Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 4, April 2022

 

RESOLUSI KONFLIK PAPUA DALAM PERSPEKTIF STRATEGI KONTRAINSURGENSI KONTEMPORER MENGGUNAKAN THE DYNAMIC TRUST MODEL

 

Jafits Al Fajri Nur Rafsanjani, Abdul Rivai Ras

Universitas Indonesia, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Pendekatan non kekerasan melalui dialog damai hampir selalu menjadi rekomendasi utama yang diajukan beberapa peneliti resolusi konflik Papua. Pendekatan keamanan dengan demikian seringkali ditempatkan sebagai antithesis dalam resolusi konflik Papua sehingga perlu untuk dihindari. Sayangnya, rekomendasi eliminasi total pendekatan keamanan yang diajukan para analis konflik tidak mampu menjawab pertanyaan siapa yang harus dipersalahkan ketika konflik kekerasan pecah oleh karena provokasi kelompok separatis Papua, membuat opsi dialog damai menjadi paradoks dalam resolusi konflik Papua seiring dengan terus berjatuhannya jumlah korban jiwa dari penduduk sipil maupun apparat keamanan. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan alternatif pandangan mengenai resolusi konflik Papua dalam perspektif strategi perang kontrainsurgensi kontemporer dengan menggunakan the Dynamic Trust Model. Hasil analisis menemukan bahwa konflik Papua diakibatkan oleh ketiadaan interpersonal trust antar aktor sehingga memerlukan procedural trust yang dibangun berlandaskan akar masalah Papua untuk menjamin proses negosiasi berjalan dengan semestinya. Konsep perang kontrainsurgensi kontemporer juga melihat penanganan konflik Papua melalui pendekatan humanis melalui dialog damai semata tanpa disertai pendekatan keamanan oleh negara jelas merupakan kesalahan fatal yang akan merugikan negara Indonesia sebagai pemilik otoritas politik dan kekerasan yang sah. Oleh karenanya, pendekatan elaboratif sipil-militer melalui akuntabilitas pengawasan atas penyelenggaraan keamanan dan intelijen sebagai procedural trust berjalan beriringan dengan dialog damai menjadi rekomendasi terbaik bagi resolusi konflik Papua dalam perspektif strategi perang kontrainsurgensi kontemporer.

 

Kata Kunci: Resolusi, Konflik, Papua, Kontrainsurgensi, Trust, Pengawasan

 

Abstract

A non-violent approach through peaceful dialogue has been the main recommendation put forward by several Papuan conflict resolution researchers. The security approach is often positioned as the antithesis of the Papuan conflict, that therefore needs to be avoided. However, the options for total elimination of the security approach proposed are unable to answer the question of who is to blame when Papuan separatist groups provoke violent conflict, made recommendations for a peaceful dialogue seems to be a paradox in Papuan conflict resolution as the number of civilians and security forces continued to fall. This paper aims to provide an alternative view of the Papuan conflict in the perspective of a contemporary counterinsurgency strategy using the Dynamic Trust Model. The results of the analysis found that the Papuan conflict was caused by the absence of interpersonal trust between actors, thus requiring procedural trust that was built on the root of the Papuan problem to ensure that the negotiation process proceeded properly. The concept of contemporary counterinsurgency also sees that the handling of the Papuan conflict through a humanitarian approach through mere dialogue without a security approach by the state is clearly a fatal mistake that will harm the Indonesian state as the owner of legal political and violent authority. Therefore, accountability for security and intelligence oversight as procedural trust along with peaceful dialogue ought to be the best recommendation for the resolution of the Papuan conflict in the perspective of contemporary counterinsurgency strategies.

 

Keywords: Resolution, Conflict, Papua, Counterinsurgency, Trust, Oversight

 

Pendahuluan

(Metz & Millen 2005) dalam tulisannya yang berjudul �Insurgency and Counterinsurgency in the 21st Century: Reconceptualizing Threat and Response� mengemukakan bahwa tragedi 9/11 memicu peningkatan intensitas gerakan kelompok insurgensi di berbagai belahan dunia secara signifikan dengan berbagai motif yang melatarbelakanginya sehingga turut merubah konsep dan strategi perang melawan kelompok insurgensi di era abad 21. Insurgensi adalah sebuah gerakan pemberontakan yang dilakukan dengan cermat dan tidak kenal lelah (protracted struggle) serta memiliki metode yang khas untuk mewujudkan cita-cita perjuangannya menggulingkan legitimasi pemerintahan yang sah oleh karena motif politik dan sejarah masa lalu (Galula, 1964:4). Motif pemberontakan dibagi menjadi dua ciri khas yakni pemberontakan revolusioner (national insurgency) dan pemberontakan untuk menuntut kemerdekaan (liberation insurgency)

Sayangnya, bahkan di negara besar seperti Amerika Serikat, konsep perang kontrainsurgensi saat ini masih berfokus pada konsep perang melawan kelompok pemberontak revolusioner (national insurgency). Padahal, dengan meningkatnya aksi terorisme dan konflik kekerasan bersenjata di berbagai belahan dunia menjadi indikasi bahwa kelompok separatis atau liberation insurgency mulai menjadi ancaman yang nyata di abad 21. Ancaman keamanan dari aktor non negara kini menjadi perhatian utama dalam konsep perang kontrainsurgensi kontemporer. Indikator keberhasilan perang melawan insurgensi saat ini tidak lagi menitikberatkan pada kemampuan militer semata, melainkan negara harus mampu menguatkan instrumen-instrumen keamanan sipil dan intelijen untuk berhasil secara efektif melawan perjuangan kelompok insurgensi (Metz & Millen, 2005). Negara harus jeli melihat transformasi perjuangan kelompok insurgensi saat ini yang tidak lagi melihat pendekatan kekerasan (violent approach) menjadi instrumen utama perjuangan, melainkan mulai bergeser ke arah contractual behaviour, yakni pendekatan non kekerasan melalui propaganda psikologis yang memanfaatkan semangat solidaritas atas etnis tertentu untuk memperoleh legitimasi dan dukungan (Metelits, 2010)

Di Indonesia, terdapat dua gerakan insurgensi yang terus menggerogoti keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia diantaranya adalah gerakan kelompok islamis radikal dan separatisme Papua (Karnavian, 2017). Terlebih, belakangan diketahui bahwa strategi diplomasi insurgensi di era kemajuan teknologi informasi berdampak pada perubahan paradigma atas ancaman yang semakin serius dan kronis seiring dengan perhatian dunia internasional yang kian concern pada isu-isu Hak Asasi Manusia. Perubahan paradigma ini nampak dari mulai populernya penggunaan isu-isu sensitif seperti pelanggaran HAM sebagai materi propaganda kelompok insurgensi di untuk mendapat dukungan yang lebih luas (Nasution & Wiranto, 2020; Ramdhan, 2021). Pergeseran paradigma ancaman tidak terlepas dari kehadiran internet dan sosial media yang kini menjadi panggung terbuka untuk diskusi, ekspresi ideologi, penyebaran pengetahuan, emosi dan berbagi sentiment terhadap suatu objek pemberitaan tanpa adanya batas ruang dan waktu. Media informasi tak ayal dijadikan sarana yang ampuh dipersenjatai untuk memenuhi motif jahat dan secara paksa membuat persepsi pengguna menjadi bias tentang seseorang atau sebuah peristiwa (Meel & Vishwakarma, 2020)

Peluang untuk menggunakan non-violance means sebagai wadah perjuangan ini setidaknya telah dibaca kelompok separatis Papua (OPM) untuk menarik dukungan internasional melalui cara-cara yang lebih dapat diterima norma kemanusiaan. Kampanye yang terus digencarkan para pemberontak pro kemerdekaan Papua atas dalih penindasan kemanusiaan oleh negara semakin massive di berbagai kanal media sosial. Dari sekian banyak penelitian tentang dampak propaganda media sosial yang digunakan oleh kelompok separatis Papua menemukan bahwa isu SARA di platform social media terbukti efektif digunakan sebagai komoditas propaganda untuk mendiskreditkan �pemerintah Indonesia di mata Internasional (Nasution & Wiranto, 2020). (Lantang & Tambunan 2020) dalam peneletiannya setidaknya menemukan berbagai kanal media sosial seperti facebook, twitter, website dan YouTube besutan para aktifis pro-kemerdekaan Papua secara aktif dan efektif� digunakan untuk menyuarakan hak memerdekakan diri dari NKRI melalui isu-isu sensitive seperti pelanggaran HAM, diskriminasi rasis, maupun hak-hak minoritas yang ditindas oleh pemerintah Indonesia. �Dengan demikian, hadirnya kemajuan teknologi informasi kini tidak saja mengubah sifat pemberontakan OPM menjadi lebih dapat diterima masyarakat internasional, tetapi juga lebih efisien dalam hal cara dan hasil, sekaligus mampu memperbaiki image internasional OPM menjadi organisasi perjuangan pembebasan modern (Wardhani, 2009)

Pemerintah Indonesia sendiri tengah mengupayakan berbagai pendekatan konstruktif melalui dialog-dialog damai dan melanjutkan kebijakan Otonomi Khusus. Keseriusan pemerintah di dalam menangangi Papua nampak pada berbagai pemberitaan media yang mengapresiasi kinerja Presiden Joko Widodo yang terhitung sudah puluhan kali berkunjung ke Papua untuk memastikan pembangunan berjalan dengan baik. Pembangunan infrastruktur hingga upaya untuk menyamakan harga BBM agar sama dengan di Jawa terus digalakkan. Namun demikian, kelompok separatis Papua juga tidak juga gentar melakukan serangkaian tindakan provokasi kekerasan terhadap apparat keamanan di tanah Papua guna mewujudkan cita-cita Papua merdeka. Menurut keterangan Menteri Koordinator Bidang Politik dan HAM Republik Indonesia, Mahfud MD, tercatat sejumlah provokasi kekerasan yang dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dengan rincian 110 korban penganiayaan dan 95 korban meninggal dunia dari pihak apparat keamanan dan masyarakat sipil selama periode 2018-2021 (Kompas TV, 2021)

Bagaimanapun juga jika dilihat dari kacamata resolusi konflik, berbagai insiden low to high intensity violence yang lahir dari ketidakpuasan sebagian masyarakat Papua hingga saat ini harus dipahami sebagai proses integrasi yang belum selesai. Menurut Boudreau (2011) konflik kekerasan memiliki keunikan akan kompleksitas permasalahan tersendiri yang membutuhkan pemikiran strategis, tidak liner dan interdisipliner. Pemikiran linier, dengan penekanannya pada sebab dan akibat yang bersumber tunggal, sama sekali tidak mencerminkan dan tidak mampu menangkap realitas yang kompleks serta penyebab konflik kekerasan manusia yang seringkali diperselisihkan. Untuk menyelidiki konflik kekerasan dengan menggunakan satu jenis atau sistem metodologi disiplin ilmu biasanya hanya akan menghasilkan pemahaman yang reduksionis dan tidak lengkap tentang fenomena kompleks seperti konflik yang melibatkan manusia (Boudreau, 2011:23). Egosentrisme antar disiplin keilmuan dalam mencari rekomendasi kebijakan resolusi secara empiris hanya akan membuat proses resolusi konflik semakin berlarut (Babbitt, n.d.)

Dalam kasus Papua, (Widjojo, 2014) berpendapat bahwa stagnansi proses resolusi konflik Papua tidak lain diakibatkan adanya kecenderungan keperpihakan akademisi Barat secara radikal melihat persoalan Papua sebagai kesalahan pemerintah Indonesia yang diklaim menjadi pelaku utama kekerasan melalui tuduhan kejahatan genosida tanpa melihat indikasi kekerasan yang juga dilakukan kelompok separatis sebagai actor non-negara terhadap penduduk sipil dan apparat keamanan. Dominansi pemikiran Barat yang secara �telanjang� menggunakan kaca mata resolusi konflik atas persoalan konflik kekerasan di Papua membawa pengaruh pada lebarnya gap pandangan antara para peneliti resolusi konflik tanah air terkait rekomendasi kebijakan atas Papua itu sendiri. Beberapa peneliti resolusi konflik meyakini bahwa pendekatan militeristik tidak akan menyelesaikan akar permasalahan di Papua (Febrianti, Arum, Dermawan, & Akim, 2019; Gregorius, Simamora, & Budihardja, 2021; Rumila & Effendi, 2020; Wangge & Webb-Gannon, 2020). Sementara itu sebagian peneliti menganggap bahwa pendekatan kesejahteraan saja tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan Papua (Halkis, 2020; Ramdhan, 2021; Samparisna O. D. Koibur, 2021). Walaupun demikian, keduanya memiliki kesamaan pandangan bahwa persoalan HAM tetap harus menjadi center of work dalam proses resolusi konflik Papua.

Akar masalah konflik Papua secara tegas menempatkan isu ketidakadilan, diskriminasi rasial, serta berbagai persoalan pelanggaran HAM masa lalu sebagai salah satu sumber utama sengkarut resolusi konflik Papua yang tengah diupayakan selama ini (Widjodjo, 2009). Dengan kata lain, sumber pokok persoalan alotnya menemukan jalan damai bagi Papua adalah masih tingginya trust issue yang lahir dari pengalaman traumatik yang tidak selesai sebagai tembok penghalang upaya resolusi konflik Papua. Dari segi tinjauan bahasa, trust atau rasa percaya menurut Cambridge Dictionary adalah �to believe that someone is good and honest and will not harm you, or that something is safe and reliable�. Sedangkan trust atau rasa percaya menurut Luhmann (1979) sebagaimana yang dikutip dalam (Taddeo, 2009) adalah langkah awal yang baik dan efektif untuk mereduksi kompleksitas dan ketidakpastian konflik yang dihadapi suatu system sosial. Rasa percaya adalah keputusan yang diambil oleh seseorang yang menaruh kepercayaan (trustor) kepada pihak yang dipercayainya (trustee) dengan mempertimbangkan aspek familiaritas terhadap trustee, ekspektasi dan resiko dari tindakan untuk mempercayai pihak tersebut.

Penelitian terkait pentingnya membangun rasa percaya atau trust building antar aktor yang berkonflik di Papua sejauh penelusuran penulis cukup populer dalam diskursus resolusi konflik Papua sebagaimana contohnya dalam penelitian yang dilakukan oleh �(Elisabeth, et al. 2006) dengan judul �Trust Building dan Rekonsiliasi di Papua�. Sayangnya, pengayaan lebih lanjut dan mendasar tentang pentingnya trust dalam resolusi konflik Papua sejauh penelusuran penulis belum banyak dilakukan dalam penelitian-penelitian terdahulu. (Febrianti et al.2019) dalam tulisannya yang berjudul �Internal Conflict Resolution between Government of Indonesia and Separatist Movement in Papua using Horse-Trading Mechanism� menyoroti persoalan trust issue dari trauma masa lalu masih menjadi kendala utama dalam upaya resolusi konflik Papua. Hasil penelitian dengan menggunakan mekanisme horse-trading menemukan bahwa resolusi konflik Papua hanya dapat ditempuh melalui jalan dialog damai ketimbang melalui pendekatan militeristik. Pendekatan horse-trading adalah metode resolusi konflik yang menitikberatkan penyelesaian melalui dialog damai sebagai ruang untuk interest-trading pihak-pihak yang berkepentingan dalam konflik sehingga dipercaya menjadi win-win solution dalam resolusi konflik Papua.

Artikel kedua ditulis oleh (Samparisna O. D. Koibur 2021) dengan judul �Papua Conflict Reconciliation Model and Strategies� menyoroti bahwa pendekatan kesejahteraan saja tidak cukup untuk menyelesaikan konflik Papua untuk jangka panjang, demikian pula dengan pendekatan keamanan semata oleh karena persoalan trauma rakyat Papua masa lalu. Dengan mengambil teori rekonsiliasi sebagai pisau analisis konflik Papua, tulisan ini menemukan bahwa pentingnya menyadari trust issue yang masih menggerogoti hati dan pikiran rakyat Papua dari tidak selesainya persoalan keadilan terhadap korban kekerasan dibalik stagnansi penanganan konflik Papua. Menurut Samparisna, strategi perdamaian di tanah Papua hanya dapat dilakukan melalui pendekatan penyelesaian akar masalah Papua Road Map Model, rekonsiliasi konflik dan pengawalan Otonomi Khusus yang berorientasi pada penghargaan budaya Papua, bukan melalui pendekatan militeristik.

Selanjutnya (Hadi 2021) dalam jurnalnya yang berjudul �The Dynamics of Ethnonationalism and Conflict Resolution in Papua� berpendapat bahwa untuk penyelesaian konflik Papua, pemerintah harus mengedepankan pendekatan etnonasioalisme dengan terus memonitor implementasi Otonomi Khusus Papua yang berorientasi pada keadilan, kesejahteraan, perlindungan HAM secara total termasuk untuk lebih memberikan ruang dan akses untuk aktualisasi diri kebudayaan Papua. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan rasa percaya dan legitimasi rakyat Papua terhadap negara. Sayangnya, jurnal ini tidak membahas secara lebih mendalam konsep trust building dan dinamikanya sebagai landasan berpikir dalam menganalisis permasalahan resolusi konflik Papua.

Dari beberapa penelitian terdahulu dapat disimpulkan bahwa penanganan konflik kekerasan di Papua masih didominasi pada pendekatan resolusi konflik yang menitikberatkan win-lose relationship atau proses penyelesaian melalui mekanisme siapa yang harus dimenangkan atas pihak lain. Padahal terminologi konflik menurut (Galtung, 2011:9) tidak lagi dilihat secara sempit sebagai pertarungan kalah-menang melainkan sebuah cara untuk mencari realita baru dimana tujuan yang mendapat legitimasi dari semua pihak dapat terakomodasi dengan baik. Lebih dari itu, hal yang paling krusial dalam penanganan konflik Papua sayangnya masih belum secara mendalam menyentuh pada ranah memutus lingkaran kekerasan yang mana actor non-negara, dalam hal ini kelompok separatis KKB, menjadi salah satu pemilik instrument kekerasan yang seharusnya tidak boleh dikuasai oleh selain negara. Adapun pendekatan trust building dalam konflik kekerasan yang di Papua yang melibatkan multi aktor tidak ada nuansa keterbaruan yang mampu menjembatani kepentingan antar aktor untuk sebuah elaborasi yang sifatnya win-win solution dengan tetap menempatkan kepentingan keutuhan bangsa sebagai prioritas legitimate goal bersama.

Oleh karena itu, tulisan ini akan menganalisis rekomendasi trust building yang diajukan dalam penelitian sebelumnya yang seakan menggarisbawahi bahwa dialog sebagai satu-satunya jalan keluar dalam proses resolusi konflik Papua. Pertanyaan penelitian dalam tulisan ini yang harus dijawab adalah pendekatan macam apa yang harus digunakan untuk melakukan negosiasi dengan kelompok insurgensi yang jelas telah memiliki instrument kekerasan di luar kewenangannya sehingga menjadi ancaman nyata bagi stabilitas keamanan nasional. Sudah cukupkah rekomendasi dialog yang hanya meletakkan rasa percaya semata (bare trust) antar aktor sebagai fondasi utama dalam proses trust building dalam proses resolusi konflik Papua.

Dalam menganalisis pertanyaan penelitian, penulis akan terlebih dahulu melakukan �diagnosis� konflik yang terjadi di Papua dengan menggunakan Dynamic Trust Model untuk melihat tinjauan kritis dari proses trust building yang melibatkan kelompok insurgensi. Konsep perang kontrainsurgensi juga digunakan penulis sebagai upaya untuk memeriksa bagaimana strategi trust building yang telah dianalisis dilihat dari perspektif taktik perang kontrainsurgensi demi masa depan perdamaian di tanah Papua dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai aspek keterbaruan dalam penelitian ini.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif untuk memahami dinamika resolusi konflik Papua guna menyajikan alternatif rekomendasi bagi resolusi konflik Papua melalui elaborasi konsep resolusi konflik dan perang kontrainsurgensi kontemporer. Menurut (John W. Creswell 2009) metode penelitian kualitatif didefinisikan sebagai suatu pendekatan atau penelusuran untuk mengeksplorasi dan memahami gejala sentral pada fenomena sosial yang diuraikan secara induktif. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data berupa data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan dari berbagai sumber literatur seperti buku, jurnal dan kajian terdahulu. laporan, serta situs berita online mengenai resolusi konflik Papua dan konsep perang kontrainsurgensi. Dari data-data yang dikumpulkan peneliti membuat interpretasi untuk menangkap arti terdalam dari kompleksitas permasalahan konflik Papua dengan menggunakan landasan teori yang relevan. Adapun kesimpulan dalam penelitian kualitatif merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya masing kabur sehingga setelah diteliti menjadi jelas (Sugiyono, 2018:343). Kesimpulan diperoleh dari hasil interpretasi data yang dicocokkan dengan teori yang relevan untuk menghasilkan kesimpulan yang valid yang dijabarkan pada bagian akhir dalam tulisan ini.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Trust Issue Dalam Kompleksitas Akar Masalah Papua

Konflik Papua merupakan contoh kasus konflik multidimensi yang melibatkan banyak aktor baik aktor internal mapun eksternal sehingga proses negosiasi untuk resolusi konflik Papua membutuhkan ketelatenan dan waktu yang cukup panjang (Kaisupy & Maing, 2021). Namun demikian, panjangnya proses resolusi konflik oleh karena kompleksitas permasalahan sejatinya tidak lantas menjadi alasan untuk mengulur waktu sehingga abai pada prioritas penyelesaian yang dapat meminimalisasi dampak kerugian dari konflik yang berkepanjagan. Dalam konsep peace building, (Grotenhuis 2016) meyakini bahwa kurangnya rasa percaya atau lack of trust antara negara (state) dan rakyat (people) sebagai salah satu elemen kunci yang menyebabkan kerapuhan, sehingga perlunya kontrak sosial yang dibangun antara kedua pihak. �Dengan kata lain, persoalan internal yang melibatkan negara dan rakyatnya harus menjadi prioritas utama untuk mengurai kompleksitas penanganan konflik multidimensi.

Gerakan insurgensi mejadi sebuah tantangan tersendiri dalam konflik vertikal Papua, karena pada prinsipnya perang insurgensi adalah peperangan memenangkan hati dan pikiran rakyat atau meminjam istilah yang digunakan (Galula 1964) sebagai a strategy to winning hearts and minds. Artinya, persoalan trust issue sejatinya menjadi center of work dalam proses resolusi konflik maupun strategi perang kontrainsurgensi yang melibatkan aktor insurgensi non negara yang mencoba meraup dukungan atau legitimasi untuk memisahkan diri dari NKRI. Ketika dikaitkan dengan dinamika konflik di era teknologi informasi digital, pertanyaannya kemudian adalah bagaimana rasa percaya (trust) antar aktor dapat dibangun ketika kelompok insurgensi menggunakan media sebagai alat proganda sehingga turut berperan dalam rekayasa realita.

Dari sudut pandang cara bertindak, gerakan insurgensi Papua terbagi menjadi dua gerakan yang memiliki pola pendekatan yang berbeda yakni, violent approach yang diwakili oleh TPN PB atau KKB Papua dan non-violent approach yang dimotori oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang berpusat di Jayapura dan berhubungan langsung dengan jaringan Benny Wenda yang tinggal di luar negeri (Karnavian, 2017). Oleh karenanya, dinamika trust issue antara OPM (Nasionalis Moderat dan KKB) dengan pemerintah Indonesia menjadi objek analisis diagnosis konflik Papua dalam tulisan ini.

1)     Nasionalis Papua dan Pemerintah Indonesia

Sekian puluh tahun bergabung dengan NKRI, sebagian masyarakat Papua tidak pernah merasa berintergrasi secara total dengan Indonesia. Luka sejarah masa lalu, ketidakadilan dari segala aspek kehidupan, marginalisasi etnis dan budaya, serta pelanggaran HAM masa lalu yang tidak pernah ada titik terang penyelesaiannya membuat masyarakat Papua merasa dianggap sebagai manusia kelas dua di negara ini (Raweyai, 2002:43). Tidak selesainya persoalan-persoalan ini bukannya membuat gerakan konfrontatif OPM melemah, namun justru seakan mendapatkan legitimasi atas semangat perasaan senasib sepenanggungan sebagai orang asli Papua yang tengah menyuarakan keadilan (Ilmar, 2017). Tulisan ini menyoroti dua persoalan kepercayaan atau trust issue antara nasionalis moderat Papua dan Pemerintah Indonesia yang meliputi isu sejarah integrasi dan persoalan HAM yang diuraikan ke dalam tiga permasalahan yakni sejarah integrasi, marginalisasi etnis, dan persepsi atas orientasi pembangunan di Papua.

a.      Sejarah Integrasi

Dari perspektif sejarah integrasi, para nasionalis Papua setidaknya menyoroti dua hal yang seringkali menjadi akar permasalahan sejarah yang mendasari tuntutan pemisahan diri dari NKRI yaitu adalah sejarah Papua sebagai bagian dari koloni Belanda dan hubungannya dengan Indonesia; serta sejarah atas hasil referendum penentuan nasib sendiri rakyat Papua (Pepera) pada tahun 1969. Permasalahan pertama adalah terkait latar belakang budaya dan ras yang berbeda antar suku asli Papua dan mayoritas penduduk Indonesia. Sedangkan permasalahan kedua adalah kaitannya dengan klaim politik yang menyatakan bahwa Papua merupakan masih bagian dari Netherlands East Indies yang menjadi cikal bakal negara Indonesia (Widjojo, 2019:82).

Perdebatan muncul manakala para nasionalis Papua bersikukuh bahwa hasil referendum tidaklah sah karena penunjukan perwakilan Papua pada saat itu dinilai telah terlebih dahulu ditentukan secara sepihak oleh elit Indonesia sehingga tidak menunjukkan suara keterwakilan kolektif rakyat Papua. Hal ini menurut mereka bertentangan dengan prinsip one man one vote sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 New York Agreement Tahun 1962 (Raweyai, 2002:29). Maka timbullah kesan proses dan hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) syarat akan manipulasi karena tidak mencerminakan kehendak rakyat Papua sesungguhnya. Berseberangan dengan pendapat para aktivis pro kemerdekaan Papua, pemerintah Indonesia tetap bersikukuh bahwa proses Pepera sudah memenuhi prosedur karena sepenuhnya merupakan wewenang pemerintah. Sebelumnya Pemerintah Indonesia menyampaikan keberatannya kepada staff ahli PBB, Fernando Ortiz Sanz, terkait dengan mekanisme pemilihan suara dalam pelaksanaan act of free choice melalui sistem voting, melainkan menerapkan prinsip musyarawah mufakat sesuai dengan tradisi politik tanah air selaku pemilik sah otoritas wilayah (Permanent Mission of the Republic of Indonesia to the United Nations, 2004:35). Pemerintah Indonesia juga beranggapan bahwa one man one vote tidak realistis mengingat kondisi geografis dan masyarakat Papua kala itu. Atas dasar perbedaan pendapat itulah hingga saat ini keduanya bersikeras pada pendirian masing-masing.

Momen bergabungnya Papua dibawah pemerintahan Republik Indonesia oleh karena itu menyiratkan luka begitu mendalam bagi pihak-pihak yang merasa dicurangi pada proses jajak pendapat penentuan nasib sendiri rakyat Papua kala itu. Luka itu semakin menganga hingga membekaskan trauma mana kala pada awal Pemerintah Indonesia berkuasa saat itu dinilai tidak memiliki kebijakan yang inklusif dan rekonsiliatif terhadap Papua sebelum maupun pasca pelaksanaan referendum 1969. Hal tersebut nampak ketika Pemerintah Indonesia sejak 1963 justru menyingkirkan elite-elite Papua didikan Belanda karena perbedaan fisik dan pandangan politik dengan label separatis. Obsesi pemerintah untuk mematikan nasionalisme Papua justru berbalik arah menyuburkan nasionalisme Papua itu sendiri. Hal ini menjadi salah satu bibit penting lahirnya perasaan anti- Indonesia sebagai antithesis dari nasionalisme Indonesia.

Semangat nasionalisme Papua ini semakin tidak terbendung seiring dengan carut marutnya kondisi perpolitikan dan perekonomian bangsa Indonesia pada saat itu yang tengah mengalami hiperinflasi hebat hingga akhirnya meletuslah pemberontakan pada tanggal 26 Juli 1965 di Manokwari yang dipimpin oleh Serma Permenas Ferry Awom, mantan anggota Batalyon Sukarelawan Papua bentukan Belanda, sekaligus menjadi momen penting lahirnya Organisasi Papua Merdeka (Yambeyapdi, 2019). Bagi Papua, OPM bahkan dianggap sebagai simbol pergerakan sosial berbasis identitas etnis sebagai akumulasi kekecewaan orang asli Papua pada kesewenang-wenangan pemerintah Indonesia demi mewujudkan cita-cita kemerdekaan diri dari bangsa Indonesia yang dianggapnya sebagai penjajahan gaya baru (Ilmar, 2017).

b.     Marginalisasi Etnis Papua

Kompleksitas sejarah proses integrasi Papua adalah satu dari sekian banyak persoalan yang memicu konflik menahun di Papua. Semenjak bergabungnya Papua (saat itu Irian Jaya) ke pangkuan ibu pertiwi, tanah Papua tidak pernah sepi dari konflik vertikal maupun horizontal. Sebut saja isu kesenjangan sosial yang terjadi tidak hanya konflik internal antar suku asli Papua, namun juga antara orang asli Papua dengan warga pendatang. Menurut pandangan sosiolog, hal yang menjadi penyebab terjadinya pertikaian antar suku Papua dikarenakan adanya "budaya perang suku di Papua" karena memang begitulah salah satu cara adat untuk menyelesaikan masalah sosial yang terjadi antar-suku. Sedangkan pertikaian antara pendatang dan orang asli Papua (OAP) lebih banyak terkait factor kecemburuan sosial. Kecemburuan sosial antara OAP dengan pendatang di Papua bukan tanpa sebab. Keberadaan pendatang baru yang memiliki banyak kelebihan dari segi pendidikan, kesehatan dan lainnya dari penduduk asli membuat rakyat Papua semakin terpinggirkan dan mengalami diskriminasi.

Kekalahan bersaing, marginalisasi, dan perasaan terdiskriminasi ini kemudian menumbuhkan perasaan kolektif orang asli Papua, bahwa eksistensi mereka sebagai entitas dan penduduk asli yang seharusnya menjadi tuan di tanah Papua benar-benar terancam. Belum lagi terkait persoalan etnonasionalisme Papua, orang asli Papua merasa ekspresi budayanya seringkali dicurigai sebagai menifestasi gagasan separatis. Banyak sekali kasus orang Papua harus berurusan dengan pihak militer akibat symbol-simbol dan ekspresi kebudayaan yang digunakannya. Kelahiran Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang pelarangan simbol-simbol budaya tertentu, menjadi penanda utama kecurigaan pemerintah pusat terhadap ekspresi budaya Papua, sekaligus sebagai negasi terhadap ekspresi budaya dan identitas orang asli Papua (Widjojo, 2019:86)

Ketidaksukaan orang Papua terhadap pemerintah Indonesia lainnya adalah adanya indikasi upaya-upaya Jakarta yang berusaha secara politis untuk me-�micro-manage� wilayah Papua. Papua yang dicirikan keragaman suku harus dipaksa untuk mengikuti kebijakan Jakarta untuk merubah sumber- sumber otoritas dan struktur tradisional Papua dengan setruktur politik Jawa dari tingkat desa hingga pusat provinsi. Politik Papua ditentukan Jakarta tanpa mempertimbangkan keinginan-keinginan rakyat Papua. Pertentangan yang disuarakan Papua terhadap kebijakan Jakarta seringkali dihadapi secara brutal dengan disebutnya secara gampang sebagai ekspresi separatisme yang mengancam keutuhan NKRI sehingga sepantasnya diselesaikan dengan kekerasan.

c.      Persepsi Orientasi Pembangunan

Integrasi Papua ke Indonesia dilaksanakan oleh Soekarno, akan tetapi arsitek utama Indonesia dalam kebijakan Papua diprakarsai oleh Soeharto untuk membuat kebijakan-kebijakan utama yang pada akhirnya berpuncak dengan kekalahan dalam pertempuran memenangkan harti dan pikiran orang-orang Papua (Singh, 2020:97). Setelah berakhirnya pemerintahan rezim Orde Baru, skala kekerasan memang menurun tajam seiring dengan perubahan konstelasi politik menuju tatanan pemerintahan Reformasi yang lebih terbuka dan demokratis. Peluang ini kemudian digunakan para aktivis pro kemerdekaan Papua untuk memerdekakan diri dari Indonesia. Untuk pertama kalinya, ribuan masyarakat Papua secara terbuka merayakan Hari Kemerdekaan pada tanggal 1 Desember 1998 dengan bendera bintang kejora dikibarkan. Pemerintah pusat kemudian memberikan Otonomi Khusus sebagai sebuah kompromi politik atas tuntutan gerakan Papua Merdeka.

Pemberlakuan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sedikit banyak telah dapat menjadikan obat penenang bagi masyarakat Papua. Walau demikian suara Papua terbelah. Dalam perbedaan pendapat ini terdapat dua kategori, yakni penganut garis keras dan kelompok pendukung yang berfungsi sebagai negosiator. Para penganut garis keras tidak percaya atas niat baik pemerintah dan menolak upaya bernegosiasi dengan Pemerintah Indonesia. Kelompok inilah yang secara terbuka menolak otonomi khusus yang ditawarkan pemerintah Indonesia. Sedangkan kelompok kedua masih mencoba melihat kemungkinan adanya dialog dengan pemerintah pusat di Jakarta. Bagi Indonesia, otonomi khusus disebut sebagai langkah �win-win solution� atas tuntutan rakyat Papua terhadap pemerintah Indonesia, sekaligus sebagai upaya pemerintah untuk mempertahankan Papua tetap menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Niat baik itu nampaknya cukup disambut optimis para intelektual Papua, sehingga Gubernur Papua kala itu, Jacob Solossa, mengamanatkan tim perumus untuk membuat draft rancangan otonomi khusus yang akan mencakup aspirasi-aspirasi semua orang Papua. Hingga pada akhirnya Status Otonomi Khusus Papua disetujui Presiden Megawati dengan dikeluarkannya UU No.21 Tahun 2001 yang mengatur tentang ketentuan dalam Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Sayangnya, pelaksanaan Otsus banyak menemui kritik karena banyak yang tidak tepat sasaran hingga diwarnai dugaan kasus korupsi yang dilakukan elite- elite Papua yang memegang berbagai jabatan di berbagai kabupaten yang dimekarkan. Otonomi Khusus bukanlah hanya masalah uang, tetapi lebih kepada tuntutan komitmen politik untuk menjawab masalah-masalah rekonsiliasi, pelanggaran HAM, pengelolaan sumber daya alam, Kesehatan, kemiskinan, pertahanan dan keamanan. Nasionalis Papua percaya bahwa otonomi khusus tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan dalam mengakomodir kepentingan-kepentingan mereka sebagai sebuah �barter politik� untuk menyetujui tetap bergabung dengan Indonesia dengan syarat. Terlebih usai diterbitkannya peraturan baru PP Nomor 77 Tahun 2007 yang melarang mempertontonkan �simbol-simbol separatis�, sesuatu yang dianggap Nasionalis Papua sebagai sebuah penghinaan dan usaha mengingkari UU Otonomi Khusus.

2)     KKB Papua dan Penyelenggara Keamanan Negara

Tidak sedikit tulisan tentang resolusi konflik Papua meyakini bahwa pendekatan keamanan yang dilakukan negara untuk menciptakan stabilitas keamanan di tanah Papua justru kerapkali dituding sebagai penyulut api konflik yang kian memperlebar luka batin orang Papua sebagaimana terdapat dalam (Febrianti et al., 2019; Wangge & Webb-Gannon, 2020). Komnas HAM sendiri mencatat telah terjadi 1.182 kasus kekerasan yang melibatkan apparat keamanan dan KKB Papua, dimana 40 persen lebihnya didominasi oleh tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Polri selama periode 2018-2021 (CNN Indonesia, 2022). Negara pada akhirnya dihadapkan pada pilihan sulit menentukan strategi terbaik guna mengatasi masalah keamanan di Papua seiring dengan desakan agar negara tidak melakukan tindakan represif dari berbagai kelompok sipil masyarakat. Upaya resolusi konflik tidak jarang menemui stagnansi di tengah riuh rendahnya pemberitaan tentang Papua yang hampir selalu bersinggungan dengan persoalan konflik kekerasan sebagai rentetan konsekuensi gerakan separatisme yang digaungkan para kelompok pejuang pro kemerdekaan Papua.

Provokasi kekerasan yang kerapkali dilakukan oleh KKB Papua membuat Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa KKB Papua sebagai kelompok teroris separatis (Yulianto, 2021). Menurut mantan Kepala Badan Intelijen Negara, Hendropriyono, keputusan pemberian label teroris kepada KKB memang sudah sebagaimana mestinya karena motif Tindakan kekerasan yang dilakukan tidak lagi dapat dikategorikan sebagai kelompok criminal biasa (Rifqy, 2018). Demikian juga menurut kaidah yuridis normative, analisis (Yeksi Anakota 2021) menyatakan bahwa penetapan KKB sebagai kelompok teroris sudah tepat sehingga lebih mempermudah bagi pemerintah untuk melakukan penyesuaian pendekatan hukum untuk menangani KKB. �Walaupun demikian, penetapan label teroris mendapat kritikan tajam bagi sebagian �peneliti konflik karena justru tidak akan menyelesaikan permasalahan apapun di Papua. (Budiatri 2021) yang juga seorang peneliti konflik LIPI menyatakan bahwa penetapan label teroris ini dikhawatirkan menjadi alat legitimasi bagi apparat keamanan untuk melakukan tindakan koersif represif di Papua sehingga memperburuk proses resolusi konflik.

Pendekatan non kekerasan melalui dialog damai dengan demikian hampir selalu menjadi rekomendasi utama yang diajukan beberapa peneliti seperti (Elisabeth et al., 2006; Hadi, 2021; Kaisupy & Maing, 2021; Samparisna O. D. Koibur, 2021). Sayangnya, rekomendasi dialog damai dirumuskan dari nalar berfikir alternatif reduksionis ketimbang strategi elaboratif, melihat konflik Papua dalam kacamata ketidakadilan semata yang membutuhkan rasa percaya antar aktor dalam proses trust building. Pendekatan keamanan dalam resolusi konflik kekerasan bersenjata di Papua pada akhirnya menjadi pilihan yang tidak direkomendasikan. Akibatnya, ketika konflik kekerasan pecah oleh karena provokasi oleh kelompok separatis Papua, para analis konflik tidak mampu menjawab pertanyaan siapa yang harus dipersalahkan sehingga pusaran konflik tidak pernah beranjak dari potensi terus berjatuhannya jumlah korban jiwa dari penduduk sipil maupun apparat keamanan yang juga memiliki hak yang sama untuk mendapat perlindungan dari Negara. Bagaimanapun juga lingkaran kekerasan di Papua harus diputus siapapun itu aktor pemantiknya sebagai upaya de-eskalasi konflik kekerasan yang terjadi, karena jika kembali pada pemikiran (Lederach 2014) bahwa proses transformasi konflik sebagai konstruksi perdamaian yang sustainable, tidak akan terwujud di tengah eskalasi konflik yang masih memanas.

B.    Propaganda Media Sebagai Diplomasi Insurgensi OPM Gaya Baru

Era keterbukaan informasi yang dimulai pada abad 21 telah membuat para pejuang kemerdekaan seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk mulai melirik potensi propaganda media melalui teknologi internet sebagai media berjuang mengkampanyekan hak-hak Papua guna mendapat dukungan Internasional. Suatu upaya yang dianggap paling realistis digunakan para pejuang separatis dalam mewujudkan tujuannya, yakni Papua merdeka, untuk mengungkap kejahatan kemanusiaan yang mereka klaim sudah dilakukan pemerintah Indonesia terhadap orang Papua selama bertahun-tahun. Strategi perjuangan pembebasan Papua kini mulai menggeser taktik perjuangannya menuju pendekatan tanpa kekerasan atau �non-violence movement�. Pola pergerakan OPM pun mulai bertransformasi dari sebatas pergerakan separatisme yang hanya mengutamakan taktik gerilya di wilayah pegunungan dan hutan, kini mulai merembet menjadi sebuah non-violent civilian based-movement atau pergerakan revolusioner sipil moderat yang terkoordinir menyebar hingga ke wilayah perkotaan di Papua (Sianturi & Hanita, 2020)

Pemerintah seyogyanya perlu risau dengan eskalasi tindakan para separatis gaya baru ini, karena perlu diingat, sebagai negara yang meratifikasi banyak perjanjian Hak Asasi Manusia (HAM), isu-isu kemanusiaan dan pelanggaran HAM bukan lagi menjadi ranah isu domestic melainkan menjadi permasalahan universal. Lebih jauh jika memahami dampak dari semakin masifnya gerakan separtis, kepiawaian insurgen dalam melakukan propaganda melalui isu HAM guna mendapat simpati dan dukungan internasional mengancam posisi tawar Indonesia untuk mempertahankan Papua untuk tetap menjadi bagian integral bangsa Indonesia. Menurut (Nainggolan 2014) internasionalisasi Papua memang menjadi buah dari kebijakan sekuritisasi Papua melalui pendekatan keamanan yang berlebihan selama periode Soeharto, dan gagalnya implementasi pendekatan kesejahteraan melalui Kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) di era reformasi. Dan secara geografis memang dapat dipahami bahwa integrasi Papua dengan NKRI lebih bersifat politis ketimbang persamaan kultur dan budaya yang lebih dekat ke negara-negara Pasifik Selatan. Dalam konteks ini dapat dilihat upaya diplomasi internasional mencoba meraih simpati dan dukungan dari lingkungan regional terdekatnya, yakni negara negara Pasifik Selatan dan Australia.

Manuver-manuver kampanye internasional para aktor non-negara, turut berkontribusi terhadap meningkatnya ini nyatanya cukup efektif terlihat mulai terkonsentrasinya dukungan terhadap para pejuang kemerdekaan dari negara- negara Pasifik termasuk Australia. Media-media Australia sendiri cukup gencar memprovokasi dengan menyoroti isu- isu pelanggaran HAM di Papua. Hingga permasalahan yang paling mutakhir adalah bagaiamana Perdana Menteri Vanuatu turut menyoroti ketidakadilan dan penindasan yang menimpa masyarakat Papua dibawah pemerintahan Indonesia pada Sidang Majelis Umum PBB ke-74 yang digelar beberapa saat lalu.

Sorotan dunia Internasional melalui pernyataan Perdana Menteri Vanuatu terhadap Indonesia terkait Papua pada sidang Majelis Umum PBB lalu cukup mengagetkan publik. Hampir dalam beberapa tahun terakhir pemberitaan media Nasional tentang konflik di Papua cenderung tidak begitu mendominasi, yang ada justru banyak pemberitaan mengenai prestasi pemerintahan Joko Widodo dalam hal pembangunan ekonomi dan infrastruktur di Papua. Hal sekaligus membuat kita sekejap abai terhadap realita sosial yang terjadi di Papua. Tidak dapat dipungkiri, banyak kemudian yang mempertanyakan media nasional kini lebih banyak berperan sebagai alat politik ketimbang melakukan fungsinya sebagai alat kontrol sosial terhadap kebijakan pemerintah.

Pemberitaan-pemberitaan media asing yang menurut pemerintah bernada provokatif setidaknya dapat menjadi amunisi baru bagi pejuang kemerdekaan Papua untuk dapat lebih didengar sebagai sebuah isu internasional. Pemberitaan media atas tuduhan pelanggaran HAM yang dilakukan pemeritah Indonesia pada akhirnya akan menjadi suatu bentuk permasalahan baru yang lebih luas, mengingat Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi berbagai perjanjian internasional terkait perlindungan Hak Asasi Manusia. Adanya perubahan ancaman separatis melalui media sejatinya mampu menjadi bahan evaluasi bagi negara agar dapat melepaskan �ego politis� yang syarat pencitraan. Media harus benar-benar dikembalikan fungsinya sebagai alat penyambung lidah bottom-up ataupun sebaliknya guna mencari solusi jalan terbaik bagi rakyat Papua dan kepentingan Negara Indonesia.

Belajar dari pengalaman sejarah masa lalu, penanganan konflik kekerasan tidak dapat mengabaikan pentingnya legitimasi memenangkan hati dan pikiran rakyat dalam perspektif lebih luas. Lepasnya Timor Timur dari pangkuan ibu pertiwi tidak lain karena pemerintah Indonesia dinilai gagal dalam mempertahankan diplomasi politiknya di kancah Internasional yang tidak jeli atas isu pelanggaran HAM berat di Timor Timur oleh sikap represif apparat keamanan Indonesia di tengah konsentrasi dunia yang menempatkan isu HAM sebagai norma universal sehingga berujung pada kekalahan negara pada jajak pendapat penentuan nasib sendiri pada tahun 1999 (Ayu, Rindu, & Winarno, 2001). Kekalahan Indonesia dalam mendapatkan legitimasi mempertahankan Timor Timur dalam diskursus diplomasi insurgensi menurut �(Sasongko 2013) tidak lain karena kepiawaian kelompok insurgensi Fretilin dalam memanfaatkan isu HAM untuk memperoleh dukungan internasional yang bekerja secara terstruktur dan sistematis melalui jaringan yang dibangun di dalam dan luar negeri. Fretilin sangat jeli menyusun strategi dengan menggabungkan peranan diplomasi dan taktik non konvensional melalui penggunaan propaganda media informasi.

Jika dilihat dari pola pergerakan yang digunakan kelompok insurgensi pada studi kasus lepasnya Timor Timur, ada kemiripan yang harus diwaspadai dalam menyikapi isu Papua yakni: Pertama, internasionalisasi isu HAM sebagai senjata diplomasi insurgensi untuk mendapatkan dukungan lebih luas. Kedua, strategi penggunaan propaganda media informasi sebagai alat perjuangan baru di era disrupsi informasi. Ketiga, kekuatan kelompok insurgensi memanfaatkan politik identitas untuk menarik dukungan masyarakat. Keempat, kelalaian negara untuk membaca perkembangan trend kekinian seperti dinamika kemajuan era media baru sebagai alat diplomasi insurgensi dan populernya rezim HAM Internasional.

C.    Analisis Resolusi Konflik Papua Dalam Perspektif Strategi Kontrainsurgensi Kontemporer Dengan Dynamic Trust Model

Menurut (Soekanto 2005) konflik di masyarakat disebabkan oleh empat faktor. Keempat faktor itu adalah perbedaan antar kebudayaan, perbedaan antar perorangan, perbedaan kepentingan, dan perubahan sosial yang cepat. Diksi kata �perbedaan� ini sebenarnya yang menjadi titik berat timbulnya potensi konflik, dimana perbedaan cara pandang terhadap suatu objek ditentukan oleh persepsi yang diyakini oleh tiap individu. Persepsi sendiri berasal dari serapan bahasa Inggris �perception� yang juga berasal dari bahasa Latin �perceptio�, dari �percipere� yang artinya menerima atau mengambil (Sobur, 2016). Lebih lanjut definisi persepsi menurut (Walgito 2010) adalah suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris. Namun proses itu tidak berhenti begitu saja, melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. Oleh karenanya proses persepsi tidak bisa lepas dari proses penginderaan tentang apa yang selama ini mereka lihat dan mereka rasakan selama sekian waktu lamanya sehingga pada akhirnya membentuk sebuah persepsi.

Dalam konteks resolusi konflik, persoalan trust antara pihak-pihak yang berkonflik menjadi titik kritis dari upaya resolusi konflik (Furlong, 2005). Pentingnya membangun rasa percaya dalam proses resolusi konflik bukan tanpa sebab, pasalnya trust atau rasa percaya menurut Gambeta adalah suatu perasaan didasarkan pada probabilitas yang dikaitkan dengan keyakinannya sendiri tentang perilaku dan kemampuan orang yang dipercayainya (Taddeo, 2009). Jika dikaitkan dengan konsep persepsi yang dijelaskan sebelumnya, rasa percaya dengan kata lain dipengaruhi oleh persepsi yang dibentuk dari proses penginderaan, pengalaman melihat, menyaksikan dan merasakan sekian lamanya atau berkaitan dengan experiential factor seseorang terhadap objek yang dipercayainya.

Dary Landau kemudian mengenalkan model pendekatan The Dynamic of Trust Model yang menempatkan factor kepercayaan atau trust issue sebagai kunci utama dalam penanganan konflik. Kepercayaan (trust) dalam pendekatan ini merupakan suatu hal kompleks dan dinamis oleh karena itu tidak selalu berlaku sama untuk diterapkan di semua situasi tergantung dari pertimbangan resiko dan penilaian atas niat orang lain dibalik suatu tindakan. Diagnosis akar konflik dalam dynamic trust model fokus pada dua persoalan utama yakni kalkulasi resiko, dan analisis akar masalah serta penentuan siapa yang bersalah atau assignment of blame (Furlong, 2005:128)

 

Gambar 1

Diagnosis dan Strategi Resolusi Konflik Menurut Dynamic Trust Model

 

Secara garis besar, Dynamic Trust Model dibangun atas teori atribusi psikologi yang menyatakan bahwa bahwa ketika suatu kejadian negatif muncul dan hal tersebut mengancam atau melukai kita, kita memiliki kecenderungan untuk melimpahkan kesalahan pada orang lain atau sesuatu di luar kontrol diri kita (Furlong, 2005:130). �Faktor atribusi tidak lain adalah persepsi dan bukanlah refleksi realita, dimana persepsi dipengaruhi oleh dua factor penting yakni informasi atau data yang dimiliki, dan preconception seperti kepercayaan, nilai, pengalaman masa lalu, stereotipe, dan asumsi seseorang terhadap orang lain. Untuk memahami konflik yang terjadi berdasarkan level of trustnya, Dynamic Trust Model membagi atribut persepsi menjadi tiga kategori yakni Situational Attribution, Intrinsic Nature Attribution dan Intentional Attribution.

Situational Attribution merujuk pada asumsi seseorang yang meyakini bahwa pada dasarnya manusia tidak memiliki niat jahat/buruk sehingga adapun konflik terjadi bukan dari tindakan orang lain yang disengaja, melainkan kemungkinan ada faktor eksternal (situasi yang sedang dialami) di luar kontrol aktor yang mempengaruhinya. Sehingga tingkat kepercayaan antar aktor sangat tinggi (high level of trust). Intrinsic Nature Attribution merujuk pada persepsi seseorang yang meyakini bahwa sifat negatif bisa saja dimiliki manusia karena faktor pengalaman buruk masa lalu, dan nilai-nilai budaya yang mempengaruhinya, sehingga konflik terjadi karena memang ada sisi buruk dari dalam diri manusia dan tidak disadarinya. Tingkat rasa percaya antar aktor dalam kategori ini pada level sedang (medium level of trust). Intentional Attribution merupakan persepsi seseorang yang meyakini bahwa orang diyakini tersebut memang punya niat jahat melakukan sesuatu, sehingga tingkat kepercayaan antar aktor nyaris tidak ada dalam ketegori ini (low to zero level of trust).

Kemudian untuk memahami cara kerja resolusi konflik berdasarkan diagnosis konfliknya, Dynamic Trust Model terlebih dahulu membagi trust menjadi dua kategori yakni interpersonal trust dan procedural trust. Interpersonal trust adalah dorongan perasaan untuk nyaman mempercayai orang lain dengan resiko yang telah dipertimbangkan sebelumnya, serta menitikberatkan pada prakiraan (judgement) atas karakter, integritas dan nilai yang dianut orang lain. Ciri lain dari interpersonal trust adalah dilandasi atas dasar kepercayaan secara menyeluruh, berangkat dari kesamaan latar belakang nilai dan tujuan yang sama, dan lebih karena faktor sudah saling mengenal antar aktor satu sama lain. Procedural trust merujuk pada dorongan perasaan untuk menaruh kepercayaan pada struktur atau proses resolusi yang dibangun. Ciri dari procedural trust ini dibangun dari asumsi para aktor yang meyakini bahwa umumnya manusia itu makhluk egois karenanya diperlukan sistem untuk menjamin agar kepercayaan yang diberikan tidak dirusak. Procedural trust dibangun berdasarkan kredibilitas mekanisme pengawasan oleh pihak ketiga,dan dapat dirusak oleh karena inkonsistensi tindakan para aktor atas kesepakatan yang dibuat.

Procedural trust merupakan alat yang ampuh digunakan untuk proses resolusi konflik khususnya pada konflik-konflik ekstrim dimana level of trust antar aktor yang berkonflik nyaris tidak ada. Menurut Dynamic Trust Model, situational attribution memiliki interpersonal trust yang baik walaupun demikian setidaknya tetap diperlukan procedural trust. Intrinsic nature attribution memiliki interpersonal trust yang lemah karenanya membutuhkan procedural trust yang lebih rigid. Sedangkan pada kasus intentional attribution hampir tidak ada interpersonal trust diantara para aktor yang terlibat, oleh karenanya procedural trust yang rigid dan eksklusif mutlak diperlukan.

 

Tabel 1

Hasil Analisis Diagnosis Atribusi Konflik Papua antara OPM dengan Pemerintah Indonesia Berdasarkan Dynamic Trust Model

Hubungan Aktor Konflik

Persepsi

Kategori Atribusi

 

Nasionalis Papua terhadap Pemerintah Indonesia

Dalam hal sejarah integrasi, Nasionalis Papua melihat Pemerintah Indonesia melakukan kecurangan manipulasi proses intergasi masa lalu.

 

Dalam hal marginalisasi etnis, Nasionalis Papua melihat Pemerintah Indonesia sebagai aktor rasis dan diskriminatif. PP No 77 Tahun 2007 tentang pelarangan simbol-simbol budaya tertentu dianggap sebagai upaya sistematis pemerintah utk menghilangkan budaya Papua.

 

Dalam hal orientasi pembangunan, Nasionalis Papua menganggap OTSUS tidak dilaksanakan sesuai kontrak awalnya sehingga banyak penyimpangan. Negara dianggap tidak serius menangani isu ketidakadilan di Papua.

Intentional/ Hostility Attribution

 

 

 

 

Intentional/ Hostility Attribution

 

 

 

 

 

 

 

Intentional/ Hostility Attribution

 

Pemerintah terhadap Nasionalis Papua

Dalam hal sejarah integrasi, Pemerintah Indonesia menyangkal asumsi Nasionalis Papua bahwa Negara telah berlaku curang. Pemerintah berpedoman pada proses integrasi sesuai prosedur yang sah dan legal. Ada kesan kesengajaan Nasionalis Papua untuk mempolitisasi isu sejarah sebagai propaganda insurgensi

 

Dalam hal marginalisasi etnis, tidak ada mekanisme struktural yang bermaksud mendikreditkan etnis Papua. Pemerintah meyakini PP No 77 Tahun 2007 tentang pelarangan simbol-simbol budaya tertentu dianggap hanya sebagai upaya menumbuhkan nasionalisme keindonediaan. Ada kesan kesengajaan Nasionalis Papua menggunakan isu marginalisasi etnis untuk propaganda insurgensi

 

Dalam hal orientasi pembangunan, Pemerintah meyakini bahwa OTSUS dapat memberikan keadilan dan kesejahteraan untuk Papua. Penyimpangan pelaksanaan tidak bersifat intentional. Ada asumsi bahwa Nasionalis Papua sengaja menggunakan isu kegagalan pembangunan di Papua melalui OTSUS sebagai materi propaganda.

Intentional/ Hostility Attribution

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Intentional/ Hostility Attribution

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Intentional/ Hostility Attribution

 

 

 

 

 

 

 

 

KKB terhadap Aparat Keamanan

Kehadiran apparat keamanan diyakini KKB sebagai ancaman bagi cita-cita kemerdekaan Papua.

Intentional/ Hostility Attribution

�

Aparat Keamanan terhadap KKB

KKB dianggap sebagai gerakan insurgensi separatis yang memiliki motivasi politis untuk memisahkan diri dari NKRI sehingga harus diperangi.

Intentional/ Hostility Attribution

 

 

 

Hasil analisis dengan menggunakan Dynamic Trust Model menunjukkan bahwa konflik Papua antara OPM dengan Pemerintah Indonesia terjadi karena hampir tidak adanya interpersonal trust diantara para aktor yang berkepentingan. Konflik terjadi karena masing-masing meyakini adanya unsur kesengajaan (intentional action) yang dilakukan baik oleh pihak OPM atau sebaliknya untuk melakukan upaya konfrontatif. Sehingga dapat disimpulkan secara umum bahwa dilihat dari diagnosis penyebab konfliknya, persoalan konflik Papua berada pada level paling serius yakni Intentional Attribution sehingga mekanisme procedural trust yang rigid mutlak diupayakan dalam resolusi konflik Papua.

Negosisasi dalam kerangka procedural trust tidak bisa hanya mengharapkan adanya bare trust mengingat level of trust antar aktor hampir mendekati zero, sehingga perlu jaminan safe environment untuk proses negosiasi yang merupakan langkah awal dalam resolusi konflik (Furlong, 2005:46). Melakukan negosiasi sekonyong-konyong tanpa ada proteksi tidak akan menjamin proses trust building berjalan sebagaimana mestinya karena masing-masing pihak tidak dapat memastikan pihak lawan tidak melakukan penghianatan atas konsensus yang telah dibuat. Procedural trust sering kali berfokus pada mekanisme prosedural yang penting sebagai dasar bagi negosiasi substantif yang efektif yang mengatur siapa yang akan hadir dalam negosiasi, apa yang akan menjadi agenda negosiasi, hal apa saja yang harus dirahasiakan, bagaimana proses negosiasi diselenggarakan sehingga aman untuk semua orang, bagaimana kesepakatan (jika tercapai) akan dipantau, dan seperti apa hubungan antar aktor di masa mendatang dibangun (Furlong, 2005:146).

Perlu menjadi catatan bahwa dalam strategi kontrainsurgensi, kelompok pemberontak memiliki taktik yang agile dan manipulatif yang sewaktu-waktu dapat menjadi strategic surprises dalam konflik kekerasan. �Penggunaan media sosial oleh kelompok separatis Papua untuk mengangkat isu-isu HAM guna memperoleh dukungan yang lebih luas di dunia Internasional menjadi indikasi kepiawaian insurgen dalam memanfaatkan isu HAM sebagai amunisi diplomasi insurgensi sehingga perlu mendapat perhatian serius dalam penanganan konflik kekerasan di era kemajuan teknologi informasi. Menurut (Metz & Millen, 2005) terdapat perbedaan strategi antara peperangan melawan kelompok insurgensi pro kemerdekaan (liberation insurgency) dengan strategi perang insurgensi konvensional diantaranya:

1)     Stabilisasi wilayah menggunakan instrumen kekerasan yang terukur dan tepat;

2)     Meminimalkan pendekatan kekuatan militeristik;

3)     Membangun benteng keamanan sipil dan intelijen lokal yang efektif;

4)     Merubah persepsi insurgen menjadi pendukung pemerintah yang sah;

5)     Mendorong penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan berkelanjutan; dan

6)     Penguatan negara-negara di sekitar negara yang menghadapi pemberontakan.

Dengan kata lain, kemampuan negara untuk memperoleh legitimasi internal maupun eksternal menjadi sebuah keniscayaan dalam strategi kontrainsurgensi kontemporer yang harus mencakup peningkatan kemampuan diplomasi dan kerjasama negara-negara regional dan organisasi keamanan regional lainnya untuk memberikan dukungan kontrainsurgensi, meningkatkan keamanan dalam negeri, dan metode untuk peringatan dini insurgensi dan tindakan pencegahannya (Metz & Millen, 2005; Taylor, 2004).

Menurut David Galula, Bapak ahli strategi kontrainsurgensi dunia, pemberontak tidak akan menang hingga mereka memenuhi empat persyaratan utama: Pertama, motivasi atau alasan kuat yang melatarbelakangi pergerakannya; Kedua, berhasil memanfaatkan celah kekurangan lawan; Ketiga, penguasaan medan geografis yang meliputi kontur wilayah, batas negara, cuaca, dan jumlah penduduk; dan Keempat, dukungan eksternal yang meliputi dukungan moril, politik, finansial, dan dukungan kekuatan militer (Galula, 1964:67). Lebih lanjut menurut Guide to The Analysis of Insurgency, indicator kemenangan negara atas pemberontak dapat dilihat dari konsistensi penurunan eskalasi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok insurgen karena kehilangan kemampuan militer, bantuan eksternal, dan dukungan penduduk sipil terhadap gerakan insurgensi (CIA, 2012).

Dengan demikian konsep perang kontrainsurgensi kontemporer melihat penanganan konflik Papua melalui pendekatan humanis melalui dialog damai semata tanpa disertai pendekatan keamanan oleh negara jelas merupakan kesalahan fatal yang akan merugikan negara Indonesia sebagai pemilik otoritas politik dan kekerasan yang sah. Kelompok insurgen, dalam hal ini separatis Papua, menjadi diuntungkan baik dari sisi kemampuan bertempur maupun dari sisi kemampuan diplomasi insurgensi. Dari sisi kemampuan tempur, kelompok insurgen separatis Papua menjadi semakin kuat karena sama artinya tidak ada lagi deterrent effect yang mampu meredam provokasi kekerasan yang dilakukannya ketika negara membiarkan kelompok insurgen memiliki instrument kekerasan yang seharusnya tidak boleh dimiliki oleh selain negara. Terlebih di era rezim HAM dan kemajuan teknologi informasi, OPM memegang kendali atas diplomasi insurgensi dengan memanfaatkan dalih kelalaian negara menjamin stabilitas keamanan serta pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara di Papua sebagai amunisi propaganda untuk mendapatkan dukungan yang lebih luas untuk meloloskan cita-cita perjuangannya, yakni Papua merdeka.

Kembali pada rekomendasi resolusi konflik menurut analisis dynamic trust model yang telah dijelaskan sebelumnya, procedural trust menjadi hal yang tidak dapat ditawar untuk mengurai kompleksitas permasalahan konflik kekerasan bersenjata di Papua. Bagaimanapun juga penulis tidak akan menafikkan kenyataan bahwa ada problematika sejarah masa lalu seperti pelanggaran HAM oleh apparat keamanan di Papua dan marginalisasi etnis dan budaya yang masih menjadi akar masalah konflik Papua sebagaimana dinyatakan oleh peneliti-peneliti konflik Papua sebelumnya. Oleh karenanya, procedural trust untuk mencapai dialog damai harus dibangun berlandaskan akar masalah yang salah satunya adalah penyelesaian �borok� pendekatan keamanan yang dilaksanakan di Papua untuk menjamin keamanan setiap aktor yang berkepentingan dalam konflik. Pemerintah perlu menyediakan mekanisme pengawasan atas penyelenggaran keamanan di Papua yang akuntabel dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat yang ada serta dijabarkan dalam mekanisme, parameter dan tindaklanjut yang rigid dan jelas sebagai suatu mekanisme procedural trust yang realisitis baik bagi negara maupun Papua.

Penulis sepakat dengan rekomendasi yang diajukan para pemerhati konflik terdahulu yang menempatkan dialog damai sebagai jalan terbaik dalam resolusi konflik Papua. Namun demikian, penulis berpandangan bahwa rekomendasi dialog damai tidak serta merta lantas mengeliminasi opsi pendekatan keamanan sebagai sebuah langkah strategis untuk memitigasi eskalasi konflik kekerasan yang terjadi akibat provokasi kelompok separatis Papua. Kembali pada pemikiran (Galtung, 2011) bahwa resolusi konflik sejatinya harus mampu mengakomodasi kepentingan para pihak yang berkonflik, maka ada benang merah antara diskursus resolusi konflik dan perang kontrainsurgensi yang ditemukan dalam tulisan ini yakni adalah strategi elaborasi sipil-militer yang bergerak bersama dan padu dalam satu kerangka ketahanan nasional demi cita-cita perdamaian yang sustainable di tanah Papua. Procedural trust yang rigid untuk menjamin proses negosiasi yang kondusif melalui akuntabilitas pengawasan atas penyelenggaraan keamanan di Papua (termasuk intelijen di dalamnya) diharapkan dapat menjadi rekomendasi terbaik untuk memastikan proses resolusi konflik berjalan semestinya dengan tetap menjunjung tinggi penghargaan atas nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan alternatif pandangan mengenai resolusi konflik Papua yang selama ini ditawarkan peneliti konflik terdahulu yang menempatkan keamanan sebagai ganjalan dalam proses trust building konflik Papua sehingga pendekatan non kekerasan melalui dialog damai menjadi satu-satunya jalan keluar bagi resolusi konflik Papua. Dengan menggunakan Dynamic Trust Model, penulis mendiagnosis konflik kekerasan di Papua terjadi oleh karena tidak adanya interpersonal trust antar aktor yang berkonflik yakni OPM dengan pemerintah Indonesia terkait dengan isu sejarah integrasi, marginalisasi etnis, orientasi pembangunan serta pendekatan keamanan di tanah Papua. Dalam konsep resolusi yang ditawarkan Dynamic Trust Model untuk menangani konflik kekerasan yang sifatnya ekstrim seperti halnya yang terjadi di Papua, trust building sebagai landasan negosiasi damai yang berfondasikan bare trust antar aktor tidak akan menghasilkan resolusi yang efektif sehingga diperlukan procedural trust yang rigid.

Negosiasi dengan kelompok insurgensi tidak dapat dibangun dari kepolosan berfikir mengingat kelompok insurgen memiliki taktik manipulatif yang sewaktu-waktu dapat menjadi strategic surprises dalam konflik kekerasan. �Penggunaan media sosial oleh kelompok separatis Papua untuk mengangkat isu-isu HAM guna memperoleh dukungan yang lebih luas di dunia Internasional menjadi indikasi kepiawaian insurgen dalam memanfaatkan isu HAM sebagai amunisi diplomasi insurgensi sehingga perlu mendapat perhatian serius dalam penanganan konflik kekerasan di era kemajuan teknologi informasi. Eliminasi total pendekatan keamanan oleh negara jelas merupakan kesalahan fatal yang akan merugikan negara Indonesia sebagai pemilik otoritas politik dan kekerasan yang sah. Pendekatan elaboratif sipil-militer melalui akuntabilitas pengawasan atas penyelenggaraan keamanan dan intelijen sebagai procedural trust antar aktor yang berkonflik, sejalan dengan optimalisasi dialog damai yang perlu terus diupayakan, diharapkan dapat menjadi rekomendasi terbaik bagi resolusi konflik Papua dalam perspektif strategi perang kontrainsurgensi kontemporer.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Ayu, Rindu, & Winarno, Budi. (2001). Kegagalan Diplomasi Indonesia Dalam Mempertahankan Timor Timur di Perserikatan Bangsa-Bangsa (Gajah Mada University). Retrieved from http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/7441. Google scholar

 

Babbitt, Eileen. (n.d.). Conflict Resolution and Human Rights in Peacebuilding: Exploring the Tensions. Retrieved March 7, 2022, from UN Cronicle website: https://www.un.org/en/chronicle/article/conflict-resolution-and-human-rights-peacebuilding-exploring-tensions. Google scholar

 

Boudreau, Thomas E. (2011). When the Killing Begins: An Epistemic Inquiry into Violent Human Conflict, Contested Truths, and Multiplex Methodology. In Thomas Matyok, Jessica Senehi, & Sean Byerne (Eds.), Critical Issues in Peace and Conflict Studies: Theory, Practice and Pedagogy (pp. 19�42). Plymouth: Lexington Books. Google scholar

 

Budiatri, Aisah Putri. (2021). Risiko Label Teroris KKB Papua. Retrieved from Kompas.id website: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/05/06/risiko-label-teroris-kkb-papua.

 

CIA. (2012). Guide to The Analysis of Insurgency (pp. 1�40). pp. 1�40. Retrieved from https://www.hsdl.org/?view&did=713599%0A

 

Elisabeth, Adriana, Al Rahab, Amiruddin Pamungkas, Cahyo, & Widjojo, Muridan S. (2006). Trust Building dan Rekonsiliasi di Papua. Retrieved from https://papua.lipi.go.id/2021/04/trust-building-dan-rekonsiliasi-di-papua.Google scholar

 

Febrianti, Sekar Wulan, Arum, Ajeng Sekar, Dermawan, Windy, & Akim. (2019). Penyelesaian Konflik Internal antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Separatisme di Papua melalui Mekanisme Horse-Trading. Society, 7(2), 90�108. https://doi.org/doi.org/10.33019/society.v7i2.86. Google scholar

 

Furlong, Gary. (2005). The Conflict Resolution Toolbox. Ontario: Wiley. Google scholar

Galtung, Johan. (2011). Peace and Conflict Studies as Political Activity. In Thomas Matyok, Jessica Senehi, & Sean Byrne (Eds.), Critical Issues in Peace and Conflict Studies: Theory, Practice and Pedagogy (pp. 3�18). Plymouth: Lexington Books. Google scholar

 

Galula, David. (1964). Counterinsurgency Warfare: Theory and Practice. New York: Frederick A. Praeger Publishers. Google scholar

 

Gregorius, Andrean, Simamora, Pandapotan, & Budihardja, Georgius Ivan. (2021). Prinsip Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia: Studi Kasus Penembakan Militer Terhadap Masyarakat Nduga Papua. Jurist-Diction, 4(2), 499�518. Google scholar

 

Grotenhuis, Rene. (2016). Nation-building and state-building and the challenge of fragility. In Nation-Building as Necessary Effort in Fragile States (pp. 73�92). https. Google scholar

 

Hadi, Abdul. (2021). The Dynamics of Ethnonationalism and Conflict Resolution in Papua. Muharrik: Jurnal Dakwah Dan Sosial, 4(02), 267�282. Google scholar

 

Halkis, M. H. D. (2020). Rekonstruksi Otonomi Khusus Papua melalui Model Strategi Penta Helix Counterinsurgency ( COIN). Society, 8(1), 245�259. Google scholar

 

Ilmar, Anwar. (2017). Radikalisme Gerakan Berbasis Etnis: Kasus Organisasi Papua Merdeka. The Indonesian Journal of Public Administration (IJPA), 3(2), 72�87. Google scholar

 

John W. Creswell. (2009). Research Design: Qualitative,Quantitative, Mix Methods Approaches (Third Edit). California: Sage Publications. Google scholar

 

Kaisupy, Delvia Ananda, & Maing, Skolastika Genapang. (2021). Proses Negosiasi Konflik Papua: Dialog Jakarta-Papua. Jurnal Ilmu Sosial Dan Humaniora, 10(1), 82�98. Google scholar

 

Karnavian, T. M. (2017). Polri dalam Penanganan Insurgensi di Indonesia. Jurnal Ilmu Kepolisian. Edisi, (Agustus-Oktober), 16�29. Google scholar

 

Kompas TV. (2021). Mahfud MD Ungkap Jumlah Korban Kekerasan KKB Selama 3 Tahun Terakhir, Ini Rinciannya. Retrieved March 31, 2022, from kompas.tv website: https://www.kompas.tv/article/170641/mahfud-md-ungkap-jumlah-korban-kekerasan-kkb-selama-3-tahun-terakhir-ini-rinciannya

 

Lantang, Floranesia, & Tambunan, Edwin M. B. (2020). The internationalization of west papua issue and its impact on Indonesia�s policy to the south pacific region. Journal of ASEAN Studies, 8(1), 41�59. Google scholar

Lederach, John Paul. (2014). The Little Book of Conflict Transformation. New York: Skyhorse Publishing. Google scholar

Meel, Priyanka, & Vishwakarma, Dinesh Kumar. (2020). Fake News, Rumor, Information Pollution in Social Media and Web: A Contemporary Survey of State-of-the-Arts, Challenges and Opportunities. Expert Systems with Applications, 153(September). Google scholar

Metelits, Claire. (2010). Inside Insurgency: Violence, Civilians, and Revolutionary Group Behavior. New York: New York University Press. Google scholar

Metz, Steven, & Millen, Raymond. (2005). Insurgency and Counterinsurgency in the 21st Century: Reconceptualizing Threat and Response. In Strategic Studies Institue (Vol. 17). Google scholar

Nainggolan, Poltak Portogi. (2014). International Activities of Papua Separatist Movement. Kajian, 19(3), 181�199. Google scholar

Nasution, M. Alfi Rajabi, & Wiranto, Surya. (2020). Propaganda Issues of Racism Through Social Media To Trigger Social Violence in Papua and West Papua in 2019. Jurnal Pertahanan, 6(2), 212. Google scholar

Permanent Mission of the Republic of Indonesia to the United Nations. (2004). Questioning the Unquestionable: An Overview of the Restoration of Papua of Indonesia. Google scholar

Ramdhan, Muhammad Angga. (2021). Analisis Dimensi Internasional Konflik Papua dalam Model Counterinsurgency (COIN). Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, 17(1), 139�152. Google scholar

Raweyai, Yorrys. (2002). Mengapa Papua Ingin Merdeka (Heru Suprantio, Ed.). Jayaapura: Presidium Dewan Papua. Google scholar

Rifqy, Pradhana. (2018). Proses Perencanaan Gerakan United Liberation Movement For West Papua (Ulmwp) Untuk Meraih Dukungan Organisasi Regional Melanesian Spearhead Group (Msg) Tahun 2014-2016 (Universitas Brawijaya). Google scholar

Rumila, Diana Nur, & Effendi, Yusli. (2020). Analisis Wacana Free West Papua Campaign pada Operasi Militer Indonesia dalam Konflik Nduga : Sebuah Tinjauan Kritis. Jurnal Transformasi Global, 7(1), 27�42. Google scholar

Samparisna O. D. Koibur. (2021). Papua Conflict Reconciliation Model and Strategies. Konfrontasi: Jurnal Kultural, Ekonomi Dan Perubahan Sosial, 8(4), 293�303. Google scholar

Sasongko, Sigit. (2013). Diplomasi Insurjensi dalam Peperangan Asimetrik. Defendonesia, 1(1), 1�7. https://doi.org/10.54755/defendonesia.v1i1.1. Google scholar

Sianturi, Binsar H., & Hanita, Margaretha. (2020). Optimalisasi Peran Polri Dalam Penanganan Kelompok Kriminal Bersenjata di Papua. Jurnal Keamanan Nasional, VI(1), 73�94. Google scholar

Singh, Bilveer. (2020). Otonomi Dan Separatisme Bersenjata di Papua: Mengapa Cenderawasih Terus Takut Garuda. In Michelle Ann Miller (Ed.), Otonomi dan Separatisme Bersenjata di Asia Selatan dan Tenggara (1st ed., pp. 89�114). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Google scholar

Sobur, Alex. (2016). Psikologi Umum Edisi Revisi (6th ed.).Pustaka Setia. Google scholar

Soekanto, Soerjono. (2005). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Google scholar

Sugiyono. (2018). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi. In Bandung. Bandung: Alfabeta. Google scholar

Taddeo, Mariarosaria. (2009). Defining Trust and e-Trust: From Old Theories to New Problems. International Journal of Technology and Human Interaction, 5(2), 23�35. Google scholar

Taylor, Grady Scott. (2004). The Efficacy of the Instruments of National Power in Winning Insurgent Warfare: A Case Study Focused on Peru and Sandero Luminoso. US Military Academy. Google scholar

Walgito, Bimo. (2010). Pengantar Psikologi Umum (5th ed.). Yogyakarta: ANDI OFFSET. Google scholar

Wangge, Hipolitus Ringgi, & Webb-Gannon, Camellia. (2020). Civilian Resistance and the Failure of the Indonesian Counterinsurgency Campaign in Nduga, West Papua. Contemporary Southeast Asia, 42(2), 276�301. Google scholar

Wardhani, Baiq. (2009). Papua on the Net: Perjuangan Pemisahan Diri Papua melalui Dunia Maya. Persidangan Hubungan Indonesia-Malaysia 2009, 105�122. Retrieved from https://www.academia.edu/971617/Papua_on_the_Net

Widjodjo, Muridan S. (2009). Papua Road Map, Negotiating the Past, Improving the Present, Securing the Future (Muridan S. Widjojo, Ed.). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, LIPI, and Yayasan TIFA. Google scholar

Widjojo, Muridan S. (2014). Laporan Diskusi: Aktor Non-Negara dan Lingkaran Kekerasan di Papua. Retrieved March 30, 2022, from lipi.go.id website: http://lipi.go.id/berita/single/LAPORAN-DISKUSI-AKTOR-NON-NEGARA-DAN-LINGKARAN-KEKERASAN-DI-PAPUA/1287. Google scholar

Widjojo, Muridan S. (2019). Etnonasionalisme Papua dan Demokratisasi. In Syafuan . Google scholar

Rozi & Fahrur Roji (Eds.), Politik Identitas: Problematika dan Paradigma Solusi Keetnisan versus Keindonesiaan di Aceh, Riau, Bali dan Papua (pp. 77�111). Jakarta: PT Bumi Aksara. Google scholar

Yambeyapdi, Ester. (2019). Papua: Sejarah Integrasi yang Diingat dan Ingatan Kolektif. Indonesian Historical Studies, 2(2), 89�95. Google scholar

Yeksi Anakota, Marthsian. (2021). The Criminal Acts by Armed Criminal Group in Papua, �Treason� or �Terrorism�? Jurnal Komunikasi Hukum, 7(2), 641�662. Google scholar

Yulianto, Agus. (2021). Ini Kronologi Penetapan KKB Sebagai Kelompok Teroris. Google scholar

�����������

 

 

 

Copyright holder:

Jafits Al Fajri Nur Rafsanjani, Abdul Rivai Ras (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: