Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 �e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No.3, Maret 2022

 

BERANTAS TERORISME: MOTIF DIBALIK PENGIKUT JAMAAH ISLAMIYAH

 

Edi Saputra Hasibuan

Dosen Universitas Bhayangkara Jakarta Raya dan Direktur Eksekutif Lemkapi, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Sebagai sebuah kejahatan yang masuk ke dalam kategori kejahatan luar biasa, terorisme sampai saat ini masih menjadi sebuah ancaman di negara manapun. Terkait hal tersebut tentunya sudah tidak asing jika mendengar nama dari kelompok teroris yang telah memiliki catatan panjang keterlibatan kasus teror, Jamaah Islamiyah. Rangkaian kasus bom mulai dari bom Bali 1 dan 2, bom gereja, serta bom di kedutaan besar Australia. Sampai saat ini kelompok tersebut disinyalir masih berkembang, sehingga bisa di asumsikan bahwa masih ada yang berminat bergabung dengan organisasi tersebut. Hal tersebut kemudian memicu pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya organisasi ini berjalan, apa ideologinya, dan kenapa masih saja ada orang-orang yang mau bergabung dengan organisasi ekstremis ini, karena perlawanan terhadap teroris harus terus dilakukan baik melalui penindakan maupun pencegahan, agar tidak ada jamaah baru yang menghasilkan bibit-bibit teror di Indonesia.

 

Kata Kunci: Jamaah Islamiyah; terorisme; melawan teror

 

Abstract

As a crime that falls into the category of extraordinary crimes, terrorism is still a threat in any country. In this regard, of course, it is familiar to hear the name of a terrorist group that has a long record of involvement in terror cases, Jamaah Islamiyah. The series of bomb cases started from the Bali bombings 1 and 2, the church bombing, and the bombing at the Australian embassy. Until now the group is allegedly still developing, so it can be assumed that there are still those who are interested in joining the organization. This then triggers questions about how this organization actually runs, what its ideology is, and why there are still people who want to join this extremist organization, because the fight against terrorists must continue to be carried out both through prosecution and prevention, so that no new congregations are found. produce the seeds of terror in Indonesia.

 

Keywords: Jamaah Islamiyah; terrorism; counter terror received

 

 

 

 

Pendahuluan

Bila menilik ke belakang, tragedi pengeboman di Bali pada tahun 2002 dan 2005, dapat dikatakan sebagai sebuah permulaan munculnya aksi teror yang kemudian terus berkembang sampai saat ini (Wuryandari, 2016). Selain itu rasanya sangat sesuai jika menganggap tragedi 9/11 yang menabrak gedung WTC di Amerika Serikat, menjadi awal kemunculan teror dan lahirnya bibit-bibit terorisme di abad 20, kasus-kasus terorisme ini ditenggarai oleh kelompok yang sama atau saling bekerjasama, yaitu kelompok ekstrimis (Terorisme, 2019).

Bisa disepakati bahwa para pelaku teror tentu tidak bergerak sendiri-sendiri dalam melancarkan aksinya. Pada kasus bom Bali diketahui bahwa terdapat lebih dari satu orang pelaku yang saling bekerjasama yaitu Amrozi, Imam Samudera, Abdul Aziz, serta beberapa orang lainnya, mereka tergabung dalam kelompok yang sudah tidak asing lagi namanya, yaitu Jamaah Islamiyah (selanjutnya disebut JI) (Hastya, 2014).

JI sendiri bukan hanya berbasis di Indonesia, namun juga berada di negara-negara lain, khususnya negara yang rentan dengan konflik (Siahaan, 2014). Secara resmi Singapura dan Malaysia mengatakan bahwa Abu Bakar Ba�asyir adalah pemimpin dari kelompok JI, terutama berkaca dari kasus pengeboman dengan meledakkan truk sebagai bentuk perlawanan terhadap Amerika, British, dan Australia di Singapura, aksi ini terwujud dengan bantuan dari Al-Qaeda. Ba�asyir sendiri menjadi buronan yang dicari oleh pihak keamanan Malaysia, dengan tuduhan terkait dengan aksi terorisme (Prasetyo, 2021). Ironisnya, saat itu masyarakat Indonesia masih skeptis terhadap keberadaan JI dan tidak yakin mengenai hubungan Ba�asyir dengan Al-Qaeda.

Beberapa hal yang kemudian menjadi penyebab terlambatnya pihak Indonesia dalam menyadari keberadaan Al-Qaeda karena kelompok ini tidak bergerak secara langsung, namun melalui kelompok Jamaah Islamiyah (Yani & Montratama, 2016). Negara-negara tetangga seperti Singapura, dan Malaysia, akhirnya mulai mendesak pemerintah Indonesia agar menindak tegas setiap orang yang tergabung dalam JI dan menyatakan bahwa kelompok tersebut merupakan organisasi terlarang dan dimasukkan dalam organisasi teroris (Khoiri & Asmuni, 2019).

JI memiliki ratusan orang terkait atau setidaknya diduga sebagai bagian di dalamnya, sampai saat ini anggota JI tengah menjalani penahanan baik di Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Kendati demikian organisasi ini masih tetap bertahan dan memunculkan bibit-bibit baru, mereka masih mampu melancarkan serangan di kota besar seperti Jakarta (Narendra, 2015). Bom JW Marriot adalah salah satu contoh yang cukup menggemparkan, jika ditelaah dapat dikatakan bahwa memang para teroris cukup nekat untuk memberikan serangan teror pada sebuah hotel berskala internasional dengan penjagaan yang ketat, oleh karena itu perlu menjadi catatan kewaspadaan bahwa kelompok ini masih terus meninggalkan bibit-bibit yang bisa muncul ke permukaan kapan saja.

Kepolisian tentu tidak tinggal diam, gencarnya operasi yang dilakukan oleh pasukan Densus 88 pada Desember 2003 tepatnya beberapa bulan setelah kasus teror di hotel JW Marriott, Polisi menemukan salah satu tempat persembunyian JI di Surakarta, tepatnya di Kampung Sayangan, Lawengan Solo. Melalui penggerebakan tersebut Polri menemukan cukup banyak bukti-bukti menarik tentang JI, rumah yang sebelumnya dihuni oleh terduga teroris Herlambang, Usman, dan Saad itu memiliki macam-macam buku pengetahuan mengenai latihan tembak, cara membuat bom, juga cara membuat racun, selain itu terdapat banyak dokumen terkait JI yaitu mengenai pedoman umum, buku laporan semester II dengan judul �Islamic Military Academy Jamaah Islamiyah�, serta struktur organisasi JI tanpa nama pemegang jabatannya (Sarjani et al., 2021).

Semua peristiwa yang ditimbulkan oleh akibat dari keberadaan JI menandakan bahwa organisasi ini berkembang semakin besar dari yang diperkirakan, mereka memiliki kepemimpinan yang kuat, sehingga JI terus melakukan regenerasi (Wahab, 2019). Tulisan ini menyoroti tentang bagaimana kemudian seseorang memiliki niat untuk bergabung dalam organisasi ekstremis tersebut, apa yang menjadi motif pengikutnya, dan cara menarik simpati dari calon anggota, serta bagaimana JI mampu memberikan pemahaman yang sebenarnya keliru, namun dapat diterima oleh pengikutnya. Serangkaian pertanyaan tersebut telah mendorong penulis untuk sedikit mengupas tentang kelompok ini, demi memahami cara berpikir mereka dan kemudian mencegah generasi selanjutnya untuk ikut terjebak dalam kelompok ini.

 

Metode Penelitian

Pada penelitian kali ini penulis menggunakan metode penelitian normatif dengan menelaah setiap tulisan, aturan dan penerapannya, serta digabungkan dengan studi kepustakaan atau literatur dengan menganalisis buku, jurnal, paper, media cetak, maupun berita online yang terkait dengan terorisme.� Target data yang dikumpulkan adalah terkait dengan kasus terorisme, penindakan, serta pencegahan terorisme khususnya yang berkaitan dengan Jamaah Islamiyah.

 

Hasil dan Pembahasan

1.   Jamaah Islamiyah

Sebagai sebuah kelompok ekstrimis yang telah lama menyebarkan teror di berbagai tempat JI tentunya lahir dan berdiri dengan suatu ideologi tertentu, serta memiliki pemahaman dan keyakinan yang kuat. Salah satu orang yang saat ini memiliki kapasitas untuk menjelaskan Jamaah Islamiyah yaitu Mohammad Nasir Abas, ia adalah orang yang menduduki posisi penting dalam organisasi tersebut kala itu. Berdasarkan penuturannya JI sendiri terbentuk pada Januari 1993, sebagai hasil dari perpecahan antara Jamaah Darul Islam (JAD) dengan Negara Islam Indonesia (NII) yang secara khusus pembentukannya terjadi setelah perpecahan antara Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba�asyir pada satu sisi dengan Ajengan Masduki di sisi lain.

JI ditenggarai memiliki hubungan serta mendapat pendanaan dari Al-Qaeda, meskipun demikian JI sangan independen yang mana semua keputusan operasional dilakukan secara lokal. Semua anggota senior dari komando sentral JI, telah mendapat pelatihan di Afghanistan. Para veteran Afghanistan menjadi pelatih bagi para Mujahidin baru ketika JI membangun sebuah camp pelatihan di Mindanao dari tahun 1996 sampai tahun 2000 yang bekerjasama dengan Front Pembebasan Islam Moro atau Moro Islamic Liberation Front (MILF). Anggota JI bersama kelompok-kelompok jihad lainnya yang berasal dari provinsi di Indonesia yang menjadi peserta, dilatih untuk menguasai bahan-bahan peledak sampai menembak jitu.

Perlahan namun pasti JI mulai untuk memperluas organisasinya, pada tahun 1999 JI sudah masuk ke Ambon dan beberapa daerah lain di Maluku di bawah komando seseorang yang bernama Dzulkarnain, bahkan kala itu mereka sempat membentuk camp pelatihan di salah satu pulau di Maluku. Walaupun JI sudah mulai menyebar ke beberapa daerah, namun kepemimpinan Dzulkarnain saat itu belum menunjukkan eksistensi yang menonjol, kelompok mereka tidak terkoordirnasi dengan baik, dan justu berjalan sendiri-sendiri.

Kesalahan dalam memahami kesan agama yaitu doktrin jihad, keyakinan ini yang kerap kali dipahami secara sempit oleh kebanyakan orang khususnya anggota JI, sebagai sebongkah aksi kekerasan yang menghalalkan darah orang yang berbeda agama (non muslim) guna meraih cita-cita. Seperti pada peristiwa berdarah di Poso Mei 2000-2001, adanya informasi yang mengatakan bahwa orang-orang muslim dizolimi oleh orang kristen membuat dewan pimpinan pusat (Markaziyah) JI memutuskan untuk mengirimkan personelnya demi membantu umat islam di Poso. Pengiriman pasukan ini ditandai dengan dikerahkannya semua Mantiqi, baik Mantiqi Ula (1) anggota dari Malaysia dan Singapura di bawah pimpinan Hambali, Mantiqi Tsani (II) anggota dari pulau Sumatera, Jawa, Bali di bawah pimpinan Zuhroni alias Zarkasyi, dan Mantiqi Tsalis (III) anggota dari Palu, Malaysia, dan Philipina di bawah pimpinan Mustofa. Dalam beberapa hal sebenarnya JI ada juga hal baik yang dilakukan oleh anggota JI, yaitu mengirimkan pendakwah dan ustad senior, serta lulusan pesantren untuk datang memberikan ke desa-desa yang memerlukan pendakwah serta pengurus masjid, mereka melakukan dakwah dan memberikan pendidikan jasa pendidikan agama secara sukarela, tentu saja hal ini dilihat jika dakwah yang diberikan mengarah kepada kebaikan dan kedamaian. Terlepas dari apa yang menjadi isi dakwah mereka, niat untuk memberikan pendidikan agama secara gratis adalah hal yang baik.

Namun sayangnya, beberapa keputusan dan perilaku mereka sangat bertentangan dan menyimpang dari apa yang disebut kedamaian, pada tahun 2003 terjadi perubahan situasi, saat Nasir Abas menjabat sebagai Mantiqi Tsalis (III) ia dan pimpinan JI lainnya ditangkap oleh pihak kepolisian terkait dugaan keterkaitan mereka dalam bom Bali. Seseorang bernama Hasanudin, kemudian dilantik untuk menggantikan posisi Nasir sebagai Mantiqi Tsalis, ia adalah anak dari seorang tokoh di Poso bernama Adnan Arsal. Hasanudin pun memutuskan untuk membuat kebijakan baru dengan merencanakan dan melakukan aksi kekerasan terhadap warga sipil Kristen di Poso, ia juga mengundang kelompok lain untuk bersama-sama melakukan perlawanan terhadap aparat penegak hukum. Semenjak kebijakan itu berjalan, terjadilah aksi kekerasan sadis terhadap warga sipil Kristen di Poso.

2.   Rasa, Cita-cita dan Ideologi

Pada sub bab kali ini, penulis mencoba menjabarkan mengenai faktor apa saja yang membuat JI mampu untuk terus menghasilkan generasi yang baru, apa yang menjadi daya tarik mereka, serta apa yang dirasakan oleh calon-calon anggota ketika mereka mulai diberikan doktrin mengenai apa yang menjadi visi-misi JI, atau mungkin ada saja orang yang merasa ideologi JI sejalan dengan apa yang diyakininya.

a.    Perasaan Sebagai Sesama Muslim

Tidak dapat dipungkiri bahwa organisasi JI memiliki rasa simpati dan solidaritas yang tinggi terhadap sesama muslim di mana pun mereka berada, hal ini juga berlaku untuk setiap individu baik di dunia khususnya Indonesia sebagai negara muslim terbesar. Rasa solidaritas yang tinggi ini sangat baik jika kemudian dituangkan dalam bentuk yang benar, baik secara dukungan moral, materi, maupun bentuk dukungan secara diplomatik untuk dapat membantu menyelesaikan masalah yang dialami umat muslim di negara lain.

Sebagai contoh aksi kejahatan terhadap kemanusiaan, ras, dan agama di Rohingya Myanmar beberapa waktu lalu, kasus ini diawali oleh konflik kudeta yang terjadi di Myanmar, turunnya militer ke jalan dan melakukan sikap represif terhadap pihak-pihak yang tidak sejalan ternyata berdampak juga pada masyarakat di Rohingya. Oleh kejadian itu Militer Myanmar tidak hanya mengusir ratusan ribu etnis Rohingya, namun juga terjadi pemerkosaan dan pembakaran pemukiman. Melihat kejadian ini dukungan dari segenap masyarakat Indonesia sebagai penduduk Muslim terbesar memberikan dukungan secara moral dan mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan sesuatu agar dapat menghentikan permasalahan tersebut, yang tentunya di respon oleh pemerintah dengan mengirim Menteri Luar Negeri, Retno Marsuadi untuk bernegosiasi dengan pemerintah Myanmar, dan membahas agenda krisis keamanan dan kemanusiaan di Provinsi Rakhine, rumah bagi populasi muslim Rohingya.

Poinnya adalah tentang kesamaan rasa yang dimiliki oleh sesama umat muslim dapat menjadi sesuatu kekuatan dan dasar untuk melakukan tindakan guna membela sesama, hal inilah yang dimanfaatkan oleh kelompok JI dan beberapa kelompok ekstremis lainnya.

واقتلوهم أينما تجدهم

�Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka�

(QS. Al-Baqarah [2]: 191)

 

Mereka memotong ayat-ayat dari Al-Qur�an untuk meyakini orang lain bahwa mereka berjuang di jalan yang benar jika melakukan kekerasan, dan teror. Seolah-olah apa yang dilakukan JI dapat mewadahi keinginan seseorang untuk membela sesama dan berjihad. Hal ini seperti yang sebelumnya dibahas di atas, bahwa pada konflik Poso JI langsung mengirimkan anggota mereka untuk membantu umat Muslim di sana, namun juga memakai kekerasan dengan menggunakan tindakan represif terhadap umat beragama lain.

Penulis juga menemukan dalam sebuah putusan pengadilan yang mengadili terdakwa atas nama Ir. Para Wijayanto alias abang alias Abu Askary, ia didakwa melakukan tindak pidana terorisme dengan cara memetakan rute, biaya, dan membuka hubungan kerjasama dengan Mujahidin di Suriah, serta mempersiapkan kader berikutnya untuk berangkat ke Suriah. Dalam persidangan tersebut terdapat keterangan saksi yang juga merupakan anggota JI sebagai berikut:

�Ikhwan-ikhwan Jamaah Islamiyah bisa ikut berjihad membantu kelompok Jhabah Nusro dalam melawan pasukan BASAR AL ASHAD sebagai bentuk bantuan terhadap umatumat muslim yang tertindas, oleh karena itu ikhwanikhwan Jamaah Islamiah dikirim ke Suriah�

b.   Cita-cita Mendirikan Negara Islam: Sebuah Ideologi yang Bersebrangan

Seperti yang kita tahu, bahwa wacana ataupun cita-cita untuk mendirikan negara Islam, atau negara dengan syariat Islam telah lama diinginkan oleh beberapa pihak yang merasa kurang sesuai dengan NKRI dan Pancasila, ini memang menjadi salah satu faktor seseorang mencari kelompok atau setidaknya orang yang memiliki pemahaman yang sama. Pemikiran seperti ini sejatinya sudah eksis dari sejak jaman orde lama, yaitu pada organisasi Darul Islam (DI) atau Negara Islam Indonesia (NII), organisasi yang didirikan oleh S.M Kartosuwiryo ini menjadi sebuah motor penggerak organisasi lain untuk memiliki cita-cita yang sama, walaupun saat itu organisasi ini tidak bertahan lama, karena segera ditumpas oleh pihak militer, namun itu tidak membuat organisasi ini mati, pada sekitar 1970-an DI mulai dihidupkan kembali. Ditumpasnya NII dan sepeninggalnya Kartosuwiryo ternyata masih meninggalkan jejak perjuangan bagi sisa-sisa pengikutnya.

Sampai saat ini, kepercayaan mengenai berdirinya negara Islam akan memberikan dampak yang lebih baik, masih terus terpatri dalam diri beberapa orang. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah salah satu organisasi Islam yang secara terang-terangan menyatakan untuk mendirikan negara Islam dengan menggunakan sistem Khilafah yang nantinya akan dipimpin oleh seorang Khalifah, tentunya cita-cita tersebut disempurnakan dengan berlakunya hukum syariat (hukum islam). Organisasi ini kemudian mendapat respon negatif dari masyarakat, pemerintah pun memandang bahwa organisasi ini memiliki potensi yang kuat untuk melakukan makar, serta dapat terus mengikis jiwa nasionalisme orang lain, dengan kepercayaan yang mereka miliki. Sehingga akhirnya wacana pembubaran organisasi ini direalisasikan oleh pemerintah, dan menyatakan organisasi tersebut terlarang.

Melihat fenomena tersebut, wajar rasanya jika JI dikategorikan sebagai organisasi ekstremis yang sangat berbahaya, visi-misi yang dimiliki oleh JI mampu menarik orang-orang dengan keinginan dan ideologi yang sama. Pengakuan dari anggota JI juga menuturkan bahwa JI ingin memproklamirkan Daulah Islamiyah dengan berdasarkan syariat Islam di wilayah yang kondusif untuk menerima Islam sebagai dasar negara.

Bertumbuhnya radikalisme dalam tubuh masyarakat Indonesia juga menjadi suatu poin penting yang memiliki pengaruh terhadap munculnya benih-benih teroris yang baru. Sejatinya tidak ada yang salah dengan berpikir radikal, maupun memahami agama secara radikal, karena konsep pemikiran radikal itu sendiri memiliki makna untuk memahami sesuatu sampai kepada akar-akarnya. Namun cara ini dapat menjadi pisau bermata dua, karena apabila dalam prosesnya seseorang belajar dan memahami agama dengan orang atau guru yang salah, serta pemahaman yang dangkal, justru bisa membuat seseorang salah mentafsirkan suatu hal sehingga bukan pengamalan yang baik yang dilakukan, justru mengembangkan sikap skeptic terhadap agama lain, dan memusuhinya (Ningsih et al., 2021).

Kelemahan itulah yang selanjutnya dilihat oleh anggota JI dalam merekrut dan menarik anggotanya, potongan ayat yang �digoreng� seakan-akan kaum Muslim masih dalam keadaan memerangi kaum kafir. Sedikit penggalan yang seringkali dipakai untuk membenarkan perilaku mereka, surat An-Anfal ayat 39 yang berbunyi: �Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah� ayat tersebut sejatinya memiliki kelanjutan dan latar belakang, namun sengaja dipotong dan diterapkan oleh salah satunya Imam Samudera.

Semasa dalam tahanan Imam Samudera sempat menulis biografi dirinya yang selanjutnya dituangkan dalam buku, ironisnya dalam salah satu paragraf tulisannya, ia menyampaikan pesan sebagai berikut:

�Dengan segala kekurangan dan keterbatasan, sebenarnya ingin kusampaikan pesan terutama generasi muda islam bahwa ilmu hacking dan membaca Kitab Kuning -yang selama ini dipahami secara antagonis-, adalah sama-sama harus dikuasai atau minimal dimengerti. Akan semakin bagus jika memahami ilmu bombing atau jurus-jurus fighting dan killing yang digunakan untuk jihad fie-sabilillah. Maka, dalam pertempuran akhir zaman yang sudah di ambang pintu ini, berusahalah untuk menjadi preacher (ustadz/ da'i), hacker, bomber dan fighter atau killer! Demi Izzul Islam wal Muslimin. La Hawlaala Quwwata illa Billah. Allaahummaj'alna minhum�

Berbagai latar belakang di atas haruslah dapat kita tepis, beragama adalah hal yang baik dan juga wajib. Selain itu satu hal yang perlu digaris bawahi, bahwa teroris tidak mencerminkan agama manapun, pada dasarnya semua agama mengajarkan hal yang baik. Bagi masyarakat, menjaga diri agar tidak terjerumus dalam kepercayaan maupun lingkungan yang salah, serta menghindari diri dari kelompok radikal dan ekstremis, juga telah memberikan andil yang besar terhadap gerakan perlawanan terorisme, karena perlawanan terhadap terorisme dapat menjadi sebuah perlawanan yang tiada akhir.

 

 

Kesimpulan

Melalui apa yang sudah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Jamaah Islamiyah (JI) melakukan pendekatan dengan cara-cara yang dapat dikatakan cukup halus, mereka melakukan dakwah dan pembelajaran tentang agama dengan maksud untuk menanamkan ideologi mereka tentang negara Islam, serta semangat perjuangan untuk membangun negara tersebut dalam konsep hukum syariah. Selain itu organisasi ini menggunakan potongan ayat dalam Al-Qur�an untuk membangkitkan semangat Jihad yang ada dalam diri umat Muslim. Jika ditelaah tidak heran rasanya jika orang-orang dapat tertarik untuk bergabung dalam kelompok ini, melihat konsep jihad dan mati syahid memang tertulis dalam Al-Qur�an, sayangnya hal ini diartikan secara keliru sebagai sebuah konsep untuk memerangi orang beragama lain.

JI melihat bahwa tingkat solidaritas antara umat Muslim yang begitu tinggi, memberikan celah terhadap mereka untuk mengambil simpati orang-orang dengan memberikan dukungan yang dibarengi dengan provokasi untuk memerangi umat beragama lain, hal ini tidak lain untuk membakar semangat umat muslim untuk ber-jihad dengan melakukan tindakan kekerasan yang justru bertentangan dengan agama. Cara-cara di atas dapat menjadi motif daya Tarik seseorang untuk bergabung dalam JI. Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar negara Indonesia wajib memberikan perhatian terhadap perkembangan umat muslim di negaranya sendiri, memastikan bahwa semua kelompok ekstremis tidak dapat tumbuh, juga melakukan diskusi kenegaraan tentang nilai-nilai Pancasila. Selain melakukan penangkapan terhadap pelaku teroris, upaya deradikalisasi juga harus terus dilakukan, semua itu semata-mata untuk memberantas dan memerangi terorisme.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Hastya, Y. R. D. (2014). Analisa Strategi Penanggulangan Terorisme di Indonesia (Studi Direktorat Analisa Strategi Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan Kementerian Pertahanan RI). Universitas Brawijaya.Google Scholar

 

Khoiri, N., & Asmuni, A. (2019). Pola Antisipasi Radikalisme Berbasis Masyarakat Di Indonesia. Google Scholar

 

Narendra, D. S. (2015). Teror Bom Jamaah Islamiyah. Pionir Ebook. Google Scholar

 

Ningsih, D. N., Rahmat, A., & Attas, S. G. (2021). Structure and Function Of The Beluk Oral Tradition. ISSHE 2020: Proceedings of the First International Seminar Social Science, Humanities and Education, ISSHE 2020, 25 November 2020, Kendari, Southeast Sulawesi, Indonesia, 263. Google Scholar

 

Prasetyo, D. (2021). Ilmu Dan Teknologi Kepolisian-Rajawali Pers. PT. RajaGrafindo Persada. Google Scholar

 

Sarjani, A. I., Saputro, E., Ningsih, D. N., Sunarti, H., & Harun, Y. (2021). Pendekatan Psikolinguistik dan Faktor Psikologis Terhadap Pola Interaksi dalam Pembelajaran Bahasa. Jurnal Bahasa Jepang Taiyou, 2(1), 77�89. Google Scholar

 

Siahaan, C. (2014). Kebebasan Pers Dalam Perspektif Jurnalis Di Daerah Konflik (Studi Kasus Pembatasan Akses Jurnalis Asing Di Papua). Google Scholar

 

Terorisme, M. G. (2019). Strategi Dakwah Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (Fkpt) Jawa Tengah Dalam. Google Scholar

 

Wahab, A. J. (2019). Islam Radikal Dan Moderat Diskursus dan Kontestasi Varian Islam Indonesia. Elex Media Komputindo. Google Scholar

 

Wuryandari, G. (2016). Politik Luar Negeri Indonesia Dalam Menghadapi Isu Terorisme Internasional. Jurnal Penelitian Politik, 11(2), 13. Google Scholar

 

Yani, Y. M., & Montratama, I. (2016). Mengenal Dewan Keamanan Nasional Di Empat Negara Sebagai Referensi Pembentukan Struktur Koordinasi Penanganan Terorisme Di Indonesia. Jurnal Pertahanan & Bela Negara, 6(1), 1�30. Google Scholar

 

 

 

 

 

 

 

 

Copyright holder:

Edi Saputra Hasibuan (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: