Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN:
2548-1398
Vol.
7, No. 4, April 2022
IMPLEMENTASI KEWENANGAN TNI DALAM MENGATASI AKSI TERORISME DI INDONESIA
Arief Fahmi Lubis
Sekolah Tinggi Hukum Militer, Indonesia
Email: [email protected] �
Abstrak
Terorisme adalah
salah satu ancaman dan ganguan yang dihadapi Indonesia ke depannya, dalam
kurun beberapa tahun terahir aktivitasnya
semakin meningkat, sehingga berpengaruh pada upaya mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dirumuskan dalam alenia keempat
Pembukaan UUD 1945. Dalam hal ini pelibatan
TNI untuk membantu Polri sangat dibutuhkan. Tetapi tidak semua
pihak seprti instansi pemerintah maupun DPR menyetuji hal itu dikarenakan,
aksi pemberantasaan untuk penanganan terorisme bagi TNI memiliki kewajiban tersendiri dan menimbulkan permasalahan yuridis dalam implementasinya. Pelibatan TNI menangani aksi terorisme akan menjadi ancaman
serius terhadap dinamika demokrasi, HAM dan supermasi hukum Indonesia Kajian terhadap implementasi kewenagan TNI melalui studi kepustakaan dalam rangka mendapatkan
bahan-bahan dan keterangan-keterangan
yang diperlukan sesuai dengan pokok permaslahan:
bahan hukum premier, bahan hukum sekunder.
Melalui wawancara dengan mnggunakan pedoman/panduan pertanyaan agar tidak menyimpang dari permaslahn yang diteliti. Dilanjutkan dengan menganalisis data secara kualitatif dideskripsikan dengan mengguaan kata-kata yang sistematis. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini mengunakan pendekatan peraturan perundang-undangan.
Dari permasalahan diatas
dan metode yang digunakan dapat disimpulkan bahwa dapat memberikan
manfaat bagi pengembangan ilmu hukum dan bidang hukum administrasi, bahan pertimbangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan kewenangan TNI dalam mengatasi aksi terorisme.
Kata Kunci: kewenangan TNI; mengatasi aksi terorisme di indonesia; sistem �pertahanan
negara, perundang-undangan
Abstract
Terrorism is one of the threats and disturbances that will be faced by
Indonesia in the future, in the last few years its activities have increased,
so that it has an effect on efforts to realize national goals as formulated in
the fourth paragraph of the Preamble to the 1945 Constitution. In this case the
involvement of the TNI to assist the Police is very much needed. However, not
all parties, such as government agencies and the DPR, agree with this because
the act of eradicating terrorism for the TNI has its own obligations and creates
juridical problems in its implementation. The involvement of the TNI in dealing
with acts of terrorism will pose a serious threat to the dynamics of democracy,
human rights and the rule of law in Indonesia. A study of the implementation of
the TNI's authority through literature studies in order to obtain materials and
information needed in accordance with the main issues: primary legal materials,
secondary legal materials. Through interviews by using guidelines/guide
questions so as not to deviate from the problems being studied. Followed by
analyzing the data qualitatively described using systematic words. The approach
used in this study uses a statutory approach. From the problems above and the
method used, it can be concluded that it can provide benefits for the
development of legal science and the field of administrative law, as a material
for consideration in the formation of legislation related to the TNI's
authority in dealing with acts of terrorism.
Keywords: TNI's
authority; overcoming acts of terrorism in Indonesia; national
defense system; legislation
Pendahuluan
Menurut H.D Stout wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi
pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai seluruh aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang pemerintahan
oleh subjek hukum publik didalam hubungan hukum publik. Menurut Bagir Manan wewenang dalam bahasa hukum
tidak sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak berbuat. Wewenang sekaligus
berarti hak dan kewajiban.
Secara konseptual,
istilah wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Belanda �bevoegdheid� (yang berarti
wewenang atau berkuasa). Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan (Hukum Administrasi),
karena pemerintahan baru dapat menjalankan
fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya.
Kewenangan adalah
merupakan hak menggunakan wewenang yang dimiliki seorang pejabat atau institusi
menurut ketentuan yang berlaku, dengan demikian kewenangan juga menyangkut kompetensi tindakan hukum yang dapat dilakukan menurut kaedah-kaedah formal, jadi kewenangan merupakan kekuasaan formal yang dimiliki oleh pejabat atau institusi. Kewenangan memiliki kedudukan yang penting dalam kajian hukum
tata negara dan hukum administrasi
negara. Begitu pentingnya kedudukan kewenangan ini, sehingga F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek menyebut sebagai konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi negara.
Diprediksikan bahwa
spektrum ancaman terhadap kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) dalam kurun waktu lima sampai sepuluh tahun ke
depan, khususnya ancaman tradisional berupa agresi atau
invasi negara lain sangat kecil
kemungkinannya. Ancaman potensial bagi bangsa Indonesia adalah yang timbul dari dalam
negeri atau non tradisional
baik yang bersifat lintas negara maupun yang timbul di dalam wilayah RI, sedangkan ancaman yang berasal dari luar lebih
besar kemungkinan bersumber dari kejahatan terorganisir lintas negara yang dilakukan oleh
aktor-aktor non-negara dengan
memanfaatkan kondisi dalam negeri yang tidak kondusif.
Salah satu ancaman dan gangguan yang dihadapi Indonesia ke depan adalah aksi
terorisme yang dalam kurun beberapa tahun terakhir aktivitasnya semakin meningkat, sehingga berpengaruh pada upaya mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dirumuskan dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945 yaitu:
�Untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahtetaan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial�.
Dalam dekade
terakhir, Indonesia telah mengalami banyak serangan terorisme yang tidak hanya merenggut
jiwa dan menimbulkan kerugian material yang sangat besar, tetapi juga menyebarkan atmosfer kecemasan dan ketakutan yang luar biasa di kalangan masyarakat luas. Istilah �Teror�, �Teroris�, �Terorisme�, �Aksi Terorisme�, menjadi momok yang sangat menakutkan di Indonesia dan dunia internasional.
Meningkatnya aksi-aksi terorisme di Indonesia, membuat masyarakat Internasional mencap Indonesia sebagai �sarang terirosme�.� Dalam kurun waktu antara
tahun 1981 sampai dengan 2017 terjadi rentetan peristiwa aksi terorisme di Indonesia dan terakhir adalah bom bunuh diri
di terminal kampong melayu Jakarta Timur pada hari Kamis, 25 Mei 2017 pukul 01.15 WIB dengan total
korban sebanyak 15 orang.
Peristiwa tersebut
telah menunjukkan bahwa aksi terorisme
di Indonesia (kelompok bersenjata
Santoso) telah berkembang, yaitu tidak sekedar
kejahatan luar biasa (extra ordinary
crime), namun aksi terorisme di Indonesia (terkait dengan organisasi ISIS) merupakan kejahatan lintas negara (transnational
crime) yang bertujuan memisahkan
diri dari NKRI.
Aksi terorisme
di Indonesia saat ini sudah dapat dikualifikasikan
sebagai ancaman militer, yaitu ancaman yang menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisasi yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan
segenap bangsa. Dalam hal ini
termasuk aksi teror bersenjata yang dilakukan oleh jaringan terorisme internasional atau yang bekerja sama dengan terorisme
dalam negeri atau terorisme dalam negeri yang bereskalasi tinggi. Dalam hal ini
sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan TNI sebagai komponen utama sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara.
Begitu pula penggunaan
kekekuatan senjata oleh TNI
yang mengakibatkan tewasnya
Santoso dan Muchtar, serta tertangkapnya Umi Delima (dan langsung diserahkan pada Polri), telah menunjukkan
bahwa penggunaan kekuatan senjata oleh TNI tersebut dalam melaksanakan operasi militer selain perang (OMSP) dan perbantuan pada
Polri selalu didasarkan pada prinsip-prinsip hukum humaniter internasional (HHI) dan hak asasi manusia (HAM), termasuk juga Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal ini
merupakan jawaban terhadap keragu-raguan yang timbul dalam masyarakat
terkait dengan pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme akan menimbulkan pelangggaran HAM (to kill or to be killed) yang dapat menyebabkan penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
Dengan demikian,
pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan
wilayah negara, dan keselamatan segenap
bangsa merupakan suatu keniscayaan. Di sisi lain secara yuridis mengatasi aksi terorisme merupakan salah satu tugas pokok TNI yang dilaksanakan melalui Operasi Militer Selain Perang (OMSP) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat
(2) huruf b angka 3 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI (UU
TNI).� Oleh karena
itu diperlukan penyusunan Peraturan perundang-undangan sebagai payung hukum pelibatan
TNI berdiri sendiri dalam mengatasi aksi terorisme.
Sebenarnya apabila
kita mengacu pada beberapa perundang-undangan yang berlaku saat ini,
antara lain Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 3 Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, maka kewenangan� TNI dalam mengatasi aksi terorisme telah diatur tersendiri,
sehingga TNI dapat bertindak secara langsung maupun tidak langsung tanpa harus melalui
permintaan bantuan dari Kepolisian.
Pasal 7 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 menyebutkan �(2) Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan Tentara Nasional
Indonesia sebagai Komponen utama dengan didukung
oleh komponen cadangan dan komponen pendukung�.� Selanjutnya penjelasan Pasal 7 ayat (2) dirumuskan sebagai berikut:
�Yang dimaksud
dengan ancaman militer adalah ancaman yang menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisasi yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan
segenap bangsa.
Operasi
Militer Selain Perang atau OMSP adalah operasi militer yang dilaksanakan bukan dalam rangka
perang dengan negara lain, tetapi untuk tugas-tugas
lain seperti melawan pemberontakan bersenjata, gerakan separatis, aksi terorisme, tugas mengatasi kejahatan lintas negara, tugas bantuan kemanusiaan
dan tugas perdamaian.
Dengan
demikian apabila kita mengacu pada rumusan Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 3 di atas, sangat jelas ditentukan bahwa salah satu tugas pokok TNI dalam Operasi Militer
Selain Perang adalah �mengatasi aksi terorisme�. Artinya bahwa kewenangan
TNI dalam mengatasi aksi terorisme dapat dilakukan melalui permintaan atau tanpa melalui
permintaan dari Kepolisian sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 7 ayat (2) angkat 10 Undang-Undang TNI. Dengan kata lain bahwa TNI �dapat� memiliki �kewenangan� untuk menangani secara langsung aksi terorisme
terutama aksi teror bersenjata yang terjadi di Indonesia tanpa melalui permintaan bantuan.
Pertanyaannya adalah
�apakah kewenangan TNI sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 3 dimaksud dapat dilaksanakan tanpa menunggu peraturan perundang-undangan lainnyaatau peraturan pelaksanaannya?�. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu kita melihat
rumusan Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang TNI yang menyebutkan �(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara�. Rumusan Pasal di atas secara tegas
menentukan bahwa tugas TNI dalam OMSP termasuk kewenangan TNI dalam ��mengatasi aksi terorisme� baru dapat dilaksanakan
apabila ada kebijakan dan keputusan politik negara�.� Menurut Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI bahwa �Yang dimaksud dengan kebijakan dan keputusan politik negara adalah kebijakan politik pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat yang dirumuskan
melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, seperti rapat konsultasi dan rapat kerja sesuai
dengan peraturan perundang-undangan�.
Saat ini
telah diadakan pembahasan terhadap revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
di DPR RI.� Salah satu
substansi yang dirumuskan dalam draft RUU revisi tersebut adalah� peran
TNI dalam menangani aksi terorisme sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 43B rancangan Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam Pasal 43B ayat (1) disebutkan "kebijakan dan strategi nasional penanggulangan tindak pidana terorisme dilaksanakan oleh Polri, TNI, serta instansi pemerintah terkait sesuai dengan kewenangan
masing-masing dikoordinasikan oleh lembaga pemerintah non-kementerian yang menyelenggarakan
penanggulangan terorisme".
Sementara ayat (2) Pasal tersebut menjelaskan bahwa peran TNI adalah memberikan bantuan untuk Polri.
Adanya pembahasan
rancangan Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme akan menimbulkan permasalahan apabila peran TNI dalam mengatasi aksi terorisme tersebut dimasukan dalam RUU tersebut. Permasalahannya adalah akan terjadi
tumpang tindih kewenangan antara TNI dan Polri dalam berbagai
perundang-undangan antara
lain Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia dan Undang-Undang Terorisme
yang saat ini sedang dalam pembahasan
di tingkat Panja DPR RI.
Pencantuman peran
TNI dalam revisi Undang-Undang Terorisme telah mengundang pro dan kontra dari berbagai
elemen masyarakat termasuk Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian
yang menolak secara tegas pelibatan TNI secara langsung dalam penanganan terorisme karena dianggap dapat memicu polemik di lain hari apabila Pasal
dalam revisi Undang-Undang tersebut disahkan.� Menurut Kapolri bahwa penindakan terhadap teroris tidak perlu diserahkan
secara langsung ke TNI, sehingga pelibatan TNI sebaiknya tetap dalam koordinasi
Polri. Penolakan lainnya datang dari Hendardi dari
Setara Institute yang berargumen
bahwa keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme di Indonesia justru berpotensi memperkeruh situasi dan melanggar HAM.� Hal senada disampaikan oleh anggota DPR RI
Charles Honoris, kelihatannya juga "keukeuh" menolak pelibatan TNI dan menganggapnya sebagai pengkhianatan terhadap reformasi. Direktur
LSM Imparsial berpendapat bahwa pelibatan TNI menangani aksi terorisme akan menjadi ancaman serius terhadap dinamika demokrasi, HAM dan supremasi hukum di Indonesia.
Namun demikian
banyak pula elemen masyarakat yang menginginkan agar
TNI harus dilibatkan dalam penanganan aksi terorisme dengan pertimbangan bahwa aksi terorisme
di Indonesia sudah mengancam
keutuhan dan kedaulatan
Negara. Pertimbangan lainnya
karena keberhasilan beberapa operasi militer yang dilakukan oleh TNI dalam menangani aksi teroris di Indonesia baik dalam maupun
luar negeri. Salah satu bukti konkrit keberhasilan
operasi TNI adalah tertembaknya pimpinan Mujahidin
Indonesia Timur (MIT) Santoso alias Abu Wardah pada tanggal 14 September 2016 yang dilakukan
oleh Satgas Batalyon Raider
515 Kostrad dan Pembebasan
ABK MV Sinar Kudus yang dibajak
di perairan Somalia pada tanggal
16 Maret 2011. Pertimbangan
lainnya adalah TNI memiliki satuan khusus anti teror (Detasemen 81 (Kopassus AD), Detasemen
Jala Mangkara atau Denjaka (Marinir AL), Bravo 90 (Paskhas AU) dan PRRC Kostrad serta satuan TNI lainnya yang tidak perlu diragukan lagi kemampuannya untuk dilibatkan dalam mengatasi aksi terorisme dalam berbagai situasi dan kondisi.� Peran TNI dalam mengatasi aksi terorisme ke depan
sebaiknya pada semua tahapan yang dimulai dari tahap pencegahan,
penindakan dan pemulihan.
Dengan mengacu
pada strategi internasional dan praktek
pelibatan militer dalam penanganan aksi terorisme di beberapa Negara serta adanya aksi teror
di Indonesia yang mengancam kedaulatan
dan keutuhan wilayah NKRI, maka
seharusnya pelibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme di Indonesia tidak perlu diperdebatkan
lagi. Permasalahannya adalah masih adanya
keragu-raguan pemerintah
dan DPR serta komponen bangsa lainnya untuk melibatkan TNI dalam penanganan aksi terorisme di Indonesia. Di samping itu, pemberian
kewenangan kepada TNI dalam mengatasi aksi terorisme masih menimbulkan permasalahan yuridis dalam implementasinya seperti yang telah peneliti uraikan di atas.
Dari permasalahan
diatas dan metode yang digunakan dapat disimpulkan bahwa dapat memberikan manfaat bagi pengembangan
ilmu hukum dan bidang hukum administrasi,
bahan pertimbangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan kewenangan TNI dalam mengatasi aksi terorisme.
Metode Penelitian
Penelitian ini
dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif dengan melakukan kajian yang komprehensif bersumber pada peraturan perundang-undangan dan juga penelitian
yuridis empiris yaitu melakukan pengkajian berdasarkan pada pengamatan terhadap penanganan aksi terorisme di Indonesia yang melibatkan
TNI. Metode penelitian tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1) metode pengumpulan data; a) studi kepustakaan. Dalam penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan dalam rangka mendapatkan bahan-bahan dan keterangan-keterangan
yang diperlukan sesuai dengan pokok permasalahan.
Peneliti mengumpulkan bahan-bahan yang akan digunakan meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang terdiri dari norma
dasar� atau kaidah dasar yaitu
UUD 1945, Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dan bahan-bahan lainnya yang terkait denga penelitian. b) metode wawancara. Teknik wawancara dilakukan langsung kepada sampel penelitian yaitu pejabat yang berkompeten dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangian di lingkungan Kementerian Pertahanan
Republik Indonesia, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
serta Mabes TNI. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman/panduan pertanyaan agar tidak menyimpang dari permasalahan yang diteliti. 2)
metode analisa data. Data telah diperoleh dari hasil penelitian
kemudian dilanjutkan dengan analisis data secara kualitatif yaitu menganalisis data berdasarkan kualitasnya lalu di deskripsikan dengan menggunakan kata-kata sehingga diperoleh bahasan atau paparan
dalam bentuk kalimat yang sistematis dan dapat dimengerti, kemudian ditarik kesimpulan. Analisis ini digunakan untuk
mengolah data yang sifatnya
tidak dapat diukur yang berwujud peraturan perundang-undangan sehingga memerlukan penjabaran melalui uraian-uraian. Dari data dan informasi
yang telah terkumpul, akan dipilih dan disesuaikan dengan topik pembahasan penelitian. Kemudian data ini diolah secara
kualitatif yaitu menjabarkan dengan kata-kata sehingga merupakan uraian kalimat yang dapat dimengerti, dipahami dan dapat dipertanggungjawabkan. Analisa kualitatif
ini dilakukan dengan memperhatikan data yang berasal dari bahan-bahan
kepustakaan maupun data
yang diperoleh dari narasumber di lapangan. 3) pendekatan yang digunakan. Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, dan dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai permasalahan yang sedang dicoba untuk
ditemukan jawabannya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah menggunakan
pendekatan peraturan perundang-undangan. Pendekatan tersebut dilakukan dengan melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan tema sentral penelitian dan digunakan untuk menganalisa kedua permasalahan dalam penelitian ini. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang menjelaskan tentang asas-asas hukum yang terdapat dalam ketentuan perundang-undangan.
Hasil dan Pembahasan
A. Hasil Penelitian
Beberapa faktor penyebab belum diimplementasikannya tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme secara langsung melalui operasi mandiri antara lain: pertama, adanya pembatasan dalam Pasal 7 ayat
(3) Undang-Undang TNI yang menyebutkan
�Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Adapun yang dimaksud
dengan kebijakan dan keputusan politik Negara sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 5 UU TNI yang menyebutkan
�Yang dimaksud dengan kebijakan dan keputusan politik negara adalah kebijakan politik pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat yang dirumuskan
melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, seperti rapat konsultasi dan rapat kerja sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Makna yang terkandung dalam penjelasan Pasal tersebut adalah bahwa pelaksanaan tugas OMSP baru dapat dilaksanakan oleh TNI apabila terdapat kebijakan dan keputusan politik Negara yang dirumuskan secara bersama-sama antara DPR RI dengan Pemerintah melalui kerjasama seperti rapat konsultasi dan rapat kerja.
Hasil wawancara dengan Dirkum Strahan Kemhan Anang Puji Utama, menyatakan bahwa saat ini sedang
dilakukan penyusunan dan pembahasan terhadap peraturan pelaksanaan (PP/Perpres) dari tugas
OMSP sebagaimana yang dirumuskan
dan Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 1 s.d 14. Data yang didapatkan dari Direktorat Hukum dan Perundang-undangan Kementerian Pertahanan
RI bahwa dari 14 (empat belas) tugas
OMSP baru 1 (satu) peraturan pelaksanaan/turunan sebagai pelaksanaan dari Pasal 7 ayat (3) yaitu Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan 13 (tiga belas) tugas
OMSP lainnya sampai saat ini masih
dalam proses penyusunan dan
pembahasan interkem.
Kedua, aksi
terorisme dikategorikan sebagai tindak pidana, sehingga pola penanganannya melalui pendekatan penegakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian sebagai aparat penegak hukum dan pelibatan TNI hanya sebatas perbantuan kepada Polri. Ketiga,
aksi terorisme di Indonesia
masih dinilai sebagai tindak kriminal biasa yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, dan dianggap belum mengancam dan membahayakan kedaulatan negara, keutuhan
wilayah dan keselamatan segenap
bangsa, sehingga belum melibatkan TNI.
Dalam praktek,
pelibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme di Indonesia adalah bersifat perbantuan (contoh, TNI diperbantukan pada Polri dengan status bawah kendali operasi
(BKO), guna memperkuat pasukan Brimob dalam operasi perburuan
kelompok Santoso di Gunung Biru, Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten
Poso, dalam operasi dengan sandi Tinombala). Dasar hukum tugas perbantuan
tersebut adalah Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 10.� Pertimbangan tugas perbantuan TNI tersebut adalah karena aksi terorisme
yang dilakukan oleh kelompok
Santoso selaku pemimpin
Mujahidin Indonesia Timur, bersifat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat di Poso dan operasi yang dilakukan oleh Polisi bersifat penegakan hukum sehingga dinilai belum membahayakan kedaulatan NKRI.
Ke depan,
pelibatan TNI secara langsung baik melalui
operasi mandiri maupun operasi terpadu sebaiknya dimulai pada setiap tahapan yaitu pencegahan/penangkalan, penindakan dan pemulihan yang disesuaikan dengan fungsi TNI sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 6 yang menyebutkan bahwa (1) TNI sebagai alat pertahanan
negara, berfungsi sebagai:
a) penangkal terhadap setiap bentuk ancaman
militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan
bangsa; b) penindak terhadap setiap bentuk ancaman; dan c) pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan.
Dalam Bujukin
OMP dan Bujukin OMSP yang dimaksud
dengan: a) penangkal artinya kekuatan TNI harus mampu mewujudkan
daya tangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan non militer dari luar dan dalam
negeri terhadap kedaulatan,
keutuhan wilayah dan keselamatan
bangsa. Fungsi penagkal ditujukan agar kekuatan nyata berdampak psikologis dan diperhitungkan lawan, sehingga mengurungkan dan mencegah niat lawan
yang akan mengancam kedaulatan negara, keutuhan
wilayah dan keselamatan bangsa�.
b) penindak, kekuatan TNI harus mampu digerakkan
untuk menghancurkan kekuatan musuh yang mengancam terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa. c) pemulih, kekuatan TNI bersama dengan instansi pemerintah lainnya membantu fungsi pemerintah untuk mengembalikan kondisi keamanan Negara yang telah terganggu akibat kekacauan perang, pemberontakan, konflik komunal, huru hara, terorisme dan bencana alam. Fungsi
pemulih dalam hubungan internasional, TNI turut berperan aktif untuk mewujudkan
perdamaian dunia melalui tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan
politik luar negeri di bawah naungan PBB�.
Konsep TNI dalam
upaya pencegahan/penangkalan terhadap aksi terorisme dilakukan dengan memelihara kondisi aman dalam masyarakat
dan deteksi dini dan cegah dini, dengan
melalui kerjasama dengan Kementerian dan Lembaga serta
komponen bangsa lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan upaya penindakan terhadap aksi terorisme
dilakukan melalui operasi militer selain perang dengan
mengerahkan kekuatan TNI secara langsung berdasarkan ketentuan hukum nasional dan ketentuan hukum internasional yang telah diratifikasi. Sedangkan upaya pemulihan terhadap aksi terorisme
dilaksanakan melalui tindakan rehabilitasi dan rekonstruksi, yang� melibatkan
TNI, Polri, Kementerian/Lembaga Pemerintah
dan instansi terkait lainnya dibawah koordinasi BNPT. Bentuk operasi yang dilakuan oleh TNI dalam penanganan aksi terorisme yang berskala nasional adalah operasi terpadu dan operasi mandiri dengan sifat operasi tempur
sedangkan dalam aksi terorisme yang berskala internasional, operasi dilaksanakan secara terpadu dengan kekuatan yang tersebar di berbagai institusi.
B. Pembahasan
TNI belum
dapat melakukan operasi mandiri mengatasi aksi teror, selain karena
alasan yuridis, juga penanganan terorisme perlunya melibatkan stakeholder
lain seperti Polri sebagai institusi utama dalam penanganan
tindak pidana, Pemerintah Daerah, Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT) dan lain-lain. Mengingat
bahwa terorisme yang terjadi di beberapa negara termasuk di Indonesia saat ini kian jelas
dan telah menjadi momok bagi peradaban
modern dan sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode Terorisme
kini semakin luas dan bervariasi, sehingga penanganan terorisme harus melibatkan segenap komponen bangsa termasuk TNI yang memiliki kemampuan untuk menghadapi aksi terorisme dalam segala bentuk dan motifnya. Pemerintah harus berupaya secara konkrit melakukan penanganan terhadap ancaman terorisme, dan perang melawan terorisme perlu dilakukan secara terkoordinasi lintas instansi, lintas nasional baik yang sifatnya mendahului (preemptif), mencegah (preventif) dan menekan (refresif) dengan mengusut tuntas pelaku-pelaku Tindak Pidana Terorisme
itu serta memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut.
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai institusi yang memiliki kewenangan untuk menangani masalah keamanan negara termasuk dalam penanganan terorisme tidak akan mampu sendirian
untuk memberantas terorisme di Indonesia. Hal ini disebabkan karena kompleksnya isu terorisme. Menurut Tri Poetrantro, S.Sos, penanganan
terorisme tak dapat hanya diserahkan
kepada institusi tunggal (Kepolisian) saja, melainkan harus ditangani lintas departemen/instansi dengan bekerjasama secara menyeluruh antara aparat Kepolisian dengan TNI serta melibatkan seluruh komponen masyarakat bangsa Indonesia sampai ke tingkat RT dan RW.
Polisi harus
merenungkan apakah mampu institusinya sendiri menangani semua persoalan keamanan nasional, karena secara obyektif
harus diakui bahwa dengan keterbatasan
sarana dan prasarana serta SDM anggota Polri saat ini
maka diyakini institusi Polri tidak akan mampu
secara sendiri menangani permasalahan yang menyangkut keamanan nasional khususnya penanganan aksi terorisme. Meskipun Polri selama ini
telah banyak mengungkap beberapa aksi-aksi teror namun bukan berarti
lembaga ini telah berhasil mengungkap akar dari jaringan terorisme
yang lebih besar lagi, hal ini
disebabkan karena belum sempurnanya kapasitas kepolisian untuk menangani sendiri aksi terorisme.
Disamping itu Polri masih kurang
pengalaman dalam menangani kegiatan radikal yang terjadi di Indonesia
dibandingkan dengan TNI
yang sangat sarat dengan pengalaman tugas operasi.
Ke depan,
TNI perlu diberikan kewenangan untuk melaksanakan baik operasi mandiri maupun operasi terpadu dalam pemberantasan
aksi terorisme sehingga tidak hanya terbatas pada bantuan TNI kepada Kepolisian. TNI dapat secara langsung mengatasi aksi terorisme dengan melalui operasi mandiri karena dalam Pasal 7 ayat
(2) maupun dalam ketentuan lainnya, tidak ada yang mengatur peran TNI dalam mengatasi aksi terorisme bersifat bantuan baik kepada Polri
maupun kepada kementerian/ lembaga lainnya. Bahkan dalam dalam Undang-Undang
Pertahanan pada Pasal 7 ayat (2) dan penjelasannya menempatkan aksi terorisme bersenjata sebagai salah satu ancaman militer yang dalam sistem pertahanan
negara Indonesia ancaman militer
tersebut menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai
Komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung.
Ketentuan tentang
tugas perbantuan dalam OMSP diatur dalam Pasal 7 ayat
(2) huruf b yaitu angka 9. Membantu tugas pemerintahan di daerah; angka 10. Membantu kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan
dan ketertiban masyarakat
yang diatur dalam undang-undang; angka 11. membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia; angka 12. Membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian,
dan pemberian bantuan kemanusiaan; angka 13. Membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue); dan angka
14. Membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.
Dalam Buku
Petunjuk Induk OMP dan OMSP
yang diterbitkan oleh Babinkum
TNI diberikan pengertian tentang operasi mandiri yaitu operasi
yang dilaksanakan oleh TNI secara
sendiri, tanpa melibatkan kekuatan di luar institusi TNI. Sedangkan operasi Terpadu adalah operasi yang dilaksanakan oleh
TNI bersama-sama dengan institusi/kelembagaan lain. Kewenangan TNI dalam menangani aksi terorisme di Indonesia bukanlah mengambil bukan tanpa dasar
hukum dan bukan pula mengambil alih peran institusi lain tetapi pelibatan TNI dalam mengatasi Terorisme merupakan kewenangan yang diamanatkan oleh
UU TNI dan UU Pertahanan. Dengan
demikian ada hak dan kekuasaan bagi TNI untuk bertindak apabila ada aksi terorisme.
Menurut H.D Stoud
ini adalah kewenangan yang dilimpahkan kepada instansi yang melaksanakannya, maka terlebih dahulu harus ditentukan dalam ketentuan perundang-undangan.� Defenisi yang sama diberikan oleh S.F Marbun yang mengatakan bahwa wewenang mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara
yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang
berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum. Sedangkan dalam Black Law Dictionary kewenangan
diartikan lebih luas, tidak hanya
melakukan praktek kekuasaan, tetapi kewenangan juga diartikan dalam konteks menerapkan
dan menegakan hukum, adanya ketaatan yang pasti, mengandung perintah, memutuskan, adanya pengawasan yuridiksi bahkan kewenangan dikaitkan dengan kewibawaan, kharisma bahkan kekuatan fisik.
Berdasarkan definisi
kewenangan menurut para ahli diatas, peneliti
berpendapat bahwa kewenangan merupakan suatu hak yang dimiliki oleh seorang pejabat atau institusi
yang bertindak menjalankan kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dapat juga dikatakan bahwa kewenangan adalah kemampuan untuk bertindak berdasarkan kekuasaan yang sah. Dengan demikian apabila dikaitkan dengan kewenangan TNI dalam mengatasi aksi terorisme sebagaimana diamanatkan dalam UU TNI dan UU Pertahanan
Negara, maka telah sejalan dengan pengertian kewenangan dari beberapa ahli
sebagaimana telah diuraikan diatas yaitu kewenangan merupakan hak dan kekuasaan yang sah dimiliki oleh TNI untuk bertindak menjalankan kewenangannya berdasarkan perundang-undangan.
Dengan mengacu
pada rumusan Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 3 (UU TNI) dan Pasal 7 ayat (2) beserta penjelasannya (UU Pertahanan
Negara) maka dapat dikatakan bahwa pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme dapat dilaksanakan baik secara langsung melalui operasi mandiri maupun operasi terpadu serta dapat dipertanggungjawabkan
secara politik dan hukum. Oleh karena itu setiap orang harus menghilangkan pemikiran atau anggapan bahwa TNI dalam melaksanakan OMSP tidak memiliki dasar hukum dan mengambil alih peran instansi pemerintah yang lain. Di samping itu perlu pula dikesampingkan persepsi yang sempit tentang penilaian yang menyangkut �Keamanan Nasional� sebagai domein atau kewenangan
sepenuhnya dari Polri karena penilaian
tersebut tidak tepat. Masalah keamanan nasional merupakan permasalahan setiap warga negara termasuk institusi TNI.
Dalam Naskah
Akademik Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional disebutkan bahwa �Keamanan nasional harus ditempatkan sebagai milik publik
yang dapat dinikmati oleh setiap warga negara dalam mengatur, mengelola dan membentuk sistem keamanan nasional sesuai dengan ketentuan perundang-undangan�. Harus dipahami
pula bahwa masalah keamanan dan pertahanan adalah dua pengertian
yang tidak dapat dipisahkan karena pertahahan merupakan bagian dari keamanan.
Dengan demikian Sistem pertahanan dan keamanan semesta dimana TNI dan Polri merupakan elemen utama dalam menghadapi
aksi terortisme harus selalu melakukan
koordinasi dan bersinergi dengan instansi- instansi pemerintah lainnya atau dengan
komponen bangsa lainnya, karena dengan dukungan dan koordinasi dalam mendeteksi dan mengatasi berbagai permasalahan teroris, akan mudah
diatasi. Aksi terorisme di Indonesia tidak dapat dibiarkan berkembang karena akan mengancam keutuhan dan kedaulatan negara
yang pada gilirannya akan menghambat kelancaran pembangunan nasional. Menurut Tri Poetranto bahwa penanganan terhadap aksi terorisme
sebaiknya tidak hanya pada penindakan saja dengan mengusut
pelaku-pelakunya serta menghukum mereka seberat-beratnya seperti yang banyak dipraktekan oleh Polri, tetapi penanganan
yang paling utama adalah mencegah terjadinya aksi-aksi tersebut di masa mendatang sehingga dapat dihindari terjadinya korban jiwa dan harta benda. Tugas-tugas
penanganan aksi terorisme tersebut akan mampu diemban
oleh institusi TNI sebab �Prajurit TNI� yang sarat dengan pengalaman tugasnya dan lebih khusus lagi sarat
dengan pengalaman operasi militer selain perang, baik di dalam maupun
luar negeri akan dapat membantu Polri untuk secara
bersama-sama menangani aksi terorisme di Indonesia baik yang bersifat �mendahului� (preemptif), mencegah (reventif ) dan menekan (refresif) dengan mengusut tuntas pelaku-pelaku Tindak Pidana Terorisme
itu serta memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut dan TNI melaksanakan penanganan terhadap aksi terorisme tersebut bersama-sama dengan instansi fungsional (Polri) dalam suatu keterpaduan
usaha yang sinergis sesuai bentuk ancaman,
dengan memprioritaskan tindakan preemtif dan preventif dibandingkan dengan tindakan refresif karena keberhasilan tindakan preemtif dan preventif akan mampu menghindari
jatuhnya korban dan�
dampak negatif yang lebih besar.
Kendala Undang-Undang
Terorisme yang Dikualifikasikan
Sebagai Tindak Pidana. Diberikan gambaran bahwa aksi terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta salah satu ancaman serius
terhadap kedaulatan setiap Negara. Disamping itu, terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat Internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat, sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan, agar hak asasi orang banyak (public) dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.
Selain itu,
adanya komitmen masyarakat Internasional untuk mencegah dan memberantas terorisme sudah diwujudkan dan berbagai konvensi Internasional yang menegaskan bahwa terorisme merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang mengancam perdamaian dan kedamaian umat manusia, sehingga seluruh anggota perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk Indonesia wajib mendukung dan melaksanakan revolusi Dewan Keamanan PBB yang mengutuk dan menyerukan seluruh anggota PBB untuk mencegah dan memberantas terorisme melalui pembentukan peraturan undang-undang nasional negaranya.
Pemerintah Republik
Indonesia telah merespon aksi terorisme sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) melalui upaya mengantisipasi dan mengatasi tindakan terorisme itu dengan
disahkannya Undang-Undang
RI No. 16 Tahun 2003 tentang
penetapan peraturan pemerintah pengganti ndang-undang No. 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan Terorisme menjadi Undang-Undang yang disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 4 April
2002 atas persetujuan
DPR.� Disamping
itu, diperkuat pula dengan UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
(UU PTPT), pada Peristiwa Peledakan
Bom di Bali Tanggal 12 Oktober
2002 menjadi UU yang disahkan
pada tanggal 4 April 2003 atas
persetujuan DPR.
Apabila melihat
judul Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 yang menggunakan nomenklatur �Pemberantasan Tindakan
Terorisme�, maka dapat dapat dimaknai
bahwa tujuan dibentuknya UU tersebut adalah untuk menjadikan
terorisme sebagai suatu tindak pidana
di Indonesia dan terorisme dikategorikan
sebagai tindak pidana khusus yang harus diberantas habis sampai kepada
akar-akarnya. Dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
mengkualifikasikan tindak pidana terorisme sebagai berikut: 1) Delik materil yang terdapat pada Pasal 6, 2) Delik formil yang terdapat pada Pasal 7 sampai dengan Pasal
12, 3) Delik pembantuan Pasal 6 huruf g, 4) Delik penyertaan Pasal 13 dan Pasal 15, 5) Delik perencanaan terdapat dalam Pasal 14.
Subjek hukum
yang dapat digolongkan menjadi pelaku tindak pidana terorisme
menurut Pasal 1 butir 2 dan Pasal 3 Undang-undang pemberantasan terorisme, didalam melakukan tindak pidana terorisme dapat perilakunya berupa manusia atau perseorangan. Dalam rumusan pasal
tersebut menyatakan bahwa subjek pelaku
dalam tindak pidana terorisme merupakan setiap orang yang didefenisikan sebagai seseorang, beberapa orang atau koorporasi dan kelompok tersebut yang terdiri dari sipil
maupun militer ataupun polisi, perseroan, yayasan, dan organisasi lainnya.
Mengacu pada uraian
di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa UU PTPT merupakan Undang-Undang yang substansinya memuat unsur-unsur tindak pidana dari
suatu aksi terorisme. Dengan demikian karena aksi terorisme dikualifikasikan sebagai tindak pidana maka
pola penanganannya melalui pendekatan penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yaitu
kepolisian sebagai lembaga yang berwenang melakukan proses penegakan hukum terhadap pelaku aksi terorisme.
Penggunaan Judul
�Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme� dalam UU PTPT menjadi salah satu kendala atau
penghambat dalam pemberantasan aksi terorisme di Indonesia. Hal ini disebabkan karena UU PTPT tersebut tidak mengatur tentang upaya pencegahan terhadap aksi dan baru digunakan setelah terjadinya aksi teror. Di samping itu, adanya
pembatasan terhadap aksi terorisme sebagai suatu tindak
pidana secara tidak langsung telah membatasi TNI beserta komponen bangsa lainnya untuk terlibat secara langsung menangani aksi terorisme di Indonesia, mengingat
TNI tidak memiliki kewenangan dalam melakukan penegakan hukum terhadap pelaku aksi teror.
Terorisme Seharusnya
Ditempatkan Sebagai Bentuk Ancaman Non Tradisional yang Dapat Mengancam Kedaulatan Negara. Terorisme yang terjadi di
Indonesia merupakan ancaman
berbahaya dan perlu mendapat penanganan serius dari pemerintah
dan pihak keamanan. Aksi teror ini
tidak hanya mengarah pada aparat keamanan (polisi) saja, akan tetapi
masyarakat sipil berpotensi besar ikut menjadi korban teror. Sudah banyak
masyarakat menjadi korban ledakan bom dahsyat
yang dilakukan teroris secara terencana. Hal inilah mengapa terorisme dikatakan juga sebagai Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crime
Against Humanity).
Proses penanganan
dan pemberantasan terorisme
tentunya harus melibatkan semua unsur dan semua komponen bangsa. Baik Polri maupun
TNI mempunyai wewenang dalam mengatasi aksi terorisme mengingat ancaman terorisme sekarang ini begitu besar,
sebagai contoh yaitu ISIS. Gerakan ISIS yang terpusat
di negara Irak dan Suriah ternyata sudah menyebar ke Indonesia beberapa tahun silam. Sangat tepat jika terorisme disebut dengan istilah Kejahatan Internasional� (International Crime).
Aksi terorisme
merupakan salah satu ancaman �Non Tradisional� sebagaimana dirumuskan dalam Bujukin OMP dan Bujukin OMSP yang menyebutkan ancaman non tradisional sebagai ancaman yang dapat membahayakan kedaulatan Negara atau keutuhan wilayah atau keselamatan bangsa berupa terorisme, gerakan separatisme, kejahatan lintas Negara, aksi radikalisme, konflik komunal, pelanggaran laut dan udara diwilayah yurisdiksi nasional, serta bencana yang disebabkan oleh alam atau manusia. Dimasukkannya
aksi terorisme bersenjata sebagai ancaman non tradisional yang mengancam kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan segenap bangsa, akan memberikan
kewenangan kepada TNI untuk terlibat secera langsung baik melalui operasi
mandiri maupun operasi terpadu dalam mengatasi aksi terorisme sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat
(2) Undang-Undang Pertahanan
Negara dimana aksi terorisme bersenjata meruakan salah satu ancaman militer yang menempatkan TNI sebagai komponen utama dalam penanganannya.
Kepolisian yang selama
ini melakukan penindakan dan pemberantasan ternyata belum mampu menghancurkan jaringan teroris di Indonesia. Terkait masalah ISIS, Polri melalui Irjen
Boy Rafli Amar pernah menyatakan bahwa pihaknya tidak bisa mengindentifikasi asal ISIS di Indonesia. Bahkan dalam pernyataannya Boy menyatakan Penangkapan anggota ISIS bisa dilaksanakan bila ada aktivitas terorisme.
Pernyataan Polri tersebut sama sekali
tidak membantu pemberantasan terhadap terorisme. Ini hanyalah upaya untuk menutupi kelemahan, ketidakmampuan dan ketidakberanian Polri dalam menghadapi ancaman terhadap keamanan negara.
Dengan demikian
apabila mencermati perkembangan beberapa aksi jaringan terorisme
Indonesia saat ini, seperti Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Jamaah Islamiyah (JI), Mujahidin Indonesia Barat (MIB),
Mujahidin Jakarta (MJ), Laskar Jihad, Jamaah Anshaarut Tauhid, dan Daulah Islamiyah Nusantara, yang aksinya
bertujuan untuk mendirikan kekhilafahan dengan memberlakukan syariat islam di Indonesia, maka peneliti dapat
menyimpulkan bahwa aksi terorisme di Indonesia termasuk dalam ancaman non tradisional yang dapat dikategorikan sebagai� kejahatan terhadap kedaulatan Negara yang ingin merubah ideologi Pancasila. Aksi terorisme di Indonesia bukanlah semata-mata tindak pidana/kejahatan
biasa, tetapi sudah termasuk kejahatan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan
wilayah negara, keamanan negara dan keselamatan segenap bangsa yang harus dihadapi dengan melibatkan segenap komponen bangsa dalam rangka meningkatkan
kewaspadaan nasional.
Upaya untuk
mengantisipasi dan mengatasi
persoalan tindak pidana terorisme dengan melibatkan TNI telah sejalan dengan
pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945. Di samping itu
Negara Republik Indonesia sebagai
Negara kesatuan yang berlandaskan
hukum dan memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memelihara
kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera serta ikut serta
secara aktif memelihara perdamaian dunia, maka pemerintah wajib memelihara dan menegakkan kedaulatan dan melindungi setiap warga negaranya dari setiap ancaman
atau ancaman destruktif baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dengan demikian secara strategis maupun yuridis pemerintah dan DPR harus melibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme sebagai ancaman terhadap kedaulatan Negara yang dimulai dari tahap pencegahan,
tahap penindakan, sampai dengan tahap
pemulihan.
Kesimpulan
Implementasi kewenangan
TNI dalam mengatasi aksi terorisme di Indonesia: a)
TNI belum dapat mengimplementasikan kewenangannya
secara langsung melalui operasi mandiri dalam mengatasi
aksi terorisme dan pelibatan TNI masih bersifat bantuan kepada Kepolisian dalam rangka penegakan
hukum. b) TNI belum dapat melaksanakan tugas operasi mandiri
dalam mengatasi aksi terorisme karena terorisme dikualifikasikan sebagai bentuk tindak pidana
dalam perundang-undangan sehingga menjadi penindakannya merupakan kewenangan Kepolisian. c) Belum ada peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 3 tentang Tugas TNI dalam OMSP untuk mengatasi aksi terorisme. Saran dari sang peneliti, kewenangan TNI dalam mengatasi aksi terorisme harus dapat diimplementasikan,
mulai dari tahap pencegahan, penindakan dan pemulihan yang dapat dilaksanakan baik secara langsung
melalui operasi mandiri maupun operasi terpadu. Segera dilakukan pembentukan peraturan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 3 Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia yaitu dalam bentuk Peraturan Presiden yang substansinya memuat peran TNI dalam mengatasi aksi terorisme mulai dari tahap
pencegahan, penindakan dan pemulihan.
Atmadja, Arifin P. Soeria. (2009). Keuangan
publik dalam perspektif hukum: teori, kritik, dan praktik. Rajawali Pers. Google Scholar
Atmosudirdjo, Prajudi. (2020). Hukum
administrasi negara. Google Scholar
Azhary. (1995). Negara hukum Indonesia:
analisis yuridis normatif tentang unsur-unsurnya. Penerbit Universitas
Indonesia. Google Scholar
Brouwer, Jan Gesienus. (1998). A survey
of Dutch administrative law. Google Scholar
Budiardjo, Miriam, Politik, Dasar Dasar
Ilmu, & Penerbit, P. T. (1998). Gramedia pustaka utama. Jakarta, 2oo9.
Google Scholar
Fajar Purwawidada, MH., M. Sc. (2014).
Kontra Terorisme Indonesia, Konflik dan Perbatasan. Retrieved from
http://analisishankamnas.blogspot.co.id website:
http://analisishankamnas.blogspot.co.id/2014/02/kelompok-teroris-mujahidin-indonesia.html,
Google Scholar
Hadjon, Philipus M. (1997). Tentang
Wewenang, Makalah. Universitas Airlangga, Surabaya. Google Scholar
Hadjon, Philipus M., Martosoewignjo, Sri
Soemantri, & Basah, Sjachran. (2005). Pengantar hukum administrasi
Indonesia. Google Scholar
Halim, Koentjoro Diana. (2004). Hukum Administrasi
Negara. Bogor: Ghalia Indonesia. Google Scholar
Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional.
(2002). Kamus besar bahasa Indonesia. Google Scholar
Indonesia, Informatika Republik. (1919). Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia.
-. Google Scholar
Indonesia, Pemerintah Republik. (2003).
Undang-undang republik Indonesia nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta. Google Scholar
Indonesia, Republik. (2002). Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Lembaran Negara RI Tahun. Google Scholar
Indonesia, Republik. (2004). Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta
(ID): RI. Google Scholar
Indroharto, S. H. (2000). Usaha Memahami
Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I: Beberapa Pengertian
Dasar Hukum Tata Usaha Negara. Google Scholar
Kantaprawira, Rusadi. (1998). Hukum dan
kekuasaan. Makalah, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Google Scholar
Lotulung, Paulus Effendie. (1994). Himpunan
Makalah Azas-Azas Umum Pemerintahan Yang Baik. Google Scholar
Manan, Bagir, & Magnar, Kuntana.
(1987). Peranan Peraturan Perundang-undangan dalam Pembinaan Hukum Nasional. Armico,
Bandung. Google Scholar
Marbun, S. F. (2011). Administrasi
Negara dan Upaya Administratif Di Indonesia. Yogyakarta: FH. UII Press. Google Scholar
Marbun, S. F., & MD, Moh. Mahfud.
(1987). Pokok-pokok hukum administrasi negara. Liberty. Google Scholar
Marzuki, Laica. (1996). Peraturan
Kebijaksanaa (Beleidsregel) Serta Fungsinya Selaku Sarana Hukum Pemerintahan,
Makalah Pada Penataran Nasional Hukum Acara Dan Hukum Administrasi Negara. Google Scholar
Mulyosudarmo, Suwoto. (1990). Kekuasaan dan
Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia. Suatu Penelitian Segi-Segi
Teoritik Dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan, Universitas Airlangga,
Surabaya. Google Scholar
Nurmayani, S. H. (2009). MH Hukum
Administrasi Daerah. Universitas Lampung Bandarlampung. Google Scholar
Rasyid, Abdul. (2004). Wewenang Mahkamah
Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.
Universitas Airlangga. Google Scholar
Ridwan, H. R. (2020). Hukum administrasi
negara. Google Scholar
Salim, Amarullah. (1994). Perbuatan Melawan
Hukum yang Dilakukan oleh Penguasa Menurut Hukum Perdata Beserta Masalah Ganti
Rugi. Bahan Kuliah Pekan Orientasi Dan Penataran Peradilan Tata Usaha
Negara, Jakarta. Google Scholar
Setiardja, A. Gunawan. (1990). Dialektika
Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia. Google Scholar
Soekanto, Soerjono. (2007). Penelitian
hukum normatif: Suatu tinjauan singkat. Google Scholar
Soemitro, Ronny Hanitijo. (1990).
Metodologi penelitian hukum dan jurimetri. Ghalia Indonesia, Jakarta, 167.
Google Scholar
Soetami, Siti. (2000). Hukum Administrasi
Negara. Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. Google Scholar
Stout, H. D. (2004). de Betekenissen van de
wet, dalam Irfan Fachruddin. Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap
Tindakan Pemerintah. Google Scholar
Syafrudin, Ateng. (2000). Menuju
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab. Jurnal
Pro Justisia Edisi IV, Universitas Parahyangan, Bandung. Google Scholar
Syukir, Asmuni. (1983). Dasar-Dasar
Strategi Dakwah Islam, al-Ikhlas. Surabaya, Tt. Google Scholar
Tutik, Titik Triwulan. (2012). Pengantar
Hukum Tata Usaha Negara. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Google Scholar
Utrecht, Ernst. (1963). Pengantar hukum
administrasi negara Indonesia. Ichtiar. Google Scholar
Valerine, J. L. K. (2009). Modul Metode
Penelitian Hukum. Edisi Revisi,(Jakarta: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2014). Google Scholar
Wiyono, R. (2018). Pembahasan
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sinar Grafika. Google Scholar
Copyright holder: Irman Putra, Arief Fahmi Lubis (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |