Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 4, April 2022

 

TANTANGAN ADMINISTRASI PERPAJAKAN UNTUK LALU LINTAS BARANG DI KAWASAN BERIKAT

 

Siti Rahayu, Titi Muswati Putranti

Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Administrasi perpajakan merupakan perwujudan dari pelaksanaan undang-undang perpajakan yang seharusnya dapat menjadi jembatan yang memudahkan Wajib Pajak dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan perpajakan. Namun demikian, untuk lalu lintas barang di Kawasan Berikat, administrasi perpajakan memiliki tantangan tersendiri terutama setelah diberlakukannya 131/PMK.04/2018 sebagaimana diubah dengan 65/PMK.04/2021. Pertanyaannya adalah bagaimana kompleksitas administrasi perpajakan untuk lalu lintas barang di Kawasan Berikat dan apakah administrasi perpajakan telah dapat memfasilitasi lalu lintas barang di Kawasan Berikat sehingga administrasi perpajakan telah sesuai dengan konsep dan ketentuan perpajakan yang berlaku? Penelitian ini sangat penting mengingat administrasi perpajakan merupakan instrumen pendukung bagi Wajib Pajak di dalam melaksanakan ketentuan perpajakan. Dengan melakukan analisis terhadap konsep, ketentuan perpajakan yang berlaku serta beberapa interpretasi dan praktik-praktik yang terjadi di lapangan, penelitian ini merupakan penelitian kualitiatif. Kesimpulannya adalah bahwa administrasi perpajakan setelah diberlakukannya 65/PMK.04/2021 telah memberikan beberapa penegasan sehubungan dengan lalu lintas barang di Kawasan Berikat, namun masih tetap menimbulkan kerumitan di dalam pelaksanaannya dan untuk kasus tertentu administrasi perpajakan belum dapat memfasilitasi lalu lintas barang di Kawasan Berikat karena administrasi perpajakan belum sejalan dengan konsep yang dianut dan ketentuan perpajakan yang berlaku. Oleh karena itu, Kementerian Keuangan bersama dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Direktorat Jenderal Pajak harus melakukan review dan mensinergikan aturan-aturan yang diterbitkan sehubungan dengan Kawasan Berikat sehingga mudah dilaksanakan oleh para pemangku kepentingan.

 

Kata Kunci:�� administrasi perpajakan; pajak pertambahan nilai; ekspor dan kawasan berikat

 

Abstract

Tax administration is a manifestation of the implementation of tax laws which should be a bridge that facilitates taxpayers in implementing tax provisions. However, for the traffic of goods in Bonded Zones, tax administration has its own challenges, especially after the enactment of 131/PMK.04/2018 as amended by 65/PMK.04/2021. The question is how complex is the tax administration for the traffic of goods in the Bonded Zone and whether the tax administration has been able to facilitate the traffic of goods in the Bonded Zone so that the tax administration pursuant to the applicable tax concepts and provisions? This research is very important considering that tax administration is a supporting instrument for taxpayers in implementing tax provisions. By analyzing the concepts, applicable tax provisions, some interpretations and practices that occur in the field, this research is a qualitative research. The conclusion is that the tax administration after the enactment of 65/PMK.04/2021 has given several affirmations regarding the traffic of goods in the Bonded Zone, but it still creates complications in its implementation and for certain cases the tax administration has not been able to facilitate the traffic of goods in the Bonded Zone because the tax administration has not been in line with the concepts adopted and the applicable tax provisions. Therefore, the Ministry of Finance together with the Directorate General of Customs and Excise and the Directorate General of Taxes must review and synergize the regulations issued in connection with Bonded Zones so that they are easily implemented by stakeholders.

 

Keywords: tax administration; value added tax; export and bonded zone

 

Pendahuluan

Beberapa negara mengembangkan kawasan ekonomi khusus sebagai kawasan unggulan untuk meningkatkan iklim investasi dan bisnis. Menurut Laporan Bank Dunia (Bank, 2020), pada tahun 2018 telah terbentuk lebih dari 300 Eco-Industrial Parks (EIPs) dan Special Economic Zones (SEZs) di 40 negara di dunia dan Indonesia merupakan salah satunya. Di Indonesia, salah satu bentuk kawasan yang dibentuk untuk meningkatkan kegiatan ekonomi terutama investasi, ekspor dan pengembangan industri nasional adalah Kawasan Berikat. Pertama kalinya, ketentuan tentang Kawasan Berikat diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1986 tentang Kawasan Berikat (Bonded Zone) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1990. Untuk selanjutnya, ketentuan sehubungan dengan Kawasan Berikat diatur di dalam ketentuan tentang Tempat Penimbunan Berikat yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 1997 dan kemudian digantikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2009.

Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2009, Kawasan Berikat dinyatakan sebagai tempat penimbunan berikat untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean untuk kemudian diolah atau digabungkan dengan hasil produksi lainnya yang tujuan utamanya adalah untuk diekspor. Ketentuan sehubungan dengan Kawasan Berikat dan beberapa fasilitas yang diberikan kepada Perusahaan di Kawasan Berikat diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan yang saat ini diatur di dalam 131/PMK.04/2018 sebagaimana telah diubah dengan 65/PMK.04/2021. Untuk memberikan insentif bagi perusahaan di Kawasan Berikat yang berorientasi ekspor, beberapa fasilitas diberikan oleh pemerintah antara lain adalah bahwa terhadap pemasukan barang ke Kawasan Berikat diberikan penangguhan Bea Masuk dan pembebasan cukai serta tidak dipungut Pajak Dalam Rangka Impor dan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Dengan adanya kemajuan teknologi transportasi dan globalisasi ekonomi, perusahaan di belahan dunia yang berbeda sangat mudah terhubung. Demikian juga perusahaan yang berada di Kawasan berikat. Mereka saling terhubung dengan perusahaan-perusahaan di luar negeri. Beberapa perusahaan di Kawasan Berikat dapat melakukan pekerjaan yang berbeda atas permintaan pemberi kerja yang sama di luar negeri sehingga produksi yang dilakukan oleh satu perusahaan saling terkait dengan produksi yang dilakukan oleh perusahaan di Kawasan Berikat lainnya, walaupun di antara perusahaan-perusahaan di Kawasan Berikat tersebut tidak memiliki transaksi satu sama lain. Dengan demikian, dapat terjadi pemasukan barang ke Kawasan Berikat bukan merupakan penyerahan Barang Kena Pajak. Untuk menggambarkan hal tersebut, di bawah ini disampaikan gambar alur pemasukan barang ke Kawasan Berikat, namun bukan merupakan penyerahan Barang Kena Pajak.��

����

Gambar 1

Alur Pemasukan Barang ke Perusahaan di Kawasan Berikat

 

Berdasarkan Pasal 20 ayat (4) 131/PMK.04/2018, terhadap pemasukan barang ke Kawasan Berikat yang bukan termasuk penyerahan Barang Kena Pajak tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai sehingga tidak diterbitkan Faktur Pajak. Dengan demikian, pemasukan barang ke perusahaan lainnya di Kawasan Berikat yang merupakan bagian dari rangkaian produksi pemberi kerja di luar negeri bukan merupakan penyerahan Barang Kena Pajak karena pemasukan barang ke Kawasan Berikat dilakukan semata-mata atas permintaan pemberi kerja di luar negeri.

Permasalahan terjadi sehubungan dengan pelaksanaan administrasi perpajakan ketika perusahaan di Kawasan Berikat memasukkan barang untuk digabungkan dengan atau diproses lebih lanjut oleh perusahaan lainnya di Kawasan Berikat. Oleh karena pemasukan barang ke Kawasan Berikat dari satu perusahaan kepada perusahaan lainnya bukan merupakan penyerahan Barang Kena Pajak sehingga tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, maka mengacu pada Pasal 20 ayat (4) 131/PMK.04/2018 tidak perlu diterbitkan Faktur Pajak.

Sebelum diberlakukanya 65/PMK.04/2021, di dalam prakteknya petugas bea dan cukai yang bertugas melakukan pengawasan terhadap lalu lintas barang di Kawasan Berikat meminta perusahaan yang memasukkan barang ke Kawasan Berikat untuk menerbitkan Faktur Pajak agar dapat diberikan ijin pemasukan barang ke perusahaan lainnya di Kawasan Berikat.

Menurut (Basnukaev, Vasileva, Korostelkin, Dzagoeva, & Mambetova, 2019), tindakan pemerintah sebagai pelaksanaan kebijakan perpajakan melalui sistem administrasi perpajakan harus dapat merespons semua perubahan dalam perekonomian nasional. Salah satu fenomena yang muncul dalam globalisasi ekonomi adalah munculnya Global Value Chains (GVCs) di mana untuk menghasilkan barang atau jasa setidaknya melibatkan dua tahapan di dua negara yang berbeda sehingga dapat menghasilkan nilai tambah pada masing-masing tahapan di setiap negara di mana produk dapat dirancang di satu negara, sementara itu, pembelian suku cadang/komponen dan perakitan/pengolahan dapat dilakukan di negara yang berbeda (Bank, 2020).

Namun demikian, ketentuan perpajakan yang mengatur sehubungan dengan Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia masih berdasarkan sudut pandang bahwa hanya terdapat transaksi tunggal yaitu satu perusahaan memproduksi barang untuk kemudian dijual atau eksportir melakukan ekspor atas barang yang diproduksi sendiri. Hambatan administrasi perpajakan muncul ketika terdapat transaksi yang melibatkan pihak ketiga seperti ekspor yang dilakukan secara tidak langsung yaitu melalui perusahaan lainnya di Kawasan Berikat yaitu tidak mudahnya melakukan administrasi perpajakan berdasarkan identifikasi suatu transaksi mengacu pada ketentuan perpajakan yang berlaku.

Penerimaan pajak yang lebih rendah dibandingkan dengan negara lain sejak diberlakukannya reformasi perpajakan tahun 1984 menunjukkan adanya kebutuhan untuk menata kembali perpajakan di Indonesia (Taufik, 2018). Administrasi perpajakan dalam sistem perpajakan di Indonesia dinilai tidak efektif dan hal ini diperbesar oleh adanya sistem perpajakan yang terlalu kompleks (Alm, 2019). Kompleksitas pajak ini juga dipandang sebagai salah satu faktor yang berkontribusi terhadap perilaku tidak patuh di kalangan wajib pajak (Saad, 2014). Penelitian di Irlandia menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan terhadap administrasi perpajakan merupakan faktor yang terbukti penting menjelaskan tingkat kepatuhan pajak di masyarakat (Walsh, 2012). Negara-negara dengan administrasi pajak yang relatif efisien memiliki tingkat ekonomi abu-abu yang jauh lebih rendah (Savić, Dragojlović, Vujo�ević, Arsić, & Martić, 2015).

Dalam penelitian sehubungan dengan jaringan sosial yang digunakan oleh wajib pajak sebagai sarana untuk memahami perpajakan, (Onu & Oats, 2018) menemukan bahwa pada dasarnya wajib pajak berusaha memahami peraturan yang ada dan berusaha untuk patuh dengan mengandalkan jaringan sosial yang luas untuk mencari alternatif yang paling efisien bagi bisnis mereka dan bergantung pada otoritas pajak untuk memastikan bahwa pemahaman mereka telah sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.

Berdasarkan survei yang dilakukan pada 700 perusahaan yang mewakili omzet sebesar USD 17 triliun dan perusahaan yang berkantor pusat di 62 yurisdiksi berbeda serta survei terhadap 25 negara yang didominasi G20 dan OECD menunjukkan bahwa lebih dari 60% responden menyampaikan bahwa ketidakpastian dalam pajak penghasilan badan dan Pajak Pertambahan Nilai sangat mempengaruhi keputusan untuk investasi dan menentukan lokasi dan lebih dari 80% responden menyatakan bahwa kepastian pajak merupakan prioritas utama bagi administrasi perpajakan (IMF/OECD, 2017) Kepastian aturan pajak menjamin pemahaman, interpretasi, dan penerapan ketentuan pajak secara benar dan kurangnya kepastian hukum menghalanginya untuk menjalankan fungsinya secara efektif (Demin, 2020). Kepastian harus meliputi undang-undang perpajakan sampai implementasi praktis ketentuan perpajakan (Demin, 2020). Oleh karena itu, untuk menghadapi tantangan ekonomi, undang-undang perpajakan membutuhkan modernisasi yang menyeluruh dan berwawasan ke depan yaitu memadai untuk masalah dan tantangan abad ke-21 (Demin, 2020).

Masih sangat jarang penelitian yang membicarakan administrasi perpajakan sebagai interpretasi dan pelaksanaan ketentuan undang-undang perpajakan yang harus dapat memberikan kepastian pajak sehingga mudah dijalankan oleh wajib pajak. Untuk itu, penelitian ini membahas pentingnya administrasi perpajakan bukan hanya sebagai implementasi pelaksanaan undang-undang perpajakan tetapi juga harus dapat menyesuaikan dengan perkembangan perekonomian global.

Penelitian ini dimaksudkan sebagai review terhadap Pasal 20 dan Pasal 21 dari 131/PMK.04/2018 dan 65/PMK.04/2021 dalam penerapannya mengacu pada konsep dan ketentuan-ketentuan lainnya terkait dengan lalu lintas barang di Kawasan Berikat sehingga pada akhirnya dapat memberikan masukan kepada Kementerian Keuangan bersama-sama dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Direktorat Jenderal Pajak sehubungan dengan administrasi perpajakan untuk lalu lintas barang di Kawasan Berikat seiring dengan modernisasi perekonomian global.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu penelitian yang dilakukan berdasarkan keadaan yang sesungguhnya terjadi (Walidin, Idris, & Tabrani, 2015) yang berdiri sendiri dan tidak memiliki keterkaitan dengan peneliti sehingga peneliti tidak dapat melihatnya secara benar (Walidin et al., 2015). Untuk itu, peneliti harus dekat dan terlibat dengan objek penelitian secara langsung agar terjalin hubungan yang bersifat interaktif antara peneliti dengan realita (Walidin et al., 2015). Agar dapat melihat realitas secara benar diperlukan berbagai metode melalui triangulasi untuk menjelaskan beberapa teknik pengumpulan data (Lune & Berg, 2017). Di dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan untuk melakukan analisis terhadap konsep yang dianut oleh Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan ketentuan perpajakan yang berlaku serta menelusuri berbagai interpretasi dan praktek-praktek yang terjadi di lapangan antara lain melalui wawancara dengan informan kunci agar diperoleh pemahaman yang menyeluruh terkait dengan pelaksanaan administrasi perpajakan pada lalu lintas barang di Kawasan Berikat.

 

Hasil Dan Pembahasan

Lalu lintas barang di Kawasan Berikat melibatkan pengawasan petugas bea dan cukai. Ketentuan sehubungan dengan Faktur Pajak dalam lalu lintas barang di Kawasan Berikat diatur untuk pertama kalinya sejak diberlakukannya 131/PMK.04/2018. Walaupun pada Pasal 20 ayat (4) dan Pasal 21 ayat (2) dinyatakan bahwa apabila pemasukan barang ke Kawasan Berikat yang bukan merupakan penyerahan Barang Kena Pajak tidak diterbitkan Faktur Pajak, namun ketentuan tersebut seringkali tidak diperhatikan karena adanya ketentuan Pasal 21 ayat (5) dan ayat (6) yang dipahami sebagai kewajiban membuat Faktur Pajak terhadap pemasukan barang ke Kawasan Berikat yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean. Kewajiban membuat Faktur Pajak mengacu pada ketentuan Pasal 21 ayat (5) adalah hanya apabila pemasukan barang ke Kawasan Berikat tersebut merupakan �penyerahan Barang Kena Pajak� dan bukan terhadap keseluruhan pemasukan barang ke Kawasan Berikat. Namun demikian, pada prakteknya beberapa petugas bea dan cukai meminta Faktur Pajak sebagai dokumen pelengkap untuk dokumen pemberitahuan pabean dan ketiadaan Faktur Pajak dapat menyebabkan ijin pemasukan barang ke Kawasan Berikat tidak diberikan. Begitu juga dengan petugas pajak. Petugas pajak beranggapan bahwa pemasukan barang ke Kawasan Berikat harus diterbitkan Faktur Pajak dengan alasan terdapat penyerahan barang di dalam daerah.

Terdapat kasus di mana perusahaan di luar negeri membeli alat pengemas dari perusahaan di Kawasan Berikat, tetapi meminta agar alat pengemas tersebut dikirimkan ke perusahaan lainnya di Kawasan Berikat karena akan digunakan untuk mengemas hasil produksi perusahaan lainnya di Kawasan Berikat tersebut untuk tujuan ekspor. Dengan kata lain, alat pengemas akan digabungkan dengan produksi yang dihasilkan oleh perusahaan lainnya di Kawasan Berikat. Dalam hal ini, pengiriman barang dari perusahaan di Kawasan Berikat ke perusahaan lainnya di Kawasan Berikat bukan merupakan penyerahan Barang Kena Pajak. Tidak terdapat transaksi antara kedua perusahaan tersebut. Pengiriman barang dilakukan semata-mata karena permintaan pembeli di luar negeri. Perusahaan di luar negeri merupakan pembeli dari kedua perusahaan di Kawasan Berikat. Mengingat bahwa pengenaan Pajak Pertambahan Nilai harus melihat sifat transaksional dan substansi ekonominya (Keen & Hellerstein, 2009) sehingga harus terdapat nilai tambah yang dapat dilihat pada andanya keuntungan (Thuronyi, 1998), maka tidak terdapat keuntungan yang diperoleh perusahaan di Kawasan Berikat karena tidak terdapat substansi ekonomi terhadap pengiriman barang dari perusahaan di Kawasan Berikat ke perusahaan lainnya di Kawasan Berikat. Dalam hal ini tidak terdapat transaksi penjualan atau pembelian terkait dengan pengiriman alat pengemas baik bagi perusahaan di Kawasan Berikat ataupun bagi perusahaan lainnya di Kawasan Berikat.

Sebelum diberlakukannya 65/PMK.04/2021, di dalam praktek, terdapat keragaman pemahaman di kalangan petugas bea dan cukai sehubungan dengan penerbitan Faktur Pajak, yaitu : (1) terdapat petugas bea dan cukai yang tetap mewajibkan perusahaan di Kawasan Berikat menerbitkan Faktur Pajak mengacu pada Pasal 21 ayat (5) dan ayat (6) 131/PMK.04/2018 dengan kode transaksi 07 yaitu tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai karena alat pengemas akan digabungkan dengan hasil produksi perusahaan lainnya di Kawasan Berikat dengan nama pembeli adalah nama penerima barang, yaitu perusahaan lainnya di Kawasan Berikat dan bukan nama pembeli di luar negeri; dan (2) terdapat petugas bea dan cukai yang tidak mewajibkan perusahaan di Kawasan Berikat menerbitkan Faktur Pajak karena Kawasan Berikat masih dianggap sebagai bukan daerah pabean sehingga pemasukan barang ke Kawasan Berikat tidak perlu dibuatkan Faktur Pajak.

Di sisi lain, keragaman pemahaman juga terjadi di kalangan petugas pajak, yaitu (a) oleh karena barang masih berada di dalam daerah pabean Indonesia, petugas pajak beranggapan bahwa telah terjadi penyerahan Barang Kena Pajak sehingga harus diterbitkan Faktur Pajak dan oleh karena barang yang dimasukkan ke Kawasan Berikat akan digabungkan dengan hasil produksi perusahaan lainnya di Kawasan Berikat, maka petugas pajak mewajibkan perusahaan di Kawasan Berikat untuk menerbitkan Faktur Pajak dengan kode transaksi adalah 07 yaitu tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai karena alat pengemas akan digabungkan dengan hasil produksi perusahaan lainnya di Kawasan Berikat dengan nama pembeli adalah nama penerima barang, yaitu perusahaan lainnya di Kawasan Berikat dan bukan nama pembeli di luar negeri agar nama pembeli ini sama dengan yang tercantum pada dokumen kepabeanannya (sebenarnya, pembeli di luar negeri keberatan apabila nama pembeli di Faktur Pajak adalah nama perusahaan lainnya di Kawasan Berikat yang menerima barang karena perusahaan lainnya di Kawasan Berikat dapat mengetahui harga jual dari alat pengemas tersebut); dan (b) terdapat petugas pajak yang beranggapan bahwa perusahaan di Kawasan Berikat harus menerbitkan Faktur Pajak dengan nama pembeli adalah perusahaan di luar negeri dengan kode transaksi adalah 01 yaitu dipungut Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% karena beranggapan bahwa ketentuan tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai mengacu pada 131/PMK.04/2018 hanya diberikan apabila pembelinya adalah perusahaan di Kawasan Berikat dan oleh karena pembeli berada di luar daerah pabean dan tidak terdapat bukti bahwa barang telah keluar dari daerah pabean yang ditunjukkan melalui dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang, maka harus dipungut Pajak Pertambahan Nilai. Dalam hal ini, ekspor yang dilakukan secara tidak langsung dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%.

Setelah diberlakukannya 65/PMK.04/2021, terdapat ketentuan tambahan pada Pasal 20 dan Pasal 21 yaitu ayat (3a) dan (3b) yang menegaskan bahwa yang termasuk diberikan fasilitas tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai adalah terhadap bahan baku, bahan penolong, dan/atau pengemas dan alat bantu pengemas milik subjek pajak luar negeri yang ditujukan untuk diekspor dengan cara diolah atau digabung terlebih dahulu di Kawasan Berikat, sepanjang barang tetap berada dalam Kawasan Berikat sampai dengan dilakukannya ekspor. Artinya adalah bahwa apabila barang milik subjek pajak luar negeri bukan merupakan bahan baku, bahan penolong, dan/atau pengemas dan alat bantu pengemas, maka terhadap barang tersebut dikenakan Pajak Pertambahan Nilai walaupun barang tersebut ditujukan untuk diekspor.

Ketentuan ayat (3a) dan (3b) dari Pasal 20 dan Pasal 21 lebih memberikan penegasan bahwa terhadap pemasukan barang ke Kawasan Berikat yang bukan merupakan penyerahan Barang Kena Pajak tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai karena dapat terjadi pemasukan barang ke Kawasan Berikat merupakan milik perusahaan di luar negeri sehingga atas pengiriman barang ke perusahaan lainnya di Kawasan Berikat bukan merupakan penyerahan Barang Kena Pajak, melainkan merupakan penyerahan Barang Kena Pajak ke perusahaan di luar negeri. Ketentuan ayat (3a) dan (3b) dari Pasal 20 dan Pasal 21 menjadikan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak mencapai keadilan karena terhadap situasi yang sama dapat dikenakan Pajak Pertambahan Nilai yang berbeda jika jenis barang yang dimasukkan ke Kawasan Berikat bukan merupakan bahan baku, bahan penolong, dan/atau pengemas dan alat bantu pengemas dan oleh karena itu menjadikan ekspor yang dilakukan secara tidak langsung dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%. Sementara itu, berdasarkan destination principle, ekspor dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0%.

Sebagaimana disampaikan oleh (Thuronyi, 1998) bahwa arti dari menafsirkan undang-undang harus berdasarkan pada iktikat baik adalah bahwa pengenaan pajak harus berdasarkan undang-undang, maka jika undang-undang menyatakan bahwa ekspor dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai), ketentuan yang kedudukannya di bawah undang-undang tidak boleh mengenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%. Oleh karena itu, sebagaimana disampaikan oleh Pistone et al (2019) bahwa peraturan hukum (rule of law) harus melibatkan aspek praktis ketika hukum ditafsirkan dan diterapkan, maka administrasi perpajakan harus dapat mengimplementasikan dikenakannya Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% untuk ekspor baik dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, aturan pelaksanaan dari undang-undang yang disusun oleh administrasi perpajakan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang (Alink & Van Kommer, 2011). Sebagaimana disampaikan oleh (Keen & Hellerstein, 2009) bahwa di dalam menerapkan destination principle, maka �the place of consumption� harus dianggap sebagai wilayah hukum di mana pelanggan berada sehingga �the place of consumption� harus ditentukan berdasarkan perjanjian bisnis antara para pihak yang terikat pada perjanjian sehubungan dengan substansi ekonominya dan bukan berdasarkan pada kemungkinan lainnya seperti arus fisik barang, maka berdasarkan perjanjian antara perusahaan di luar negeri dan perusahaan di Kawasan Berikat, maka wilayah hukum pelanggan yaitu di mana pelanggan berada, dalam hal ini adalah di luar negeri, maka �the place of consumption� pada kasus dalam penelitian ini adalah �wilayah di luar negeri�. Dengan demikian, pembelian alat pengemas oleh perusahaan di luar negeri yang barangnya masih berada di Kawasan Berikat harus tetap dianggap sebagai ekspor karena �the place of consumption� sebagai wilayah hukum pembeli berada di luar negeri.

Adanya keragaman pemahaman sehubungan dengan diterbitkannya Faktur Pajak terhadap lalu lintas barang di Kawasan Berikat sebagaimana kasus yang disampaikan di atas, yaitu (i) tidak perlu diterbitkan Faktur Pajak; (ii) diterbitkan Faktur Pajak dengan kode transaksi 07 yaitu tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai; dan (iii) diterbitkan Faktur Pajak dengan kode transaksi 01 yaitu dipungut Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%, menunjukkan bahwa ketentuan 131/PMK.04/2018 sebagaimana telah diubah dengan 65/PMK.04/2021 tidak memberikan kepastian hukum bagi perusahaan di Kawasan Berikat.

Kewajiban menerbitkan Faktur Pajak bagi perusahaan di Kawasan Berikat yang posisinya sebenarnya adalah sebagai eksportir, telah mengakibatkan ekspornya diidentifikasi sebagai penyerahan di dalam daerah pabean dan oleh karenanya harus dilaporkan pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada Formulir A2 (penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak di dalam daerah pabean) dan bukan pada Formulir A1 (ekspor).

Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, yang dimaksud dengan ekspor adalah kegiatan mengeluarkan Barang Kena Pajak ke luar daerah pabean. Pada akhirnya, alat pengemas milik perusahaan di luar negeri akan diekspor oleh perusahaan lainnya di Kawasan Berikat. Dengan demikian, baik alat pengemas yang dihasilkan oleh perusahaan di Kawasan Berikat maupun barang hasil produksi perusahaan lainnya di Kawasan Berikat diekspor. Namun demikian, yang melakukan ekspor adalah perusahaan lainnya di Kawasan Berikat. Dalam hal ini, perusahaan di Kawasan Berikat melakukan ekspor, tetapi melalui perusahaan lainnya di Kawasan Berikat, atas permintaan pembeli di luar negeri.

Mengacu pada kasus yang disampaikan pada penelitian ini, secara substansi, perusahaan di Kawasan Berikat melakukan ekspor (secara tidak langsung), tetapi secara administrasi dianggap sebagai penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean karena barang dianggap masih berada di dalam daerah pabean. Sebagaimana tujuan dibentuknya Kawasan Berikat yaitu untuk meningkatkan investasi dan ekspor serta pengembangan industri nasional, maka terhadap pemasukan barang ke Kawasan Berikat diberikan beberapa fasilitas perpajakan antara lain adalah tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai, seharusnya sepanjang barang masih berada di Kawasan Berikat, maka seharusnya barang dianggap tidak berada di dalam daerah pabean. Namun demikian, adanya ketentuan sehubungan dengan penerbitan Faktur Pajak sejak diberlakukannya ketentuan 131/PMK.04/2018 menimbulkan kerumitan di dalam administrasi perpajakan di mana pengiriman barang ke perusahaan lainnya ke Kawasan Berikat yang substansi transaksinya adalah ekspor (secara tidak langsung), namun secara administrasi dianggap sebagai penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean. Hal ini disebabkan oleh karena tidak terdapat bukti adanya dokumen Pemberitahuan Ekspor sehingga harus diterbitkan Faktur Pajak dan dilaporkan di Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagai penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean.

Kesulitan di dalam melakukan pengawasan terhadap alur barang untuk ekspor yang dilakukan melalui beberapa perusahaan menyebabkan �di mana konsumsi dilakukan� untuk lalu lintas barang di Kawasan Berikat ditentukan mengacu pada �di mana dimanfaatkan�. Dalam kasus di dalam penelitian ini, alat pengemas dianggap dimanfaatkan di dalam daerah pebean. Dalam hal ini, Kawasan Berikat dianggap berada di dalam daerah pabean, hal ini tidak sejalan dengan pemberian fasilitas perpajakan seiring dengan tujuan dibentuknya Kawasan Berikat di mana Kawasan Berikat dianggap bukan sebagai daerah pabean.

Menentukan �di mana konsumsi dilakukan� mengacu pada �di mana dimanfaatkan� juga tidak sejalan dengan kelaziman bisnis karena perusahaan lainnya di Kawasan Berikat bukan pihak yang memanfaatkan barang. Pihak yang memanfaatkan barang pada akhirnya adalah konsumen di luar negeri sehingga �di mana barang dimanfaatkan� sebenarnya adalah di luar negeri ketika barang dikonsumsi oleh konsumen. Baik perusahaan di Kawasan Berikat ataupun perusahaan lainnya di Kawasan Berikat bukan pihak yang �melakukan konsumsi�. Kedua perusahaan tersebut masih sebagai bagian dari proses produksi, bukan konsumen. Dalam hal ini, hanya karena kesulitan di dalam melakukan pengawasan, maka ekspor yang pengiriman barangnya dilakukan melalui beberapa perusahaan di Kawasan Berikat sehingga pada tahapan awal sulit diyakini apakah pada akhirnya barang akan keluar dari daerah pabean, diperlakukan sebagai penyerahan Barang Kena� Pajak di dalam daerah pabean.

 

Kesimpulan

Ketentuan Pasal 20 dan Pasal 21 serta penambahan pada ayat (3a) dan (3b) sehubungan dengan penerbitan Faktur Pajak pada lalu lintas barang di Kawasan Berikat mengakibatkan kerumitan di dalam pelaksanaannya. Hal ini dibuktikan dengan adanya keragaman pemahaman terkait dengan interpretasi atas lalu lintas barang di Kawasan Berikat karena atas peristiwa yang sama dapat diartikan sebagai eskpor atau dapat diartikan sebagai penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean ataupun dapat dianggap masih berada di luar daerah pabean sehingga memunculkan beragam pendapat sehubungan dengan penerbitan Faktur Pajak pada lalu lintas barang di Kawasan Berikat. Bagi para pelaku usaha, perpajakan menjadi tidak pasti dan hal ini menimbulkan kesulitan di dalam mengantisipasi kemungkinan-kemunkinan yang dapat terjadi sehubungan dengan penerapan ketentuan perpajakan.

Administrasi perpajakan belum dapat memfasilitasi lalu lintas barang di Kawasan Berikat karena berdasarkan destination principle dan Pasal 4 ayat (1) huruf f, g, dan h jo Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai mengenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% untuk ekspor, namun administrasi perpajakan dapat mengenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% atau tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan alasan kesulitan di dalam melakukan pengawasan. Dalam hal ini, pengenaan Pajak Pertambahan Nilai ditentukan berdasarkan alasan teknis pengawasan dan bukan berdasarkan pada substansi transaksi dan ekonominya.

Untuk itu, Kementerian Keuangan bersama dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Direktorat Jenderal Pajak harus melakukan review dan mensinergikan aturan-aturan yang diterbitkan sehubungan dengan Kawasan Berikat dengan mengikuti perkembangan perdagangan internasional sehingga mudah dilaksanakan oleh para pemangku kepentingan khususnya oleh wajib pajak dan Direktorat Jenderal Pajak harus menerbitkan suatu dokumen yang dipersamakan dengan Pemberitahuan Ekspor Barang untuk ekspor yang dilakukan oleh perusahaan di Kawasan Berikat yang ekspornya dilakukan secara tidak langsung agar administrasi perpajakan dapat dijalankan sesuai dengan konsep yang dianut oleh Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan ketentuan perpajakan yang berlaku.

 

 


BIBLIOGRAFI

 

Alink, Matthijs, & Van Kommer, Victor. (2011). Handbook on tax administration. IBFD. Google Scholar

 

Alm, James. (2019). Can Indonesia Reform Its Tax System?: Problems and Options. Tulane University, Department of Economics. Google Scholar

 

Bank, The World. (2020). World Development Report 2020 : Trading for Development In The Age of Global Value Chains. Washington, DC : World Bank Group.

 

Basnukaev, M. Sh, Vasileva, M. V, Korostelkin, M. M., Dzagoeva, M. V, & Mambetova, A. A. (2019). Study Of Tax Administration Mechanisms Used For Implementing Government Tax Policies. The European Proceedings of Social & Behavioural Sciences EpSBS, 252�258. Google Scholar

 

Demin, Alexander V. (2020). Certainty and Uncertainty in Tax Law: Do Opposites Attract? Laws, 9(4), 30. Google Scholar

 

Keen, Michael, & Hellerstein, Walter. (2009). Interjurisdictional Issues in the Design of a VAT. Tax l. Rev., 63, 359. Google Scholar

 

Lune, Howard, & Berg, Bruce L. (2017). Qualitative research methods for the social sciences. Pearson. Google Scholar

 

Onu, Diana, & Oats, Lynne. (2018). Tax talk: An exploration of online discussions among taxpayers. Journal of Business Ethics, 149(4), 931�944. Google Scholar

 

Saad, Natrah. (2014). Tax knowledge, tax complexity and tax compliance: Taxpayers� view. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 109, 1069�1075. Google Scholar

 

Savić, Gordana, Dragojlović, Aleksandar, Vujo�ević, Mirko, Arsić, Milojko, & Martić, Milan. (2015). Impact of the efficiency of the tax administration on tax evasion. Economic Research-Ekonomska Istra�ivanja, 28(1), 1138�1148. Google Scholar

 

Taufik, Kurniawan. (2018). Modernization of the tax administration system: a theoretical review of improving tax capacity. E3S Web of Conferences, 73, 10022. EDP Sciences. Google Scholar

 

Thuronyi, Mr Victor. (1998). Tax Law Design and Drafting, Volume 2 (Vol. 2). International Monetary Fund. Google Scholar

 

Walidin, Warul, Idris, Saifullah, & Tabrani, Z. A. (2015). Metodologi penelitian kualitatif & grounded theory. Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press. Google Scholar

 

Walsh, Keith. (2012). Understanding taxpayer behaviour�new opportunities for tax administration. The Economic and Social Review, 43(3, Autumn), 451�475. Google Scholar

 

Copyright holder:

Siti Rahayu, Titi Muswati Putranti (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: