Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN:
2548-1398
Vol.
7, No. 4, April 2022
PEREMPUAN PEDESAAN DAN DISABILITAS DI PROVINSI
PAPUA DAN PAPUA BARAT (SUATU ANALISA HUBUNGAN INTERNASIONAL DALAM PELAKSANAAN
OTSUS PAPUA)
Melyana R. Pugu, Dhea
T. Lumentut, Yan G. Pelamonia
Universitas Cenderawasih, Indonesia
Email: [email protected],
[email protected], [email protected]
Abstrak
Tujuan penelitian
ini adalah mendapatkan gambaran dan analisa terkait perempuan pedesaan dan disabilitas di Provinsi Papua dan
Papua Barat pada saat pelaksanaan
Otonomi Khusus Papua yang dianalisa dengan menggunakan konsep dan teori Feminisme dalam Hubungan Internasional. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu mencoba memberikan penjelasan melalui berbagai data yang diperoleh kemudian dianalisa dan mendapatkan kesimpulan dari permasalahan ini. Luaran dari
penelitian adalah perempuan pedesaan dan disabilitas di Provinsi Papua dan
Papua Barat dalam pelaksanaan
Otonomi Khusus Papua yang diketahui sebagai salah satu jawaban bagi
kesejahteraan orang asli
Papua ternyata dalam
Analisa hubungan internasional
menggunakan pendekatan Femisnime belum mampu mensejajarkan peran dan partisipasi perempuan dan disabilitas di
Papua dan Papua Barat. Hal ini mengakibatkan
perempuan pedesaan dan disabilitas di wilayah ini masih miskin dan termarginalkan jauh dari pembangunan
dan kesejahteraan.
Kata kunci: perempuan; pedesaan; disabilitas; papua; papua barat; pelaksanaan;
otonomi khusus; hubungan internasional
Abstract
The purpose of this study is to get an overview and analysis related to
rural women and disabilities in papua and West Papua
provinces during the implementation of Papua Special Autonomy which is analyzed
using the concept and theory of Feminism in International Relations. This
research uses qualitative research methods, namely trying to provide
explanations through various data obtained and then analyzed and get
conclusions from this problem. The exterior of the study is that rural and
disabled women in Papua and West Papua Provinces in the implementation of Papua
Special Autonomy which is known as one of the answers to the welfare of
indigenous Papuans turned out that in the analysis of international relations
using the Femisnime approach has not been able to
align the role and participation of women and disabilities in Papua and West
Papua. The exterior of the study is that rural and disabled women in Papua and
West Papua Provinces in the implementation of Papua Special Autonomy which is
known as one of the answers to the welfare of indigenous Papuans turned out
that in the analysis of international relations using the Femisnime
approach has not been able to align the role and participation of women and
disabilities in Papua and West Papua.
Keywords: �women; rural; disability; papua; west papua;
implementation; special autonomy; international relations.
Pendahuluan
Definisi orang asli
Papua secara historis muncul dari pengalaman �memory Passionist� akan masa-masa diwaktu lalu yang penuh tantangan dan pergulatan untuk menunjukan jati diri, sehingga dasar
ini yang menjadi konsensus bersama seluruh pemangku kepentingan di Tanah Papua untuk
mengidentifikasikan masyarakat
adat Papua sebagai orang asli Papua, dan terakomodir secara
legal dalam sebuah perundang-undangan yang konstitusional
yaitu undang-undang otsus Papua. Orang Asli Papua menurut undang-undang otsus Papua adalah
orang yang berasal dari rumpun ras melanesia
yang terdiri dari suku-suku asli
di Papua dan/atau yang diterima
dan diakui sebagai orang asli
Papua oleh masyarakat (hukum)
adat Papua (Media.neliti.com, 2022).
Di dalam situasi politik terkini konflik Papua dan keberadaan undang-undang otsus, dan dalam kaitannya dengan situasi hubungan gender di Papua,
maka merasa perlu membahas lebih dulu kondisi
perempuan Papua di dalam masyarakatnya. Dengan ini, gambaran tentang
konteks budaya dan social
yang melingkupi perempuan dapat dipahami dan memperjelas latar belakang dinamika gerakan perempuan dan perjuangan gender yang sedang berlangsung. Memahami perempuan Papua dan representasinya
dalam �kebudayaan Papua� bukanlah soal sederhana,
mengingat Papua adalah terminologi yang tidak mengacu pada kelompok etnis tertentu tetapi pada suatu wilayah pulau besar di bagian barat yang berbatasan dengan Papua Nugini (PNG) di sebelah timur. Keragaman kelompok etnis/budaya sangat tinggi. Dari segi itu, Papua memiliki lebih dari sekitar
315 suku (BPS Provinsi
Papua) atau kelompok etnis dengan bahasa
dan budaya yang berbeda. Secara sederhana, kita dapat membaginya
ke dalam tiga kategori besar,
yakni kelompok etnis pantai, dataran
rendah/sungai, dan pegunungan (Mansoben 1995: 46�50).
Untuk kepentingan penyederhanaan bab ini, dikelompokan perempuan pantai dan dataran rendah dalam satu kategori.
Dalam hal
konstruksi gender, bisa secara spekulatif dikonstruksi sejumlah kemiripan untuk memotret bagaimana hubungan gender, hubungan kekuasaan, dan pembagian kerja dalam masyarakat
tradisional Papua dikonstruksikan
secara sederhana. �Adat� dipandang sangat kuat membelenggu masyarakat Papua pada
umumnya. Khusus dalam hal hubungan
gender, menurut Petrus Tekege,
�Kaum perempuan sepenuhnya dikuasai oleh laki-laki. Perempuan dipandang sebagai benda milik
laki-laki belaka� (Tekege 2007: 15). Di dalam
kehidupan seharihari, beban kerja perempuan
digambarkan sangat berat, misalnya di kalangan masyarakat pantai/dataran rendah, �Selain melahirkan dan menyusui anak, harus menokok sagu
dan mencari ikan.� Dalam pandangan penulis muda Papua ini, adat mengalami perubahan sejak hadirnya missie dan zending di Papua, terutama karena pengaruh ajaran tentang Sepuluh Perintah Allah. Menurut Tekege, melalui gereja, terjadi perubahan pandangan bahwa perempuan tidak lagi diisolasi oleh adat dan dikembangkan pengakuan bahwa perempuan memiliki derajat yang sama (Tekege 2007: 15). Lebih
jauh, peran gereja ini juga diakui oleh (alm.) Beatrix Koibur yang mengatakan bahwa gereja berperan
dalam mencetak pemimpin perempuan (Widjojo, 2012).
1.
Teori Feminis
Dalam Hubungan Internasional
Kesetaraan gender telah menjadi perhatian
utama dalam tatanan dunia internasional. Perspektif
Feminisme
muncul sebagai sebuah pergerakan emansipasi yang menuntut adanya kesetaraan dan
kebebasan yang telah dianggap tidak adil bagi kaum feminis seperti
yang diutarakan oleh (Wardhani, 2015).
Perspektif
feminisme ini
pada dasarnya berusaha untuk mengenalkan gender sebagai suatu variabel yang
relevan dalam memahami konteks kekuasaan global dan hubungan internasional.
Perspektif feminisme pada dasarnya memiliki agenda yang paling utama yakni
menuntut adanya kesetaraan hak, peran dan pendapat perempuan yang seharusnya
turut diperhitungkan dalam tatanan internasional maupun studi hubungan
internasional (Wardhani, 2015).
Steans
et al (2005) dalam artikelnya yang berjudul Introduction to
International Relations mengemukakan bahwa Perspektif Feminisme memiliki Empat asumsi
dasar. Asumsi yang pertama yakni feminism mempercayai tentang adanya human
nature yang merupakan suatu konstruksi yang ada dalam lingkungan
sosial. Asumsi yang kedua yakni perspektif feminisme mempercayai dan memandang
bahwa tidak ada perbedaan yang jelas antara fakta dan nilai. Asumsi yang ketiga
yakni kaum feminisme mempercayai pernyataan yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan, serta berbagai teori yang memandang
mengenai hubungan natara dunia dengan nilai-nilai yang ada dalam teori
tersebut. Asumsi yang keempat yakni feminisme memiliki kepercayaan tentang
adanya emansipasi perempuan yang merupakan agenda utama dan tujuan utama dari
kaum feminisme tersebut (Steans et al, 2005: 165).
Menurut Steans
et al (2005), feminisme merupakan perspektif yang ada dalam Hubungan
Internasional yang berisi tentang paham mengenai gender
yang telah memberikan kontribusi dan turut memperkaya perspektif yang telah ada
dalam studi Hubungan Internasional. Menurut Steans et al, gender dan seks
merupakan dua hal yang sangat berbeda. Gender merupakan pembeda antara pria dan
perempuan, sedangkan seks merupakan sebagai pembagi jenis kelamin yang
didasarkan secara anatomi atau biologi untuk membedakan antara pria dan
perempuan (Steans et al, 2005: 181). Artinya, Steans menganggap bahwa
dua deskripsi antara seks dan gender bukan merupakan suatu hal yang sama.
Steans menganggap
bahwa istilah seks lebih mengarah kepada struktur biologi yang telah melekat dan
ada pada diri manusia sejak lahir, sedangkan gender merupakan suatu istilah
yang lebih mengarah kepada psikologis yang telah dimiliki oleh manusia dan hal
tersebut terbentuk dari struktur social yang ada (Steans, Pettiford, & Diez, 2005).
Peterson
dan Runyan (1999) dalam artikelnya yang berjudul Global Gender
Issue, mengungkapkan bahwa perspektif feminisme ini terbagi menjadi beberapa
pendekatan yakni Liberal Feminsme, Marxis Feminisme, Post-Modernis Feminisme
dan Standpoint Feminisme. Pendekatan yang pertama yakni Liberal
Feminisme yang merupakan suatu pandangan yang mempercayai tentang adanya
peranan oleh perempuan pada dunia politik dan pendekatan ini pada dasarnya bersifat
mempertanyakan kembali mengapa perempuan memiliki batasan-batasan di dunia.
Teori Liberal Feminisme ini membahas tentang keinginan perempuan dan pria harus
disama ratakan dalam mencari keuntungan dalam bidang politik dan lain
sebagainya. Pendekatan yang kedua yakni Marxis Feminisme yang merupakan
pendekatan yang lebih mengarah kepada pembahasan system international
capital. Pendekatan yang kedua ini lebih memandang pada penindasan yang
diberikan pada perempuan adalah merupakan hasil dari kapitalisme. Marxis Feminisme
ini juga memandang kapitalisme dan patriarki sebagai struktur yang harus
dibendung jika para perempuan menginginkan suatu persamaan derajat. Pendekatan
yang ketiga yakni Post-Modernis Feminisme, yang merupakan pendekatan yang lebih
berfokus kepada jenis kelamin. Post-Modernis Feminisme ini beranggapan bahwa
perempuan seharusnya berada pada posisi yang sebaliknya jika ditinjau dari
keadaan sekarang. Pendekatan yang ketiga ini menjelaskan bahwa perempuan dan
pria dapat disatukan dalam dunia politik untuk membangun dunia politik
bersama-sama dan saling berdampingan. Dan yang keempat
yakni Standpoint Feminisme, pendekatan yang terakhir ini lebih pada
dasarnya hanya berfokus kepada kritik yang dilakukan oleh Ann Ticker, yang
melakukan kereksi terhadap dominasi yang dilakukan oleh kaum pria terhadap ilmu
pengetahuan yang ada didunia, sehingga muncul anggapan bahwa ilmu pengetahuan
yang ada sekarang hanya dipandang dan berdasar dari sudut pandang pria saja.
Ticker beranggapan bahwa dengan melakukan kritik ini akan membuat penjelasan
ulang mengenai six objective principle yang ada pada politik
internasional yang telah dikembangkan oleh Hans Morgenthau yang berdasar kepada
pandangan perempuan terhadap dunia. Dari teori-teori yang telah dikembangkan oleh
para pakar diatas dapat dilihat bahwa gender mengacu pada perilaku dan
ekspektasi yang secara sosial dipelajari yang memisahkan antara maskulinitas
dan empat feminitas (Peterson & Runyan, 1999).
Metode Penelitian
Tulisan ini
menggunakan Metode Penelitian Kualitatif yaitu merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok
orang dianggap berasal dari masalah sosial
atau kemanusiaan. Menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema yang khusus ke tema-tema
umum, dan menafsirkan makna data. Penelitian ini menerapkan cara pandang penelitian
yang bergaya induktif, berfokus terhadap makna individual, dan menerjemahkan
kompleksitas suatu persoalan (Creswell, 2010:4). Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara pengumpulan data Sekunder yaitu mengumpulkan data dari berbagai sumber literatur baik melaui studi pustaka,
berbagai literatur, media cetak dan internet. Menurut Sugiyono (2013:7) Metode penelitian ini dinamakan sebagai metode baru, karena
popularitasnya belum lama, disebut postpositivistik karena berlandaskan pada filsafat postpositivisme. Metode ini disebut
juga sebagai metode artistik, karena penelitian lebih bersifat kurang terpola, dan disebut sebagai metode interpretive karena data hasil penelitian lebih berkenaan dengan interpretasi terhadap data yang ditemukan di lapangan.
Hasil dan Pembahasan
1.
Aspek Humanity Terhadap Perempuan Papua
Masalah
kemanusiaan pada perempuan Papua umumnya masih kurang diperhatikan, sehingga banyak
kesenjangan dalam kehidupan bersosial. Hal ini berdampak pada situasi dan
kondisi di lingkungan. Secara umum, hukum dan kebijakan publik yang mengatur
soal pemerintahan daerah, pengelolaan sumber daya alam, agrarian, dan
bidang-bidang kesejahteraan seperti kesehatan dan pendidikan, kurang
memperhitungkan atau memberi perhatian khusus kepada kebutuhan Perempuan Papua.
Bagi orang Papua, acuan terhadap hukum adat sangat kuat, sayangnya hukum adat
juga mendiskriminasi perempuan. Hukum adat tidak memberi ruang pada perempuan
untuk akses keadilan sumber daya alam (tanah) dan harta milik. Dengan demikian
ada beberapa hal yang dikaji dalam melihat masalah kemanusiaan pada perempuan Papua yaitu tentang
kekerasan, kemiskinan, serta disabilitas. dan pernikahan
usia dini yang melawan kehendak anak perempuan di bawah umur dapat dicegah.
2.
Perempuan Orang Asli Papua (OAP) dan Kemiskinan
Provinsi Papua saat ini memiliki 4,3 juta penduduk,
jika 26,8 persennya miskin, berarti ada sekitar 1,15 juta penduduk yang hidup
dalam kemiskinan.
Apabila penambahan penduduk semakin bertambah tanpa
diiringi peningkatan ekonomi pada level rumah tangga, maka bisa dipastikan
jumlah penduduk miskin akan semakin memingkat sehingga upaya Papua untuk lepas
dari jerat kemiskinan akan semakin jauh.
Kebijakan dan atau regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah terhadap
pengelolaan sumber daya alam, agrarian, dan
bidang-bidang kesejahteraan seperti kesehatan dan pendidikan, kurang
memperhitungkan atau memberi perhatian khusus kepada kebutuhan Perempuan Papua.
Bagi orang Papua, pengaruh
hokum adat walaupun secara tidka tertulis
masih sangat kuat. Yang dimana
didalamnya juga sangat �mendiskriminasi atau
membedakan dan menjadikan perempuan sebagai kelompok kelas dua dibandingkan laki-laki. Hukum adat
tidak memberi ruang pada perempuan untuk mendapatkan
akses keadilan sumber daya alam (tanah) dan harta
milik.
Salah
satu contoh kemsikinan perempuan Papua dapat terlihat di Kabupaten Jayawijaya, ditemukan bahwa bayi berumur tiga hari sudah diberi
makan ubi yang dikuyah terlebih dahulu oleh ibunya. Dari segi kesehatan hal ini
sangat tidak diperkenankan karena ketidaksiapan pencernaan bayi. Persoalan yang
dihadapi Perempuan Papua seperti (1) angka kekerasan domestik yang tak kunjung
turun, termasuk yang terkait dengan mabuknya para laki-laki karena miras, (2)
angka kematian ibu dan balita yang kerap tinggi, karena minimnya layanan
kesehatan bagi ibu dan anak, dan ketiadaan pemahaman tentang anggaran responsif
gender yang tidak mengalokasikan dengan tepat biaya kesehatan, (3)prevalensi
infeksi HIV (AIDS) Papua yang lebih tinggi daripada angka nasional, termasuk
yang disebabkan oleh perilaku seksual para laki-laki, (4) masalah pendidikan
yang aksesnya tidak dapat dinikmati secara memadai oleh segenap penduduk (termasuk anak perempuan), atau
sistem pendididkan nasional yang kurang tepat dengan konteks geografis, sosial
dan budaya penduduk, sehingga potensi pengetahuan dan kearifan lokal tidak
termanfaatkan dan mereka dipaksa mengikuti standar pendidikan dan ujian
nasional, (5) perlindungan terhadap masalah keamanan & jaminan rasa aman
dan nyaman yang diakibatkan oleh konflik (bersenjata) internal maupun eksternal
yang berkepanjangan.
3.
Kekerasan Terhadap
Perempuan Orang Asli Papua (OAP)
Pada 2017, tindak kekerasan
terhadap anak dan perempuan di Papua tercatat 98 kasus. Angka ini melonjak jauh
pada 2018 menjadi 331 (dilakukan oleh laki-laki) dan 219 oleh
perempuan. Ada beberapa faktor pemicu kekerasan, terutama faktor ekonomi. Kekerasan biasanya mulai terjadi dipicu oleh suami yang kecanduan minum
minuman keras. Tidak ada kontrol yang ketat. Miras inilah yang sebagian besar menjadi sumber utama kekerasan,Selain itu,
kekerasan juga dipicu dari pemahaman suami bahwa para istri tidak berpendidikan
sehingga tidak mampu memberikan kontribusi atau pemikiran yang baik berkaitan
dengan kemajuan rumah tangga, kerabat besar dan lingkungan sekitarnya. Hal itu
terbukti sebagian besar kasus kekerasan terhadap perempuan, istri, itu
diselesaikan melalui cara kekeluargaan. Sementara, sebagian kecilnya
diselesaikan dengan jalur kepolisian dan adat istiadat. Oleh karena itu, kasus
kekerasan terhadap perempuan Papua seakan tidak pernah menemui solusi.
Alasannya, setelah diselesaikan melalui cara kekeluargaan, biasanya suami
tersebut mengulangi aksi kekerasannya lagi. Hal ini membuat istri menjadi
pasrah dan hanya bisa menerima keadaan (Kompas.com, 2018).
Data KDRT yang terjadi di Kota
Jayapura pada Periode Januari � November 2017 sejumlah 68 kasus yang tercatat
oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana. Data ini meningkat dari tahun sebelumnya, yakni sejumlah 64 kasus. Dari
68 kasus yang tercatat, 66 korban KDRT ialah perempuan dan 2 korban lainnya,
pria. Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan
Anak Kota Jayapura, Betty Pui, menilai aksi KDRT yang terjadi di Kota
Jayapura dipicu oleh 3 hal, yakni: miras (minuman keras), kepribadian pelaku,
dan cemburu. �KDRT dipicu oleh miras, dimana pelaku melakukan
KDRT dalam kondisi dipengaruhi oleh miras. Kedua, kepribadian pelaku, yakni
tidak puas kalau tidak melakukan kekerasan dan pemicu ketiga ialah rasa
cemburu. Cemburu itu penting untuk kehidupan rumah tangga pasangan suami istri,
atau mereka yang sedang berpacaran. Tetapi cemburu itu harus dikelola,� terang
Betty Pui. �Faktor lain yang memicu KDRT ialah persoalan
ekonomi,� imbuhnya. Dari 68 kasus yang dimediasi oleh Dinas
Pemberdayaan Perempuan, ada beberapa kasus yang telah masuk ke ranah� hukum, namun ditarik kembali dan diselesaikan
secara adat. Meski demikian, pihaknya tetap melakukan pendampingan, upaya
mediasi dan rehabilitasi bila diperlukan dalam wadah terpadu bersama instansi
lainnya (Anastasia, 2017).
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) menyatakan keprihatinan
yang teramat dalam atas terjadinya konflik yang meluas di Papua sejak peristiwa penyerbuan dan penghinaan yang bernuansa rasisme di Asrama Mahasiswa Papua di kota Surabaya
pada 17 Agustus 2019. Kasus
penghinaan bernuansa rasisme tersebut hanyalah pemicu dari persoalan besar kekecewaan orang Papua yang
tidak dituntaskan dari satu rezim
ke rezim yang lain. Situasi Papua saat ini adalah residu
dari kekerasan dan diskriminasi yang telah berlangsung selama 5 dekade, sejak jaman
Orde Baru hingga saat ini.
Dari dua pendokumentasian yang dilakukan Komnas Perempuan bersama Jaringan Pembela HAM Perempuan
Papua sepanjang tahun 2009 s.d 2014, tergambar kekerasan dan diskriminasi terhadap Orang Asli Papua khususnya
perempuan, dan kondisi pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya Orang Asli Papua dalam perjalanan proses pembangunan
Papua. Kekerasan dan diskriminasi
terjadi berulang di Papua
dan Papua Barat tanpa ada penegakan hukum, bahkan Pemerintah terkesan melakukan pembiaran. Kekerasan seperti menjadi pelaziman. Kekerasan oleh negara,
ditiru menjadi kekerasan di komunitas dan meluas ke dalam
rumah, karena kefrustasian kolektif akibat konflik. Perempuan Papua menjadi korban berlapis dari seluruh pusaran
kekerasan dan diskriminasi tersebut. Kedua laporan hasil pendokumentasian
ini beserta sejumlah rekomendasi, telah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo di awal masa kerja pada tahun 2014, untuk dapat ditindaklanjuti.
Setelah kedua pendokumentasian di atas, Komnas Perempuan secara rutin memperbaharui situasi HAM perempuan di Papua
dan Papua Barat, khususnya situasi
kekerasan terhadap perempuan. Komnas Perempuan mencatat sejumlah isu-isu krusial Papua yang masih� harus dituntaskan antara lain:
1)
Eksploitasi sumber daya alam
dan alih fungsi hutan/lahan serta
kerusakan lingkungan, dimana dampak terbesarnya
masyarakat tercerabut sumber dan ruang hidupnya untuk dapat akses pangan
dan tumbuhan yang selama ini diperoleh di hutan, hilangnya sumber obat-obatan dan hilangnya pusat kearifan dan spiritualitas bagi masyarakat adat, karena terjadinya
perubahan alih fungsi lahan yang masif;
2)
Rasa aman yang tidak benar-benar dipulihkan, karena perbedaan persepsi �aman�. Pemerintah masih menggunakan pendekatan �keamanan� dengan menghadirkan sejumlah aparat keamanan, sementara masyarakat Papua khususnya perempuan, memaknai rasa aman adalah tidak ada
penempatan aparat keamanan, karena banyaknya aparat keamanan tanda situasi tidak aman.
Kondisi ini memicu trauma mereka dan menghentikan aktivitas ekonomi bahkan memilih mengungsi, karena situasi dirasa tidak aman;
3)
Korban konflik khususnya perempuan asli Papua yang pernah menjadi korban kekerasan seksual hingga saat ini
belum dipulihkan, juga tidak ada upaya
untuk meminta pertanggungjawaban pelaku, padahal penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM di
Papua adalah jantung pengembalian martabat orang
Papua;
4)
Upaya-upaya yang dilakukan untuk menyejahterakan rakyat Papua, tidak dinikmati oleh rakyat Papua pada umumnya dan hanya kepada kelompok
elite kuasa. Dana Otsus
yang cukup besar tapi minim dirasakan perempuan, bahkan memperburuk kekerasan terhadap perempuan, akibat meningkatnya peredaran dan penggunaan minuman keras (miras) yang sulit dikendalikan;
5)
Persoalan kependudukan (demografi) dan minimnya politik afirmasi bagi Orang Asli Papua
pada peran-peran strategis,
di ranah politik dan ekonomi, serta minimnya ruang-ruang perjumpaan untuk dapat memahami budaya Papua, berkontribusi dapat menjadikan situasi yang lebih rumit dan semakin membuka peluang adanya perselisihan hubungan sosial antara Orang Asli Papua dan pendatang;
6)
Layanan publik
yang tidak efektif, karena sering absennya
pemerintah daerah maupun korupsi yang mewabah, berkelindan dengan minimnya tenaga medis walaupun
layanan kesehatan gratis, hingga penyuluhan pangan sehat yang tidak berbasis pada budaya Papua, sehingga berkontribusi pada buruknya gizi perempuan dan stunting anak. Kondisi kesehatan
semakin diperburuk, karena warga Papua yang tidak memiliki kelengkapan dokumen catatan sipil tidak
dapat mengakses BPJS. Padahal banyak warga yang tidak memiliki kelengkapan dokumen catatan sipil itu berawal
dari hukum negara yang tidak mengakui dan tidak mencatatkan perkawinan adat, sehingga banyak keluarga tidak memiliki Kartu Keluarga yang merupakan dokumen penting untuk mendapatkan dokumen catatan sipil lainnya;
7)
Minimnya perlindungan bagi perempuan pembela HAM, menyebabkan timbulnya stigma separatis yang menghalangi hak sipil dan politik,
pada akhirnya berdampak buruk pada hak, integritas dan ruang gerak para penggiat HAM.
Situasi di atas adalah persoalan-persoalan dasar yang menyebabkan konflik di Papua sangat mudah meletus, meskipun upaya pemenuhan kebutuhan dasar tetap diupayakan pemerintah. Namun akumulasi kemarahan selama 5 (lima) dekade ini meletus dan meledak lebih cepat
dibanding upaya-upaya yang sedang dilakukan Pemerintah. Berdasarkan kondisi tersebut dan merespon eskalasi konflik sejak 17 Agustus 2019, maka Komnas Perempuan menyerukan kepada:
1.
Pemerintah, aparat penegak hukum dan seluruh masyarakat Indonesia untuk mendalami dan memahami lebih jauh Papua dengan perspektif orang Papua, sebagai upaya memulihkan� Papua yang bermartabat
dan tanpa kekerasan;
2.
Elit masyarakat,
para politisi dan warga masyarakat secara keseluruhan, agar dapat menahan diri untuk
tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang dapat� memprovokasi
konflik meluas/berulang, termasuk menyampaikan informasi bohong tentang situasi di Papua.
Selain itu, Komnas
Perempuan juga merekomendasikan kepada:
1.
Presiden RI
Memulihkan kondisi keamanan Papua dengan cermat, tanpa kekerasan
dan mengedepankan�
dialog, dengan antara
lain: a) Melakukan dialog secepatnya
bersama tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama khususnya gereja untuk mencegah terjadinya konflik yang lebih buruk dan meluas; b) Membuka akses media ke Papua dan Papua
Barat dan memastikan jaringan
informasi dan komunikasi publik kembali berfungsi secara optimal; c)Memberikan ruang bagi keterlibatan/partisipasi perempuan pada seluruh upaya penyelesaian
konflik di Papua dan memastikan
afirmasi untuk berpartisipasi bagi perempuan asli Papua;
Memerintahkan penuntasan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Papua, termasuk dalam hal ini membentuk
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagaimana
yang telah dimandatkan oleh
UU No. 21 tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Provinsi Papua;
Memastikan Pemerintah Nasional, Pemerintah Papua dan Papua Barat untu
melibatkan partisipasi masyarakat Papua termasuk perempuan dalam pelaksanaan pembangunan, baik pembangunan infrastruktur maupun pembangunan sumber daya manusia di Papua dan Papua
Barat, sejak dari perencanaan hingga evaluasi.
2.
Kepolisian RI
Mengusut tuntas pelaku dan pihak-pihak yang terlibat pada peristiwa yang bernuansa rasisme di asrama Papua
di Surabaya dan� perusakan fasilitas publik di
sejumlah tempat di Papua dan Papua Barat, agar proses peradilan/pertanggungjawaban
hukum dari pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dapat diupayakan.
Memberikan jaminan keamanan bagi mahasiswa
Papua untuk kembali dapat belajar di semua kota di Indonesia, khususnya di Surabaya dan Malang, karena
pendidikan adalah hak dasar dan yang sangat dibutuhkan di Papua.
Komisi Nasional (Komnas)
perempuan mencatat terdapat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan
sepanjang 2020 Angka tersebut menurun signifikan jika dibandingkan laporan
tahun lalu yang tercatat sebanyak 431 471 kasus. Bentuk
kekerasan yang paling menonjol di ranah pribadi ini adalah kekerasan fisik
2.025 kasus (31 persen) menempati peringkat pertama disusul kekerasan seksual
sebanyak 1 983 kasus (30 persen). psikis 1 792 (28 persen), dan ekonomi 680
kasus (10 persen). Di ranah publik, kasus paling menonjol adalah
kekerasan seksual sebesar 962 kasus (55 persen) yang terdin dan dan kekerasan
seksual lain (atau tidak disebutkan secara spesifik) dengan 371 kasus diikuti
oleh perkosaan 229 kasus pencabulan 106 kasus pelecehan seksual 181 kasus
persetubuhan sebanyak 5 kasus dan sisanya adalah percobaan perkosaan 10 kasus (Hutapea, 2021).
Penanganan Kasus Kekerasan
terhadap Perempuan dan Anak Polda Papua dan Jajaran tahun 2021 Terus dilakukan.
Subdit IV Remaja anak dan Perempuan (Renakta) Ditreskrimum Polda Papua dan
Jajaran dari bulan Januari hingga Juni 2021 menerima sebanyak 221 kasus aduan
dari masyarakat terkait kasus kekerasan terhadap
perempuan dan anak. Sebanyak 221 kasus dengan rincian, kekerasan
terhadap anak (Fisik dan Psikis) sebanyak 54 kasus, persetubuhan 58 kasus,
pencabulan 23 kasus, pemerkosaan 11 kasus, penganiayaan 53 kasus, pengeroyokan
4 kasus, penelantaran 6 kasus dan perzinahan sebanyak 12 kasus.Polda Papua dan
Jajaran telah menyelesaikan kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
sebanyak 85 kasus (P21) dan 130 kasus telah dilakukan penyidikan.
Kondisi perempuan Papua saat
ini mengalami kekerasan berlapis. Angka kekerasan terhadap perempuan tinggi
tetapi minim pelaporan terutama kasus KDRT dan kekerasan seksual. Angka kekerasan terhadap perempuan tinggi, kekerasan saat konflik terkait
konflik tanah, lingkungan, dan sumber penghidupan lainnya, tingginya kasus HIV
AIDS pada perempuan termasuk ibu rumah tangga, bantuan pengungsi di daerah
rawan konflik bersenjata yang minim, serta perempuan mengalami kesulitan
mengakses layanan penanganan kekerasan terhadap perempuan, terutama saat
pandemi Covid-19. Selain itu, perempuan Papua juga mengalami
kesulitan mengakses layanan kesehatan. �Di daerah pedalaman dan daerah rawan
konflik bersenjata susah untuk mengakses layanan kesehatan. kebijakan pemerintah untuk memperhatikan perempuan dan anak yang
membutuhkan perlindungan belum terealisasi dengan baik. Saat ini pendampingan
korban kekerasan untuk mengatasi kesehatan mental belum ada. Dalam beberapa kasus, belum sampai ke pendampingan kesehatan mental. Tapi
lebih ke pendampingan penyidikan ke bantuan hukum. Maka itu,
isu-isu perempuan di Papua membutuhkan bantuan dari banyak pihak.
Berbagai faktor penyebab utama
kekerasan terhadap perempuan di Papua seperti, budaya patriarki, ketidakmampuan
dalam masalah perekonomian, dan faktor pemicu paling tinggi adalah pengaruh
minuman keras. Kekerasan terhadap perempuan
sudah umum terjadi di Papua,berdasarkan data dari Kepolisian Daearah Papua.
KDRT meliputi kasus penganiyaan, penelantaran, perkosaan, perselingkuhan, dan
kekerasan psiskis (Jurnal perempuan.org, 2013).
4.
Pencegahan
Tindak Kekerasan
Pelibatan langsung� organisasi pemerintah, organisasi masyarakat adat,
organisasi keagamaan, organisasi pendidikan, lembaga layanan kesehatan dan
hukum� memiliki posisi strategis dalam
kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak.� Kampanye tersebut sebagai langkah� nyata dalam pencegahan tindak kekerasan
terhadap perempuan dan anak yang modus dan jumlahnya semakin meningkat di
seluruh Indonesia. Kekerasan�
yang terjadi pada perempuan dan anak merupakan salah satu indikator Kegagalan Suatu Proses Pembangunan oleh karena itu dibutuhkan
strategi dan� sinergitas dari berbagai
pihak dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus KtPA di Papua. Keterpaduan layanan yang harus diberikan pada perempuan dan anak korban
kekerasan yaitu melalui penanganan medis, psikososial dan hukum
berdasarkan mekanisme kerja lintas disiplin dan institusi, baik dari lingkungan
pemerintah maupun masyarakat yang dibangun bersama secara������� terbuka dan terjangkau oleh masyarakat. Standar Pelayanan Minimal (SPM) bagi Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan
yang meliputi; pelayanan pengaduan; pelayanan kesehatan; rehabilitasi sosial;
penegakan dan bantuan hukum; dan pemulangan dan reintegrasi sosial.
Melalui kegiatan MOS yang
diselenggarakan di kota dan Kabupaten Jayapura merupakan salah satu bentuk
Kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan pelibatan instansi
Pemerintahan yang memberikan layanan perlindungan perempuan dan
anak hal ini bertujuan agar kegiatan pencegahan kekerasan
terhadap perempuan dan anak selama pandemi Covid-19 dapat berjalan dengan
efektif (Uhamka, 2021).
Dalam penyelenggaraan
tanggung jawab negara untuk penegakan Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia di dalam konteks Otonomi Khusus Papua, terdapat
lima konsep penting dalam memahami konsep tanggung jawab negara dalam memastikan penikmatan hak untuk bebas dari kekerasan dan
diskriminasi, termasuk terhadap perempuan, yaitu :
1.
Kewajiban menyediakan perangkat dan kewajiban mendapat hasil nyata,
dimana Negara memiliki kewajiban untuk menciptakan perangkat, dengan
menggunakan sumber daya yang dimiliki, untuk mewujudkan kesetaraan substantif.
2.
Tanggungjawab atas penghormatan, pemenuhan dan perlindungan, hak untuk
bebas dari diskriminasi dan menikmati dengan utuh kesetaraan yang substantif.
Tanggung jawab atas penghormatan mensyaratkan Negara untuk menahan diri dari
menyusun hukum, kebijakan, aturan, program, prosedur administrasi dan struktur
institusi yang secara langsung maupun tidak langsung menyangkal hak kelompok
tertentu, khususnya perempuan, untuk dapat dengan setara menikmati hak sipil,
politik, ekonomi, sosial dan budaya.
3.
Tindakan Khusus Sementara yaitu sarana atau cara yang dapat dan harus
digunakan untuk mengatasi ketimpangan dalam masyarakat dalam hal pengakuan,
penikmatan dan penerapan hak asasi manusia. Tindakan
khusus sementara didasarkan pada pemahaman bahwa kesetaraan dan
non-diskriminasi tidak berarti perlakuan yang sama.
4.
Uji tuntas (due diligence). Kerangka uji tuntas merupakan alat yang
sangat penting dalam memastikan akuntabilitas Negara dalam pelaksanaan
tanggung jawabnya Negara atas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak.
Tanggung jawab ini meliputi semua pelanggaran hak asasi manusia, baik yang
dilakukan oleh aparat Negara maupun aktor privat, di ranah publik maupun
personal.
5.
Harmonisasi Hukum Nasional yaitu pengujian dan perubahan hukum dan
kebijakan di seluruh tingkatan tata kelola Negara, yaitu dari desa hingga
pusat, agar sesuai atau konsisten dengan jaminan hak manusia sebagai hak warga
Negara.
Kerangka Uji Cermat Tuntas /Due
Dillegence dalam memastikan upaya yang dilakukan pemerintah untuk menghapuskan
kekerasan terhadap Perempuan meliputi aspek Pencegahan, Perlindungan,
Penyidikan, Penuntutan dan Pemidanaan dan pemulihan. Kelima kerangka tersebut
merupakan satu kesatuan dan pelaksanaannya integratif dalam kerangka tanggung
jawab negara untuk pemenuhan hak asasi setiap warga negaranya. Adapun jabaran
kerangka Due Dilligence sebagai berikut :
1.
Pencegahan. Mencakup informasi akar masalah dan pendidikan tentang
pencegahan kekerasan terhadap perempuan.
2.
Perlindungan. Memastikan perlindungan untuk mencegah keberulangan
termasuk melindungi korban dari pelaku.
3.
Penyidikan dan Penuntutan. Proses hukum dalam rangka memutus impunitas
melalui penyidikan dan penuntutan sekaligus memutus mata rantai kekerasan. Pada
tahapan ini, penting juga untuk melakukan penguatan bagi institusi penegak
hukum dalam rangka pemenuhan hak-hak korban kekerasan.
4.
Pemidanaan. Penjatuhan sanksi perdata, pidana, administratif atau
lainnya. Dalam hal ini, penegak hukum harus memahami ketidaksetaraan sistemik
dan struktur antara perempuan dan laki-laki sehingga dapat menjatuhkan hukuman
yang setimpal. Karenanya perlindungan terhadap perempuan (korban) merupakan
prioritas.
5.
Pemulihan. Ini merupakan kunci dari keberdayaan perempuan korban
kekerasan, di mana layanan pemulihan harus berfokus pada penderitaan dan
kerugian yang dialami perempuan korban. Sehingga pemulihan korban harus
dirumuskan secara menyeluruh meliputi; kompensasi, restitusi, rehabilitasi
serta perawatan fisik dan psikologis.
5.
Perempuan Difabel
Orang Asli Papua (OAP)
Pandemi Covid-19 dapat
dikatakan berdampak langsung pada sebagian besar orang. Namun dampak yang
dirasakan oleh penyandang disabilitas berbeda dengan dampak yang dirasakan oleh
non-disabilitas, sebagaimana temuan dalam Asesmen Cepat Dampak Covid-19 kepada
Penyandang Disabilitas di Seluruh Indonesia �yang merupakan inisiatif dari Jaringan DPO
Respons Covid-19 Inklusif. Asesmen yang dilakukan pada Mei 2020� melibatkan 1.638 responden menyimpulkan
perbedaan dampak terjadi karena adanya ketimpangan akses dan kesempatan dalam
seluruh aspek kehidupan penyandang disabilitas, seperti belum tersedianya aksesibilitas
dan akomodasi yang layak, yang menghambat banyak penyandang disabilitas untuk
berperan aktif dalam masyarakat. Hasil asesmen cepat itu juga
menunjukkan perempuan disabilitas lebih rentan terhadap dampak pandemi bila
dibandingkan dengan laki-laki. Bagi perempuan dengan disabilitas, dampak
pandemi menjadi berlipat ganda karena adanya faktor ketidaksetaraan gender yang
telah mengakar dan cenderung membatasi ruang gerak perempuan pada ranah
domestik. Situasi ketidaksetaraan gender yang dialami perempuan disabilitas
menjadikannya rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan berbasis gender (KBG).
�Perempuan dengan disabilitas
mengalami diskriminasi ganda, bukan hanya karena jenis kelaminnya, tetapi juga
karena disabilitas mereka. Ketimpangan struktural yang
sudah terjadi pada masa sebelum pandemi kini diperparah
dengan berbagai dampak dari pandemi�. Kelompok ragam disabilitas yang paling
rentan menurutnya adalah perempuan dengan spektrum autisme serta mereka yang
memiliki gangguan pendengaran, penglihatan, psikososial, atau intelektual.
Perempuan disabilitas mengalami berbagai bentuk Kekerasan Berbasis Gender� sepanjang siklus kehidupannya, sejak dari
usia anak, remaja, hingga dewasa. �Kekerasan berbasis gender yang
dialami perempuan disabilitas bukan hanya isu baru-baru ini tetapi sudah
dialami sedari dulu dan merupakan fenomena gunung es karena tidak semua korban
mengadukan kasusnya�. Banyak korban tidak berani
mengadukan kekerasan yang dialaminya karena hampir sebagian besar pelaku adalah
orang dekat dan mereka khawatir akan kembali mengalami kekerasan jika mengadu
ke orang lain. Minimnya liputan media terhadap kasus-kasus yang dialami
perempuan disabilitas semakin meredupkan harapan terhadap dukungan publik yang
lebih luas untuk mendorong hadirnya kebijakan yang melindungi dan menjawab
kebutuhan perempuan disabilitas.
Selama ini penanganan terhadap
kasus kekerasan yang dialami perempuan disabilitas sering terhambat dan tidak
sedikit pula yang tak tuntas karena berbagai alasan mulai dari Aparat Penegak
Hukum (APH) yang belum atau kurang memahami isu disabilitas, tidak cukup bukti,
tidak tersedia akomodasi yang layak, layanan yang sulit diakses, dan
peraturan/kebijakan yang belum berpihak bagi penyandang disabilitas. Untuk
memastikan optimalisasi penanganan dan pendampingan terhadap perempuan dan anak
perempuan dengan disabilitas korban KBG, HWDI mengajukan sejumlah rekomendasi
kepada perwakilan rakyat di Parlemen, Pemerintah, serta institusi-institusi
lain yang terkait.
Salah satu rekomendasi yang
diusulkan adalah melakukan harmonisasi kebijakan pada tingkat nasional dan
daerah dengan memperhatikan prinsip kesetaraan-keadilan gender, inklusifitas,
dan interseksionalitas isu yang berdasarkan keragaman kebutuhan masyarakat
khususnya masyarakat miskin, disabilitas, dan kelompok rentan lainnya. Selain itu,
HWDI juga merekomendasikan kepada pembuat kebijakan untuk segera merumuskan dan
mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai bentuk komitmen untuk melindungi setiap orang dari tindak
kekerasan berbasis gender, termasuk perempuan disabilitas yang merupakan salah
satu kelompok rentan (Perempuan, 2020).
Kasus kekerasan pada perempuan
disabilitas juga terjadi di Papua Barat, terutama di Manokwari. Pendamping
Perempuan Disabilitas Korban Kekerasan Himpunan Perempuan Disabilitas Indonesia
(HWDI) Papua Barat, Pendeta Shirley F.A. Parinussa Siagian, mengatakan
persoalan perempuan disabilitas yang terjadi di Papua kental dengan adat dan
istiadat. Kasus kekerasan di Manokwari sulit
dijangkau selain karena adat juga akibat rasa malu (Idntimes.Com, 2021).
Gender dan Inklusi Sosial atau
yang sering disebut dengan GESI juga merupakan hal penting dalam peningkatan
layanan dasar. Hal ini sesuai dengan tujuan Program LANDASAN II untuk dapat
meningkatkan keterwakilan perempuan dan penyandang disabilitas sehingga dapat
mengatasi ketidaksetaraan.� Gender dan
Inclusion Manager Program KOMPAK, telah membuka wawasan para peserta mengenai
pentingnya kesetaraan gender dan inklusifitas dalam mendukung fokus program LANDASAN
II terutama terkait dengan hambatan dan dan kondisi yang dihadapi oleh
perempuan miskin, penyandang disabilitas dan kelompok-kelompok lain yang
termarjinalkan. Pada prinsipnya, GESI bertujuan untuk menghargai
keanekaragaman yang dipertimbangkan dalam desain implementasi dan pemantauan
setiap kegiatan dalam Program LANDASAN. Hal ini diharapkan dapat menghapus
hambatan-hambatan yang dialami oleh perempuan, penyandang disabilitas dan
kelompok marjinal lainnya dalam berkontribusi dan
berpartisipasi serta mendapatkan manfaat langsung dari program (Mansyur, 2019).
Peparnas (Pekan Paralimpik
Nasional) merupakan pesta olahraga kaum difabel, diharapkan membuka aksesibilitas terhadap
hambatan hambatan yang menghalangi terwujudnya perubahan paradigma tersebut.
Sehingga, para penyandang disabilitas di masa mendatang dapat diperlakukan
setara dengan warga non disabilitas dari berbagai aspek. Secara
konkret, yang dimaksud dari ajang peparnas ini mengentaskan sumbatan kendala dari para penyandang disabilitas untuk diperlakukan
berbasis hak, adalah melalui pembangunan infrastruktur pelengkap yang memudahkan mobilitas kaum disabilitas ke berbagai tempat (Www.Antaranews.Com, 2022).
Bupati Sorong diwakili Staf
Ahli Bidang Hukum dan Politik Septinus Lobat mengemukakan,� penyandang disabilitas wajib dilindungi oleh
Negara. Penyampaian Bupati Sorong itu, dikemukakan saat
membuka kegiatan sosialisasi perlindungan anak penyandang� disabilitas dan bina diri anak berkebutuhan
khusus bersumberdaya masyarakat.
Anak penyandang disabilitas
merupakan bagian dari warga Negara yang harus dijamin kelangsungan hidupnya
oleh Negara (pemerintah). �Komitmen pemerintah untuk
memberikan perlindungan dan jaminan bagi anak-anak penyandang disabilitas telah
diwujudkan, dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas serta disahkannya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas�. Peraturan tersebut ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 4 Tahun 2017 tentang
Perlindungan Khusus Bagi Anak Penyandang Disabilitas. Dengan adanya peraturan-peraturan tersebut, tidak ada alasan lagi
pemerintah untuk tidak melindungi anak-anak penyandang disabilitas.
6.
Dampak
Otsus Papua Terhadap
Perempuan Di Provinsi Papua Dan Papua Barat
Pemerintah menerbitkan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, yang sekarang telah diperbarui dengan perubahan melalui UU nomor 2 tahun 2021 tentang Otsus Papua. Dalam ketentuan UU Otsus ini, perempuan
mendapatkan perbaikan kepastian atas untuk berpartisipasi dalam menentukan kebijakan lokal melalui Majelis Rakyat Papua
(MRP). Dalam majelis yang mewakili masyarakat Papua yang tersegregasi ke dalam berbagai macam suku ini,
kelompok perempuan mendapatkan kuota sepertiga (1/3) kursi yang ada di MRP. Hal ini membuka kesempatan bagi kaum perempuan
untuk dapat mengikis berbagai ketimpangan gender yang disebabkan
oleh aspek sosial dan budayanya.
Selain itu, sebagai
tindaklanjut dari kebijakan nasional implementasi PUG dan PPRG, disusun
suatu Rencana Aksi Daerah Pengarusutamaan
Gender (RAD PUG) di daerah. Program dan kegiatan yang tercantum dalam RAD PUG ini dapat menggambarkan kebutuhan-kebutuhan internvensi
yang mendesak untuk dilakukan secara sistematis, integratiif; dan pada
saat yang sama pragmatis dan implementatif, dengan melalui tindak tindakan yang luar biasa. Prinsip
ini dimaksudkan untuk mendorong lebih cepat upaya
mewujudkan tanah Papua yang
lebih responsif gender.
Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang telah berjalan sejak 2002 sampai kini dengan
anggaran sebesar Rp146 triliun nampaknya belum mampu menyelesaikan
permasalahan di Papua sesuai
tujuannya yaitu mensejahterakan orang asli Papua
(OAP).� Hal itu
disampaikan oleh Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), Dorince
Mehue. Menurutnya, salah satu komponen yang belum tersentuh dalam UU Otsus ini adalah hak-hak
perempuan. �Pasal 47 UU Otsus 2001 ini benar-benar tidak terdampak bagi kami (perempuan). Perempuan Papua masih
mengalami diskriminasi, Kaum perempuan asli Papua mampu mengambil peran penting dalam proses pembangunan, MRP seperti singa ompong dalam
UU Otsus Papua dan Peningkatan
kapasitas SDM adalah kunci kesuksesan implementasi UU Otsus Papua (Www.idntimes.com, 2021).
Keberadaan otsus dan MRP menjadi semacam pembuka peluang bagi perempuan untuk diakui keberadaannya
di dalam struktur negara
RI. Melalui Pasal 19 UU
21/2001 tentang Otsus, keterwakilan perempuan dalam MRP diberi tempat utama di samping adat dan agama. Dalam pasal tersebut
disebutkan bahwa MRP beranggotakan orang-orang asli
Papua yang terdiri atas
wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya
masing-masing sepertiga dari
total anggota MRP. Melihat pentingnya tugas MRP yang tercantum dalam pasal 20 dan 21 UU Otsus, maka posisi perempuan
dalam keanggotaan MRP menjadi sama pentingnya
dengan perwakilan, adat dan agama. Perempuan tidak hanya dilihat sebagai
kategori keterwakilan tetapi juga dilihat sebagai salah satu isu utama dalam
kehidupan orang asli di
Papua. Dari segi ini UU Otsus adalah UU yang lebih maju dari
segi gender dibandingkan dengan apa yang berkembang di Aceh yang sama-sama
menikmati otonomi khusus.
Kuota untuk perempuan
berdasarkan UU No. 2/2011 membuka
peluang bagi perempuan untuk masuk partai politik.
Pada awalnya partai politik memilih perempuan sekadar untuk memenuhi quota dengan mengabaikan potensi perempuan itu sendiri. Kenyataan
ini membuka ruang yang lebar bagi lembaga- lembaga
yang ada untuk melakukan penyiapan dan pendampingan pada perempuan yang akan terjun ke
dunia politik. Sejauh ini bentuk pendampingan
masih formalistik dan belum mengubah pola pikir adat
atas posisi politik perempuan.
Selain di MRP, perempuan Papua
di Lembaga legislative DPRP Papua periode saat ini juga hanya
terdiri dari kurang lebih 7 orang. Bagaimana pelaksanaan pembangunan
di Papua dalam isu pengarusutamaan gender saat ini dapat tergambar
dalam data sebagai berikut: Perempuan Papua di DPRP Papua periode
2009-2014 berjumlah 4 orang, Laki-laki:
52 Orang.(sumber BPS Papua
2015). Periode 2014-2019 berjumlah
6 orang. (sumber KPU Papua
2015). Papua disektor tenaga
kerja tahun 2014 laki-laki: 58,2%, Perempuan 41,8%. MRP Papua 2017-2022 berjumlah 19 orang dari 51 anggota setara dengan hampir 48%. Menurut data Bapeda Papua dalam analisis makro provinsi Papua 2014, perempuan yang memilih mengurus rumah tangga dibandingkan terlibat dalam kegiatan perekonomian sebesar 27,8%.� Hal ini menggambarkan dengan jelas bahwa
perempuan Papua belum terlibat secara langsung dalam kegiatan perencanaan pembangunan, bagaimana mau menentukan prioritas pembangunan yang
responsive gender jika jumlah
anggota dewan perempuan
yang minim dan tidak dapat mengimbangi kuorum putusan yang didominasi oleh kaum lelaki. Demikian
pula halnya jumlah kepala daerah perempuan
di Papua sampai saat penulisan ini belum
pernah ada, jika pun ada wakil kepala daerah yang terpilih sangat minim jumlahnya misalnya saat ini
wakil bupati sarmi adalah seorang perempuan.
Perempuan Papua mandiri dapat terwujud apabila : tuntas wajib belajar 9 tahun, atau tuntasnya
pendidikan dasar dan menengah, tersedianya beasiswa yang mengakomodir perempuan asli Papua melanjutkan studi kejenjang sarjana, tersedianya ruang partisipasi bagi perempuan papua dalam pelatihan ketrampilan maupun keahlian, dukungan dari keluarga bagi
perempuan papua untuk bersekolah, dukungan dari Adat bagi perempuan Papua untuk bersekolah, meningkatnya angka melek huruf, lama sekolah, dorongan dari diri sendiri
untuk maju. Dengan indikator tersebut maka dapat
terwujud perempuan papua yang mandiri. Perempuan
Papua Sehat dapat terwujud apabila: berperilaku hidup sehat (makan teratur,
makan makanan bergizi, olahraga dan hidup dalam lingkungan
yang bersih), terjaminnya asuransi kesehatan bagi perempuan Papua, terjangkaunya layananan kesehatan yang berkualitas, dukungan dari keluarga
dan adat, memiliki jiwa yang sehat, meningkatnya harapan hidup. Perempuan Papua Sejahtera dapat
terwujud apabila: meningkatnya pendapatan, meningkatnya kualitas hidup (sandang, pangan, papan), meningkatnya daya beli. Tingginya tingkat partisipasi dalam semua sektor
pembangunan, dukungan keluarga dan adat.
Kesimpulan
Perempuan di Tanah Papua baik Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat dalam pelaksanaan Otonomi Khusus Papua belum sepenuhnya mendapatkan perlakuan setara dan adil serta diakui oleh masyarakat baik masyarakat Papua maupun nasional dan internasional. Hal ini disebabkan oleh rendahnya sumber daya manusia perempuan
Papua akibat rendahnya tingkat Pendidikan dan pelatihan-pelatihan
sehingga perempuan Papua terpinggirkan bahkan juga semakin termarginalkan akibat pengaruh adat istiadat yang kuat yang menajdikan perempuan sebagai kelompok kelas dua setelah lelaki.
Pun kaum Difabel di tanah Papua dalam pelaksanaan Otsus Papua belum mendapatkan hak-hak mereka seperti hak mendapat
Pendidikan dan hak mendapatkan
pekerjaan yang layak. Hal ini menunjukan secara tegas dan nyata bahwa Otonomi
Khusus Papua sebagai regulasi yang menjadi determinan untuk kesejahteraan orang asli Papua termasuk perempuan dan kaum difabel belum
dapat dikatakan berhasil karena tidak dapat memberikan
perlindungan dan keberpihakan
kepada perempuan dan kaum difabel di tanah Papua. Setara, adil dan berperan aktif dalam pembangunan
local, nasional dan internasional
belum dapat dilakukan oleh perempuan dan difabel di tanah Papua.
Anastasia, Yulika. (2017). KDRT di Kota Jayapura
Dipicu oleh 3 Hal Ini. Retrieved from https://peranperempuan.id website:
https://peranperempuan.id/kdrt-di-kota-jayapura-dipicu-oleh-3-hal-ini/. Google Scholar
Hutapea, Lynda. (2021). Tahun 2020 Data
Komnas Perempuan Terdapat 299.911 Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan, Paling
Menonjol Adalah Kekerasan Seksual. Retrieved from https://www.lensapapua.com website:
https://www.lensapapua.com/Hukum-Kriminal/Tahun-2020-Data-Komnas-Perempuan-Terdapat-299-911-Kasus-Kekerasan-Terhadap-Perempuan-Dan-Kasus-Kekerasan-Seksual-Paling-Menonjol/.
Google Scholar
Idntimes.Com. (2021). Jalan Kelam Kaum
Disabilitas Korban Kekerasan Seksual.
Retrieved from Idntimes.Com website:
https://www.idntimes.com/News/Indonesia/Lia-Hutasoit-1/Jalan-Kelam-Kaum-Disabilitas-Korban-Kekerasan-Seksual/4.
Google Scholar
Jurnal perempuan.org. (2013). Perempuan
Masih Rentan Menjadi Korban Kekerasan.
Retrieved from www.jurnalperempuan.org website:
https://www.jurnalperempuan.org/Perempuan-Masih-Rentan-Menjadi-Korban-Kekerasan.Html.
Google Scholar
Kompas.com. (2018). Menurut Riset, Ini
Pemicu Kekerasan Terhadap Perempuan di
Papua. Retrieved from Kompas.com website:
https://nasional.kompas.com/read/2018/12/14/20133131/menurut-riset-ini-pemicu-kekerasan-terhadap-perempuan-di-papua?page=all].
Google Scholar
Mansyur, Fadhilah. (2019). Landasan II
Dorong Pengarusutamaan Adminduk dan
GESI. Retrieved from baktinews.bakti.or.id website:
https://baktinews.bakti.or.id/Artikel/Landasan-Ii-Dorong-Pengarusutamaan-Adminduk-Dan-Gesi.
Google Scholar
Media.neliti.com. (2022). masyarakat hukum
adat dan hak ulayat di. Retrieved from Media.neliti.com website:
https://media.neliti.com. Google Scholar
Perempuan, Jurnal. (2020). Kerentantan
Perempuan Disabilitas terhadap Kekerasan Berbasis Gender. Retrieved from
https://www.jurnalperempuan.org website:
https://www.jurnalperempuan.org/Warta-Feminis/Archives/10-2020. Google Scholar
Peterson, V. Spike, & Runyan, Anne
Sisson. (1999). Global gender issues. Westview Pr. Google Scholar
Steans, Jill, Pettiford, Lloyd, & Diez,
Thomas. (2005). Introduction to International Relations: Perspectives and
Themes. Pearson Education. Google Scholar
Uhamka, Akhlanudin. (2021). Pencegahan
Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan
Anak di Papua. Retrieved from gema.uhamka.ac.id website:
https://gema.uhamka.ac.id/2021/02/11/Pencegahan-Tindak-Kekerasan-Terhadap-Perempuan-Dan-Anak-Di-Papua/.
Google Scholar
Wardhani, Baiq. (2015). Materi
disampaikan pada perkuliahan Teori Hubungan Internasional Departemen Hubungan
Internasional Universitas Airlangga. Google Scholar
Widjojo, Muridan S. (2012). Perempuan Papua
Dan Peluang Politik Di Era Otsus Papua. Retrieved from Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia website:
http://jmi.ipsk.lipi.go.id/index.php/jmiipsk/article/viewFile/649/440 diakses
tanggal 28 Februari 2022. Google Scholar
Www.Antaranews.Com. (2022). Peparnas Papua
Ubah Paradigma Terhadap Penyandang Disabilitas. Retrieved From
Www.Antaranews.Com website:
https://www.antaranews.com/BERITA/2498205/Peparnas-Papua-Ubah-Paradigma-Terhadap-Penyandang-Disabilitas. Google Scholar
Www.idntimes.com. (2021). MRP: UU Otsus
Papua Tidak Berdampak pada Hak
Politik Perempuan. Retrieved from www.idntimes.com website:
https://www.idntimes.com/News/Indonesia/Irfanfathurohman/Mrp-Uu-Otsus-Papua-Tidak-Berdampak-Pada-Hak-Politik-Perempuan/5.
Google Scholar
Copyright holder: Melyana R. Pugu, Dhea T. Lumentut, Yan G. Pelamonia (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |