Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.
7, No. 4, April 2022
AKAD
TRANSAKSI JUAL BELI SENDE (STUDI KOMPARASI MADZHAB HANAFI DAN MADZHAB SYAFI�I)
Muhammad Abi Mansyur, Norma Fitria
Fakultas Agama
Islam, Universitas Hasyim Asy�ari Tebuireng
Jombang
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Penelitian akad transaksi
jual beli sende (studi komparasi
Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi�i) bertujuan untuk menjawab permasalahan yang tertuang dalam rumusan masalah.
Pertama; bagaimana pandangan akad transaksi jual beli sende menurut
Madzhab Hanafi, kedua; bagaimana pandangan akad transaksi jual beli sende
menurut Madzhab Syafi�i, ketiga; Bagaimana perbedaan dan persamaan pandangan akad transaksi jual beli sende
antara Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi�i. Penelitian ini adalah library research, yaitu penelitian yang dilakukan dan difokuskan pada penelaahan, pengkajian, dan pembahasan literatur-literatur, baik klasik maupun modern khususnya terkait pemahaman Madzhab Ḥanafi dan Madzhab Asy-Syafi�i. Penelitian ini bersifat deskriptif,
analitik, komparatif, dari pemikiran kedua tokoh secara
sistematis terkait suatu permasalahan dari kedua tokoh
yang memiliki latar belakang dan pemikiran-pemikiran
yang berbeda. Adapun pendekatan
yang digunakan oleh penyusun
adalah pendekatan uṣhul al-fiqh dengan menggunakan teori ikhtilaf al-maṣadir atau perbedaan dalam penggunaan metode penemuan hukum. Pendekatan dan teori di atas bertujuan
untuk menemukan perbedaan pemikiran dan latar belakang yang membedakan kedua tokoh tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, perbedaan antara Mazhab Ḥanafi dan Mazhab asy-Syafi�i disebabkan oleh perbedaan penggunaan dalil hukum (ikhtilaf al-maṣadir) yang digunakan
oleh keduanya. Madzhab Ḥanafi menggunakan
Al-Qur�an dan �urf sebagai dalil ketika memperbolehkan
jual beli sende. Sedangkan Mazhab Asy-Syafi�i menggunakan dalil qiyas ketika melarang jual beli sende.
Perbedaan lain adalah Madzhab Ḥanafi menganggap jual beli sende merupakan
bagian dari �urf ṣaḥiḥ. Sedangkan menurut Madzhab asy-Syafi�i, ia merupakan jual
beli yang tidak dikenal dalam kebiasaan
syariat. Adapun persamaannya,
Madzhab Ḥanafi menggunakan dalil yang sama-sama diakui kehujahannya oleh ulama ushul fiqih sunni, yaitu
Al-Qur�an dan qiyas.
Kata Kunci: jual beli,
sende, madzhab hanafi-madzhab syafi�i
Abstract
The research on the sende sale and purchase transaction agreement (the comparative study of the Hanafi Madzhab and the Syafi'i Madzhab) aims to answer the problems contained in the problem formulation. First; what is the view of the sende sale and purchase transaction contract according to the Hanafi Madzhab, second; what is the view of the sende sale and purchase transaction contract according to the Syafi'i Madzhab, third; How are the differences and similarities in the views of the sende sale and purchase transaction agreement between the Hanafi Madzhab and the Syafi'i Madzhab. This research is library research, namely research conducted and focused on the study, assessment, and discussion of literature, both classical and modern, especially related to the understanding of the Hanafi and Asy-Syafi'i Madzhab of thought. This research is descriptive, analytic, comparative in nature, from the thoughts of the two characters systematically related to a problem from the two characters who have different backgrounds and thoughts. The approach used by the authors is the uṣhul al-fiqh approach using the theory of ikhtilaf al-maṣadir or differences in the use of the legal discovery method. The approach and theory above aims to find differences in thoughts and backgrounds that distinguish the two figures. Based on the results of the study, the difference between the Hanafi Madzhab and the Ash-Syafi'i Madzhab is caused by the difference in the use of legal arguments (ikhtilaf al-maṣadir) used by both of them. The Hanafi madhhab uses the Qur'an and 'urf as evidence when it allows the buying and selling of sende. Meanwhile, the Ash-Syafi'i Madzhab uses the qiyas argument when it prohibits the buying and selling of sende. Another difference is that the Hanafi Madzhab considers buying and selling sende a part of 'urf aḥiḥ. Meanwhile, according to the ash-Syafi'i Madzhab, it is a sale and purchase that is not known in the Shari'a habit. As for the similarities, the Hanafi Madzhab uses arguments that are equally recognized as blasphemy by Sunni ushul fiqh scholars, namely the Qur'an and qiyas.
Keywords: buying and selling, sende, hanafi-syafi'i
madzhab
Pendahuluan
Bermualamah adalah aktivitas transaksi suatu akad tertentu yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang bertujuan meningkatkan perkenomian dengan cara tidak keluar
dari syari`at dan hukum Allah. Allah SWT menetapkan
syari`at-syariat dan hukum-hukum-Nya yang telah ada nash secara
jelas di dalam Al-Qur`an
dan Al-Hadits atau berupa ijtihad dari para Mujtahidin, karena tugas mereka adalah
mengerucutkan dalam setiap kejelasan hukum Allah dan menyingkap hukum yang samar dengan cara istinbath
al-aqliyyah. Maka tidaklah ada pensyari�atan
sesuatu kecuali dengan adanya kesepakatan
yang disertai hukum dan dengan tahqiq untuk keberlangsungan kemaslahatan, maka sesuatu yang diperbolehkan itu membawa kemanfaatan
yang baik dan sesuatu yang diharamkan itu membawa kemadharatan yang buruk.(Wahbah az-Zuhaili, 2020)
Islam telah meletakkan prinsip-prinsip yang dapat dijadikan pedoman oleh para Mujtahid untuk berijtihad menetukan hukum terhadap masalah-masalah baru yang sesuai dengan tuntunan
zaman. Inilah diantaranya
yang menjamin eksistensi
dan fleksibelitas hukum
Islam, sehingga hukum Islam
akan tetap �shalihun likulli zaman wal makan� yaitu sesuai dengan
setiap waktu dan tempat. Demikian atas dasar inilah,
Islam kemudian mensyari�atkan
kaidah aturan-aturan perekonomian yang dapat menjadi mediasi bagi manusia untuk
saling melakukan transaksi dengan model yang diperbolehkan salah satunya yaitu bai al-wafa�, aturan-aturan itu juga ditujukan untuk mengentaskan kemiskinan dan ledakan pengangguran melalui konsepsi kewajiban zakat, pemberian nafkah, dan hasil denda pelanggaran hukum (kafarat). Ibnu
Al-Qoyyim berkata �Sesungguhnya syari�at itu dikonstruksikan dan dilandaskan atas hukum dan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Secara umum, syari`at
itu adil, mengandung rahmat, kemaslahatan, dan adanya suatu hikmah�.(Husain & At-Tariqi, 2004)
Akad adalah jalinan dua hal
yang dipersatukan antara satu pihak dengan
pihak lain, sehingga membentuk suatu kesatuan sebagai sarana persatuan yang dipelihara dan diperkuat, atau ikatan suplai dengan cara yang telah ditentukan dan pengaruhya sesuai
dengan kondisi yang melingkupinya.(Husain
& At-Tariqi, 2004) Jual beli adalah penukaran
sesuatu dengan yang lain
yang memberikan hak milik barang secara
mu�awadhoh (tukar-menukar)
yang dilegalkan oleh Syara�,
atau memberikan hak milik jasa
secara permanen dengan alat tukar
yang bernilai.(Irsyad al-Masail, 2015)
Istilah sende Menurut Van Vollenhoven, seorang ahli hukum� adat yang memperkenalkan hukum adat Indonesia
(hetindische adatrecht) sende merupakan suatu perjanjian tanah
untuk menerima sejumlah uang secara tunai dengan permufakatan bahwa si Penyerah
tanah berhak atas kembalinya tanah dengan jalan membayar kembali sejumlah uang
yang sama.(Ter,
n.d.) telah dikenal sejak pada masa Jawa Kuno di
Kerajaan Hindu-Budha dan diatur dalam peraturan undang-undang di Indonesia. Transaksi sende ini
telah berkembang baik dari segi
aturan maupun praktik yang dilakukan oleh orang
Jawa pada umumnya. Sende
adalah bisnis jual beli gadai,
yaitu pengalihan sebidang tanah dengan pembayaran sejumlah uang tertentu secara tunai, dengan
ketentuan bahwa penjual (pemilik bidang tanah) masih
berhak atas pengembalian sebidang tanahnya dengan jalan menebusnya kembali (pembayaran uang yang sama
jumlahnya), atau dapat diartikan sebagai penyerahan sebidang tanah milik
seseorang kepada orang lain untuk sementara waktu yang sekaligus di ikuti
dengan penyerahan sejumlah uang secara tunai sebagai uang gadai dengan
ketentuan bahwa tanah akan dikembalikan kepada pemilik tanah jika ditebus dengan sejumlah uang yang sama kepada pemegang gadai. Soepomo menyebutkan
bahwa unsur mutlak dari gadai tanah ialah bahwa si pemegang gadai mendapat
kekuasaan sepenuhnya mengenai tanah seolah-olah itu miliknya. Jika sudah ditebus,
kekuasaan itu berpindah lagi kepada pemilik tanah. Disamping itu, penyerahan hak gadai kepada
pihak ketiga (pindah gadai) dapat
dilakukan oleh si pemegang gadai, harus diketahui oleh si pegadai.(Hajati, 2018)
Menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran secara tunai sejumlah uang
sedemikian rupa, sehingga orang yang menyerahkannya tetap ada hak atas
kembalinya tanah itu kepadanya dengan jalan membayar kembali dengan jumlah uang
yang sama, hal tersebut oleh orang Minang menyebutnya dengan �menggadai�,
orang Jawa menyebutnya �adol sende�, orang Sunda menyebutnya �ngajual
akad� atau �gade�. Menyerahkan tanah untuk menerima tunai pembayaran
uang tanpa hak menebusnya, jadi untuk selama-lamanya oleh orang Jawa
menyebutnya dengan �adol plas, runtumurun�, orang Kalimantan menyebutnya
dengan �menjual jaja�. Menyerahkan tanah untuk menerima tunai pembayaran
uang dengan janji bahwa tanah akan kembali lagi kepada pemiliknya tanpa
perbuatan-perbuatan hukum lagi, itupun sesudahnya berlalu beberapa tahun panen,
hal ini orang Jawa meneyebutnya dengan �adol ojodan� dalam bahasa Indonesia
disebut dengan �menjual tahunan�.(Ter
Haar, 1960) Dikalangan masyarakat sebagian berasumsi
mengenai model transaksi ini bahwa kurang adanya titik temu terhadap akadnya,
dikatan gadai tetapi barang jaminan diambil manfaatnya, jual beli tetapi hutang
piutang, tetapi masyarakat pada umumnya banyak yang melakukan transaksi
tersebut, bahkan bisa dikatakan masyarakat sering melakukannya untuk
meningkatkan kualitas perkenomiannya masing-masing.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan pengaruh penjajahan kolonial terhadap bangsa Indonesia, transaksi sende yang awalnya didasarkan atas hubungan batin atau kekeluargaan dan gotong
royong sehingga bebannya ringan telah berubah
menjadi transaksi yang bersifat pamrih dan mempertimbangkan untung rugi. Oleh karena
itu, posisi petani sebagai masyarakat kelas bawah menjadi semakin
lemah dan sulit karena beban berat
yang harus mereka tanggung. Untuk
melindungi petani ini, pemerintah mengeluarkan peraturan yang berupa Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960. Transaksi sende diatur dalam
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)
No. 56 Tahun 1960 Pasal 7
yang menetapkan bahwa gadai tanah pertanian
yang telah berlangsung tujuh tahun lebih,
harus dikembalikan kepada pemiliknya tanpa uang tebusan.� Mahkamah Agung kemudian memutuskan dalam peraturannya Tanggal 6 Maret 1971 No
810K/Sip/1970 bahwa ketentuan
dalam PERPU No. 56 Tahun
1960 Pasal 7 bersifat memaksa dan tidak dapat dilunakkan karena telah diperjanjikan
antara kedua belah pihak yang bersangkutan.(Bushar, 1998) Model transaksi seperti ini dibeberapa
wilayah (Dusun Ngampelrejo Desa Blaru Kecamatana Badas Kabupaten Kediri, Dusun
Wonoasri Desa Badang Kecamatan Ngoro Kabupaten Jombang) dilakukan oleh masyarakat
yang dikenal dengan sangat baik saja bukan keseluruhan orang, hubungan yang
sangat baik itu seperti: dengan saudara, tetangga dekat, atau teman akrab,
dikarenakan rasa percaya yang ditanamkan mempengaruhi dalam pelaksanaannya.
Menurut peneliti, transaksi ini
kurang jelas dalam segi akadnya,
disebut akad jual beli tetapi
ada kata gadai. Sedangkan didalam Islam, ketika seseorang bermuamalah melakukan akad haruslah jelas
tidak boleh ada kesamaran atau
ketidak jelasan didalam akad tersebut
dan apabila seseorang melakukan akad terdapat kesamaran atau ketidak jelasan
melakukan akad, maka akad tersebut
tidak sah atau batal akadnya
secara hukum fiqih.
Metode Penelitian
Jenis penelitian ini
adalah penelitian pustaka (library research) yaitu penelitian yang menggunakan buku-buku sebagai sumbernya. Dengan menekankan penelusuran dan penelaahan bahan-bahan pustaka dan literatur yang sesuai dengan masalah
akad transaksi jual beli sende.
Baik menurut Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi�i dan literatur-literatur penunjang sebagai pelengkap dan pembanding.
Sifat Penelitian
yang digunakan dalam penelitian adalah deskriptif analitik komparatif (Sudarto,
2002), yakni penelitian yang bertujuan
untuk memaparkan dan selanjutnya menganalisis antara Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi�i dalam masalah akad
transaksi jual beli sende. Kemudian dari hasil
analisis tersebut dikomparasikan antara kedua hukum tersebut
untuk ditarik ke arah kesimpulan.
Penulis menggunakan jenis
penelitian deskriptif-komparatif
(library research) yaitu merupakan
penelitian yang obyek utamanya adalah buku-buku, kitab-kitab, majalah, jurnal, pamflet, dan bahan dokumenter lainnya. Sumber data ini diperlukan guna memperoleh bahan tentang masalah
ini, dengan menelaah secara langsung pokok-pokok permasalahan dalam kajian kepustakaan.
Teknik
Pengumpulan Data yang digunakan dalam
pembahasan ini adalah kepustakaan, maka teknik pengumpulan
data yang penulis terapkan adalah dengan cara
membaca dan mengkaji bagian-bagian tertentu yang dianggap penting dan berhubungan dengan pembahasan dalam skripsi ini, kemudian
melakukan pencatatan atau mengkutip, selanjutnya diklasifikasi sesuai dengan sistem
pembahasan. Adapun data yang akan
diperoleh dalam penulisan ini adalah
dengan cara membaca kitab-kitab dan buku-buku
yang membahas tentang masalah yang berkaitan dengan pembahasan dalam penyusunan skripsi ini. Setelah
itu, penulis mencoba membandingkan antara Hanafiyah dan Syafi�iyah.
Teknik
analisis data pada penelitian ini
menggunakan analisis kualitatif yakni, tidak dilakukan dengan cara perhitungan
statistik, melainkan dengan cara membaca
dan mencermati data yang telah
diolah. Untuk itu, analisis dilakukan
dengan menggunakan metode deduktif dan komparatif. Deduktif, adalah proses analisis yang berangkat dari kebenaran umum mengenai suatu
fenomena (teori) dan menggeneralisasikan kebenaran tersebut pada suatu peristiwa atau data tertentu yang berciri sama dengan fenomena
yang bersangkutan (prediksi).(Sudjana, 2001) Komparatif adalah suatu analisis data dengan cara membandingkan
dua data yang telah dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya, sehingga dengan analisis ini, perbedaan
dan persamaan antara keduanya dapat ditemukan dengan hakikat penelitian obyek diperoleh yang lebih murni. (Nasir,
2003)
Cara
Pendekatan dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan yuridis empiris, yaitu suatu pendekatan dengan cara melihat
ketentuan-ketentuan hukum
yang telah disyariatkan dalam hukum Islam.(Sukanto, 1986) tentang keharusan
pelaku usaha memberikan informasi yang benar (jujur) dalam
usahanya. Dari sini, penulis melakukan perbandingan terhadap peraturan perundang-undangan yang
mempunyai relevansi terhadap pembahasan penelitian ini.(Ibrahim, 2006)
Hasil dan Pembahasan
A.
Transaksi Akad Jual
Beli Sende Menurut Madzhab Hanafi
Bai�
al-wafa, bisa dimasukan ke ranah kategori
praktek jual beli kontemporer, karena ia muncul
sekitar abad 5 Hijriyyah di Bukhara.(Mardani, 2015)
Oleh karena itu, Status hukumnya diperdebatkan oleh para
ulama, dimana ada pihak yang pro dan kontra. Dalam konteks ini,
Madzhab Hanafi termasuk pihak yang pro (melegalkan). Ibn
Abidin sebagai salah satu
ulama penganut Madzhab
Hanafi dalam menentukan hukum terhadap suatu permasalahan tidak lepas dari
pendiri Madzhabnya, yaitu Imam Abu Hanifah yang dikenal sebabagi ahli ra�yu. Dalam karya Ibnu
Abidin, Raddul Muhtar, beliau
berpendapat bahwa hukum jual beli
bai� al-wafa diperbolehkan,
dengan alasan untuk menghindarkan masyarakat dari riba dalam pinjam
meminjam.(Sholikah, 2012) Walaupun pada jual beli ini barang
yang dijual tersebut harus dikembalikan lagi kepada penjual,
namun pengembaliannya juga melalui akad jual
beli. Pendapat ini di pegang oleh generasi mutaakhirin dari Madzhab Hanafi.(Sudiarti, 2016)
Metode
Yang Digunakan Madzhab
Hanafi dalam Pembenaran Bai�
al-wafa yang dinyatakan
Madzhab Hanafi di atas, adalah sebuah bentuk
hasil ijtihad. Dan setiap
ijtihad yang dilakukan oleh suatu
Madzhab, sudah tentu bertolak dari asas dan metode
yang dianutnya. Asas adalah landasan yang dijadikan tolok ukur, sementara metode adalah cara
yang digunakan untuk menilai sesuatu. Dalam konteks Bai� al-wafa, asas Dalam sejarah pemikiran
hukum Islam, kita mengenal Madrasatu al-Ra�yu, yakni sebuah lembaga yang memiliki ciri khas
tersendiri. Rasional principle telah
dibangun oleh generasi sebelumnya kemudian dipupuk, dilestarikan dan dikembangkan
oleh generasi berikutnya. Al-Nakha�i
sebagai penggagas dan pendiri lembaga rasional (Madrasatu Al-Ra�yu) berhasil mencetak kader yang tangguh dan berlian. Dialah Abu Hanifah seorang �alim yang integritas keilmuannya sangat mumpuni. Dibawah ketokohan kharismatikannya tradisi rasional principle
lebih berkembang.
Terlebih ketika ia membangun Madzhab
sendiri, keberadaannya lebih terarah dan sistemik. Bertolak dari asas rasionalitas
di atas, Madzhab Hanafi memandang bahwa, praktek Bai� al-wafa adalah sebuah transkasi
jual beli yang bisa diterima oleh akal pikiran. Dilihat
dari sisi mekansimenya, ia seperti jual beli
pada umunya yang terbangun dari empat rukun,
yaitu:
1. Adanya barang yang dijual
2. Penjual
3. Pembeli
4. Shigat.
Dilihat
dari sisi tujuannya sudah jelas, bahwa ia
(Bai� al-wafa) adalah
untuk mencari keuntungan dan kemanfaatan ke dua belah
pihak (penjual dan pembeli).(Mardani, 2012) Metode yang digunakan oleh Madzhab Hanafi adalah Metode atau konsep
yang dijadikan alur pemikiran Madzhab Abu Hanifah dalam menetapkan
hukum adalah Istihsan. Dalam konteks ini ia
serang mengatakan, �astahsinu� artinya saya menganggap baik. Penetapan hukum dengan cara
Istihsan ini diikuti oleh murid-muridnya sehingga golongan Hanafiah dikenal sebagai golongan yang menilai Istihsan sebagai salah satu metode istinbath hukum. Istihsan adalah sumber hukum
yang banyak dipakai dalam terminologi dan istinbath hukum oleh Madzhab Hanafi. Mengenai definisinya, muncul ragam pendapat para ulama. Istihsan merupakan suatu metode istinbat
hukum yang sangat relevan dengan pembaharuan hukum Islam salah satunya di bidang muamalah. Karena istihsan berupaya melepaskan diri dari kekuatan hukum
yang lainnya, selagi tidak bertentangan dengan al-Qur'an dan hadits. istihsan dijadikan pegangan oleh Ulama� Hanafiyah sebagai pertimbangan dilegalkannya akad Bai� al-wafa dengan alasan bahwa akad
ini berjalan baik di tengah-tengah masyarakat Bukhara dan Balkh yang pada sebelumnya
menerapkan akad pinjam meminjam namun mengandung riba.(Ubaidillah & Nawawi, 2017)
Dalam
fiqih Hanafi, istihsan
dibagi dalam empat macam, yaitu
istihsan dengan nash, istihsan dengan ijma�, istihsan dengan dharurat, dan istihsan dengan qiyas
khafi. Tetapi ada beberapa ulama yang menyebutkan istihsan dengan mashlahat, dan istihsan dengan �urf adalah juga merupakan bagian dari Istihsan. Diantara mereka ada menyimpulkan bahwa pembagian dua Istihsan terakhir ini adalah
bersumber dari masalah-masalah yang diriwayatkan
golongan Hanafiah, walaupun dalam kitab Ushul Fiqh tidak pernah ada pembahasan
mengenai hal itu.� Berdasarkan pada teori istihsan mengutamakan realitas tujuan syari�at. Artinya mereka yang berdasarkan istinbath hukum berdasarkan istihsan adalah bertujuan untuk menerapkan dalil-dalil yang umum. Metode ini juga digunakan dalam rangka memperhatikan tujuan untuk menarik
kemaslahatan dan menolak kesukaran dalam penerapan dalil umum tersebut, karena setiap dalil
itu dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan yang mencari pesan inti dari syari�ah yang diturunkan
oleh Allah.
Atas
dasar paradigma istihsan tersebut, Madzhab Hanafi memandang, bahwa bai� al-wafa merupakan solusi paling tepat untuk meminimalisir
sistem riba yang berlaku pada zaman itu (di
Bukhara). Oleh karena itu,
para syeikh dari kalangan Hanafi, atas dasar pertimbangan tersebut melegalkannya. Dalam konteks ini
dapat diketahui, bahwa inti tujuannya tidak lain adalah untuk menciptakan kemaslahatan yang merupakan inti
sari dari tujuan hukum Islam (Maqashidu al-Syari�ah) dan juga tidak lepas atas dasar
pertimbangan tradisi setempat (�urf) yang berlangsung saat itu. Bahwa bai� al-wafa hadir sebagai tradisi yang berlaku secara turun-temurun di Bukhara. Karena demikian
wujudnya, maka tradisi tersebut dijadikan bagian integral dari mekanisme hukum. Disamping secara moral untuk menghindari dari tradisi ribawi, juga secara social ekonomi, jual beli tersebut
(bai� al-wafa), juga menguntungkan
kedua belah pihak. Bagi pihak
pembeli-umpamanya sawah-dalam
jangka waktu tertentu (dua tahun
misalnya) ia bisa diolah dan dimanfaatkan sementara kentungannya bisa dinikmati oleh dia (si pembeli). Sementara
bagi si penjual,
ia juga merasa tertolong dengan transaksi tersebut karena ia dalam
kedaan butuh. Selanjutnya ketika batas ketentuan temponya telah habis, tanah bisa
dibeli kembali sehingga kepemilikannya menjadi mutlak dan utuh.
B.
Transaksi Akad Jual
Beli Sende Menurut Madzhab Syafi�i
Konsep
bai� al-waf� Menurut
Fikih Syafii Perdagangan atau jual beli secara
bahasa berarti al-mub�dalah (saling menukar).(Sayyid Sabiq, 2009) Mengenai pengertian jual beli dalam pengertian
seperti yang dijelaskan dalam definisi berikut: Ketika melakukan transaksi jual beli, penting untuk
mencari dan membeli barang halal juga mempertimbangkan
halal. Artinya, mencari barang halal untuk dijual kepada orang lain atau memperdagangkannya secara jujur, bebas
dari sifat-sifat yang dapat merugikan penjualan, seperti penipuan, pencurian, penyitaan, riba, dll.(Mas�ud & Abidin, 2000)
Secara etimologis, waf� (memenuhi) adalah lawan kata dari alghadr (khianat,
ingkar janji). Waf� bi 'ahd artinya
dia menepati janjinya Waf� adalah
akhlak yang mulia. Aufa alrajul haqqah artinya memberikan sepenuhnya hak-hak manusia. Disebut jual beli
waf� karena pembeli wajib memenuhi
syarat-syaratnya. Adapun Bai' al Waf�
secara terminologi adalah jual beli
dengan syarat, yaitu jika penjual
mengembalikan uang hasil penjualan, pembeli mengembalikan barang tersebut kepada penjual�.(muhammad bin Ahmad Al-Mahali, 2001)
Menurut
Sayyid Sabiq dari Fiqh-Sunnahnya, Bai' al-waf� adalah orang bermasalah yang menjual barang-barang yang dijanjikan. Janji tersebut menandakan bahwa barang tersebut
akan dikembalikan pada saat pembayaran telah dipenuhi (refund). Para pihak atau penjual
berhak untuk menuntut kembali atau membeli kembali
barang yang dijual kepada pembeli. Dari pengertian di atas, kita dapat melihat
bahwa bai� al waf� ini memiliki tenggang
waktu yang terbatas. Misalnya satu tahun,
dua tahun, dst, tergantung kesepakatan. Pada akhir masa tenggang, penjual membeli kembali barang dari pembeli.
Pada umumnya barang yang diperdagangkan di Bai' al-waf� adalah barang tidak
bergerak seperti tanah perkebunan, rumah, pemukiman dan sawah. Kisah munculnya Bai`al-Waf� adalah bahwa masyarakat Bukhara dan
Balkh pada saat itu mengembangkan suatu bentuk jual beli
untuk menghindari terjadinya riba, yang kemudian dikenal dengan Bai`al-Waf�. Banyak orang
kaya tidak mau meminjamkan uang yang tidak bersahabat. Sementara itu, banyak debitur
yang tidak mampu lagi melunasi utangnya
akibat terutangnya premi. Di sisi lain, menurut ulama hukum Islam, pinjaman dan imbalan yang diberikan berdasarkan hutang termasuk riba. Barang yang dibeli oleh pembeli dapat digunakan oleh pembeli. Agunan debitur merupakan jaminan utang selama masa tenggang yang disepakati, sehingga hanya pembeli yang dapat menjual barangnya kepada siapa pun selain penjual aslinya. Jika debitur sudah memiliki dana untuk membayar kembali dengan harga jual semula
pada saat jatuh tempo, maka barang tersebut
harus dikembalikan kepada penjual.
Dari uraian Bai` al-Waf�, penulis dapat melihat bahwa suatu akad terdiri dari tiga bentuk, yaitu:
1. Ketika terjadi suatu transaksi maka akad tersebut
adalah jual beli
karena akad tersebut mengartikan bahwa transaksi tersebut adalah jual
beli. Misalnya, melalui kata-kata penjual �Saya menjual sawah saya seharga lima juta rupee dalam dua tahun�.
2. Setelah transaksi dilakukan dan kepemilikan berpindah kepada pembeli, maka transaksi tersebut berbentuk ijarah (pinjaman/sewa), karena barang yang dibeli harus dikembalikan
kepada penjual walaupun pemilik memiliki harta benda.
hak untuk menggunakan dan menikmati hasil
dari barang-barang tersebut dalam jangka waktu yang telah disepakati.
3. Pada akhir akad, ketika masa tenggang yang disepakati berakhir, bai` alwaf� sama dengan rahn, karena pada tanggal jatuh tempo yang disepakati kedua belah pihak, penjual
harus mengembalikan kepada pembeli sejumlah harga yang dibayarkan. . pada awal akad dan pembeli harus mengembalikan
barang yang dibeli secara penuh kepada penjual.
Sebenarnya jual beli
seperti itu tidak
dibenarkan, karena tujuan sebenarnya adalah riba, yaitu untuk membayar terlambat, sedangkan alat-alat yang digunakan dalam penjualan mempunyai hak penebusan. dan keuntungan yang sama. Namun status jual beli
untuk mencari untung atau jual
beli tanpa jaminan tidak dapat
dipisahkan dari jual beli ini karena yang dilihat
adalah sifat dan tujuan sebenarnya dari jual beli
tersebut, bukan sekedar bentuk sederhana dan bentuk pihak-pihak di luarnya.
Ulama Syafi`iyah menganggap Bai` al-Waf� fasid karena syarat penjual
adalah mengambil kembali barang dari
pembeli. Jika pembeli
mengembalikan� jumlah yang dibayarkan bertentangan dengan tujuan penjualan yaitu milik
pembeli kepada pembeli. barang yang dibelinya
bersifat permanen.
Hal ini juga sesuai dengan hadits Nabi
Muhammad: �Setiap utang yang menyertai penggunaan (kepada debitur) adalah riba�
Karena akad bai` al-waf� sudah dipastikan sebagai penjualan sejak awal, pembeli bebas menggunakan barang tersebut
tanpa batas waktu. Ulama Syafi�iyah tidak melegalisasi jual beli ini, alasan
mereka diantaranya:(al-Mahall�, 2001)
1.
Dalam akad jual
beli tidak diperkenankan adanya tenggang
waktu, karena akad jual beli
adalah akad yang sepenuhnya meliputi peralihan hak milik
dari penjual kepada pembeli.
2.
Dalam jual beli, tidak boleh ada syarat
bahwa barang yang dijual harus dikembalikan
oleh pembeli kepada penjual asal, hanya bila uang siap dikembalikan pada harga awal.
3.
Bentuk perdagangan ini tidak ada
di zaman Nabi SAW maupun di zaman para sahabat.
Ada 2 (dua) kebijakan atau saran ulama Syafi`i mengenai kemustahilan Bai`al Waf�:
1. Patuhi metode hukum. �Cengkeraman suatu akad adalah maksud
dan maknanya, bukan perintah lafadz dan redaktur.� Maksud dari kaidah
ini adalah bahwa maksud atau makna merupakan intisari dan pilar utama akad. lafadz
dan kalimat redaksi merupakan pengantar atau
cangkang yang mengarah
pada inti permasalahan. Namun demikian, bukan berarti
mengabaikan seluruh lafadz lafadz, karena lafadz lafadz adalah sarana
yang dimaknai dan diekspresikan.
Jadi hal pertama yang menyentuh Anda adalah makna lafadz lafadz yang jelas. Apabila sulit dipaham
antara lafadz dengan makna yang dimaksud oleh kedua orang yang melakukan akad, maka dikembalikan kepada makna atau
tujuan dan dikesampingkan aspek lafadz-nya sesuai dengan dalalah
atau qarinah.(Arfan, 2013)
2. Berpegang
pada dalil sadd
al-dzari�ah, yaitu untuk mencegah terjadinya riba.
Dari penjelasan di atas
terlihat bahwa hujjah
madzhab Syafi'i tidak membolehkan bai` al-waf� karena merupakan bentuk jual beli menurut susunan lafadz atau redaksi,
namun dengan hati-hati, maksud dan pelaksanaan bai` al-waf� adalah: Kombinasi jual beli Ij�rah dan Rahn. Jika pelaksanaan bai` al-waf� merupakan jual beli bersyarat dan pembeli harus mengembalikan barang yang dibeli setelah ditebus
atau dibayar oleh pemilik barang, maka pelaksanaan bai` al-waf� juga bersyarat. Oleh karena itu dari
penjelasan-penjelasan yang peneliti
sampaikan, peneliti dapat mengoreksi bahwa bai` al-waf� merupakan bentuk modifikasi dari jual beli yang tujuan utamanya untuk menghindari riba, namun dari pelaksanaannya, peneliti Kami telah mengamati bahwa jual
beli ini masih termasuk dalam riba dan itu masih satu-satunya
implementasi pembelian fasid.
C. Analisis Komparatif
Pendapat Imam Syafi�i dan
Imam Hanafi Tentang Akad Jual Beli Sende
Jual beli dengan sistem sende adalah jual beli yang hanya dengan penyerahan
dan penerimaan tanpa dan ucapan atau ada
ucapan tetapi dari satu pihak
saja namun kemudian kalangan ahli fiqih memakainya
untuk jual beli yang bersifat saling memberi secara khusus.(Az-Zuhaili,
2011) Pengertian Bai�
Al-Wafa sebagai berikut:
�Adalah kesepakatan antara kedua belah
pihak mengenai harga (tsaman)
dan barang yang dijual (mutsaman), kedua belah pihak saling memberi
dengan dan tanpa persetujuan, dan terkadang ada lafadz (perkataan) dari salah satu pihak.�.(Az-Zuhaili,
2011)
Akad/Transaksi terkadang dilakukan tanpa menggunakan perkataan atau lafadz melainkan dengan perbuatan yang muncul dari kedua
pengakad. Hal ini disebut dalam fiqih
yaitu bai� al-wafa. Menurut Musthafa Ahmad Az-Zarqa
dan Abdurrahman Ash-Shabuni, transaksi
seperti ini baru mendapatkan justifikasi dari ulama fiqih setelah berjalan
beberapa lama. Maksudnya, bentuk jual beli
(bai� al-wafa�) telah
berlangsung beberapa lama
dan akad jual beli ini telah
menjadi �urf (adat kebiasaan) di masyarakat Bukhara dan Balkh, baru
dalam hal tersebut ulama fiqih dari hanafiyah melegalisasi akad jual beli ini.(Mardani,
2016)
Dari segi sejarah sosial, munculnya bai� al-wafa di tengah-tengah masyarakat Bukhara dan Balkh pada pertengahan
abad ke-5 M disebabkan
oleh kenyataan bahwa para pemilik modal tidak mau lagi meminjamkan uang kepada mereka yang membutuhkan, jika mereka tidak mendapat
imbalan apapun, hal seperti ini
membuat kesulitan bagi masyarakat yang memerlukan. Situasi ini membuat mereka membuat kesepakatan sendiri untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dan memenuhi keinginan orang kaya.(Mardani,
2016)
Metode berfikir para ulama Hanafiyah dalam melegalkan transaksi ini, memberikan justifikasi terhadap bai� al-wafa� adalah didasarkan pada istihsan
urfi. Akan tetapi para
ulama fiqih lainnya tidak melegalkan bentuk jual beli
ini.(M
Sulaeman Jajuli, 2015) Alasan mereka adalah:
1. Akad jual beli tidak dibenarkan
adanya tenggang waktu, karena jual
beli adalah akad yang mengakibatkan perpindahan hak milik secara sempurna
dari penjual kepada pembeli.
2.
Jual beli tidak boleh
dengan syarat pembeli harus mengembalikan barang kepada penjual asal jika barang
yang dijual bersedia dikembalikan dengan harga semula.
3. Jual beli ini merupakan hillah
yang tidak sejalan dengan maksud syara`
pensyariatan jual beli.[1]
Namun Demikian, para ulama mutaakhirin (generasi
belakangan) dapat menerima baik bentuk
jual beli ini, dan menganggapnya sebagai akad yang sah, bahkan dijadikan
hokum positif dalam majjah al-ahkam al-adhliyah (Kodifikasi Hukum Perdata Turki Utsmani) yang disusun pada tahun 1287 H, yaitu satu judul
dengan bai� al-wafa�
yang mencakup 9 pasal, yaitu pasal 118-119 dan pasal 396-403.(Mardani,
2015)
Begitu juga dalam hukum positif Indonesia bai�
al-wafa� telah diatur dalam Kompilasi
Hukum Ekonomi Syari`ah (KHES) Pasal
112-115:
Pasal 112
�
Dalam jual beli yang bergantung pada hak penebusan, dapat uang seharga barang yang dijual dan menuntut barangnya dikembalikan.
�
Pembeli sebagaimana diatur dalam ayat
(1) berkewajiban mengembalikan
barang dan menuntut uangnya kembali seharga barang itu.
Pasal 13
�
Barang
dalam jual beli yang bergantung pada hak penebusan tidak
boleh dijual pada pihak lain baik oleh penjual maupun oleh pembeli kecuali ada kesepakatan oleh para pihak.
Pasal 14
�
Kerugian
barang dalam jual beli dengan
hak penebusan adalah tanggung jawab pihak yang menguasainya.
�
Penjual
dalam jual beli dengan hak
penebusan berhak untuk membeli kembali
atau tidak terhadap barang yang telah rusak.
Pasal 15
�
Hak
membeli kembali dalam bai� al-wafa� dapat diwariskan.
Kesimpulan
Perbedaan
pendapat antara Madzhab Ḥanafi dan Madzhab asy-Syafi�i tentang hukum jual
beli dengan akad sende adalah disebabkan oleh perbedaan penggunaan dalil hukum (ikhtilaf al-maṣhadir)
yang digunakan oleh kedua Madzhab tersebut. Madzhab Ḥanafi menggunakan al-Qur�an dan �urf
sebagai dalil untuk memutuskan dan memperkuat argumentasi mereka tentang kebolehan jual beli dengan akad
sende. Sementara Madzhab asy-Syafi�i lebih menggunakan dalil qiyas ketika melarang jual beli
dengan akad sende. Perbedaan metode ini pada gilirannya menyebabkan perbedaan pendapat di antara kedua Madzhab
tentang jual beli dengan akad
sende. Selain itu, Madzhab Ḥanafi
menganggap jual beli dengan akad
sende sebagai �urf ṣhaḥiḥ,
sehingga bisa dijadikan ketentuan hukum. Berbeda dengan Madzhab asy-Syafi�i yang menganggap jual beli dengan
akad sende tidak dikenal dalam
kebiasaan syariat, sehingga tidak dapat ditetapkan sebagai hukum.
Persamaan
antara Madzhab Ḥanafi dengan Madzhab Asy-Syafi�i adalah sama-sama dari kalangan sunni,
sehingga ketika melakukan ijtihad menggunakan
sumber hukum yang sama-sama diakui oleh para ulama uṣhul sunni. Sumber hukum yang disepakati kehujahannya oleh para
ulama uṣhul sunni
adalah al-Qur�an, hadis, ijma�,
dan qiyas. Dalam persoalan
ini, Madzhab Ḥanaf� menjadikan al-Qur�an
sebagai dalil ketika menetapkan kebolehan jual beli dengan akad
sende. Madzhab asy-Syafi�i menggunakan qiyas
ketika melarang jual beli dengan
akad sende. Persamaan lainnya adalah berkaitan dengan barang yang memiliki nilai kecil. Madzhab asy-Syafi�i yang diambil dari pendapat Imam Nawawi memperbolehkan jual beli dengan akad
sende untuk barang yang memiliki nilai kecil. Madzhab
Ḥanafi sendiri jual beli dengan
akad sende boleh secara mutlak,
baik menyangkut barang yang kecil nilainya maupun menyangkut barang yang besar nilainya.
BIBLIOGRAFI
Al-Mahall�. (2001). Kanz Al-R�ghib�n. Beirut: Dar
Al-Kutub Al-Ilmiyah.
Arfan, Abbas. (2013). 99 Kaidah Fiqh Muamalah Kulliyah:
Tipologi Dan Penerapannya Dalam Ekonomi Islam Dan Perbankan Syariah.
Uin-Maliki Press. Google Scholar
Az-Zuhaili, Wahbah. (2011). Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Terj. Abdul
Hayyie Al-Kattani, Dkk. Jakarta (Id): Gema Insani. Google Scholar
Bushar, Muhammad. (1998). Pokok-Pokok Hukum Adat. Jakarta:
Pt Pradnya Paramita. Google Scholar
Hajati, Sri. (2018). Dkk, Buku Ajar Hukum Adat. Jakarta:
Kencana. Google Scholar
Husain, Abdul, & At-Tariqi, Abdul. (2004). Ekonomi
Islam Prinsip, Dasar, Dan Tujuan. Yogyakarta: Magistra Insania Press. Google Scholar
Ibrahim, Johnny. (2006). Teori Dan Metodologi Penelitian
Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing, 57. Google Scholar
Irsyad Al-Masail. (2015). Fi Fath Al-Qorib Menyingkap
Sejuta Permasalahan Dalam Fath Al-Qorib. Kediri: Anfa� Press.
M Sulaeman Jajuli, M. E. I. (2015). Kepastian Hukum Gadai
Tanah Dalam Islam. Deepublish. Google Scholar
Mardani. (2016). Fikih Ekonomi Syari�ah, Fiqh Muamala.
Jakarta: Kencana.
Mardani, Dr. (2012). Fiqh Ekonomi Syariah. Jakarta:
Kencana. Google Scolar
Mardani, Dr. (2015). Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah.
Prenada Media. Google Scholar
Mas�ud, Ibnu, & Abidin, Zainal. (2000). Fiqih Madzhab
Syafi�i, Bandung: Cv. Pustaka Setia, Cet. Ke-1, Jilid, 2. Google Scholar
Muhammad Bin Ahmad Al-Mahali, Jalaluddin. (2001). Kanz
Ar-Raghibun Syrh Minhaj Althalibin. Bairut: Dar Al-Kutub Al Ilmiyyah. Google Scholar
Nasir, Mohammad. (2003). Metode Penelitian Jakarta: Ghalia
Indonesia. Google Scholar
Sayyid Sabiq. (2009). Fikih As-Sunnah (P. 126). P.
126. Semarang: Thoha Putra.
Sholikah. (2012). Bai‟ Al-Wafa Dan Relevansinya
Dalam Muamalah Modern (Analisis Pendapat Ibnu Abidin Dalam Kitab Raddul Muhtar)
(P. 55). P. 55. Semarang.
Sudarto, S. (2002). Metode Penelitian Filsafat. Jakarta: Raja
Grafindo. Google Scholar
Sudiarti, Sri. (2016). Bay�al-Wafa�: Permasalahan Dan Solusi
Dalam Implementasinya. Journal Analytica Islamica, 5(1), 169�201.
Google Scholar
Sudjana, Nana. (2001). Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah. Bandung:
Sinar Baru Algensindo. Google Scholar
Sukanto, Sudaryono. (1986). Pengantar Hukum, (P. 20).
P. 20. Jakarta.
Ter, Haar. (N.D.). Bzn, 1976. Asas-Asas Susunaan Hukum
Adat, Pradnya Paramitha, Jakarta.
Ter Haar, Barend. (1960). Asas-Asas Dan Susunan Hukum-Adat.
Pradnja Paramita. Google Scholar
Ubaidillah, Ubaidillah, & Nawawi, Nawawi. (2017).
Tinjauan Istihsan Terhadap Bai�al-Wafa�dan Implikasi Konsistensi Bermadzhab Di
Baitul Maal Wa Tamwil Sidogiri Cabang Bondowoso. Istidlal: Jurnal Ekonomi
Dan Hukum Islam, 1(2), 112�141. Google Scholar
Wahbah Az-Zuhaili. (2020). Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu.
Damaskus Dar Al-Fikr.
������������������������������������������������������������
Copyright holder: Muhammad Abi Mansyur, Norma
Fitria (2022) |
First publication
right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |