Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 4, April 2022
STRATEGIC ENGAGEMENT AMERIKA SERIKAT � KOREA UTARA TERHADAP
PELUNCURAN MISIL KOREA UTARA TAHUN 2017-2018
Rizky Aulia Pangestika
Universitas Indonesia, Depok, Jawa
Barat, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Tulisan ini berupaya membahas mengenai diplomasi koersif yang berhasil diterapkan oleh Amerika Serikat
pada Korea Utara di tahun 2018. Diplomasi
koersif yang diterapkan
Amerika Serikat saat itu berupaya sanksi
ekonomi yang lebih menyeluruh. Sanksi ekonomi tersebut mempengaruhi ekonomi domestik yang berdampak pada sumber dana utama Korea Utara sekaligus mempengaruhi pendanaan pengembangan teknologi nuklir membuat Korea Utara semakin terdesak dan memaksa untuk segera memulai
proses denuklirisasi. Metode
penelitian yang digunakan yaitu kualitatif deskriptif. Kerangka analisis yang penulis gunakan di dalam tulisan ini adalah teori
diplomasi koersif yang dikembangkan oleh Jakobson melalui
ideal policy dengan
pendekatan �carrot and stick� yang dielaborasi ke dalam empat variabel
yaitu ancaman, tenggat waktu, jaminan dan imbalan. Hasil
tulisan ini menunjukkan bahwa diplomasi koersif yang diterapkan Amerika Serikat pada Korea Utara di tahun
2017-2018 memberikan progress positif
dalam upaya untuk denuklirisasi Korea Utara.
Kata Kunci: diplomasi koersif; sanksi ekonomi; nuklir; denuklirisasi; Korea Utara
Abstract
This paper
attempts to discuss the coercive diplomacy successfully implemented by the
United States on North Korea in 2017-2018. The coercive diplomacy applied by
the United States at that time sought more comprehensive economic sanctions.
These economic sanctions affect the domestic economy which has an impact on
North Korea's main source of funds as well as affecting funding for the
development of nuclear technology, making North Korea increasingly pressured
and forcing it to immediately begin the denuclearization process. The research
method used is descriptive qualitative. The analytical framework that the
author uses in this paper is the theory of coercive diplomacy developed by
Jakobson through an ideal policy with a 'carrot and stick' approach which is
elaborated into four variables, namely threats, deadlines, guarantees and
rewards. The results of this paper show that the coercive diplomacy applied by
the United States to North Korea in 2017-2018 has made positive progress in
efforts to denuclearize North Korea.
Keywords: coercive diplomacy; economic
sanctions; nuclear; denuclearization; North Korea
Pendahuluan
Isu
dan masalah mengenai pengembangan teknologi nuklir dan uji coba nuklir oleh Korea Utara bukanlah sebuah agenda baru. Terutama sejak Korea Utara mengundurkan diri dari Nonproliferation
Treaty (NPT) pada tahun 1993 masalah
terkait dengan pengembangan dan uji coba nuklir Korea Utara menjadi semakin intens. Bahkan, masalah pengembangan dan uji coba nuklir Korea Utara masuk dalam ranah ancaman
global (Samosir, 2018).
Ancaman yang dimaksud disini karena pengembangan
teknologi yang dilakukan
oleh Korea Utara merupakan pengabungan
dari pengembangan teknologi misil jarak jauh dan hulu ledak nuklir
berdaya ledak tinggi (Samosir, 2018).
Di kawasan Asia Timur, pengembangan dan uji coba nuklir Korea Utara juga menjadi ancaman terutama bagi negara tetangga seperti Jepang dan Korea Selatan.
PM Jepang Abe Shinzo menegaskan
bahwa uji coba peluncuran yang dilakukan oleh
Korea Utara adalah sikap yang
tidak bisa ditolerir (Ferida, 2017), terlebih lagi Jepang
beberapa kali terkena �imbas� dari uji coba peluncuran tersebut, contohnya pada tahun 2017 ketika Korea Utara melakukan uji coba peluncuran 4 misil dan 3 di antaranya jatuh di wilayah ZEE Jepang (BBC, 2017).
Presiden Korea Selatan Moon Jae-in juga telah mengajukan permintaan kepada Dewan PBB untuk mengambil langkah yang tegas dan bekerja sama dengan
Amerika Serikat dalam menghadapi sikap provokasi yang dilakukan oleh
Korea Utara (BBC, 2017).
Amerika Serikat sebagai aliansi dari Jepang dan Korea Utara secara konsisten turut serta dalam
upaya-upaya untuk mengatasi dan meminimalisir masalah uji coba peluncuran oleh Korea Utara. Selama
bertahun-tahun, Amerika Serikat
dan komunitas internasional
telah mencoba untuk menegosiasikan penghentian pengembangan nuklir dan rudal Korea Utara dan ekspor teknologi rudal balistiknya (ACA,
2020). Pada nyatanya memang,
upaya-upaya yang dilakukan tersebut memang tidak mudah untuk
dapat terealisasikan begitu saja dan masalah ini akan
tetap menjadi PR bagi Amerika dan komunitas internasional.
Dalam
rentang tahun 2012-2017
Korea Utara dengan aktif melakukan uji coba peluncuran rudal dengan jarak tempuh
rudal yang beragam. Pada tahun 2017 rudal yang digunakan dalam uji coba peluncuran yaitu rudal jenis
Intercontinental Ballistic Missile dengan jarak tempuh terjauh
yang mampu diluncurkan hingga antar benua,
Amerika Serikat yang mengikuti
perkembangan uji coba rudal Korea Utara mencoba melakukan diplomasi terkait dengan adanya ancaman yang dideteksi oleh Amerika Serikat. Diplomasi yang dilakukan Amerika Serikat terhadap Korea Utara sebenarnya telah dilakukan sejak lama saat Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Clinton, dan diplomasi
yang dilakukan berbentuk diplomasi koersif, namun ternyata upaya diplomasi tersebut belum memberikan hasil yang positif. Berbeda dengan presiden terdahulu, Presiden Obama selama masa pemerintahannya penerapan diplomasi secara koersif dalam upaya menangani
masalah uji coba misil Korea Utara bukanlah pilihan utama, meski demikian penggunaan diplomasi koersif terhadap Korea Utara melalui penjatuhan sanksi pada tahun 2016 tetap ada. Presiden
Obama menjalankan diplomasinya
menggunakan �strategic patience� yaitu
kebijakan yang mengedepankan
pendekatan persuasif dengan membuka hubungan diplomatik, mengajak Korea Utara kembali untuk masuk ke
dalam Six- Party Talks, dan menuju
denuklirisasi (Kurnia,
2018). Namun penerapan
kebijakan Presiden Obama
juga belum menunjukkan perkembangan yang positif terkait masalah uji coba misil Korea Utara.
Di awal masa jabatannya di tahun 2017 Presiden Trump mengemukakan kebijakan �maximum pressure and engagement� Amerika Serikat terhadap Korea Utara. Inti
dari kebijakan yang diusung oleh Presiden Trump tersebut ialah akan diberlakukannya peningkatan sanksi terhadap Korea Utara dan agenda kerjasama
Amerika Serikat dengan sekutu dan mitra regional dalam diplomasi. Kebijakan �maximum pressure and engagement� merupakan wujud dari penggunaan diplomasi koersif dalam bentuk maximum pressure
yang didukung dengan
engagement dalam bentuk
dialog/talks. Diplomasi terkini
yang dilakukan yaitu pada Juni 2018 dengan adanya pertemuan antara Presiden Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un di Singapura, dalam pertemuan tersebut Korea Utara berkomitmen untuk denuklirisasi secara penuh di wilayah semenanjung Korea dan Presiden
Trump berkomitmen memberikan
Security Guarantee untuk Korea Utara. Pada tahun 2018 komitmen Korea Utara benar terjadi dengan
tidak adanya satupun uji coba peluncuran rudal. Sehingga diplomasi koersif yang diterapkan Amerika Serikat terhadap Korea Utara pada
saat itu dapat dikatakan berhasil.
Kajian terdahulu
yang membahas mengenai diplomasi Amerika Serikat terhadap Korea Utara beserta peluncuran misil Korea Utara telah dilakukan. Kajian-kajian tersebut dapat dikategorisasikan menjadi empat kategori
yaitu (1) kajian keamanan, (2) kajian yang berangkat dari perspektif analisis kebijakan luar negeri
masing-masing negara, serta (3) kajian
argumentatif tekait upaya peace-bulding dan denuklirisasi.
Pada kategori kajian keamanan akan terbagi
ke dalam dua sub-kategori yaitu perspektif hubungan bilateral Amerika Serikat-Korea
Utara dan rezim internasional
terkait nuclear
treaty. Uji coba peluncuran nuklir yang dilakukan oleh Korea
Utara menyebabkan kondisi hubungan bilateral antara Amerika
Serikat-Korea Utara memanas.
Faktor politik domestik turut berkontribusi dalam peningkatan uji coba peluncuran nuklir Korea Utara sebagai upaya peningkatakan
kapabilitas untuk menahan tekanan dan perimbangan kepada Amerika Serikat (Kyung Park, 2001).
Sementara adanya pandangan lain yang mengatakan bahwa strategi nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara justru
bertujuan untuk menarik atensi Amerika Serikat untuk dapat
berdialog dengan Korea
Utara agar menormalisasi hubungan
bilateral mereka (Han, 2009).
Selain itu, belum adanya Peace Treaty formal mengenai nuklir Korea Utara menyebabkan ketidakstabilan
wilayah Asia Timur dan Conditional Peace
Treaty dianggap sebagai
diplomasi Amerika Serikat-Korea
Utara yang win-win solution untuk meningkatkan kestabilan di wilayah Asia Timur (DiFilippo, 2011).
Ketegori kajian kedua yang berangkat dari perspektif analisis kebijakan luar negeri dapat dibagi lagi ke
dalam dua sub-kategori. Pertama, dari perspektif AS, kebijakan luar negeri dan diplomasi yang digunakan oleh Amerika Serikat dalam menghadapi sekaligus sebagai upaya menangani isu peluncuran misil oleh Korea Utara cenderung berubah-ubah seiring bergantinya kepala pemerintahan. Pada masa Presiden
Clinton, Amerika menggunakan diplomasi
politik dan telah menunjukkan adanya hasil yang nyata meskipun cara diplomasi
ini belum sepenuhnya berhasil karena terbentur dengan masa jabatan Presiden Clinton dan Presiden
Bush sebagai penerus pemerintahan tidak melanjutkan upaya yang sebelumnya (Samore, 2002).
Agenda penanganan isu peluncuran misil oleh Korea Utara
terus berlanjut hingga masa Presiden Obama,
Amerika Serikat harus lebih memahami tentang security
concerns dan nuclear policy Korea
Utara dan melakukan pendekatan
yang lebih aktif (Ahn, 2012).
Pendekatan yang lebih aktif tersebut mulai dilakukan secara nyata pada masa Presiden Trump sekaligus mempertimbangkan semua option yang dimiliki
oleh Amerika Serikat (Easley, 2017).
Kedua, dari perspektif
Korea Utara, konflik
di Semenanjung Korea memberikan
pengaruh terhadap nuclear policy Korea Utara (Bluth, 2017).
Dan selama masa pemerintahan
Kim Jong-un kebijakan luar
negeri mengalami beberapa perubahan, dengan dilakukannya tinjauan historis memperlihatkan bahwa Korea Utara menggunakan nuklir sebagai strategi untuk membangun relasi dengan pemimpin
negara lain yang bertujuan untuk
mendapatkan economic
assistance sekaligus mengamankan
rezim mereka (Pratamasari, 2019).
Terakhir, kategori kajian ketiga yang
bersifat argumentatif (argumentative papers) menekankan pentingnya upaya
peace-bulding dan denuklirisasi. Upaya yang dilakukan untuk denuklirisasi Korea Utara yaitu dengan menggunakan kebijakan alternatif (Kun Young Park, 2009),
menerapkan solusi praktis (seperti conditional
peace treaty) yang dapat mempercepat
proses denuklirisasi Korea Utara (DiFilippo, 2014),
serta perlu bagi Amerika Serikat untuk merumuskan strategi baru untuk mengelola
krisis nuklir Korea Utara (Niksch, 2011).
Berdasarkan
temuan dari penelitian sebelumnya dapat dikonklusikan bahwa alasan dilakukannya
peluncuran misil Korea
Utara adalah pengaruh dari berbagai faktor
internal ataupun eksternal baik di dalam lingkup
Semenanjung Korea ataupun kawasan Asia Timur. Berbagai upaya telah dilakukan
untuk menangani masalah peluncuran misil Korea Utara meskipun pada kenyataannya upaya-upaya tersebut belum ada yang benar-benar berhasil. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Amerika Serikat dapat dikatakan telah menggunakan segala pintu dan alternatif tanpa terkecuali yang bersifat koersif, dan bahkan Dewan Keamanan PBB pun telah berulang kali memberikan sanksi kepada Korea Utara sebagai hukuman atas pelanggaran yang dilakukan karena pengembangan dan uji coba teknologi nuklir mereka namun seolah-olah
tidak pernah jera akan sanksi
tersebut.
Temuan-temuan
dari kajian literatur terdahulu belum ada yang membahas dengan spesifik tentang efektivitas diplomasi koersif Amerika Serikat terhadap peluncuran misil Korea Utara khususnya dalam rentang waktu
2017-2018 pada masa Presiden Trump sebelum dan setelah berlangsungnya summit
dan joint declaration dengan Korea Utara pada Maret
2018 di Singapura. Joint Declaration merupakan hasil dari summit antara Amerika Serikat dan Korea Utara, bukan
Peace Treaty. Perlu untuk dipahami bahwa adanya perbedaan antara Joint Declaration dan Peace Treaty, Peace Treaty memiliki dasar-dasar hukum internasional yang mengikat yang menjadikannya legal by law namun
berbeda dekan Joint Declaration yang tidak didasari oleh hukum internasional yang membuat legalitasnya dapat dipertanyakan. Kajian
mengenai efektivitas dalam upaya diplomasi
koersif oleh Amerika Serikat
tersebut perlu diteliti untuk dapat lebih memahami
mengapa upaya tersebut dapat dikatakan berhasil sehingga dapat memberikan gambaran atas kelebihan dan kekurangan ataupun celah dari upaya-upaya
diplomasi yang telah dilakukan. Berdasarkan latar belakang
di atas, penulis mengangkat pertanyaan penelitian sebagai berikut: �Mengapa diplomasi koersif Amerika Serikat terhadap Korea Utara berhasil pada tahun 2017-2018?�
Metode Penelitian
Diplomasi
secara umum dipahami sebagai salah satu instrumen pelaksana kebijakan luar negeri untuk mencapai kepentingan suatu negara, namun untuk memahami definisi mengenai diplomasi dibutuhkan pemahaman tentang unsur-unsur pembentuk dari diplomasi itu sendiri. Dalam
bukunya yang berjudul Diplomacy, (Roy, 1991)
menjelaskan bahwa ada beberapa unsur
yang membentuk definisi diplomasi yaitu (1) unsur utama diplomasi
adalah negosiasi, (2) negosiasi mengedepankan kepentingan negara, (3) tindakan-tindakan
diplomatik dilakukan untuk menjaga dan memajukan kepentingan negara dan sebisa mungkin dilakukan dengan sarana damai. Kemudian
unsur-unsur tersebut disimplifikasikan oleh Roy menjadi
sebuah definisi diplomasi yaitu seni mengedepankan kepentingan suatu negara melalui negosiasi dengan cara-cara damai dalam berhubungan
dengan negara lain. Selaras
dengan (Roy, 1991)
menjelaskan diplomasi sebagai aktivitas politik untuk mencapai
tujuan dan mempertahankan kepentingan dengan cara bernegosiasi dan tanpa menggunakan kekerasan ataupun propaganda.
Maka
dapat disimpulkan bahwa diplomasi mengedepankan unsur-unsur damai dan non-ofensif dalam pelaksanaannya. Kata �koersif� sendiri merupakan kata sifat yang memiliki arti berkenaan dengan koersi, koersi merupakan bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan dengan menggunakan tekanan, paksaan atau ancaman sehingga
salah satu pihak yang berinteraksi berada dalam keadaan lebih
lemah dibandingkan dengan pihak lawannya
(kbbi.web.id). Bila disederhanakan
maka �koersif� berarti adanya penggunaan tekanan atau ancaman dalam
suatu tindakan. Jika melihat dari definisi
masing-masing, antara diplomasi
dan koersif memiliki makna yang berbeda dan bertolak belakang. Namun disisi lain,
ternyata koersif merupakan salah satu instrumen yang digunakan dalam menjalankan proses diplomasi yang disebut sebagai diplomasi koersif.
Diplomasi
Koersif dapat diartikan sebagai sebuah upaya suatu
negara dengan menggunakan sarana ancaman ke negara target agar dapat menunda atau membatalkan
aksinya sesuai permintaan pihak yang memberikan ancaman (Lauren,
2007). Dalam buku
The United State and Coercive Diplomacy,
Alexander L. George juga menjelaskan mengenai diplomasi koersif. George menjelaskan
strategi diplomasi koersif sejalan dengan adanya penggunaan ancaman, penggunaan kekerasan dalam batasan tertentu, negosiasi juga bargaining
(tawar-menawar) yang dikoordinasikan
dengan komunikasi dalam proses berdiplomasi (Robert
J. Art, Patrick M. Cronin, 2003). Strategi diplomasi
koersif George memiliki empat variabel dalam pelaksanaannya yaitu permintaan, batasan waktu, ancaman atas ketidakpatuhan
dan penggunaan insentif-insentif
(Jakobsen,
1998). Variabel-varibel tersebut menentukan pendekatan strategi diplomasi koersif seperti apa yang akan digunakan
oleh suatu negara, misalnya
ultimatum, tacit ultimatum, �try and see�, �gradual turning of the screw�, atau �carrot and stick� (Jakobson, 1998).
Peter Jakobsen (1998) dalam bukunya yang berjudul Western Use of Coercive Diplomacy after the
Cold War: A Challenge for Theory and Practice menjelaskan
diplomasi koersif melalui ideal policy
dengan pendekatan �carrot
and stick�. �Carrot� berarti imbalan
atau tawaran, sementara �stick� berarti ancaman atau hukuman.
Diplomasi koersif yang dilakukan oleh negara pengancam
(coercer state) menggunakan instrumen
ancaman dan imbalan kepada negara target (target state). Ideal Policy Jakobsen memiliki empat variabel penentu keberhasilan diplomasi koersif yaitu (1) penggunaan kekuatan ancaman kepada negara target didukung dengan kapabilitas yang dimiliki oleh negara pengancam,
(2) adanya tenggat waktu yang diberikan kepada negara target, (3) jaminan
untuk negara target terhadap
tuntutan di masa depan, dan
(4) adanya tawaran imbalan atas kepatuhan
negara target.
Untuk
menjawab pertanyaan penelitian, tulisan ini akan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menggunakan
data-data non-numerik. Data penelitian
yang digunakan berupa data sekunder dan dihimpun dari buku, jurnal,
dan artikel media-media online yang terkait dengan topik penelitian. Data penelitian dikumpulkan melalui studi pustaka
dan penelusuran berita dari media daring. Setelah data berhasil dikumpulkan, penulis akan melakukan
analisis deskriptif guna memahami dan menganalisa data yang telah didapatkan.
Hasil dan Pembahasan
A. Sanksi (Stick)
Amerika Serikat terhadap
Korea Utara (2017-2018)
Sanksi AS terhadap
Korea Utara telah dimulai sejak tahun 2008, tujuan dari sanksi
tersebut yaitu proliferasi bahan fisil yang dapat digunakan untuk membuat senjata berdaya ledak tinggi
ataupun nuklir di wilayah Semenanjung Korea. Kongres AS mengesahkan peraturan yang mengatur tentang penjatuhan sanksi untuk Korea Utara pada tahun 2016
dan peraturan tersebut menghendaki presiden untuk dapat memberikan
sanksi kepada semua pihak yang terlibat dalam urusan proliferasi WMD. Lalu pada
tahun 2017, CAATSA memberikan
peraturan tambahan terkait sanksi untuk Korea Utara dengan melakukan pelarang pemberian bantuan AS ke pihak pemerintah
asing yang turut membantu Korea Utara. Sanksi-sanksi
yang ditetapkan oleh AS saat
itu terlihat memiliki kemiripan dengan sanksi Dewan Keamanan PBB yang mencakup pembekuan aset, pelarangan berpergian (travel bans), pembatasan
ekonomi terhadap individu dan entitas yang terkait dengan senjata konvensional, misil, dan program nuklir.
Sementara sanksi
unilateral AS terhadap Korea Utara lebih banyak membatasi
kegiatan ekonomi dan menargetkan daftar individu dan bisnis yang lebih besar lagi daripada
sanksi Dewan Keamanan PBB.
AS memberikan sanksi kepada bank, perusahaan dan individu di luar Korea Utara terutama yang berada di China dan
Rusia yang ikut terlibat dalam pengembangan program senjata nuklir Korea Utara. Sanksi ekonomi tersebut memang dirancang untuk dapat menghambat
pengembangan rudal dan teknologi nuklir di Korea Utara.
Di awal masa pemerintahannya
Presiden Trump memberi wewenang kepada Departemen Keuangan untuk melakukan pemblokiran dari sistem keuangan A.S. pada setiap bisnis atau
individu asing yang turut memfasilitasi perdagangan dengan Korea Utara sebagai bagian dari kampanye "maximum
pressure".
Sebagian besar kegiatan ekonomi antara AS dan Korea Utara dilarang
karena sanksi AS terkait dengan pelanggaran HAM di Korea Utara, perdagangan
narkoba ilegal, program nuklir dan rudal, dan kegiatan ekonomi yang melangar hukum/illegal (the diplomat,
2019). Perdagangan antara
AS dan Korea Utara hanya sebatas
bantuan dan bantuan kemanusiaan lainnya, sementara untuk investasi baru AS di Korea Utara tetap dilarang. Program "maximum
pressure" yang dijalankan pada masa pemerintahan
Presiden Trump dengan jelas menargetkan pada ekonomi yang merupakan roda penggerak kehidupan warga Korea Utara (Gray,
2019). Adanya peningkatan
tekanan terhadap ekonomi negara ditambah dengan menargetkan perusahaan-perusahaan internasional,
termasuk di China, yang masih
melakukan bisnis dengan Korea Utara dapat mulai membatasi kemampuan Korea Utara untuk memperoleh pemasukan dari ekspor dan akses ke sistem
finansial internasional. Peningkatan tekanan seperti ini dapat
membatasi kemampuan Korea
Utara untuk menghasilkan
dana yang dibutuhkan untuk
program nuklirnya (Fishman et al, 2017).
Selain itu, akses perjalanan (travel) antara kedua negara juga sangat terbatas dengan adanya peraturan khusus yang dikeluarkan pihak AS yaitu penerbitan paspor khusus bagi orang Amerika yang akan melakukan perjalanan ke Korea Utara dengan tujuan perjalanan
yang juga ikut dibatasi dan
pembatasan perjalanan dari Korea Utara ke New York (the
diplomat, 2019). Terhitung sejak
1 September 2017 paspor AS tidak
valid digunakan untuk berpergian ke, dari ataupun melalui
Korea Utara. Meskipun demikian,
untuk situasi tertentu, warga AS yang mengajukan pembuatan Paspor Validasi Khusus dapat memenuhi
syarat yang diberikan dari Departemen Luar Negeri akan memungkinkan mereka melakukan perjalanan ke Korea Utara untuk tujuan tertentu (Treasury.gov).
Rincian dari sanksi AS terhadap Korea Utara
yang mulai diterapkan pada tahun 2017 diatur di dalam Surat Perintah Khusus (Executive Orders) nomor
13810 yang mengatur penjatuhan
sanksi sebagai alat untuk mengganggu
kemampuan Korea Utara melakukan
pendanaan agenda pengembangan
WMD dan program ICBM. Secara khusus
Surat Perintah Khusus
(Executive Orders) nomor 13810 berisi
(1) penetapan beberapa kriteria baru (untuk sanksi); (2) melarang kapal dan pesawat terbang yang telah mengkonfirmasi atau mendarat di pelabuhan atau tempat di Korea Utara dalam 180 hari sebelumnya, dan kapal yang melakukan transfer antar-kapal dengan kapal tersebut
dalam 180 hari sebelumnya, untuk memasuki Amerika Serikat; (3) memberikan wewenang untuk memblokir akun dana apapun yang terkait dengan Korea Utara yang berasal dari Amerika Serikat atau milik
orang Amerika Serikat; dan (4) memberikan
wewenang untuk menjatuhkan sanksi pada lembaga keuangan asing yang dengan sadar melakukan atau memfasilitasi pada atau setelah tanggal
pesanan (i) setiap transaksi signifikan atas nama orang-orang tertentu yang diblokir atau (ii) setiap transaksi signifikan sehubungan dengan perdagangan dengan Korea Utara.
Sanksi yang telah
diterapkan oleh pihak AS menuai kritik dari
pihak China yang mengatakan
bahwa adanya kemungkinan bahwa sanksi ini tidak
akan begitu berpengaruh bagi Korea Utara seperti sanksi-sanksi yang pernah ada sebelumnya.
Terlepas dari kritik tersebut, sanksi yang dijatuhkan ternyata memberi dampak bagi Korea Utara. Berdasarkan laporan surat kabar Rodong
Sinmun milik Korea Utara
yang menyatakan bahwa sanksi yang dijatuhkan AS kali ini lebih berdampak
langsung pada Korea Utara khususnya
di kalangan elite pemerintahan
Kim Jong-un, karena sanksi
kali ini menargetkan pada perekonomian negara, partai politik dan elite militer yang menjadi pendukung utama pemerintahan otoriter Kim Jong-un (Choe, 2019). Sanksi yang dijatuhkan sebelumnya memberikan larangan bagi Korea Utara memperoleh bagian dan teknologi senjata, namun sanksi yang diterapkan kali ini membatasi dan melarang ekspor yang hasil keuntungannya merupakan sumber pendapatan utama negara, sehingga para elite
pemerintahan dan militer
yang penghasilannya sangat bergantung
pada negara kali ini merasakan
dampak secara langsung akibat dijatuhkannya sanksi ekonomi pada Korea Utara (Choe, 2019). Selain itu kondisi
industri di Korea Utara berada
pada kondisi yang cukup buruk, pabrik-pabrik yang ada skalanya termasuk
kecil dan kualitas hasil produksi barang pabrik tersebut
kurang baik, dengan adanya sanksi
yang mempengaruhi pada pendanaan
maka akan sulit bagi Korea Utara untuk mengembangkan industrinya secara mandiri, ditambah dengan jumlah demand yang lebih
tinggi daripada supply yang ada
sehingga banyak warga Korea Utara yang tidak terpenuhi kebutuhan hidupnya (Mu, 2019). Selain
sanksi uniteral dari Amerika Serikat, negara-negara
di kawasan juga ikut berupaya untuk mewujudkan wilayah Semenanjung
Korea yang bebas nuklir, misalnya Cina. Cina mengeluarkan kebijakan yang menetapkan penolakannya atas pengembangan teknologi yang dilakukan oleh Korea Utara, hal tersebut dikarenakan akan menimbulkan ketidakstabilan wilayah regional yang akan
membawa kerugian langsung terhadap Cina (Sulaiman, 2020).
B. Tenggat waktu tuntutan
Amerika Serikat terhadap
Korea Utara
Peningkatan
tekanan sanksi baru di bidang ekonomi oleh AS terhadap Korea
Utara telah aktif mulai tahun 2017 setelah dikeluarkannya Surat Perintah
Khusus (Executive
Orders) nomor 13810. Meskipun
demikian dalam surat tersebut memang tidak disebutkan
secara eksplisit mengenai tenggat waktu bagi Korea Utara untuk melakukan denuklirisasi. Dan hal ini juga sejalan dengan pernyataan Presiden Trump yang mengatakan bahwa pihak AS memang tidak secara
rinci menentukan batasan waktu yang harus dipenuhi Korea Utara untuk melakukan denuklirisasi (Yasinta,
2018). Satu hari setelah
dilakukannya pertemuan antara Presiden Trump dan Kim
Jong-un di Singapura, adanya pernyataan
tambahan oleh Menlu Mike
Pompeo perihal batasan waktu untuk Korea Utara, bahwa besar denuklirisasi
Korea Utara harus diselesaikan
pada akhir masa pemerintahan
Presiden Trump pada tahun 2020
(Yasinta, 2018). Dengan
kata lain AS memberikan tenggat
waktu sekitar 2 tahun bagi Korea Utara untuk denuklirisasi secara penuh. Pihak
AS memang lebih menekankan pihak Korea Utara untuk sesegera mungkin memulai proses denuklirisasi mereka, karena apabila prosesnya tidak segera dimulai maka akan semakin
lama juga sanksi yang diterapkan
AS terus berlangsung.
C. Jaminan atas tuntutan
Amerika Serikat terhadap
Korea Utara
Menteri Luar Negeri A.S. Mike Pompeo menyatakan
bahwa jika Korea Utara setuju untuk denuklirisasi
secara penuh, Amerika Serikat siap untuk
"memberikan jaminan keamanan" untuk pemerintah Pyongyang (VOA, 2018). Hal tersebut dibahas dalam pertemuan Pompeo dengan Kim, sebelum dilakukannya pertemuan antara Kim dan Trump di Singapura. Pembahasan
terkait pemeberian jaminan keamanan untuk Korea Utara telah ada sebelumnya, namun pihak pemerintah
A.S. menyatakan memang belum ada rincian
lebih lanjut terkait agenda jaminan keamanan tersebut.
D. Imbalan (carrot) atas kepatuhan Korea Utara dalam memenuhi tuntutan AS
Dalam
beberapa kesempatan, Amerika
Serikat mencabut sebagian sanksi terhadap Korea Utara sebagai imbalan atas janji
untuk membekukan program nuklir dan membongkar sebagian fasilitas pengembangan nuklir (VOA,
2018). Selain itu
Amerika Serikat juga membuktikan
komitmennya dengan Korea
Utara yaitu membatalkan latihan militer bersama Korea Selatan yang sebelumnya
telah dijadwalkan untuk bulan Desember
2018 sebagai reward karena
Korea Utara telah berprogress
menuju denuklirisasi secara bertahap melalui pembongkaran fasilitas uji coba peluncuran misil mereka di Pyungge Ri
(armscontrol.org). Menteri Luar Negeri A.S. Mike Pompeo
menjelaskan jika denuklirisasi dapat terealisasikan, pemerintah AS akan memberikan izin pada sektor swasta untuk membantu
dalam membangun jaringan energi di Korea Utara
dan memperbolehkan warga AS
untuk berinvestasi di Korea
Utara guna membantu berkembangnya infrastruktur dan sektor agrikultur di Korea Utara (VOA,
2018).
Kesimpulan
Diplomasi
koersif yang dijalankan
oleh Amerika Serikat pada tahun
2017-2018, membuat Korea Utara lebih
tertekan dan terpojok. Berbeda dengan sebelumnya, upaya diplomasi koersif melalui penjatuhan sanksi ekonomi yang menargetkan sumber dana utama negara memaksa Korea Utara untuk mau memenuhi
tuntutan Amerika Serikat untuk proses denuklirisasi. Dengan tenggat waktu yang diberikan Amerika Serikat dinilai termasuk singkat, membuat Korea Utara semakin terdesak untuk memulai proses denuklirisasi. Selain itu, dengan
kondisi ekonomi domestik yang semakin memburuk dan adanya tawaran bantuan ekonomi dari Amerika Serikat seolah menjadi jalan keluar
yang memang dibutuhkan
Korea Utara untuk dapat kembali memulihkan kondisi negaranya. Progress yang ditunjukkan Korea Utara dalam
proses denuklirisasi memberikan
keringanan atas beberapa sanksi yang telah dijatuhkan sebelumnya, meskipun tidak seluruhnya. Dan juga
Amerika Serikat bersedia memberikan jaminan keamanan jika Korea Utara benar-benar telah melakukan denuklirisasi secara penuh. Jika diplomasi koersif Amerika Serikat yang kini dilakukan dapat terus secara konsisten
berjalan maka prospek akan denuklirisasi
Korea Utara secara penuh mungkin saja akan
terus menunjukkan progress
yang positif.
Ahn, Taehyung.
(2012). Patience or lethargy?: US policy toward North Korea under the Obama
administration. North Korean Review, 67�83. Google Scholar
BBC. (2017). Korea Utara klaim sukses uji rudal jarak jauh
'yang bisa capai Amerika�.
Bluth, Christoph. (2017). The Paradox of North Korea�s
nuclear diplomacy: Insights from conflict transformation theory. North
Korean Review, 13(1), 45�62. Google Scholar
DiFilippo, Anthony. (2011). North Korea�s Denuclearization
and a Peace Treaty. North Korean Review, 7�20. Google Scholar
DiFilippo, Anthony. (2014). Steady State: The North Korean
Nuclear Issue from Bush to Obama. Asian Affairs: An American Review, 41(2),
56�82. Google Scholar
Easley, Leif Eric. (2017). From strategic patience to
strategic uncertainty: Trump, North Korea, and South Korea�s new president. World
Affairs, 180(2), 7�31. Google Scholar
Han, Jongwoo. (2009). North Korea�s diplomacy to engage the
United States. Australian Journal of International Affairs, 63(1),
105�120. Google Scholar
Niksch, Larry A. (2011). When North Korea mounts nuclear
warheads on its missiles. The Journal of East Asian Affairs, 1�20.
Google Scholar
Park, Kun Young. (2009). Preparing for a peace process in the
Korean peninsula. Asian Perspective, 33(3), 183�207. Google Scholar
Park, Kyung. (2001). North Korea�s Defensive Power and
US-North Korea Relations. In Korean Security Dynamics in Transition (pp.
83�104). Springer. Google Scholar
Pratamasari, Annisa. (2019). Kim Jong-Un�s Change of Stance. North
Korean Review, 15(2), 23�37. Google Scholar
Roy, S. L. (1991). Diplomasi, Edisi ke-1. Rajawali
Pers, Jakarta. Google Scholar
Samore, Gary. (2002). US‐DPRK missile negotiations. The
Nonproliferation Review, 9(2), 16�20. Google Scholar
Samosir, H. .. (2018). Dirjen Badan Atom Internasional
Sebut Korut Ancaman Global.
Sulaiman, Vera Zerlinda Alamsyah. (2020). China�s Policy in
Refusing North Korea Nuclear Proliferation. Global: Jurnal Politik
Internasional, 22(1), 100�124. Google Scholar
Copyright
holder: Rizky Aulia Pangestika (2022) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This
article is licensed under: |