Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 4, April 2022

 

AKAD TRANSAKSI JUAL BELI SENDE (STUDI KOMPARASI MADZHAB HANAFI DAN MADZHAB SYAFI�I)

 

Muhammad Abi Mansyur, Norma Fitria

Fakultas Agama Islam, Universitas Hasyim Asy�ari Tebuireng Jombang

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Penelitian akad transaksi jual beli sende (studi komparasi Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi�i) bertujuan untuk menjawab permasalahan yang tertuang dalam rumusan masalah. Pertama; bagaimana pandangan akad transaksi jual beli sende menurut Madzhab Hanafi, kedua; bagaimana pandangan akad transaksi jual beli sende menurut Madzhab Syafi�i, ketiga; Bagaimana perbedaan dan persamaan pandangan akad transaksi jual beli sende antara Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi�i. Penelitian ini adalah library research, yaitu penelitian yang dilakukan dan difokuskan pada penelaahan, pengkajian, dan pembahasan literatur-literatur, baik klasik maupun modern khususnya terkait pemahaman Madzhab Ḥanafi dan Madzhab Asy-Syafi�i. Penelitian ini bersifat deskriptif, analitik, komparatif, dari pemikiran kedua tokoh secara sistematis terkait suatu permasalahan dari kedua tokoh yang memiliki latar belakang dan pemikiran-pemikiran yang berbeda. Adapun pendekatan yang digunakan oleh penyusun adalah pendekatan uṣhul al-fiqh dengan menggunakan teori ikhtilaf al-maṣadir atau perbedaan dalam penggunaan metode penemuan hukum. Pendekatan dan teori di atas bertujuan untuk menemukan perbedaan pemikiran dan latar belakang yang membedakan kedua tokoh tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, perbedaan antara Mazhab Ḥanafi dan Mazhab asy-Syafi�i disebabkan oleh perbedaan penggunaan dalil hukum (ikhtilaf al-maṣadir) yang digunakan oleh keduanya. Madzhab Ḥanafi menggunakan Al-Qur�an dan �urf sebagai dalil ketika memperbolehkan jual beli sende. Sedangkan Mazhab Asy-Syafi�i menggunakan dalil qiyas ketika melarang jual beli sende. Perbedaan lain adalah Madzhab Ḥanafi menganggap jual beli sende merupakan bagian dari �urf ṣaḥiḥ. Sedangkan menurut Madzhab asy-Syafi�i, ia merupakan jual beli yang tidak dikenal dalam kebiasaan syariat. Adapun persamaannya, Madzhab Ḥanafi menggunakan dalil yang sama-sama diakui kehujahannya oleh ulama ushul fiqih sunni, yaitu Al-Qur�an dan qiyas.

 

Kata Kunci: jual beli, sende, madzhab hanafi-madzhab syafi�i

 

Abstract
The research on the sende sale and purchase transaction agreement (the comparative study of the Hanafi Madzhab and the Syafi'i Madzhab) aims to answer the problems contained in the problem formulation. First; what is the view of the sende sale and purchase transaction contract according to the Hanafi Madzhab, second; what is the view of the sende sale and purchase transaction contract according to the Syafi'i Madzhab, third; How are the differences and similarities in the views of the sende sale and purchase transaction agreement between the Hanafi Madzhab and the Syafi'i Madzhab. This research is library research, namely research conducted and focused on the study, assessment, and discussion of literature, both classical and modern, especially related to the understanding of the Hanafi and Asy-Syafi'i Madzhab of thought. This research is descriptive, analytic, comparative in nature, from the thoughts of the two characters systematically related to a problem from the two characters who have different backgrounds and thoughts. The approach used by the authors is the uṣhul al-fiqh approach using the theory of ikhtilaf al-maṣadir or differences in the use of the legal discovery method. The approach and theory above aims to find differences in thoughts and backgrounds that distinguish the two figures. Based on the results of the study, the difference between the Hanafi Madzhab and the Ash-Syafi'i Madzhab is caused by the difference in the use of legal arguments (ikhtilaf al-maṣadir) used by both of them. The Hanafi madhhab uses the Qur'an and 'urf as evidence when it allows the buying and selling of sende. Meanwhile, the Ash-Syafi'i Madzhab uses the qiyas argument when it prohibits the buying and selling of sende. Another difference is that the Hanafi Madzhab considers buying and selling sende a part of 'urf aḥiḥ. Meanwhile, according to the ash-Syafi'i Madzhab, it is a sale and purchase that is not known in the Shari'a habit. As for the similarities, the Hanafi Madzhab uses arguments that are equally recognized as blasphemy by Sunni ushul fiqh scholars, namely the Qur'an and qiyas.

 

Keywords: buying and selling, sende, hanafi-syafi'i madzhab

 

Pendahuluan

Bermualamah adalah aktivitas transaksi suatu akad tertentu yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang bertujuan meningkatkan perkenomian dengan cara tidak keluar dari syari`at dan hukum Allah. Allah SWT menetapkan syari`at-syariat dan hukum-hukum-Nya yang telah ada nash secara jelas di dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits atau berupa ijtihad dari para Mujtahidin, karena tugas mereka adalah mengerucutkan dalam setiap kejelasan hukum Allah dan menyingkap hukum yang samar dengan cara istinbath al-aqliyyah. Maka tidaklah ada pensyari�atan sesuatu kecuali dengan adanya kesepakatan yang disertai hukum dan dengan tahqiq untuk keberlangsungan kemaslahatan, maka sesuatu yang diperbolehkan itu membawa kemanfaatan yang baik dan sesuatu yang diharamkan itu membawa kemadharatan yang buruk.(Wahbah az-Zuhaili, 2020)

Islam telah meletakkan prinsip-prinsip yang dapat dijadikan pedoman oleh para Mujtahid untuk berijtihad menetukan hukum terhadap masalah-masalah baru yang sesuai dengan tuntunan zaman. Inilah diantaranya yang menjamin eksistensi dan fleksibelitas hukum Islam, sehingga hukum Islam akan tetap �shalihun likulli zaman wal makan� yaitu sesuai dengan setiap waktu dan tempat. Demikian atas dasar inilah, Islam kemudian mensyari�atkan kaidah aturan-aturan perekonomian yang dapat menjadi mediasi bagi manusia untuk saling melakukan transaksi dengan model yang diperbolehkan salah satunya yaitu bai al-wafa�, aturan-aturan itu juga ditujukan untuk mengentaskan kemiskinan dan ledakan pengangguran melalui konsepsi kewajiban zakat, pemberian nafkah, dan hasil denda pelanggaran hukum (kafarat). Ibnu Al-Qoyyim berkata �Sesungguhnya syari�at itu dikonstruksikan dan dilandaskan atas hukum dan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Secara umum, syari`at itu adil, mengandung rahmat, kemaslahatan, dan adanya suatu hikmah�.(Husain & At-Tariqi, 2004)

Akad adalah jalinan dua hal yang dipersatukan antara satu pihak dengan pihak lain, sehingga membentuk suatu kesatuan sebagai sarana persatuan yang dipelihara dan diperkuat, atau ikatan suplai dengan cara yang telah ditentukan dan pengaruhya sesuai dengan kondisi yang melingkupinya.(Husain & At-Tariqi, 2004) Jual beli adalah penukaran sesuatu dengan yang lain yang memberikan hak milik barang secara mu�awadhoh (tukar-menukar) yang dilegalkan oleh Syara�, atau memberikan hak milik jasa secara permanen dengan alat tukar yang bernilai.(Irsyad al-Masail, 2015)

Istilah sende Menurut Van Vollenhoven, seorang ahli hukum� adat yang memperkenalkan hukum adat Indonesia (hetindische adatrecht) sende merupakan suatu perjanjian tanah untuk menerima sejumlah uang secara tunai dengan permufakatan bahwa si Penyerah tanah berhak atas kembalinya tanah dengan jalan membayar kembali sejumlah uang yang sama.(Ter, n.d.) telah dikenal sejak pada masa Jawa Kuno di Kerajaan Hindu-Budha dan diatur dalam peraturan undang-undang di Indonesia. Transaksi sende ini telah berkembang baik dari segi aturan maupun praktik yang dilakukan oleh orang Jawa pada umumnya. Sende adalah bisnis jual beli gadai, yaitu pengalihan sebidang tanah dengan pembayaran sejumlah uang tertentu secara tunai, dengan ketentuan bahwa penjual (pemilik bidang tanah) masih berhak atas pengembalian sebidang tanahnya dengan jalan menebusnya kembali (pembayaran uang yang sama jumlahnya), atau dapat diartikan sebagai penyerahan sebidang tanah milik seseorang kepada orang lain untuk sementara waktu yang sekaligus di ikuti dengan penyerahan sejumlah uang secara tunai sebagai uang gadai dengan ketentuan bahwa tanah akan dikembalikan kepada pemilik tanah jika ditebus dengan sejumlah uang yang sama kepada pemegang gadai. Soepomo menyebutkan bahwa unsur mutlak dari gadai tanah ialah bahwa si pemegang gadai mendapat kekuasaan sepenuhnya mengenai tanah seolah-olah itu miliknya. Jika sudah ditebus, kekuasaan itu berpindah lagi kepada pemilik tanah. Disamping itu, penyerahan hak gadai kepada pihak ketiga (pindah gadai) dapat dilakukan oleh si pemegang gadai, harus diketahui oleh si pegadai.(Hajati, 2018)

Menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran secara tunai sejumlah uang sedemikian rupa, sehingga orang yang menyerahkannya tetap ada hak atas kembalinya tanah itu kepadanya dengan jalan membayar kembali dengan jumlah uang yang sama, hal tersebut oleh orang Minang menyebutnya dengan �menggadai�, orang Jawa menyebutnya �adol sende�, orang Sunda menyebutnya �ngajual akad� atau �gade�. Menyerahkan tanah untuk menerima tunai pembayaran uang tanpa hak menebusnya, jadi untuk selama-lamanya oleh orang Jawa menyebutnya dengan �adol plas, runtumurun�, orang Kalimantan menyebutnya dengan �menjual jaja�. Menyerahkan tanah untuk menerima tunai pembayaran uang dengan janji bahwa tanah akan kembali lagi kepada pemiliknya tanpa perbuatan-perbuatan hukum lagi, itupun sesudahnya berlalu beberapa tahun panen, hal ini orang Jawa meneyebutnya dengan �adol ojodan� dalam bahasa Indonesia disebut dengan �menjual tahunan�.(Ter Haar, 1960) Dikalangan masyarakat sebagian berasumsi mengenai model transaksi ini bahwa kurang adanya titik temu terhadap akadnya, dikatan gadai tetapi barang jaminan diambil manfaatnya, jual beli tetapi hutang piutang, tetapi masyarakat pada umumnya banyak yang melakukan transaksi tersebut, bahkan bisa dikatakan masyarakat sering melakukannya untuk meningkatkan kualitas perkenomiannya masing-masing.

Sejalan dengan perkembangan zaman dan pengaruh penjajahan kolonial terhadap bangsa Indonesia, transaksi sende yang awalnya didasarkan atas hubungan batin atau kekeluargaan dan gotong royong sehingga bebannya ringan telah berubah menjadi transaksi yang bersifat pamrih dan mempertimbangkan untung rugi. Oleh karena itu, posisi petani sebagai masyarakat kelas bawah menjadi semakin lemah dan sulit karena beban berat yang harus mereka tanggung. Untuk melindungi petani ini, pemerintah mengeluarkan peraturan yang berupa Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960. Transaksi sende diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) No. 56 Tahun 1960 Pasal 7 yang menetapkan bahwa gadai tanah pertanian yang telah berlangsung tujuh tahun lebih, harus dikembalikan kepada pemiliknya tanpa uang tebusan.� Mahkamah Agung kemudian memutuskan dalam peraturannya Tanggal 6 Maret 1971 No 810K/Sip/1970 bahwa ketentuan dalam PERPU No. 56 Tahun 1960 Pasal 7 bersifat memaksa dan tidak dapat dilunakkan karena telah diperjanjikan antara kedua belah pihak yang bersangkutan.(Bushar, 1998) Model transaksi seperti ini dibeberapa wilayah (Dusun Ngampelrejo Desa Blaru Kecamatana Badas Kabupaten Kediri, Dusun Wonoasri Desa Badang Kecamatan Ngoro Kabupaten Jombang) dilakukan oleh masyarakat yang dikenal dengan sangat baik saja bukan keseluruhan orang, hubungan yang sangat baik itu seperti: dengan saudara, tetangga dekat, atau teman akrab, dikarenakan rasa percaya yang ditanamkan mempengaruhi dalam pelaksanaannya.

Menurut peneliti, transaksi ini kurang jelas dalam segi akadnya, disebut akad jual beli tetapi ada kata gadai. Sedangkan didalam Islam, ketika seseorang bermuamalah melakukan akad haruslah jelas tidak boleh ada kesamaran atau ketidak jelasan didalam akad tersebut dan apabila seseorang melakukan akad terdapat kesamaran atau ketidak jelasan melakukan akad, maka akad tersebut tidak sah atau batal akadnya secara hukum fiqih.

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research) yaitu penelitian yang menggunakan buku-buku sebagai sumbernya. Dengan menekankan penelusuran dan penelaahan bahan-bahan pustaka dan literatur yang sesuai dengan masalah akad transaksi jual beli sende. Baik menurut Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi�i dan literatur-literatur penunjang sebagai pelengkap dan pembanding.

Sifat Penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah deskriptif analitik komparatif (Sudarto, 2002), yakni penelitian yang bertujuan untuk memaparkan dan selanjutnya menganalisis antara Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi�i dalam masalah akad transaksi jual beli sende. Kemudian dari hasil analisis tersebut dikomparasikan antara kedua hukum tersebut untuk ditarik ke arah kesimpulan.

Penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif-komparatif (library research) yaitu merupakan penelitian yang obyek utamanya adalah buku-buku, kitab-kitab, majalah, jurnal, pamflet, dan bahan dokumenter lainnya. Sumber data ini diperlukan guna memperoleh bahan tentang masalah ini, dengan menelaah secara langsung pokok-pokok permasalahan dalam kajian kepustakaan.

Teknik Pengumpulan Data yang digunakan dalam pembahasan ini adalah kepustakaan, maka teknik pengumpulan data yang penulis terapkan adalah dengan cara membaca dan mengkaji bagian-bagian tertentu yang dianggap penting dan berhubungan dengan pembahasan dalam skripsi ini, kemudian melakukan pencatatan atau mengkutip, selanjutnya diklasifikasi sesuai dengan sistem pembahasan. Adapun data yang akan diperoleh dalam penulisan ini adalah dengan cara membaca kitab-kitab dan buku-buku yang membahas tentang masalah yang berkaitan dengan pembahasan dalam penyusunan skripsi ini. Setelah itu, penulis mencoba membandingkan antara Hanafiyah dan Syafi�iyah.

Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis kualitatif yakni, tidak dilakukan dengan cara perhitungan statistik, melainkan dengan cara membaca dan mencermati data yang telah diolah. Untuk itu, analisis dilakukan dengan menggunakan metode deduktif dan komparatif. Deduktif, adalah proses analisis yang berangkat dari kebenaran umum mengenai suatu fenomena (teori) dan menggeneralisasikan kebenaran tersebut pada suatu peristiwa atau data tertentu yang berciri sama dengan fenomena yang bersangkutan (prediksi).(Sudjana, 2001) Komparatif adalah suatu analisis data dengan cara membandingkan dua data yang telah dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya, sehingga dengan analisis ini, perbedaan dan persamaan antara keduanya dapat ditemukan dengan hakikat penelitian obyek diperoleh yang lebih murni. (Nasir, 2003)

Cara Pendekatan dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan yuridis empiris, yaitu suatu pendekatan dengan cara melihat ketentuan-ketentuan hukum yang telah disyariatkan dalam hukum Islam.(Sukanto, 1986) tentang keharusan pelaku usaha memberikan informasi yang benar (jujur) dalam usahanya. Dari sini, penulis melakukan perbandingan terhadap peraturan perundang-undangan yang mempunyai relevansi terhadap pembahasan penelitian ini.(Ibrahim, 2006)

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Transaksi Akad Jual Beli Sende Menurut Madzhab Hanafi

Bai� al-wafa, bisa dimasukan ke ranah kategori praktek jual beli kontemporer, karena ia muncul sekitar abad 5 Hijriyyah di Bukhara.(Mardani, 2015) Oleh karena itu, Status hukumnya diperdebatkan oleh para ulama, dimana ada pihak yang pro dan kontra. Dalam konteks ini, Madzhab Hanafi termasuk pihak yang pro (melegalkan). Ibn Abidin sebagai salah satu ulama penganut Madzhab Hanafi dalam menentukan hukum terhadap suatu permasalahan tidak lepas dari pendiri Madzhabnya, yaitu Imam Abu Hanifah yang dikenal sebabagi ahli ra�yu. Dalam karya Ibnu Abidin, Raddul Muhtar, beliau berpendapat bahwa hukum jual beli bai� al-wafa diperbolehkan, dengan alasan untuk menghindarkan masyarakat dari riba dalam pinjam meminjam.(Sholikah, 2012) Walaupun pada jual beli ini barang yang dijual tersebut harus dikembalikan lagi kepada penjual, namun pengembaliannya juga melalui akad jual beli. Pendapat ini di pegang oleh generasi mutaakhirin dari Madzhab Hanafi.(Sudiarti, 2016)

Metode Yang Digunakan Madzhab Hanafi dalam Pembenaran Bai� al-wafa yang dinyatakan Madzhab Hanafi di atas, adalah sebuah bentuk hasil ijtihad. Dan setiap ijtihad yang dilakukan oleh suatu Madzhab, sudah tentu bertolak dari asas dan metode yang dianutnya. Asas adalah landasan yang dijadikan tolok ukur, sementara metode adalah cara yang digunakan untuk menilai sesuatu. Dalam konteks Bai� al-wafa, asas Dalam sejarah pemikiran hukum Islam, kita mengenal Madrasatu al-Ra�yu, yakni sebuah lembaga yang memiliki ciri khas tersendiri. Rasional principle telah dibangun oleh generasi sebelumnya kemudian dipupuk, dilestarikan dan dikembangkan oleh generasi berikutnya. Al-Nakha�i sebagai penggagas dan pendiri lembaga rasional (Madrasatu Al-Ra�yu) berhasil mencetak kader yang tangguh dan berlian. Dialah Abu Hanifah seorang �alim yang integritas keilmuannya sangat mumpuni. Dibawah ketokohan kharismatikannya tradisi rasional principle lebih berkembang. Terlebih ketika ia membangun Madzhab sendiri, keberadaannya lebih terarah dan sistemik. Bertolak dari asas rasionalitas di atas, Madzhab Hanafi memandang bahwa, praktek Bai� al-wafa adalah sebuah transkasi jual beli yang bisa diterima oleh akal pikiran. Dilihat dari sisi mekansimenya, ia seperti jual beli pada umunya yang terbangun dari empat rukun, yaitu:

1.     Adanya barang yang dijual

2.     Penjual

3.     Pembeli

4.     Shigat.

 

Dilihat dari sisi tujuannya sudah jelas, bahwa ia (Bai� al-wafa) adalah untuk mencari keuntungan dan kemanfaatan ke dua belah pihak (penjual dan pembeli).(Mardani, 2012) Metode yang digunakan oleh Madzhab Hanafi adalah Metode atau konsep yang dijadikan alur pemikiran Madzhab Abu Hanifah dalam menetapkan hukum adalah Istihsan. Dalam konteks ini ia serang mengatakan, �astahsinu� artinya saya menganggap baik. Penetapan hukum dengan cara Istihsan ini diikuti oleh murid-muridnya sehingga golongan Hanafiah dikenal sebagai golongan yang menilai Istihsan sebagai salah satu metode istinbath hukum. Istihsan adalah sumber hukum yang banyak dipakai dalam terminologi dan istinbath hukum oleh Madzhab Hanafi. Mengenai definisinya, muncul ragam pendapat para ulama. Istihsan merupakan suatu metode istinbat hukum yang sangat relevan dengan pembaharuan hukum Islam salah satunya di bidang muamalah. Karena istihsan berupaya melepaskan diri dari kekuatan hukum yang lainnya, selagi tidak bertentangan dengan al-Qur'an dan hadits. istihsan dijadikan pegangan oleh Ulama� Hanafiyah sebagai pertimbangan dilegalkannya akad Bai� al-wafa dengan alasan bahwa akad ini berjalan baik di tengah-tengah masyarakat Bukhara dan Balkh yang pada sebelumnya menerapkan akad pinjam meminjam namun mengandung riba.(Ubaidillah & Nawawi, 2017)

Dalam fiqih Hanafi, istihsan dibagi dalam empat macam, yaitu istihsan dengan nash, istihsan dengan ijma�, istihsan dengan dharurat, dan istihsan dengan qiyas khafi. Tetapi ada beberapa ulama yang menyebutkan istihsan dengan mashlahat, dan istihsan dengan �urf adalah juga merupakan bagian dari Istihsan. Diantara mereka ada menyimpulkan bahwa pembagian dua Istihsan terakhir ini adalah bersumber dari masalah-masalah yang diriwayatkan golongan Hanafiah, walaupun dalam kitab Ushul Fiqh tidak pernah ada pembahasan mengenai hal itu.� Berdasarkan pada teori istihsan mengutamakan realitas tujuan syari�at. Artinya mereka yang berdasarkan istinbath hukum berdasarkan istihsan adalah bertujuan untuk menerapkan dalil-dalil yang umum. Metode ini juga digunakan dalam rangka memperhatikan tujuan untuk menarik kemaslahatan dan menolak kesukaran dalam penerapan dalil umum tersebut, karena setiap dalil itu dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan yang mencari pesan inti dari syari�ah yang diturunkan oleh Allah.

Atas dasar paradigma istihsan tersebut, Madzhab Hanafi memandang, bahwa bai� al-wafa merupakan solusi paling tepat untuk meminimalisir sistem riba yang berlaku pada zaman itu (di Bukhara). Oleh karena itu, para syeikh dari kalangan Hanafi, atas dasar pertimbangan tersebut melegalkannya. Dalam konteks ini dapat diketahui, bahwa inti tujuannya tidak lain adalah untuk menciptakan kemaslahatan yang merupakan inti sari dari tujuan hukum Islam (Maqashidu al-Syari�ah) dan juga tidak lepas atas dasar pertimbangan tradisi setempat (�urf) yang berlangsung saat itu. Bahwa bai� al-wafa hadir sebagai tradisi yang berlaku secara turun-temurun di Bukhara. Karena demikian wujudnya, maka tradisi tersebut dijadikan bagian integral dari mekanisme hukum. Disamping secara moral untuk menghindari dari tradisi ribawi, juga secara social ekonomi, jual beli tersebut (bai� al-wafa), juga menguntungkan kedua belah pihak. Bagi pihak pembeli-umpamanya sawah-dalam jangka waktu tertentu (dua tahun misalnya) ia bisa diolah dan dimanfaatkan sementara kentungannya bisa dinikmati oleh dia (si pembeli). Sementara bagi si penjual, ia juga merasa tertolong dengan transaksi tersebut karena ia dalam kedaan butuh. Selanjutnya ketika batas ketentuan temponya telah habis, tanah bisa dibeli kembali sehingga kepemilikannya menjadi mutlak dan utuh.

B.    Transaksi Akad Jual Beli Sende Menurut Madzhab Syafi�i

Konsep bai� al-waf� Menurut Fikih Syafii Perdagangan atau jual beli secara bahasa berarti al-mub�dalah (saling menukar).(Sayyid Sabiq, 2009) Mengenai pengertian jual beli dalam pengertian seperti yang dijelaskan dalam definisi berikut: Ketika melakukan transaksi jual beli, penting untuk mencari dan membeli barang halal juga mempertimbangkan halal. Artinya, mencari barang halal untuk dijual kepada orang lain atau memperdagangkannya secara jujur, bebas dari sifat-sifat yang dapat merugikan penjualan, seperti penipuan, pencurian, penyitaan, riba, dll.(Mas�ud & Abidin, 2000) Secara etimologis, waf� (memenuhi) adalah lawan kata dari alghadr (khianat, ingkar janji). Waf� bi 'ahd artinya dia menepati janjinya Waf� adalah akhlak yang mulia. Aufa alrajul haqqah artinya memberikan sepenuhnya hak-hak manusia. Disebut jual beli waf� karena pembeli wajib memenuhi syarat-syaratnya. Adapun Bai' al Waf� secara terminologi adalah jual beli dengan syarat, yaitu jika penjual mengembalikan uang hasil penjualan, pembeli mengembalikan barang tersebut kepada penjual�.(muhammad bin Ahmad Al-Mahali, 2001)

Menurut Sayyid Sabiq dari Fiqh-Sunnahnya, Bai' al-waf� adalah orang bermasalah yang menjual barang-barang yang dijanjikan. Janji tersebut menandakan bahwa barang tersebut akan dikembalikan pada saat pembayaran telah dipenuhi (refund). Para pihak atau penjual berhak untuk menuntut kembali atau membeli kembali barang yang dijual kepada pembeli. Dari pengertian di atas, kita dapat melihat bahwa bai� al waf� ini memiliki tenggang waktu yang terbatas. Misalnya satu tahun, dua tahun, dst, tergantung kesepakatan. Pada akhir masa tenggang, penjual membeli kembali barang dari pembeli. Pada umumnya barang yang diperdagangkan di Bai' al-waf� adalah barang tidak bergerak seperti tanah perkebunan, rumah, pemukiman dan sawah. Kisah munculnya Bai`al-Waf� adalah bahwa masyarakat Bukhara dan Balkh pada saat itu mengembangkan suatu bentuk jual beli untuk menghindari terjadinya riba, yang kemudian dikenal dengan Bai`al-Waf�. Banyak orang kaya tidak mau meminjamkan uang yang tidak bersahabat. Sementara itu, banyak debitur yang tidak mampu lagi melunasi utangnya akibat terutangnya premi. Di sisi lain, menurut ulama hukum Islam, pinjaman dan imbalan yang diberikan berdasarkan hutang termasuk riba. Barang yang dibeli oleh pembeli dapat digunakan oleh pembeli. Agunan debitur merupakan jaminan utang selama masa tenggang yang disepakati, sehingga hanya pembeli yang dapat menjual barangnya kepada siapa pun selain penjual aslinya. Jika debitur sudah memiliki dana untuk membayar kembali dengan harga jual semula pada saat jatuh tempo, maka barang tersebut harus dikembalikan kepada penjual.

Dari uraian Bai` al-Waf�, penulis dapat melihat bahwa suatu akad terdiri dari tiga bentuk, yaitu:

1.     Ketika terjadi suatu transaksi maka akad tersebut adalah jual beli karena akad tersebut mengartikan bahwa transaksi tersebut adalah jual beli. Misalnya, melalui kata-kata penjual �Saya menjual sawah saya seharga lima juta rupee dalam dua tahun�.

2.     Setelah transaksi dilakukan dan kepemilikan berpindah kepada pembeli, maka transaksi tersebut berbentuk ijarah (pinjaman/sewa), karena barang yang dibeli harus dikembalikan kepada penjual walaupun pemilik memiliki harta benda. hak untuk menggunakan dan menikmati hasil dari barang-barang tersebut dalam jangka waktu yang telah disepakati.

3.     Pada akhir akad, ketika masa tenggang yang disepakati berakhir, bai` alwaf� sama dengan rahn, karena pada tanggal jatuh tempo yang disepakati kedua belah pihak, penjual harus mengembalikan kepada pembeli sejumlah harga yang dibayarkan. . pada awal akad dan pembeli harus mengembalikan barang yang dibeli secara penuh kepada penjual.

 

Sebenarnya jual beli seperti itu tidak dibenarkan, karena tujuan sebenarnya adalah riba, yaitu untuk membayar terlambat, sedangkan alat-alat yang digunakan dalam penjualan mempunyai hak penebusan. dan keuntungan yang sama. Namun status jual beli untuk mencari untung atau jual beli tanpa jaminan tidak dapat dipisahkan dari jual beli ini karena yang dilihat adalah sifat dan tujuan sebenarnya dari jual beli tersebut, bukan sekedar bentuk sederhana dan bentuk pihak-pihak di luarnya.

Ulama Syafi`iyah menganggap Bai` al-Waf� fasid karena syarat penjual adalah mengambil kembali barang dari pembeli. Jika pembeli mengembalikan� jumlah yang dibayarkan bertentangan dengan tujuan penjualan yaitu milik pembeli kepada pembeli. barang yang dibelinya bersifat permanen. Hal ini juga sesuai dengan hadits Nabi Muhammad: �Setiap utang yang menyertai penggunaan (kepada debitur) adalah riba� Karena akad bai` al-waf� sudah dipastikan sebagai penjualan sejak awal, pembeli bebas menggunakan barang tersebut tanpa batas waktu. Ulama Syafi�iyah tidak melegalisasi jual beli ini, alasan mereka diantaranya:(al-Mahall�, 2001)

1.     Dalam akad jual beli tidak diperkenankan adanya tenggang waktu, karena akad jual beli adalah akad yang sepenuhnya meliputi peralihan hak milik dari penjual kepada pembeli.

2.     Dalam jual beli, tidak boleh ada syarat bahwa barang yang dijual harus dikembalikan oleh pembeli kepada penjual asal, hanya bila uang siap dikembalikan pada harga awal.

3.     Bentuk perdagangan ini tidak ada di zaman Nabi SAW maupun di zaman para sahabat.

 

Ada 2 (dua) kebijakan atau saran ulama Syafi`i mengenai kemustahilan Bai`al Waf�:

1.     Patuhi metode hukum. �Cengkeraman suatu akad adalah maksud dan maknanya, bukan perintah lafadz dan redaktur.� Maksud dari kaidah ini adalah bahwa maksud atau makna merupakan intisari dan pilar utama akad. lafadz dan kalimat redaksi merupakan pengantar atau cangkang yang mengarah pada inti permasalahan. Namun demikian, bukan berarti mengabaikan seluruh lafadz lafadz, karena lafadz lafadz adalah sarana yang dimaknai dan diekspresikan. Jadi hal pertama yang menyentuh Anda adalah makna lafadz lafadz yang jelas. Apabila sulit dipaham antara lafadz dengan makna yang dimaksud oleh kedua orang yang melakukan akad, maka dikembalikan kepada makna atau tujuan dan dikesampingkan aspek lafadz-nya sesuai dengan dalalah atau qarinah.(Arfan, 2013)

2.     Berpegang pada dalil sadd al-dzari�ah, yaitu untuk mencegah terjadinya riba.

 

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa hujjah madzhab Syafi'i tidak membolehkan bai` al-waf� karena merupakan bentuk jual beli menurut susunan lafadz atau redaksi, namun dengan hati-hati, maksud dan pelaksanaan bai` al-waf� adalah: Kombinasi jual beli Ij�rah dan Rahn. Jika pelaksanaan bai` al-waf� merupakan jual beli bersyarat dan pembeli harus mengembalikan barang yang dibeli setelah ditebus atau dibayar oleh pemilik barang, maka pelaksanaan bai` al-waf� juga bersyarat. Oleh karena itu dari penjelasan-penjelasan yang peneliti sampaikan, peneliti dapat mengoreksi bahwa bai` al-waf� merupakan bentuk modifikasi dari jual beli yang tujuan utamanya untuk menghindari riba, namun dari pelaksanaannya, peneliti Kami telah mengamati bahwa jual beli ini masih termasuk dalam riba dan itu masih satu-satunya implementasi pembelian fasid.

C.    Analisis Komparatif Pendapat Imam Syafi�i dan Imam Hanafi Tentang Akad Jual Beli Sende

Jual beli dengan sistem sende adalah jual beli yang hanya dengan penyerahan dan penerimaan tanpa dan ucapan atau ada ucapan tetapi dari satu pihak saja namun kemudian kalangan ahli fiqih memakainya untuk jual beli yang bersifat saling memberi secara khusus.(Az-Zuhaili, 2011) Pengertian Bai� Al-Wafa sebagai berikut:

�Adalah kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai harga (tsaman) dan barang yang dijual (mutsaman), kedua belah pihak saling memberi dengan dan tanpa persetujuan, dan terkadang ada lafadz (perkataan) dari salah satu pihak.�.(Az-Zuhaili, 2011)

Akad/Transaksi terkadang dilakukan tanpa menggunakan perkataan atau lafadz melainkan dengan perbuatan yang muncul dari kedua pengakad. Hal ini disebut dalam fiqih yaitu bai� al-wafa. Menurut Musthafa Ahmad Az-Zarqa dan Abdurrahman Ash-Shabuni, transaksi seperti ini baru mendapatkan justifikasi dari ulama fiqih setelah berjalan beberapa lama. Maksudnya, bentuk jual beli (bai� al-wafa�) telah berlangsung beberapa lama dan akad jual beli ini telah menjadi �urf (adat kebiasaan) di masyarakat Bukhara dan Balkh, baru dalam hal tersebut ulama fiqih dari hanafiyah melegalisasi akad jual beli ini.(Mardani, 2016)

Dari segi sejarah sosial, munculnya bai� al-wafa di tengah-tengah masyarakat Bukhara dan Balkh pada pertengahan abad ke-5 M disebabkan oleh kenyataan bahwa para pemilik modal tidak mau lagi meminjamkan uang kepada mereka yang membutuhkan, jika mereka tidak mendapat imbalan apapun, hal seperti ini membuat kesulitan bagi masyarakat yang memerlukan. Situasi ini membuat mereka membuat kesepakatan sendiri untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan memenuhi keinginan orang kaya.(Mardani, 2016)

Metode berfikir para ulama Hanafiyah dalam melegalkan transaksi ini, memberikan justifikasi terhadap bai� al-wafa� adalah didasarkan pada istihsan urfi. Akan tetapi para ulama fiqih lainnya tidak melegalkan bentuk jual beli ini.(M Sulaeman Jajuli, 2015) Alasan mereka adalah:

1.     Akad jual beli tidak dibenarkan adanya tenggang waktu, karena jual beli adalah akad yang mengakibatkan perpindahan hak milik secara sempurna dari penjual kepada pembeli.

2.     Jual beli tidak boleh dengan syarat pembeli harus mengembalikan barang kepada penjual asal jika barang yang dijual bersedia dikembalikan dengan harga semula.

3.     Jual beli ini merupakan hillah yang tidak sejalan dengan maksud syara` pensyariatan jual beli.[1]

 

Namun Demikian, para ulama mutaakhirin (generasi belakangan) dapat menerima baik bentuk jual beli ini, dan menganggapnya sebagai akad yang sah, bahkan dijadikan hokum positif dalam majjah al-ahkam al-adhliyah (Kodifikasi Hukum Perdata Turki Utsmani) yang disusun pada tahun 1287 H, yaitu satu judul dengan bai� al-wafa� yang mencakup 9 pasal, yaitu pasal 118-119 dan pasal 396-403.(Mardani, 2015)

Begitu juga dalam hukum positif Indonesia bai� al-wafa� telah diatur dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari`ah (KHES) Pasal 112-115:

Pasal 112

�       Dalam jual beli yang bergantung pada hak penebusan, dapat uang seharga barang yang dijual dan menuntut barangnya dikembalikan.

�       Pembeli sebagaimana diatur dalam ayat (1) berkewajiban mengembalikan barang dan menuntut uangnya kembali seharga barang itu.

Pasal 13

�       Barang dalam jual beli yang bergantung pada hak penebusan tidak boleh dijual pada pihak lain baik oleh penjual maupun oleh pembeli kecuali ada kesepakatan oleh para pihak.

Pasal 14

�       Kerugian barang dalam jual beli dengan hak penebusan adalah tanggung jawab pihak yang menguasainya.

�       Penjual dalam jual beli dengan hak penebusan berhak untuk membeli kembali atau tidak terhadap barang yang telah rusak.

Pasal 15

�       Hak membeli kembali dalam bai� al-wafa� dapat diwariskan.

 

Kesimpulan

Perbedaan pendapat antara Madzhab Ḥanafi dan Madzhab asy-Syafi�i tentang hukum jual beli dengan akad sende adalah disebabkan oleh perbedaan penggunaan dalil hukum (ikhtilaf al-maṣhadir) yang digunakan oleh kedua Madzhab tersebut. Madzhab Ḥanafi menggunakan al-Qur�an dan �urf sebagai dalil untuk memutuskan dan memperkuat argumentasi mereka tentang kebolehan jual beli dengan akad sende. Sementara Madzhab asy-Syafi�i lebih menggunakan dalil qiyas ketika melarang jual beli dengan akad sende. Perbedaan metode ini pada gilirannya menyebabkan perbedaan pendapat di antara kedua Madzhab tentang jual beli dengan akad sende. Selain itu, Madzhab Ḥanafi menganggap jual beli dengan akad sende sebagai �urf ṣhaḥiḥ, sehingga bisa dijadikan ketentuan hukum. Berbeda dengan Madzhab asy-Syafi�i yang menganggap jual beli dengan akad sende tidak dikenal dalam kebiasaan syariat, sehingga tidak dapat ditetapkan sebagai hukum.

Persamaan antara Madzhab Ḥanafi dengan Madzhab Asy-Syafi�i adalah sama-sama dari kalangan sunni, sehingga ketika melakukan ijtihad menggunakan sumber hukum yang sama-sama diakui oleh para ulama uṣhul sunni. Sumber hukum yang disepakati kehujahannya oleh para ulama uṣhul sunni adalah al-Qur�an, hadis, ijma�, dan qiyas. Dalam persoalan ini, Madzhab Ḥanaf� menjadikan al-Qur�an sebagai dalil ketika menetapkan kebolehan jual beli dengan akad sende. Madzhab asy-Syafi�i menggunakan qiyas ketika melarang jual beli dengan akad sende. Persamaan lainnya adalah berkaitan dengan barang yang memiliki nilai kecil. Madzhab asy-Syafi�i yang diambil dari pendapat Imam Nawawi memperbolehkan jual beli dengan akad sende untuk barang yang memiliki nilai kecil. Madzhab Ḥanafi sendiri jual beli dengan akad sende boleh secara mutlak, baik menyangkut barang yang kecil nilainya maupun menyangkut barang yang besar nilainya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

Al-Mahall�. (2001). Kanz Al-R�ghib�n. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.

 

Arfan, Abbas. (2013). 99 Kaidah Fiqh Muamalah Kulliyah: Tipologi Dan Penerapannya Dalam Ekonomi Islam Dan Perbankan Syariah. Uin-Maliki Press. Google Scholar

 

Az-Zuhaili, Wahbah. (2011). Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Terj. Abdul Hayyie Al-Kattani, Dkk. Jakarta (Id): Gema Insani. Google Scholar

 

Bushar, Muhammad. (1998). Pokok-Pokok Hukum Adat. Jakarta: Pt Pradnya Paramita. Google Scholar

 

Hajati, Sri. (2018). Dkk, Buku Ajar Hukum Adat. Jakarta: Kencana. Google Scholar

 

Husain, Abdul, & At-Tariqi, Abdul. (2004). Ekonomi Islam Prinsip, Dasar, Dan Tujuan. Yogyakarta: Magistra Insania Press. Google Scholar

 

Ibrahim, Johnny. (2006). Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing, 57. Google Scholar

 

Irsyad Al-Masail. (2015). Fi Fath Al-Qorib Menyingkap Sejuta Permasalahan Dalam Fath Al-Qorib. Kediri: Anfa� Press.

 

M Sulaeman Jajuli, M. E. I. (2015). Kepastian Hukum Gadai Tanah Dalam Islam. Deepublish. Google Scholar

 

Mardani. (2016). Fikih Ekonomi Syari�ah, Fiqh Muamala. Jakarta: Kencana.

 

Mardani, Dr. (2012). Fiqh Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana. Google Scolar

 

Mardani, Dr. (2015). Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah. Prenada Media. Google Scholar

 

Mas�ud, Ibnu, & Abidin, Zainal. (2000). Fiqih Madzhab Syafi�i, Bandung: Cv. Pustaka Setia, Cet. Ke-1, Jilid, 2. Google Scholar

 

Muhammad Bin Ahmad Al-Mahali, Jalaluddin. (2001). Kanz Ar-Raghibun Syrh Minhaj Althalibin. Bairut: Dar Al-Kutub Al Ilmiyyah. Google Scholar

 

Nasir, Mohammad. (2003). Metode Penelitian Jakarta: Ghalia Indonesia. Google Scholar

 

Sayyid Sabiq. (2009). Fikih As-Sunnah (P. 126). P. 126. Semarang: Thoha Putra.

 

Sholikah. (2012). Bai‟ Al-Wafa Dan Relevansinya Dalam Muamalah Modern (Analisis Pendapat Ibnu Abidin Dalam Kitab Raddul Muhtar) (P. 55). P. 55. Semarang.

 

Sudarto, S. (2002). Metode Penelitian Filsafat. Jakarta: Raja Grafindo. Google Scholar

 

Sudiarti, Sri. (2016). Bay�al-Wafa�: Permasalahan Dan Solusi Dalam Implementasinya. Journal Analytica Islamica, 5(1), 169�201. Google Scholar

 

Sudjana, Nana. (2001). Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Google Scholar

 

Sukanto, Sudaryono. (1986). Pengantar Hukum, (P. 20). P. 20. Jakarta.

 

Ter, Haar. (N.D.). Bzn, 1976. Asas-Asas Susunaan Hukum Adat, Pradnya Paramitha, Jakarta.

 

Ter Haar, Barend. (1960). Asas-Asas Dan Susunan Hukum-Adat. Pradnja Paramita. Google Scholar

 

Ubaidillah, Ubaidillah, & Nawawi, Nawawi. (2017). Tinjauan Istihsan Terhadap Bai�al-Wafa�dan Implikasi Konsistensi Bermadzhab Di Baitul Maal Wa Tamwil Sidogiri Cabang Bondowoso. Istidlal: Jurnal Ekonomi Dan Hukum Islam, 1(2), 112�141. Google Scholar

 

Wahbah Az-Zuhaili. (2020). Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu. Damaskus Dar Al-Fikr.

������������������������������������������������������������

Copyright holder:

Muhammad Abi Mansyur, Norma Fitria (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under:

 

 



[1] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Jilid II, (Baerut : Dar el_Fikr, 1986). 136