Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 4, April 2022

 

PEREMPUAN PEDESAAN DAN DISABILITAS DI PROVINSI PAPUA DAN PAPUA BARAT (SUATU ANALISA HUBUNGAN INTERNASIONAL DALAM PELAKSANAAN OTSUS PAPUA)

 

Melyana R. Pugu, Dhea T. Lumentut, Yan G. Pelamonia

Universitas Cenderawasih, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan gambaran dan analisa terkait perempuan pedesaan dan disabilitas di Provinsi Papua dan Papua Barat pada saat pelaksanaan Otonomi Khusus Papua yang dianalisa dengan menggunakan konsep dan teori Feminisme dalam Hubungan Internasional. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu mencoba memberikan penjelasan melalui berbagai data yang diperoleh kemudian dianalisa dan mendapatkan kesimpulan dari permasalahan ini. Luaran dari penelitian adalah perempuan pedesaan dan disabilitas di Provinsi Papua dan Papua Barat dalam pelaksanaan Otonomi Khusus Papua yang diketahui sebagai salah satu jawaban bagi kesejahteraan orang asli Papua ternyata dalam Analisa hubungan internasional menggunakan pendekatan Femisnime belum mampu mensejajarkan peran dan partisipasi perempuan dan disabilitas di Papua dan Papua Barat. Hal ini mengakibatkan perempuan pedesaan dan disabilitas di wilayah ini masih miskin dan termarginalkan jauh dari pembangunan dan kesejahteraan.

 

Kata kunci: perempuan; pedesaan; disabilitas; papua; papua barat; pelaksanaan; otonomi khusus; hubungan internasional

 

Abstract

The purpose of this study is to get an overview and analysis related to rural women and disabilities in papua and West Papua provinces during the implementation of Papua Special Autonomy which is analyzed using the concept and theory of Feminism in International Relations. This research uses qualitative research methods, namely trying to provide explanations through various data obtained and then analyzed and get conclusions from this problem. The exterior of the study is that rural and disabled women in Papua and West Papua Provinces in the implementation of Papua Special Autonomy which is known as one of the answers to the welfare of indigenous Papuans turned out that in the analysis of international relations using the Femisnime approach has not been able to align the role and participation of women and disabilities in Papua and West Papua. The exterior of the study is that rural and disabled women in Papua and West Papua Provinces in the implementation of Papua Special Autonomy which is known as one of the answers to the welfare of indigenous Papuans turned out that in the analysis of international relations using the Femisnime approach has not been able to align the role and participation of women and disabilities in Papua and West Papua.

 

Keywords: �women; rural; disability; papua; west papua; implementation; special autonomy; international relations.

 

 

Pendahuluan

Definisi orang asli Papua secara historis muncul dari pengalaman �memory Passionist� akan masa-masa diwaktu lalu yang penuh tantangan dan pergulatan untuk menunjukan jati diri, sehingga dasar ini yang menjadi konsensus bersama seluruh pemangku kepentingan di Tanah Papua untuk mengidentifikasikan masyarakat adat Papua sebagai orang asli Papua, dan terakomodir secara legal dalam sebuah perundang-undangan yang konstitusional yaitu undang-undang otsus Papua. Orang Asli Papua menurut undang-undang otsus Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Papua dan/atau yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat (hukum) adat Papua (Media.neliti.com, 2022).

Di dalam situasi politik terkini konflik Papua dan keberadaan undang-undang otsus, dan dalam kaitannya dengan situasi hubungan gender di Papua, maka merasa perlu membahas lebih dulu kondisi perempuan Papua di dalam masyarakatnya. Dengan ini, gambaran tentang konteks budaya dan social yang melingkupi perempuan dapat dipahami dan memperjelas latar belakang dinamika gerakan perempuan dan perjuangan gender yang sedang berlangsung. Memahami perempuan Papua dan representasinya dalam �kebudayaan Papua� bukanlah soal sederhana, mengingat Papua adalah terminologi yang tidak mengacu pada kelompok etnis tertentu tetapi pada suatu wilayah pulau besar di bagian barat yang berbatasan dengan Papua Nugini (PNG) di sebelah timur. Keragaman kelompok etnis/budaya sangat tinggi. Dari segi itu, Papua memiliki lebih dari sekitar 315 suku (BPS Provinsi Papua) atau kelompok etnis dengan bahasa dan budaya yang berbeda. Secara sederhana, kita dapat membaginya ke dalam tiga kategori besar, yakni kelompok etnis pantai, dataran rendah/sungai, dan pegunungan (Mansoben 1995: 46�50). Untuk kepentingan penyederhanaan bab ini, dikelompokan perempuan pantai dan dataran rendah dalam satu kategori.

Dalam hal konstruksi gender, bisa secara spekulatif dikonstruksi sejumlah kemiripan untuk memotret bagaimana hubungan gender, hubungan kekuasaan, dan pembagian kerja dalam masyarakat tradisional Papua dikonstruksikan secara sederhana. �Adat� dipandang sangat kuat membelenggu masyarakat Papua pada umumnya. Khusus dalam hal hubungan gender, menurut Petrus Tekege, �Kaum perempuan sepenuhnya dikuasai oleh laki-laki. Perempuan dipandang sebagai benda milik laki-laki belaka� (Tekege 2007: 15). Di dalam kehidupan seharihari, beban kerja perempuan digambarkan sangat berat, misalnya di kalangan masyarakat pantai/dataran rendah, �Selain melahirkan dan menyusui anak, harus menokok sagu dan mencari ikan.� Dalam pandangan penulis muda Papua ini, adat mengalami perubahan sejak hadirnya missie dan zending di Papua, terutama karena pengaruh ajaran tentang Sepuluh Perintah Allah. Menurut Tekege, melalui gereja, terjadi perubahan pandangan bahwa perempuan tidak lagi diisolasi oleh adat dan dikembangkan pengakuan bahwa perempuan memiliki derajat yang sama (Tekege 2007: 15). Lebih jauh, peran gereja ini juga diakui oleh (alm.) Beatrix Koibur yang mengatakan bahwa gereja berperan dalam mencetak pemimpin perempuan (Widjojo, 2012).

1.   Teori Feminis Dalam Hubungan Internasional

Kesetaraan gender telah menjadi perhatian utama dalam tatanan dunia internasional. Perspektif Feminisme muncul sebagai sebuah pergerakan emansipasi yang menuntut adanya kesetaraan dan kebebasan yang telah dianggap tidak adil bagi kaum feminis seperti yang diutarakan oleh (Wardhani, 2015).

Perspektif feminisme ini pada dasarnya berusaha untuk mengenalkan gender sebagai suatu variabel yang relevan dalam memahami konteks kekuasaan global dan hubungan internasional. Perspektif feminisme pada dasarnya memiliki agenda yang paling utama yakni menuntut adanya kesetaraan hak, peran dan pendapat perempuan yang seharusnya turut diperhitungkan dalam tatanan internasional maupun studi hubungan internasional (Wardhani, 2015).

Steans et al (2005) dalam artikelnya yang berjudul Introduction to International Relations mengemukakan bahwa Perspektif Feminisme memiliki Empat asumsi dasar. Asumsi yang pertama yakni feminism mempercayai tentang adanya human nature yang merupakan suatu konstruksi yang ada dalam lingkungan sosial. Asumsi yang kedua yakni perspektif feminisme mempercayai dan memandang bahwa tidak ada perbedaan yang jelas antara fakta dan nilai. Asumsi yang ketiga yakni kaum feminisme mempercayai pernyataan yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan, serta berbagai teori yang memandang mengenai hubungan natara dunia dengan nilai-nilai yang ada dalam teori tersebut. Asumsi yang keempat yakni feminisme memiliki kepercayaan tentang adanya emansipasi perempuan yang merupakan agenda utama dan tujuan utama dari kaum feminisme tersebut (Steans et al, 2005: 165).

Menurut Steans et al (2005), feminisme merupakan perspektif yang ada dalam Hubungan Internasional yang berisi tentang paham mengenai gender yang telah memberikan kontribusi dan turut memperkaya perspektif yang telah ada dalam studi Hubungan Internasional. Menurut Steans et al, gender dan seks merupakan dua hal yang sangat berbeda. Gender merupakan pembeda antara pria dan perempuan, sedangkan seks merupakan sebagai pembagi jenis kelamin yang didasarkan secara anatomi atau biologi untuk membedakan antara pria dan perempuan (Steans et al, 2005: 181). Artinya, Steans menganggap bahwa dua deskripsi antara seks dan gender bukan merupakan suatu hal yang sama. Steans menganggap bahwa istilah seks lebih mengarah kepada struktur biologi yang telah melekat dan ada pada diri manusia sejak lahir, sedangkan gender merupakan suatu istilah yang lebih mengarah kepada psikologis yang telah dimiliki oleh manusia dan hal tersebut terbentuk dari struktur social yang ada (Steans, Pettiford, & Diez, 2005).

Peterson dan Runyan (1999) dalam artikelnya yang berjudul Global Gender Issue, mengungkapkan bahwa perspektif feminisme ini terbagi menjadi beberapa pendekatan yakni Liberal Feminsme, Marxis Feminisme, Post-Modernis Feminisme dan Standpoint Feminisme. Pendekatan yang pertama yakni Liberal Feminisme yang merupakan suatu pandangan yang mempercayai tentang adanya peranan oleh perempuan pada dunia politik dan pendekatan ini pada dasarnya bersifat mempertanyakan kembali mengapa perempuan memiliki batasan-batasan di dunia. Teori Liberal Feminisme ini membahas tentang keinginan perempuan dan pria harus disama ratakan dalam mencari keuntungan dalam bidang politik dan lain sebagainya. Pendekatan yang kedua yakni Marxis Feminisme yang merupakan pendekatan yang lebih mengarah kepada pembahasan system international capital. Pendekatan yang kedua ini lebih memandang pada penindasan yang diberikan pada perempuan adalah merupakan hasil dari kapitalisme. Marxis Feminisme ini juga memandang kapitalisme dan patriarki sebagai struktur yang harus dibendung jika para perempuan menginginkan suatu persamaan derajat. Pendekatan yang ketiga yakni Post-Modernis Feminisme, yang merupakan pendekatan yang lebih berfokus kepada jenis kelamin. Post-Modernis Feminisme ini beranggapan bahwa perempuan seharusnya berada pada posisi yang sebaliknya jika ditinjau dari keadaan sekarang. Pendekatan yang ketiga ini menjelaskan bahwa perempuan dan pria dapat disatukan dalam dunia politik untuk membangun dunia politik bersama-sama dan saling berdampingan. Dan yang keempat yakni Standpoint Feminisme, pendekatan yang terakhir ini lebih pada dasarnya hanya berfokus kepada kritik yang dilakukan oleh Ann Ticker, yang melakukan kereksi terhadap dominasi yang dilakukan oleh kaum pria terhadap ilmu pengetahuan yang ada didunia, sehingga muncul anggapan bahwa ilmu pengetahuan yang ada sekarang hanya dipandang dan berdasar dari sudut pandang pria saja. Ticker beranggapan bahwa dengan melakukan kritik ini akan membuat penjelasan ulang mengenai six objective principle yang ada pada politik internasional yang telah dikembangkan oleh Hans Morgenthau yang berdasar kepada pandangan perempuan terhadap dunia. Dari teori-teori yang telah dikembangkan oleh para pakar diatas dapat dilihat bahwa gender mengacu pada perilaku dan ekspektasi yang secara sosial dipelajari yang memisahkan antara maskulinitas dan empat feminitas (Peterson & Runyan, 1999).

 

Metode Penelitian

Tulisan ini menggunakan Metode Penelitian Kualitatif yaitu merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema yang khusus ke tema-tema umum, dan menafsirkan makna data. Penelitian ini menerapkan cara pandang penelitian yang bergaya induktif, berfokus terhadap makna individual, dan menerjemahkan kompleksitas suatu persoalan (Creswell, 2010:4). Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara pengumpulan data Sekunder yaitu mengumpulkan data dari berbagai sumber literatur baik melaui studi pustaka, berbagai literatur, media cetak dan internet. Menurut Sugiyono (2013:7) Metode penelitian ini dinamakan sebagai metode baru, karena popularitasnya belum lama, disebut postpositivistik karena berlandaskan pada filsafat postpositivisme. Metode ini disebut juga sebagai metode artistik, karena penelitian lebih bersifat kurang terpola, dan disebut sebagai metode interpretive karena data hasil penelitian lebih berkenaan dengan interpretasi terhadap data yang ditemukan di lapangan.

 

Hasil dan Pembahasan

1.   Aspek Humanity Terhadap Perempuan Papua

Masalah kemanusiaan pada perempuan Papua umumnya masih kurang diperhatikan, sehingga banyak kesenjangan dalam kehidupan bersosial. Hal ini berdampak pada situasi dan kondisi di lingkungan. Secara umum, hukum dan kebijakan publik yang mengatur soal pemerintahan daerah, pengelolaan sumber daya alam, agrarian, dan bidang-bidang kesejahteraan seperti kesehatan dan pendidikan, kurang memperhitungkan atau memberi perhatian khusus kepada kebutuhan Perempuan Papua. Bagi orang Papua, acuan terhadap hukum adat sangat kuat, sayangnya hukum adat juga mendiskriminasi perempuan. Hukum adat tidak memberi ruang pada perempuan untuk akses keadilan sumber daya alam (tanah) dan harta milik. Dengan demikian ada beberapa hal yang dikaji dalam melihat masalah kemanusiaan pada perempuan Papua yaitu tentang kekerasan, kemiskinan, serta disabilitas. dan pernikahan usia dini yang melawan kehendak anak perempuan di bawah umur dapat dicegah.

2.   Perempuan Orang Asli Papua (OAP) dan Kemiskinan

Provinsi Papua saat ini memiliki 4,3 juta penduduk, jika 26,8 persennya miskin, berarti ada sekitar 1,15 juta penduduk yang hidup dalam kemiskinan.

Apabila penambahan penduduk semakin bertambah tanpa diiringi peningkatan ekonomi pada level rumah tangga, maka bisa dipastikan jumlah penduduk miskin akan semakin memingkat sehingga upaya Papua untuk lepas dari jerat kemiskinan akan semakin jauh.

Kebijakan dan atau regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah terhadap pengelolaan sumber daya alam, agrarian, dan bidang-bidang kesejahteraan seperti kesehatan dan pendidikan, kurang memperhitungkan atau memberi perhatian khusus kepada kebutuhan Perempuan Papua. Bagi orang Papua, pengaruh hokum adat walaupun secara tidka tertulis masih sangat kuat. Yang dimana didalamnya juga sangat �mendiskriminasi atau membedakan dan menjadikan perempuan sebagai kelompok kelas dua dibandingkan laki-laki. Hukum adat tidak memberi ruang pada perempuan untuk mendapatkan akses keadilan sumber daya alam (tanah) dan harta milik.

Salah satu contoh kemsikinan perempuan Papua dapat terlihat di Kabupaten Jayawijaya, ditemukan bahwa bayi berumur tiga hari sudah diberi makan ubi yang dikuyah terlebih dahulu oleh ibunya. Dari segi kesehatan hal ini sangat tidak diperkenankan karena ketidaksiapan pencernaan bayi. Persoalan yang dihadapi Perempuan Papua seperti (1) angka kekerasan domestik yang tak kunjung turun, termasuk yang terkait dengan mabuknya para laki-laki karena miras, (2) angka kematian ibu dan balita yang kerap tinggi, karena minimnya layanan kesehatan bagi ibu dan anak, dan ketiadaan pemahaman tentang anggaran responsif gender yang tidak mengalokasikan dengan tepat biaya kesehatan, (3)prevalensi infeksi HIV (AIDS) Papua yang lebih tinggi daripada angka nasional, termasuk yang disebabkan oleh perilaku seksual para laki-laki, (4) masalah pendidikan yang aksesnya tidak dapat dinikmati secara memadai oleh segenap penduduk (termasuk anak perempuan), atau sistem pendididkan nasional yang kurang tepat dengan konteks geografis, sosial dan budaya penduduk, sehingga potensi pengetahuan dan kearifan lokal tidak termanfaatkan dan mereka dipaksa mengikuti standar pendidikan dan ujian nasional, (5) perlindungan terhadap masalah keamanan & jaminan rasa aman dan nyaman yang diakibatkan oleh konflik (bersenjata) internal maupun eksternal yang berkepanjangan.

3.   Kekerasan Terhadap Perempuan Orang Asli Papua (OAP)

Pada 2017, tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan di Papua tercatat 98 kasus. Angka ini melonjak jauh pada 2018 menjadi 331 (dilakukan oleh laki-laki) dan 219 oleh perempuan. Ada beberapa faktor pemicu kekerasan, terutama faktor ekonomi. Kekerasan biasanya mulai terjadi dipicu oleh suami yang kecanduan minum minuman keras. Tidak ada kontrol yang ketat. Miras inilah yang sebagian besar menjadi sumber utama kekerasan,Selain itu, kekerasan juga dipicu dari pemahaman suami bahwa para istri tidak berpendidikan sehingga tidak mampu memberikan kontribusi atau pemikiran yang baik berkaitan dengan kemajuan rumah tangga, kerabat besar dan lingkungan sekitarnya. Hal itu terbukti sebagian besar kasus kekerasan terhadap perempuan, istri, itu diselesaikan melalui cara kekeluargaan. Sementara, sebagian kecilnya diselesaikan dengan jalur kepolisian dan adat istiadat. Oleh karena itu, kasus kekerasan terhadap perempuan Papua seakan tidak pernah menemui solusi. Alasannya, setelah diselesaikan melalui cara kekeluargaan, biasanya suami tersebut mengulangi aksi kekerasannya lagi. Hal ini membuat istri menjadi pasrah dan hanya bisa menerima keadaan (Kompas.com, 2018).

Data KDRT yang terjadi di Kota Jayapura pada Periode Januari � November 2017 sejumlah 68 kasus yang tercatat oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana. Data ini meningkat dari tahun sebelumnya, yakni sejumlah 64 kasus. Dari 68 kasus yang tercatat, 66 korban KDRT ialah perempuan dan 2 korban lainnya, pria. Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Kota Jayapura, Betty Pui, menilai aksi KDRT yang terjadi di Kota Jayapura dipicu oleh 3 hal, yakni: miras (minuman keras), kepribadian pelaku, dan cemburu. �KDRT dipicu oleh miras, dimana pelaku melakukan KDRT dalam kondisi dipengaruhi oleh miras. Kedua, kepribadian pelaku, yakni tidak puas kalau tidak melakukan kekerasan dan pemicu ketiga ialah rasa cemburu. Cemburu itu penting untuk kehidupan rumah tangga pasangan suami istri, atau mereka yang sedang berpacaran. Tetapi cemburu itu harus dikelola,� terang Betty Pui. �Faktor lain yang memicu KDRT ialah persoalan ekonomi,� imbuhnya. Dari 68 kasus yang dimediasi oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, ada beberapa kasus yang telah masuk ke ranah� hukum, namun ditarik kembali dan diselesaikan secara adat. Meski demikian, pihaknya tetap melakukan pendampingan, upaya mediasi dan rehabilitasi bila diperlukan dalam wadah terpadu bersama instansi lainnya (Anastasia, 2017).

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan keprihatinan yang teramat dalam atas terjadinya konflik yang meluas di Papua sejak peristiwa penyerbuan dan penghinaan yang bernuansa rasisme di Asrama Mahasiswa Papua di kota Surabaya pada 17 Agustus 2019. Kasus penghinaan bernuansa rasisme tersebut hanyalah pemicu dari persoalan besar kekecewaan orang Papua yang tidak dituntaskan dari satu rezim ke rezim yang lain. Situasi Papua saat ini adalah residu dari kekerasan dan diskriminasi yang telah berlangsung selama 5 dekade, sejak jaman Orde Baru hingga saat ini.

Dari dua pendokumentasian yang dilakukan Komnas Perempuan bersama Jaringan Pembela HAM Perempuan Papua sepanjang tahun 2009 s.d 2014, tergambar kekerasan dan diskriminasi terhadap Orang Asli Papua khususnya perempuan, dan kondisi pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya Orang Asli Papua dalam perjalanan proses pembangunan Papua. Kekerasan dan diskriminasi terjadi berulang di Papua dan Papua Barat tanpa ada penegakan hukum, bahkan Pemerintah terkesan melakukan pembiaran. Kekerasan seperti menjadi pelaziman. Kekerasan oleh negara, ditiru menjadi kekerasan di komunitas dan meluas ke dalam rumah, karena kefrustasian kolektif akibat konflik. Perempuan Papua menjadi korban berlapis dari seluruh pusaran kekerasan dan diskriminasi tersebut. Kedua laporan hasil pendokumentasian ini beserta sejumlah rekomendasi, telah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo di awal masa kerja pada tahun 2014, untuk dapat ditindaklanjuti.

Setelah kedua pendokumentasian di atas, Komnas Perempuan secara rutin memperbaharui situasi HAM perempuan di Papua dan Papua Barat, khususnya situasi kekerasan terhadap perempuan. Komnas Perempuan mencatat sejumlah isu-isu krusial Papua yang masih� harus dituntaskan antara lain:

1)  Eksploitasi sumber daya alam dan alih fungsi hutan/lahan serta kerusakan lingkungan, dimana dampak terbesarnya masyarakat tercerabut sumber dan ruang hidupnya untuk dapat akses pangan dan tumbuhan yang selama ini diperoleh di hutan, hilangnya sumber obat-obatan dan hilangnya pusat kearifan dan spiritualitas bagi masyarakat adat, karena terjadinya perubahan alih fungsi lahan yang masif;

2)  Rasa aman yang tidak benar-benar dipulihkan, karena perbedaan persepsi �aman�. Pemerintah masih menggunakan pendekatan �keamanan� dengan menghadirkan sejumlah aparat keamanan, sementara masyarakat Papua khususnya perempuan, memaknai rasa aman adalah tidak ada penempatan aparat keamanan, karena banyaknya aparat keamanan tanda situasi tidak aman. Kondisi ini memicu trauma mereka dan menghentikan aktivitas ekonomi bahkan memilih mengungsi, karena situasi dirasa tidak aman;

3)  Korban konflik khususnya perempuan asli Papua yang pernah menjadi korban kekerasan seksual hingga saat ini belum dipulihkan, juga tidak ada upaya untuk meminta pertanggungjawaban pelaku, padahal penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua adalah jantung pengembalian martabat orang Papua;

4)  Upaya-upaya yang dilakukan untuk menyejahterakan rakyat Papua, tidak dinikmati oleh rakyat Papua pada umumnya dan hanya kepada kelompok elite kuasa. Dana Otsus yang cukup besar tapi minim dirasakan perempuan, bahkan memperburuk kekerasan terhadap perempuan, akibat meningkatnya peredaran dan penggunaan minuman keras (miras) yang sulit dikendalikan;

5)  Persoalan kependudukan (demografi) dan minimnya politik afirmasi bagi Orang Asli Papua pada peran-peran strategis, di ranah politik dan ekonomi, serta minimnya ruang-ruang perjumpaan untuk dapat memahami budaya Papua, berkontribusi dapat menjadikan situasi yang lebih rumit dan semakin membuka peluang adanya perselisihan hubungan sosial antara Orang Asli Papua dan pendatang;

6)  Layanan publik yang tidak efektif, karena sering absennya pemerintah daerah maupun korupsi yang mewabah, berkelindan dengan minimnya tenaga medis walaupun layanan kesehatan gratis, hingga penyuluhan pangan sehat yang tidak berbasis pada budaya Papua, sehingga berkontribusi pada buruknya gizi perempuan dan stunting anak. Kondisi kesehatan semakin diperburuk, karena warga Papua yang tidak memiliki kelengkapan dokumen catatan sipil tidak dapat mengakses BPJS. Padahal banyak warga yang tidak memiliki kelengkapan dokumen catatan sipil itu berawal dari hukum negara yang tidak mengakui dan tidak mencatatkan perkawinan adat, sehingga banyak keluarga tidak memiliki Kartu Keluarga yang merupakan dokumen penting untuk mendapatkan dokumen catatan sipil lainnya;

7)  Minimnya perlindungan bagi perempuan pembela HAM, menyebabkan timbulnya stigma separatis yang menghalangi hak sipil dan politik, pada akhirnya berdampak buruk pada hak, integritas dan ruang gerak para penggiat HAM.

Situasi di atas adalah persoalan-persoalan dasar yang menyebabkan konflik di Papua sangat mudah meletus, meskipun upaya pemenuhan kebutuhan dasar tetap diupayakan pemerintah. Namun akumulasi kemarahan selama 5 (lima) dekade ini meletus dan meledak lebih cepat dibanding upaya-upaya yang sedang dilakukan Pemerintah. Berdasarkan kondisi tersebut dan merespon eskalasi konflik sejak 17 Agustus 2019, maka Komnas Perempuan menyerukan kepada:

1.   Pemerintah, aparat penegak hukum dan seluruh masyarakat Indonesia untuk mendalami dan memahami lebih jauh Papua dengan perspektif orang Papua, sebagai upaya memulihkan� Papua yang bermartabat dan tanpa kekerasan;

2.   Elit masyarakat, para politisi dan warga masyarakat secara keseluruhan, agar dapat menahan diri untuk tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang dapat� memprovokasi konflik meluas/berulang, termasuk menyampaikan informasi bohong tentang situasi di Papua.

Selain itu, Komnas Perempuan juga merekomendasikan kepada:

1.   Presiden RI

Memulihkan kondisi keamanan Papua dengan cermat, tanpa kekerasan dan mengedepankan� dialog, dengan antara lain: a) Melakukan dialog secepatnya bersama tokoh masyarakat, tokoh adat, dan tokoh agama khususnya gereja untuk mencegah terjadinya konflik yang lebih buruk dan meluas; b) Membuka akses media ke Papua dan Papua Barat dan memastikan jaringan informasi dan komunikasi publik kembali berfungsi secara optimal; c)Memberikan ruang bagi keterlibatan/partisipasi perempuan pada seluruh upaya penyelesaian konflik di Papua dan memastikan afirmasi untuk berpartisipasi bagi perempuan asli Papua;

Memerintahkan penuntasan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Papua, termasuk dalam hal ini membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagaimana yang telah dimandatkan oleh UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua;

Memastikan Pemerintah Nasional, Pemerintah Papua dan Papua Barat untu melibatkan partisipasi masyarakat Papua termasuk perempuan dalam pelaksanaan pembangunan, baik pembangunan infrastruktur maupun pembangunan sumber daya manusia di Papua dan Papua Barat, sejak dari perencanaan hingga evaluasi.

2.   Kepolisian RI

Mengusut tuntas pelaku dan pihak-pihak yang terlibat pada peristiwa yang bernuansa rasisme di asrama Papua di Surabaya dan� perusakan fasilitas publik di sejumlah tempat di Papua dan Papua Barat, agar proses peradilan/pertanggungjawaban hukum dari pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dapat diupayakan.

Memberikan jaminan keamanan bagi mahasiswa Papua untuk kembali dapat belajar di semua kota di Indonesia, khususnya di Surabaya dan Malang, karena pendidikan adalah hak dasar dan yang sangat dibutuhkan di Papua.

Komisi Nasional (Komnas) perempuan mencatat terdapat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2020 Angka tersebut menurun signifikan jika dibandingkan laporan tahun lalu yang tercatat sebanyak 431 471 kasus. Bentuk kekerasan yang paling menonjol di ranah pribadi ini adalah kekerasan fisik 2.025 kasus (31 persen) menempati peringkat pertama disusul kekerasan seksual sebanyak 1 983 kasus (30 persen). psikis 1 792 (28 persen), dan ekonomi 680 kasus (10 persen). Di ranah publik, kasus paling menonjol adalah kekerasan seksual sebesar 962 kasus (55 persen) yang terdin dan dan kekerasan seksual lain (atau tidak disebutkan secara spesifik) dengan 371 kasus diikuti oleh perkosaan 229 kasus pencabulan 106 kasus pelecehan seksual 181 kasus persetubuhan sebanyak 5 kasus dan sisanya adalah percobaan perkosaan 10 kasus (Hutapea, 2021).

Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Polda Papua dan Jajaran tahun 2021 Terus dilakukan. Subdit IV Remaja anak dan Perempuan (Renakta) Ditreskrimum Polda Papua dan Jajaran dari bulan Januari hingga Juni 2021 menerima sebanyak 221 kasus aduan dari masyarakat terkait kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sebanyak 221 kasus dengan rincian, kekerasan terhadap anak (Fisik dan Psikis) sebanyak 54 kasus, persetubuhan 58 kasus, pencabulan 23 kasus, pemerkosaan 11 kasus, penganiayaan 53 kasus, pengeroyokan 4 kasus, penelantaran 6 kasus dan perzinahan sebanyak 12 kasus.Polda Papua dan Jajaran telah menyelesaikan kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak sebanyak 85 kasus (P21) dan 130 kasus telah dilakukan penyidikan.

Kondisi perempuan Papua saat ini mengalami kekerasan berlapis. Angka kekerasan terhadap perempuan tinggi tetapi minim pelaporan terutama kasus KDRT dan kekerasan seksual. Angka kekerasan terhadap perempuan tinggi, kekerasan saat konflik terkait konflik tanah, lingkungan, dan sumber penghidupan lainnya, tingginya kasus HIV AIDS pada perempuan termasuk ibu rumah tangga, bantuan pengungsi di daerah rawan konflik bersenjata yang minim, serta perempuan mengalami kesulitan mengakses layanan penanganan kekerasan terhadap perempuan, terutama saat pandemi Covid-19. Selain itu, perempuan Papua juga mengalami kesulitan mengakses layanan kesehatan. �Di daerah pedalaman dan daerah rawan konflik bersenjata susah untuk mengakses layanan kesehatan. kebijakan pemerintah untuk memperhatikan perempuan dan anak yang membutuhkan perlindungan belum terealisasi dengan baik. Saat ini pendampingan korban kekerasan untuk mengatasi kesehatan mental belum ada. Dalam beberapa kasus, belum sampai ke pendampingan kesehatan mental. Tapi lebih ke pendampingan penyidikan ke bantuan hukum. Maka itu, isu-isu perempuan di Papua membutuhkan bantuan dari banyak pihak.

Berbagai faktor penyebab utama kekerasan terhadap perempuan di Papua seperti, budaya patriarki, ketidakmampuan dalam masalah perekonomian, dan faktor pemicu paling tinggi adalah pengaruh minuman keras. Kekerasan terhadap perempuan sudah umum terjadi di Papua,berdasarkan data dari Kepolisian Daearah Papua. KDRT meliputi kasus penganiyaan, penelantaran, perkosaan, perselingkuhan, dan kekerasan psiskis (Jurnal perempuan.org, 2013).

4.   Pencegahan Tindak Kekerasan

Pelibatan langsung� organisasi pemerintah, organisasi masyarakat adat, organisasi keagamaan, organisasi pendidikan, lembaga layanan kesehatan dan hukum� memiliki posisi strategis dalam kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak.� Kampanye tersebut sebagai langkah� nyata dalam pencegahan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak yang modus dan jumlahnya semakin meningkat di seluruh Indonesia. Kekerasan� yang terjadi pada perempuan dan anak merupakan salah satu indikator Kegagalan Suatu Proses Pembangunan oleh karena itu dibutuhkan strategi dan� sinergitas dari berbagai pihak dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus KtPA di Papua. Keterpaduan layanan yang harus diberikan pada perempuan dan anak korban kekerasan yaitu melalui penanganan medis, psikososial dan hukum berdasarkan mekanisme kerja lintas disiplin dan institusi, baik dari lingkungan pemerintah maupun masyarakat yang dibangun bersama secara������� terbuka dan terjangkau oleh masyarakat. Standar Pelayanan Minimal (SPM) bagi Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan yang meliputi; pelayanan pengaduan; pelayanan kesehatan; rehabilitasi sosial; penegakan dan bantuan hukum; dan pemulangan dan reintegrasi sosial.

Melalui kegiatan MOS yang diselenggarakan di kota dan Kabupaten Jayapura merupakan salah satu bentuk Kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan pelibatan instansi Pemerintahan yang memberikan layanan perlindungan perempuan dan anak hal ini bertujuan agar kegiatan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak selama pandemi Covid-19 dapat berjalan dengan efektif (Uhamka, 2021).

Dalam penyelenggaraan tanggung jawab negara untuk penegakan Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia di dalam konteks Otonomi Khusus Papua, terdapat lima konsep penting dalam memahami konsep tanggung jawab negara dalam memastikan penikmatan hak untuk bebas dari kekerasan dan diskriminasi, termasuk terhadap perempuan, yaitu :

1.   Kewajiban menyediakan perangkat dan kewajiban mendapat hasil nyata, dimana Negara memiliki kewajiban untuk menciptakan perangkat, dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki, untuk mewujudkan kesetaraan substantif.

2.   Tanggungjawab atas penghormatan, pemenuhan dan perlindungan, hak untuk bebas dari diskriminasi dan menikmati dengan utuh kesetaraan yang substantif. Tanggung jawab atas penghormatan mensyaratkan Negara untuk menahan diri dari menyusun hukum, kebijakan, aturan, program, prosedur administrasi dan struktur institusi yang secara langsung maupun tidak langsung menyangkal hak kelompok tertentu, khususnya perempuan, untuk dapat dengan setara menikmati hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

3.   Tindakan Khusus Sementara yaitu sarana atau cara yang dapat dan harus digunakan untuk mengatasi ketimpangan dalam masyarakat dalam hal pengakuan, penikmatan dan penerapan hak asasi manusia. Tindakan khusus sementara didasarkan pada pemahaman bahwa kesetaraan dan non-diskriminasi tidak berarti perlakuan yang sama.

4.   Uji tuntas (due diligence). Kerangka uji tuntas merupakan alat yang sangat penting dalam memastikan akuntabilitas Negara dalam pelaksanaan tanggung jawabnya Negara atas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak. Tanggung jawab ini meliputi semua pelanggaran hak asasi manusia, baik yang dilakukan oleh aparat Negara maupun aktor privat, di ranah publik maupun personal.

5.   Harmonisasi Hukum Nasional yaitu pengujian dan perubahan hukum dan kebijakan di seluruh tingkatan tata kelola Negara, yaitu dari desa hingga pusat, agar sesuai atau konsisten dengan jaminan hak manusia sebagai hak warga Negara.

Kerangka Uji Cermat Tuntas /Due Dillegence dalam memastikan upaya yang dilakukan pemerintah untuk menghapuskan kekerasan terhadap Perempuan meliputi aspek Pencegahan, Perlindungan, Penyidikan, Penuntutan dan Pemidanaan dan pemulihan. Kelima kerangka tersebut merupakan satu kesatuan dan pelaksanaannya integratif dalam kerangka tanggung jawab negara untuk pemenuhan hak asasi setiap warga negaranya. Adapun jabaran kerangka Due Dilligence sebagai berikut :

1.   Pencegahan. Mencakup informasi akar masalah dan pendidikan tentang pencegahan kekerasan terhadap perempuan.

2.   Perlindungan. Memastikan perlindungan untuk mencegah keberulangan termasuk melindungi korban dari pelaku.

3.   Penyidikan dan Penuntutan. Proses hukum dalam rangka memutus impunitas melalui penyidikan dan penuntutan sekaligus memutus mata rantai kekerasan. Pada tahapan ini, penting juga untuk melakukan penguatan bagi institusi penegak hukum dalam rangka pemenuhan hak-hak korban kekerasan.

4.   Pemidanaan. Penjatuhan sanksi perdata, pidana, administratif atau lainnya. Dalam hal ini, penegak hukum harus memahami ketidaksetaraan sistemik dan struktur antara perempuan dan laki-laki sehingga dapat menjatuhkan hukuman yang setimpal. Karenanya perlindungan terhadap perempuan (korban) merupakan prioritas.

5.   Pemulihan. Ini merupakan kunci dari keberdayaan perempuan korban kekerasan, di mana layanan pemulihan harus berfokus pada penderitaan dan kerugian yang dialami perempuan korban. Sehingga pemulihan korban harus dirumuskan secara menyeluruh meliputi; kompensasi, restitusi, rehabilitasi serta perawatan fisik dan psikologis.

5.   Perempuan Difabel Orang Asli Papua (OAP)

Pandemi Covid-19 dapat dikatakan berdampak langsung pada sebagian besar orang. Namun dampak yang dirasakan oleh penyandang disabilitas berbeda dengan dampak yang dirasakan oleh non-disabilitas, sebagaimana temuan dalam Asesmen Cepat Dampak Covid-19 kepada Penyandang Disabilitas di Seluruh Indonesia �yang merupakan inisiatif dari Jaringan DPO Respons Covid-19 Inklusif. Asesmen yang dilakukan pada Mei 2020� melibatkan 1.638 responden menyimpulkan perbedaan dampak terjadi karena adanya ketimpangan akses dan kesempatan dalam seluruh aspek kehidupan penyandang disabilitas, seperti belum tersedianya aksesibilitas dan akomodasi yang layak, yang menghambat banyak penyandang disabilitas untuk berperan aktif dalam masyarakat. Hasil asesmen cepat itu juga menunjukkan perempuan disabilitas lebih rentan terhadap dampak pandemi bila dibandingkan dengan laki-laki. Bagi perempuan dengan disabilitas, dampak pandemi menjadi berlipat ganda karena adanya faktor ketidaksetaraan gender yang telah mengakar dan cenderung membatasi ruang gerak perempuan pada ranah domestik. Situasi ketidaksetaraan gender yang dialami perempuan disabilitas menjadikannya rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan berbasis gender (KBG).

�Perempuan dengan disabilitas mengalami diskriminasi ganda, bukan hanya karena jenis kelaminnya, tetapi juga karena disabilitas mereka. Ketimpangan struktural yang sudah terjadi pada masa sebelum pandemi kini diperparah dengan berbagai dampak dari pandemi�. Kelompok ragam disabilitas yang paling rentan menurutnya adalah perempuan dengan spektrum autisme serta mereka yang memiliki gangguan pendengaran, penglihatan, psikososial, atau intelektual. Perempuan disabilitas mengalami berbagai bentuk Kekerasan Berbasis Gender� sepanjang siklus kehidupannya, sejak dari usia anak, remaja, hingga dewasa. �Kekerasan berbasis gender yang dialami perempuan disabilitas bukan hanya isu baru-baru ini tetapi sudah dialami sedari dulu dan merupakan fenomena gunung es karena tidak semua korban mengadukan kasusnya�. Banyak korban tidak berani mengadukan kekerasan yang dialaminya karena hampir sebagian besar pelaku adalah orang dekat dan mereka khawatir akan kembali mengalami kekerasan jika mengadu ke orang lain. Minimnya liputan media terhadap kasus-kasus yang dialami perempuan disabilitas semakin meredupkan harapan terhadap dukungan publik yang lebih luas untuk mendorong hadirnya kebijakan yang melindungi dan menjawab kebutuhan perempuan disabilitas.

Selama ini penanganan terhadap kasus kekerasan yang dialami perempuan disabilitas sering terhambat dan tidak sedikit pula yang tak tuntas karena berbagai alasan mulai dari Aparat Penegak Hukum (APH) yang belum atau kurang memahami isu disabilitas, tidak cukup bukti, tidak tersedia akomodasi yang layak, layanan yang sulit diakses, dan peraturan/kebijakan yang belum berpihak bagi penyandang disabilitas. Untuk memastikan optimalisasi penanganan dan pendampingan terhadap perempuan dan anak perempuan dengan disabilitas korban KBG, HWDI mengajukan sejumlah rekomendasi kepada perwakilan rakyat di Parlemen, Pemerintah, serta institusi-institusi lain yang terkait.

Salah satu rekomendasi yang diusulkan adalah melakukan harmonisasi kebijakan pada tingkat nasional dan daerah dengan memperhatikan prinsip kesetaraan-keadilan gender, inklusifitas, dan interseksionalitas isu yang berdasarkan keragaman kebutuhan masyarakat khususnya masyarakat miskin, disabilitas, dan kelompok rentan lainnya. Selain itu, HWDI juga merekomendasikan kepada pembuat kebijakan untuk segera merumuskan dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai bentuk komitmen untuk melindungi setiap orang dari tindak kekerasan berbasis gender, termasuk perempuan disabilitas yang merupakan salah satu kelompok rentan (Perempuan, 2020).

Kasus kekerasan pada perempuan disabilitas juga terjadi di Papua Barat, terutama di Manokwari. Pendamping Perempuan Disabilitas Korban Kekerasan Himpunan Perempuan Disabilitas Indonesia (HWDI) Papua Barat, Pendeta Shirley F.A. Parinussa Siagian, mengatakan persoalan perempuan disabilitas yang terjadi di Papua kental dengan adat dan istiadat. Kasus kekerasan di Manokwari sulit dijangkau selain karena adat juga akibat rasa malu (Idntimes.Com, 2021).

Gender dan Inklusi Sosial atau yang sering disebut dengan GESI juga merupakan hal penting dalam peningkatan layanan dasar. Hal ini sesuai dengan tujuan Program LANDASAN II untuk dapat meningkatkan keterwakilan perempuan dan penyandang disabilitas sehingga dapat mengatasi ketidaksetaraan.� Gender dan Inclusion Manager Program KOMPAK, telah membuka wawasan para peserta mengenai pentingnya kesetaraan gender dan inklusifitas dalam mendukung fokus program LANDASAN II terutama terkait dengan hambatan dan dan kondisi yang dihadapi oleh perempuan miskin, penyandang disabilitas dan kelompok-kelompok lain yang termarjinalkan. Pada prinsipnya, GESI bertujuan untuk menghargai keanekaragaman yang dipertimbangkan dalam desain implementasi dan pemantauan setiap kegiatan dalam Program LANDASAN. Hal ini diharapkan dapat menghapus hambatan-hambatan yang dialami oleh perempuan, penyandang disabilitas dan kelompok marjinal lainnya dalam berkontribusi dan berpartisipasi serta mendapatkan manfaat langsung dari program (Mansyur, 2019).

Peparnas (Pekan Paralimpik Nasional) merupakan pesta olahraga kaum difabel, diharapkan membuka aksesibilitas terhadap hambatan hambatan yang menghalangi terwujudnya perubahan paradigma tersebut. Sehingga, para penyandang disabilitas di masa mendatang dapat diperlakukan setara dengan warga non disabilitas dari berbagai aspek. Secara konkret, yang dimaksud dari ajang peparnas ini mengentaskan sumbatan kendala dari para penyandang disabilitas untuk diperlakukan berbasis hak, adalah melalui pembangunan infrastruktur pelengkap yang memudahkan mobilitas kaum disabilitas ke berbagai tempat (Www.Antaranews.Com, 2022).

Bupati Sorong diwakili Staf Ahli Bidang Hukum dan Politik Septinus Lobat mengemukakan,� penyandang disabilitas wajib dilindungi oleh Negara. Penyampaian Bupati Sorong itu, dikemukakan saat membuka kegiatan sosialisasi perlindungan anak penyandang� disabilitas dan bina diri anak berkebutuhan khusus bersumberdaya masyarakat.

Anak penyandang disabilitas merupakan bagian dari warga Negara yang harus dijamin kelangsungan hidupnya oleh Negara (pemerintah). �Komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan dan jaminan bagi anak-anak penyandang disabilitas telah diwujudkan, dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas serta disahkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas�. Peraturan tersebut ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 4 Tahun 2017 tentang Perlindungan Khusus Bagi Anak Penyandang Disabilitas. Dengan adanya peraturan-peraturan tersebut, tidak ada alasan lagi pemerintah untuk tidak melindungi anak-anak penyandang disabilitas.

6.   Dampak Otsus Papua Terhadap Perempuan Di Provinsi Papua Dan Papua Barat

Pemerintah menerbitkan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, yang sekarang telah diperbarui dengan perubahan melalui UU nomor 2 tahun 2021 tentang Otsus Papua. Dalam ketentuan UU Otsus ini, perempuan mendapatkan perbaikan kepastian atas untuk berpartisipasi dalam menentukan kebijakan lokal melalui Majelis Rakyat Papua (MRP). Dalam majelis yang mewakili masyarakat Papua yang tersegregasi ke dalam berbagai macam suku ini, kelompok perempuan mendapatkan kuota sepertiga (1/3) kursi yang ada di MRP. Hal ini membuka kesempatan bagi kaum perempuan untuk dapat mengikis berbagai ketimpangan gender yang disebabkan oleh aspek sosial dan budayanya.

Selain itu, sebagai tindaklanjut dari kebijakan nasional implementasi PUG dan PPRG, disusun suatu Rencana Aksi Daerah Pengarusutamaan Gender (RAD PUG) di daerah. Program dan kegiatan yang tercantum dalam RAD PUG ini dapat menggambarkan kebutuhan-kebutuhan internvensi yang mendesak untuk dilakukan secara sistematis, integratiif; dan pada saat yang sama pragmatis dan implementatif, dengan melalui tindak tindakan yang luar biasa. Prinsip ini dimaksudkan untuk mendorong lebih cepat upaya mewujudkan tanah Papua yang lebih responsif gender.

Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang telah berjalan sejak 2002 sampai kini dengan anggaran sebesar Rp146 triliun nampaknya belum mampu menyelesaikan permasalahan di Papua sesuai tujuannya yaitu mensejahterakan orang asli Papua (OAP).� Hal itu disampaikan oleh Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), Dorince Mehue. Menurutnya, salah satu komponen yang belum tersentuh dalam UU Otsus ini adalah hak-hak perempuan. �Pasal 47 UU Otsus 2001 ini benar-benar tidak terdampak bagi kami (perempuan). Perempuan Papua masih mengalami diskriminasi, Kaum perempuan asli Papua mampu mengambil peran penting dalam proses pembangunan, MRP seperti singa ompong dalam UU Otsus Papua dan Peningkatan kapasitas SDM adalah kunci kesuksesan implementasi UU Otsus Papua (Www.idntimes.com, 2021).

Keberadaan otsus dan MRP menjadi semacam pembuka peluang bagi perempuan untuk diakui keberadaannya di dalam struktur negara RI. Melalui Pasal 19 UU 21/2001 tentang Otsus, keterwakilan perempuan dalam MRP diberi tempat utama di samping adat dan agama. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa MRP beranggotakan orang-orang asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total anggota MRP. Melihat pentingnya tugas MRP yang tercantum dalam pasal 20 dan 21 UU Otsus, maka posisi perempuan dalam keanggotaan MRP menjadi sama pentingnya dengan perwakilan, adat dan agama. Perempuan tidak hanya dilihat sebagai kategori keterwakilan tetapi juga dilihat sebagai salah satu isu utama dalam kehidupan orang asli di Papua. Dari segi ini UU Otsus adalah UU yang lebih maju dari segi gender dibandingkan dengan apa yang berkembang di Aceh yang sama-sama menikmati otonomi khusus.

Kuota untuk perempuan berdasarkan UU No. 2/2011 membuka peluang bagi perempuan untuk masuk partai politik. Pada awalnya partai politik memilih perempuan sekadar untuk memenuhi quota dengan mengabaikan potensi perempuan itu sendiri. Kenyataan ini membuka ruang yang lebar bagi lembaga- lembaga yang ada untuk melakukan penyiapan dan pendampingan pada perempuan yang akan terjun ke dunia politik. Sejauh ini bentuk pendampingan masih formalistik dan belum mengubah pola pikir adat atas posisi politik perempuan.

Selain di MRP, perempuan Papua di Lembaga legislative DPRP Papua periode saat ini juga hanya terdiri dari kurang lebih 7 orang. Bagaimana pelaksanaan pembangunan di Papua dalam isu pengarusutamaan gender saat ini dapat tergambar dalam data sebagai berikut: Perempuan Papua di DPRP Papua periode 2009-2014 berjumlah 4 orang, Laki-laki: 52 Orang.(sumber BPS Papua 2015). Periode 2014-2019 berjumlah 6 orang. (sumber KPU Papua 2015). Papua disektor tenaga kerja tahun 2014 laki-laki: 58,2%, Perempuan 41,8%. MRP Papua 2017-2022 berjumlah 19 orang dari 51 anggota setara dengan hampir 48%. Menurut data Bapeda Papua dalam analisis makro provinsi Papua 2014, perempuan yang memilih mengurus rumah tangga dibandingkan terlibat dalam kegiatan perekonomian sebesar 27,8%.� Hal ini menggambarkan dengan jelas bahwa perempuan Papua belum terlibat secara langsung dalam kegiatan perencanaan pembangunan, bagaimana mau menentukan prioritas pembangunan yang responsive gender jika jumlah anggota dewan perempuan yang minim dan tidak dapat mengimbangi kuorum putusan yang didominasi oleh kaum lelaki. Demikian pula halnya jumlah kepala daerah perempuan di Papua sampai saat penulisan ini belum pernah ada, jika pun ada wakil kepala daerah yang terpilih sangat minim jumlahnya misalnya saat ini wakil bupati sarmi adalah seorang perempuan.

Perempuan Papua mandiri dapat terwujud apabila : tuntas wajib belajar 9 tahun, atau tuntasnya pendidikan dasar dan menengah, tersedianya beasiswa yang mengakomodir perempuan asli Papua melanjutkan studi kejenjang sarjana, tersedianya ruang partisipasi bagi perempuan papua dalam pelatihan ketrampilan maupun keahlian, dukungan dari keluarga bagi perempuan papua untuk bersekolah, dukungan dari Adat bagi perempuan Papua untuk bersekolah, meningkatnya angka melek huruf, lama sekolah, dorongan dari diri sendiri untuk maju. Dengan indikator tersebut maka dapat terwujud perempuan papua yang mandiri. Perempuan Papua Sehat dapat terwujud apabila: berperilaku hidup sehat (makan teratur, makan makanan bergizi, olahraga dan hidup dalam lingkungan yang bersih), terjaminnya asuransi kesehatan bagi perempuan Papua, terjangkaunya layananan kesehatan yang berkualitas, dukungan dari keluarga dan adat, memiliki jiwa yang sehat, meningkatnya harapan hidup. Perempuan Papua Sejahtera dapat terwujud apabila: meningkatnya pendapatan, meningkatnya kualitas hidup (sandang, pangan, papan), meningkatnya daya beli. Tingginya tingkat partisipasi dalam semua sektor pembangunan, dukungan keluarga dan adat.

 

Kesimpulan

Perempuan di Tanah Papua baik Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat dalam pelaksanaan Otonomi Khusus Papua belum sepenuhnya mendapatkan perlakuan setara dan adil serta diakui oleh masyarakat baik masyarakat Papua maupun nasional dan internasional. Hal ini disebabkan oleh rendahnya sumber daya manusia perempuan Papua akibat rendahnya tingkat Pendidikan dan pelatihan-pelatihan sehingga perempuan Papua terpinggirkan bahkan juga semakin termarginalkan akibat pengaruh adat istiadat yang kuat yang menajdikan perempuan sebagai kelompok kelas dua setelah lelaki. Pun kaum Difabel di tanah Papua dalam pelaksanaan Otsus Papua belum mendapatkan hak-hak mereka seperti hak mendapat Pendidikan dan hak mendapatkan pekerjaan yang layak. Hal ini menunjukan secara tegas dan nyata bahwa Otonomi Khusus Papua sebagai regulasi yang menjadi determinan untuk kesejahteraan orang asli Papua termasuk perempuan dan kaum difabel belum dapat dikatakan berhasil karena tidak dapat memberikan perlindungan dan keberpihakan kepada perempuan dan kaum difabel di tanah Papua. Setara, adil dan berperan aktif dalam pembangunan local, nasional dan internasional belum dapat dilakukan oleh perempuan dan difabel di tanah Papua.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Anastasia, Yulika. (2017). KDRT di Kota Jayapura Dipicu oleh 3 Hal Ini. Retrieved from https://peranperempuan.id website: https://peranperempuan.id/kdrt-di-kota-jayapura-dipicu-oleh-3-hal-ini/. Google Scholar

 

Hutapea, Lynda. (2021). Tahun 2020 Data Komnas Perempuan Terdapat 299.911 Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan, Paling Menonjol Adalah Kekerasan Seksual. Retrieved from https://www.lensapapua.com website: https://www.lensapapua.com/Hukum-Kriminal/Tahun-2020-Data-Komnas-Perempuan-Terdapat-299-911-Kasus-Kekerasan-Terhadap-Perempuan-Dan-Kasus-Kekerasan-Seksual-Paling-Menonjol/. Google Scholar

 

Idntimes.Com. (2021). Jalan Kelam Kaum Disabilitas Korban Kekerasan Seksual. Retrieved from Idntimes.Com website: https://www.idntimes.com/News/Indonesia/Lia-Hutasoit-1/Jalan-Kelam-Kaum-Disabilitas-Korban-Kekerasan-Seksual/4. Google Scholar

 

Jurnal perempuan.org. (2013). Perempuan Masih Rentan Menjadi Korban Kekerasan. Retrieved from www.jurnalperempuan.org website: https://www.jurnalperempuan.org/Perempuan-Masih-Rentan-Menjadi-Korban-Kekerasan.Html. Google Scholar

 

Kompas.com. (2018). Menurut Riset, Ini Pemicu Kekerasan Terhadap Perempuan di Papua. Retrieved from Kompas.com website: https://nasional.kompas.com/read/2018/12/14/20133131/menurut-riset-ini-pemicu-kekerasan-terhadap-perempuan-di-papua?page=all]. Google Scholar

 

Mansyur, Fadhilah. (2019). Landasan II Dorong Pengarusutamaan Adminduk dan GESI. Retrieved from baktinews.bakti.or.id website: https://baktinews.bakti.or.id/Artikel/Landasan-Ii-Dorong-Pengarusutamaan-Adminduk-Dan-Gesi. Google Scholar

 

Media.neliti.com. (2022). masyarakat hukum adat dan hak ulayat di. Retrieved from Media.neliti.com website: https://media.neliti.com. Google Scholar

 

Perempuan, Jurnal. (2020). Kerentantan Perempuan Disabilitas terhadap Kekerasan Berbasis Gender. Retrieved from https://www.jurnalperempuan.org website: https://www.jurnalperempuan.org/Warta-Feminis/Archives/10-2020. Google Scholar

 

Peterson, V. Spike, & Runyan, Anne Sisson. (1999). Global gender issues. Westview Pr. Google Scholar

 

Steans, Jill, Pettiford, Lloyd, & Diez, Thomas. (2005). Introduction to International Relations: Perspectives and Themes. Pearson Education. Google Scholar

 

 

 

Uhamka, Akhlanudin. (2021). Pencegahan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Papua. Retrieved from gema.uhamka.ac.id website: https://gema.uhamka.ac.id/2021/02/11/Pencegahan-Tindak-Kekerasan-Terhadap-Perempuan-Dan-Anak-Di-Papua/. Google Scholar

 

Wardhani, Baiq. (2015). Materi disampaikan pada perkuliahan Teori Hubungan Internasional Departemen Hubungan Internasional Universitas Airlangga. Google Scholar

 

Widjojo, Muridan S. (2012). Perempuan Papua Dan Peluang Politik Di Era Otsus Papua. Retrieved from Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia website: http://jmi.ipsk.lipi.go.id/index.php/jmiipsk/article/viewFile/649/440 diakses tanggal 28 Februari 2022. Google Scholar

 

Www.Antaranews.Com. (2022). Peparnas Papua Ubah Paradigma Terhadap Penyandang Disabilitas. Retrieved From Www.Antaranews.Com website: https://www.antaranews.com/BERITA/2498205/Peparnas-Papua-Ubah-Paradigma-Terhadap-Penyandang-Disabilitas. Google Scholar

 

Www.idntimes.com. (2021). MRP: UU Otsus Papua Tidak Berdampak pada Hak Politik Perempuan. Retrieved from www.idntimes.com website: https://www.idntimes.com/News/Indonesia/Irfanfathurohman/Mrp-Uu-Otsus-Papua-Tidak-Berdampak-Pada-Hak-Politik-Perempuan/5. Google Scholar

 

Copyright holder:

Melyana R. Pugu, Dhea T. Lumentut, Yan G. Pelamonia (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: