Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 4, April 2022
ANALISIS
PENGAMBILAN KEBIJAKAN PERLAMBATAN INTERNET PADA KONFLIK PAPUA TAHUN 2019
DK Nena Tanda, Margaretha
Hanita
Kajian Ketahanan Nasional, SKSG Universitas Indonesia
Email: [email protected],
[email protected]�����
Abstrak
Penelitian ini berfokus pada pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk meredam konflik di Papua dengan memperlambat jaringan internet pada tahun 2019 dalam rangka menjaga ketahanan dan keamanan nasional. Konflik berkepanjangan menyebabkan berbagai konsekuensi di wilayah Papua, termasuk pemblokiran internet sementara yang memberikan dampak terhadap berbagai pihak. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yang menganalisis secara kritis keputusan pemerintah terkait pemblokiran internet. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah wawancara dan studi literatur. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya tindakan semena-mena oleh pihak pemerintah dalam mengambil keputusan pemblokiran sementara jaringan internet di wilayah Papua pada tanggal 21 Agustus hingga 4 September 2019 dengan dalih meredam konflik. Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya dampak kerugian yang dirasakan hampir seluruh lapisan masyarakat di Papua dengan sulitnya mendapatkan dan memverifikasi informasi sehingga menimbulkan perasaan tidak aman. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah ini seharusnya melalui studi dan kajian yang komprehensif serta harus berlandaskan peraturan perundang-undangan yang jelas kedudukannya, sehingga tidak terkesan gegabah dan menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dengan alasan keamanan dan ketahanan nasional terutama dalam situasi konflik, opsi kebijakan untuk memperlambat jaringan internet dapat dilakukan guna mempersempit peluang terjadinya proxy war.
Kata Kunci: konflik; pemblokiran internet; ketahanan dan keamanan nasional
Abstract
This research focuses on
policy making by the government to reduce conflict in Papua by slowing down the
internet network in 2019 in order to maintain national resilience and security.
The prolonged conflict caused various consequences in the Papua region,
including the temporary internet blocking, which had an impact on various
parties. The method used in this research is descriptive qualitative which
critically analyses government decisions related to internet blocking. Data
collection techniques used are interviews and literature studies. The results
of this study indicate arbitrary actions by the government in making a decision
to temporarily block internet networks in the Papua region from August 21 to
September 4 2019 under the pretext of reducing conflict. The results of this
study also indicate the impact of losses felt by almost all levels of society
in Papua with the difficulty of obtaining and verifying information, causing
feelings of insecurity. The policies taken by the government should go through
comprehensive studies and studies and must be based on clear statutory
regulations, so that they do not appear rash and cause harm to the community.
In this study, it can be concluded that for reasons of national security and
resilience, especially in conflict situations, policy options to slow down the
internet network can be made in order to narrow the opportunities for a proxy
war to occur.
Keywords: conflict; throttling;
national resilience and security
Pendahuluan
Kasus rasisme
di Papua pecah pasca tindakan rasis yang dilakukan oleh aparat dengan menangkap mahasiswa Papua di Surabaya pada Agustus
2019� (Briantika, 2020).
19 Agustus 2019, kerusuhan pertama pecah di Manokwari sebagai imbas dari insiden
rasisme mahasiswa Papua di
Surabaya. Peristiwa ini awalnya dipicu oleh ujaran rasisme salah satu akun media sosial twitter dan siaran pesan singkat yang berisi ujaran rasis
terhadap masyarakat Papua. Demonstrasi yang awalnya dilakukan dengan damai, kemudian berubah menjadi tindakan anarkis. Para demonstran melakukan perusakan dan pembakaran Gedung
DPRD, sejumlah fasilitas umum dan melakukan blokade jalan. Akibatnya, terjadi simpang siur informasi
dan penyebaran hoax pasca insiden di Jawa Timur ini yang memperkeruh suasana di Papua (Hendrawan & Perwitasari, 2019).
Bentrok antara mahasiswa Papua di Surabaya memunculkan
gejolak di masyarakat, dan berujung pada kerusuhan di Papua
pada tanggal 18 Agustus
2019, dan menyebabkan banyak
kerugian materi.
Sebagai upaya
untuk meredam ketegangan saat konflik, pemerintah memutuskan untuk memutus jaringan internet di
Papua dengan tujuan dilakukan throttling atau pelemahan jaringan internet, untuk memitigasi merebaknya penyebaran hoaks yang memantik demonstasi (Humas, 2019).
Pemerintah sebelumnya juga sempat menghimbau agar masyarakat tidak terprovokasi oleh berita bohong yang disebarkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Selama pemutusan
jaringan internet di Papua, ada
beberapa dampak kerugian yang dialami oleh seluruh pihak, mulai dari sulitnya
mengakses informasi dan memverifikasi informasi yang beredar di tengah masyarakat, matinya seluruh layanan pemerintahan berbasis elektronik, sistem jaringan BPJS di rumah sakit, tidak berfungsinya
ATM, dan roda perekonomian berbasis internet yang juga tidak
dapat beroperasi. Padahal, internet memiliki kemampuan untuk menggambarkan dan menceritakan narasi- narasi tajam tentang geosentris
di dunia yang tanpa batas (Goldsmith, 2007).
Penyebaran informasi tidak lagi terbatas
pada ruang dan waktu, menyebabkan disinformasi sering terjadi di era percepatan teknologi informasi (Marshall, Goodman, Zowghi, & Da Rimini, 2015)
Pemerintah Indonesia mengakui telah melakukan perlambatan hingga pemblokiran akses internet di Papua sejak 21 Agustus hingga 4 September 2019. Perlambatan di Papua ini dilakukan secara bertahap oleh KOMINFO sejak 19 Agustus 2019 (Humas, 2019).
Pembatasan Internet yang dilakukan
oleh pemerintah memiliki landasan hukum diantaranya, UUD 1945, UU No.19 Tahun
2016 (UU ITE), UU No 36 Tahun 1999, dan PP No 71 tahun 2019.
Fokus penelitian
ini melihat sejauh mana kebijakan perlambatan internet yang diambil
oleh pemerintah sudah tepat untuk dilakukan
dalam rangka menjaga ketahanan nasional. Pertanyaan penelitian juga mencakup bagaimana analisis mengenai penerapan kebijakan pemutusan internet yang
dilakukan oleh pemerintah
dan dampaknya terhadap ketahanan nasional.
1.
Internet dan Media Sosial
Sejarah internet Indonesia
bermula pada awal tahun 1990, menurut (King, Davies, Tan, & Nur Supardi, 2009)
kemunculan internet awalnya
digunakan oleh kalangan akademisi pada universitas-universitas besar
di Indonesia. Dengan keterbatasan
perangkat beberapa ilmuan computer yang tergabung dalam organisasi Amateur Radio
Campus ITB. Komersialisasi internet kemudian berkembang di tahun 1994 dengan munculnya IndoNet sebagai ISP komersial pertama di Indonesia. Perkembangan
pesat internet di Indonesia pun berlangung
dalam kurun waktu kurang dari
sepuluh tahun, hingga kini Indonesia telah memiliki satelit canggih, Palapa ring yang
disebut sebagai jaringan tulang punggung internet di Indonesia.
Internet membebaskan para pengguna komputer di seluruh dunia untuk saling berinteraksi,
berkomunikasi dan bertukar informasi baik dengan cara berkirim
surel, menghubungkan antar komputer, mengirim dan menerima file berbentuk teks, audio visual, untuk membahas mengenai topik tertentu di multiplatform (website, blog, dan media sosial). Bahkan internet tidak hanya diakses
melalui komputer, namun sudah dapat
diakses menggunakan telepon pintar dan televisi. Internet dapat menghubungkan orang dari berbagai belahan dunia tanpa batas dan berkomunikasi langsung.
Dalam pemanfaatan
internet, media sosial menjadi
sarana untuk berkomunikasi dan berdialog oleh hampir seluruh penduduk di dunia. Sosial Media mampu bertransformasi ke berbagai bentuk
baik itu majalah, forum internet, weblog, blog, microblogging, wiki,
podcast, foto atau gambar, video, peringkat dan
bookmark sosial. Berdasarkan
(Lepp�niemi & Karjaluoto, 2008),
Jejaring Sosial (social
networks), pada akhirnya akan
menciptakan komunitas
virtual yang memungkinkan pengguna
(users) untuk saling terhubung. Karena pada dasarnya,
situs jejaring sosial memang diciptakan untuk para pengguna (users) membangun jejaringnya sendiri, baik itu
di Facebook, atau membuat referensi profesional seperti Linkedin. Saat ini, media sosial yang cukup populer digunakan adalah Twitter, Instagram, Facebook, TikTok dan aplikasi pesan singkat Whatsapp. Dalam penggunaannya media sosial banyak memberikan
manfaat dalam menyebarluaskan informasi, namun tidak jarang
media sosial digunakan sebagai media yang dapat menyebabkan kerugian karena disalahgunakan oleh pengguna yang tidak bertanggung jawab.
Pemerataan jaringan
internet diseluruh wilayah di Indonesia masih berjalan hingga saat ini.
Papua sebagai salah satu
wilayah Indonesia yang memiliki indeks
pembangunan teknologi informasi dan komunikasi yang terbilang rendah dibandingkan dengan 33 provinsi lainnya di Indonesia. Penetrasi internet di Papua sebenarnya
terus meangalami peningkatan dari tahun ke tahun
meski tidak lebih cepat jika
dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik pada tahun 2019 proporsi rumah tangga di Papua yang pernah mengakses internet telah mencapai 31,31 % dan berdasarkan presentase penduduk usia 5 tahun keatas
yang mengakses internet pada tahun
2019 di Papua kurang lebih sebanyak 21,70% (Khoiruddin & Setiawan, 2022)
2.
Konsep Konflik dan Ancaman�
Konsep ancaman
sering dikaitkan dengan keamanan negara. Dalam UU No 17 tahun 2011 tentang UU mengenai Intelijen, pasal 1 ayat 4 dikatakan bahwa ancaman adalah
seluruh kegiatan dan upaya baik domestik
maupun internasional yang terbukti membahayakan keselamatan dan keamanan
Indonesia dari berbagai aspek, mulai dari
politik, ekonomi, sosial budaya hingga
pertahanan dan keamanan. Ancaman terhadap keamanan dapat menurunkan kualitas hidup penduduk di suatu negara dalam rentang waktu yang relatif singkat, dan secara signifikan mengancam untuk mempersempitnya pilihan kebijakan yang tersedia baik bagi pemerintah
atau entitas non-pemerintah seperti individu, kelompok atau perusahaan dalam sebuah negara (Terriff, Croft, James, & Morgan, 2000).
Buku Putih Pertahanan Indonesia, melihat ancaman sifatnya dinamis. Hal ini ditengarai oleh perkembangan lingkungan dan konteks strategis yang cepat berubah sehingga ancaman akan berdampak
terhadap pertahanan sebuah negara. Saat ini ancaman sudah
berubah menjadi cukup kompleks karena tidak berfokus
hanya pada satu dimensi saja, melainkan
sudah meliputi multidimensi, meliputi ancaman militer, non militer dan ancaman hibrida. Sejak ditulis pada tahun 2015,
Indonesia telah menilai ancaman akan dikategorikan
menjadi dua, yakni ancaman nyata
dan tidak nyata. Indonesia harus membangun kekuatan dan pertahanan negara sebagai bentuk respon dari ancaman
di masa yang akan datang.
Ancaman erat
kaitannya dengan konflik. Konflik secara luas menurut
(Dahrendorf, 1990)
manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai andil dalam terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial yang dikaitkan dengan ketegangan seputar keputusan tentang berbagai pilihan, kadang-kadang dimanifestasikan dalam konfrontasi antara kekuatan sosial. Konflik memiliki isu substantif yang kerap berkaitan dengan berbagai objek yang diperebutkan seperti kekayaan, kekuasaan, prestise) dan kondisi ketersediaannya. Dalam memahami konflik, sangat penting untuk memeriksa sumber-sumber ketidakpuasan dan permusuhan untuk mengidentifikasi fase-fase hubungan yang berkembang di antara musuh-musuh, untuk menjelaskan eskalasi perjuangan hingga akhirnya resesi siklus kekerasan
menuju penyelesaian perbedaan secara damai. Kekerasan yang tidak terkendali kerap terjadi dalam
konflik, sehingga memerlukan perhatian dan waktu yang lebih lama untuk menyelesaikannya terutama konflik yang mematikan. Konflik mewakili sifat persisten dan pervasif dari persaingan antar kelompok dan internasional di antara kepentingan dan nilai yang berbeda yang mendasari dinamika kekuasaan. Pengalaman konflik begitu mendasar sehingga efek negatifnya
menyebar ke banyak aspek kehidupan
masyarakat.
Penelitian terdahulu
yang dilakukan oleh (Dewanti & Sujana, 2019)
yang mendeskripsikan tentang
langkah yang diambil pemerintah untuk memperlambat jaringan internet sesuai dengan ketentuan
UU Perubahan UU ITE Pasal
40 ayat 2 � 2b. Pengambilan
kebijakan ini bertujuan untuk melindungi penyalahgunaan ITE
yang bisa mengancam negara melalui konten negatif, namun pemerintah sepatutnya mampu menjelaskan kepada masyarakat alasan pembatasan internet, sehingga kebijakan ini tidak terkesan
tidak transparan dan sewenang-wenang. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, unsur kebaruan yang akan dielaborasi dalam penelitian ini adalah melihat proses pengambilan kebijakan pemerintah dalam langkah pemutusan internet dan menjabarkan bentuk-bentuk ancaman yang terjadi pada saat konflik di Papua sehingga kebijakan tersebut perlu untuk diambil. Konflik diwakili oleh ketidaksesuaian tujuan yang dirasakan oleh masing- masing individu
sehingga para individu tidak bisa mengontrol
pilihan mereka
masing-masing, sehingga berujung
pada menghasilkan perasaan
dan perilaku yang merugikan
satu sama lain.
Dari sudut
pandang yang berbeda (Anggraeni, 2020)
melihat bahwa pengambilan keputusan pemerintah untuk untuk mengambil langkah pembatasan internet untuk mencegah hoax. Namun, pembatasan internet ini mencederai kebebasan untuk memperoleh informasi dan mencari informasi dari media social. Saat rusuh di Papua, masyarakat hanya melihat perkembangan
kondisi terkini melalui media mainstream, sedangkan
pemilik media cenderung dekat dengan kekuasaan.
Sulitnya mencari informasi sendiri melalui sosial media atau internet ini telah mencederai kebebasan untuk memperoleh informasi. Tidak sedikit masyarakat
yang menggunakan VPN untuk mengkases media social. Meski dengan hasil penelitian
yang kontradiktif, namun terdapat benang merah yang dapat diurai. Dalam penelitian
ini juga akan membahas bagaimana dampak yang dirasakan oleh masyarakat sebagai pengguna internet pada saat situasi konflik terjadi.
Hubungan dalam
konflik sering digambarkan dalam istilah pelaksanaan kekuasaan koersif. Dalam arti umum, kekuasaan memberikan kemampuan untuk memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu dan merupakan sumber kemampuan orang untuk melakukan kontrol atas pengambilan keputusan saat berada pada posisi yang berharga, apalagi saat berhadapan dengan barang dan jasa yang jumlahnya terbatas. Setiap konflik melibatkan dimensi politik, etika, dan psikologis. Perbedaan identitas dan kekuasaan mendasari dinamika konflik sosial dan organisasional. Motivasi untuk mengobarkan konflik berkisar dari pengejaran
kepentingan sempit oleh kelompok-kelompok sektarian hingga promosi keadilan (Park, Jeong, Chung, Mo, & Kim, 2008)
3.
Teori Stratejik Intelijen
Menurut (McDowell, Batnitzky, & Dyer, 2009)
kata intelijen biasanya digunakan dalam beberapa cara, terlepas dari konteksnya,
ada dua arti yang cukup berbeda, yang pertama intelijen sebagai penggambaran sebuah proses dan aktivitas, disisi lain, intelijen
juga digunakan untuk menunjukkan produk akhir dari proses itu. Secara sederhana,
intelijen dapat digambarkan sebagai memproses sebuah informasi. Dalam konteks ini, informasi
mentah harus diproses terlebih dahulu sebelum diinterpretasikan. Intelijen strategis dan analisis strategis digunakan untuk menggambarkan jenis intelijen dan praktik analisis tertentu, sehingga akan menghasilkan prakiraan berdasarkan analisis terhadap sebuah isu, yang bertujuan untuk menyediakan analisis yang berhubungan langsung dengan pencapaian menyeluruh baik strategis, tujuan organisasi, perusahaan, dan pemerintah. Intelijen strategis adalah tools manager,
yang menitikberatkan bukan hanya tentang target penangkapan, tapi tentang pengambilan keputusan mengenai isu-isu penting dan menyeluruh.
Intelijen strategis
dan praktik analisis berfokus pada kemampuan untuk secara kritis
dan kreatif memikirkan cara untuk melalui
masalah di tingkat makro, dan mempertahankan hubungan pragmatis sehingga memungkinkan untuk pendalaman penelitian yang sesuai. Kegiatan selalu didorong oleh kebutuhan untuk mengatasi bagaimana hasil akhir, kesimpulan, dan memberikan rekomendasi yang dapat berlabuh ke dalam kesiapan
operasional dan mekanisme respon. Karena fungsi utama intelijen adalah deteksi dini dengan berusaha
menganalisis langkah antisipatif atau kebijakan yang relevan dengan ancaman-ancaman dan kondisi yang diprediksi akan terjadi lagi
dimasa depan melalui kaidah-kaidah ilmiah demi menjaga stabilitas, kedaulatan, dan keunggulan negara.
Metode Penelitian
Penelitian ini
menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif yang menggunakan pendekatan studi kasus, yang bergerak pada suatu peristiwa, dengan menggunakan data yang rinci, beragam, dan terfokus pada satu waktu (Neuman & Robson, 2014).
Pendekatan kualitatif ini digunakan karena
peneliti menjelaskan secara mendalam alasan pemerintah melakukan perlambatan internet saat konflik di Papua pada tanggal 19 Agustus 2019 serta dampak dari
penerapan kebijakan ini terhadap ketahanan
informasi dan ketahanan nasional. Adapun Langkah penelitian
ini adalah dengan melakukan observasi mendalam terhadap unggahan dan aktifitas pada platform internet mengenai
pemberitaan tentang pemutusan internet, selanjutnya mengumpulkan dokumen-dokumen yang
terkait mengenai pengambilan kebijakan pemutusan internet dari
stakeholder yang terlibat. Setelah
itu peneliti akan melakukan wawancara mendalam dan kemudian melakukan reduksi data
Partisipan dalam
penelitian ini dipilih empat informan
yang berasal dari latar belakang yang berbeda namun dinilai
oleh peneliti sebagai key informan yang representatif dalam topik penelitian
ini. Adapun informan dalam penelitian ini adalah Kominfo
sebagai perwakilan pemerintah, telkomsel sebagai penyedia layanan internet, dan dua informan yang berasal dari unsur masyarakat
di Papua, dengan data dokumen
serta analisis data dari drone emprit.
Mengacu pada karakteristik
penelitian kualitatif menurut (Bryman & Cramer, 2012)
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan terstruktur serta studi literatur. Teknik analisis data yang akan digunakan yaitu reduksi data berdasarkan lima narasumber yang telah diwawancara. Data lainnya juga merupakan referensi berupa dokumen-dokumen Undang- Undang, Peraturan Pemerintah dan pernyataan tertulis (rilis) dari berbagai
pihak. Data yang disajikan dalam bentuk uraian,
gambar, bagan, dan tabel. Selanjutnya peneliti juga melakukan penarikan kesimpulan dan melakukan verifikasi data yang dielaborasi melalui narasi deskriptif (Ridder, 2014).
Hasil dan Pembahasan
Konflik yang
terjadi di Papua tahun 2019 terjadi akibat postingan yang mengandung rasisme
dan hoaks yang tersebar tanggal 16 dan 17 Agustus 2019 di Surabaya. Salah satu
kabar tidak bohong yang beredar saat itu menyebutkan bahwa mahasiswa Papua akan
menyerang asrama di Surabaya dengan membawa senjata tajam. Tidak hanya itu,
tersebar juga beberapa foto terduga mahasiswa Papua yang mematahkan tiang
bendera Merah Putih dan membuangnya ke selokan, hingga berujung pada oknum
aparat yang datang dengan merusak pagar dan mengeluarkan kata- kata rasisme.
Mahasiswa Papua di asrama saat itu terkepung oleh aparat di asrama yang
akhirnya berujung pada 43 mahasiswa Papua untuk dimintai keterangan di kantor
kepolisian Surabaya.
Akibat dari
konflik yang terjadi antara mahasiswa dan aparat di Surabaya, masyarakat di
Papua akhirnya memutuskan untuk menggelar aksi di beberapa kota, diantaranya
Manokwari, Jayapura, FakFak, Sorong dan Deiyai di tanggal 19 Agustus. Di kota
Jayapura saat itu para pendemo melakukan aksi turun ke jalan dan berjalan
sejauh 15 km untuk menemui Gubernur dan menyampaikan aspirasi mereka.� Aksi yang awalnya dimulai dengan kondusif,
justru berubah menjadi anarkis. Aksi yang digelar di berbagai wilayah di Papua
memuncak sehingga menimbulkan kekacauan dan mengakibatkan pengrusakan fasilitas
umum dan beberapa bangunan milik pemerintah dan menimbulkan korban jiwa. untuk
menghambat dan menghentikan aksi ini, pemerintah mengambil langkah untuk
memutus informasi di Papua dengan cara melakukan perlambatan hingga pemutusan
koneksi internet.
1.
Alasan
Perlambatan Jaringan Internet oleh Pemerintah.
Informasi
merupakan unsur pokok dan melekat dalam konsep pembangunan yang terencana. Kini
informasi menjadi hal yang sangat penting dan dibutuhkan dalam kehidupan
masyarakat. Informasi berevolusi, karena ada peranan teknologi, sehingga dalam
penyebarannya, tidak bisa dibendung. Karena teknologi memberikan dampak negatif
dan positif dalam proses tersebarnya informasi (Ahmad et al., 2012).
Dampak dari penyebaran informasi yang massif di era teknologi, menyebabkan arus
informasi tidak bisa dibendung. Semua orang memiliki akses untuk menjadi
produsen informasi dan menyebarkannya, sehingga melalui perkembangan teknologi,
informasi juga menjadi saling tumpang tindih dan membutuhkan verifikasi lebih
lanjut.
Pemanfaatan
teknologi dalam berkomunikasi, saat ini didominasi oleh media sosial. Media
sosial memiliki peranan cukup aktif dalam penyebaran informasi. Berdasarkan
hasil analisis yang dilakukan oleh Drone Emprit (Suharso, 2019), Peta SNA pada
tanggal 29 hingga 30 Agustus memperlihatkan adanya beberapa percakapan dengan
mengenai West Papua. Ada beberapa akun dengan engagement yang cukup tinggi
terlihat membentuk kelompok dengan narasi Pro NKRI dengan menggunakan tagar
#PelukPapua, #WeLovePapua, dan #CegahReferendumPapua. Sedangkan kelompok yang
pro West Papua atau mendukung untuk pembebasan Papua barat menggunakan tagar
#DeiyaiMassacre, #WestPapua, #FreeWestPapua.
Gambar 1
Peta SNA Narasi
Di Media Sosial Berkaitan Dengan Kisruh Tahun
2019
Terlihat pada gambar
diatas, adanya dua kelompok yang membangun narasi-narasi yang diyakini oleh pemerintah dapat memprovokasi pengguna media sosial lainnya dalam menggunakan
tagar dan ikut memberikan pendapat dan informasi tentang konflik di Papua. Selain dari kelompok narasi
dan tagar, ada beberapa aktor yang juga menggunakan tagar tersebut dan yang paling besar mendapat RT (diunggah kembali) dan reply (balasan) yang
didominasi oleh akun Pro West
Papua, adapun akun-akun
media tersebut diantaranya,
@VeronicaKoman, @thejuicemedia, dan @FreeWestPapua. Sedangkan
akun pro NKRI hanya dua akun yaitu,
@KingPurw4 dan @ZAEffendy.
Gambar
2
Top
Influencer Narasi West Papua
Dengan kondisi
media sosial yang dinamis
dan terus berkembang, berdasarkan data yang diolah oleh
Drone emprit kondisi Papua saat kembali ricuh
tahun 2019 nyatanya masih tersebar meski internet telah diblokir oleh pemerintah. Beberapa tangkapan layar unggahan yang berkaitan dengan konflik Papua yang tersebar di
media sosial adalah peristiwa kerusuhan demonstrasi, pembakaran gedung, korban di Papua yang tentunya
memicu reaksi dan memiliki potensi unggahan ini dapat
memprovokasi masyarakat lebih luas lagi.
Berdasarkan kejadian ini, tentunya langkah
kebijakan yang diambil oleh
pemerintah dalam memperlambat hingga memutus jaringan internet di
Papua dinilai sebagai langkah strategis dalam menghambat laju informasi-informasi yang berisi konten yang dapat memperkeruh konflik.
Gambar
3
Gambar
Yang Tersebar Hingga Internasional
Intelijen memiliki
fungsi pencegahan dini berkaitan dengan keamanan dan ketahanan negara. Masifnya penyebaran informasi yang salah
dan peranan berbagai macam pihak yang tidak bertanggung jawab memicu eskalasi
konflik yang berkepanjangan.
Untuk itu, pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengambil langkah perlambatan internet di Papua sebagai
upaya antisipasi terjadinya konflik yang lebih besar lagi.
Kementerian Komunikasi dan Informatika
mengakui bahwa mereka telah melakukan
throttling atau perlambatan
akses/bandwidth di beberapa
wilayah Papua Barat dan Papua seperti Manokwari dan Jayapura karena aksi massa terjadi
pada tanggal 19 Agustus
2019. Perlambatan akses dilakukan secara bertahap sejak pukul 13.00 WIT. Throttling dilakukan
dengan tujuan untuk mencegah meluasnya penyebaran berita bohong yang memicu aksi ricuh
kembali. Perlambatan
internet yang dilakukan oleh Kominfo
(Suharso, 2019)
ini terbukti dari data yang disajikan oleh
netblocks.
Gambar
4
Grafik Perlambatan
Internet Di Papua 22/08/2019
Ada tujuh
poin penting yang dijadikan pertimbangan mengapa akhirnya pemerintah memutuskan untuk memperlambat jaringan internet di Papua. Ketujuh
poin ini menekankan pada keberagaman dan kebersamaan yang harus terus dirajut oleh masyarakat dan perlambatan yang dilakukan dengan tujuan mencegah terjadinya penyebaran narasi-narasi serta unggahan gambar yang menyimpang dan dapat� memprovokasi masyarakat oleh pihak pihak yang tidak bertanggung jawab (Suharso, 2019).
Selama aksi
demonstrasi yang terjadi di
Papua, banyak isu hoax dan
propaganda yang tersebar melalui
media sosial. Total ada
713.166 url dari berbagai media sosial yang pada akhirnya telah di blokir oleh Kominfo.
Gambar
5
Statistik Konten
Hoaks (Kominfo)
Dari isu-isu
tidak benar yang beredar, beberapa isu yang muncul datang dari domestik
dan internasional. Salah satu
negara yang juga turut menyebarkan
informasi mengenai konflik Papua yaitu Australia, dengan jumlah 1.783 unggahan.
Gambar 6
Daftar Negara Yang Turut Berpatisipasi Memainkan Isu Papua (Kominfo)
Dengan kondisi
keterbatasan informasi, akibat pemutusan jaringan internet di Papua, masyarakat
akhirnya hanya bisa melakukan konfirmasi informasi yang beredar dengan orang yang dijumpai secara langsung ini memberikan
ketimpangan informasi dan akan mengakibatkan kesalahpahaman terhadap berita yang sebenarnya. Informasi yang beredar di masyarakat semakin sempit dan menimbulkan rasa tidak aman. Ironisnya,
beberapa masyarakat Papua tidak mengetahui perlambatan internet yang sengaja
dilakukan pemerintah karena sulitnya untuk mencari informasi,
hal ini terjadi
karena informasi yang disebarkan oleh pemerintah tidak sampai secara
langsung kepada masyarakat yang berada di wilayah
Papua.
2.
Landasan Hukum Perlambatan Jaringan Internet.
Pada dasarnya
seluruh landasan yang digunakan oleh pemerintah untuk kebijakan perlambatan internet ini untuk menghentikan potensi penyebaran konten melalui media elektronik yang akan menganggu keamanan dan ketertiban umum. Keputusan untuk memperlambat jaringan Internet dilakukan oleh pemerintah berdasarkan landasan hukum yakni, UUD 1945, Pasal 28 J ayat (2), yang menyebutkan bahwa dalam menjalankan
hak dan kebebasannya setiap indicidu wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan
oleh Undang-Undang, dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
baik dari sisi moril, keamanan,
dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
yang demokratis. Pemerintah
juga menggunakan UU No.19 Tahun
2016 (UU ITE), Pasal 40 ayat
2 yang berbunyi Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala
jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan
Pasal 40 ayat (2a) yang berbunyi Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
Pasal 40 ayat (2b): Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
yang memiliki muatan yang melanggar hukum. Dalam kutipan wawancaranya
Kominfo menegaskan bahwa Penanganan yang dilakukan didasari dengan Pasal 40 UU ITE ayat 2, dimana Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kominfo memiliki amanat untuk melindungi
kepentingan umum dari gangguan akibat
penyalahgunaan Informasi elektronik. Lebih lanjut di ayat 2(a), Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
yang memiliki muatan yang dilarang.
Perlambatan internet juga menggunakan dasar hukum UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Pada pasal
7 ayat (1) Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi: penyelenggaraan jaringan telekomunikasi; penyelenggaraan jasa telekomunikasi; penyelenggaraan telekomunikasi khusus. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi meliputi: Badan Usaha Milik Negara (BUMN); Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD); Badan Usaha Swasta; atau koperasi. Dan Ayat (2) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi, diperhatikan hal-hal sebagai berikut: melindungi kepentingan dan keamanan negara; mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global; dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan; dan peran serta masyarakat. Dalam UU UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
pada pasal 20 menyatakan bahwa setiap penyelenggara
telekomunikasi wajib memberikan prioritas untuk pengiriman, penyaluran dan penyampaian informasi penting yang menyangkut: keamanan negara; keselamatan jiwa manusia dan harta benda; bencana alam; marabahaya; dan atau wabah penyakit.
Tidak hanya
itu, berdasarkan PP No 71 tahun 2019 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Publik; dan Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat Pasal 5 ayat 1 menyebutkan bahwa Penyelenggara Sistem Elektronik wajib memastikan Sistem Elektroniknya tidak memuat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, dan pasal 5 ayat 2 Penyelenggara Sistem Elektronik wajib memastikan Sistem Elektroniknya tidak memfasilitasi penyebarluasan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Tidak hanya itu, dalam
Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2019 pasal 35 ayat 1 menyebutkan bahwa Menteri berwenang melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Sistem Elektronik. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) mencakup pemantauan, pengendalian, pemeriksaan, penelusuran, dan pengamanan. Ketentuan mengenai pengawasan atas Sistem Elektronik dalam sektor tertentu
wajib dibuat oleh
Kementerian atau Lembaga terkait
setelah berkoordinasi dengan Menteri.
3.
Dampak Perlambatan Jaringan
Internet Kepada Masyarakat
Perlambatan internet ini memberikan dampak ke seluruh
lapisan masyarakat. Seluruh pekerjaan yang berbasis internet terhambat. Roda perekonomian yang berbasis internet juga terkendala.
Tidak hanya itu, sistem pemerintahan
dan pelayanan kesehatan berbasis elektronik juga terhenti. Anjungan Tunai Mandiri juga tidak bisa beroperasi
dan yang paling parah adalah
kondisi ketidakpastian yang
dialami oleh masyarakat akibat kesulitan untuk mengakses informasi.
Selain dampak
yang dialami oleh masyarakat,
selama proses perlambatan layanan internet di sejumlah
wilayah di Papua oleh pemerintah melalui
Kementerian Kominfo RI, Telkomsel
selaku provider dengan jumlah pengguna paling besar di Papua dan Papua Barat hanya
mengikuti regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah dengan berupaya terus melakukan pemantauan kualitas layanan secara berkala. Selama proses pemblokiran
internet yang terjadi, Telkomsel
berupaya untuk memenuhi kebutuhan komunikasi masyarakat di Papua secara umum tetap
terpenuhi, melalui jalur layanan SMS dan panggilan suara yang tetap berfungsi normal.
Kebijakan yang diambil
pemerintah, dalam memperlambat hingga memutus jaringan internet dalam situasi konflik
sejatinya sesuai dalam koridor hukum,
dalam konteks kebijakan tersebut diambil berlandaskan Undang-Undang. Berdasarkan hasil wawancara dalam bentul keterangan
tertulis Kominfo menyatakan PP No 71 menjadi landasan Kementerian Kominfo yang
di diberikan amanat untuk menjaga ruang
digital bersih dari beragam konten yang melanggar peraturan perundang-undangan. Namun, tidak dianggap semena-mena dalam memperlakukan wilayah konflik.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil
dari penelitian ini, dapat disimpulkan
bahwa pemutusan internet di
Papua saat terjadi konflik tahun 2019 dinilai tepat, meski penerapannya belum maksimal. Langkah ini diprediksi dapat mengurangi penyebaran berita bohong yang dapat memprovokasi masyarakat lebih jauh. Namun,
memperlambat jaringan
internet dalam upaya meredam konflik karena di era kebebasan informasi, justru menyebabkan masyarakat mengalami kesulitan dalam mencari dan memverifikasi informasi yang beredar akibat ketidakhadiran internet yang berujung
pada munculnya rasa tidak aman.
Berdasarkan kondisi
saat ini, dimana peperangan sudah bukan lagi
menggunakan cara-cara tradisional melainkan sudah mengarah pada penggunaan seluruh sumber daya termasuk
didalamnya adalah pemanfaatan teknologi, maka berkaca pada kasus kerusuhan di Papua, pemerintah melihat ruang digital Indonesia saat ini adalah titik
rentan yang perlu dijaga. Papua selalu menjadi daerah yang kerap diperebutkan dan kerap menjadi pembahasan
di ranah internasional. Selama kasus rasisme
mencuat, konten negatif kerap berada
di ruang digital Indonesia, hal
ini menyebabkan pemerintah harus melakukan tugasnya untuk menjaga agar ruang digital tersebut bersih dari konten
yang tidak sesuai dan melanggar undang-undang, pemutusan jaringan internet ini harus dilakukan
agar kondisi kerusuhan yang
berujung anarkis ini tidak menyebabkan
konflik semakin besar lagi. Terlebih
lagi, konten-konten tersebut sangat berpotensi untuk memecah persatuan
dan kesatuan Indonesia.
Hasil analisis
dari penelitian ini juga sejalan dengan penelitian sebelumnya menurut (Dewanti, 2019) pemutusan internet
ini adalah upaya pemerintah untuk mengatasi konflik di Papua, namun perlu dipahami bahwa, keputusan ini bukan untuk
membatasi kebebasan hak asasi manusia
dalam mengakses informasi. Rekomndasi hasil dari penelitian
ini seyogyanya pihak pemerintah sebelumnya dapat memberikan informasi mengenai urgensi dan durasi pembatasan internet, agar masyarakat tidak merasa dibatasi hak asasinya dalam
berkomunikasi.
Pemerintah seharusnya
menyusun Undang Undang yang fokus dalam mengatur penerapan kebijakan pengelolaan dan pendistribusian informasi di wilayah konflik. Dengan menimbang dampak yang ditimbulkan dari pengambilan sebuah kebijakan melalui kajian akademis, uji materi hingga pengesahan melalui badan hukum. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi referensi
bagi pemerintah sebelum memutuskan untuk mengambil sebuah kebijakan. Berdasarkan hasil penelitian ini, kebijakan yang diambil atas dasar pertimbangan
keamanan dan ketahanan nasional terutama dalam situasi konflik,
opsi kebijakan untuk memperlambat jaringan internet dapat dilakukan guna mempersempit peluang terjadinya proxy war dan keadaan tidak stabil akibat
sebaran narasi dan berita bohong yang terlalu masif dilakukan
oleh pihak yang tidak bertanggung jawab melalui internet.
Ahmad, Zuhaida Asra, Yeap, Swee Keong, Ali,
Abdul Manaf, Ho, Wan Yong, Alitheen, Noorjahan Banu Mohamed, & Hamid,
Muhajir. (2012). scFv antibody: principles and clinical application. Clinical
and Developmental Immunology, 2012. Google Scholar
Anggraeni, R. R. Dewi. (2020). Wabah
Pandemi COVID-19, Urgensi Pelaksanaan Sidang Secara Elektronik. ADALAH, 4(1),
7�12. Google Sholar
Briantika, Adi. (2020). Timpangnya Putusan
Hukum Pelaku dan Pemrotes Rasisme ke Orang Papua. Tirto. Id. Jakarta, 9.
Google Scholar
Bryman, Alan, & Cramer, Duncan. (2012).
Quantitative data analysis with IBM SPSS 17, 18 & 19: A guide for social
scientists. Routledge.Google Scholar
Dahrendorf, Ralf. (1990). The modern
social conflict: An essay on the politics of liberty. Univ of California
Press. Google Scholar
Dewanti, I. Gusti Ayu Dwi Cahya, &
Sujana, I. Ketut. (2019). Pengaruh ukuran perusahaan, corporate social
responsibility, profitabilitas dan leverage pada tax avoidance. E-Jurnal
Akuntansi, 28(1), 377�406. Google Scholar
Goldsmith, Jack. (2007). Who controls the
Internet? Illusions of a borderless world. Strategic Direction.Google Scholar
Hendrawan, Jodi, & Perwitasari, Ika
Devi. (2019). Aplikasi Pengenalan Pahlawan Nasional dan Pahlawan Revolusi
Berbasis Android. Jurnal Teknologi Informasi, 3(1), 34�40.Google Scholar
Humas, Biro. (2019). Jumlah Pengguna
Internet 2017 Meningkat, Kominfo Terus Lakukan Percepatan Pembangunan Broadband.Google Scholar
Khoiruddin, Achmad, & Setiawan, Hendra.
(2022). Analisis Framing Berita Korupsi Maskapai Garuda Indonesia pada Media
Online Cnbcindonesia. com dan Sindonews. com sebagai Bahan Ajar Teks Berita di
SMP. EDUKATIF: JURNAL ILMU PENDIDIKAN, 4(1), 778�785.Google Scholar
King, David A., Davies, Stuart J., Tan,
Sylvester, & Nur Supardi, Md Noor. (2009). Trees approach gravitational
limits to height in tall lowland forests of Malaysia. Functional Ecology,
23(2), 284�291.Google Scholar
Lepp�niemi, Matti, & Karjaluoto,
Heikki. (2008). Mobile marketing: From marketing strategy to mobile marketing
campaign implementation. International Journal of Mobile Marketing, 3(1).Google Scholar
Marshall, Jonathan Paul, Goodman, James,
Zowghi, Didar, & Da Rimini, Francesca. (2015). Disorder and the
Disinformation Society: The Social Dynamics of Information, Networks and
Software. Routledge.Google Scholar
McDowell, Linda, Batnitzky, Adina, &
Dyer, Sarah. (2009). Precarious work and economic migration: emerging immigrant
divisions of labour in Greater London�s service sector. International
Journal of Urban and Regional Research, 33(1), 3�25.Google Scholar
Neuman, William Lawrence, & Robson,
Karen. (2014). Basics of social research. Pearson Canada Toronto.Google Scholar
Park, Jin Seong, Jeong, Jae Kyeong, Chung,
Hyun Joong, Mo, Yeon Gon, & Kim, Hye Dong. (2008). Electronic transport
properties of amorphous indium-gallium-zinc oxide semiconductor upon exposure
to water. Applied Physics Letters, 92(7), 72104.Google Scholar
Ridder, Hans Gerd. (2014). Book Review:
Qualitative data analysis. A methods sourcebook. SAGE Publications Sage UK:
London, England.Google Scholar
Suharso, Putut. (2019). Pemanfaatan Drone
Emprit dalam Melihat Trend Perkembangan Bacaan Digital melalui Akun Twitter. Anuva,
3(4), 333�346.Google Scholar
Terriff, Terry, Croft, Stuart, James, Lucy,
& Morgan, Patrick. (2000). Security studies today. Polity.Google Scholar
�����������
Copyright holder: DK Nena Tanda, Margaretha Hanita (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |