Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 4, April 2022

 

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ANTI-KORUPSI: SUATU STUDI PERBANDINGAN LEMBAGA ANTI-KORUPSI DI INDONESIA DAN HONG KONG

 

Ulul Albab

Universitas Dr. Soetomo, Surabaya, Indonesia�������

Email: [email protected]

 

Abstrak

Korupsi sudah ada di Indonesia sejak zaman dahulu. Pada masa penjajahan Belanda, korupsi diperparah dengan ulah pejabat Belanda. Setelah Kemerdekaan pada tahun 1945, korupsi berkurang untuk waktu yang singkat. Setelah tahun 1955, korupsi kembali meningkat. Korupsi semakin parah setelah Soeharto mengambil alih kekuasaan dari Soekarno pada tahun 1966. Korupsi sebagian besar terjadi tanpa pengawasan. Pemberantasan korupsi telah muncul sebagai komponen utama dari program reformasi resmi Indonesia sejak Mei 1998. Agenda anti korupsi telah diterima, setidaknya secara retorika, oleh Presiden B.J. Habibie, Gus Dur, Megawati, dan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) untuk ekonomi dan alasan politik. Setelah Mei 1998 Indonesia memulai program reformasi politik dan kelembagaan yang ekstensif. Pada masa SBY, Indonesia memiliki dua Badan Nasional Pemberantasan Korupsi, yaitu �KPK� dan �TimTasTipikor�. Artikel ini merangkum dan membahas bagaimana Lembaga Antikorupsi Nasional di Indonesia dapat menjadi pemain kunci dalam perang melawan suap, seperti Independent Commission Against Corruption (ICAC) di Hong Kong. Sebelum penyerahan Hong Kong ke China pada Juli 1997, ICAC bertanggung jawab langsung kepada Gubernur, dan Komisarisnya melapor langsung kepada Chief Executive Daerah Administratif Khusus Hong Kong dan bertanggung jawab langsung kepadanya. Hong Kong menerapkan pola pemberantasan korupsi yang paling efektif dengan kombinasi legislasi antikorupsi komprehensif yang dilaksanakan secara imparsial oleh lembaga antikorupsi independen. Saya kira KPK di Indonesia sudah diterapkan seperti ICAC di Hong Kong, tapi ada kendala.

 

Kata Kunci: korupsi; Lembaga anti-korupsi; KPK

 

Abstract

Corruption has been in existence in Indonesia since ancient times. During the Dutch colonial period, corruption is made worse by the action of Dutch officials. After Independence in 1945, corruption descreased for a short period. After 1955, corruption increased again. Corruption grew even worse after Soeharto took over power from Soekarno in 1966. Corruption is mostly going on unchecked. Fighting corruption has emerged as a major component of Indonesia�s official reform program since May 1998. An anti-corruption agenda has been accepted, rhetorically at least, by Presidents B.J. Habibie, Gus Dur, Megawati, and Susilo Bambang Yudoyono (SBY) for economic and political reasons. After May 1998 Indonesia embarked on an extensive political and institutional reform program. In the SBY period, Indonesia has two National Anticorruption Agencies, they are �KPK� and �TimTasTipikor�. This article summarises and discuss how the National Anticorruption Agencies in Indonesia can become key players in the war against bribery, like Independent Commission Against Corruption (ICAC) in Hong Kong. Before the handover of Hong Kong to China in July 1997, the ICAC was directly responsible to the Governor, and its Commissioner reported directly to the Chief Executive of Hong Kong Special Administrative Region and is directly responsible to him. Hong Kong implemented most effective pattern of fighting corruption with the combination of comprehensive anti- corruption legislation which is impartially implemented by an independent anti-corruption agency. I think KPK in Indonesia was implemented as ICAC in Hong Kong, but with any problems.

 

Keywords: corruption; Anti-corruption agencies; KPK

 

Pendahuluan

Korupsi seringkali didefinisikan sebagai �as exercise of official powers against public interest or the abuse of public office for private gains� (Shah, 2006). Keberadaan korupsi di suatu negara mencerminkan kegagalan pemerintah negara tersebut. Kepedulian terhadap pemberantasan korupsi dengan demikian menjadi isu yang sangat penting. Dan mendesain kebijakan anti-korupsi serta merumuskan strategi implementasinya adalah hal yang jauh lebih penting. Mengapa? Karena fenomena korupsi merupakan penyakit dan kejahatan yang sudah ada berabad-abad lamanya. Saat ini isu pemberantasan korupsi telah merebak di seluruh penjuru dunia, dan meningkat tajam seiring dengan munculnya berbagai bukti adanya dampak negatif korupsi World Bank, 2004. Dari berbagai penelitian kita dapat mengetahui bahwa korupsi berakibat buruk pada pertumbuhan Produk Domestik Bruto (Abed & Davoodi, 2000), menurunkan mutu pendidikan (Sanjeev Gupta, Davoodi, & Tiongson, 2000), menurunkan kuantitas dan kualitas infra struktur publik (Tanzı & Davood, 1997), memperburuk layanan kesehatan (Tomaszewska & Shah, 2000), berpengaruh buruk pada akumulasi modal (Shah, 2006), dan mengurangi efektivitas bantuan pembangunan serta meningkatkan kemiskinan (Mr Sanjeev Gupta, 1998).

Yang jelas, �di negara manapun fenomena korupsi itu terjadi dampaknya akan sama saja, yaitu kombinasi antara hilangnya citra dan prestise di negara tersebut, melemahnya akhlak masyarakat, merosotnya standard etika dalam hidup berpemerintahan, meningkatnya ketidakstabilan politik dan rasa ketidakamanan sosial akibat melebarnya kesenjangan antara si kaya dan si miskin, serta beban ekonomi yang amat berat bagi pihak yang disebut terakhir� (Wahab, 2005).

Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk memberantas korupsi. Salah satunya melalui Lembaga Anti Korupsi Nasional. Karena �national anticorruption agencies, which could be vital force in preventing corruption (Pope & Vogl, 2000). Cara ini terbukti sukses dijalankan di Chili, Hong Kong, New South Wales (Australia) dan Singapura (Wahab, 2005). Tentu saja lembaga anti korupsi tersebut harus independen dan bebas dari pengaruh politik supaya dapat bekerja secara efektif. Di Indonesia, pemberantasan korupsi, baik pada masa pemerintahan orde lama (1945-1965), orde baru (1966-1998), maupun orde reformasi (1998-sekarang), selalu dilakukan dengan membentuk Badan Anti-Korupsi (Anti-Corruption Agencies). Di masa Orde Lama, kebijakan anti-korupsi untuk pertama kali dibentuk pada awal tahun 1960-an. Melalui �Undang-Undang Keadaan Bahaya�, pemerintah membentuk PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara), dan �OPERASI BUDHI�. Di masa pemerintahan Orde Baru, lahir lembaga anti-korupsi dengan nama TPK (Tim Pemberantasan Korupsi), KOMITE EMPAT dan OPSTIB (Operasi Tertib).

Bagaimana di masa reformasi? Diantara Presiden yang pernah ada pada era reformasi, B.J. Habibie tercatat paling produktif membentuk badan antikorupsi. Setelah mengeluarkan Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN, B.J. Habibie membentuk berbagai badan anti-korupsi, yaitu; KPKPN, KPPU dan KOMISI OMBUSDMAN. Di era Presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dibentuk TGPTPK (Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Di era Presiden Megawati hingga sekarang di masa Presiden SBY dibentuk KPK dan bahkan Timtastipikor. Saat awal kepemimpinan SBY kita mengenal dua badan yang bertugas memberantas KKN, yaitu; KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan TimTasTipikor (Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

Kita berharap, pemerintah mengambil pelajaran berharga dari keberhasilan negara-negara lain dalam memberantas korupsi, terutama yang menggunakan pendekatan kelembagaan. Misalnya; Negara Bagian New South Wales di Australia, Thailand, Singapura, Malaysia, dan juga Hong Kong. Berkaitan dengan ini pengalaman Hong Kong sangat menarik untuk dipelajari. Mengapa? Karena disamping Hong Kong telah diakui sebagai pusat dunia untuk belajar pemberantasan korupsi, Hong Kong juga memiliki latar belakang yang sangat relevan dengan apa yang terjadi di Indonesia. Hong Kong 30 tahun yang lalu diwarnai oleh membabi butanya tindak korupsi. Tetapi kini, setelah dilakukan serangkaian tindakan pemberantasan korupsi secara sistimatis dan konsisten, Hong Kong menjadi salah satu negara di dunia yang sistem kenegaraan dan kemasyarakatanya sangat bersih. Keberhasilan Hong Kong memberantas korupsi telah menjadikan negeri itu memiliki prestasi yang sangat menakjubkan dalam kemajuan ekonominya.

Permasalahannya adalah; bagaimanakah seharusnya Badan Anti-Korpusi mengimplementasikan kebijakan anti korupsi di Indonesia supaya lebih efektif? Paper ini disusun untuk mendiskusikan bagaimana cara mengefektifkan peran Badan Anti-Korupsi di Indonesia. Meminjam istilah (Pope & Vogl, 2000), paper ini bertujuan untuk, �Making National Anticorruption Agencies More Effective�. Sebagai bahan perbandingan, paper ini mempelajari bagaimana hal tersebut dilakukan dan dipraktekkan di Hong Kong.

 

 

Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan paper ini. Sebelum memutuskan pendekatan mana yang diambil, terlebih dahulu dikemukakan berbegai pendekatan yang ada dalam Studi Comparative Public Policy (CPP), yang menurut (Parsons & Wand, 1997) ada 5, yaitu: (1). Socio-Economic Approaches; yang menganalisis seberapa jauh dampak kebijakan tersebut mempengaruhi factor-faktor ekonomi dan social. (2). Party Government Approaches; yang mengkaji bagaimana kompetisi (persaingan) antara partai politik dan partisan dalam hal mengontrol pemerintah, terutama dalam mengontrol kebijakan public. (3). Class Struggle Approaches; yang menjelaskan perjuangan masing- masing kelompok dalam masyarakat yang berkaitan dengan format politik dalam kaitannya dengan kebijakan public, yang berbeda diantara negara-negara kapitalis. (4). Neo-Corporatist Approaches; yang lebih memfokuskan pada analisis pengaruh organisasi-organisasi kepentingan (kelompok kepentingan) dalam menentukan kebijakan public. Dengan kata lain, memfokuskan pada persaingan organisasi-organisasi kepentingan. (5). Institutionalist Approaches; yang mengkaji peran negara dan lembaga-lembaga social dalam mendefinisikan maupun menyusun kebijakan public.

Pendekatan yang diambil dalam penulisan paper ini agaknya adalah Institutionalist Approaches. Paper ini mencoba mengungkap sejauhmana negara dan kelembagaan yang dibentuknya berperan dalam mengimplementasikan kebijakan. Negara yang dibandingkan adalah Indonesia dan Hong Kong. Dalam kaitan ini, kelembagaan yang dimaksud adalah Badan atau Lembaga Anti Korupsi. Di Indonesia dikenal ada dua, yaitu: KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan TimTasTipikor (Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Sedangkan di Hong Kong hanya ada satu, yaitu: ICAC (Independent Commission Against Corruption). Di dalam beberapa penelitian, kelembagaan ICAC di Hong Kong ternyata sangat efektif memberantas korupsi di negara itu. Karena itu pengalaman Hong Kong layak untuk diambil sebagai pelajaran.

 

Hasil dan Pembahasan

Pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah �what drives corruption?�, �why corruption persists?�, dan �what can be a useful antidote?�. Pertanyaan dasar ini oleh para pakar dijawab dengan merumuskan 2 perspektif, yaitu perspektif empiris dan perspektif konseptual. Pada tingkat konseptual ada 3 model, yaitu: (i).�� Principal-Agent or Agency Models; (ii). New Public Management Perspectives; dan (iii). Neo-Institutional Economics Frameworks. Dari 3 moel tersebut, model yang pertama yang relevan dengan topik bahasan ini. Model ini merupakan strategi pemberantasan korupsi yang paling sering digunakan. Menurut (Stanley, 1983) dan (Klitgaard, 1991), model �Principal-Agent� ini cocok diterapkan pada; (a). Pemerintahan yang dipimpin diktator yang baik (a benevolent dictator); (b). Pemerintahan yang kepala (principal)-nya memotivasi pegawai agar memiliki integritas dalam menggunakan sumberdaya publik. Becker menyebut model ini sebagai Crime and Punishment Model.

Apapun modelnya, yang harus diwaspadai adalah adanya kekuasaan monopoli yang cenderung tidak terbatas dan kewenangan pejabat pemerintah dalam membuat kebijakan. Mengapa? karena menurutnya �corruption equals monopoly plus discretion minus accountability�. Untuk mengurangi korupsi dengan kerangka kerja ini maka negara harus memiliki pemerintahan yang mampu menegakkan peraturan (a rules-driven government) dengan pengawasan internal yang ketat (strong internal controls) dan dengan diskresi yang terbatas (little discretion) pada para pejabat publik (Klitgaard, 1988). Menurut model ini, korupsi bisa dikurangi dengan; (i). Mengurangi jumlah transaksi melebihi kewenangan yang dimiliki pejabat publik; (ii). Mengurangi kesempatan memperoleh keuntungan dari setiap transaksi; (iii). Meningkatkan kemungkinan untuk pendeteksian; dan (iv). Meningkatkan hukuman bagi koruptor. Lebih dari itu, pemerintah harus membentuk satu badan anti-korupsi yang independen dan memiliki integritas tinggi.

Korupsi di Indonesia sudah merupakan extra-ordinary crime, karenanya disamping mempertimbangkan 4 rekomendasi dari Agency Models tersebut, pembentukan badan anti-korupsi juga sudah seharusnya dilakukan. KPK dan TimTasTipikor, dua badan anti-korupsi di Indonesia, dibentuk dalam kerangka itu. KPK dimaksudkan untuk memerangi korupsi dari ekstra pemerintah, sedangkan TimTasTipikor dibentuk untuk memberantas korupsi dari dalam pemerintah. Secara politis, KPK sangat berpotensi karena merupakan hasil proses reformasi sebagaimana tertuang dalam Tap.MPR No.XI/1998, sehingga memperoleh dukungan luas, baik dari LSM, Perguruan Tinggi, Media Massa, maupun anggota masyarakat pada umumya. Bahkan, KPK yang dibentuk berdasarkan UU No.30/2002 bisa dikatakan sebagai organisasi superbodi karena memiliki beberapa kewenangan yang tidak dimiliki lembaga penegak hukum lain, khususnya dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara (Hehamahua, 2006).

Sejak didirikan pada 29 Desember 2003 hingga sekarang (2 tahun lebih), KPK telah membuktikan sebagai badan anti-korupsi yang cukup memadai. Beberapa keberhasilan KPK dapat dicatat, antara lain: (i). Banyak pejabat yang korup diproses dan diadili; (ii). Fungsi �Trigger Mechanism� KPK berhasil mendorong aparat penegak hukum, khususnya di Daerah, berani menindak pejabat daerah yang melakukan korupsi, baik Gubernur, Bupati, Walikota, maupun DPRD.

(iii). Mendorong dan membantu penerapan �Island of Integrity� dan �Good Governance�, yang hingga akhir tahun 2005 ada 7 wilayah (propinsi dan kabupaten/kota) yang menerapkan �Island of Integrity� dan �Good Governance�. (iv). Di bidang Teknologi Informasi (IT), secara internal KPK telah memiliki portal dan software forensik, secara eksternal KPK telah memiliki website dan menyediakan software sekaligus pelatihan bagi 33 provinsi se Indonesia agar mereka bisa langsung mengakses data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

Tetapi ternyata di balik potensi, keberhasilan dan kelebihan KPK seperti disebutkan di atas, ada beberapa kelemahan dan kendala yang mempengaruhi kinerja KPK. Diantaranya adalah: (i). Keterbatasan sarana-prasarana; (ii). Keterbatasan SDM; (iii). Kendala dari desain kebijakan (Undang-Undang) yang berkaitan dengan mekanisme kerja operasional KPK itu sendiri; dan (iv). Masih belum kondusifnya sikap masyarakat dalam usaha memerangi korupsi (kurangnya pemahaman masyarakat tentang tindak korupsi dan fungsi serta kewenangan KPK, sikap permisif masyarakat terhadap tindak korupsi masing tinggi, dan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum lainnhya).

UU tentang KPK masih berstandar ganda. Di satu sisi KPK diberi kewenangan sebagai superbodi. sementara di sisi lain, dalam pelaksanaan tugas di lapangan KPK dipaksa bekerja dengan cara-cara tradisional. Misalnya; (i). KPK baru dibenarkan memeriksa rekening bank seseorang setelah orang tersebut sudah berstatus tersangka. Ketentuan kebijakan seperti ini jelas merepotkan. Sebab koruptor sangat canggih dalam melaksanakan kejahatannya, sehingga peluang terbesar untuk menangkap mereka justeru dengan cara mengendus rekening banknya; (ii). Di satu sisi KPK diberi wewenang yang sangat besar oleh UU, tetapi di sisi lain, dalam pelaksanaannya KPK harus tunduk pada ketentuan KUHAP yang lama. Untuk penggeledahan KPK masih harus memperoleh ijin dari Pengadilan Negeri. (iii). Dalam hal penyidikan, KPK diberi wewenang oleh UU untuk melakukan penyidikan sendiri. Tetapi dalam praktiknya KPK tidak boleh merekrut penyidik sendiri dan harus mengikuti ketentuan dalam KUHAP yang menyatakan bahwa penyidik harus polisi atau jaksa; (iv).Tidak adanya UU perlindungan saksi. Ini menyulitkan penyidik KPK dalam memperoleh informasi yang signifikan, karena masyarakat atau pejabat yang mengetahui adanya korupsi menjadi enggan mengadukannya, takut terkena resiko. Hal ini pernah terjadi dan menimpa Khairiansyah sebagai saksi yang melaporkan kasus korupsi (suap) di KPU, karena tidak adanya UU perlindungan saksi maka dia terkena resiko untuk disidik juga.

Meskipun demikian, dibandingkan dengan ICAC di Hong Kong yang sejak dibentuknya membutuhkan waktu 3 tahun untuk bisa beroperasi, KPK termasuk sukses dan berhasil. Dalam kurun waktu 2 tahun saja sudah banyak hasil yang dicapai. Hal yang perlu dicatat adalah, jika kendala kebijakan (UU) dapat diatasi maka bukan mustahil kinerja KPK akan lebih baik.

 

Kesimpulan

Dari uaraian di atas dapat disimpulkan bahwa; (1). Korupsi adalah masalah di semua pemerintahan dan di semua negara di dunia; (2). Untuk memberantas korupsi dibutuhkan komitmen dan political will dari dalam pemeritahan di suatu negara itu sendiri, disamping back-up oleh negara-negara lain dalam hubungan dan jejaring internasional yang dikomandani PBB melalui konvensi anti-korupsi; (3). Salah satu cara yang efektif untuk memberantas korupsi adalah melalui badan anti-korupsi yang independen. Untuk itu banyak negara yang menggunakan cara dan pendekatan ini, termasuk Hong Kong dan Indonesia; (4). Hong Kong memiliki pengalaman yang menarik dan sangat sukses melakukan pemberantasan korupsi melalui pendekatan kelembagaan anti-korupsi (ICAC) yang independen dan dilindungi oleh UU. (5). Indonesia juga membentuk badan anti-korupsi. Bahkan ada dua badan anti- korupsi, yaitu KPK dan TimTasTipikor. Badan anti-korupsi di Indonesia, khususnya KPK, telah menjalankan tugasnya dan berhasil cukup baik; (6). Bahwa masih ada beberapa kelemahan dan kendala yang dihadapi KPK, mulai dari kelemahan dan kendala internal, hingga eksternal yaitu kendala UU; (7). �Bahwa dari pengalaman Hong Kong dapat ditarik beberapa pelajaran untuk diterapkan di Indonesia.


BIBLIOGRAFI

 

abed, George T., & Davoodi, Hamid R. (2000). Corruption, Structural Reforms, And Economic Performance In The Transition Economies. Google Scholar

 

Gupta, Mr Sanjeev. (1998). Does Corruption Affect Income Inequality And Poverty? International Monetary Fund. Google Scholar

 

Gupta, Sanjeev, Davoodi, Hamid Reza, & Tiongson, Erwin. (2000). Corruption And The Provision Of Health Care And Education Services. Google Scholar

 

Hehamahua, Abdullah. (2006). Dua Tahun Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk): Meneguhkan Fungsi Trigger Mechanism. Jawa Pos.

 

Klitgaard, Robert. (1991). Adjusting To Reality: Beyond �State Versus Market In Economic Development.� Routledge. Google Scholar

 

Parsons, Jeffrey, & Wand, Yair. (1997). Choosing Classes In Conceptual Modeling. Communications Of The Acm, 40(6), 63�69. Google Scholar

 

Pope, Jeremy, & Vogl, Frank. (2000). Making Anticorruption Agencies More Effective. Finance & Development, 37(002). Google Scholar

 

Shah, Anwar. (2006). 19 Corruption And Decentralized Public Governance. Handbook Of Fiscal Federalism, 478. Google Scholar

 

Stanley, Becker Gary. (1983). Human Capital: A Theoretical And Empirical Analysis, With Special Reference To Education. University Of Chicago Press. Google Scholar

 

Tanzı, Vito, & Davood, Hamid. (1997). Corruption, Public Investment, And Growth. Imf Working Paper, 139. Washington Dc: International Monetary Fund. Google Scholar

 

Tomaszewska, Ewa, & Shah, Anwar. (2000). Phantom Hospitals, Ghost Schools And Roads To Nowhere: The Impact Of Corruption On Public Service Delivery Performance In Developing Countries. World Bank Working Paper. Google Scholar

 

Wahab, Solichin Abdul. (2005). �Kebijakan Anti Korupsi: Prospek Dan Kendalanya�, Makalah Seminar Nasional �Kinerja Presiden Dalam Mewujudkan Penyelenggaraan Good Governance Yang Bebas Kolusi, Korupsi Dan Nepotisme. Google scholar

 

 

 

 

 

Copyright holder:

Ulul Albab (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: