Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 4, April 2022

 

IMPLIKATUR PERCAKAPAN DALAM PAPASENG TORIOLO SEBAGAI BENTUK PENANAMAN NILAI KARAKTER BAGI MASYARAKAT SUKU BUGIS

 

A. Rahman Rahim1, Asis Nojeng2, Arifuddin3, Thamrin Paelori4, Abd. Syukur5

1,3 Universitas Muhammadiyah Makassar, Indonesia

2 Universitas Negeri Makassar, Indonesia

4 Dinas Pendidikan Kota Makassar, Indonesia

5 Dinas Pendidikan Kabupaten Sinjai, Indonesia

Email[email protected][email protected], [email protected][email protected], [email protected]

 

Abstrak

Sastra lisan merupakan wahana pemahaman gagasan pewarisan tata nilai yang timbuh di masyarakat. Bahkan, sastra lisan telah berabad-abad berperan sebagai dasar komunikasi antara pencipta dan masyarakat. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan implikatur percakapan dari Pappaseng Toriolo sebagai salah satu sastra lisan masyarakat suku Bugis. Penelitian ini dikategorikan ke dalam jenis penelitian deksriptif kualitatif. Data penelitian ini adalah data lisan yang dikumpulkan dengan menggunakan teknik Participation observasion, yaitu suatu teknik pengumpulan data yang dilaku kan dengan cara peneliti berbaur langsung dalam kehidupan masyarakat yang menjadi objek dari penelitian yang dilakukan.� Hasil analisis data membuktikan bahwa paseng itu adalah wasiat orang tua kepada anak cucunya yang harus selalu diingat sebagai amanah yang perlu dipatuhi dan dilaksanakan atas dasar percaya pada diri sendiri disertai rasa tanggung jawab. Hal ini paseng adalah salah satu genre kesastraan Bugis yang hingga kini masih dihayati oleh masyarakat penduduknya. Jenis sastra ini merupakan warisan leluhur orang Bugis yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Isinya mengandung bermacam-macam petuah yang dapat dijadikan pegangan dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Dalam Paseng ditemukan, antara lain, petunjuk tentang tata pemerintahan yang baik, pendidikan budi pekerti, dan nilai-nilai moral keagamaan.

 

Kata Kunci: implikatur percakapan; pappaseng; suku bugis

 

Abstract

Oral literature is a vehicle for understanding the idea of inheritance of values that are grown in society. In fact, oral literature has for centuries served as the basis of communication between creators and society. This research aims to describe the conversational implicatur of Pappaseng Toriolo as one of the oral literature of the Bugis tribe. This research is categorized into qualitative descriptive types of research. This research data is oral data collected using the Participation observation technique, which is a data collection technique carried out by the way researchers blend directly into the lives of people who are the object of the research carried out.� The results of the data analysis prove that the paseng is a parent's will to their children and grandchildren that must always be remembered. as a mandate that needs to be obeyed and carried out on the basis of trust in oneself accompanied by a sense of responsibility. This paseng is one of the genres of Bugis literature that until now is still lived by the people of its population. This type of literature is the ancestral heritage of the Bugis people who passed down from one generation to the next. The content contains various kinds of advice that can be used as a handle in dealing with various life problems. In Paseng found, among others, instructions on good governance, ethical education, and religious moral values.

 

Keywords: conversation implicature; pappaseng; bugis tribe

 

Pendahuluan

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang terdiri atas ratusan suku bangsa dan beraneka ragam bahasa serta budayanya. Bangsa Indonesia memiliki warisan budaya yang cukup bernilai. Peninggalan dan warisan budaya yang dimaksud adalah salah satu di antaranya, yaitu sastra daerah. Fungsi sastra daerah selain saluran untuk memelihara dan menurunkan buah pikiran bagi suku yang mempunyai sastra itu, sebagai cerminan alam pikiran, pandangan hidup, dan ekspresi dalam kehidupan masyarakat pemiliknya. Hal itulah yang menjadi salah satu nilia budaya Indonesia.

Sastra lisan, termasuk cerita rakyat yang merupakan warisan budaya nasional dan masih mempunyai nilai-nilai yang patut dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, antara lain dalam hubungannya dengan pembinaan apresiasi sastra. Sastra lisan juga telah lama berperan sebagai wahana pemahaman gagasan pewarisan tata nilai yang timbuh di masyarakat. Bahkan, sastra lisan telah berabad-abad berperan sebagai dasar komunikasi antara pencipta dan masyarakat. Dalam arti ciptaan yang berdasrkan lisan akan lebih mudah dinikmati� karena ada unsur yang dikenal masyarakat (Mada, 2017).

Di beberapa wilayah di daerah Bugis masih terdapat beberapa komunitas yang masih memegang teguh makna pappaseng dalam proses berkehidupan.� Makna Paseng adalah sebuah pepatah bugis yang merupakan petunjuk tentang cara berkehidupan dan menentukan suatu yang ideal mengenai bagaimana saseorang harus hidup, menjalin hubungan dengan sesame manusia dan penciptanya. �Salah satu bentuk karya sastra local yang didalamnya terdapat realitas kehidupan manusia adalah Pappaseng. Sastra lisan Bugis ini tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat pada masanya, sebagai satu sarana pendidikan dan hiburan, khususnya bagi anak-anak dan generasi muda. Mereka diharapkan mampu mengambil nilai-nilai positif dari cerita tersebut sehingga kelak dalam menjalani kehidupannya mereka bisa menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain dan lingkungannya (Mundazir & Chaerul, n.d.).

Nilai-nilai pembentukan karakter tertuang dalam Pappaseng karena mengandung nilai leluhur masyarakat Bugis, serta dijadikan referensi orang tua dalam pengasuhan anak. Lambat laun Pappaseng sebagai nilai-nilai luhur tidak lagi tersosialisasi dan dipegang teguh bagi sebagian masyrakat Bugis, tidak lagi menjadi pedoman bagi orang tua mendidik, mengasuh, dan membesarkan anak agar sesuai dengan tuntutan budaya masyarakat Bugis. Setiap daerah biasanya memiliki sastra yang terus dijaga. Sastra lisan ini adalah salah satu bagian budaya yang dipelihara oleh masyarakat pendudukungnya secara turun-temurun. Berarti, sastra lisan adalah bagian dari kebudayaan masyarakat yang harus dipelihara dan dilestarikan.

Pelestarian sastra lisan ini sangat penting, karena hal ini, sastra lisan hanya tersimpan dalam ingatan orang tua atau sesepuh yang kian hari berkuarang. Sastra lisan daerah mempunyai nilai-nilai luhur yang perlu dikembangkan dan dimanfaatkan dalam hubungan usaha pembinaan serta penciptaan sastra. Paseng merupakan hasil kebudayaan asli suku Bugis yang sampai sekarang masih dijumpai dan digunakan dalam kehidupan masyarakat Bugis, paling utama orang-orang tua yang berkomunikasi dengan anaknya. Dalam keadaan seperti itu Paseng dimuliakan oleh masyarakatnya, kemudian dialihkan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Haugh (2002) The Intuitive Basis Of Implicature Relevance Theoretic Implicitness Versus Gricean Implying. Gagasan implikatur pertama kali diperkenalkan oleh Grice (1967, 1989), yang didefinisikan pada dasarnya sebagai apa dikomunikasikan kurang apa yang dikatakan. Definisi ini memberikan kontribusi sebagian yang berbeda dari implikatur oleh neo-Grice. teori relevansi telah merespon ini dengan mengusulkan pergeseran kembali ke perbedaan antara makna eksplisit dan implisit (sesuai dengan explicature dan implikatur masing-masing). Namun, mereka tampaknya telah dikupas ke bawah konsep implikatur terlalu banyak, mengabaikan fenomena yang mungkin lebih baik diperlakukan sebagai implikatur dalam over-generalisasi mereka konsep dari explicature. Sebuah konseptualisasi alternatif implikatur berdasarkan konsep menyiratkan Grice awalnya terkait gagasan tentang implikatur demikian diusulkan. Dari definisi ini muncul bahwa implikatur merupakan sesuatu yang lain disimpulkan oleh penerima yang tidak benar dikatakan oleh pembicara. Sebaliknya, hal ini dimaksudkan selain apa kata harfiah dan akibatnya, itu yang dapat dibatalkan seperti semua jenis lain dari fenomena pragmatis.

Gunarwan (1994) menyimpulkan percakapan terjadi karena adanya kenyataan bahwa sebuah ujaran yang mempunyai implikasi berupa proposisi yang sebenarnya bukan bagian dari tuturan tersebut dan tidak pula merupakan konsekuensi yang harus ada dari tuturan itu. Mengacu pada konsep Grice (1975) Rustono (1999:82-85) mengemukakan tentang implikatur mencakupi pengembangan teori hubungan antara ekspresi, makna penutur, dan implikasi suatu tuturan. beliau membedakan tiga macam implikatur, yaitu implikatur konvensional, implikatur nonkonvensional, dan praanggapan. Implikatur konvensional adalah implikatur yang diperoleh langsung dari makna kata, dan bukan dari prinsip percakapan. Implikatur nonkonvensional atau implikatur percakapan adalah implikasi pragmatis yang tersirat di dalam suatu percakapan.

Rahardi (2005: 43) berpendapat implikatur adalah hubungan antara tuturan yang sesungguhnya dengan maksud yang tidak dituturkan itu bersifat tidak mutlak inferensi maksud tuturan itu harus didasarkan pada konteks situasi tutur. Pengertian Implikatur menurut Grice dalam Mulyana 2005:11 ialah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Sesuatu �yang berbeda� tersebut adalah maksud pembicara yang tidak dikemukakan secara eksplisit, dengan kata lain implikatur adalah maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi.

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu di antaranya adalah (M Idris, 2018) yang telah mengidentifikasi masalah-masalah yang berkenaan dengan makna Pappaseng Tomatoa. Penelitian ini bertujuan untuk menginformasikan bahwa makna Pappaseng Tomatoa sangat penting untuk diketahui, utamanya bagi generasi muda, sebagai suatu budaya yang menjadi falsafah hidup masyarakat Bugi Sinjai. Penelitian yang sama pernah dilakukan oleh (Syahru Ramadan, 2019) yang menegaskan bahwa nilai- nilai Pappaseng dapat dijadikan motivasi belajar bagi anak-didik di bangku sekolah. Kebaruan dari penelitian ini dibandingkan dengan penelitian yang lain adalah karena penelitian ini mengungkapkan makna sastra lisan Pappaseng dari sudut pandang pragmatic. Penelitian ini menggambarkan makna implikatur dari tuturan Pappaseng sebagai salah satu bentuk sastra lisan khususnya di kalangan masyarakat Bugis.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis data lisan. Untuk mendapatkan data tersebut peneliti menggunakan informan. Kriteria informan yang dipakai dalam penelitian ini harus memiliki ciri sebagai berikut: suku serta penutur asli bahasa Bugis, fasih berbahasa Bugis, memiliki pengetahuan tentang Pappaseng, dan berusia 25 sampai 65 tahun. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini teknik Participation observasion, yaitu suatu teknik pengumpulan data yang dilaku kan dengan cara peneliti berbaur langsung dalam kehidupan masyarakat yang menjadi objek dari penelitian yang dilakukan (Syamsuddin & Damianti, 2006). Adapun teknik pengumpulan data pada penelitian ini yaitu teknik Observasi, Wawancara, dokumentasi dan catat. Dalam analisis data likukan langkah-langkah 1) Identifikasi, 2) Klasifikasi, 3) Analisis, 4) Deskripsi, yaitu mendeskripsikan seluruh hasil analisis data.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Hasil

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka diuraikan pembahasan makna denotasi dan konotasi terhadap paseng masyarakat Sinjai sebagai berikut: Adapun uraian pembahasan ungkapan denotasi yang sesuai dengan hasil penelitian dijabarkan sebagai berikut:

 

 

 

1)  Tendifuji kedona taufole narekko maddennek bompomi

Artinya : Tidak disenangi sikap orang yang bertamu jika jatuh seperti lintah

Implikatur percakapan dari tuturan tersebut merupakan sebuah imbauan kepada anak atau kerabat agar memperbaiki ahlak atau budi perkerti. Salah satu sikap yang tidak disenangi oleh masyarakat suku Bugis adalah jika berteamu di rumah tetangga atau kerabat. Sebaiknya dalam bertamu, tetap diperhatikan tatakrama sehingga tidak menimbulkan cerita dari pihak tuan rumah. Hal itu disebabkan oleh adanya kebiasaan sebagian orang yang biasanya memohon pamit setelah menikmati hidangan yang disuguhkan oleh tuan rumah. Fenomena ini dianalogikan ibarat tinta yang menempel di bagian tubuh seseorang dan akan jatuh setelah kenyang menghisap darah.

2)  Aja muelo nabetaeng makaleja ricapana letengnge

Artinya : jangan sampai engkau didahului untuk menginjakan kaki pada titian.

Makna dari ungkapan tersebut adalah ajaran untuk tidak membuang-buang waktu dalam mengerjakan sesuatu dan selalu cepat dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan. Ungkapan tersebut dilatarbelakangi oleh nilai etos kerja dalam tradisi suku bugis. Etos kerja merupakan seperangkat perilaku positif dan fondasi yang mencakup motivasi yang menggerakkan mereka, karakteristik utama, spirit dasar, pikiran dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, sikap-sikap, aspirasi, keyakinan-keyakinan, prinsip-prinsip dan standar.

3)  Sengekka golla ku sengekki kaluku

Artinya : Kenanglah aku seperti gula, kan kukenang kamu seperti kelapa.

Salaah satu kue tradisional masyarakat Bugis yaitu onde-onde, yang merupakan perpaduan antara gula dengan kelapa. Kue ini tidak akan memiliki cita rasa yang sempurna jika salah satu di antara keduanya kurang. Kue tradisional ini menjadi salah satu jenis makanan yang harus ada di setiap acara tradisonal, seperti pada acara lamaran pernikahan, mappacing sampai pada proses akhir pernikahan.� Kue tradisional ini menjadi simbol perlunya harmonisasi dalam membina kehidupan bermasayarakat, berbangsa, dan bernegara. Implikatur percakapan dari Ungkapan tesebut mengajarkan kepada semua orang untuk tidak mengambil hak orang lain. Paseng tersebut dilatarbelakangi oleh nilai budi pekerti manusia dalam menjalankan aktifitas kehidupannya sehingga ungkpan tersebut diwariskan untuk menghargai hak kepemilikan orang lain.

4)  Ajak mualufai bokong temmahari di fallaonnu

Artinya: Jangan kau lupakan bekalmu yang tak tak pernah basi selama dalam perantauan.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa implikatur percakapan dari ungkapan tersebut merupakan sebuah pesan yang disampaikan oleh orang tua kepada keluarganya yang hendak merantau. Frase �Bokong temmahari yang berarti bekal yang tak pernah basi� adalah sebuah analogi dari sifat atau karakter yang baik. Sejak dahulu orang-orang tua di Tanah Bugis menanamkan kepada putra-putrinya untuk memiliki sifat atau karakter yang baik seperti bertqwa kepada Allah Swt, Tuhan Yang maha Esa, hormat dan patuh kepada orang yang lebih tua, berbuat baik terhadap sesama, dan menjaga ucapan dan tindakan. Seseorang yang memiliki karakter tersebut akan aman selama dalam perantauan karena mampu menempatkan diri sesuai dengan kondisi yang dihadapinya.

5)  Faui tongengnge maukmuni muemmek pariae

Artinya : Katakan hal yang benar walaupun pahit seperti menelan buah pare

Implikatur percakapan dari PappasengToriolo seperti pada data yang ada di atas menunjukkanpentingnya kejujuran untuk mengatakan sebuah kebenaran. Orang tua di Tanah Bugis mengajarkaan putra-putrinya untuk senantiasa menyelami kehidupan ini dengan sejujur jujurnya, sekalipun ini berada dalam kondisi yang dilematis. Makan ungkapan �Katakan sebenarnya sekalipun pahit� itu adalah menanamkan karakter kejujuran dan ketegasan kepada anak-anak agar memiliki keberanian dalam mengungkapkan sebuah permasalahan yang terjadi. Buah pare yang rasanya sangat pahit dianalogikan sebagai sebuah kondisi yang sangat dilematis namun kebenaran dan kejujuran harus tetap dijunjung tinggi.

6)  Ajak mu congak narekko mappaui tomatoaE

Artinya : Jangan mendongak jika orang tuamu berbicara.

Pada dasarnya implikatur percakapan dari ungkapan tersebut dilatarbelakangi oleh nilai budi pekerti terhadap orang tua. Membahagiakan orang tua merupakan prioritas utama yang harus dilakukan oleh anak dalam tradisi suku bugis. Oleh karena itu, paseng tersebut lahir sebagai nasihat atau ajaran yang diwariskan secara turun-temurun dalam tradisi suku bugis. Orang tua adalah sosok yang sangat pastut dihormati, maka ketika orang tua berbicara jangan sekali kali Anda memotong pembicaraan tersebut karena hal itu akan mengurangi rasa hormat terhadap orang tua.

7)  Ajak mutudang diulunna addene narekko labukni essoE

Artinya : Jangan duduk di ujung tangga di waktu senja

Implikatur percakapan dari ungkapan tersebut berupa sebuah larangan yang disampaikan oleh orang tua kepada putra-putrinya. Penggunaan fase Ulunna Addene (ujung tangga) membuktikan bahwa zaman dahulu rumah atau tempat tinggal masyarakat bugis umumnya rumah panggung. Larangan untuk tidak berada di ujung tangga di saat senja merupakan peringatan agar pintu segera ditutup karena setan berkeliaran saat menjelang magrib. Itulah sebabnya masyarakat Bugis menutup rapat pintunya ketika menjelang magrib.

8)  Pugauki passuronna na passangka na puangalatalah, mamuareki manjaji passengerreng lao rihatakkalemu

Artinya : patuhila perintah dan larangan Tuhan, semoga menjadi manfaat dalam dirimu.

Hidup ini hanya sementara. Siapa yang berpegang pada agama maka dia yang akan selamat. Ungkapan tersebut dilatar belakangi oleh nilai spiritual untuk mematuhi perintah dan larangan Allah Swt, sang pencipta langit dan bumi.untuk itu ummat manusia yang akan selamat dalam hidupnya di dunia maupun di akhirat hauslah tunduk dan patuh pada pentah agama. Ungkapan ini diajarkan secara urun temurun sehingga masyarakat bugis umumnya memiliki sikap religius atau memiliki keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah Swt, Tuhan Yang Maha Esa.

9)  Golla� dimulanna, kaluku tengngana, paria cappakna

Artinya: gula di bagian awal, kelapa di bagian tengah, dan pare di bagian akhir.

Ungkapan tersebut merupakan wejangan yang sering disampaikan oleh orang tua kepada putra putrinya agar tetap konsisten dalam memegang prinsip hidup. Pemeo ini diibaratkan kepada sesorang yang hanya manis atau baik pada awal-awalnya saja sampai kepada pertengahan tetapi pada akhirnya justru kelihatan sikap buruknya. Oleh sebab itu masyarakat Bugis dianjurkan untuk memiliki sikap yang konsisten dan teguh kepada pendirian jika hal itu dinilainya baik untuk prinsip hidup dan kehidupan.

10)    Ajak muittai bale, nasabak bitokko itu matuk

Jangan memakan ikan sepuas-puasnya (ngemil ikan) karena kamu bisa cacingan.

Pappaseng Toriolo seperti yang terdapat pada ungkapan di atas diartikan sebagai sebuah pesan yang disampaikan oleh orang tua agar putra-putrinya bersifat hemat, memakan susatu secukupnya, tidak berlebih-lebihan dalam melakukan sesuatu. Jika dicermati ungkapan di atas secara leksikal maupun gramatikal, maka ada kesan bahwa pesan tersebut bertolak belakang dengan anjuran pemerintah untuk mengkonsumsi ikan sebanyak-banyaknya. Akan tetapi Pappaseng Toriolo tersebut adalah sebuah kiasan atau kalimat yang bermakna konotatif, yang dimakna sebagi sebuah pesan untuk membiasakan diri hidup hemat.

11)    Temmasirik kajompiE tania taneng jellek na alena madoeri

Artinya: kacang panjang itu tidak punya malu karena buka dia ang tancap kayu tapi dia yang melilit.

Kecurangan dalam hidup bermsayarakat bukanlah hal yang baru terjadi. Fenomena tersebut sudah ada sejak manusia ada. Pappaseng Toriolo seperti yang diungkapkan pada data di atas menjadi bukti tentang hal tersebut. Di sinilah dibutuhkan peran orang tua untuk menyampaikan kepada putra putranya agar tidak bersifat curang seperti yang dilakukan oleh tumbuhan menjalar seperti kacang panjang. Orang yang sifatnya suka mengakui sesuatu yang bukan miliknya diibaratkan seperti dalam pemeo di atas, dan itu harus dihindari karena akan mengganggu tatanan hidup bermasyarakat.

B.  Pembahasan

Hasil analisis data membuktikan bahwa paseng itu adalah wasiat orang tua kepada anak cucunya yang harus selalu diingat sebagai amanah yang perlu dipatuhi dan dilaksanakan atas dasar percaya pada diri sendiri disertai rasa tanggung jawab. Hal ini paseng adalah salah satu genre kesastraan Bugis yang hingga kini masih dihayati oleh masyarakat penduduknya. Jenis sastra ini merupakan warisan leluhur orang Bugis yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Isinya mengandung bermacam-macam petuah yang dapat dijadikan pegangan dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Dalam Paseng ditemukan, antara lain, petunjuk tentang tata pemerintahan yang baik, pendidikan budi pekerti, dan nilai-nilai moral keagamaan. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh SumarJo bahwa Sastra merupakan ungkapan pribadi manusia yang berupa ide, semangat, keyakinan dalam gambaran kongkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.

Hal ini menunjukkan bahwa sastra merupakan hasil perpaduan harmonis antara kerja keras perasaan dan pikiran serta bersifat etis sekaligus estetis. Sebuah cipta rasa disebut indah bukan hanya karena bahasanya yang berulan-ulan dan penuh irama. Ia harus dilihat secara totalitas, baik tema, amanat, maupun stukturnya yang lain. Sastra lisan merupakan berbagai tuturan verbal yang memiliki ciri-ciri sebagai karya sastra pada umumnya, yang meliputi puisi, prosa, nyanyian, dan drama lisan. Salah satu sastra lisan yang dikaji dalam penelitian ini yaitu,paseng masyarakat Sinjai. Paseng merupakan ungkapan yang berisi tentang amanah-amanah yang harus dipegang terguh oleh masyarakat suku Bugis dalam aktifitas kehidupannya.

 

Kesimpulan

Warisan kearifan lokal masyarakat Bugis yang bertuang dalam kumpulan pesan atau wasiat yang biasa disebut dengan Paseng. Secara harfiah paseng berarti kumpulan pesan atau petunjuk. Namun, ada juga yang memandang makna Paseng sesungguhnya sama dengan kata wasiat. Hal ini disebabkan oleh sifatnya yang mengikat dan patut diikuti. Paseng secara umum berisikan petunjuk tentang cara berkehidupan dan menentukan sesuatu yang ideal mengenai bagaimana individu harus hidup, menjalin hubungan dengan sesame manusia dan Sang Pencipta.

Hasil penelitian Paseng hadir ditengah masyarakat sebagai media pendidikn moral. Paseng bertujuan untuk membangun kualitas pribadi masyarakat yang ideal yakni yang membawa manfaat kepada alam semesta. Oleh karena itu,di dalam Paseng akan sering ditemui ajaran-ajaran tentang karakter mulia yang dalam pandangan peneliti dapat diserap menjadi karakter ideal pribadi yang baik.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Alo Liliweri, M. S. (2002). Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya. Cet. II. Google Scholar

 

Amir, Adriyetti. (2013). Sastra lisan indonesia. Andi. Google Scholar

 

Arifianti, Ika. (2018). Implikatur Konvensional Dan Non Konvensional Tuturan Pengunjung Kawasan Lawang Sewu Semarang Jawa Tengah. Pena Jurnal Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi, 32(1), 44�52. Google Scholar

 

Astuti, Rika Endri, Mujiyanto, Yant, & Rohmadi, Muhammad. (2017). Analisis Psikologi Sastra dan Nilai Pendidikan dalam Novel Entrok Karya Okky Madasari serta Relevansinya sebagai Materi Pembelajaran Sastra di Sekolah Menengah Atas. Basastra, 4(2), 175�187. Google Scholar

 

Boriri, Agus. (2021). Implikatur Bermakna Budaya Sosial Pada Nyanyian Rakyat Denge Suku Tobelo Di Desa Wooi Kec. Obi Timur. Titian: Jurnal Ilmu Humaniora, 5(2), 184�195. Google Scholar

 

Danandjaja, James. (2002). Folklor Indonesia (Ilmu gosip, dongeng dan lain-lain Cet. VI. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Google Scholar

 

Eagleton, Terry. (2010). Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif. Jalasutra. Google Scholar

 

Haryono, Sutarno. (2017). Implikatur Dan Daya Pragmatik Dalam Seni Pertunjukan. Greget, 16(2). Google Scholar

 

Idris, M. (2018). Makna Pappaseng Tomatoa Masyarakat Bugis Sinjai Tinjauan Semantik Sastra Tutur. Forum Penelitian, 1 (1), 21�23. Google Scholar

 

Idris, Muhammad. (2018). Makna PappasengTomatoa Masyarakat Bugis Sinjai (Tinjauan Semantik Sastra Tutur). Makassar: Universitas Muhammadiyah Makassar. Google Scholar

 

Ihromi, Tapi O. (1999). Pokok-pokok antropologi budaya. Yayasan Obor Indonesia. Google Scholar

 

Iskandar, I. (2016). Bentuk, Makna, dan Fungsi Pappaseng dalam Kehidupan Masyarakat Bugis di Kabupaten Bombana. Jurnal Bastra Dan Bastra. Google Scholar

 

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. (2000). Jakarta: Rineka Cipta, Cet. VIII. Google Scholar

 

 

 

Kuntarto, Eko, & Gafar, Abdoel. (2016). Manifestasi Prinsip Kesantunan, Prinsip Kerja Sama, dan Implikatur Percakapan pada Interaksi Di Lingkungan Sekolah. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 16(3), 30�45. Google Scholar

 

Mada, F. (2017). Nilai Moral dalam Cerita Rakyat Wa Ode Kaengu Faari dan La Sirimbone Pada Masyarakat Muna. Jurnal Bastra (Bahasa Dan Sastra), 1(4). Google Scholar

 

Mattalitti, M. Arief. (1986). Pappaseng to riolota. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra. Google Scholar

 

Mundazir, & Chaerul. (n.d.). Tradisi Mappandre Temme, Di Kecamatan Tanete Rilau Kabupaten Barru. Google Scholar

 

Pelras, Christian, Abu, Abdul Rahman, & Arsuka, Nirwan Ahmad. (2006). Manusia Bugis. Nalar: Forum Jakarta-Paris: �cole Fran�aise d�Extr�me-Orient (EFEO). Google Scholar

 

Ramadan, Syahru. (2019). Makna Dan Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Pappaseng Dan Pemanfaatan Hasilnya Sebagai Buku Pengayaan Pengetahuan Di Sma. Universitas Pendidikan Indonesia. Google Scholar

 

Saini, K. M., & Sumardjo, Jakob. (1986). Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia, 14. Google Scholar

 

Syahru Ramadan. (2019). Makna dan Nilai-Nilai Pendidikan dalam Pappaseng dan Pemanfaatan hasilnya sebagai Buku Pengayaan Pengetahuan di SMA. Repository.Upi.Edu. Google Scholar

 

Syamsuddin, A. R., & Damianti, Vismaia S. (2006). Metode penelitian pendidikan bahasa. Diterbitkan atas kerjasama Program Pascasarjana Universitas Pendidikan. Google Scholar

 

Taum, Yoseph Yapi. (2011). Studi sastra lisan: Sejarah, teori, metode, dan pendekatan disertai contoh penerapannya. Lamalera. Google Scholar

 

Tudjuka, Nina Selviana. (2018). Makna denotasi dan konotasi pada ungkapan tradisional dalam konteks pernikahan adat suku Pamona. Bahasa Dan Sastra, 4(1). Google Scholar

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Copyright holder:

A. Rahman Rahim, Asis Nojeng, Arifuddin, Thamrin Paelori, Abd. Syukur (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: