Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 4, April 2022

 

GAMBARAN PSYCHOLOGICAL WELL BEING ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK AUTISTIC SPECTRUM DISORDER (ASD)

 

Cindy Aurelia, Munifah Siregar, Felicia, Chandra, Winida Marpaung

Fakultas Psikologi, Universitas Prima Indonesia, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui gambaran kesejahteraan psikologi (psychological well-being) pada orang tua yang memiliki anak anak autistic spectrum disorder (ASD). Sumber data dalam penelitian ini diambil dari tiga orang subjek yang memiliki kriteria untuk penelitian ini. Dalam pemilihan subjek, Teknik yang digunakan adalah teknik snowball sampling. Dalam pengambilan data, Teknik yang digunakan adalah teknik wawancara semi terstruktur dan observasi dan disusun menjadi verbatim. Adapun hasil dari penelitian ini ialah bahwa untuk mencapai kesejahteraan psikologi yang baik, harus memenuhi dimensi-dimensi yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, pertumbuhan pribadi. Yang menjadi tahapan awal untuk memiliki kesejahteraan psikologi yang baik ialah penerimaan diri serta dukungan dari keluarga dan orang sekitar, dengan ini orang tua yang memiliki anak autistic spectrum disorder (ASD) akan mampu memiliki kesejahteraan psikologi yang baik.

 

Kata Kunci:   kesejaterahan psikologi, orang tua yang memiliki anak autistic spectrum disorder (ASD)

 

Abstract

This study was conducted with the aim of knowing the description of psychological wellbeing in parents who have children with autistic spectrum disorder (ASD). Sources of data in this study were taken from three subjects who have criteria for this study. In selecting the subject, the technique used is the snowball sampling technique. In collecting data, the technique used is interview technique semi structured and observation and arranged into verbatim. The results of this study are that to achieve good psychological well-being, one must fulfill the dimensions of self-acceptance, positive relationships with others, independence, environmental mastery, life goals, personal growth. What is the initial stage to have good psychological well-being is self-acceptance and support from family and people around, with this parents who have children with autistic spectrum disorder (ASD) will be able to have good psychological well-being.

 

Keywords: psychological well-being, parents of children with autistic spectrum disorder (ASD)

Pendahuluan

Kelahiran seorang anak merupakan saat-saat yang dinantikan oleh pasangan suami-istri. Setiap orang tua memiliki harapan bahwa kelak anak yang lahir adalah anak yang sempurna, baik secara fisik maupun mental. Kegembiraan dan harapan akan masa depan yang cerah juga menyertai kelahiran seorang bayi. Namun demikian sering terjadi keadaan dimana kondisi pertumbuhan dan perkembangan anak berbeda dari harapan orangtua dan memperlihatkan kondisi yang berbeda dengan perkembangan anak pada umumnya. Salah satu masalah perkembangan yang dialami anak adalah Autistic spectrum disorder (ASD).

Gangguan Spektrum Autisme (Autistic Spectrum Disorder, ASD) adalah kumpulan kondisi yang diklasifikasikan sebagai gangguan neurodevelopmental pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5). Untuk memenuhi diagnosis gangguan spektrum autisme, individu harus menunjukkan dua tipe gejala, yaitu defisit pada ranah komunikasi dan interaksi sosial dan perilaku, minat atau aktivitas yang terbatas dan repetitive.

Menurut data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik, jumlah anak yang terdiagnosa autis setiap tahunnya semakin bertambah dan terjadi di berbagai negara penderita gangguan autis di Indonesia pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 2,4 juta jiwa. Pada tahun tersebut jumlah penduduk Indonesia mencapai 237,5 juta jiwa dengan laju pertumbuhan 1,14%. Jumlah penderita gangguan autis di Indonesia diperkirakan mengalami peningkatan sekitar 500 orang setiap tahunnya (BPS, 2010 dalam kemenpppa.go.id). Di Indonesia meskipun belum ada penelitian resmi, diperkirakan ada 112 ribu anak dengan gangguan dengan Autistic spectrum disorder rentang usia antara 5-19 tahun yang diyatakan oleh Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementrian Kesehatan. Di Sumatera Barat, jumlah autism berdasarkan data dari badan penelitian statistik sejak 2010 hingga 2015, ada sekitar 140 ribu anak usia dibawah 17 tahun menyandang Autistic (Covesia.com).

 

Metode Penelitian

Moleong (2012) mengemukakan pengertian metode penelitian kualitatif sebagai berikut. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian misalnya, perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lainnya secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.

Sedangkan karakteristik metode penelitian kualitatif menurut Moleong (2012) adalah (a). Menggunakan pola berpikir induktif (empirisrasional atau bottom-up). Metode kualitatif sering digunakan untuk menghasilkan grounded theory, yaitu teori yang timbul dari data bukan dari hipotesis seperti dalam metode kuantitatif. Atas dasar itu penelitian bersifat generating theory, sehingga teori yang dihasilkan berupa teori substansif. (b). Perspektif emic/partisipan sangat diutamakan dan dihargai tinggi. Minat peneliti banyak tercurah pada bagaimana persepsi dan makna menurut sudut pandang partisipan yang diteliti, sehingga bisa menemukan apa yang disebut sebagai fakta fenomenologis. (c). Penelitian jenis kualitatif tidak menggunakan rancangan penelitian yang baku. Rancangan penelitian berkembang selama proses penelitian. (d). Tujuan penelitian kualitatif adalah untuk memahami, mencari makna di balik data, untuk menemukan kebenaran, baik kebenaran empiris sensual, empiris logis, dan empiris logis. (e). Subjek yang diteliti, data yang dikumpulkan, sumber data yang dibutuhkan, dan alat pengumpul data bisa berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan.  (f). Pengumpulan data dilakukan atas dasar prinsip fenomenologis, yaitu dengan memahami secara mendalam gejala atau fenomena yang dihadapi. (g). Peneliti berfungsi pula sebagai alat pengumpul data sehingga keberadaanya tidak terpisahkan dengan apa yang diteliti. (h). Analisis data dapat dilakukan selama penelitian sedang dan telah berlangsung. (i). Hasil penelitian berupa deskripsi dan interpretasi dalam konteks waktu serta situasi tertentu. (j). Penelitian jenis kualitatif disebut juga penelitian alamiah atau inquiri naturalistik

Subjek Penelitian

1.     Karakteristik Subjek

Pada penelitian ini, karakteristik subjek yang ada adalah orangtua yang memiliki anak dengan diagnose professional Autistic Spectrum Disorder di medan.

2.     Jumlah Subjek

Jumlah subjek yang terdapat pada penelitian ini berjumlah tiga orang

3.     Prosedur Pengambilan Data Pada penelitian ini, prosedur pengambilan subjek dilakukan dengan menggunakan Teknik sampling snowball. Teknik sampling snowball adalah suatu metode untuk mengidentifikasi, memilih dan mengambil sampel dalam suatu jaringan atau rantai hubungan yang menerus

Teknik Pengambilan Data

Dalam penelitian ini, teknik pengambilan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi.

1.     Wawancara

Menurut Esterberg dalam Sugiyono (2015) wawancara adalah pertemuan yang dilakukan oleh dua orang untuk bertukar informasi mupun suatu ide dengan cara tanya jawab, sehingga dapat dikerucutkan menjadi sebuah kesimpulan atau makna dalam topik tertentu. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur. Teknik wawancara yang digunakan dengan membuat panduan wawancara berdasarkan teori psychological well being dan fenomena Autistic Spectrum Disorder.

2.     Observasi

Endraswara (2006) berpendapat bahwa observasi adalah suatu penelitian secara sistematis menggunakan kemampuan indra manusia, khususnya indra penglihatan yang dilakukan saat terjadi aktivitas budaya dan wawancara secara mendalam.

Pada penelitian ini, peneliti melaksanakan observasi natural atau observasi non sistematik, yaitu pengamatan yang langsung pada situasi real subjek tanpa usaha untuk memanipulasi serta mengontrol perilaku observe (Ni�matuzahroh & Prasetyaningrum, 2018) dan tidak ada menggunakan instrument pengamatan.

Hasil dan Pembahasan

Penelitian ini menggunakan 3 (tiga) orang subjek sebagai sumber data utama. Ketiga subjek tersebut terpilih dengan menggunakan teknik-teknik �snowball sampling�. Ketiga subjek yang terpilih memiliki karakteristik yang sama, yaitu merupakan orang tua yang memiliki anak ASD (Autistic Spectrum Disorder). Teknik ini digunakan demi kelancaran penelitian dan tercapai nya tujuan dari penelitian ini. Penelitian ini menggunakan teknik wawancarasemi terstruktur dan observasi dalam mengumpulkan data.

Analisis Data Subjek I

A.    Gambaran Umum Subjek I

 

Tabel 1

Umum Subjek I

Identitas Subjek

 

Deskripsi Subjek

Nama

 

AH

Usia

 

46 tahun

Jenis Kelamin

 

Laki Laki

Agama

 

Kristen

Pekerjaan

 

Karyawan swasta

 

AH seorang karyawan di Sebuah perusahaan swasta. AH bekerja dan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sedangkan istri AH adalah seorang IRT. AH memiliki 2 orang anak, laki-laki dan perempuan. Anak yang pertama didiangnosa Autistic Spectrum Disorder (ASD), sejak usia 2 tahun AH membandingkan perkembangan anaknya dengan anak lainnya, dan AH berfikir kenapa anaknya tidak berkembang seprti anak yang lainnya.AH sudah membawa anaknya menjalani asesmen sebanyak 3 kali ke profesional, baik itu dokter spesialis anak dan psikolog dan pada saat asesmen yang ketiga kalinya anaknya di diagnosa memiliki Autistic Spectrum Disorder (ASD), lebih tepatnya sejak tahun 2008 anaknya di diagnosa memiliki Autistic Spectrum Disorder (ASD) dan sekarang anak AH sudah berumur 17 tahun. Anaknya ini tipe anak Autistic Spectrum Disorder (ASD) yang bisa berbicara tapi sulit untuk berkomunikasi tetapi AH ada mendapatkan sebuah metode dari seorang professional yang membuat perkembangan anak AH saat ini, sudah sangat baik khususnya di bagian kemampuan berkomunikasi. Anak AH sudah bisa menjawab dan mengajukan pertanyaan dengan anggota keluarga secara jelas dan kalimat terstruktur.

Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan, subjek mempunyai psychological well- being yang baik, dengan tingkatan yang berbeda-beda pada tiap dimensi. Orangtua memberi peran yang besar dalam pengasuhan anak dengan Autistic Spectrum Disorder (ASD). Peran orangtua memberi dampak positif terhadap perkembangan dan pertumbuhan anak. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang sudah dilakukan bahwa ketiga subjek mempunyai psychological well-being yang cukup baik. Subjek pertama, yaitu orangtua yang memiliki anak ASD berusia 17 tahun dan sedang bersekolah. Anak didiagnosa pada usia 2 tahun. Awalnya subjek merasa sedikit kecewa memiliki anak Autistic Spectrum Disorder tetapi seiring berjalannya waktu subjek mulai mendapat dukungan dan mulai bisa menerima kondisi anak sebagai pemberian Tuhan. Banyak usaha yang dilakukan dari mulai bertanya kepada professional dan psikolog, bahkan sampai dengan mengikuti seminar-seminar tentang anak berkebutuhan khusus. Subjek pertama juga memiliki cara untuk mendidik anaknya yaitu dengan cara membuat jadwal khusus setiap harinya untuk di ajarkan kepada anaknya. Subjek pertama juga sangat terinspirasi saat bergabung dengan grup dan komunitas anak berkebutuhan khusus karna subjek merasa tidak sendirian, disanalah subjek pertama menjadi lebih bisa menerima kondisi anaknya. Subjek yang dulunya kecewa terhadap dirinya kini sudah bisa untuk menerima keadaannya, hal ini juga yang menambah semangat subjek untuk mengurus dan mendidik anaknya.

Subjek kedua yaitu orangtua yang memiliki anak ASD berusia 5 tahun. Anak didiagnosa pada usia 2 tahun. Awalnya subjek merasa kecewa memiliki anak Autistic Spectrum Disorder subjek menyadari bahwa anaknya memiliki ciri Autistic Spectrum Disorder ketika umur 2 tahun, subjek melihat anaknya yang susah berinteraksi dan tidak begitu tertarik dengan kue ulang tahun. Hal tersebutlah yang membuat subjek menyadari bahwa anaknya memilik ciri Autistic Spectrum Disorder. Pada saat itu subjek sangat merasa marah kepada Tuhan karna subjek merasa Tuhan tidak menyayangi subjek sehingga memberikan subjek cobaan yang teramat berat. Seiring berjalannya waktu subjek pun pelan pelan mengikis rasa kecewa yang ada di hatinya, subjek mulai tersadar saat subjek mempunyai teman yang sama-sama memiliki anak Autistic Spectrum Disorder, pada saat itulah subjek mulai tersadar bahwasanya marah kepada Tuhan itu adalah cara yang salah. Banyak sudah usaha yang dilakukan oleh subjek kedua, subjek pernah membawa anaknya ke psikolog dan berbagai ahli, bahkan subjek pernah membawa anaknya untuk di terapi di luar negri. Subjek kedua juga disarankan agar melakukan suatu cara untuk mendidik anaknya yaitu dengan cara membuat jadwal khusus setiap harinya untuk di ajarkan kepada anaknya. Walaupun akhirnya subjek mulai bisa menerima kondisi anaknya dan berusaha lebih dekat kepada Tuhan. Subjek kedua juga memiliki hubungan yang positif dengan suami, dan keluarga banyak keluarga yang mendukung subjek. Subjek kedua juga bergabung pada komunitas orangtua yang memiliki anak Autistic Spectrum Disorder. Subjek kedua juga banyak belajar yang dulunya saat ada yang sinis kepada anaknya subjek langsung marah-marah dan sekarang subjek menghadapinya dengan tidak memperdulikan hal hal yang negative untuk subjek dan anaknya.

Subjek ketiga memiliki anak Autistic Spectrum Disorder kembar dan saat ini anak subjek masih berusia 10 tahun, subjek menyadari anaknya mengalami Autistic Spectrum Disorder saat sejak bayi, subjek sudah mulai curiga dengan perkembangan anaknya. Setelah subjek membawa anaknya ke psikolog dan anaknya telah di diagnosa memiliki Autistic Spectrum Disorder, subjek ketiga lebih kepada menerima dan tidak merasa kecewa sama sekali, subjek lebih percaya kepada agamanya yang mengajarkan bahwa di dalam kehidupan terdapat karma yang berjalan dan subjek hanya bisa pasrah dengan keadaan. Subjek juga pernah membawa anak kembarnya ke psikolog untuk di therapy, terapi tersebut sudah berjalan sejak beberapa tahun, tetapi untuk saat ini sedang di hentikan di karenakan masa pandemi semakin memburuk, subjek memutuskan untuk melatih anaknya sendiri dengan bantuan komunitas orang tua yang memiliki anak Autistic Spectrum Disorder, subjek menjadi lebih paham dengan kondisi kedua anak subjek yang memiliki Autistic Spectrum Disorder dan juga bisa mengatur jadwal apa saja yang akan dilakukan oleh anaknya.

Peran psychological well-being dalam proses pengasuhan anak Autistic Spectrum Disorder sangatlah penting. Dimana orang tua tidak akan merasa menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi terhadap anak Autistic Spectrum Disorder, memotivasi anak Autistic Spectrum Disorder agar lebih percaya diri sehingga menimbulkan rasa semangat dan tidak melihat perbedaan dengan anak normal yang lainnya, dan juga bisa membangun karakter positif terhadap anak Autistic Spectrum Disorder.

Dari ketiga subjek tersebut dapat terlihat bagaimana psychological well being memberi pengaruh besar bagi kesejahteraan orangtua dan anak. Disimpulkan juga dari penelitian ini bahwa ketiga subjek mempunyai tingkat psychological well-being yang termasuk tinggi. Hal ini dapat dilihat dari ketiga subjek yang sudah bisa menerima diri dan menerima keadaanya, serta terpenuhinya dimensi-dimensi lain yang ada dalam psychological well-being. Keadaan ini juga bisa dikarenakan ketiga subjek memiliki hubungan baik dengan orang lain disekitar dan bergabung dalam komunitas-komunitas anak berkebutuhan khusus juga menjadi salah satu alasan subjek bisa menerima keadaannya. Aktivitas subjek sehari-hari tampak berjalan lebih baik, perkembangan ketiga subjek juga terlihat signifikan dan ketiga subjek mempunyai harapan dan impian mereka masing-masing untuk kehidupan anak-anaknya di masa yang akan dating

 

Kesimpulan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah di kemukakan di Bab I, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa semua subjek mengalami psychological well being dan merasakan dampaknya terhadap pengasuhan terhadap anak yang didiagnosa autistic spectrum disorder. Adapun kesamaan gambaran psychological well being orangtua dapat dilihat dari terpenuhinya dimensi-dimensi psychological well being. Salah satunya adalah adanya penerimaan diri atas keterbatasan anak, mencoba untuk berdamai dengan keadaan, dan menerima anak sebagai hadiah berharga dari Tuhan. Pemahaman subjek Tentunya kesejahteraan psikologis semua subjek juga terpenuhi karena adanya hubungan yang positif dari keluarga, pasangan, komunitas pemerhati anak autis, dan orang-orang yang peduli terhadap tumbuh kembang anak dan kondisi psikologis orangtua. Selain itu masing-masing subjek juga merasakan adanya tujuan hidup, dan mengalami pertumbuhan diri. Masing-masing subjek merasakan dampak kesejahteraan psikologis dalam proses pengasuhan anak, sehingga dapat menyesuaikan pengasuhan dengan usia perkembangan dan kebutuhan anak yang menginginkan rasa sayang dan perhatian sama seperti anak pada umumnya.

 

 

 


BIBLIOGRAFI

 

Ali, M., (2014). Metodologi & Aplikasi Riset Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara.

 

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Edition (DSM-V). Washington: American Psychiatric Publishing.

 

Cahaya., (27 Oktober 2020). Kisah Perjuangan Ibu Merawat Anaknya yang Mengidap Autis. Diunduh dari: https://www.genpi.co2/berita/68072/kisah-perjuangan-ibu- merawatanaknyayang-mengidap-autis?page=2

 

Diener, S., (2008). The Science of Well-Being the Collected Works of Ed Diener. USA: Springer                

 

Engger. (2015). Adaptasi Ryff Psychological Well-Being Scale Dalam Konteks Indonesia.Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, Program Studi Psikologi.

 

Endraswara. (2006). Metode, Teori, Teknik, Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Widyatama

 

Ghoniyah, Z., (2015). Gambaran Psychological Well Being pada Perempuan yang Memiliki Anak Down Syndrome, Character Vol. 03, No. 02, 2015, 7

 

Komarudin. (2019). Psychological Well-being pada Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusif, Journal of Psychosophia, Vol. 1, No. 1, 2019, 59-60

 

McCandless, J., (2003). Children With Starving Brains. F. Siregar, Penerjemah. Jakarta: Grasindo

 

Moleong, L. J., (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

 

Ni�matuzahroh & Prasetyaningrum, S., (2018). Observasi: Teori dan aplikasi dalam psikologi. Malang: UMMPress

 

Park, P. S., (2004). Character strength and psychological well-being. Journal of Social and Clinical Psychology, Vol. 23, No. 5, 2004, pp. 603-619

 

Primadoni. (17 Mei 2019). Penanganan Anak dengan Gangguan Autis Menuju Kemandirian. Diunduh dari: https://covesia.com/opini/74235/penanganan-anak-dengan-gangguan- autis menuju-kemandirian/

 

Riyanto, (2010). Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya: Penerbit SIC.

 

Ryff, C. D., (1989). Happiness is Everything, or is it? Exploration on the meaning of psychological Well-Being. Journal of Personality and Social Psychology, 57, 1069-1081

 

Ryff, Carol D., & Burton H. S., (2008). Know Thyself and Become What You Are: A

 

Santoso, S., (2019). Penerapan Pendekatan Floortime untuk Meningkatkan Komunikasi Timbal Balik Pada Remaja dengan Autism Spectrum Disorder (ASD). Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

 

Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

 

Yuliani, I., (2018). Konsep Psychological Well-Being serta implikasinya dalam bimbingan dan konseling Vol.2, No.2, 2018, pp. 51-56

 

Copyright holder:

Cindy Aurelia, Munifah Sirega, Felicia, Chandra, Winida Marpaung (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: