Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 4, April 2022

 

PRO DAN KONTRA ISU PEMEKARAN PAPUA SUATU KAJIAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

 

Melyana R. Pugu

Universitas Cenderawasih, Indonesia

Email: [email protected] 

 

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan analisa mendalam dari sisi hubungan internasional tentang isu pemekaran daerah otonom baru Papua setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta berusaha menggambarkan sebab-sebab pemekaran, faktor-faktor pendukung dan penghambat pemekaran dan untuk mengetahui dan menganalisis strategi pemerintah dalam mempersiapkan pemekaran daerah otonom baru di Papua. Metode Penelitian Kualitatif digunakan untuk mengumpulkan data primer maupun sekunder yang diolah dan di analisa untuk mendapatkan kesimpulan. Luaran atas penelitian ini adalah mendapatkan pemetaan yang jelas terkait kelompok pro dan kontra atas isu pemekaran Papua serta dampak positip dan negatif atas pemekaraan Papua dari sisi geopolitik dan geostrategi dalam hubungan internasional.

 

Kata Kunci: hubungan internasional; isu; kontra; pro; pemekaran; papua

 

Abstract

This paper aims to provide an in-depth analysis of international relations on the issue of the expansion of new autonomous regions of Papua after the birth of Law No. 23 of 2014 on Regional Government and seeks to describe the causes of expansion, supporting factors and inhibition of expansion and to find out and analyze government strategies in preparing for the expansion of new autonomous regions in Papua. Qualitative Research Methods are used to collect primary and secondary data that are processed and analyzed to get conclusions. The output of this study is to get a clear mapping related to the pro and con groups on the issue of Papua expansion and the positive and negative impact on papuan litigation in terms of geopolitics and geostrategy in international relations.

 

Keywords: international relations; issues; cons;pros; expansion; papua

 

 

Pendahuluan

Perdebatan tentang ukuran dan standar ideal pemerintah daerah telah menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana merestrukturisasi dan mereformasi pemerintah daerah untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Reorganisasi yang biasa dilakukan adalah perluasan wilayah dan penggabungan. Selama proses ini, ukuran aktual kawasan perlu ditentukan melalui berbagai metode, termasuk pendekatan fungsional, komunitas/komunitas, efisiensi, manajemen, teknis dan sosial. (Campo & Sundaram, 2001). Pendekatan komunitas/komunitas mensyaratkan bahwa batas-batas pemerintahan harus sesuai dengan wilayah yang mencerminkan perilaku dan sikap masyarakat umum. Sehingga aspek kependudukan/penduduk merupakan salah satu yang dapat diperhatikan dalam melakukan perluasan wilayah. Aspek kependudukan yang dibahas meliputi kajian baik kualitas maupun kuantitas, antara lain kendala minimal jumlah penduduk dan kualitas penduduk, kebutuhan SDM birokrasi, serta keseimbangan dan keserasian persebaran penduduk. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 telah melahirkan paradigma baru dalam sistem penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Otonomi daerah sebagai amanat dari reformasi merupakan sesuatu yang sangat penting bagi daerah otonom untuk mengembangkan potensi daerahnya. Asas desentralisasi merupakan pedoman yang sangat dibutuhkan oleh daerah otonom. Daerah otonom menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah �kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakatdalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia� (Undang-Undang, 2005).

Menurut Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2007, pemekaran daerah/wilayah adalah pemecahan suatu pemerintah baik propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Desa / Kelurahan menjadi dua daerah atau lebih. Menurut Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000, tentang persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan dan pengabungan daerah, pada pasal 2 menyebutkan pemekaran daerah/wilayah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui :

1.   Percepatan pelayanan kepada masyarakat

2.   Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi

3.   Percepatan pertumbuhan pembangunan ekonomi daerah

4.   Percepatan pengelolaan potensi daerah

5.   Peningkatan keamanan dan ketertiban

6.   Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah

Hal ini sebagaimana yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.106/2021 tentang kewenangan dan kelembagaan pelaksanaan kebijakan otonomi khusus Provinsi Papua. Dalam hal ini pemekaran di papua mendapatkan kekhususan yakni tanpa melalui daerah persiapan dan tak harus memenuhi syarat dasar maupun administratif. Ketentuan ini tercantum pada pasal 93 PP No.106/2021. Berikut ketentuan lengkapnya (1) Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi Papua menjadi daerah otonom. (2) Pemekaran daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk : a. mempercepat pemerataan pembangunan b. mempercepat peningkatan pelayanan publik c. mempercepat kesejahteraan masyarakat; dan d. mengangkat harkat dan martabat OAP. (3) Pemekaran daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan di masa yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua. (4) Pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa melalui tahapan daerah persiapan dan tanpa harus memenuhi persyaratan dasar dan persyaratan administratif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai pemerintahan daerah Seperti diketahui berdasarkan UU Pemda, untuk menjadi daerah otonom baru (DOB) pemekaran diharuskan melalui daerah persiapan. Jika selama menjadi daerah persiapan ternyata tidak berkembang maka akan dikembalikan ke daerah induk (Dita, 2021).

 

Metode Penelitian

Tulisan ini menggunakan Metode Penelitian Kualitatif yaitu Menurut Sugiyono (2013:7) Metode penelitian ini dinamakan sebagai metode baru, karena popularitasnya belum lama, disebut Postpositivistik karena berlandaskan pada filsafat Postpositivisme. Metode ini disebut juga sebagai metode artistik, karena penelitian lebih bersifat kurang terpola, dan disebut sebagai metode interpretive karena data hasil penelitian lebih berkenaan dengan interpretasi terhadap data yang ditemukan di lapangan.merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema yang khusus ke tema-tema umum, dan menafsirkan makna data. Penelitian ini menerapkan cara pandang penelitian yang bergaya induktif, berfokus terhadap makna individual, dan menerjemahkan kompleksitas suatu persoalan (Creswell, 2010:4). Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara pengumpulan data Sekunder yaitu mengumpulkan data dari berbagai sumber literatur baik melaui studi pustaka, berbagai literatur, media cetak dan internet.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Konsep Geopolitik

Geopolitik merupakan alat bagi negara untuk mengontrol dan berkompetisi di wilayah teritorialnya. Geopolitik juga menjadi bagian dari human geography, yaitu tidak hanya tentang kondisi geografi saja karena human geography yang dimaksud adalah kondisi dunia secara keseluruhan dalam berbagai aspek. Kondisi tersebut nantinya digunakan untuk membuat kebijakan yang tidak hanya kebijakan politik, tetapi juga kebijakan dalam berbagai aspek misalnya ekonomi dan lain-lain (Colin Flint, 2006).

Geopolitik terbagi menjadi Tiga jenis yaitu Geopolitik klasik, Geopolitik moderen, dan Geopolitik Postmoderen. Geopolitik klasik menyatakan bahwa siapa yang menguasai laut akan mendominasi perdagangan dunia dan pada akhirnya akan menguasai dunia. Lautan merupakan kehidupan, ada banyak sumber daya alam di laut. Oleh karena itu, harus membangun angkatan laut yang kuat untuk menjaga dan mempertahankannya. Dengan pengertian tersebut, Mackinder dan Haushofer menyatakan bahwa geopolitik sangat erat kaitannya dengan geografi secara fisik dan negara adalah pemilik hegemoni tertinggi untuk mengatur kegiatannya seperti melakukan ekspansi wilayah terutama laut (Colin Flint, 2006).

Berbeda dengan Geopolitik klasik, geopolitik moderen berangkat dari pemikiran-pemikiran kaum Neoliberal dan kritis yang menyebutkan bahwa Geoekonomi sekarang telah mendominasi kebijakan yang dibuat oleh negara di dunia. Setiap negara akan berkompetisi untuk membangun negaranya yang tidak didominasi oleh sektor militer namun melalui kerjasama yang berujung pada sektor ekonomi. Selain itu, konsep geopolitik klasik sangatlah tradisional dan tidak lagi relevan digunakan pada dunia moderen yang lebih multipolar (Colin Flint, 2006, hal 40). Sedangkan geopolitik postmoderen lebih menekankan bahwa dunia ini telah berkembang lebih dari moderen, geopolitik tidak hilang namun ruang-ruang yang sebelumnya dapat terlihat jelas mulai berubah secara membingungkan. Adanya revolusi teknologi yang ditimbulkan oleh globaliasi telah melemahkan peran negara. O Thuatail membahas eksistensi geopolitik posmoderenisme yang menyebabkan krisis identitas. Perkembangan dunia semakin bergulir sehingga kian mengurangi peranan negara atas kontrol komunikasi dan informasi yang juga turut menyebabkan degradasi lingkungan. Dengan kata lain, geopolitik postmoderen cenderung mengarahkan pada bentuk teritorial yang semakin samar akibat kemajuan teknologi serta meningkatnya kepentingan terkait sektor ekonomi (O Thuatail, 1996).

Jika geopolitik adalah alat kekuasaan dan kekuatan negara untuk berkompetisi di wilayah teritorialnya, maka geostrategi merupakan suatu strategi negara dalam memanfaatkan kondisi geografinya untuk menentukan kebijakan, tujuan dan sarana dalam rangka mencapai tujuan nasional. Antara geopolitik dan geostrategi saling erat berkaitan dimana geopolitik bertumpu pada geografi sosial (hukum geografis), mengenai situasi, kondisi atau konstelasi geografi dan segala sesuatu yang dianggap relevan dengan karakteristik geografi suatu negara (Colin Flint, 2006, hal 19).

Dalam hubungannya, antara geopolitik dan geostrategi, geografi yang dimaksud tidak secara murni berdasarkan pada letak geografis suatu negara saja namun juga berdasarkan pada hubungan antar institusi politik negara dengan kondisi geografis disekitarnya. Dengan demikian hal itu dapat disebut dengan geografi politik atau political geography. Geopolitik sendiri memiliki Empat unsur pembangun yaitu keadaan geografis, keadaan politik dan strategi, hubungan timbal balik antara geografi dan politik, serta kebijakan suatu negara. Untuk itu, antara geopolitik dan geografi politik memiliki beberapa peranan penting. Pertama, menghubungkan kekuasaan negara dengan potensi alam yang ada. Kedua, menghubungkan kebijakan suatu pemerintahan dengan situasi dan kondisi alam sehingga akan mempengaruhi pembuatan kebijakan luar dan dalam negeri. Ketiga, berusaha untuk meningkatkan posisi dan kedudukan negara sehingga membenarkan tindakan ekspansi yang dijalankan oleh suatu negara (Colin Flint, 2006, hal 19).

 

 

 

B.  Konsep Pemekaran Daerah

Istilah Pemekaran secara Etimologis berasal dari kata asalnya, yaitu mekar. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti berkembang menjadi terbuka, menjadi besar dan gembung, menjadi tambah luas, besar, ramai, bagus, mulai timbul dan berkembang. Istilah pemekaran daerah sebenarnya dipakai sebagai upaya memperluas bahasa (eupieisme) yang menyatakan proses �perpisahan� atau pemecahan suatu wilayah untuk membentuk satu unit administrasi local baru. Dilihat dari kacamata filosofi harmoni, istilah pemekaran daerah dirasa lebih cocok digunakan untuk menggambarkan proses terjadinya daerah-daerah otonom baru paska reformasi di Indonesia (Makagansa, 2008).

Menurut Ferrazzi Pemekaran Daerah merupakan bagian dari proses penataan daerah atau territorial reform atau administrative reform, yaitumanagement of the size, shape and hierarchy of local government units for the purpose of achieving political and administrative goals.� Penataan daerah umumnya mencakup pemekaran, penggabungan, dan penghapusan daerah. Ferrazzi berpendapat bahwa grand strategy otonomi daerah yang optimal tidak berhenti pada menentukan berapa jumlah daerah otonom yang ideal di suatu negara, namun lebih dari itu, harus mampu menjawab pertanyaan apa sebenarnya hakekat otonomi daerah di negara bersangkutan. Baru setelah itu mencarijawabanuntuk tujuan apa sebenarnya pemekaran daerah (dalam konteks territorial reform) tersebut (Hijri, 2016).

Pemekaran daerah menurut Swianiewicz, terkait dengan komunitas lokal yang kecil lebih homogen dan lebih mudah untuk mengimplementasikan kebijakan yang sesuai dengan preferensi sebagian besar masyarakatnya. Kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam komunitas yang kecil memiliki peluang lebih besar. Kemudian pemerintah daerah yang kecil memiliki birokrasi yang rendah, misalnya fungsi administrasi. Pemekaran juga mendukung adanya persaingan antar pemerintahan daerah dalam mendatangkan modal ke daerahnya masing maisng, dimana hal ini akan meningkatkan produktifitas.

Secara teoritis, pemekaran daerah pertama kali dikaji oleh Charles Tibout dengan pendekatan Public Choice School. Dalam artikelnyaA Pure Theory of Local Expenditure�, artinya bahwa pemekaran daerah dianalogikan sebagai model ekonomi persaingan sempurna dimana pemerintah daerah memiliki kekuatan untuk mempertahankan tingkat pajak yang rendah, menyediakan pelayanan yang efisien, dan mengijinkan setiap individu masyarakat untuk mengekspresikan preferensinya untuk setiap jenis pelayanan dari berbagai tingkat pemerintah yang berbeda (Hijri, 2016).

C.  Pemekaran Papua Menurut Kelompok Pro dan Kontra

Pemekaran Papua telah menjadi perdebatan dan silang pendapat dari berbagai pihak sejak terjadinya pemekaran Provinsi Papua Barat. Wacana pemekaran wilayah Papua telah menimbulkan sikap pro dan kontra di berbagai kalangan politisi, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah dan di antara para pakar. Hebohnya wacana Pemekaran di Tanah Papua terjadi setelah Tim 61 orang Tokoh Masyarakat Papua bertemu Presiden tanggal 10 September 2019 di Istana Negara Jakarta yang mengajukan tujuh usulan, salah satunya untuk dilakukan pemekaran Provinsi di Papua. Pada saat itu Presiden Jokowi merespon usulan Pemekaran Tim dengan akan membuka kesempatan usulan 2 atau 3 Provinsi di Tanah Papua. Kemudian hal tersebut direspon kembali oleh Mendagri saat itu yang pada intinya memberikan prioritas kepada Papua untuk di mekarkan dengan mencari celah hukum sebagai dasar pelaksanaan walaupun sejak Tahun 2008 Pemekaran Daerah di moratorium oleh pemerintah. Sikap Pro dan Kontra memperdebatkan manfaat ataupun kerugian yang timbul dari rencana yang pemekaran wilayah terus menghiasi berbagai media massa dan forum- forum masyarakat lainnya. Berbagai pandangan dan opini disampaikan untuk mendukung sikap masing-masing pihak. Provinsi Papua (saat itu Irian Barat) adalah Provinsi terluas di Indonesia, diserahkan oleh Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Indonesia pada 1 Mei 1963 dan pada tahun 1969 menjadi Provinsi yang ke 26, kemudian di mekarkan menjadi Provinsi Papua dan Papua barat berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 1999 dan PP Nomor 24 Tahun 2007.

Wacana pemekaran yang berkembang sampai saat ini adalah pemekaran Provinsi Papua dengan membentuk Provinsi baru : Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Provinsi Tabi dan Saireri, dan pada Provinsi Papua Barat: Papua Barat Daya atau Provinsi Sorong Raya. Banyak pihak mengemukakan hendaknya pemekaran wilayah di Papua berdasarkan pada wilayah adat. Gubernur Papua Lukas Enembe, pada tanggal 14 September 2019 dalam Pos Papua.com (14 September 2019), mengemukakan bahwa, �Pemekaran Papua dilakukan tidak boleh setengah-setengah.�� Pemekaran�� dilakukan menjadi Tujuh Provinsi sesuai jumlah wilayah adat yang ada di wilayah Papua dan Papua Barat. �Kalau mau mekarkan Papua, sekaligus saja dimekarkan menjadi tujuh provinsi sesuai wilayah adat masing-masing dengan status otonomi khusus bagi masing-masing,� ujar Enembe. Demikian pula saran dari Rektor Univ.Cenderawasih Papua, Dr.Ir.Apolo Safanpo,ST.,MT yang menyatakan, pemekaran Papua menjadi tujuh provinsi �sebab kalau cuma tiga atau empat provinsi maka berpotensi timbulnya masalah baru karena berbeda-beda budaya, sedangkan kalau dimekarkan menjadi tujuh, maka masing-masing wilayah adat bisa kembangkan wilayahnya sesuai adat dan budaya masing- masing�, wacana pendekatan pemekaran ini masih akan dilakukan pengkajian secara mendalam. Kemudian ada juga beberapa pihak mengemukakan baiknya pemekaran mengacu pada wilayah ekosistem yang ada di Papua, seperti yang disarankan oleh Dr.Agus Sumule, Dosen Universitas Papua Manokwari Papua Barat yang mengemukakan bahwa Bank Dunia melalui Konsultan Pembangunan, Lavalin International Inc. yang bekerja sama dengan BAPPEDA pada tahun 1980 telah melakukan penelitian dan menghasilkan sejumlah dokumen penting sangat bermutu sebagai data dasar dalam rangka bagi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di Irian Jaya (Papua dan Papua Barat). Selanjunya dikemukakan, terkait dengan pembagian wilayah adat dalam pembangunan di Papua belum dapat diterjemahkan oleh penggagasnya, hal tersebut hanya memberikan ruang yang lebih besar bagi penerapan kearifan lokal, dalam kenyataannya belum ada program pembangunan yang lebih berhasil mengangkat kesejahteraan masyarakat asli Papua akibat digunakannya konsep pemilahan wilayah adat tersebut.

�����������

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

����������� Sumber : BBC, Tito Karnavian (Menteri Dalam Negeri)

�����������

Sedangkan para pihak yang kontra, menolak terhadap pemekaran wilayah di Papua mengemukakan hal tersebut disebabkan SDM Orang Asli Papua belum siap; secara ekonomi, sosial, politik sehingga akan mengalami degrasi dalam politik, sosial dan ekonomi. Kemudian di kemukakan juga perkembangan migrasi penduduk luar Papua yang terus meningkat sehingga masyarakat asli Papua makin terpinggirkan. Ketua Pokja Adat MRP Demas Tokoro saat bertemu Wakil Presiden di Jakarta, menyampaikan bahwa jumlah pendatang telah melebihi penduduk asli Papua, sebagaimana yang telah terjadi di Kabupaten Merauke dan Keerom (Tempo.com, 28 November 2019).

Demikian juga keadaan tersebut di sampaikan oleh Yunus Wonda, saat masih menjadi Ketua DPR Papua bahwa pemekaran akan membuat masyarakat asli Papua makin termarginalkan (Kompas.com, 30 Oktober 2019), selanjutnya dikatakan pemekaran hanya untuk kepentingan para elit politik dan penguasa karena mengharapkan jabatan. Demikian pula Ketua MRP Timotius Murib menyatakan menolak dan tidak akan memberikan rekomendasi tentang pemekaran provinsi karena bukan merupakan kehendak masyarakat asli Papua (Kompas.com, 5 November 2019).

 

 

 

 

Menurut Kelompok Pro:

1.   Positif

Mereka yang pro, sebagian besar pengendali kebijakan di Papua. Baik dari institusi Pemda, militer, perusahaan nasional dengan internasional, ditambah lagi masyarakat adat yang pro pembangunan dengan dalih dukung pemekaran.

Demi meningkatkan taraf hidup orang Papua, mengimplementasikan pemberdayaan orang Papua agar mandiri.

Kehadiran provinsi-provinsi baru bukan karena mencari kedudukan dan jabatan, tetapi lebih kepada peningkatan kesejahteraan.

Menurut Joop, masalah yang terjadi di Papua bermula dari kesenjangan sosial sejak zaman Presiden Soeharto. Selama lebih dari 32 tahun Papua ditinggalkan, dianaktirikan, dan ditelantarkan, kata dia. "Papua tertinggal, Papua tidak pernah dibangun oleh Indonesia. Akhirnya terjadi konflik, kecemburuan sosial, terjadi banyak persoalan." Hal ini senada dengan yang dikatakan Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden (KSP), Theo Litaay. Dia mengatakan masyarakat Papua ingin sejahtera dan pemekaran wilayah adalah salah satu strategi untuk mencapai keinginan tersebut. "Di satu sisi, ada persoalan keamanan yang diselesaikan melalui proses penegakan hukum, sementara di sisi lain ada kebutuhan keterjangkauan pelayanan publik dan kehadiran pemerintah daerah yang memang harus didekati dengan strategi pemerintahan," ujar Theo. "Kita perlu untuk fokus kepada kegiatan pembangunan kesejahteraan bagi masyarakat. Fokus pada pembangunan secara nyata, bukan narasi ataupun slogan politik." Kedepannya, kata Theo, pemerintah bakal terus menampung seluruh aspirasi yang ada terkait pemekaran wilayah di Papua (Www.bbc.com, 2021).

�����������������������������������������������

Tabel 1

Perbandingan Ipm Tahun 2021

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

��������������������� Sumber : diolah dari berbagai sumber, 2022

 

Berdasarkan tabel 1 diatas maka terlihat jelas bahwa indeks pembangunan manusia Papua menempati urutan terendah yaitu 60,62, diikuti selanjutnya oleh Papua Barat sebanyak 65,26. Provinsi ketiga terendah adalah Kepulauan Riau sebesar 72,94, disusul Provinsi Sulawesi Utara sebesar 73,30. Sementara Kalimantan Timur sebesar 76,88 dan tertinggi adalah IPM DKI Jakarta sebesar 81,11.

1.   Negatif

Menurut kelompok pro terdapat dampak negative akibat pemekaran bahwa pemekaran daerah demi melumpuhkan upaya-upaya pemisahan Papua dari NKRI. Lebih lanjut, argumentasi mereka dari segi pembangunan sumber daya manusia, tak luput dari kertas proposal yang mereka ajukan ke Jakarta.

2.   Hambatan

Pemerintah Indonesia sendiri telah menerapkan Otonomi Khusus Papua sejak 2001, sebagai landasan hukum mempercepat pembangunan di Papua. Pemekaran wilayah, yang sampai saat ini tertunda karena keputusan politik pusat, harus dipandang sebagai salah satu jalan saja dalam mewujudkan kesejahteraan.

Namun, ada pula sikap kontra pemekaran, di mana 19 persen masyarakat percaya langkah ini lebih menyandang kepentingan politik dan hanya memenuhi nafsu perebutan jabatan sejumlah elit politik. Pemekaran juga dianggap tidak seusai adat dan budaya, mengancam Orang Papua Asli (OAP), dan meminggirkan orang Papua. Pemekaran bukan tidak mungkin adalah bagian dari strategi adu domba yang akan menguras keuangan negara (Sucahyo, 2021).

Menurut Kelompok Kontra

1.   Negatif

Mantan Gubernur Papua, Barnabas Suebu, dahulu menolak Inpres Pemekaran Papua dengan alasan pemekaran tersubut merupakan pemaksaan dari pusat terhadap daerah. Sangat dikhawatirkan dengan pemaksaan ini akan muncul konflik yang sangat besar di Papua dan untuk mengatasinya hal tersebut jangan dipaksakan.

Semangat para elit Papua dan Papua Barat yang mendorong pemekaran kabupaten dan kota ini kebanyakan dibungkus dengan kepentingan kelompok atau berdasarkan keinginan para elit belaka.

Ada kesan, pemekaran yang dilakukan hanya semacam gula-gula politik yang diberikan pusat kepada daerah. DPR RI seperti memberikan gula-gula tanpa memikirkan aspek yang akan timbul (Www.kompasiana.com, 2013). Di sisi lain, ada juga warga Papua yang menentang pemekaran wilayah ini. Benhur Wally, seorang tokoh masyarakat adat, mengatakan keputusan soal pemekaran DOB ini dilakukan secara tidak transparan. Hal itu, kata dia, bisa memicu konflik lainnya, terutama yang berkaitan dengan masyarakat adat. Papua memiliki tujuh wilayah adat. Menurut Benhur kalau pembagian wilayah itu tidak dilakukan secara jelas dan transparan, akan terjadi kesalahpahaman di masyarakat yang berujung pada konflik horisontal. "Pihak akademisi dan pemerintah dalam panitia pemekaran ini sama sekali tidak ada transparansi dengan masyarakat adat dan itu akan terjadi. Kalau sudah terjadi maka orang akan bertahan di wilayahnya masing-masing dan saya pikir segala sesuatu akan berujung pada demo dan orang-orang akan ribut," kata Benhur (Www.bbc.com, 2021).

2.   Positif

Perlu sekali untuk mengkaji substansi persoalan yang sering dialami masyarakat OAP khususnya terkait kesejahteraan. Sehingga kehadiran calon Provins Papua Barat Daya bisa menjawab kebutuhan masyarakat OAP. "Mengapa sampai saat ini OAP belum sejahtera, karena apa dan seterusnya, ini yang mestinya dikaji secara mendalam dan baik supaya nantinya pemekaran tersebut bisa menjawab kebutuhan masyarakat OAP itu sendiri" (Kumparan.com, 2022).

3.   Hambatan

�Euforia tentang pemekaran itu sebenarnya sudah ada dan di berbagai wilayah di Papua, dan itu jika kita perhatikan, selau diinisiasi oleh para elit yang notabene, misalnya, kalah bersaing atau mempunyai politik kepentingan dalam pertarungan untuk memperebutkan jabatan,� kata Ngurah. Sekelompok aktor itu adalah kaum elit di Papua, yang menurut Ngurah, terbentuk dari lingkungan budaya politik Indonesia. Mayoritas dari mereka belajar di berbagai universtas di Indonesia, bahkan muncul dari program pendidikan yang membawa anak muda Papua sejak SMA ke berbagai kota di Jawa. Karakterikstik para elit ataupun kelas menengah terdidik Papua, menurut Ngurah, sangat khas dari didikan budaya politik dan pola pendidikan di Indonesia (Sucahyo, 2021).

D.  Analisa Isu Pemekaran Papua dalam Studi Hubungan Internasional

Menurut Viotti dan Kaupi bahwa dikeluarkannya sebuah kebijakan atau keputusan sebuah negara dipengaruhi oleh beberapa faktor pendorong. Karena kepentingan saja tidak cukup untuk dapat menuntun didalam pembuatan suatu keputusan, tetapi hal ini didukung dengan adanya tujuan spesifik atau objektivitas. Viotti dan Kauppi menambahkan bahwa yang menjadi dasar pendorong dikeluarkannya objektivitas sebagai produk keputusan ada Empat hal, yaitu: 1. Capabilities (Kemampuan) Didalam pembentukan objektivitas kebijakan luar negeri, pembuatan keputusan melihat kepentingan nasional sebagai hal mendasar serta ancaman dan peluang yang mana hal tersebut berasal dari sistem internasional. Namun, beberapa bukti memperlihatkan adanya kemampuan dan kekuasaan dari dalam negeri yang mendorong tercapainya keputusan. Untuk kasus pemekaran Papua terkait kemampuan atau kapabilitas bahwa isu pemekaran Papua sebagai bagian dari kepentingan domestik Indonesia penting menjadi salah satu isu yang diangkat dan dibuat dalam kebijakan dalam rangka mengamankan politik luar negeri Indonesia. Bahwasanya pemekaran Papua ketika dianalisis menggunakan pisau analisa Hubungan Internasional maka kebijakan dalam negeri terkait pemekaran Papua akan memberikan dampak positip bagi orang asli Papua dengan kebijakan pemerintah yang berpihak pada orang asli Papua baik pembangunan infratsruktur maupun sumber daya manusia orang asli Papua sehingga kesejahteraan dirasakan dengan nyata oleh orang Papua. Disisi lain,ketika pemerintah tidak mampu membuat kebijakan-kebijakna yang berpihak kepada oarng asli Papua maka stabilitas negara akan terganggu karena masyarakat yang kecewa terus menerus dan merasa ditindas akan bangkit melawan pemerintah yang akhirnya mendatangkan berbagai pergolakan dan konflik, mengorbankan rakyat banyak dan pada akhirnya berujung pada masalah hak azasi manusia dan menarik perhatian dunia internasional.

2. Interest (Kepentingan) Seperti yang diketahui, didalam suatu negara yang berbentuk demokrasi atau diktator, setiap kebijakan yang dikeluarkan negara tersebut biasanya didasarkan pada beberapa hal, Pertama: status kedaulatan. Jika suatu negara membuka sebuah kebijakan luar negeri, hal tersebut dapat diraih dengan menggunakan kedaulatannya. Kedua, mempertahankan kesejahteraan dan kepentingan ekonomi negaranya. Kepentingan ekonomi tidak hanya dilihat sebagai sumber yang penting bagi kekuatan dalam hubungan antar bangsa. Ketiga: pemeliharaan nilai-nilai penting yang ada dalam masyarakat. Berdasarkan pendapat Viotti dan Kauppi tersebut maka kepentingan Indonesia dalam Papua terkait isu pemekaran wilayah menjadi hal penting karena dengan pemekaran maka wilayah Papua yang luas dapat dijangkau dengan pemerintahan daerha yangd ekat dengan rakyat sehingga status kedaulatan Indonesia yang dalam beberapa waktu ini sering di �diganggudalam for a internasional menjadi lebih stabil karena tidak banyak masalah Papua yang dapat dianggapa mengganggu stabilitas kedaulatan Indoensia. Yang berikutnya bahwa isu pemekaran sebagai politik domestik Indonesiadapat meningkatkan kesejahteraan rakyat seminimal mungkin dapat mempertahankan kesejahteraan orang asli Papua dan kepentingan ekonomi negara di lingkungan internasional dapat berjalan dengan baik akibat kondusifnya keadaan dalam negeri di Indonesia.

3. Opportunities (Peluang) Didalam pencapaian objektivitas sebuah negara, sistem global tidak hanya dilihat sebagai ancaman kepentingan nasional, tetapi juga menjadi peluang yang dapat mempengaruhi pembuatan objektivitas kebijakan luar negeri suatu negara. Ini dapat di lihat dari beberapa negara dalam ekspansi pasar dan investasi ekonomi. Bahwa berdasarkan faktor ketiga ini bagi Indonesia tentu saja dengan keadaan domestik yang aman dan stabil maka menjadi pintu masuk bagi investor asing untuk menanamkan modalnya di dalam negeri. Kaitannya dengan isu pemekaran Papua bahwa dengan kondisi Papua yang aman maka dapat menarik banyak investor ke dalam negeri termasuk ke Papua untuk menanamkan modal dan berinvestasi sehingga dapat memajukan pembangunan secara fisik dan non fisik yaitu pembangunan sumber daya manusia orang asli Papua yang nantinya menjadi modal bangsa dalam mengisi kemerdekaan di masa yang akan datang. Sebagaimana dikutip dibawah ini:

Wali Kota Jayapura Benhur Tommy Mano mengakui gangguan keamanan yang disebabkan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di beberapa daerah di Papua menjadi hambatan bagi masuknya investor. Memang, lanjutnya para pengusaha banyak yang ragu menanamkan modalnya di Papua akibat sering terjadinya aksi kekerasan. "Kami juga sering ditanya para pengusaha yang ingin menanamkan modalnya di Jayapura sering menanyakan apakah aman bila membangun di Papua, " aku dia di Jayapura, Sabtu (8/5/2021). BTM mengakui, pemkot berupaya memberikan jaminan keamanan sehingga saat ini pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan (Papua.bisnis.com, 2021). Selain itu juga menurut Ekonom dan Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto menilai kerusuhan yang terjadi di Manokwari, Provinsi Papua Barat berdampak buruk bagi perekonomian. Menurut Eko, dampak ini akan terasa pada investor yang biasa melirik tambang-tambang di Papua. "Kalau berkepanjangan biasanya dia punya impact ke persepsi investor terutama Papua. Kan kita kenal sebagai sektor yang banyak menarik investasi tambang," ucap Eko kepada wartawan saat ditemui di kantor Indef, Senin (19/8/2019). Pada Senin (19/8/2019), Manokwari dilanda suasana mencekam. Masyarakat sekitar dan mahasiswa Papua menggelar aksi yang berujung pada rusaknya sejumlah fasilitas dan lumpuhnya jalan di wilayah itu (Thomas, 2019).

4. Threats (Ancaman) Dalam pencapaian objektivitas nasionalnya, sistem global merupakan tekanan yang juga mempengaruhi dalam perumusan keputusan sebuah negara. Ancaman bisa dilihat sebagai ancaman secara terang-terangan kepada suatu negara atau hanya ancaman tidak langsung. Terkait faktor ini jika dikaitkan dengan kondisi domestik Indonesia khususnya isu Papua dan pemekaran Papua maka upaya pencapaian tujuan nasional yaiu menuju generasi emas manusia Indonesia tahun 2045 maka diperlukan berbagai strategi dan langkah yang tepat yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam upaya memberikan kesejhateraan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Jika memperhatikan indeks pembangunan manusia Indonesia yang ada dalam tabel dihalaman sebelumnya maka terlihat jelas bahwa indeks pembangunan manusia Papua berada di posisi terendah dibandingkan berbagai daerah di Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa manusia Papua terus membutuhkan pendampingan dalam rangka pembangunan baik fisik maupun non fisik untuk mampu mandiri secara ekonomi dan sosial dengan wilayah lainnya. Untuk menuju ke keadaan tersebut diperlukan berbagai regulasi dan kebijakan yang berpihak kepada orang asli Papua dan juga melindungi orang asli Papua sehingga kebijakan yang dibuat tidak menjadi ancaman tetapi menjadi peluang bagi kesejahteraan orang asli Papua dan keadaan aman dan damai di Indonesia dan lingkungan intrenasional pada umumnya.

Jika dijelaskan secara ringkas, peluang mempunyai peran yang dalam mencapai tujuan nasional sebuah negara yang spesifik. Sama halnya dengan ancaman, kedua hal ini berasal dari sistem global yang memiliki kontribusi pasti dalam pencapaian tujuan. Namun, untuk memanfaatkan peluang dan menangani ancaman, negara harus mengerahkan segala kemampuannya sebagai alat penyelesaian. Kemampuan yang dimiliki negara ini berguna untuk memanfaatkan power guna mendapatkan tujuan dan melindungi kepentingan mereka. Dapat disimpulkan bahwa dalam pencapaian objektivitas oleh suatu negara, terdapat Empat determinan diatas yang sangat mempengaruhi pembuatan keputusan.

Berdasarkan Teori Kebijakan menurut Viotti dan Kauppi maka untuk mengamankan wilayah dalam negeri, Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa terobosan kebijakan diantaranya adalah kemungkinan pemekaran wilayah di Papua dalam rangka memberikan kesejahteraan dan stabilitas negara. Inilah yang disebut oleh Viotti dan Kauppi sebagai dalam bingkai level analisa negara yang didalamnya ada policymaking process (Viotti & Kauppi, 2019). Kebijakan yang diambil negara adalah sebagai konsekuensi adanya kemampuan daerah, kepentingan negara, peluang yang dapat diambil oleh negara dan masyarakat serta mengurangi ancaman yang timbul dari dalam wilayah Papua maupun dari luar atau dunia internasional.

Berkaitan dengan penjelasan diatas maka isu Pemekaran wilayah seringkali lebih menonjolkan kepentingan politik pemerintah pusat termasuk elitenya daripada kepentingan pemerintah daerah dan rakyat di daerah. Keinginan pemerintah pusat untuk melakukan pemekaran wilayah adalah memperkuat dan mempermudah rentang kendali pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada rakyatnya. Pemekaran wilayah di Papua, dapat dijadikan contoh sebagai bentuk masih adanya kooptasi pusat terhadap daerah. Di sisi lain masyarakat Papua sebenarnya menghendaki pemberlakuan otonomi khusus atas mereka. Bahkan telah dilakukan revisi terbaru atas UU otonomi khusus nomor 2 tahun 2021 lalu dengan diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor106 danNomor 107 yang diharapkan dapat diimplementasikan bagi kesejahteraan orang asli Papua. Masyarakat Papau diharapkan dapat bangkit dan mandiri secara ekonomi dan sosial sehingga mampu bersaing dengan provinsi lain di Indonesia. Dalam konteks ini, maka penolakan masyarakat Papua terhadap pusat yang ingin memekarkan wilayah mereka adalah reaksi atas langkah pemecah-belahan identitas komunal, karena orang Papua merupakan satu kesatuan rumpuan Melanesia yang berada diatas dan menempati satu wilayah besar yaitutanah Papua.

Pemekaran Provinsi Papua merupakan permasalahan yang cukup kompleks pada masa otonomi daerah. Keinginan pemerintah pusat yang tidak bisa ditawar lagi untuk memekarkan Provinsi Papua dilatarbelakangi oleh keinginan bahwa tuntutan otonomi khusus hanyalah sebagai instrumen politik bagi masyarakat Papua memisahkan diri dari NKRI. Tuntutan pemisahan oleh suatu wilayah dari wilayah induk tidak serta merta muncul tanpa adanya pemicu atau preseden yang mendorong keinginan tersebut. Ketidakadilan distribusi pembangunan selama ini menjadi faktor yang dapat dipakai untuk memahami tuntutan daerah memerdekakan diri. Apakah tuntutan tersebut rasional atau tidak, hal tersebut adalah masalah lain. Untuk tujuan tertentu, konflik merupakan momentum yang tepat bagi satu pihak untuk mencapai tujuan politik atau ekonomi. Konflik pemekaran wilayah yang menjadi aktual dan menguat sejak tahun 1999, tidak lepas dari permainan elit politik lokal yang hendak berkuasa. Konflik hanya merupakan instrumen untuk menaikkan posisi tawar menawar dan lobi elit politik lokal kepada pusat kekuasaan di Jakarta.

Pemekaran wilayah daerah, erat terkait dengan kepentingan elit politik di pusat kekuasaan. Dalam pemekaran Papua menjadi tiga provinsi berdasarkan UU No. 45/1999 yang dipercepat dengan dikeluarkannya PP No. 1/2001 memperlihatkan saling keterkaitan yang erat antara kepentingan elit di tingkat pusat dan daerah. Cukuplah menjadikan masyarakat Papua sebagai obyek dalam pembangunan, hendaklah kebijakan yang diambil pemerintah Pusat dan Daerah termasuk elite lit didalamnya mencerminkan keberpihakan kepada orang Papua sehingga menimimalisir konflik berkepanjangan di atas tanah Papua dan menimbulkan kerawanan dan mengancam stabilitas negara termasuk lingkungan internasional.

 

Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa isu pemekaran Papua yang dilakukan oleh kelompok yang pro maupun yang kontra merupakan hal penting karena dengan kebijakan pemerintah sebagai bagian dari kepentingan domestik negara maka permasalahan di Papua dapat terselesaikan terutama masalah stabilitas keamanan, masalah kemandirian Ekonomi dan Sosial serta pembangunan fisik maupun non fisik- dibaca pembangunan sumber daya manusia orang asli Papua dapat terlaksana dengan baik. Apakah pemekaran dilakukan ataupun tidak intinya adalah pemerintah harus mampu membuat kebijakan-kebijakan yang berpihak dan melindungi orang asli Papua sehingga stabilitas berdampak positip bagi pembangunan ekonomi yang secara langsung memberikan kesejahteraan bagi orang asli Papua. Dalam kaitannya dengan hubungan internasional adalah keadaan domestik yang stabil timbul akibat pembuatan kebijakan oleh pemerintah dalam hal ini negara yang memberikan perlindungan dan keberpihakan kepada orang Papua sehingga keadaan dalam negeri kondusif dan terjadi pembangunan sehingga berdampak terhadap politk luar negeri yang pada akhirnya juga memberi rasa aman bagi lingkungan internasional

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Dita, Angga. (2021). RUU Pemekaran Papua Mulai Dibahas Tahun 2022. Retrieved From Https://Papua.Inews.Id Website: Https://Papua.Inews.Id/Berita/Ruu-Pemekaran-Papua-Mulai-Dibahas-Tahun-2022/4. Google Scholar

 

Hijri, Yana S. (2016). Politik Pemekaran Di Indonesia. Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang. Google Scholar

 

Kumparan.Com. (2022). Pro Dan Kontra Mewarnai Pertemuan DOB Provinsi Papua Barat Daya. Retrieved From Kumparan.Com Website: Https://Kumparan.Com/Balleonews/Pro-Dan-Kontra-Mewarnai-Pertemuan-Dob-Provinsi-Papua-Barat-Daya-1xsz9ir5v0n. Google Scholar

 

Makagansa, H. R. (2008). Tantangan Pemekaran Daerah. Fuspad. Google Scholar

 

Papua.Bisnis.Com. (2021). Gangguan Keamanan Hambatan Investasi Di Papua. Retrieved From Papua.Bisnis.Com Website: Https://Papua.Bisnis.Com/Read/20210508/415/1392083/Gangguan-Keamanan-Hambatan-Investasi-Di-Papua. Google Scholar

 

Sucahyo, Nurhadi. (2021). Pemekaran Papua: Demi Orang Asli Atau Nafsu Politisi? Retrieved From Https://Www.Voaindonesia.Com Website: Https://Www.Voaindonesia.Com/A/Pemekaran-Papua-Demi-Orang-Asli-Atau-Nafsu-Politisi-/5793740.Html. Google Scholar

 

Thomas, Vincent Fabian. (2019). Kerusuhan Papua Disebut Berimbas Negatif Ke Investasi Tambang. Retrieved From Https://Tirto.Id/ Website: Https://Tirto.Id/Kerusuhan-Papua-Disebut-Berimbas-Negatif-Ke-Investasi-Tambang-Egab. Google Scholar

 

Undang-Undang, R. I. (2005). Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Bandung: Fokusmedia. Google Scholar

 

Viotti, Paul R., & Kauppi, Mark V. (2019). International Relations Theory. Rowman & Littlefield. Google Scholar

 

Www.Bbc.Com. (2021). Pemekaran Wilayah Di Papua, Apa Bisa Jadi Solusi Permasalahan Yang Ada? Retrieved From Www.Bbc.Com Website: Https://Www.Bbc.Com/Indonesia/Indonesia-59496244. Google Scholar

 

Www.Kompasiana.Com. (2013). Pro Dan Kontra DOB Tanah Papua. Retrieved From Www.Kompasiana.Com Website: Https://Www.Kompasiana.Com/Arki.Papua/55298d776ea834b173552d72/Pro-Dan-Kontra-Dob-Tanah-Papua. Google Scholar

 

 

 

Copyright holder:

Melyana R. Pugu (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

������������������������������������������������������