mengenai obat-obatan yang lebih banyak pada pasien dari latar belakang pendidikan non-kesehatan, terkait dengan informasi mengenai obat-obatan yang mungkin diperoleh di bangku Pendidikan (Helal & Abou-ElWafa, 2017).

Status perkawinan disebut dapat memengaruhi perilaku kesehatan terkait dengan kebiasaan keluarga. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menyebutkan bahwa sebanyak 35,2% keluarga menyimpan obat untuk digunakan kembali secara Bersama.� Kebiasaan menyimpan obat untuk dipergunakan oleh anggota keluarga lain memperbesar peluang untuk melakukan swamedikasi. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Via Dolorosa Halilinta, 2020 menggunakan data SUSENAS 2017 menunjukan bahwa semakin tinggi Pendidikan seseorang akan semakin tinggi kemungkinan untuk melakukan swamedikasi pada perokok. Hasil studi ini menunjukkabn bahwa di Indonesia, pendidkan menengah dan pendidikan tinggi memiliki probabilitas yang lebih besar terhadap merokok elektrik dibandingkan dengan pendidikan rendah. Ketiga kelompok pendidikan menjelaskan bahwa mayoritas alasan penggunakan rokok elektrik adalah dikarenakan rokok elektrik sama bahayanya dengan rokok tembakau. Berbeda dengan studi yang dilakukan di Hawai mengindikasikan bahwa pendidikan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan penggunaan rokok elektrik. Beberapa studi di Indonesia pun menunjukkan bahwa mayoritas pengguna rokok elektrik adalah orang yang memiliki pendidikan tinggi (Istiqomah, Cahyo, & Indraswari, 2016). Hasil penelitian Kaushal dkk., (2012) menunjukkan bahwa ibu rumah tangga melakukan swamedikasi didasari oleh resep sebelumnya 49%, iklan di koran dan televisi 26%, informasi dari teman 17%, dan lain-lain 8%. Hasil penelitian Ahmed dkk. (2014) menunjukkan bahwa sumber yang paling umum dari informasi untuk melakukan pengobatan sendiri adalah saran dari keluarga, teman, dan tetangga. Hal ini didukung juga oleh penelitian yang dilakukan Setyawati (2012), menjelaskan bahwa pemilihan obat analgetik antipiretik pada masyarakat di Kelurahan Pondok Karanganom Klaten salah satunya didasari oleh adanya informasi tentang obat analgetik antipiretik dapat diperoleh dari iklan media massa sebesar 84%, pengalaman teman/keluarga 14%, petugas kesehatan 0% dan leaflet/kemasan obat 2%.

Bedasarkan hasil analisis, bahwa wilayah lokasi tempat tinggal juga menunjukan pengaruh terhadap swamedikasi. Ini dikarenakan bahwa wilayah di desa kurang terjangkau nya fasilitas pelayanan kesehatan, kemudian kurang nya SDM di pedesaan untuk memenuhi pelayanan kesehatan, sehingga memilih untuk melakukan swamedikasi. Berbeda dengan hasil yang di lakukan oleh Via Dolorosa Halilinta, 2020 bahwa perokok yang bertempat di kota lebih berpeluang tidak melakukan swamedikasi. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan ketersediaan sarana pelayanan kesehatan dan sarana transportasi menuju fasilitas kesehatan formal. Penelitian yang dilakukan oleh Fu et al., (2014) juga menyebutkan bahwa individu yang tinggal di perkotaan memiliki pengeluaran medis yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tinggal di pedesaan. Perbedaan ini dapat disebabkan karena ketersediaan teknologi intensif spesialisasi yang lebih canggih di layanan medis perkotaan, hal ini jelas akan memengaruhi jumlah biaya yang dikeluarkan ketika individu memeriksakan kesehatannya. Selain itu, di daerah perkotaan lebih banyak sumber daya medis yang dialokasikan dibandingkan dengan di pedesaan, hal ini juga dapat mengakibatkan ketidak seimbangan pemanfaatan layanan kesehatan antara penduduk kota dan desa karena masyarakat pedesaan yang miskin tidak mampu untuk membayar biaya pengobatan yang mahal. Masyarakat kota juga cenderung lebih banyak dan rutin melakukan berbagai pemeriksaan kesehatan, seperti tes laboratorium untuk pemeriksaan kesehatan umum dibandingkan dengan masyarakat pedesaan. Proporsi swamedikasi yang tinggi di pedesaan umumnya karena kurangnya fasilitas kesehatan dan faktor ekonomi (Aqeel dkk., 2014). Dijelaskan oleh Lawrence Green dalam (Notoatmodjo, 2003) bahwa perilaku itu sendiri dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu faktor predisposisi yang terwujud dalam bentuk (pengetahuan, nilai, sikap, dan persepsi yang berhubungan dengan motivasi individu ataupun kelompok dalam masyarakat, ada faktor pendukung seperti lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas kesehatan misalnya puskesmas, obat-obatan, sekolah kesehatan. faktor pendorong yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang termasuk dalam kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

 

Kesimpulan

Bedasarkan hasil analisis pada responden yang merokok dari data SUSENAS 2020, perilaku swamediasi terjadi banyak pada perokok. Variable yang di ambil dalam penelitian ini juga menunjukan bahwa adanya pengaruh dalam terwujudkan swamedikasi. Dibuktikan dengan semua variable dalam hasil analisis Logistik menunjukan nilai p=0.032. sehinggan penelitian ini dapat menjadi masukan terhadap stakeholder yang berwenang untuk memberikan perhatian yang khusus terhadap perokok agar tidak dengan mudah melakukan swamedikasi. Perlunya diberikan edukasi dan informasi yang berkala mengenai dampak yang akan terjadi terhadap perilaku merokok yang merugikan baik dari segi ekonomi dan kesehatan, serta memberikan edukasi yang terarah untuk mengatasi kesembuhan bagi penderita gangguan kesehatan.

 


BIBLIOGRAFI

Casetta, Brunilda, Videla, Alejandro J., Bardach, Ariel, Morello, Paola, Soto, Natalie, Lee, Kelly, Camacho, Paul Anthony, Hermoza Moquillaza, Rocio Victoria, & Ciapponi, Agust�n. (2017). Association between cigarette smoking prevalence and income level: a systematic review and meta-analysis. Nicotine & Tobacco Research, 19(12), 1401�1407. Google Scholar

 

Damayanti, Apsari. (2016). Penggunaan rokok elektronik di komunitas personal vaporizer Surabaya. Jurnal Berkala Epidemiologi, 4(2), 250�261. Google Scholar

 

Delaney, Lori. (2017). The impact of smoking on healthcare provision. International Journal of Nursing and Clinical Practices, 4, Article-number. Google Scholar

 

Helal, R. M., & Abou-ElWafa, H. S. (2017). Self-medication in university students from the city of Mansoura, Egypt. Journal of Environmental and Public Health, 2017. Google Scholar

 

Istiqomah, Delima Rahayu, Cahyo, Kusyogo, & Indraswari, Ratih. (2016). Gaya Hidup Komunitas Rokok Elektrik Semarang Vaper Corner. Jurnal Kesehatan Masyarakat (Undip), 4(2), 203�212. Google Scholar

 

Liu, Chun Ting, Wu, Bei Yu, Hu, Wen Long, & Hung, Yu Chiang. (2017). Gender-based differences in mortality and complementary therapies for patients with stroke in Taiwan. Complementary Therapies in Medicine, 30, 113�117. Google Scholar

 

WHO. (2015). The Millenium Development Gols for Health. Jakarta : World Health Organitation.

 

Yusrizal, Yusrizal. (2017). Gambaran Penggunaan Obat Dalam Upaya Swamedikasi Pada Pengunjung Apotek Pandan Kecamatan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2014. Jurnal Analis Kesehatan, 4(2), 446�449. Google Scholar

 

Copyright holder:

Nur Fatimah, Prastuti Soewondo (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: