Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 4, April 2022

 

PENGARUH KEBIJAKAN PEMERINTAH MILITER JEPANG TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL- MILITER DI KEDU-SYUU TAHUN 1942-1945

 

Dany Wahyu Praditya, Linda Sunarti

Universitas Indonesia, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh kebijakan pemerintah Militer Jepang terhadap dinamika sosial yang terjadi di Kedu-Syuu yang di dalamnya mencangkup permasalahan pemerintahan, ekonomi, hingga militer. Sumber penelitian ini menggunakan sumber berupa arsip surat kabar dan gambar sezaman, buku, dan karya ilmiah selaras dengan pembahasan. Karesidenan Kedu atau Kedu-Syuu merupakan bagian penting pemerintahan pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Kedu-Syuu terdiri dari Magelang, Kebumen, Temanggung, Purworejo, dan Wonosobo. Topografi Kedu-Syuu memiliki kekayaan alam dan sumber daya manusia, maka dari itu pada masa pendudukan Jepang, Kedu-Syuu merupakan salah satu pemasok tenaga kerja dan pasukan pemerintahan Militer Jepang. Masa pendudukan Jepang di Kedu-Syuu ditandai dengan Program Kinkyu Shokuryo Taisaku dan Fujinkai sehingga membawa dampak perubahan sosial. Melalui penelitian ini, dapat diketahui bahwa pada masa pendudukan Jepang terjadi perubahan dinamika sosial dari sisi militer dan kehidupan sosial dalam bentuk peningkatan hasil panen padi. Tingkat kedisiplinan yang diterapkan oleh pemerintah Militer Jepang secara tidak langsung membangkitkan semangat nasionalisme. Hal tersebut dapat dilihat dari pembentukan pasukan Fujinkai di Kedu-Syuu.

 

Kata Kunci: kedu-syuu, pendudukan Jepang, kebijakan militer

 

Abstract

This article aims to explain the influence of the Japanese military government's policy on the social dynamics that occur in Kedu-Syuu which includes government, economic, and military issues. The sources of this research use sources in the form of newspaper archives and contemporary pictures, books, and scientific works in line with the discussion. The Kedu Residency or Kedu-Syuu was an important part of the government during the Japanese occupation of Indonesia. Kedu-Syuu consists of Magelang, Kebumen, Temanggung, Purworejo, and Wonosobo. Kedu-Syuu's topography has natural wealth and human resources, therefore during the Japanese occupation, Kedu-Syuu was one of the suppliers of manpower and Japanese military government troops. The period of Japanese occupation in Kedu-Syuu was marked by the Kinkyu Shokuryo Taisaku and Fujinkai Programs that brought about social changes. Through this research, it can be seen that during the Japanese occupation there were social dynamics change in terms of military and social life in the form of increasing rice yields. The level of discipline applied by the Japanese military government indirectly raised the spirit of nationalism. This can be seen from the formation of the Fujinkai troops in Kedu-Syuu.

 

Keywords: kedu-syuu, Japanese occupation, military policy

 

Pendahuluan

Masa pendudukan Jepang di Indonesia sering disebut sebagai masa kelam sejarah Indonesia. Pemerintahan Militer Jepang yang menduduki wilayah Indonesia pada tahun 1942 hingga 1945 bertindak kejam kepada penduduk untuk keperluan perang. Sering kali masa pendudukan Jepang di Indonesia lebih kejam daripada masa Belanda menjajah Indonesia. Jepang yang datang ke Indonesia pada awal 1942 hingga pertengahan tahun (Agustus 1942) mengumumkan untuk mengaktifkan kembali struktur pemerintahan di tingkat Karesidenan dengan mengubah menjadi Syuu (Susanto Zuhdi, 2016:19). Pemerintahan Militer Jepang melalui Gunseikan membagi Syuu menjadi Shi (Kota), Ken (Kabupaten), Gun (Kawedanan), Son (Kecamatan), dan Ku (Kelurahan atau desa) (Sagimun, 1985:32). Kedu-Syuu terdiri dari Magelang-Shi, Magelang-Ken, Kebumen-Ken, Temanggung-Ken, Purworejo-Ken, dan Wonosobo-Ken.

Kedu-Syuu memiliki peran yang penting dalam sejarah pendudukan Jepang di Indonesia. Kedu-Syuu memiliki potensi sumber daya manusia dan alam melimpah dan dimanfaatkan oleh pemerintah Militer Jepang. Potensi alam berupa lahan pertanian yang luas dan jumlah penduduk yang banyak sehingga pemerintah Militer Jepang membentuk badan semi-militer Fujinkai (Sinar Baroe, 1945). Fujinkai adalah badan semi-militer yang berisikan penduduk perempuan yang dilatih dengan sistem militer. Tujuan dibentuknya Fujinkai adalah melatih penduduk yang disiapkan sebagai tenaga tambahan dalam menghadapi perang dan menjaga wilayah masing-masing (Sihombing, 1963:129).

Berdasarkan penjelasan diatas, pendudukan Jepang yang dilakukan di Kedu-Syuu membawa perubahan baik dari sisi pemerintahan hingga sosial. Dinamika yang terjadi memberikan warna baru bagi historiografi Karesidenan Kedu atau Kedu-Syuu. Sejarah zaman pendudukan Jepang yang sering dikaitkan dengan masa kelam dengan berbagai siksaan dalam bentuk kerja paksa, tingginya angka kematian penduduk, pada kenyataannya juga membawa dampak positif, di antaranya semangat nasionalisme dalam bentuk badan Fujinkai, dan pengetahuan inovasi mengenai penanaman padi dan lahan melalui program Kinkyu Shokuryo Taisaku. Penelitian ini membahas kondisi Kedu-Syuu pada masa pendudukan Jepang dan pengaruh kebijakan pemerintah Militer Jepang terhadap kondisi sosial masyarakat Kedu-Syuu.

Kajian literatur penelitian terdahulu dalam penelitian ini adalah artikel ilmiah Kediri-Syuu Masa Pendudukan Jepang: Pengaruh Kebijakan Pemerintah Militer Jepang Terhadap Kehidupan Sosial Tahun 1942-1945 karya Wiretno dan Edy Budi Santoso. Penelitian tersebut membahas mengenai dinamika sosial masyarakat Kediri-Syuu akibat penerapan kebijakan Militer Jepang yang datang ke Kediri pada tahun 1942-1945. Penelitian ini menekankan kebijakan militer pemerintah Militer Jepang menekankan pembentukan semangat juang sehingga menimbulkan semangat nasionalisme tinggi dan menyoroti badan semi-militer Pembela Tanah Air (PUTERA) dan pemberontakan PUTERA yang dipimpin oleh Supriyadi. Kajian literatur kedua adalah Rising Sun in the Eastern Horizon of Jawa: The Occupation of Japanese 16th Army in Banyuwangi, East Jawa 1942-1945 karya Gema Budiarto, Dewi Yulianti, dan Dhanang Respati Puguh. Penelitian ini membahas mengenai kebijakan pemerintah Militer Jepang di Banyuwangi yang menekankan pembentukan badan semi-militer untuk keperluan perang Asia Timur Raya. Pembentukan badan semi-militer serta pemanfaatan sumber daya manusia masyarakat Banyuwangi sebagai personel perang menimbulkan perubahan sosial, terutama peningkatan semangat juang masyarakat Banyuwangi yang berfokus kepada penyerangan ke bagian selatan (Australia).

Penelitian ini membawa pembaruan dalam bentuk historiografi Kedu yang kurang disorot sejarawan, terlebih mengenai kajian sejarah pendudukan zaman Jepang. Melalui penelitian ini, diharapkan menambah khazanah kajian sejarah Jepang di Indonesia dan sejarah zaman Pendudukan Jepang di Kedu.

 

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode sejarah yang terdiri dari pengumpulan sumber (heuristik), kritik sumber, interpretasi, dan penulisan sejarah (historiografi). Sumber penelitian utama berupa arsip surat kabar sezaman yang didapat dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Arsip Provinsi Jawa Tengah , dan Perpustakaan Daerah Kota Magelang. Selain sumber data berupa koran sezaman, penelitian ini menggunakan buku dan artikel ilmiah yang mendukung dengan penelitian ini.

Tahapan penelitian ini bermula dari pemilihan topik mengenai kajian sejarah pendudukan Jepang di Kedu-Syuu, dilanjutkan dengan proses Heuristik, pada tahap ini penulis mengumpulkan sumber-sumber yang relevan dengan masalah yang akan dikaji, yaitu mengenai sejarah pendudukan Jepang di Kedu-Syuu pada tahun 1942 hingga tahun 1945 dengan menggunakan sumber primer dan sekunder. Penulis menggunakan sumber-sumber primer dan sekunder untuk menunjang hal-hal lain yang belum mampu terjawab, sumber primer terdapat koran terbitan tahun 1942 hingga 1946 antara lain Asia Raya, Sinar Baroe, dan Tjahaja. Dalam ketiga koran tersebut, terdapat data yang mengemukakan kondisi kehidupan masyarakat di wilayah Kedu-Syuu, seperti di Kebumen-Ken, Purworejo-Ken, Temanggung-Ken, Wonosobo-Ken, Magelang-Ken dan Magelang-Shi.

Sumber sekunder tersebut berupa, buku, jurnal, artikel serta tulisan-tulisan terdahulu yang mirip dengan tema penelitian sejarah pada masa pendudukan Jepang hingga revolusi kemerdekaan yang dikumpulkan dari perpustakaan. Buku tersebut adalah Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI karya Marwati Djoened Poeponegoro, Metodologi Sejarah karya Kuntowijoyo, Mengerti Sejarah karya Louis Gottschalk, Bogor Zaman Jepang 1942-1945 karya Susanto Zuhdi, buku Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945 karya Aiko Kurasawa. Setelah sumber sekunder terkumpul tahap selanjutnya adalah kritik sumber. Kritik sumber dibagi menjadi dua yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Sumber-sumber yang ada diseleksi agar menjadi fakta yang bisa digunakan dalam penulisan. Kritik ekstern data-data dan sumber dilakukan untuk menguji otentik, keaslian, turunan, palsu serta relevan tidaknya sumber-sumber data yang dikumpulkan. Kritik intern dilakukan menguji terhadap isi atau kandungan sumber yang telah diuji pada kritik ekstern.

Interpretasi atau penafsiran menurut Kuntowijoyo merupakan menghubungkan fakta-fakta yang telah ditemukan hingga kemudian mengartikan dan mengolahnya sehingga dapat merekonstruksi sejarah dengan baik. Intepretasi terbagi menjadi dua jenis yaitu analisis (menguraikan) dan sintesis (menyatukan) (Kuntowijoyo, 2003). Tahap ini penulis menggabungkan fakta-fakta yang telah dikritik sebelumnya menjadi satu runtutan peristiwa secara kronologis dengan baik sebelum tahap penulisan sejarah.

Tahapan akhir dari penelitian ini adalah historiografi atau penulisan sejarah. Historiografi merupakan penulisan hasil interpretasi oleh penulis berdasarkan sumber yang ditemukan, menjadi sebuah tulisan sejarah yang baru (Gottschalk & Notosusanto, 1975). Hasil tulisan ini menjadi bagian dari kajian sejarah sosial dalam konteks demografi. Namun, penulis menyadari bahwa penelitian ini nantinya masih dapat dikembangkan menjadi sebuah penelitian baru yang lebih spesifik.

 

Hasil dan Pembahasan

Pendudukan Karesidenan Kedu oleh Jepang ditandai dengan kedatangan Jepang yang masuk melalui Kebumen. Belanda mempunyai inisiatif dengan membakar tangki bensin agar Jepang tidak memperoleh bahan bakar. Disisi lain, Belanda mundur ke Cilacap dan pergi ke Australia. Pada saat di Gombong, tentara Belanda yang mundur ke Cilacap pada saat itu terdapat tiga batalion. Setelah Belanda menyerah, sejak itu kekuasaan Belanda beralih ke Jepang. Kemudian Jepang menempati benteng dan sekolah-sekolah sebagai markasnya, sedangkan di Gombong, Jepang menempati pendopo Kawedanan (Kartodirdjo, Poesponegoro, & Notosusanto, 1975). Sehari setelahnya, Belanda menyatakan menyerah dan Jepang memulai pendudukannya di Indonesia pada tanggal 8 Maret 1942 melalui perjanjian Kalijati (Himawan Soetanto, 2010:507). Melalui perjanjian Kalijati tersebut, Jepang menerbitkan Undang-undang Nomor 1 yang berisi melangsungkan pemerintahan militer di wilayah yang ditempati.

Awal hingga pertengahan tahun 1942 merupakan transisi peralihan dari pemerintahan kolonial Belanda ke pemerintahan militer Jepang. Bulan Agustus 1942 dibentuk suatu pemerintahan yang dikepalai oleh Gubernur Militer yang disebut Gunseikan (Ricklefs, 2005). Di bulan yang sama, terdapat pengumuman pengaktifan kembali struktur pemerintahan setingkat Karesidenan yang disebut Syuu atau Shu. Kepala pemerintahan Syuu disebut Syuucho atau Shutyoo. Jabatan kepala daerah Syuu disebut Shutyoo-kan. Selain Syuu, terdapat beberapa wilayah yang memiliki keistimewaan dalam bentuk daerah istimewa yang disebut Koci/Kooti, seperti Yogyakarta dan Surakarta. Selain Yogyakarta-koci dan Surakarta-koci, Jakarta juga mempunyai bentuk daerah istimewa yang disebut Jakarta Tokubetsu Shi. Daerah Syuu dibagi menjadi Shi setingkat dengan kota, Ken dengan wilayah setingkat kabupaten, Gun atau kawedanan, Son untuk kecamatan dan Ku untuk kelurahan atau setingkat desa (Sagimun, 1985:32). Struktur pemerintahan daerah baru menggantikan sistem pemerintahan daerah lama pada masa penjajahan Belanda.

Administrasi Kedu-Syuu terdiri dari Magelang-Shi, Magelang-Ken, Kebumen-Ken, Purworejo-Ken, Temanggung-Ken, dan Wonosobo-Ken. Magelang-Shi dipilih menjadi ibu kota dari Kedu-Syuu. Pemilihan Magelang-Shi menjadi ibu kota Kedu-Syuu tidak lepas dari kondisi geografis Magelang-Shi yang dekat dengan Yogyakarta-Kooti untuk berkoordinasi dalam membuat kebijakan khususnya mengenai pertanian dan perkebunan dalam memenuhi kebutuhan perang. Fasilitas lain yang mendukung pemilihan Magelang-Shi menjadi ibu kota Kedu-Syuu adalah sarana pendidikan dan industri tempe yang dekat dengan Kebumen-Ken.

Masyarakat Kedu memiliki karakteristik masyarakat agraris dengan struktur penduduk homogen. Namun dalam masyarakat Kedu, terdapat mayoritas suku Jawa dan sebagian lain seperti etnis Tionghoa, orang Arab, hingga peranakan Eropa yang sudah lebih lama tinggal di Kedu-Syuu. Meskipun terdapat perbedaan etnis, jarang terjadi pertikaian antar masyarakat Kedu. Mata pencaharian masyarakat Kedu mayoritas adalah petani. Karena mayoritas petani inilah Kedu-Syuu mendapat perhatian lebih dari pemerintah Militer Jepang terkait sumber daya padi dan perkebunan.

Kedu-Syuu yang terdiri dari Magelang, Kebumen, Purworejo, Temanggung, dan Wonosobo memiliki karakteristik geografis yang sama. Kondisi geografis yang bagus dalam bidang pertanian dan perkebunan menjadikan Kedu-Syuu sebagai daerah penghasil padi yang besar pada masa pendudukan Jepang. Situasi perang Pasifik pada saat pendudukan Kedu-Syuu oleh Jepang membuat pemerintah Militer Jepang mengambil inisiatif untuk mencari simpati kepada masyarakat dengan menurunkan harga sewa tanah dan rumah melalui instruksi Shutyoo-kan Kedu.

Kondisi ekonomi Kedu pada masa pendudukan Jepang mengalami dampak akibat masa transisi pendudukan Belanda ke Jepang (Darmosugito, 1982). Dalam sistem sewa rumah yang ada di Magelang-Shi, terjadi penurunan harga sewa rumah yang diperuntukkan kepada pegawai-pegawai negeri yang umumnya bekerja di sektor strategis pemerintahan Jepang. Sistem sewa rumah di Kedu-Syuu tidak hanya diperuntukkan kepada pegawai negeri saja, melainkan terdapat rumah yang dapat disewakan untuk masyarakat umum. Sewa rumah yang diperuntukkan pegawai negeri pembayarannya dipotong melalui gaji. Awalnya, pemotongan gaji untuk sewa rumah sebesar 15%, hingga turun menjadi 11% (Asia Raya, 1942b). Untuk sewa rumah yang diperuntukkan masyarakat umum, rata-rata mengalami penurunan harga hingga mencapai 30-40%. Sebagai contoh, di Magelang-Shi mengalami perubahan harga dari f 30 menjadi f 20. Lalu dari harga f 52.50 diturunkan menjadi f 30. Hal ini terjadi karena mengikuti aturan dan instruksi dari Shityoo-kan setempat yang mewajibkan menurunkan harga sewa rumah. Namun terdapat beberapa aturan khusus, yaitu harga turun sewa rumah dengan harga di bawah f 10, mengalami penurunan yang tidak signifikan, namun hanya f 1 hingga f 1,50.

 

Tabel 1

Penurunan harga sewa Rumah di Kedu-Syuu

No.

Harga Sewa Awal

Harga Sewa Baru

1.

f 52.50

f 30

2.

f 30

f 20

3.

f 10

f 9 hingga f 8.50

Sumber: Asia Raya, 17 Juni 1942

Kebijakan dijalankan rakyat harus melalui persetujuan terlebih dahulu. Jika dalam sistem sewa rumah sudah ada persetujuan dan aturan dari Shityoo, berbeda dengan pedagang bahan pokok. Pedagang barang pokok seperti beras, minyak kelapa khusus eceran, harus dapat izin berdagang dari Shityoo dan Kentyoo, sesuai dengan wilayah administrasi masing-masing. Hal tersebut tertuang dalam Maklumat dan Undang-undang yang diterbitkan pada tanggal 10 dan 12 Juni 1942 melalui persetujuan Shityoo dan Kentyoo setempat (Asia Raya, 1942a).

Permasalahan yang melanda Kedu-Syuu tidak berhenti pada sektor ekonomi saja. Akibat dari eksploitasi sumber daya alam dan manusia yang berlebihan, terjadi wabah penyakit pes di Kebumen-Ken, Purworejo-Ken, hingga Magelang-Ken. Lambat laun wabah penyakit pes ini juga merambah hingga ke Magelang-Shi sehingga pemerintah Militer Jepang menanggulangi wabah penyakit dengan vaksinasi. Vaksinasi dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1942 yang dipelopori oleh Barisan Kesehatan Nippon. Selain program vaksinasi, terdapat langkah penanggulangan berupa masyarakat yang sudah terkena penyakit pes, akan dipisah (karantina) di masing-masing kampung dengan jarak 150m dari pusat kampung. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari penularan penyakit pes (Asia Raya, 1942b)dan (Asia Raya, 1942a).

Keadaan sosial masyarakat yang memburuk akibat wabah penyakit pes membuat pemerintah Militer Jepang berusaha membangun masyarakat yang sehat dan produktif, di antarannya pemberdayaan daun pisang yang sudah dikeringkan untuk dijadikan sabun untuk rakyat dan dapat diperjualbelikan seharga f 0,50. Pemberdayaan dur ulang limbah daun pisang tersebut berpusat di Kebumen-Ken. Namun pada kenyataannya kebijakan pemerintah Jepang dalam melatih pemberdayaan hasil limbah daun pisang kepada rakyat dinilai tidak terlalu sukses, karena hanya sedikit masyarakat yang tertarik dan antusias untuk mengikuti kegiatan pemberdayaan limbah tersebut (Tjahaja, 1943a). Pemberdayaan kebutuhan rakyat tidak hanya dengan melakukan pemberdayaan daun pisang. Namun juga terdapat pemberdayaan produksi membuat celana karet dengan target pasar petani di Kebumen-Ken dan Purworejo-Ken. Karena biaya produksinya rendah, hasil yang didapatkan bisa maksimal dan dapat dijual dengan harga murah ke petani. Harga satuan celana karet tersebut adalah 35 sen per potongnya. Hasil produksi celana karet selama tiga bulan terhitung sejak 24 Agustus 1943, sudah ada 2000 celana yang berhasil di produksi (Tjahaja, 1943b). Kebijakan pemberdayaan yang dilakukan pemerintah Jepang pada nyatanya dilihat kesempatan bagi rakyat yang ingin menggunakan barang sisa yang tidak sesuai dengan instruksi. Sebagai contoh, terdapat kasus tempe beracun di Kebumen-Ken sehingga menyebabkan korban jiwa sebanyak 7 orang dalam satu kampung di daerah Petanahan. Hal tersebut akibat beredarnya tempe yang diolah menggunakan ampas tahu dan ampas kelapa. Akibat dari kasus tempe beracun tersebut, Keisatsubu (departemen kepolisian) turun tangan dan melarang rakyat untuk membuat tempe dengan bahan dasar ampas tahu dan ampas kelapa (Tjahaja, 1 September 1943).

Situasi perang yang semakin memanas pada tahun 1943 membuat Jepang membutuhkan padi sebagai bahan makanan pemasok kebutuhan perang. maka dari itu, pemerintah Militer Jepang berinisiasi membuat kebijakan untuk meningkatkan penghasilan bahan pokok. Pemerintah militer Jepang melalukan sebuah revolusi pertanian dengan tujuan meningkatkan hasil produktivitas petani di sawah dan meningkatkan hasil padi. Pada tahun 1943 pemerintah Jepang menerapkan kebijakan Kinkyu Shokuryo Taisaku.

Kinkyu Shokuryo Taisaku merupakan program yang diadakan pemerintah militer Jepang yang bertujuan untuk meningkatkan hasil pertanian di Kedu-Syuu dengan cara melakukan pelatihan kepada petani mengenai ilmu pertanian. Pelatihan tersebut antara lain memberikan pengetahuan mengenai inovasi mengenai bibit padi, teknik penanaman, memperluas wilayah pertanian, hingga pelatihan meningkatkan skill petani (Kurasawa, 2015). Contoh pengelolaan tanah pertanian dan perkebunan yang menjadi sasaran program Kinkyu Shokuryo Taisaku adalah pengelolaan sayuran. Contoh pengelolaan sayuran yang baik dalam program Kinkyu Shokuryo Taisaku di antaranya pengelolaan tanah (seperti pembagian tanah utama 1/3 bagian, tanah pasir 1/3 bagian dan pupuk 1/3 bagian, hingga kedalaman tanah yang baik untuk menanam sayuran adalah sedalam 30 cm), sayuran apa yang harus ditanam (syarat utama adalah sayuran yang dikonsumsi masyarakat seperti tomat, cabai, dan terong), dan pengelolaan pupuk (jika menggunakan pupuk kompos, maka pembagian tanahnya menjadi tanah utama � bagian, tanah pasir � bagian, dan pupuk kompos 1/8 bagian). Tata cara pengelolaan ilmu pertanian dan perkebunan yang diajarkan pemerintah Militer Jepang memberikan ilmu baru bagi petani untuk meningkatkan kualitas dan hasil pertaniannya (Kurasawa, 2015).

Program Kinkyu Shokuryo Taisaku membawa dampak positif bagi sebagian masyarakat. Peningkatan keahlian petani dalam mengelola area pertaniannya di sebagian wilayah mendapat reaksi yang positif. Sebagai contoh, di Kebumen-Ken, pada Agustus 1943 diadakan kegiatan amal pemberian beras yang dicanangkan oleh pemerintah Militer Jepang bagi masyarakat miskin. Kegiatan amal pemberian beras tersebut dimulai dari petani-petani yang memberikan hasil padinya seberat 1 kg dan diserahkan ke Balai Desa untuk dipilih beras yang akan disimpan di balai desa dan diberikan kepada masyarakat miskin dan cacat (Asia Raya, 1943).

Pembagian hasil padi di Kedu-Syuu dilakukan oleh badan bentukan Jepang yang bernama Ku Noogyo Kuminai (Asia Raya, 1945). Pembentukan badan penyalur hasil padi juga dilakukan di wilayah Jawa lain, seperti di Priangan-Syuu. Badan Ku Noogyo Kuminai bertugas untuk mendistribusikan pertanian dan perkebunan yang merupakan hasil dari program Kinkyu Shokuryo Taisaku. Pendistribusian padi dilakukan di dalam wilayah maupun hingga ke luar Kedu-Syuu. Pembentukan Ku Noogyo Kuminai juga terjadi di Priangan-Syuu dan Pekalongan-Syuu untuk mendistribusikan hasil pertanian dan perkebunan daerah.

Usaha pemerintah Militer Jepang dalam meningkatkan pasokan makanan untuk kebutuhan perang, juga diiringi dengan pembentukan badan militer untuk menjaga wilayah masing-masing dan sebagai personel tambahan. Di Kedu-Syuu pembentukan tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang berpusat di Magelang-Shi. Namun untuk keseluruhan Kedu-Syuu, ada satu badan semi-militer yang bertugas mengawasi sisi pantai untuk berjaga jika ada musuh menyerang. Badan semi-militer tersebut adalah Fujinkai, badan semi-militer yang berisikan penduduk perempuan yang dilatih dengan sistem militer (Sinar Baroe, 1945). Anggota Fujinkai dipersiapkan sebagai tenaga tambahan dalam menghadapi perang dan menjaga wilayah masing-masing (Sihombing, 1963:128). Di Kedu-Syuu, anggota Fujinkai berlatih menggunakan bambu runcing dan bertugas berjaga di wilayah pantai. Badan Fujinkai tidak hanya ada di Kedu-Syuu, melainkan ada di beberapa wilayah lain, seperti Cirebon-Syuu, Banyumas-Syuu, Yogyakarta-Kooti (Sihombing, 1963:129). Setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda. Seperti di Kedu-Syuu anggota Fujinkai berlatih menggunakan bambu runcing dan berjaga di garis pantai, sedangkan di Banyumas-Syuu anggota Fujinkai berlatih dengan bambu runcing dan diadakan pelatihan pemintalan bahan tenun. Di Yogyakarta-Kooti, anggota Fujinkai akan dilatih bertahan hidup di dapur pembelaan dan pelatihan semi-militer lainnya.

Anggota Fujinkai yang mayoritas adalah perempuan, maka terjadi kontroversi dalam pengangkatan perempuan dan ibu ke dalam ranah militer. Namun pergolakan masyarakat yang terjadi pada nyatanya hanya dihiraukan oleh pemerintah Militer Jepang. Melalui Shutyoo-kan, anggota Fujinkai dilatih menggunakan senjata dan sistem militer. Selain dilatih dengan senjata, anggota Fujinkai juga mengajarkan dan menyebarluaskan menu pangan sebagai pengganti bahan pokok padi yang semakin langka akibat adanya kebijakan wajib serah padi. Maka dari itu, terjadi perluasan makna terhadap istilah ibu dan perempuan. Istilah ibu dan perempuan kerap kali diibaratkan sebagai sosok lemah lembut dan mengayomi, maka pada zaman pendudukan Jepang, sosok ibu dan perempuan menjadi sosok tangguh dan bekerja keras hingga mengangkat senjata. Pergeseran makna yang terjadi merupakan dinamika sosial yang terjadi di Kedu-Syuu pada masa pendudukan Jepang. Disisi lain, pembentukan Fujinkai memberikan pengalaman dan pemahaman baru bagi perempuan bahwa peran perempuan tidak hanya sebatas di dapur saja.

����������� Pendudukan Jepang di Indonesia pada halaman sejarah memberikan warna baru dalam historiografi Indonesia. Perubahan sosial yang terjadi di Kedu-Syuu menjadi bukti bahwa jika ada sistem baru yang masuk secara langsung maupun tidak langsung akan membawa perubahan. Sebelum kedatangan Jepang, masyarakat Kedu-Syuu mayoritas bekerja sebagai petani. Namun setelah Jepang datang, masyarakat dituntut untuk memberikan tenaga lebih dalam memenuhi kebutuhan pangan perang. Disisi lain, masyarakat dan sebagian petani dituntut untuk memiliki keahlian dalam bidang militer untuk mempertahankan wilayah dari serangan musuh dan sebagai tenaga personel tambahan dalam perang Jepang melawan Sekutu. Perubahan struktur masyarakat tersebut menjadi suatu gambaran bagaimana perlakuan pemerintah Militer Jepang yang datang ke Indonesia untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia. Perbedaan antara Belanda dan Jepang pada saat menduduki Kedu terlihat jelas dalam memenuhi kebutuhan pangan dan tenaga manusia. Dampak yang dirasakan masyarakat (khususnya menengah ke bawah) akibat sistem pemerintah Militer Jepang terlihat dari munculnya wabah penyakit akibat kebutuhan pangan tidak terpenuhi (sebagian besar dialihkan untuk keperluan perang), masyarakat yang berusaha menciptakan produk limbah baru justru mengalami keracunan makanan karena minimnya pengetahuan daur ulang limbah, hingga diharuskan ikut pelatihan militer.

����������� Dinamika sosial yang terjadi pada masa pendudukan Jepang di Kedu-Syuu di antarannya terjadi pergeseran makna pemuda, ibu dan perempuan. Jika pada awalnya pemuda hanya dikaitkan dengan belajar dan berpikir, maka pada zaman pendudukan Jepang pemuda menjadi komponen penting sebagai personel militer yang memiliki potensi tinggi. Sama halnya dengan pemuda, ibu dan perempuan juga mengalami pergeseran makna. Sosok ibu dan perempuan pada zaman pendudukan Jepang berubah menjadi sosok yang kuat dan dapat memegang senjata, tidak hanya sebatas bekerja di dapur saja.

 

Kesimpulan

Masa pendudukan Jepang dianggap sebagai zaman yang penuh rasa tidak pasti (akibat perang yang melanda dan masyarakat Kedu-Syuu dituntut untuk aktif berperang), namun disisi lain memberikan kesempatan untuk mengisi kekosongan historiografi zaman Jepang. Selama tiga setengah tahun (1942-1945), pemerintah Militer Jepang dianggap sewenang-wenang dalam memberikan kebijakan kepada masyarakat. Akibat kebijakan yang menuai kontra di masyarakat, sering terjadi kontroversi dari masyarakat. Namun, tidak semua kebijakan berdampak buruk. Dampak positif yang ditimbulkan dari pendudukan Jepang di Kedu-Syuu di antaranya program Kinkyu Shokuryo Taisaku yang membawa dampak besar bagi bahan pangan Kedu-Syuu. Disisi lain, hasil dari pembentukan badan semi-militer Fujinkai untuk perempuan secara tidak langsung membentuk kesadaran nasionalisme kepada masyarakat Kedu untuk membela tanah air untuk berjuang sampai mati.

 


BIBLIOGRAFI

 

Asia Raya. (1942a). "Soentikan melawan Pes� (19th ed.).

 

Asia Raya. (1942b). �Sewa Roemah Ditoeroenkan� (17th ed.).

 

Asia Raya. (1943). �Tjelana Karet� (27th ed.).

 

Asia Raya. (1945). �Padi, Bahan Hidoep dan Bahan Perang!� (2nd ed.).

 

Darmosugito, Pitoyo. (1982). Menjelang Indonesia Merdeka: Kumpulan tulisan tentang bentuk dan isi negara yang akan lahir. Gunung Agung. Google scholar

 

Gottschalk, Louis, & Notosusanto, Nugroho. (1975). Mengerti sejarah: pengantar metode sejarah. Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Google scholar

 

Kartodirdjo, Sartono, Poesponegoro, Marwati Djoened, & Notosusanto, Nugroho. (1975). Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuno (Vol. 2). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Google scholar

 

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah. (2003). Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.

��������� Google scholar

 

Kurasawa, Aiko. (2015). Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan sosial di pedesaan 1942-1945. Komunitas Bambu. Google scholar

 

Ricklefs, Merle Calvin. (2005). Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004. Penerbit Serambi. Google scholar

 

Sinar Baroe. (1945). �Memadjukan Hasil Pertanian� (5th ed.).

 

Tjahaja. (1943a). �Batang Pisang Mengandoeng Soda� (17th ed.).

 

Tjahaja. (1943b). �Tjelana Karet-Pertemoean Wartawan dengan Poetera� (26th ed.).

 

Copyright holder:

Dany Wahyu Praditya, Linda Sunarti (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: