Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No.
3, Maret 2022
KUASA SELBSTEINTRITT DALAM PEMBUATAN AKTA AUTENTIK
Maghfira Humaira, Pieter Everhardus Latumeten
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Email: [email protected],
[email protected]
Abstrak
Lembaga
kuasa sangatlah dibutuhkan untuk memudahkan seseorang yang secara langsung tidak dapat melaksanakan
hak serta kewajibannya dalam lalu lintas hukum.
Pemberian kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (�KUHPerdata�) adalah merupakan suatu perjanjian, dimana penerima kuasa bertindak untuk dan atas nama pemberi
kuasa, sehingga segala akibat dari
pelaksanaan kuasa tersebut menjadi tanggung jawab dari pemberi kuasa.
Salah satu larangan dalam pembuatan dan pemberian kuasa adalah yang mengandung unsur selbsteintritt. Selbsteintritt terjadi jika penerima kuasa
bertindak sebagai wakil pemberi kuasa selaku
pihak penjual dan penerima kuasa bertindak untuk dirinya sendiri selaku pembeli dan dalam selbsteintritt tidak terdapat pihak ketiga. Selbsteintritt
ini melahirkan benturan kepentingan (conflict of
interest) antara pemberi kuasa dan penerima kuasa yang disebabkan adanya perbedaan kepentingan. Namun akan menjadi masalah
apabila Notaris tidak cermat dalam
pembuatan akta. Seperti dalam Akta
Kuasa Untuk Menjual yang akan dibahas dalam
penulisan ini bahwa kuasa tersebut
diberikan kepada penerima kuasa yang juga bertindak selaku pembeli. Kesalahan yang dibuat oleh Notaris dapat berdampak besar, yaitu dapat
merugikan salah satu pihak dan/atau para pihak dan dapat menimbulkan sengketa dikarenakan kuasa yang diberikan mengandung suatu kecacatan. Oleh karena itu penting
sebagai Notaris untuk tidak lagi
membuat kuasa yang mengandung unsur selbsteintritt.
Kata Kunci: Selbsteintritt; Akta Kuasa; Notaris.
Abstract
The power of attorney is
undoubtedly needed for someone who is directly unable to carry out their rights
and obligations in legal traffic. The granting of power of attorney as referred
to in Article 1792 of the Civil Code (�KUHPerdata�)
is an agreement, in which the power of attorney acts for and on behalf of the
power of attorney, so that all consequences of the exercise of the power of
attorney are the responsibility of the power of attorney. One of the
prohibitions in making and granting power of attorney is the ones that contain
elements of selbsteintritt. Selbsteintritt
occurs if the power of attorney acts as a representative of the authorizing
party as the seller and the recipient of the power of attorney acts for himself
as the buyer and there is no third party involved in selbsteintritt.
Selbsteintritt initiates to a conflict of interest
between the power of attorney and the recipient of the power of attorney due to
differences in interests. However, it will be a problem if the Notary is not
careful in creating and granting the deed. As in the Deed of Power of Sale which
will be discussed in this paper, that the power of attorney is given to
recipient of the power of attorney who also acts as the buyer. Mistakes made by
a Notary can surely have a major impact that can harm a party and/or the parties,
and may cause a dispute due to the defect in the power of attorney. Hence, it
is important as a notary not to grant power of attorneys that contain elements
of selbsteintritt.
Keywords: Selbsteintritt, Power
of Attorney; Notary.
Pendahuluan
Dalam kehidupan bermasyarakat, lembaga kuasa sangatlah
dibutuhkan untuk memudahkan seseorang yang secara langsung tidak dapat melaksanakan
hak serta kewajibannya dalam lalu lintas hukum.
Hal ini dikarenakan jauhnya jarak, keterbatasan waktu, keadaan fisik, sosial, ekonomi dan lainnya, sehingga dapat melakukannya dengan melalui lembaga kuasa yang diatur dalam Pasal
1792 sampai dengan Pasal 1819 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (�KUH Perdata�)
di Indonesia (Pieter Latumeten, 2018).
Pemberian kuasa dalam Pasal 1792 KUH Perdata, menyatakan bahwa �Pemberian kuasa ialah suatu
persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya
untuk melaksanakan sesuatu atas nama
orang yang memberikan kuasa�
(R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa penerima kuasa bertindak untuk dan atas nama pemberi
kuasa untuk melakukan hal-hal yang telah disetujui dan dikehendaki oleh pemberi kuasa (Eddy, 2010).
Sehingga pemberian kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1792 KUHPerdata adalah merupakan suatu perjanjian, dimana penerima kuasa bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa,
sehingga segala akibat dari pelaksanaan
kuasa tersebut menjadi tanggung jawab dari pemberi
kuasa (Meliala, 2008). Oleh karena pemberian kuasa tergolong sebagai perjanjian, maka harus tunduk kepada
syarat sah perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu adanya kecapakan, kesepakatan, hal tertentu dan sebab yang halal. Pembuatan kuasa juga tidak boleh dilakukan
oleh orang-orang yang belum dewasa
dan mereka yang berada di bawah pengampuan (R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2013).
Perjanjian pemberian kuasa dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1793 KUH Perdata, bahwa bentuk perjanjian pemberian kuasa dapat dilakukan dengan akta autentik, tulisan di bawah tangan, secara lisan bahkan dengan diam-diam (Miru, 2020). Pemberian kuasa dengan akta umum merupakan suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa dengan menggunakan akta autentik yang dibuat oleh Notaris. Dalam hal ini, pemberian kuasa tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna karena dibuat dihadapan Notaris yang salah satu kewenangannya adalah untuk membuat akta autentik. Pemberian kuasa dalam bentuk tulisan di bawah tangan adalah suatu perjanjian pemberian kuasa yang dibuat secara tertulis antara pemberi kuasa dan penerima kuasa. Perjanjian pemberian kuasa secara lisan merupakan suatu perjanjian pemberian kuasa yang diberikan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa secara lisan tentang hal-hal yang dikuasakannya. Tidak hanya itu, pemberian kuasa pun dapat dilakukan secara diam-diam dalam arti penerima kuasa melaksanakan tindakan yang diinginkan oleh pemberi kuasa, maka penerima kuasa secara diam-diam menerima kuasa tersebut (Salim, 2021).
Dalam pemberian kuasa, pemberi kuasa melimpahkan perwakilan atau mewakilkan kepada penerima kuasa untuk mengurus kepentingannya, sesuai dengan fungsi dan kewenangan yang ditentukan dalam suatu surat kuasa. Dengan demikian, penerima kuasa dapat berkuasa penuh, bertindak untuk mewakili pemberi kuasa. Oleh karena itu, pemberi kuasa bertanggung jawab atas segala perbuatan kuasa, sepanjang perbuatan yang dilakukan kuasa tidak melebihi wewenang yang diberikan pemberi kuasa. Pada dasarnya, pasal-pasal yang mengatur pemberian kuasa, tidak bersifat imperatif. Artinya, apabila para pihak menghendaki, maka dapat disepakati selain yang digariskan dalam undang-undang. Misalnya, para pihak dapat menyepakati agar pemberian kuasa tidak dapat dicabut kembali (irrevocable) (Harahap, 2017), seperti pemberian kuasa yang akan dibahas dalam penulisan ini.
Doktrin dan perkembangan yurisprudensi sebagai suatu sumber hukum, dapat digunakan sebagai parameter atau acuan dalam pembuatan akta kuasa autentik, salah satunya adalah larangan pembuatan kuasa yang mengandung unsur selbsteintritt. Selbsteintritt diatur di dalam Pasal 1470 KUH Perdata, yang berbunyi:
�Begitu pula tidak
diperbolehkan menjadi pembeli pada penjualan di bawah tangan atas
ancaman yang sama, baik pembelian itu dilakukan oleh mereka sendiri maupun oleh orang orang perantara; kuasa kuasa mengenai barang barang yang mereka dikuasakan menjualnya.� (R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2013).
Selbsteintritt terjadi jika penerima kuasa bertindak sebagai wakil pemberi kuasa selaku
pihak penjual dan penerima kuasa bertindak untuk dirinya sendiri selaku pembeli dalam suatu penjualan
di bawah tangan dan dalam selbsteintritt tidak terdapat pihak ketiga. Selbsteintritt
ini melahirkan benturan kepentingan (conflict of interest) antara pemberi kuasa dan penerima kuasa yang disebabkan adanya perbedaan kepentingan. Dalam penulisan ini dibahas
mengenai pembuatan Akta Kuasa Untuk Menjual tertanggal 15 April 2021 Nomor : 13,
dibuat dihadapan Notaris YL di Balikpapan yang mengandung
unsur selbsteintritt. Tentunya, kuasa yang mengandung unsur selbsteintritt ini tidaklah dapat dilakukan karena mengakibatkan benturan kepentingan, salah satunya benturan kepentingan secara ekonomi, seperti penerima kuasa dapat menyalahgunakan
pemberian kuasa untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk dirinya sendiri
dengan membeli berdasarkan harga yang serendah-rendahnya dan besar kemungkinan tidak terdapat titik temu karena pembeli
bertindak dalam 2 (dua) kapasitas, salah satunya membeli untuk kepentingannya sendiri. Dalam hal ini tentunya
harus memahami terlebih dahulu mengenai kuasa yang mengadung unsur selbsteintritt
dan yang tidak mengandung unsur selbsteintritt.
Dalam praktik jual beli, lazim digunakan pemberian kuasa untuk menjual yang dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara. Sebelum membahasnya lebih lanjut, akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai jual beli. Jual beli sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1457 KUH Perdata adalah �suatu perjanjian, dengan mana pihak satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan�. Jual beli merupakan suatu perjanjian kebendaan yang bersifat obligatoir, yang membebankan kewajiban bagi para pihak. Sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian KUH Perdata, perjanjian jual beli ini sudah dilahirkan pada detik tercapainya �sepakat� mengenai barang dan harga, yang mana unsur-unsur pokok mengenai jual beli adalah barang dan harga. Begitu kedua belah pihak telah setuju tentang barang dan harga tersebut, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah (Muhammad, 1997).
Pemberian kuasa dalam menjual dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu dengan pemberian kuasa dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) atau dalam Akta Kuasa Untuk Menjual. Pemberian kuasa dalam hal ini terjadi apabila pihak penjual berhalangan hadir dalam melakukan penandatanganan AJB dihadapan PPAT. Pemberian kuasa tersebut baru berlaku setelah semua syarat untuk melakukan jual beli hak atas tanah telah terpenuhi. Pada Akta PPJB, para pihak yang akan melakukan jual beli sudah terikat serta sudah mempunyai hak dan kewajiban untuk memenuhi prestasi dan kontra prestasi sebagaimana dalam Akta PPJB tersebut (Hartanto & SH, 2018).
Seperti yang telah dibahas bahwa dalam jual beli, kehadiran penjual atau pembeli dihadapan PPAT tidak mutlak, hal ini dikarenakan salah satu atau keduanya dapat dikuasakan kepada pihak lain, sebagai penjual atau pembeli. Pemberian kuasa disini ditujukan untuk kepentingan penerima kuasa, sehingga dengan ini kewajiban-kewajiban dari pihak pembeli selaku penerima kuasa harus sudah dilaksanakan dan hak dari pihak penjual selaku pemberi kuasa dapat segera dipenuhi. Namun akan menjadi masalah apabila Notaris tidak cermat dalam pembuatan akta. Seperti dalam Akta Kuasa Untuk Menjual yang akan dibahas dalam pelunisan ini, bahwa dalam kuasa tersebut diberikan kepada penerima kuasa yang juga bertindak selaku pembeli, yang mana dalam kuasa tersebut penjual selaku pemberi kuasa memberikan kuasa untuk menjual atau memindahkan atau melepaskan hak kepada siapa saja termasuk kepada pihak yang diberi kuasa itu sendiri dengan harga dan syarat-syarat yang dipandang baik oleh penerima kuasa. Dalam hal ini, tentunya terdapat benturan kepentingan (conflict of interest) yang terjadi, terutama mengenai benturan kepentingan secara ekonomi, seperti penerima kuasa dapat menyalahgunakan pemberian kuasa untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk dirinya sendiri dengan membeli berdasarkan harga yang serendah-rendahnya dan besar kemungkinan tidak terdapat titik temu karena pembeli bertindak dalam 2 (dua) kapasitas, salah satunya membeli untuk kepentingannya sendiri.
Kesalahan yang dibuat oleh Notaris dapat berdampak besar, yaitu dapat merugikan salah satu pihak dan/atau para pihak dan dapat menimbulkan sengketa dikarenakan kuasa yang diberikan mengandung suatu kecacatan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis akan mengangkat penulisan ini dengan judul �Kuasa Selbsteintritt Dalam Pembuatan Akta Autentik�, yang membahas mengenai bagaimanakah pembuatan kuasa yang mengandung unsur selbsteintritt dalam Akta Kuasa Untuk Menjual tertanggal 15 April 2021 Nomor : 13, dibuat dihadapan Notaris YL di Balikpapan dan bagaimanakah akibat hukum terhadap pembuatan kuasa yang mengandung unsur selbsteintritt dalam Akta Kuasa Untuk Menjual tertanggal 15 April 2021 Nomor : 13, dibuat dihadapan Notaris YL di Balikpapan.
�
Metode Penelitian
Bentuk penelitian yang digunakan dalam penulisan ini yaitu
penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinisip
hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu
hukum yang dihadapi sehingga diperoleh argumentasi, teori atau konsep baru
sebagai preskripsi dalam penyelesaian masalah (Mahmud Marzuki, 2005).
Penggunaan metode penelitian ini digunakan untuk menjawab permasalahan-permasalahan
dalam penelitian berdasarkan asas-asas hukum yang ada, dan hukum positif yang mengatur permasalahan dalam penelitian serta beberapa teori-teori pendukung lainnya. Penggunaan bentuk penelitian yuridis normatif ini dimaksudkan untuk mengetahui secara jelas mengenai
pembuatan akta yang mengandung
kuasa selbsteintritt yang telah dibuat
dihadapan Notaris dengan merujuk kepada hukum positif,
dan teori-teori yang dapat mendukung penulis dalam menjawab perumusan masalah.
Tipologi dari penelitian yang digunakan adalah penelitian preskriptif. Tipe penelitian preskriptif ini bertujuan untuk
menggambarkan masalah hukum dan mengusulkan saran penyelesaiannya (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2019).
Dalam hal ini, penulis akan
menganalisis mengenai pembuatan akta yang mengandung kuasa selbsteintritt yang telah dibuat
dihadapan Notaris dan mengusulkan saran penyelesaian masalah yang dapat dilakukan.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Yang dimaksud dengan data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2019).
Data sekunder dalam penulisan ini terdiri
atas:
a.
Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer dari penulisan ini adalah peraturan
perundang-undangan, antara
lain:
1) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
2) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris;
3) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; dan
4) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata [Burgelijk
Wetboek] diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio.
b.
Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang
merupakan hasil pemikiran para pakar atau ahli. Dalam penelitian ini bahan hukum
sekunder yang akan digunakan adalah buku teks, jurnal, tesis dan/atau
disertasi, internet dan bahan publikasi lainnya yang dapat digunakan sebagai
sumber penelitian.
Alat pengumpul data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen
atau bahan pustaka yaitu peraturan
perundang-undangan yang terkait,
buku-buku, literatur mengenai hukum kenotariatan dan jurnal-jurnal
yang dapat diakses melalui internet.
Metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif. Metode kualitatif merupakan suatu bentuk penelitian yang hasil penelitiannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau metode kuantifikasi yang lain. Penelitian kualitatif berusaha untuk mendapatkan pencerahan, pemahaman terhadap suatu fenomena. Metode kualitatif dilakukan melalui pengumpulan data, analisis, kemudian di interpretasikan (Anggito & Setiawan, 2018).
Bentuk akhir dari penelitian ini adalah evaluasi
analitis dikarenakan hasil penelitian ini mengevaluasi kesalahan pembuatan akta autentik yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketidakcermatan Notaris dalam membuat
akta autentik.
Hasil dan Pembahasan
Prinsip larangan selbsteintritt ini yaitu kuasa diberikan untuk kepentingan pemberi kuasa, dengan demikian penerima kuasa bertindak sebagai pihak untuk diri sendiri dan isi kuasa tidak mencantumkan secara lengkap hal-hal apa saja yang tidak mungkin terjadi benturan kepentingan (conflict of interest). Selbsteintritt merupakan hukum yang bersifat mengatur, yang artinya larangan selbsteintritt ini memberikan ruang untuk mengatur isi kuasa yang tidak merugikan kepentingan pemberi kuasa seperti pencantuman harga jual dan syarat-syarat lainnya. Tujuan dari ketentuan Pasal 1470 KUH Perdata adalah agar penerima kuasa tidak menyalahgunakan pemberian kuasa untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk dirinya sendiri (Pieter Latumeten, 2018). Di dalam German Commercial Code (German HGB, s.400), selbsteintritt ini dapat diberikan dengan persetujuan dari klien, dalam hal ini adalah persetujuan pemberi kuasa. Hal ini karena terdapat risiko kepentingan di dalamnya. Selbsteintritt diizinkan hanya jika ada bursa saham atau harga pasar yang tersedia untuk instrumen keuangan yang bersangkutan dan harga yang dikenakan untuk transaksi tersebut sesuai dengannya (Busch, Macgregor, & Watts, 2016). Sedangkan di dalam hukum Inggris dan Amerika, terdapat teori larangan, bahwa selbsteintritt dilarang karena bertentangan dengan fiduciary character. Selain itu, terdapat teori kompromi yang diadopsi oleh hukum Swedia, yang menurutnya selbsteintritt ini diizinkan, tetapi hanya jika hak untuk melakukannya tertulis dalam kontrak, perdagangan atau kebiasaan (Cheng, 1988).
Kuasa dengan ketentuan selbsteintritt dapat diberikan, sepanjang: (a) isi kuasa tidak menimbulkan benturan kepentingan atau tidak merugikan kepentingan pemberi kuasa yaitu harga jual dicantumkan dalam isi kuasa; (b) kuasa diberikan untuk melaksanakan perjanjian lain (perjanjian timbal balik), untuk kepentingan penerima kuasa, bukan untuk kepentingan pemberi kuasa; dan (c) penerima kuasa` selaku kuasa penjual dan penerima kuasa selaku kuasa pembeli atau kuasa penjual dan kuasa pembeli yang berada ditangan satu pihak yaitu penerima kuasa (Pieter E. Latumeten, 2017).
Di Indonesia, Notaris dikenal sebagai pejabat umum yang merupakan salah satu organ negara yang diberikan kewenangan hukum untuk memberikan pelayanan umum kepada masyarakat (Salsa, 2020). Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Jabatan Notaris bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya. Lembaga Notaris muncul dikarenakan kebutuhan akan suatu alat yang dapat menjadi alat bukti dalam hal peristiwa terjadinya perikatan. Alat bukti yang berupa akta autentik ini memberikan kepastian hukum di bidang hukum keperdataan. Dalam penjelasan umum Undang-Undang Jabatan Notaris dijelaskan bahwa akta autentik merupakan alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, apa yang dinyatakan dalam akta Notaris harus diterima, kecuali apabila pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal yang sebaliknya di hadapan pengadilan (Kusuma & SH, 2021).
Pengertian Notaris berwenang membuat akta autentik harus dipahami bahwa kewenangan tersebut ada apabila hal itu diminta atau dikehendaki oleh pihak-pihak yang berkepentingan, untuk dinyatakan dalam suatu akta autentik dan akta itu merupakan bukti-bukti perbuatan hukum para pihak (Tobing, 1999). Dalam menjalankan kewenangannya, Notaris menjalankan fungsi relatering dan konstatering. Menjalankan fungsi relatering ini maksudnya adalah Notaris merumuskan kehendak para pihak dan dituangkan ke dalam akta autentik, sehingga apa yang dituangkan ke dalam akta tersebut adalah murni kehendak dari para pihak. tentunya sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian. Sedangkan menjalankan fungsi konstatering, artinya Notaris mencatat hal-hal yang terjadi dihadapannya yang kemudian dituangkan ke dalam suatu akta autentik, atas permintaan pihak yang memerlukannya (Kusuma & SH, 2021).
Kewenangan Notaris sebagaimana disebutkan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris adalah membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam suatu akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse akta, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta tersebut tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Selain itu, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Jabatan Notaris, Notaris juga bewenang pula untuk: (a) mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; (b) membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; (c) membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; (d) melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; (e) memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; (f) membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau (g) membuat akta risalah lelang. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Notaris dalam menjalankan kewenangannya tersebut wajib untuk bersikap sesuai aturan yang berlaku. Sebagai pejabat umum, Notaris diangkat untuk membantu masyarakat dalam membuat tulisan dalam bentuk akta yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dan sudah seharusnya dalam menjalankan kewajibannya untuk melindungi kepentingan masyarakat, Notaris berkewajiban untuk menjamin kebenaran akta-akta yang dibuatnya, oleh karena itu seorang Notaris dituntut untuk bersifat jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak terkait dalam pembuatan suatu akta. Notaris juga dituntut untuk memiliki nilai moral yang tinggi agar tidak menyalahgunakan wewenang yang diberikan kepadanya dan dapat menjaga martabatnya sebagai seorang pejabat umum.
Notaris merupakan suatu pekerjaan yang memiliki keahlian khusus yang menuntut pengetahuan luas, serta tanggung jawab yang berat guna melayani kepentingan umum. Menurut Ismail Saleh, Notaris perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi yang memiliki 4 unsur-unsur yang harus dipegang teguh, yaitu harus mempunyai integritas moral yang mantap, mempunyai kejujuran intelektual, sadar akan batas kewenangan dan tidak semata-mata bekerja berdasarkan uang (Liliana, 2003). Sebagai seorang Notaris, tentunya harus memberikan suatu kepastian hukum kepada pihak yang menghadap kepada Notaris. �Duty to avoid and to prevent any form of unauthorized legal practice�, adalah suatu kalimat yang menggambarkan tugas berat seorang Notaris. Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib berpedoman secara normatif kepada aturan hukum yang berkaitan dengan segala tindakan yang akan diambil untuk kemudian dituangkan ke dalam akta. Notaris wajib untuk bertindak berdasarkan aturan hukum yang berlaku untuk memberikan kepastian kepada para pihak, bahwa akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Ketika akta telah dibentuk berdasarkan hukum, maka akta tersebut dapat dijadikan dasar untuk menghindarkan sengketa hukum yang dapat dijadikan suatu alat oleh para pihak. Notaris senantiasa berupaya serta mencegah kesalahan dan mencegah pelaksanaan profesi Notaris yang bertentangan dengan hukum.
Produk hukum yang dikeluarkan oleh Notaris adalah berupa akta-akta yang mempunyai sifat otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Sebagaimana definisi akta otentik yang disebutkan dalam Pasal 1868 KUHPerdata:
�Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.� (R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2013).
Negara telah memberi kepercayaan kepada Notaris untuk menjalankan sebagian tugas negara dalam bidang hukum perdata, yaitu dalam pembuatan alat bukti berupa akta dan kepada masyarakat yang telah percaya bahwa Notaris mampu menuangkan perbuatan hukum yang dilakukannya dalam bentuk akta Notaris. Namun dalam praktiknya, seringkali terjadi pembuatan Akta Notaris yang tidak sesuai dengan koridor hukum yang berlaku yang tentunya dapat menimbulkan risiko maupun kerugian terhadap pihak yang terkait dengan akta tersebut, seperti pembuatan Akta Kuasa Untuk Menjual tertanggal 15 April 2021 Nomor : 13, dibuat dihadapan Notaris YL di Balikpapan, yang mengandung kuasa selbstreintitt sebagaimana telah dilarang oleh peraturan perundang-undangan karena dapat menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest).
Dalam Akta Kuasa Untuk Menjual tertanggal 15 April 2021 Nomor : 13, dibuat dihadapan Notaris YL di Balikpapan ini, tuan SK dan istrinya yaitu nyonya A menghadap kepada Notaris YL di Balikpapan sebagai Pemberi Kuasa, memberikan kuasa kepada nona YOP sebagai Penerima Kuasa untuk bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa selaku pihak yang berwenang untuk menjual, memindahkan, mengoperkan, menyerahkan, dan melakukan jual beli dan balik nama dihadapan Pejabat yang berwenang atas kepemilikan Objek Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Nomor XXXX/Rawajati, Kecamatan Pancoran, Kelurahan Rawajati, Luas 28,73 M2 (dua puluh delapan koma tujuh puluh tiga meter persegi) sesuai dengan Gambar Denah tanggal 17-10-2016 (tujuh belas Oktober dua ribu enam belas) Nomor : 4024/2016, terdaftar atas nama SK, untuk dilakukan pendaftaran peralihan hak ke atas nama Penerima Kuasa sendiri, yaitu nona YOP.
Penerima Kuasa dimana perlu dikuasakan untuk menghadap kepada semua Instansi yang berwenang termasuk dihadapan Notaris dan/atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), memberikan keterangan-keterangan, membuat, suruh membuat dan menandatangani Akta Jual Beli serta segala surat dan dokumen lain yang diharuskan atau dipandang perlu, dan selanjutnya melakukan segala sesuatu untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut tanpa ada suatu tindakan yang dikecualikan.
Dalam pembuatan Akta Kuasa Untuk Menjual tertanggal 15 April 2021 Nomor : 13, dibuat dihadapan Notaris YL di Balikpapan ini, tentunya terdapat kuasa yang mengandung unsur selbsteintritt. Nona YOP selaku Penerima Kuasa, datang untuk menghadap kepada PPAT Z di Jakarta Selatan untuk minta dibuatkan Akta Jual Beli. PPAT Z selaku PPAT yang berwenang, membuatkan Akta Jual Beli dan terbit Akta Jual Beli tertanggal 10-11-2021 Nomor : 463/2021. Di dalam Akta Jual Beli tertanggal 10-11-2021 Nomor : 463/2021 tersebut, nona YOP bertindak selaku kuasa dari Penjual dan selaku Pembeli. Oleh Kantor Pertanahan Jakarta Selatan, pendaftaran peralihan hak terhadap Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Nomor XXXX/Rawajati ini ditolak, karena terdapat kuasa yang tidak boleh dilakukan, yaitu kuasa yang mengandung unsur selbsteintritt. Akibatnya, para pihak pun dirugikan karena kurangnya wawasan dari Notaris/PPAT dalam pembuatan akta. Para pihak harus mengulang untuk menghadap kepada Notaris/PPAT agar pendaftaran peralihan hak terhadap Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Nomor XXXX/Rawajati dapat diterima pada Kantor Pertanahan Jakarta Selatan.
Kesimpulan
Akta Kuasa Untuk Menjual tertanggal 15 April 2021 Nomor : 13, dibuat dihadapan Notaris YL di Balikpapan ini mengandung unsur selbsteintritt sehingga pendaftaran peralihan hak terhadap Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Nomor XXXX/Rawajati ini tidak dapat dilakukan pada Kantor Pertanahan Jakarta Selatan. Kuasa selbstreintitt ini telah dilarang oleh peraturan perundang-undangan karena dapat menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest). Salah satunya benturan kepentingan dalam kuasa selbsteintritt ialah benturan secara ekonomi, seperti penerima kuasa dapat menyalahgunakan pemberian kuasa untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk dirinya sendiri dengan membeli berdasarkan harga yang serendah-rendahnya dan besar kemungkinan tidak terdapat titik temu karena pembeli bertindak dalam 2 (dua) kapasitas, salah satunya membeli untuk kepentingannya sendiri. Mengenai akta yang dibuat oleh seorang Notaris dalam hal ini tentunya seorang Notaris harus menghindari hal-hal yang dapat merugikan para pihak karena selalu ada kemungkinan berpotensi konflik. Seorang Notaris harus memperhatikan syarat-syarat materil maupun formil dalam pembuatan aktanya, agar akta yang dibuatnya dapat berlaku sebagai bukti yang autentik dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam praktik kenotariatan, tentunya telah banyak kasus mengenai pelanggaran atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh salah satu atau para pihak dalam menjalankan apa yang tertuang dalam akta maupun pembutan akta yang cacat secara hukum, baik karena kesengajaan, kelalaian, ketidaktelitian atau kurangnya pengetahuan Notaris dalam pembuatan akta autentik yang sesuai dengan rambu-rambu hukum dan tidak merugikan para pihak. Oleh karena itu sebagai seorang Notaris, tentunya harus memiliki wawasan, pengetahuan dan teliti dalam pembuatan akta.
Anggito, Albi, & Setiawan, Johan. (2018). Metodologi
penelitian kualitatif. CV Jejak (Jejak Publisher). Google Scholar
Busch, Danny, Macgregor, Laura, & Watts, Peter.
(2016). Agency Law in Commercial Practice. Oxford University Press.
Cheng, Chia Jui. (1988). Clive M. Schmitthoff�s
Select Essays on International Trade Law. United Kingdom: Martinus Nijhoff
Publishers.
Eddy, Richard. (2010). Aspek legal properti-teori,
contoh, dan aplikasi. Penerbit Andi. Google Scholar
Harahap, Yahya. (2017). Hukum acara perdata:
tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan putusan pengadilan.
Sinar Grafika. Google Scholar
Hartanto, J. Andy, & SH, M. H. (2018). Aspek
Hukum Peralihan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Jakad Media Publishing. Google Scholar
Kusuma, I. Made Hendra, & SH, Sp N. (2021). Problematik
Notaris Dalam Praktik. Penerbit Alumni. Google Scholar
Latumeten, Pieter. (2018). Dasar-Dasar Pembuatan
Akta Kuasa Otentik Berikut Contoh Berbagai Akta Kuasa Berdiri Sendiri dan
Accessoir (Cet.1). Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Latumeten, Pieter E. (2017). Reposisi Pemberian Kuasa
dalam Konsep Volmacht dan Lastgeving Berdasarkan Cita Hukum Pancasila. Jurnal
Hukum & Pembangunan, 47(1), 1�37. Google Scholar
Liliana, Tedjosaputro. (2003). Etika Profesi dan
Profesi Hukum. Aneka Ilmu, Semarang. Google Scholar
Mahmud Marzuki, Peter. (2005). Penelitian hukum. Jakarta:
Kencana Prenada Media, 55. Google Scholar
Meliala, Djaja Sembiring. (2008). Penuntun praktis
perjanjian pemberian kuasa menurut kitab undang-undang hukum perdata.
Nuansa Aulia. Google Scholar
Miru, Ahmadi. (2020). Hukum Perikatan penjelasan
makna pasal 1233 sampai 1456 BW. Google Scholar
Muhammad, Abdul Kadir. (1997). Etika Profesi Hukum.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. (2013). Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Jakarta: Balai Pustaka. Google Scholar
Salim, H. S. (2021). Hukum kontrak: Teori dan
teknik penyusunan kontrak. Sinar Grafika. Google Scholar
Salsa, Shidqi Noer. (2020). Hukum Pengawasan
Notaris Di Indonesia Dan Belanda. Jakarta: Kencana. Google Scholar
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. (2019). Penelitian
Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Depok: Rajawali Pers. Google Scholar
Tobing, G. H. S. (1999). Peraturan Jabatan Notaris
(Notaris Reglement). Google Scholar
Copyright holder: Maghfira Humaira, Pieter Everhardus
Latumeten (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |