Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 3, Maret 2022
Muhammad
Ihsan, Ricardi S. Adnan
Universitas
Indonesia Depok Jawa Barat, Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Undang-undang cipta kerja (omnibus law) mendapat penolakan keras dari
masyarakat. Penolakan tersebut selain terjadi di ruang publik nyata (real
public sphere), juga berlangsung di ruang publik virtual (virtual public
sphere). Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang memustakan
perhatian terhadap aspek pembentukan undang-undang cipta kerja, penelitian ini
berfokus bagaimana ruang publik virtual menjadi ruang percakapan masyarakat
melalui media sosial dalam menyuarakan penolakan atas undang-undang cipta
kerja. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengn jenis penelitian
studi kasus. Data penelitian ini dikumpulkan dari hasil data crawlling di media
sosial twitter serta observasi dan studi dokumen. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa dalam konteks undang undang cipta kerja narasi pengguna
twitter yang ditemukan adalah lebih banyak menolak dengan disertai tagar penolakan.
Peran media sosial sebagai ruang publik virtual memiliki kedudukan penting di
mana para aktor dapat membangun wacana bebas dan terbuka, bahkan memungkinkan
para aktor berpartisipasi lebih luas dan memberikan pengaruh dan masyarakat
mendapatkan pengetahuan mengenai undang undang cipta kerja melalui media sosial.
Penelitian ini menyimpulkann bahwa media sosial mampu menjadi ruang alternatif bahkan
membantu penolakan undang-undang hak cipta kerja yang terjadi di ruang publik nyata.
Kata
Kunci: omnibus law,
ruang publik, virtual public sphere, media sosial, twitter
Abstract
The omnibus law has been strongly rejected by the public. Rejection occurring is not only in real public spheres but also took place in virtual public spheres. The previous studies emphasize the aspects of the omnibus law formation, In contrast to previous studies this study focuses on how virtual public sphere become public conversation spaces through social media in expressing
the rejection of the omnibus law. This research uses a qualitative approach with the type of case
study research. This research data was collected by data crawling on social media twitter as well as doing the observation and document study. The results of this study indicate that
in the context of omnibus law, the narratives in twitter were found that refusal narrative is superior accompanied by rejection hashtags. The role of social media as a virtual
public sphere has an important position where actors can build a free and open
discourse, even allowing actors to participate more widely and give influence
and the public to gain knowledge about omnibus law through social media. This research concludes that social media can
become an alternative space and even help to refuse
omnibus laws that occur in real public sphere.
Keywords: omnibus law,
public space, virtual public sphere, social media, twitter
Gagasan mengenai omnibus law pertama
kali disampaikan oleh Presiden Joko Widodo ketika pidato pelantikan presiden
masa jabatan 2019-2024 di depan anggota DPR RI. Melalui undang-undang omnibus
law ini terdapat tiga hal yang menjadi sasaran yaitu undang-undang cipta
lapangan kerja, undang-undang perpajakan, dan undang-undang pemberdayaan usaha
mikro kecil dan menengah (UMKM) (Idris, 2020).
Dengan undang-undang omnibus law ada sebanyak 80 undang undang dan lebih dari
1.200 pasal akan direvisi sekaligus dalam satu undang-undang cipta kerja yang
mengatur multisektor (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, 2020).
Omnibus law adalah metode pembentukan
peraturan dari berbagai macam aturan yang substansinya berbeda kemudian
digabungkan sehingga terbentuk satu aturan yang menjadi payung hukum. Metode
ini menerapkan cara mencabut dan merubah undang-undang yang telah ada
sebelumnya, dengan kata lain omnibus law dapat membatalkan berlakunya undang
undang yang telah berjalan, serta penambahan dan pengurangan akan sangat
memungkinkan terjadi dengan adanya omnibus law (Rongiyati, 2019; 1).
Dari awal penyusunan undang-undang cipta
kerja (omnibus law) kurang melibatkan pekerja buruh. Selain itu naskah
undang-undangnya juga berkali-kali direvisi dan pemerintah terkesan tertutup
sehingga menciptakan kebingungan ke tengah masyarakat. Realitas yang terjadi di
Indonesia investasi cenderung naik akan tetapi penyerapan tenaga kerja menurun
karena aliran dana investor ini menguntungkan mereka yang diatas dan merugikan
yang di bawah. Kebanyakan aliran investasi ini mengalir kepada sektor jasa
bukan manufaktur apalagi pertanian (Suriadinata, 2019).
Rancangan undang undang cipta kerja (omnibus
law) tersebut menjadi ramai dan sedang hangat dibicarakan di media sosial
adalah karena sudah ditetapkan. Penetapan undang-undang tersebut dilakukan pada
tanggal 5 oktober tahun 2020 oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Setelah
penetapan tersebut akhirnya penolakan dari masyarakat semakin tinggi baik
secara aksi nyata melalui demo dan secara online melalui media sosial. Penolakan
yang terjadi atas penetapam omnibus law oleh DPR bukan hanya terjadi lewat aksi
dijalanan oleh masyarakat yang terdiri dari buruh, mahasiswa dan kelompok yang
lain. Lebih luas dari aksi demo masyarakat juga melakukan protes di dunia maya
melalui media sosial (Razy & Fedryansyah, 2020).
Ruang publik (public sphere)
merupakan istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Jurgen Habermas seorang
sosiolog Jerman pada tahun 1962 dengan menggunakan bahasa Jerman, kemudian
tahun 1989 diterjemahkan ke bahasa Inggris. Bagi Habermas ruang publik adalah
ruang dimana semua orang bertemu, berdebat secara bebas tanpa diatur oleh
negara dan ditekan oleh siapapun yang menciptakan kemampuan menjadi kontrol
rasional terhadap negara� dan dalam waktu
bersamaan mampu memberi kontrol terhadap kebutuhan masyarakat (Cela, 2015).
Bila dilihat berdasarkan sejarahnya, public sphere telah
mengalami perubahan yang sangat signifikant. Di mana pada awalnya ruang publik merupakan
tempat pertemuan orang-orang untuk saling bertemu dan berdiskusi tentang
berbagai hal. Di tempat pertemuan ini mereka dapat saling bertukar gagasan
tanpa adanya tekanan atau diatur oleh siapapun, seperti pemerintah atau
penguasa (Pratama, 2015; Tricana, 2013). Pada perkembangannya, ruang publik kemudian
menjadi lebih luas dengan hadirnya media massa, seperti koran, majalah,
radio, televisi dan paling mutakhir media sosial.
Dengan hadirnya media sosial, tempat diskusi masyarakat kemudian menjadi semakin luas yang memungkinkan lebih banyak orang dapat
mengakses informasi yang ada jauh di luar tempat mereka tinggal (Tricana, 2013).
Menurut Eriyanto (2018),
media tidak hanya berperan sebagai penyampai
informasi, namun juga dapat menjadi perangsang untuk meciptakan komunikasi dan diskusi interaktif di ruang publik. media
sosial mampu menjangkau jutaan orang serta mempunyai potensi yang besar sebagi
alat propaganda dengan tujuan membatasi perdebatan serta mempunyai implikasi
yang sangat besar dalam demokrasi (Butsch, 2007; Iosifidis & Wheeler, 2015).
Penelitian lain mengemukakan media
sosial keanggotannya terbuka untuk siapapun sehingga aksi solidaritas dapat
dilakukan di media sosial dengan tujuan untuk menuntut sesuatu di ruang publik
virtual, serta mendorong pengorganisasian diri, menciptakan partisipasi yang
terbuka, dan terbentuknya potensi kontra terhadap keadaan yang terjadi sertan
menghasilkan mobilisasi sosial yang memungkinkan masyarakat memberikan pengaruh
dalam mengambil keputusan dan dan kebijakan publik (Sampedro & Avidad, 2018; Sari & Siahainenia, 2015).
Penelitian terdahulu memperlihatkan bahwa
penetapan undang-undang omnibus law memiliki kejanggalan-kejanggalan, serta
secara hukum dinilai penuh kontroversi dikarenakan kurangnya pelibatan publik. Kontroversi
menyebabkan konflik di tengah-tengah masyarakat terjadi yang diantara penyebab
konflik tersebut adalah komunikasi politik yang rendah baik itu dari pemerintah
satuan tugas dan pihak-pihak terkait dengan masyarakat, sehingga masyarakat
sipil minim pengetahuan dan informasi perkembangan tentang omnibus law (Muqsith, 2020; Razy & Fedryansyah, 2020).
Razy
dan Fedryansyah (2020) menambahkan penyusunan omnibus law juga hanya
melibatkan pemerintah dan pengusaha yang memiliki hubungan dekat dengan
pemerintah sehingga membangun satu tujuan yang banyak merugikan masyarakat.
Selanjutnya omnibus law juga banyak
ditentang disebabkan tidak memadainya konsultasi publik sehingga masyarakat sipil,
serikat pekerjaan, bahkan akademisi tidak mengetahui secara pasti isi
undang-undang tersebut, yang akhirnya berakibat semua orang terarah kepada
menebak-nebak keputusan yang kontroversial tersebut (Orinaldi, 2020).
(Orinaldi, 2020)
menyebutkan bahwa salah satu yang paling merusak dalam omnibus law adalah rumpun
lingkungan yang pada penetapannya menjadikan peran pemerintah pusat lebih luas
dan partisipasi masyarakat dijadikan menjadi lebih sedikit dalam menetapkan
sebuah keputusan mengenai lingkungan hidup yang akan berakibat sangat luar biasa
bagi kehidupan masyarakat sekitar
Dalam penelitian ini peneliti
berargumen bahwa penolakan undang-undang omnibus law di ruang publik virtual
melalui media sosial terbentuk dengan banyaknya tagar penolakan dan diramaikan
secara masif oleh pengguna media sosial twitter. Hal ini karena diimbangi oleh
banyaknya aktor yang berpengaruh di media sosial yang memberikan narasi
penolakan terhadap undang-undang omnibus law. Masyarakat menggunakan media
sosial sebagai arena alternatif melakukan penolakan untuk menyuarakan aspirasi
sekaligus sebagai media menambah informasi (knowledge� producing) mengenai omnibus law. Dari
argumen diatas peneliti �membuat
pertanyaan penelitian yang akan dijawab dalam penelitian ini yaitu bagaimana
media sosial menjadi ruang publik penting dalam konstruksi penolakan omnibus
law.
Penelitian ini
menggunakan�� pendekatan kualitatif (Creswell, 2014)
karena dalam penelitian ini karena menganalisa pembicaraan masyarakat di ruang
publik virtual melalui media sosial yang menolak penetapan undang-undang
omnibus law oleh DPR RI. Penelitin ini menggunakan studi kasus yang diangkat
adalah mengenai tempat yaitu media sosial sebagai ruang publik virtual yang di
dalamnya terjadi pembicaraan masyarakat dengan narasi penolakan omnibus law.
Dalam penelitian kualitatif ini
pengumpulan data utama dilakukan dengan teknik data crowling dari media
sosial twitter (Fruchterman & Reingold, 1991).
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak phyton. Data yang
dikumpulkan dengan metode ini adalah data percakapan dan pembicaraan masyarakat
di media sosil berdasarkan kata kunci yang ditetapkan oleh peneliti. Selain
pengumpulan data dengan teknik data crawling peneliti juga mengumpulkan
data dengan teknik observasi dan dengan cara studi dokumen. Untuk mendapatkan
data yang sesuai dengan kebutuhan maka�
teknik pengolahan data dilakukan dengan reduksi data, penyajian data dan
interpretasi data dalam bentuk kesimpulan (Marvasti, 2004).
Validasi data adalah
metode untuk memeriksa keakuratan dan kualitas data yang telah dikumpulkan dan
diproses hal ini dilakukan setelah proses pengumpulan dan pengolahan data
selesai (Creswell, 2014).
Dalam penelitian ini validasi dilakukan dengan metode triangulasi sumber data.
Yaitu melihat kecocokan data yang ada di media sosial twitter berdasarkan
tagar, narasi para pemilik akun twitter serta dari hubungan yang terjadi dalam
percakapan di media sosial.
Memasuki
abad dua puluh dan dua puluh satu, perkembangan teknologi informasi mengalami
percepatan yang sangat luar biasa dengan menghadirkan banyak sekali
kemudahan-kemudahan bagi ummat manusia. Salah satunya adalah hadirnya media sosial
sebagai wadah virtual bagi masyarakat untuk saling berjumpa dan berkomunikasi
yang menggantikan media massa konvensional (Cahya & Silfiana, 2020).
Media sosial saat ini merupakan media yang dapat diakses secara online oleh siapapun, dimana para penggunanya dapat berkomunikasi langsung dengan
orang lain untuk berbagi informasi dan saling bertukar ide dalam berbagai
bentuk di jagad maya (Hardiman, 2010).
Dengan media sosial, masyarakat menjadi lebih leluasa untuk menyampaikan
aspirasi mereka tanpa dibatasi oleh siapapun, menjadikan siapa
saja mempunyai waktu dan ruang yang sama untuk bersuara dan memberikan gagasan. �
Media
sosial sebagai ruang publik virtual menjadi medium untuk knowledge producing
bagi masyarakat. Dalam konteks omnibus law peran media sosial sangat besar
menyebarkan informasi kepada khalayak pengguna, karena omnibus law sangat susah
dan kompleks serta melibatkan banyak kepentingan. Seperti media mainstream
(televisi) mempunyai banyak kepentingan yang dilatar belakangi oleh para pengusaha
adalah pemilik media tersebut. Dari kondisi itu akhirnya masyarakat mencari
media alternatif untuk sama sama saling bertukaran pikiran, sama sama mengumpulkan
kekuatan, sama sama memproduksi pengetahuan untuk menggalang dukungan satu
orang dengan yang lain dengan memanfaatkan ruang publik alternatif dalam bentuk
virtual melalui media sosial (Dewi, 2013).
Dari
hasil observasi penulis melihat bagaimana pengguna media sosial dengan akun @okkymadasari
membuat sebuah cuitan di twitter yang sudah di retweet ulang sebanyak 19,3 ribu
kali dan disukai 56,4 ribu pengguna. Dalam cuitannya ditulisan, �Tak usah
gentar kalau digertak, �Memang sudah baca?�. Coba balik: RUU cipta kerja hampir
1000 halaman lho! Apakah anggota dewan , presiden, menteri sudah baca semua
sebelum menyetujui jadi UU yang berdampak pada banyak orang?�.
Dalam
cuitan yang sama selanjutnya akun @okkymadasari menambahkan informasi bahwa
bukan hanya Presiden, anggota DPR dan menteri yang mempunyai staf ahli. Akan
tetapi masyarakat juga mempunyai ahli yang kredibel yang bekerja untuk
kepentingan publik yaitu seperti pusat kajian anti korupsi universitas gajah
mada (PUKAT UGM) sambil menyebutkan akun twitter lembaga tersebut. Selain
lembaga PUKAT UGM disebutkan juga bahwa banyak akademisi dari berbagai
universitas yang membahas tentang omnibus law.
Dari
cuitan tersebut warganet mendapatkan informasi bahwa RUU cipta kerja yang
dibuat pemerintah telah dibahas oleh para ahli dari lembaga maupun akademisi
sehingga menemukan kesimpulan bahwa RUU cipta kerja mempunyai dasar yang kuat
dilakukan penolakan. Selain dari informasi tersebut terlihat juga bahwa
presiden, anggota DPR dan menteri belum tentu sudah dibaca secara lengkap RUU
cipta kerja tersebut sebelum diputuskan. Selanjutnya observasi dilakukan oleh
peneliti pada cuitan dari akun @PUKAT_UGM yang diunggah pada tanggal 5 oktober
2020. Isu cuitan yang dituliskan adalah penjelasan secara lengkap mengenai RUU
cipta kerja dan permasalahan di dalamnya secara proses, metode pembentukan dan
substansinya. Cuitan tersebut sudah di retweet 37 ribu dan disukai 72,7 ribu.
Dari besarnya jumlah angka retweet menandakan jaringan yang diciptakan dalam dalam
kerangka social network analysis sangat besar kepada para pengguna
twitter. Selain dari penggiat anti korupsi seperti @PUKAT_UGM, ahli dan
sekaligus akademisi turut memberikan pandangan mengenai omnibus law.
Guru
besar hukum tata negara daru Unpad memberikan argumen seperti pada unggahan video
dari akun twitter @indriafernida yang diunggah tanggal 8 oktober 2020. Dalam
video yang sudah di retweet sebanyak 2,3 ribu kali dan 71,2 ribu tayangan
menampilkan guru besar unpad menyampaikan:
�Prinsip
negara hukum terdiri dari substantif Due Process of Law dan procedural
due process of law ketika dia menyentuh procedural due process of law,
apakah pasrtisipasi publik itu kemudian harus masuk menjadi satu hal yang harus
diperhatikan dalam konteks pembentukan undang-undang, menurut saya ya, karena
itu adalah sendi demokrasi Yang didengar yang pertama adalah mereka yang
terkena dampak melalui peraturan ini�.
Dari
unggahan video tersebut bahwa dijelaskan mengenai dengan hak asasi manusia
kepada negara untuk didengarkan dan diberi ruang menyampaikan pendapat
masing-masing dalam menyampaikan masukan terkait dengan peraturan yang akan
ditetapkan oleh pemerintah. Karena semua peraturan dan kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah dampaknya akan dirasakan oleh masyarakat juga. Oleh karena itu
partisipasi dari masyarakat sangat perlu didengarkan dalam penetapan kebijakan
yang menyangkut dengan warga negara.
Media
sosial sebagai public sphere berperan penting karena untuk
menyebarluaskan materi omnibus law. Peran media sosial dalam menyebarkan
informasikan sangat diperlukan disebabkan oleh jangkauannya yang luas dan lebih
cepat. Media sosial sifatnya memungkinkan setiap orang memberikan catatan
kritis terhadap kebijakan itu. Sehingga media sosial membantu mengartikulasikan
sebagai media alternatif dengan konsekuensi dukungan menjadi banyak, karena
orang-orang menjadi tahu karena diberitahu dengan media sosial. Pengetahuan
yang diterima masyarakat dari media sosial mengenai omnibu law akhirnya
bermuara pada keadaan yang menghasilkan kesadaran terhadap kompleksitas kebijakan.
Setelah
orang-orang mengetahui, kemudian memberikan reaksi dan yang timbul berupa
penolakan dengan cara langsung.� Caranya
adalah dengan datang ke jalan untuk demo, atau diskusi-diskusi di media sosial
atau petisi. Itulah alasan orang menggunakan media sosial sebagai media utama
menyebarluaskan informasi yang tidak ditemukan melalui media mainstream seperti
televisi. Hal ini karena media mainstream ada tarik ulur kepentingan, sehingga
media sosial menjadi rujukan utama publik dalam memperoleh informasi yang yang
sulit didapat selain dengan media sosial. Penyebab lain media sosial begitu
penting adalah karena penyebaran informasinya cepat susah dibatasi serta mampu
menciptakan tren pada saat yang bersamaan dan akhirnya menjadi public sphere
yang mempunyai keunggulan.
Maka
dalam konteks ini diuraikan sebagaimana menurut pengertian habermas dengan
ruang publik itu di beri penjelasan. Kemudian dengan media sosial disebutkan
semua aktivitas orang di masyarakat berlangsung tanpa ada paksaan tanpa ada
otoritas yang membatasi. Hal ini sangat berbeda dengan konvensional yang
mempunyai kepentingan reduksi, kalau media sosial tidak ada kepentingan dan
tekanan semua bebas berekspresi.
Dalam
isu omnibus law media sosial media sosial menjadi ruang penting atau utama �serta unsur pembantu dalam penolakan, karena penolakan
omnibus law ini bukan hanya di media sosial tapi membantu gelombang protes
penolakan dengan jumlah besar karena antara negara, pasar dan masyarakat itu
difasilitasi oleh media sosial. Dengan media sosial opini dari masyarakat
terbantu untuk dibentuk dan di gerakkan untuk menolak omnibus law. Hal ini
karena adanya ketidakpercayaan kepada negara yang memberikan regulasi tidak
adil dan sektor privat yang bekerja menanggung untung sebesar-besarnya
dengan penindas masyarakat. Ketidakpercayaan itu adalah ide besar penolakan yang
universal ini, karena kajian di sosiologi ada konsep interaksi ketemu langsung itu
interaksi langsung dan di internet itu interaksi tidak langsung akan tetapi
sama-sama ada komunikas. Saat ini interaksi tidak langsung sedang digunakan
secara berar besaran dalam satu komunitas dan tujuan yang sama yaitu menolak
omnibus law (Sari, 2020).
Dalam� membahas penolakan penetapan undang undang
cipta kerja (omnibus law) yang terjadi di ruang publik virtual, peneliti
mengumpulkan data dari media sosial twitter dengan kata kunci Tolak Omnibus Law,
Omnibus Law, Cabut Omnibus Law, UU Cipta Kerja. Dari hasil pengumpulan data yang
dilakukan pada tanggal 5 sampai 8 Desember 2020 dengan data crawling, peneliti
menemukan narasi yang muncul sisertai dengan begitu� banyak tagar yang membicaakan omnibus law.
Dari sekian banyak tagar, peneliti menemukan pembicaraan di media sosial paling
banyak menggunakan tagar #TolakOmnibusLaw. Dari tagar yang paling banyak
tersebut muncul tagar-tagar yang lain karena dipengaruhi tagar
#TolakOmnibusLaw.
Hasil
temuan data yang diambil peneliti masih relevan dengan trending topik twitter
pada tanggal 5 oktober ketika undang-undang omnibus law disahkan DPR. Tagar
yang menjadi trending topik saat itu adalah #MosiTidakPercaya,
#tolakomnibuslaw, #DPRRIKhianatiRakyat. Kemunculan narasi yang menggunakan
tagar diatas dipengaruhi oleh penetapan undang-undang omnibus law tersebut,
sebagai bentuk aspirasi masyarakat menyatakan penolakan terhadap keputusan yang
diambil oleh DPRRI �dan pemerintah,
karena menyetujui RUU omnibus law.
Gambar 1
Tagar isu Omnibus Law
Masyarakat
sangat bebas memberikan aspirasinya di media sosial, hal ini dikarenakan
karakteristik dari media sosial yang bersipat terbuka dan mudah diakses oleh
siapapun. Sebagaimana disebutkan Noamany
dkk (2015) dalam
kajiannya bahwa karakteristik media sosial selain yang sudah disebutkan
sebelumnya, diantaranya adalah jangkauan yang luas serta dapat dibuat sesuai
dengan keinginan masing masing. Untuk melihat konsistensi dibalik populernya tagar
#TolakOmnisbusLaw, peneliti mengutip laporan dari Ismail Fahmi (2020)
di laman drone emprit yang diunggah pada tanggal 5 oktober.
Dalam
laporannya Fahmi menyebutkan bahwa salah satu kata kunci yang dipakai untuk
melihat percakapan di media sosial ada Omnibus Law. Dari hasil yang didaptkan
terlihat peningkatan pembicaraan masyarakat mengenai omni bus law terhitung
tanggal 28 september hingga tanggal 5 oktober 2020 jam 17.30. Sebelum
pengesahan pembicaraan orang mengenai omnibu law hanya sekitar 2 ribuan
percakapan, tapi ketika tanggal 5 Oktober meningkat menjadi 57 ribuan
percakapan. Data tersebut terlihat pada gambar grafik dibawah ini.
Gambar 2
Grafik Tren Omnibus Law
Sumber: (Fahmi, 2020)
http://bit.do/TrenOmnibuLaw
Berdasarkan
temuan data tagar mengenai omnibus law secara percakapan di media sosial dapat
disimpulkan lebih banyak yang menolak daripada yang mendukung. Dalam Social
Network Analysis �percakapan mendukung
tidak organik artinya tidak banyak diperbincangkan orang secara langsung,
terang-terangan kemudian asli pemikiran orang, tapi lebih kepada pembicaraan
yang sifatnya dalam bentuk-bentuk perilaku yang terkoordinir dan tidak wajar
serta bisa saja dilakukan oleh mesin atau bot. Hal ini terlihat dari laporan (Fahmi, 2020)
dalam di laman drone emprit bahwa cluster pembicaraan di media sosial mengenai
omnibus law hasilnya dipetakan menjadi dua cluster. Clsuter pertama yang
menyatakan menolak dengan jumlah yang lebih besar dan mendomnisi percakapan.
Kemudian cluster kedua yang menyatakan mendukung dengan jumlah yang lebih
sedikit dan berada di pinggiran.
Gambar 3
Social
Network Analysis Percakapan Omnibu Law
Sumber:
http://bit.do/SNAomnibusLaw
Peneliti
melakukan observasi di media sosil twitter tentang tagar yang populer di tahun
2020. Dari hasil temuan observasi tersebut terlihat bahwa isu penolakan omnibus
law dengan tagar #gagalkanomnibuslaw menjadi yang paling populer berada di
urutan nomor satu selama tahun 2020, bahkan mengalahkan tagar #covid19 yang
hanya berada di urutan ke empat.
Tabel 1
Tagar Populer di Twitter Tahun
2020
No |
Tagar |
1 |
#gagalkanomnibuslaw |
2 |
#agnation |
3 |
#fotoprofilbaru |
4 |
#covid19 |
5 |
#dirumahaja |
6 |
#mutualankuy |
7 |
#mufc |
8 |
#banjir |
9 |
#malamjumat |
10 |
itsokaytonotbeokay |
Dari
tabel diatas dapat dilihat bahwa masyarakat Indonesia sangat mengikuti
perkembangan isu yang sedang terjadi di negara ini. Salah satu cara mengikuti
isu yang sedang maju tersebut adalah dari media sosial. Media yang sifatnya
terbuka dan bebas untuk semua orang memberikan aspirasi dan pikirannya tanpa
ada tekanan dari pihak manapun (Nasution, 2020).
Peneliti
juga mengambil data dari google trend mengenai berita yang banyak dicari oleh
masyarakat selama tahun 2020. Hasilnya terlihat bahwa pencarian berita yang
dilakukan oleh masyarakat menunjukkan bahwa omnibus law masih mengalahkan isu
covid-19. Pencarian berita omnibus law berada di urutan ke empat sementara
pencarian berita menganai covid-19 di urutan ke enam.
Tabel 2
Tren Pencarian Berita di Google
Tahun 2020
No |
Berita |
1 |
Kartu Pra Kerja |
2 |
Daftar UMKM Online |
3 |
Stimulus PLN |
4 |
Omnibus Law |
5 |
Sunda Empire |
6 |
Covid-19 |
7 |
Erupsi Krakatau |
Sumber:
https://trends.google.co.id/trends/yis/2020/ID/
Media
sosial telah menciptakan ruang publik baru untuk percakapan berorientasi
politik dalam hal ini pembicaraan omnibus law. Secara proses studi ini tidak
melihat komparasi pro atau kontra akan tetapi omnibus law ini secara percakapan
dalam media sosial dilihat dari sisi pro tidak organik karena perbincangan
sedikit oleh orang secara langsung dan pemikiran asli. Akan tetapi sifatnya nya
maka bisa dilihat bahwa sentimen publik tersebut tidak tercipta sedemikian rupa
untuk mendukung justru dalam riset ini bukan membandingkan antara pro dan
kontra karena pro dan kontra jauh timpang di mana kelompok pro tidak asli, akan
tetapi riset ini akan melihat bagaimana perwujudan penolakan omnibus law di
media sosial seperti adanya hastag #tolakomnibuslaw yang mempunyai
keterhubungan dengan #mositidakpercaya.
Kenapa
mosi tidak percaya berhubungan dengan tolak omnibus law karena secara proses ternyata
banyak pandangan yang menyatakan omnibus law ini bukan saja substansi yang
cacat tapi prosedurnya pun tidak bisa dipercaya sehingga orang tidak peduli
antara substansi seperti apa karena proses sudah dianggap tidak benar maka
muncul mosi tidak percaya.
Orang-orang
yang ikut demo Apakah mereka sudah membaca semua omnibus law itu, belum tentu
tapi mengapa mereka yang belum baca menyetujui atau menolak kalau dilihat
secara konsep disharmoni kekesalan atau persoalan yang terjadi itu sudah
mengakar bahwa omnibus law ini jadi eskalasi aja akan rapi yang paling dasar
dalam konteks relasi antara organisasi negara dan masyarakat adanya disharmoni
masyarakat sudah tidak percaya dengan relasi antara negara dan pengusaha. Media
sosial bukan menggantikan kondisi ketika orang tidak bisa demo meskipun sedang
pandemi, karena pada faktanya protes dengan cara demo tetap terjadi, akan
tetapi dalam konteks ini media sosial membantu mengartikulasikan protes omnibus
law dilakukan. Hal yang kedua media sosial membantu orang untuk menghimpun
kekuatan yang lebih luas menghimpun dukungan. Dari hal ini dilihat dari konteks
ruang publik di media sosial menjadi ruang alternatif ketika tekanan dalam
praktek yang nyata mengalami kebuntuan, tapi apakah kemudian menggantikan,
jawabanya tidak menggantikan akan tetapi sifatnya saling simultan dalam ruang
publik virtual dengan media sosial.
Media
sosial membantu mengartikulasikan protes dan membantu menghimpun dukungan dalam
hal ini mengartikulasikan isu omnibus law. Menyebarluaskan informasi sangan
perlu dilakukan ke semua orang untuk diketahu karena omnibus law ini produk
kebijakan hukum yang kompleks yang mencakup relasi antara negara pasar dan
masyarakat.
Memasuki abad dua puluh dan dua puluh satu, perkembangan teknologi informasi mengalami percepatan yang sangat luar biasa dengan menghadirkan banyak sekali kemudahan-kemudahan bagi ummat manusia. Salah satu kemudahan yang dialami oleh masyarakat saat ini adalah melakukan interaksi dan komunikasi antar individu dengan individu lainnya. Media sosial adalah produk dari perkembangan teknologi saat ini yang meciptakan ruang publik baru dalam bentuk virtual bagi masyarakat. Dengan kehadiran ruang publik virtual ini semua orang menyampaikan pikiran-pikirannya masing-masing dengan tenaga, waktu yang relatif lebih sedikit dibanding di dalam ruang publik nyata.
Peran media sosial sebagai ruang publik virtual memiliki kedudukan penting di mana para aktor dapat membangun wacana bebas dan terbuka, bahkan memungkinkan para aktor berpartisipasi lebih luas dan memberikan pengaruh dan masyarakat mendapatkan pengetahuan mengenai undang undang cipta kerja melalui media sosial. Penelitian ini menyimpulkann bahwa media sosial mampu menjadi ruang alternatif bahkan membantu penolakan undang-undang hak cipta kerja yang terjadi di ruang publik nyata.
Temuan data penelitian ini menunjukkan
bahwa msayarakat sangat berperan aktif dalam mengikuti perkembangan kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Partisipasi yang
dilakukan masyarakat di media sosial dalam konteks undang undang cipta kerja
menunjukkan bahwa banyak narasi disalurkan dengan media sosial twitter. Narasi
pengguna twitter yang ditemukan adalah lebih banyak menolak dengan disertai tagar
penolakan. Dari satu tagar mempunyai hubungan yang kuat dengan tagar penolakan
lainnya. Benyaknya tagar yang muncul memberi indikasi bahwa msayrakat secara
umum tidak setuju dengan undang undang cipta kerja yang digagas oleh pemerintah.
Butsch, R. (2007). Introduction: How Are Media Public
Spheres? In R. Butsch (Ed.), Media and Public Spheres (hal. 1�14).
London: Palgrave Macmillan UK. https://doi.org/10.1057/9780230206359
Cahya, A., & Silfiana, I. (2020). Studi Kasus : Addictive Media
Sosial , Peer Acceptence Dan Well-Being Siswa Sekolah Dasar Info Artikel
Abstrak. Jurnal Ilmiah Kependidikan, 10(2).
Cela, E. (2015). Social Media as a New Form of Public Sphere. European
Journal of Social Sciences Education and Research, 2(3). Google Scholar
Creswell, J. W. (2014). Research Design (Qualitative, Quantitative, and
Mixed Mtehods Approach). Sage Publications (4 ed., Vol. 4). London:
Sage Publications. Google Scholar
Dewi, A. K. (2013). Pemanfaatan Media Sosial sebagai Sarana Penyebaran
Informasi Studi Kasus SMA Negeri 28 Jakarta dalam Kaitannya dengan Perpustakaan
Sekolah. Naskah RIngkas. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, S1.
Diambil dari http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2016-03/S45799-Astri Kania Dewi Google Scholar
Eriyanto. (2018). Konsentrasi Kepernilikan Media dan Ancaman Ruang Publik.
Junral Ilmu Sosial Ilmu Politik, 12(2), 121�256. Diambil dari
https://jurnal.ugm.ac.id/jsp/article/view/10977/8218 Google Scholar
Fahmi, I. (2020). Drone Emprit Academic: Software for social media
monitoring and analytics. https://doi.org/` Google Scholar
Fruchterman, T. M. J., & Reingold, E. M. (1991). Graph drawing by
force-directed placement. Software: Practice and Experience, 21(11),
1129�1164. https://doi.org/10.1002/spe.4380211102 Google Scholar
Hardiman, B. (2010). Ruang Publik: Melacak �Partisipasi Demokratis�
dari Polis sampai Cyberspace. Kanisius.
Haryanti Puspa Sari. (2020). Proses Perumusan Omnibus Law RUU Cipta Kerja
Dianggap Menyimpang. Diambil 30 November 2020, dari
https://nasional.kompas.com/read/2020/03/04/18530501/proses-perumusan-omnibus-law-ruu-cipta-kerja-dianggap-menyimpang?page=all
Idris, M. (2020). Masih Bingung Apa Itu Omnibus Law? Diambil 8 Desember
2020, dari
https://money.kompas.com/read/2020/02/18/160300026/masih-bingung-apa-itu-omnibus-law?page=all. Google Scholar
Iosifidis, P., & Wheeler, M. (2015). The Public Sphere and Network
Democracy : Social movements and Political Change ? Global Media
Journal, 13(25), 1�17. Google Scholar
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. (2020). Omnibus
Law Cipta Lapangan Kerja. Booklet Omnibus Law. Diambil dari
http://dikti.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/2020/10/Booklet-UU-Cipta-Kerja.pdf Google Scholar
Marvasti, A. B. (2004). Qualitative Research in Sociology (First
Edit). London: SAGE Publication. Google Scholar
Muqsith, M. A. (2020). UU Omnibus law yang Kontroversial. �ADALAH, 4(3),
109�115. https://doi.org/10.15408/adalah.v4i3.17926 Google Scholar
Nasution, L. (2020). Hak Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi Dalam Ruang
Publik di Era Digital. Buletin Hukum dan Keadilan, Volume 4,
37�48. Google Scholar
Noamany, Y. Al, Weigle, M., & Nelson, M. L. (2015). Characteristics of
Social Media Stories. In International Conference on Theory and Practice of
Digital Libraries (hal. 267�279).
https://doi.org/10.1007/978-3-319-24592-8_20 Google Scholar
Orinaldi, M. (2020). Relasi Antara Omnibus Law di Era Pandemi Covid-19 Dan
Perekonomian di Indonesia. Jurnal Manajemen dan Sains, 5(2),
269�275. https://doi.org/10.33087/jmas.v5i2.194 Google Scholar
Pratama, H. N. (2015). Social Networking System Sebagai Public Sphere
Politik Era Postdemokrasi Kampanye Pilpres 2014. Paradigma: Jurnal Online
Mahasiswa S1 Sosiologi UNESA, 3(1).
Razy, M. F., & Fedryansyah, M. (2020). Konflik Gerakan Masyarakat
Sipil Dan Pemerintah Dalam Proses Penyusunan Rancangan Undang-Undang Omnibus
Law. Jurnal Kolaborasi Resolusi Konflik, 2(2), 74.
https://doi.org/10.24198/jkrk.v2i2.28147 Google Scholar
Rongiyati, S. (2019). Menata Regulasi Pemberdayaan UMKM Melalui Omnibus
Law. INFO Singkat, XI(23), 1�6. Diambil dari
http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info
Singkat-XI-23-I-P3DI-Desember-2019-195.pdf Google Scholar
Sampedro, V., & Avidad, M. M. (2018). The Digital Public Sphere :
An Alternative and Counterhegemonic Space ? The Case of Spain. International
Journal of Communication 12(2018), 12, 23�44. Google Scholar
Sari, D. K., & Siahainenia, R. R. (2015). Gerakan Sosial Baru di Ruang
Publik Virtual pada Kasus Satinah. Jurnal Ilmu Komunikasi, 12(1),
105�118. https://doi.org/https://doi.org/10.24002/jik.v12i1.446 Google Scholar
Suriadinata, V. (2019). Penyusunan Undang-Undang Di Bidang Investasi:
Kajian Pembentukan Omnibus Law Di Indonesia. Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu
Hukum, 4(1), 115�132.
https://doi.org/10.24246/jrh.2019.v4.i1.p115-132 Google Scholar
Tricana, D. W. (2013). Media Massa Dan Ruang Publik (Public sphere), Sebuah
Ruang Yang Hilang. Aristo, 1(1), 8.
https://doi.org/10.24269/ars.v1i1.1538 Google Scholar
Copyright holder: Muhammad
Ihsan, Ricardi S. Adnan (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |