Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 4, April 2022

 

KEDUDUKAN MUFTI BAGI PEREMPUAN MENURUT FIKIH ISLAM DAN PRAKTEKNYA DI INDONESIA

 

Ami Bintu Sukardi Hasan, Moh. Abdul Kholiq Hasan, Imron Rosyadi

Magister Hukum Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Surakarta, Indonesia

Dosen UIN Raden Mas Said, Surakarta, Indonesia

Magister Hukum Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Surakarta, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Posisi fatwa tidak hanya khusus untuk laki-laki, melainkan berlaku untuk semua muslim laki-laki dan perempuan yang memiliki kapasitas untuk mengeluarkan fatwa. Seorang wanita Muslim yang memenuhi syarat untuk mengeluarkan fatwa dapat naik ke posisi yang mulia ini. Tetapi ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wanita Muslim agar pantas mendapatkan posisi, yaitu izin suami keluar untuk fatwa jika dia sudah menikah atau izin wali jika dia belum menikah, tidak melalaikan hak suami dan anak, memakai pakaian yang syar�i, dan tidak menyentuh wewangian ketika dia menampakkan diri kepada laki-laki. Dan berjalan tegak tidak lemah gemulai, dan adanya rasa aman dari fitnah, dan tidak sendirian tanpa mahram atau berkhalwat dengan laki-laki. Sekolah dan institut didirikan bagi perempuan untuk mempelajari ilmu-ilmu Islam, sehingga mereka meneliti dan mendiskusikan masalah-masalah yang muncul. Bahkan ketika mereka kembali ke daerahnya masing-masing di seluruh Indonesia, mereka mengajarkan dan menyebarkan agama, baik secara langsung maupun melalui sarana elektronik dan media yang tersedia bagi mereka, seperti media sosial atau saluran televisi, dengan memperhatikan syarat-syarat sebelumnya. Prinsip dasarnya adalah bagi setiap wanita Muslim untuk menjadi mufti didalam keluarganya, dan ini lebih aman dari fitnah dan lebih mudah diterima.

 

Kata Kunci: Ifta; kedudukan fatwa; mufti wanita; di Indonesia; fiqih Islam.

 

Abstract

The position of fatwa is not confined to men, but applies to all Muslim men and women who are qualified to give fatwas. A Muslim woman who is qualified to issue fatwas can rise to this great position. But there are conditions that are specific to Muslim women without men in order for them to deserve this position in front of people, which are the husband�s permission to issue fatwas if she is married, or the permission of her guardian if she is not married, and not to neglect the rights of the husband or children, and to adhere to Islamic dress, and not to touch perfume when it appears to men, and moderate walking, and to be safe from sedition, and not to be alone or mixing with men. Private schools and institutes are established for women to learn Islamic sciences, so they research and discuss emerging issues. Even those who returned to their countries throughout Indonesia teach and spread religion, either directly or through the electronic and media means available to them, such as social media or television channels, taking into account the previous conditions. The basic principle is for every Muslim woman to be a mufti with her family, and this calls for deserving safety from temptation and receiving acceptance.

 

Keywords: fatwa; fatwa position; mufti women; in Indonesia; Islamic jurisprudence.

 

Pendahuluan

Sejak awal Islam, kedudukan mufti biasanya dilakukan oleh seorang laki-laki, diantaranya adalah Rosulullah �sholallahu �alaihi wasallam-, khulafa rasyidun dan para sahabat yang lain seperti Ibnu Abbas, Ubai bin Ka�ab dan Ibnu Mas�ud. Adapun dari kalangan perempuan seperti �Aisyah istri Nabi �sholallahu �alaihi wasallam- yang biasa memberikan fatwa terkhusus bagi para perempuan pada masa itu.

Memberikan fatwa merupakan hal yang tidak hanya khusus dilakukan oleh laki-laki, akan tetapi perempuan pun memiliki andil dalam melakukannya. Maka perlunya tinjauan posisi mufti dan bagaimana prakteknya di Indonesia bagi para perempuan.

Adapun penelitian sebelumnya hanya membahas hukum menjadi hakim bagi perempuan menurut tinjauan fikih Islam (Fatimah, 2021). Atau membahas terkait kedudukan hakim perempuan menurut Abu Hanifah dan Ibnu Hazm (Syahfaruddin, Puthut, 2016). Dan penelitian yang lebih mendekati adalah kajian atas jabatan mufti dalam struktur ketatanegaraan Negeri Johor (Hajar, Siti, 2009). Maka disini peneliti merasa perlu mengkaji secara khusus terkait kedudukan mufti bagi perempuan menurut fikih Islam dan prakteknya di Indonesia.

Dengan berkembangnya zaman dan metode pendidikan saat ini, dan banyak didirikan lembaga-lembaga pendidikan khusus bagi perempuan di Indonesia, adanya mufti dari kalangan perempuan menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak. Dan dengan perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat, mengharuskan adanya adab-adab yang dijadikan landasan bagi perempuan dalam memberikan fatwa.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah dengan tinjauan terhadap kebutuhan seorang perempuan untuk menjadi mufti dengan menjadi pengajar diberbagai bidang yang dibutuhkan masyarakat. Dengan cara mencantumkan ayat-ayat Al-Qur�an dan hadits-hadits Nabi �sholallahu �alaihi wasallam- serta pendapat para ulama yang relevan dengan tema pembahasan untuk kemudian menyimpulkan hukumnya dan tata cara mempraktekkannya di Indonesia.

 

Hasil dan Pembahasan

Menurut Ahmad Mukhtar (Umar, 2008) bahwa mufti adalah seseorang yang menjelaskan suatu hukum seperti penjelasan para ulama terkait hukum mengganti organ tubuh. Dan menurut Ibnu Mandhur (Mandhur, 1993) makna mufti adalah kata subjek dari kata menjelaskan, jadi mufti adalah orang yang menjelaskan suatu hal dan menerangkannya. Sedangkan (Abbas, 1987) mendefinisikan asal kata mufti diambil dari kata al-fatiyu yang berarti pemuda yang kuat, dan fatwa berarti menjelaskan suatu hukum.

Penjelasan hukum tertentu dalam Islam dilakukan oleh seorang alim yang benar-benar kredibel dalam keislaman. Hal tersebut sangat urgent ditengah-tengah kehidupan masyarakat karena mereka membutuhkan seseorang yang bisa memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan. Tak terkecuali mufti perempuan, juga termasuk kebutuhan yang mendesak keberadaannya dikarenakan beberapa faktor diantaranya:

1.     Batasan antara laki-laki dan perempuan dalam Islam sangatlah jelas. Seperti harusnya menjaga pandangan dengan tidak saling memandang sebagaimana tercantum dalam QS An-Nur ayat 30-31 yang artinya,

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat; Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung. Seorang perempuan juga dilarang untuk memandangi laki-laki yang bukan mahramnya atau suaminya (Juwaini & bin Abdullah, 2007).

2.     Tidak diperbolehkan berduaan antara laki-laki dan perempuan tanpa didampingi mahram. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya (1341) dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi �sholallahu �alaihi wasallam- bersabda: �Seorang laki-laki tidak diperbolehkan untuk berduaan dengan perempuan kecuali bersama mahram. Dan (An-Nawawi, 1277) menyebutkan pernyataan Aljuwaini yang mengadopsi pendapat dari Imam Asy-Syafi�I bahwa seorang laki-laki dilarang untuk sholat didepan jamaah yang semuanya adalah perempuan kecuali salah satunya adalah mahromnya.�

3.     Tidak diperbolehkannya bagi perempuan bersuara merdu dihadapan laki-laki. Sebagaimana yang tercantum dalam QS Al-Ahzab ayat 32 yang artinya, Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.

4.     Menjaga perempuan dari fitnah laki-laki disebabkan oleh perasaan yang muncul sebagai akibat dari kekaguman dan ketertarikan fisik atau kurangnya percaya diri. Menurut Barotut Taqiyah (Taqiyah, 2016) bahwa hal tersebut dapat mengganggu fokus seorang perempuan dalam proses pembelajaran.

5.     Cara terbaik dalam pembelajaran adalah dengan memisahkan antara laki-laki dan perempuan. (Ulwan, 1976) menukil pernyataan Al-Qabisi dan Ibnu Sahnun terkait metode pembelajaran yang efektif diantaranya adalah dengan memisahkan antara laki-laki dan perempuan.

6.     Meningkatkan keaktifan dalam proses pembelajaran. Dan menurut (Nurul Hanifah, 2018) bahwa pemisahan antara laki-laki dan perempuan dapat meningkatkan keaktifan dalam pembelajaran.

7.     Beberapa pembahasan dalam Islam yang khusus bagi perempuan seperti darah haid dan tata cara membersihkannya, hukum berkaitan dengan wanita melahirkan, dan tata cara memandikan jenazah khusus perempuan dan lain sebagainya yang tidak bisa diajarkan langsung oleh laki-laki.

Oleh karena itu keberadaan mufti dari perempuan sangat dibutuhkan agar dakwah dan ilmu keislaman dapat tersampaikan dengan kendala yang minimum. Dan hal tersebut mensyaratkan perempuan muslimah harus berilmu dan senantiasa menuntut ilmu. Karena kewajiban menuntut ilmu berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh (Ath-Thabrani, 1994) dari Ibnu Mas�ud bahwa Rosulullah �sholallahu �alaihi wasallam- bersabda:

Menuntut ilmu hukumnya wajib bagi setiap muslim.

(Al-Muqaddam, 2007) menukil pernyataan Ibnu Hazm bahwa wajib bagi para perempuan untuk mempelajari agama, sebagaimana kewajiban itu juga dibebankan atas laki-laki.

(Al-Bukhori, 2001) mencantumkan perkataan �Aisyah yang mensifati perempuan terbaik adalah perempuan dari Anshor dikarenakan mereka tidak malu untuk menuntut ilmu.

Ketika ada perempuan yang berilmu, maka dia lebih utama untuk memberikan fatwa kepada para perempuan yang lain ketimbang laki-laki, apalagi terkait hal-hal yang dikhususkan bagi mereka. Dan cara itu lebih aman dan nyaman bagi perempuan karena bisa jadi diantara mereka ada yang malu untuk bertanya ketika berhadapan dengan mufti laki-laki dan akan berani bertanya ketika berhadapan dengan mufti perempuan.

�Aisyah istri Nabi �sholallahu �alaihi wasallam- adalah salah satu contoh mufti dari kalangan perempuan. Banyak dari kalangan sahabat yang merujuk kepada �Aisyah ketika bertanya hal-hal dalam agama sepeninggalan beliau, terkhusus hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga.

Menurut (Al-Muqaddam, 2007) bahwa �Aisyah adalah perempuan yang istimewa karena banyak sekali meriwayatkan hadits dan mempelajari ilmu dari Nabi �sholallahu �alaihi wasallam-, seorang perempuan yang cerdas dan menjadi rujukan bagi para penanya yang haus akan informasi tentang agama. Hal itu juga yang disampaikan oleh Adz-Dzahabi.

Dan disebutkan juga oleh (Ulwan, 1976) bahwa zaman dahulu banyak sekali perempuan-perempuan yang menjadi mufti dan pengajar bagi masyarakat. Disebutkan juga bahwa sebagian guru-guru bagi Imam Asy-Syafi�I, Imam Al-Bukhori, dan Ibnu Hibban adalah perempuan. Dan juga bagi Ibnu Asakir yang seorang ahli hadits, disebutkan juga bahwa jumlah guru beliau sekitar delapan puluh lebih dari kalangan perempuan.

Dengan banyaknya jumlah kaum muslimin di Indonesia, dan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan yang khusus bagi para perempuan, maka kebutuhan akan mufti dan pengajar perempuan sangatlah besar. Dan juga komunitas pengajian yang mayoritas pesertanya adalah perempuan, keberadaan mufti perempuan bisa menjadi solusi dari beberapa kendala yang selama ini terjadi ketika mufti adalah seorang laki-laki.

Sebagai contoh yang telah ada di Indonesia adalah Rahmah El Yunusiyah (1900-1969). Beliau merupakan pendiri sekolah diniyah putri di Padang Panjang. Dan mendapat gelar doctor dari Universitas Al-Azhar Mesir.

Dan contoh berikutnya adalah Nyai Khairiyah Hasyim. Merupakan akan kedua dari K.H Hasyim Asy�ari. Beliau sebagai salah satu pemrakarsa berdirinya sekolah perempuan di Mekah pada tahun 1942. Dan beliau juga salah satu anggota bahst masail di NU.

Berkembangnya system informasi yang maju saat ini seperti media audio visual dan internet, memudahkan setiap orang untuk berinteraksi dan membuat kelompok kajian-kajian. Hal ini menuntut kebutuhan akan narasumber yang begitu besar, dan hal ini tidak cukup jika hanya laki-laki saja yang berkecimpung didalamnya. Dibutuhkan juga perempuan-perempuan yang ahli dibidangnya untuk ikut andil dalam penyebaran ilmu pengetahuan.

Dan seorang perempuan berhak untuk menjadi ahli dalam bidang apapun sebagaimana seorang laki-laki. Karena memperdalam ilmu pengetahuan merupakan hak setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan tanpa ada perbedaan antara keduanya.

Akan tetapi aturan bagi perempuan jauh lebih ketat dibandingkan laki-laki dalam Islam. Seperti tidak bolehnya seorang perempuan untuk bepergian sendiri tanpa mahram, juga harus selalu menutup aurat bahkan tidak boleh bersuara lembut didepan laki-laki yang bukan suaminya. Termasuk kewajiban meminta izin dari wali atau suami ketika hendak keluar rumah, dan larangan untuk memakai wewangian ketika keluar rumah, juga untuk selalu mengutamakan keluarga dari pada kegiatas di luar rumah. Maka adab-adab tersebut harus selalu diperhatikan oleh setiap perempuan baik ketika menuntut ilmu ataupun memberi fatwa dan mengajar orang lain.

 

Kesimpulan

Menjadi mufti bagi perempuan diperbolehkan dalam Islam. Bahkan hal ini menjadi salah satu kebutuhan dalam dakwah kepada masyarakat luas terkhusus di Indonesia ini. Maka harusnya ada ruang-ruang tersendiri untuk diberikan kepada para perempuan muslimah yang memenuhi syarat dalam level keilmuan untuk memberikan fatwa kepada masyarakat. Atau adanya wadah tersendiri yang diampu oleh perempuan perempuan yang berkompeten dan ahli dibidangnya. Bagi pemerintah dan masyarakat selayaknya untuk mendukung program tersebut agar penyebaran ilmu semakin dirasa dan merata.


BIBLIOGRAFI

 

Abbas, Abul. (1987). Al-Misbah Al-Munir fi Gharibi Asy-Syarh Al-Kabir. Beirut : Al-Maktabah Al-Alamiyah. Google Scholar

 

Al-Bukhori. (2001). Shahih Al-Bukhori. Beirut : Daar Thouq An-Najah.

 

Al-Muqaddam, Muhammad Ahmad Ismail. (2007). Al-mar�ah Baina Takrim Al-Islam wa Ihanah Al-Jahiliyah. Alexandria : Daar Al-Khulafa� Al-Rasyidun.

 

An-Nawawi. (1277). Al-Majmu� Syarh Al-Muhadzab. Damaskus : Daar Al-Fikr.

 

Ath-Thabrani. (1994). Al-Mu�jam Al-Kabir. Kairo : Maktabah Ibnu Taimiyah.

 

Juwaini, Al, & bin Abdullah, Abdul Malik. (2007). Nihayatul Mathlab fi Dirayat Al Mazhab. Jeddah. Dar Al Minhaj. Google Scholar

 

Mandhur, Ibnu. (1993). Lisanul Arab. Beirut : Daar Shodir.

 

Nurul Hanifah, Febriana. (2018). Penerapan Pemisahan Kelas antara Siswa Putra dan Putri dalam Upaya Pembinaan Akhlak di MTs Surya Buana Malang. IAIN Kediri.

 

Taqiyah, Barotut. (2016). Pengaruh Pemisahan Kelas Peserta Didik Laki-laki dan Perempuan Terhadap Motivasi Belajar Siswa Kelas X Pada Mata Pelajaran Akidah Akhlak di MA Sunan Pandanaran Yogyakarta. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Available at: http://digilib. uin-suka. ac ï¿½. Google Scholar

 

Ulwan, Abdullah Nasih. (1976). Tarbiyatul Aulad fil Islam. Kairo : Daar Assalam Lit-Thibaah wan Nasyr.

 

Umar, Ahmad Mukhtar. (2008). Mu �jam al-Lughah al-�Arabiyyah al-Mu �asirah. Kairo: Alamul-Kutub. Google Scholar

������

Copyright holder:

Ami Bintu Sukardi Hasan, Moh. Abdul Kholiq Hasan, Imron Rosyadi (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: