Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN:
2548-1398
Vol.
7, No. 3, Maret 2022
KAJIAN
YURIDIS ARBITRASE SEBAGAI SUATU ALTERNATIF PILIHAN FORUM DALAM PENYELESAIAN
SENGKETA BISNIS DI LUAR PENGADILAN
Sugiarto, Juwita, Misbahul Huda
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Iblam, Indonesia
Email: [email protected], [email protected],
[email protected]
Abstrak
Di Indonesia dalam
hal kelembagaan pelaksanaan arbtrase sering dikenal sebagai BANI (Badan Arbitrase
Nasional Indonesia), sebagai sebuah
lembaga yang menangani penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau bentuk alternatif
penyelesaian lainnya sebagaimana diatur pada Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan permasalahan hukum sebenarnya memiliki cara sendiri-sendiri
untuk menyelesaikan perselisihan berdasarkan asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian dan sebagai pilihan forum dalam menyelesaikan sengketa bisnis, alternatif penyelesaian sengketa melalui Arbiter menjadi pilihan dan dalam putusannya sebagaimana pasal 60 bersifat final and
binding namun masih dimungkinkan untuk melakukan upaya lain sebagaimana diatur pada pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Rumusan Masalah: 1) Bagaimanakah Pengaturan terkait asas final and binding dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa?, 2) Bagaimana penerapan asas final and binding dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Jenis penelitian : menggunakan jenis
penelitian penelitian yuridis normative yaitu hukum dikonsepsikan sebagai norma, kaidah, asas atau
pun dogma. Penulis menyimpulkan
: Arbitrase Sebagai Suatu Alternatif Pilihan Forum� Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis� Di Luar Pengadilan, alasannya Prosedur sederhana dan cepat, Bebas memilih
arbiter, Biaya lebih murah, Putusan akhir atau final dan mengikat atau binding, Putusan bersifat rahasia dan arbiter dari kalangan pakar dan Bebas memilih hokum, selain itu putusan
arbitrase yang bersifat
final dan mempunyai kekuatan
hukum tetap serta� mengikat dengan pasal 70 bertolak belakang, karena pasal tersebut menyatakan bahwa putusan arbitrase masih dapat dilakukan
upaya hukum perlawanan yakni permohonan pembatalan putusan arbitrase.
Kata Kunci: arbitrase; sengketa
bisnis
Abstract
In Indonesia, in terms of institutions for implementing arbitration, it
is often known as BANI (Indonesian National Arbitration Board), as an
institution that handles dispute resolution through arbitration or other
alternative forms of settlement as regulated in Law no. 30 of 1999 concerning
Arbitration and Alternative Dispute Resolution. The disputing parties in
resolving legal issues actually have their own ways to resolve disputes based
on the principle of freedom of contract in agreements and as a forum of choice
in resolving business disputes, alternative dispute resolution through
Arbitrators is an option and in its decision as in
Article 60 is final and binding but still it is possible to make other efforts
as regulated in article 70 of Law no. 30 of 1999 concerning Arbitration and
Alternative Dispute Resolution. Problem Formulation: 1) How is the regulation
related to the final and binding principle in Law no. 30 of 1999 concerning Arbitration
and alternative dispute resolution? 2) How is the application of the final and
binding principle in Law no. 30 of 1999 concerning Arbitration and alternative
dispute resolution. Type of research: using normative juridical research,
namely law is conceptualized as a norm, rule, principle or dogma. The author
concludes: Arbitration as an alternative forum choice in business dispute
resolution outside the court, the reasons are simple and fast procedures, free
to choose arbitrators, cheaper fees, final or final and binding decisions,
decisions are confidential and arbitrators from experts and free choose the
law, besides that the arbitral award which is final and has permanent legal
force and is binding with article 70 is contradictory, because the article
states that the arbitral award can still be taken against legal remedies,
namely the request for the cancellation of the arbitral award.
Keywords: arbitration; business
disputes
Pendahuluan
Indonesia sejak
diproklamirkan telah menganut paham negara hokum (AZ,
2016), hal
tersebut tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 pada pasal 1 ayat (3) yang menyatakan � Negara Indonesia adalah negara
hukum�.
Negara hukum
atau biasa yang disebut dengan istilah rechtsstaat
atau the rule of law merupakan negara
yang dalam menjalankan suatu tindakan, semua berdasarkan pada aturan atau
sesuai dengan hukum yang berlaku, peraturan-peraturan yang bersifat
memaksa jadi jika ada seseorang yang melakukan
tindakan melanggar aturan, maka akan mendapatkan suatu hukuman karena dianggap
melanggar hukum. Negara yang kuat adalah
negara yang memiliki aturan. Aturan
tersebut tentunya yang membatasi segala bentuk kewenangan-wenangan. Hingga pada akhirnya
keadilan dan keseimbangan bisa diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat (Adriati,
2020).
Hukum tidak saja
mengatur� aspek kehidupan masyarakat
tetapi juga hukum mengatur setiap kegiatan bidang lainnya salah satunya
adalah bidang ekonomi khususnya bisnis perdagangan, yang diartikan� sebagai keseluruhan kegiatan usaha
yang dijalankan oleh orang atau badan secara teratur dan terus menerus berupa
pengadaan barang atau jasa maupun fasilitas untuk diperjualbelikan ataupun
disewagunakan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan (Simatupang,
2007).
Dalam
menjalankan kegiatan bisnis perdagangan bukan serta merta tidak ada persoalan, pada satu
sisi memang memberikan dampak
yang positif bagi masyarakat, namun seiring dengan
sistem pasar bebas dan persaingan bebas antar negara maupun dalam negeri
mengakibatkan kegiatan transaksi bisnis semakin berkembang cepat dan hampir
ratus ribu transaksi bisnis terjadi setiap hari tentunya akan menimbulkan
peningkatan� berbagai persoalan
perselisihan dan sengketa pada kegiatan bisnis atau aktivitas komersial dan
secara umum dikatakan sebagai sengketa bisnis atau sengketa komersial (Suparman,
2014).
Perselisihan pendapat
maupun pertentangan dan konflik dalam kegiatan bisnis �dapat terjadi karena situasi dimana masing-masing pihak dihadapkan pada perbedaan kepentingan dengan kegiatan bisnis yang semakin masiv, tidak mungkin
dihindari terjadinya sengketa (dispute)
antara pihak yang terlibat. Setiap jenis sengketa yang terjadi dituntut pemecahan dan penyelesaian yang cepat dengan semakin
banyak dan luas kegiatan perdagangan, potensi terjadinya sengketa semakin tinggi. Membiarkan sengketa bisnis lambat diselesaikan akan mengakibatkan perkembangan pembangunan tidak efisien, produktifitas menurun, biaya produksi meningkatan, mengakibatkan dunia bisnis menghadapi tekanan. Dengan keadaan seperti ini konsumen menjadi
pihak yang paling dirugikan,
selain itu peningkatan kesejahteraan dan kemajuan sosial kaum pekerja juga terlambat (Margono,
2010). Sengketa
bisnis dapat diakibatkan oleh praktek
bisnis yang tidak sesuai dengan isi
kontrak atau perjanjian bisnis, seperti beda pendapat,
beda pemahaman, dan beda penafsiran oleh para pihak dan tidak terpenuhinya hak dan kewajiban yang telah disepakati dalam kontrak bisnis dapat menimbulkan sengketa bisnis (Purwaningsih,
2010).
Perbedaan paham,
perselisihan pendapat, pertentangan maupun sengketa yang terjadi antar para pelaku bisnis secara langsung
ataupun tidak langsung dapat mempengaruhi hubungan bisnis, khususnya dalam suatu kegiatan
perdagangan. Sejak awal kehidupan, manusia telah terlibat
dengan masyarakat di sekitarnya yang penuh dengan pertentangan, dan dalam sejarah hukum
yang berlangsung, dimanapun
dapat saja diketemukan seseorang yang bertindak sebagai penengah untuk menyelesaikan sengketa yang timbul secara adil
dan tidak memihak. Terhadap sengketa yang terjadi tersebut, pada dasarnya peraturan perundang-undangan di Indonesia telah
menyediakan sarana untuk menyelesaikan masalah yang dapat ditempuh, yaitu melalui peradilan (litigasi) dan di luar peradilan (non litigasi).
Sebagai penanggulangan
dan cara penyelesaian sengketa bisnis, maka dalam perancangan
kontrak atau perjanjian bisnis harus dimuat klausula
tatacara penyelesaian sengketa. Hal ini sesuai prinsip kekebebasan berkontrak (freedom of contract), maka para pihak dapat menentukan
sendiri tata cara penyelesaian sengketa bisnis yaitu meliputi
pilihan hukum (chois of law), pilihan
forum (choice of jurisdiction), dan pilihan domisili (chice of domicilie). (Fuady,
2007) Hal ini
sebagaimana ditegaskan pada pasal
1338 KUH Perdata yaitu berlaku azas pacta sunt servanda. Artinya
perjanjian yang dibuat oleh
pihak pihak menetapkan kewajiban hukum untuk dilaksakan
pihak-pihak. selain itu menurut Abdulkadir Muhammad, menjelaskan bahwa :
�Perjanjian mengikat
para pihak yang membuatnya.
Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik
(te goeder trouw, Pasal 1338 KUHPerdata).� (Muhammad,
2009)
Secara
konvensional Penyelesaian sengketa di bidang bisnis diselesaikan
melalui proses litigasi yaitu gugatan atas suatu konflik yang diritualisasikan
untuk menggantikan konflik sesungguhnya, dimana para pihak memberikan kepada
seseorang pengambilan keputusan dua pilihan yang bertentangan (Margono,
2015) Proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau litigasi menghasilkan
keputusan yang bersifat menang dan kalah yang belum mampu merangkul
kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, penyelesaian
yang lambat, membutuhkan biaya yang mahal dan tidak responsif, serta juga dapat menimbulkan permusuhan di antara para pihak yang bersengketa. Keterlambatan penanganan terhadap suatu sengketa bisnis dapat mengakibatkan perkembangan pembangunan ekonomi yang tidak efisien, produktivitas menurun sehingga konsumen lah yang akan dirugikan, dari beberapa kekurangan
itulah sebagian orang cenderung lebih memilih penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dalam penyelesaian sengketa Pelaku bisnis mengharapkan
adanya suatu penyelesaian sengketa yang tidak akan mengganggu
bisnis dan terjaminnya kerahasiaan, dua hal yang tidak dapat dipenuhi bila melakukan penyelesaian sengketa secara konvensional
yaitu melalui pengadilan. Sehingga
penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana terakhir setelah
alternatif penyelesaian lain tidak dapat membuahkan hasil (Winarta,
2012).
Pihak yang bersengketa
dalam menyelesaikan permasalahan hukum sebenarnya
memiliki cara sendiri-sendiri
untuk menyelesaikan perselisihan berdasarkan asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian, namun demikian dunia usaha yang berkembang secara universal dan
global mulai mengenal bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang homogen, menguntungkan, memberikan rasa aman dan keadilan bagi para pihak (Yani,
2010). sehingga� para pihak bersengketa berpaling pada
alternatif penyelesaian sengketa arbitrase karena dianggap mampu menyelesaikan
sengketa dengan cepat dan biaya yang murah karena para pihak beranggapan bahwa
penyelesaian sengketa melalui
arbitrase memberikan hasil kepada para pihak win-win
solution dalam penyelesaian
sengketa tersebut, inilah sebenarnya tujuan esensial arbitrase, mediasi atau cara-cara lain menyelesaikan sengketa di luar proses pengadilan (Abdurrasyid,
2011a).
Arbitrase di Indonesia pada dasarnya �diatur dalam
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU No. 30 Tahun 1999). Arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa� di luar Pengadilan yang banyak diminati para pelaku bisnis dikarenakan adanya kelebihan yang dimiliki arbitrase, yaitu diantaranya :
1. Dijamin kerahasiaan
sengketa para pihak;
2. Dapat dihindari
kelambatan yang diakibatkan
karena hal procedural dan administratif;
3. Para pihak
dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
4. Para pihak
dapat menentukan pilihan hukum untuk
menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
5. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Arbitrase secara
umum juga merupakan suatu
proses pemeriksaan sengketa
yang dilakukan secara judisial, meskipun disederhanakan oleh para pihak seperti yang dikehendaki untuk menyelesaikan sengketa, dalam penyelesaiannya didasatkan bukti-bukti yang diajukan oleh
para pihak (Abdurrasyid,
2011b). Arbitrase
menawarkan beberapa kelebihan dibandingkan dengan pengadilan yaitu proses penyelesaian yang relatif cepat, sifat kerahasiaan sengketa terjamin dan para pihak memiliki kebebasan untuk memilih arbiter yang netral dan ahli mengenai pokok
sengketa yang dihadapi para
pihak serta biaya yang terukur. (Utama,
2012) Dalam
hal penyelesaian melalui arbitrase, para pihak harus menyetujui
suatu sengketa yang terjadi atau akan
terjadi diantara mereka untuk diselesaikan
melalui arbitrase dengan perjanjian tertulis yang disepakati para pihak. Dengan demikian
sengketa yang timbul merupakan kewenangan dari arbitrase.
Di Indonesia dalam
hal kelembagaan pelaksanaan arbtrase sering dikenal sebagai BANI (Badan Arbitrase
Nasional Indonesia), sebagai sebuah
lembaga yang manangani penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau bentuk alternatif
penyelesaian lainnya. BANI atau Badan Arbitrase Nasional
Indonesia adalah suatu
badan yang dibentuk dalam rangka penegakan hukum khususnya menangani penyelesaian sengketa yang terjadi dalam bidang perdagangan, industri,
dan keuangan, melalui arbitrase dan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian lainnya antara lain di bidang korporasi, assuransi, lembaga keuangan, fabrikasi, hak kekayaan intelektual,
lisensi, warabalaba, konstruksi, pelayaran/maritim,lingkungan hidup, penginderaan jarak jauh, dan lain-lain dalam lingkup peraturan perundang-undangan dan kebiasaan internasional. Badan ini bertindak secara otonom dan independen dalam hal penegakkan
hukum dan keadilan (Sudiyana,
2019).
Berkaitan dengan
uraian tersebut diatas, walaupun jalur alternatif pilihan forum adalah melalui
jalur arbitrase pada kenyataannya tidak semua putusan� yang dihasilkan melalui jalur tersebut dapat
memberikan kepuasan bagi para pihak, sehingga dalam hal ini Pengadilan memiliki
peran yang besar dalam mengembangkan arbitrase karena undang-undang sendiri
juga memperbolehkan adanya campur tangan pengadilan dalam penyelesaian sengketa
melalui arbitrase, salah satunya adalah permohonan pembatalan putusan arbitrase
yang diajukan kepada Pengadilan Negeri setempat, dan tidak jarang para pihak
yang tidak puas terhadap putusan arbitrase mengajukan permohonan pembatalan
putusan arbitrase, upaya pembatalan terhadap putusan arbitrase dimungkinkan
untuk dilakukan sebagaimana diatur pada pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang
menyatakan:
Terhadap putusan
arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila keputusan
tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Surat
atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan diakui
palsu atau dinyatakan palsu
b. Setelah
putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan
oleh pihak lawan
c. Putusan
diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa.
Dengan adanya
pembatalan putusan arbitrase,� hal ini
tentunya membuat para pihak menjadi ragu akan kepastian hukum yang diharapkan
dalam menyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase.
Padahal� dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase
menghasilkan suatu putusan arbitrase yang bersifat final and binding yaitu putusan arbitrase bersifat final dan
mengikat serta bebas dari kekuasaan dan pengaruh negara atau pemerintah dan
juga bebas dari pengaruh atau campur tangan pengadilan atau non intervensi
berdasarkan penjelasan tersebut dapat kita artikan bahwa putusan arbitrase
tidak dapat diajukan upaya hukum banding kasasi atau peninjauan kembali hal ini
merupakan salah satu kelebihan dari arbitrase karena dapat memberikan kepastian
hukum secara efektif bagi para pihak yang bersengketa dan menghindarkankan
penyelesaian sengketa yang menggunakan waktu lama dan berkepanjangan (Suhaimi,
2017).
Berdasarkan hal
tersebut di atas maka penulis tertarik
untuk mendalami lebih lanjut
kedalam bentuk� �tesis dengan judul � Kajian Yuridis
Arbitrase Sebagai Suatu Alternatif Pilihan Forum Dalam
Penyelesaian Sengketa Bisnis Di Luar Pengadilan�.
Metode Penelitian
A. Bentuk Penelitian
Menggunakan
bentuk Penelitian Perspektif, merupakan pandangan
penulis dilihat berdasarkan beberapa teori para ahli atau orang lain yang telah melakukan penelitian dengan objek atau teori
yang sama yang dapat dijadikan rujukan terhadap
penelitian ini (Soerjono
Soekanto dan Sri Mamuji, 2014).
B.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian
yang penulis gunakan adalah penelitian yuridis normative (Soemitro,
2012) yaitu hukum
dikonsepsikan sebagai norma, kaidah, asas atau pun dogma. Adapun pendekatan
masalah yang dipergunakan peneliti dalam membahas masalah yang berkenaan dengan
penyelesaian sengketa bisnis melalui alternatif pilihan forum dengan jalur
Arbitrase dengan
pendekatan yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif yaitu suatu metode yang digunakan
untuk mengolah data sekunder, yaitu dokumen yang terdiri sebagai berikut
: (Soekamto,
2014) Menurut
Soerjono Soekanto penelitian Yuridis hukum Normatif tidak diperlukan penyusunan atau perumusan hipotesa. Mungkin suatu hipotesa
kerja diperlukan, yang biasanya mencakup sistematika kerja dalam proses penelitian. Sedangkan
tipe penelitian yang digunakan peneliti adalah diskriptif
analitis, (Sri
Mamuji, 2005) yaitu suatu
penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat
sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok
tertentu, atau untuk
menentukan frekuensi suatu gejala, menggambarkan
tentang masalah-masalah yang terjadi pada sengketa bisnis.
C. Sumber Data
Sumber� data yang digunakan dalam �penelitian ini adalah sumber data dengan jenis data sekunder yaitu
data yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada dalam penelitian ini
melalui studi kepustakaan (Soekamto,
2014) Data
sekunder tersebut terdiri dari bahan-bahan hukum, diantaranya:
1. Bahan hukum
primer
Bahan
hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya
mempunyai otoritas. Dalam hal ini bahan hukum primer terdiri peraturan perundang-undangan, catatan-catatan
resmi, atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim, diantaranya�
sebagai berikut:
a) Undang
Undang Dasar� Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
b) Kitab
Undang-undang Hukum Perdata
c) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan penyelesaian sengketa
2. Bahan hukum
sekunder
Bahan dan informasi
yang penulis peroleh secara tidak langsung,
yakni melalui data dan dokumen yang telah tersedia pada instansi atau lembaga tempat
penelitian penulis. Adapun sumber data yang penulis peroleh berasal dari peraturan perundang-undangan, pendapat pakar hukum, serta
laporan yang ada
3. Bahan hukum
tertier
Suatu kumpulan
dan kompilasi sumber primer
dan sumber sekunder. Contoh sumber tersier
adalah bibliografi, katalog perustakaan, ensiklopedia dan daftar bacaan. Ensiklopedia dan buku bacaan adalah contoh
bahan yang mencakup baik sumber sekunder
maupun tersier, menyajikan pada satu sisi komentar dan analisis, dan pada sisi lain mencoba menyediakan rangkuman bahan yang tersedia untuk suatu topik. Sebagai
contoh, artikel yang panjang di Encyclopedia Britannica jelas merupakan bentuk bahan analisis
yang merupakan karakteristik
sumber sekunder. Di samping itu, mereka
juga berupaya menyediakan pembahasan komprehensif yang menyangkut sumber tersier.
4. Teknik
Analisis Data
Analisis
data yang dipergunakan melalui
�metode analisis data kualitatif� dengan menggunakan pendekatan metode induktif,
sebagaimana disampaikan oleh Erliana Hasan yang memberikan pandangan bahwa:
Pendekatan
induktif dimulai dari fakta di lapangan, dianalisis dimuat pertanyaan kemudian
dihubungan dengan teori, dalil, hukum yang sesuai kemudian pernyataan hingga
kesimpulan.
5. Lokasi
penelitian
Dalam melaksanakan penelitian ini, penulis
menggunakan tempat penelitian adalah di Depok dan Jakarta
6. Jadwal
penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan selama 6 bulan yakni mulai bulan November 2021�� sampai dengan April 2022.
Hasil dan Pembahasan
A. Arbitrase Sebagai Suatu Alternatif
Pilihan Forum Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis�
Di Luar Pengadilan
1. Perkembangan
Alternatif Penyelesaian Sengketa melalui Arnitrase
Alternatif
Penyelesaian Sengketa atau yang disingkat dengan APS melalui Arbitrase,
pengembangannya semakin banyak khususnya di lingkungan Bisnis, hal ini
dikarenakan APS Arbitrase memiliki beberapa keuntungan dan kegunaan yang
bermanfaat, daripada penyelesaian sengketa yang dilakukan di Pengadilan.
Tanpa
kita sadari sebenarnya APS Arbitrase�
sudah lama dikenal di Indonesia, perkembangan pemberlakukan APS melalui
Arnitrase, diuraikan sebagai berikut (Winata, 2018):
a. �Zaman Hindia Belanda
Zaman
Hindia Belanda saat itu Indonesia belum dikatakan sebagai negara Indonesia
tetapi karena jajahannya masih dijajah oleh Belanda maka saat itu Indonesia adalah
masih bernama Hindia Belanda dan� saat
itu Hindia Belanda (Indonesia saat ini) dikelompokkan dalam tiga golongan
yaitu:
1) Golongan
Eropa dan mereka yang disamakan berlaku hukum negara Belanda atau hukum barat
dengan badan peradilan raad Van
Justitie dan Residentie Gerecht� dengan
hukum acara yang dipakai bersumber pada hukum yang termuat dalam Reglement op
de Burgelijke Rechtsvordering atau yang disingkat dengan B.Rv atau Rv.
2) Golongan
Bumiputera dan mereka yang disamakan berlaku hukum adat nya masing-masing namun
bagi mereka dapat diberlakukan hukum barat,�
jika ada kepentingan umum dan kepentingan sosial, yang dibutuhkan
badan peradilan yang digunakan adalah landraad
dan beberapa peradilan lainnya seperti peradilan kabupaten, distrik dan
sebagainya. Dengan hukum acara yang disepakati bersumber pada Herziene
Inlandsch Reglement atau yang disingkat HIR bagi yang tinggal di pulau Jawa dan
sekitarnya dan bersumber pada Rechtsrgelement
Buitengewesten (Rbg).
3) Golongan
Cina dan timur asing lainnya sejak tahun 1925 diberlakukan dengan hukum barat
dengan beberapa pengecualian.
Selain
daripada itu peradilan sebagai pranata penyelesaian sengketa pada masa Hindia
Belanda dikenal pula adanya arbitrase dengan adanya ketentuan pasal 377
HIR� atau pasal 705 Rbg. Dari pasal tersebut
menunjukan bahwa pada zaman itu, Arbitrase sudah diatur dimasa itu.
Selain
itu sejak tahun 1849 berlakunya KUHAP yang pada pasal 615 dan 651 Rvr yang
isinya tentang pengertian ruang lingkup kewenangan dan fungsi arbitrase dari
ketentuan tersebut setiap orang yang bersengketa pada waktu itu memiliki hak
untuk menyerahkan penyelesaian sengketanya kepada seseorang atau beberapa orang
wasit atau arbiter, selanjutnya arbiter yang dipercaya memeriksa dan memutus
perkara atau sengketa yang diserahkan kepadanya menurut asas asas dan ketentuan
sesuai yang diinginkan para pihak yang terlibat dalam sengketa tersebu.
dan� ada 3 (tiga)� arbitrase yang dibentuk oleh pemerintah
hindia-belanda saat itu yaitu diantaranya adalah :
1) Badan
arbitrase bagi badan ekspor hasil bumi Indonesia.
2) Badan
arbitrase tentang kebakaran.
3) Badan
arbitrase asuransi kecelakaan
b. Zaman
pemerintahan Jepang
Pada
zaman pemerintahan Jepang ini, peradilan Raad
Van Justitie dan Residentiegerecht dihapuskan,
kemudian Jepang membentuk 1 (satu) macam yang berlaku bagi semua orang yang
diberi nama Tihoo Hooin. Badan
peradilan ini adalah peradilan kelanjutan dari jerat hukum acaranya tetap
mengacu pada HIR� dan Rbg.� mengenai arbitrase pada zaman pemerintahan
Jepang ini masih memberlakukan aturan Belanda dengan didasarkan pada peraturan
pemerintah balatentara Jepang di mana isinya adalah sebagai berikut:
�Semua
badan pemerintah dan kekuasaan hukum dari pemerintah dahulu tetap diakui sah
untuk sementara asal tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer
Jepang�
c. �Zaman
Indonesia Merdeka
Dalam
rangka mencegah kevakuman hukum setelah Indonesia merdeka maka diberlakukan
pasal� II aturan peralihan UUD 1945 yang
menyatakan bahwa :
�Segala
badan negara dan peraturan yang ada langsung berlaku selama belum diadakan yang
baru sebagaimana undang-undang ini�.
Dengan
demikian maka aturan arbitrase zaman Hindia Belanda seperti pasal 377 HIR atau
pasal 705 Rbg dinyatakan sudah tidak berlaku dengan terbit Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa sebagai
perundangan-undangan� yang menjadi dasar
yuridis arbitrase di Indonesia.
2. Analisis
Arbitrase Sebagai Suatu Alternatif Pilihan Forum� Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis
a. �Kontrak Bisnis
Setiap
kegiatan bisnis,
untuk mengembangkan kegiatan usahanya tentu selalu berhubungan dengan
pengusaha bisnis lainnya, salah satunya adalah melalui kerjasama, namun
kerjasama tidak sertamerta dapat terjalin apabila tidak disertai dengan kontrak/perjanjian
bisnis atas usaha yang akan diperjanjikan diantara para pihak.
Berbicara
mengenai kontrak, bermakna sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh dua atau
lebih pihak dimana masing-masing pihak yang ada di dalam kontrak tersebut
dituntut untuk melakukan satu atau lebih prestasi (Fuady,
2005) sebagaimana
diatur pada pasal 1313 kitab undang-undang hukum perdata dikenal dengan perjanjian,
dinyatakan:
�Suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
diri terhadap 1 (satu)� orang lain atau
lebih�.
Selain
itu sebagaimana disampaikan oleh J. Satrio, menjelaskan kontrak sebagai
berikut:
�Kontrak
adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus dalam kedua pengertian
tersebut terdapat persamaan yang jelas terkait dengan makna kontrak sebagai
suatu kewajiban yang terlahir dari suatu kesepakatan antara dua pihak untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang menimbulkan hubungan hokum (Satrio,
2002)�.
Hal
tersebut diperkuat pula yang disampaikan�
oleh� Salim, yang menyebutkan:
�Kontrak
adalah hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang
lain dalam bidang harta kekayaan subjek hukum yang satu berhak atas prestasi
dan subjek
hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang
telah disepakati�
(Salim,
2004).
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa kontrak adalah�
suatu hubungan hukum yang terjalin di antara para pihak khususnya dalam
bidang harta kekayaan yang mana hak bagi satu pihak untuk mendapatkan prestasi
dalam waktu yang sama kewajiban bagi pihak lain untuk memenuhi prestasi yang
telah disepakati dan dituangkan dalam suatu surat kontrak yang dibuat secara
tertulis.
Terkait
dengan hal tersebut tentunya terdapat beberapa unsur unsur mengenai kontrak,
yaitu:
1) Adanya
kesepakatan
2) Adanya
para pihak atau subjek hokum
3) Adanya
prestasi
4) Menimbulkan
kewajiban
5) Hal
tertentu (Object)
Oleh
karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perorangan atau
person adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam bidang harta kekayaan
kontrak dari interaksi yang menimbulkan konsekuensi hukum antara subjek hukum
yang satu dengan subjek hukum lain yang menimbulkan hak dan kewajiban.
Kemudian
apabila kita berbicara mengenai bisnis, ini adalah merupakan suatu istilah untuk
menggambarkan berbagai aktivitas yang dijalankan oleh institusi bisnis baik yang
bersifat swasta maupun badan usaha milik negara yang menghasilkan barang dan
jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia (Manullang,
2002). Secara umum
bisnis diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk
memperoleh pendapat atau penghasilan atau keuntungan atau Rizki dalam rangka
memenuhi kebutuhan dalam menjalin dalam menjalani kehidupan di dunia ini dengan
cara mengelola sumber daya ekonomi secara efektif dan efisien (Ramziati,
2019).
Dengan
demikian dapat dikatakan pula bahwa bisnis juga merupakan suatu pekerjaan atau
aktivitas komersial untuk mendapatkan keuntungan atau perusahaan untuk
mendapatkan keuntungan manfaat keuntungan atau kehidupan yang bermakna bahwa
hukum bisnis adalah seperangkat kaidah kaidah hukum yang diadakan dalam rangka
mengatur serta menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam
kegiatan yang dilakukan oleh para pihak utamanya aktivitas bisnis adapun
sektor-sektor ekonomi bisnis diantaranya adalah meliputi sektor pertanian
sektor industri sektor jasa dan sektor perdagangan.
Dari
keseluruhan yang telah dijelaskan oleh penulis maka dapat dikatakan bahwa� kontrak dalam kehidupan manusia dengan tujuan
untuk melindungi hak dan kewajiban para pihak secara seimbang
sehingga dapat dikatakan bahwa kontrak bisnis adalah suatu hubungan hukum yang
terjalin diantara para pihak khususnya dalam bidang harta kekayaan yang mana
hak bagi satu pihak untuk mendapatkan prestasi dalam waktu yang sama kewajiban
bagi pihak lain untuk memenuhi prestasi yang telah disepakati dan dituangkan
dalam suatu kontrak yang dibuat secara tertulis terkait dengan pekerjaan
profesi atau aktivitas komersial untuk mendapatkan keuntungan berarti pula
bahwa kontrak bisnis merupakan suatu perjanjian dalam bentuk tertulis dimana
substansi yang disetujui oleh para pihak yang terikat dengan tindakan-tindakan
yang mempunyai nilai komersial dengan demikian kontrak bisnis adalah perjanjian
tertulis antara dua lebih pihak yang mempunyai nilai komersial.
Oleh
karena itu dapat dikatakan pula apabila hukum kontrak telah disepakati bersama
di antara para pihak maka akan timbul hak dan kewajiban dan tentunya akibat
hukum dari para pihak adalah melaksanakan prestasi dan yang patut untuk
dipahami terkait dengan kontrak bisnis ini adalah dalam klausul perjanjian
bahwa wajib untuk dicantumkan terkait penyelesaian sengketa hal ini dimaksud
untuk melindungi para pihak apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yaitu
terjadinya wanprestasi maka penyelesaiannya sebagaimana dalam klausul
perjanjian penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui jalur luar pengadilan
atau pengadilan.
b. Alasan
penyelesaian sengketa melalui Arbitrase sebagai suatu pilihan forum oleh para
pihak
Sengketa
dalam menjalankan aktivitas bisnis merupakan sesuatu yang halal sangat mungkin
terjadi walaupun sebenarnya hal itu tidak diinginkan terjadi karena dapat
mengakibatkan kerugian untuk mereka yang bersengketa, baik mereka yang
berada pada posisi yang benar maupun pada posisi yang salah oleh karena itu
terjadinya sengketa bisnis sebenarnya harus dihindari untuk menjaga reputasi
dan relasi yang baik di kemudian hari meskipun demikian seringkali sengketa
tidak dapat dihindarkan, hal ini disebabkan terdapat perbedaan persepsi atau
pelanggaran perundang-undangan atau pelanggaran wanprestasi atau konflik kepentingan
dan lain sebagainya (Sanusi
Bintang, 2000).
Di
Indonesia dalam proses penyelesaian sengketa para pihak ada beberapa cara yang
biasanya dapat dipilih antara lain:
1) Melalui
litigasi atau pengadilan (Gunarsa, 2019)
Litigasi
adalah suatu proses penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui lembaga
peradilan negara sehingga sengketa ini akan ditangani oleh hakim pengadilan di
dalam suatu rangkaian persidangan, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh
Mahkamah Agung dan lembaga peradilan dibawahnya.
Pengadilan sebagai
suatu lembaga di dalam kekuasaan kehakiman bertugas untuk menerima memeriksa serta mengadili setiap sengketa yang diajukan guna menegakkan hukum dan keadilan yang berdasarkan pada Pancasila demi terselenggaranya
negara hukum republik
Indonesia. Penyelesaian sengketa litigasi memiliki kelebihan yaitu
diantaranya :
a) Keputusannya
yang memiliki sifat final dan menciptakan kepastian hukum dengan menciptakan posisi win or lose positions bagi para
pihak.
b) Keputusannya
dapat dipaksakan pelaksanaannya jika pihak yang kalah tidak mau melaksanakan
isi dari putusan pengadilan atau eksekusi.
c) Putusan
pengadilan memiliki keistimewaan sebagai sarana penyelesaian sengketa secara
litigasi yaitu putusan pengadilan memiliki sifat mengikat kekuatan pembuktian
dan kekuatan memaksa pelaksanaan putusan atau eksekutorial
2) Melalui
non litigasi yaitu mediasi, negoisasi, konsiliasi, konsultasi, penilaian ahli
dan arbitrase
Non
litigasi adalah suatu metode alternatif penyelesaian sengketa diluar jalur
pengadilan yang dapat ditempuh oleh para pihak, alternatif dalam
penyelesaian sengketa ini dasarnya lahir dari masyarakat yang mengimpikan suatu
proses pengadilan yang sederhana cepat dan memiliki biaya yang ringan
penyelesaian sengketa melalui non litigasi ini menjadi suatu opsi yang sangat
diperhitungkan oleh pelaku bisnis karena kurangnya keefektifan jika melalui
proses litigasi guna mendapat keadilan.
Selain
itu penyelesaian sengketa secara litigasi sebagaimana diatur dalam
undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian
sengketa disebutkan bahwa metode penyelesaian sengketa non litigasi dapat
dilakukan dalam beberapa bentuk yaitu arbitrase negoisasi mediasi konsiliasi
dan penilaian ahli.
Dari
kedua metode alternatif dalam penyelesaian sengketa khususnya sengketa bisnis,
penyelesaian sengketa� non litigasi
khususnya� arbitrase merupakan alternatif
yang paling populer,� selain karena
dirasa lebih efektif penyelesaian dengan arbitrase juga bersifat rahasia
sehingga para pelaku usaha lebih memilih forum arbitrase sebagai alternatif
penyelesaian sengketa� karena sengketa
yang menimpa para pihak� tidak diketahui
khalayak ramai yang berpengaruh kepada kredibilitas perusahaan dan memungkinkan
akan berkurangnya pendapatan karena sengketa yang dialami oleh para pihak.
Selain
itu arbitrase merupakan suatu istilah yang menggambarkan suatu tata cara
berdamai atau sebagai penyediaan sarana berdamai dari suatu sengketa yang timbul
sehingga mencapai suatu hasil tertentu yang secara hukum bersifat final dan
mengikat sebagaimana ditegaskan pada pasal 1 undang-undang nomor 30 tahun 1999
tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa yang menyatakan bahwa
cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar pengadilan umum yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa kalimat tersebut menyatakan dibuat secara tertulis sehingga dapat
dikatakan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase harus didasarkan pada
perjanjian terlebih dahulu sebelum terjadi sengketa peta atau setelah sengketa
terjadi hal tersebut tergambarkan di prosedur penyelesaian sengketa pada badan
penyelesaian sengketa yang tertuang dalam penandatanganan kesepakatan cara
penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase oleh kedua belah pihak yang
bersengketa (Panjaitan,
2018).
Arbitrase
adalah penyelesaian sengketa alternatif yang sering dipergunakan akan tetapi
dalam prakteknya terdapat berbagai macam arbitrase diantaranya:
1) Arbitrase
mengikat
Berkaitan
dengan putusan pengadilan yang sudah inkrah.
2) Arbitrase
tidak mengikat
Berkaitan
dengan putusannya boleh diikuti dan boleh tidak diikuti.
3) Arbitrase
kepentingan
Merupakan
arbitrase yang tidak memutuskan untuk suatu sengketa tetapi para pihak memakai
jasa mereka untuk menciptakan provisi-provisi dalam kontrak yang oleh para
pihak telah mengalami jalan buntu.
4) Arbitrase
hak
Merupakan
arbitrase yang bukan hanya sekedar membuat profesi dalam kontrak.
5) Arbitrase
sukarela
Merupakan
arbitrase yang dimintakan sendiri oleh para pihak baik dalam kontrak yang
bersangkutan ataupun dalam kontak tersendiri.
6) Arbitrase
wajib
Arbitrase
yang oleh undang-undang diwajibkan untuk dilakukan.
7) Arbitrase
ad hoc
Arbitrase
yang tidak ada badannya.
8) Arbitrase
lembaga
Merupakan
model arbitrase yang sudah ada lembaga atau badannya serta sudah ada juga
aturan mainnya sehingga para pihak tinggal memilih mereka atau badan tersebut
memilih arbiter untuk mereka.
9) Arbitrase
nasional
Arbitrase
dimana pihak yang bersengketa adalah para pihak dalam satu negara.
10) Arbitrase
internasional
Arbitrase
di mana para pihak yang bersengketa adalah berasal dari negara-negara yang
berbeda.
11) Arbitrase
kualitas
Arbitrase
yang berkaitan dengan fakta-fakta di lapangan.
12) Abitrase
teknis
�Arbitrase yang berkaitan dengan
penyusunan dan penafsiran kontrak.
13) Arbitrase
umum
�Arbitrase yang berkaitan dengan fakta
dan penerapan hukum.
14) Arbitrase
bidang khusus
Dalam
bidang Muamalat perdagangan ketenagakerjaan dan lingkungan hidup
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa
perdata swasta diluar pengadilan umum yang didasarkan pada kontrak arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa orang-orang yang akan
melakukan
penyelesaian
sengketa tersebut dipilih oleh para pihak yang berkepentingan langsung para
penyelesai yang dimaksud adalah mereka yang tidak mempunyai kepentingan dengan
perkara yang bersangkutan orang-orang mana akan memeriksa dan memberi putusan
terhadap sengketa tersebut.
B.
Kekuatan
Hukum Putusan Lembaga Arbitrase dalam mewujudkan kepastian hukum terhadap para
pihak yang bersengketa bisnis.
1. Historis
Aturan hukum Alternatif penyelesaian sengketa melalui Arbitrase
a. �Pasal II aturan peralihan undang-undang
1945
��� Pasal II
aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa :
�Semua
peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut
undang-undang dasar ini�.
Seperti� halnya dengan HIR� yang diundangkan pada zaman kolonial Hindia
Belanda masih tetap berlaku karena hingga saat ini belum diadakan penggantinya
yang baru sesuai dengan peraturan peralihan UUD�
1945 tersebut.
b. Pasal
377 HIR
Aturan
mengenai arbitrase dalam HIR� tercantum
dalam pasal 377 HIR� atau pasal 705 Rbg
yang menyatakan bahwa:
�Jika
orang Indonesia atau orang timur asing menghendaki perselisihan mereka diputus
oleh juru pisah atau
arbitrase maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku bagi
orang Eropa�.
Peraturan
pengadilan yang berlaku bagi bangsa Eropa yang dimaksud dalam pasal 377
HIR� ini adalah semua ketentuan tentang
acara perdata yang diatur dalam RV.
c. �Pasal 615 sampai dengan 651 RV
Peraturan
mengenai arbitrase dalam RV tercantum dalam buku ketiga bab pertama pasal 615
sampai dengan 651 RV yang meliputi :
1) Persetujuan
arbitrase dan pengangkatan para arbiter sebagaimana diatur pada� pasal 615 sampai dengan pasal 623 RV
2) Pemeriksaan
di muka umum arbitrase sebagaimana diatur pada�
pasal 631 sampai denganpasal� 674
RV.
3) Putusan
arbitrase sebagaimana diatur pada pasal 631 sampai dengan pasal 674 RV
4) Upaya-upaya
terhadap putusan arbitrase sebagaimana diatur pada pasal 641 sampai dengan 674
RV.
5) Berakhirnya
acara arbitrase sebagaimana diatur pada pasal 648 sampai dengan pasal� 651 RV
d. Undang-undang
nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pada penjelasan
pasal 3 ayat 1� tentang kekuasaan
kehakiman
Setelah
Indonesia merdeka ketentuan yang tegas memuat pengaturan lembaga arbitrase
dapat ditemukan dalam memori penjelasan pasal 3 ayat 1 undang-undang nomor 48
tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang menyatakan :
Penyelesaian
perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit atau
arbitrase tetap diperbolehkan�.
e. �Undang
undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung pada pasal 80 menyatakan� satu-satunya undang-undang tentang mahkamah
Agung yang berlaku di Indonesia yaitu Undang undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
perubahan kedua undang-undang nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sama
sekali tidak mengatur mengenai arbitrase, ketentuan peralihan yang termuat dalam
pasal 80 menentukan bahwa :
�Semua
peraturan pelaksana yang telah ada mengenai mahkamah Agung dinyatakan tetap
berlaku sepanjang peraturan tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang mahkamah
Agung ini�.
f. �Undang-undang
nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa
sebagai ketentuan yang terbaru yang mengatur lembaga arbitrase maka pemerintah
mengeluarkan undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa pada tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksud untuk
menggantikan peraturan mengenai lembaga arbitrase yang tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman dan kemajuan perdagangan internasional oleh karena itu
ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam pasal 615 sampai dengan
651, pasal 377 HIR dan pasal 705 Rbg dinyatakan tidak berlaku lagi dan dengan
demikian ketentuan hukum acara dari lembaga arbitrase ini telah mempergunakan
ketentuan yang terdapat dalam undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang
arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa (Rachmadi,
2013).
2. Analisis
Kekuatan Hukum pada� Putusan Lembaga
Arbitrase yang bersifat final dan Binding
Pada
dasarnya Penyelesaian sengketa melalui arbitrase institusional Indonesia
dilakukan oleh BANI yang didirikan atas prakarsa KADIN pada� tahun 1977,�
penyelesaian sengketa melalui BANI dilakukan dengan pendaftaran
permohonan kepada sekretariat BANI selanjutnya arbiter atau Ketua majelis akan
menyampaikan salinan tuntutan kepada termohon disertai perintah supaya termohon
memberikan jawaban tertulis selambat-lambatnya 14 hari sejak diterimanya
salinan tuntutan oleh termohon salinan jawaban termohon akan diserahkan kepada
pemohon dan bersamaan dengan itu, Ketua majelis akan menetapkan hari sidang dan
memanggil para pihak dalam waktu paling lama 14 hari sejak dikeluarkannya
perintah itu.
Selanjutya
dalam jawaban atau selambat-lambatnya pada sidang pertama termohon dapat
mengajukan tuntutan balasan dan terhadap tuntutan balasan tersebut, pemohon
diberi kesempatan untuk menanggapi tuntutan balasan akan diperiksa dan diputus
bersamaan dengan pokok sengketa dalam menyelesaikan sengketa arbitrase atau
majelis akan terlebih
dahulu mengusahakan perdamaian, apabila upaya perdamaian tidak tercapai
persidangan dilanjutkan dengan memberikan kesempatan terakhir kepada para pihak
untuk menyampaikan pendiriannya disertai dengan bukti-bukti yang diperlukan,
pemeriksaan atas sengketa wajib diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari
sejak atau majelis terbentuk semua pemeriksaan perkara dalam sidang arbitrase
dilakukan secara tertutup sebagaimana diatur pasal 48 ayat
(1) dan ayat
(2) serta
pasal 27 �undang-undang nomor 30 tahun 1999
tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.
Setelah
melalui proses persidangan arbiter, maka majelis memutuskan persidangan
tersebut.� Putusan arbiter yang penulis
teliti pada penulisan Tesis ini adalah terbatas hanya dalam lingkup Putusan
Arbiter Nasional, yang didefinisikan sebagai putusan yang dijatuhkan oleh suatu
lembaga berdasarkan wilayah hukum Indonesia.
Pelaksanaan
putusan arbitrase adalah suatu tindakan hukum yang dilakukan secara paksa
terhadap pihak yang kalah dalam penyelesaian sengketa melalui lembaga
arbitrase,� biasanya tindakan eksekusi
ini terjadi apabila dalam sengketa pihak tergugat atau termohon yang menjadi
pihak yang kalah tidak bersedia melaksanakan putusan sehingga kedudukannya
menjadi pihak tereksekusi,� apabila pihak
penggugat atau pemohon menjadi pihak yang kalah dalam sengketa tersebut maka
tidak akan ada tindakan eksekusi karena keadaan tetap seperti sediakala sebelum
ada gugatan, kecuali kalau tergugat atau termohon mengajukan gugatan balik
pihak pemohon yang menuntut melalui arbitrase agar termohon dihukum membayar
ganti rugi atau melakukan sesuatu atau menyerahkan sejumlah uang.
Putusan
yang dapat dieksekusi adalah keputusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap
karena di dalam putusan� yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap
dan pasti diantara para pihak yang berperkara. (Situmorang,
2016) Putusan arbitrase
bersifat final and binding yaitu
langsung mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi para pihak namun sebagaimana
diatur dalam undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa ternyata membuka kemungkinan dilakukannya pengkajian
ulang oleh pengadilan negeri sebagai eksekutor dari putusan arbitrase manakala
putusan arbitrase itu dimintakan eksekusi ke pengadilan negeri pengkajian ulang
oleh pengadilan negeri ini dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang atau legislator
sebagai kontrol apakah putusan arbitrase ini telah memenuhi persyaratan yang
telah ditentukan undang-undang seperti apakah sebelum ditangani oleh arbiter
para pihak telah membuat kesepakatan tertulis baik sebelum atau setelah
sengketa, sebagaimana diatur dalam pasal 59 sampai dengan pasal 64
undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian
sengketa, yang menyatakan sebagai berikut:
Kesimpulan
1. Arbitrase
Sebagai Suatu Alternatif Pilihan Forum Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis� Di Luar Pengadilan, alasannya sebagai
berikut:
a) Prosedur sederhana
dan cepat
Prosedur ini
yang kemudian akan mendapatkan putusan yang cepat dan murah dari pada proses litigasi di pengadilan pada umumnya prosedur arbitrase ditentukan dengan memberikan batas waktu penyelesaian sengketa lamanya 180 hari atau 6 (enam) �bulan sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk dan apabila diperlukan dengan persetujuan para pihak dan
arbiter atau para pakar, maka jangka
waktu tersebut dapat diperpanjang
sebagaimana diatur pada �pasal
48 ayat (1) dan ayat
(2) undang-undang
nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.
b) Bebas memilih
arbiter
Adanya kebebasan
para pihak untuk memilih arbiter yang akan menyelesaikan persengketaan mereka jika dalam
hal ini para pihak tidak bersepakat
dalam memilih arbiter maka ketua pengadilan
negeri dapat menunjukkan
arbiter atau majelis
arbiter sebagaimana diatur
pada pasal 13 ayat 1 undang-undang
nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.
c) Biaya lebih
murah
Biaya biasanya
tersendiri dari biaya pendaftaran, biaya
administrasi dan biaya arbiter yang sudah ditentukan tarifnya, prosedur arbitrase
dibuat sesederhana mungkin
dan tidak terlalu formal disamping itu para arbiter adalah ahli dan praktisi di bidang atau pokok yang dipersengketakan sehingga diharapkan akan mampu memberikan putusan yang cepat dan objektif, hal ini ditentukan menghemat biaya jika dibandingkan dengan melalui pengadilan.
d) Putusan akhir
atau final dan mengikat atau binding
Putusan arbitrase
pada umumnya dianggap final
dan binding atau tidak ada upaya untuk
membanding namun apabila ada hukum
yang berlaku dalam yurisdiksi yang bersangkutan menetapkan pelaksanaan putusan arbitrase melalui pengadilan,
sehingga pengadilan yang harus mengesahkannya dan tidak berhak meninjau kembali persoalan atau materi dari
putusan tersebut.
e) Putusan bersifat
rahasia dan arbiter dari kalangan pakar
Keputusan yang diperoleh
tidak di eksportir umum terkait dengan
hukum terhadap pembuktian dan prosedur lebih luas dan arbiter dari kalangan ahli
yang berkompeten dalam bidangnya sehingga keputusan akan lebih terkait dengan
situasi dan kondisi putusan arbitrase yang dihasilkan umumnya inkrah atau final binding dan putusan juga dapat dieksekusi oleh pengadilan tanpa atau dengan
sedikit review seterusnya prosedur arbitrase lebih mudah dimengerti
oleh masyarakat banyak dan menutup kemungkinan mencoba-coba untuk memilih atau menghindari
pengadilan forum belanja atau forum shopping.
f) Bebas memilih
hokum
Para pihak
dapat memilih hukum yang akan diberlakukan yang ditentukan oleh
para pihak sendiri dalam perjanjian khusus yang dalam kaitannya dengan para pihak yang berbeda kewarganegaraan para pihak yang bebas memilih hukum
ini berkaitan dengan teori pilihan
hukum dalam hukum perdata internasional
atau HPI hal ini karena masing-masing negara mempunyai hak masing-masing.
2. Putusan
arbitrase bersifat final and binding
yaitu langsung mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi para pihak sebagaimana
diatur dalam pasal 60 undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan
alternatif penyelesaian sengketa, guna menjalankan putusan arbitrase yang
memperoleh kekuatan hukum tetap,� putusan
dapat di eksekusi adalah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
karena di dalam putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap telah
terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti diantara pihak-pihak yang
berperkara, namun demikian pada pasal tersebut masih terdapat peluang untuk
melakukan upaya hukum melakukan pembatalan dengan persyaratan terdapatnya
unsur-unsur yang mengandung� bahwa surat
atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan
diakui palsu atau dinyatakan palsu, detelah putusan diambil ditemukan dokumen
yang bersifat menentukan, putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang
dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Sehingga
sebagaimana diatur pada penjelasan pasal 70 undang-undang nomor 30 tahun 1999
tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa menyatakan dengan tegas
bahwa alasan-alasan permohonan pembatalan harus dibuktikan dengan putusan
pengadilan yang selanjutnya akan digunakan sebagai dasar pertimbangan hakim
untuk mengabulkan atau menolak permohonan tersebut� dan apabila permohonan pembatalan putusan
arbitrase dikabulkan maka ketua pengadilan negeri menentukan lebih lanjut
akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase sebagaimana diatur
pada Pasal 72 ayat (2)� undang-undang
nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.
Dan� terhadap putusan pengadilan negeri
tersebut para pihak mempunyai hak untuk mengajukan banding ke mahkamah Agung
yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir sebagaimana diatur pada pasal
Pasal 72 ayat (4)� undang-undang nomor 30
tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Hal ini� menjadikan kontradiksi antara pasal 60
undang-undang arbitrase yang menyatakan putusan arbitrase yang bersifat final
dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta�
mengikat dengan pasal 70 bertolak belakang, karena pasal tersebut
menyatakan bahwa putusan arbitrase masih dapat dilakukan upaya hukum perlawanan yakni
permohonan pembatalan putusan arbitrase.
Abdurrasyid, Priyatna. (2011a). Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta : Gramedia,.
Abdurrasyid, Priyatna. (2011b). Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Jakarta: PT. Fikahati Aneska.
Adriati, Fahmiyeni. (2020). Negara Hukum
Indonesia. Karya Tulis pada Fakultas Hukum Universitas Ekasaksti Padang.
AZ, Lukman Santoso. (2016). Negara Hukum
dan Demokrasi : Pasang Surut Negara Hukum Indonesia Pasca Reformasi.
Yogyakarta : Nadi Offset.
Fuady, Munir. (2005). Pengantar Hukum
Bisnis. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Fuady, Munir. (2007). Hukum Kontrak
(Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Gunarsa, Surya Muhammad. (2019). Kekuatan
putusan badan penyelesaian sengketa konsumen terkait keberatan dan pembatalan
putusan arbitrase sebagai alternative dispute resolution dalam penyelesaian
sengketa konsumen. Jurnal SASI, 25(2).
Mamuji, Soerjono Soekanto dan Sri. (2014). Penelitian
Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : Rajawali Pers.
Mamuji, Sri. (2005). Metode Penelitian
dan penulisn hukum. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
Manullang. (2002). Pengantar Bisnis.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Margono, Suyud. (2010). Penyelesaian
Sengketa Bisnis (Alternatif Dispute Resolution). Bogor: Ghalia Indonesia.
Margono, Suyud. (2015). Penyelesaian
sengketa bisnis, alternative Dispute Resolution : Teknik dan strategi
dalam negoisasi, mediasi dan arbitrase. Bandung : Pustaka Reka Cipta.
Muhammad, Abdulkadir. (2009). Hukum
Perdata Indonesia. Bandung, PT.Citra Aditya Bakti.
Panjaitan, Hulman. (2018). Pelaksanaan
Putusan Arbitrase di Indonesia. Jurnal Tora, 4(1).
Purwaningsih, Endang. (2010). Hukum
Bisnis. Bogor, Ghalia Indonesia.
Rachmadi, Usman. (2013). Pilihan penyelesaian
sengketa diluar Pengadilan. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.
Ramziati. (2019). Kontrak Bisnis,dalam
dinamika Teoritis dan praktis. Lhoksumawe : Unimal Press.
Salim. (2004). Hukum Kontrak, Teori dan
Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta : Sinar Grafika.
Sanusi Bintang, Dahlan. (2000). Pokok pokok
Hukum Ekonomi dan bisnis. Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000.
Satrio, J. (2002). Hukum Perjanjian
(Perjanjian pada umumnya). Bandung : Citra Aditya Bakti.
Simatupang, Richardo Burton. (2007). Aspek
hukum dalam bisnis. jakarta : Rineka Cipta.
Situmorang, Mosgan. (2016). Pelaksanaan
putusan Arbitrase nasional di Indonesia. Jurnal Penelitian Huku De Jure.
Soekamto, Soerjono. (2014). Pengantar
Penelitian hukum. Jakarta : Universitas Indonesia.
Soemitro, Ronny Hanitijo. (2012). Metodologi
Penelitian Hukum dan Jurimentri. Ghlmia Indonesia. Jakarta.
Sudiyana. (2019). �Pemberdayaam Peran
Lembaga Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa Biisnis di Indonesia,.� Jurnal
Hukum, 4(1).
Suhaimi. (2017). Perbandingan Putusan
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dengan Putusan Pengadilan Negeri
Dikaitkan Pasal 60 dan Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatir Penyelesaian Sengketa. Skripsi Kearsipan Fakultas Hukum Unpas.
Suparman, Eman. (2014). pilihan forum
arbitrase dalam sengketa komersial (untuk pengakuan keadilan).
Jakarta : Tatanusa.
Utama, Meria. (2012). Hukum Ekonomi
Internasional. Jakarta: PT. Fikahati Anreska.
Winarta, Frans Hendra. (2012). Hukum
Penyelesaian Sengketa. Jakarta : Sinar Grafika.
Winata, Frans Hendra. (2018). Hukum Penyelesaian
Sengketa. Jakarta : PT. Sinar Grafika.
Yani, Gunawan Widjaya dan Ahmad. (2010). Hukum
tentang Perlindungan konsumen. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Copyright holder: Sugiarto, Juwita, Misbahul Huda (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |