Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 4, April 2022

 

REKONSTRUKSI SISTEM PERADILAN PIDANA DALAM MENANGANI PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

 

Maman Budiman

Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Hukum acara yang dipergunakan adalah Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, serta khusus untuk KPK selain menggunakan KUHAP, menggunakan juga Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 perubahan Undaang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Semua perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan pemeriksaan di tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dimuka sidang baik oleh Kepolisian, Kejaksaan, KPK sampai dengan Pengadilan tindak pidana korupsi sering terjadi persoalan dan hambatan terutama menjalankan sistem peradilan pidana. Identifikasi permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah efektif sistem peradilan pidana dalam menanggulangi kejahatan korupsi di Indonesia serta bagaimana rekonstruksi sistem peradilan pidana dalam menangani perkara tindak pidana korupsi. Tujuan penelitian ini diharapkan dapat menemukan jawaban mengenai Rekonstruksi terhadap sistem peradilan pidana di adalah membangun kembali sistem atau aturan yang sudah ada menuju kearah lebih baik termasuk KUHAP, Apabila KUHAP sudah ada pembaharuan secara otomatis aturan lain seperti Undang-Undang kepolisian, Undang-Undang Kejaksaan, Undang Undang Mahkamah Agung, Undang-Undang KPK, Undang-Undang Lembaga Pemasyarakatan dan Undang-Undang Advokat dapat menyesuaikan.

 

Kata Kunci: korupsi; sistem peradilan pidana; rekonstruksi

 

Abstract

The event law used is Law Number 8 of 1981 concerning KUHAP, as well as specifically for the KPK in addition to using the KUHAP, using also Law No. 19 of 2019 amendment to Undaang Law No. 30 of 2002 concerning the KPK. All cases of corruption crimes carried out at the level of investigation, investigation, prosecution, examination in advance of the trial both by the Police, Prosecutor's Office, KPK to the Corruption Criminal Court often occur problems and obstacles, especially running the criminal justice system. Identifying the problems in this study is whether the criminal justice system is effective in tackling corruption crimes in Indonesia and how to reconstruct the criminal justice system in dealing with corruption cases. The purpose of this study is expected to find answers about reconstruction of the criminal justice system in order to rebuild the existing system or rules towards a better direction including the KUHAP, if the KUHAP has been automatically updated other rules such as the Police Law, the Prosecutor's Law, the Supreme Court Law, the KPK Law, the Penitentiary Law and the Advocate Law can adjust.

 

Keywords: corruption; criminal justice system; reconstruction

 

Pendahuluan

Pemberantasan korupsi menjadi salah satu agenda prioritas, bahkan semua agenda reformasi, baik langsung ataupun tidak langsung ditujukan untuk meminimalisasi potensi korupsi, misalnya agenda perubahan UUD 1945 untuk membangun cheks and balancing system (sistem saling mengawasi dan mengendalikan) agar kekuasaan tidak terkonsentrasi pada satu cabang kekuasaan sehingga menimbulkan potensi korupsi (Fahroji, 2016, p. 2).

Pemerintah sudah beberapa kali melakukan perubahan Undang-undang pemberantasan korupsi, dan yang berlaku saat ini yaitu Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001. Diluar Undang-Undang pemberantasan korupsi masih ada Undang -Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme serta ada Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

�Penindakan terhadap pelaku korupsi harus dilakukan secara profesional, karena sifat perbuatan korupsi adalah luar biasa. Aparat penegak hukum baik itu Polisi, Jaksa, KPK maupun Hakim ketika melakukan proses penindakan harus mengedepankan keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Alat bukti yang diajukan dan dihadirkan harus benar-benar sesuai dengan pembuktian berdasarkan Pasal 184 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP. (Sutatiek, 2013, p. 1) . Putusan hakim dalam perkara pidana harus benar-benar mencerminkan aspek keadilan yang dapat dirasakan oleh terdakwa dan keluarganya maupun bagi penuntut umum yang mewakili korban. Putusan pemidanaan merupakan salah satu bentuk putusan yang dilakukan oleh majelis hakim baik Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung. Fungsi utama dari seorang hakim terutama hakim yang memeriksa dan mengadili perkara pidana adalah memberikan putusan kepada terdakwa, yang pada pokoknya menentukan bahwa suatu peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti karenaya ada alat-alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP, serta adanya keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral dan didasarkan kepada hati nurani (Budiman, 2020, pp. 77�78).

Semua perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan pemeriksaan di tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dimuka sidang baik oleh Kepolisian, Kejaksaan, KPK sampai dengan Pengadilan tindak pidana korupsi sering terjadi persoalan dan hambatan terutama menjalankan sistem peradilan pidana. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 dirasa sudah banyak kekurangan terutama mengenai pembuktian khususnya untuk memproses pelaku tindak pidana korupsi. Tidak jarang juga aparat penegak hukum melakukan penyalahgunaan kewenangan yang menimbulkan adaya korban dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi terutama pada sektor pengadaan barang dan jasa seperti dalam kasus peningkatan kapasitas air minum/uprating di PDAM Tirta Tarum cabang Teluk Jambe Kabupaten Karawang Jawa Barat. Kronologis singkatnya adalah sebagai berikut Penyidik Kejaksaan Tinggi Jawa Barat telah menetapkan tersangka dan melimpahkan perkara tindak pidana korupsi ke Pengadilan atas nama Yogie Patriana Alsjah dan Jumali selaku Pengguna aggaran dan Pejabat pembuat komitmen pada kegiatan Uprating IPA PDAM Cabang� Teluk jambe Kabupaten Karawang. Mereka di dakwa karena telah melakukan tindak pidana korupsi Pengadaan peningkatan kapasitas air minum/uprating� yang di duga melanggar Pasal 2 dan Pasal 3, Undang-Undang Tipikor. Penyidik Kejaksaan tinggi Jawa Barat menganggap seharusnya proses lelang dilakukan bukan pada tahun 2015 karena tidak dianggarkan dalam RKAP tahun 2015, walupun dikerjakan pada tahun 2016 dan dianggarkan dalam RKAP tahun 2016.

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji rekonstruksi sistem peradilan pidana dalam menangani perkara tindak pidana korupsi dari mulai proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan, upaya hukum,� pelaksanaan putusan hakim/eksekusi sampai dengan terpidana menjalani putusan di lembaga pemasyarakatan. Penulisan ini berguna untuk memberikan masukan kepada pemerintah Indonesia khususunya aparat penegak hukum dalam memproses pelaku-pelaku yang melakukan tindak pidana korupsi.

A.    Studi Pustaka

Hukum memegang peran penting dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Saifullah, 2007, p. 29). Hukum nasional hanya mengatur keadilan bagi semua pihak, oleh karenanya keadilan didalam perspektif hukum nasional adalah keadilan yang menserasikan atau menselaraskan keadilan-keadilan yang bersifat umum diantara sebagian dari keadilan-keadilan individu. Dalam keadilan ini lebih menitik beratkan pada keseimbangan antara hak-hak individu masyarakat dengan kewajiban-kewajiban umum yang ada didalam kelompok masyarakat hukum. Sebagai Hukum Privat hukum pidana harus dirancang untuk menerapkan keadalan bagi seluruh rakyat indonesi, oleh karena itu harus ada formulasi kebijakan yang dapat dirasakan rasa keadilanya oleh setiap warga negara. Salah satu terobosan kebijakan hukum pidana terkini dalam pemberantasan tindak pidana korupsi adalah dengan menjadikan korporasi sebagai salah satu subjek hukumnya sehingga bisa dituntut pertanggungjawaban pidana serta dapat diputuskan pemidanaan terhadapnya. Jika sebelumnya subyek hukum tindak pidana korupsi hanya terkait dengan orang yang mana lebih khusus lagi terkait dengan pegawai negeri (vide Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), saat ini pengertian orang tersebut tidak semata diartikan sebagai manusia tetapi juga meliputi korporasi (vide Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK)). Kebijakan memperluas subjek hukum tindak pidana korupsi pada korporasi ini merupakan bagian dari strategi pemberantasan dan penanggulangan tindak pidana korupsi (Suhariyanto, 2016, pp. 201�202). Terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk mempidana seseorang yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang atau tindak pidana (actus reus) dan ada sikap batin jahat atau tersela (mens rea).

Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar orang dipidana harus sudah ada aturannya (azas legalitas), dan pelaku itu ada kesalahan. Pertanggungjawaban pidana terjadi karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seserorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu (Huda, 2006, p. 68).

Pertanggung jawaban pidana ditegakan oleh sistem hukum Hukum acara pidana atau dengan kata lain hukum formil yang bertujuan untuk menegakan hukum materil yaitu hukum pidana. Hukum formil adalah hukum mengenai mekanisme atau proses agar hukum materil dapat ditegakan. Mekanisme yang dijalankan oleh hukum acara pidana adalah untuk membantu aparat penegak hukum (APH) menjalankan fungsinya menegakan hukum dan keadilan. Sebelum berlaku Undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) yaitu Undang-undang Nomor 8 tahun 1981, hukum acara yang berlaku di indonesia pada saat itu berdasarkan peraturan yang mulai berlaku ialah Inlands Reglement, yang diberlakukan mulai tanggal 3 Desember 1847 Sbld Nomor 57. Setelah beberpa kali berubah akhirnya berlaku herzien inlandsch reglemen (HIR) berdasarkan Sbld 1941 nomor 44 (Hamzah, 2008, p. 54). Yang terpenting dari perubahan IR menjadi HIR� ialah dengan perubahan itu dibentuk lembaga Openbaar� Ministerie atau penuntut umum yang dahulu ditempatkan dibawah Pamongraja. Dengan perubahan itu maka Openbaar Ministerie (OM) atau parket itu secara bulat dan tidak terpisahkan berada dibawah Officer Van Justice dan Procureur General. Peraturan IR dan HIR merupakan hukum buatan kolonial yang masih diberlakukan untuk kalangan-kalangan tertentu, hal ini tentu tidak seimbang dengan perkembangan dan perubahan manusia Indonesia yang semakin maju. Sebelum Belanda masuk ke Indonesia tentunya sudah ada aturan-aturan yang disebut dengan hukum adat berasal dari kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di masyarakat (living law), hal itu menunjukan bahwa hukum bersifat dinamis yang mengikuti perkembangan zaman. (Hamzah, 2008). Sampai saat ini KUHAP masih tetap berlaku walaupun dirasa banyak kekurangan seiring perubahan peradaban, karena masyarakat terus berkembang, dan kejahatanpun terus mengalami perkembangan, salah satu contoh persoalan dalam KUHAP adalah soal alat bukti yang datur dalam Pasal 184, hal ini menjadi persoalan mana kala untuk membuktikan pelaku kejahatan cyber, perbankan, money loundering diperlukan alat bukti yang lain semisal alat bukti elektronik. Oleh karena itu sudah seharusnya dilakukan perubahan perubahan mendasar dalam KUHAP agar dapat menjangkau setiap perbautan jahat yang dilakukan oleh pelanggar hukum (broken the rule).

 

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah dengan menggunakan pendekatan masalah, metode pengumpulan bahan hukum, sumber bahan hukum dan analisis bahan hukum yang ada sehingga diperoleh alternatif pemecahan masalah yang sesuai dengan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum yang berlaku (Soekanto, 2002, p. 22). Metode Pendekatan Pada penelitian ini, menggunakan pendekatan yuridis empiris yakni dilakukan dengan melihat kenyataan yang ada dalam praktek dilapangan. Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan secara sosiologis yang dilakukan secara langsung ke lapangan (Hanitijo, 1988, p. 13). Pendekatan yuridis empiris ini dilakukan dengan cara penelitian di lapangan secara langsung yang ditujukan pada penerapan hukum acara pidana dalam perkara tindak pidana korupsi dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi, Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan serta Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Efektifitas sistem peradilan pidana dalam menanggulangi kejahatan korupsi di Indonesia

Hukum acara pidana adalah hukum formil untuk menegakan hukum materil yaitu hukum pidana. Hukum formil adalah hukum mengenai mekanisme atau proses agar hukum materil dapat ditegakan. Mekanisme yang dijalankan oleh hukum acara pidana adalah untuk membantu aparat penegak hukum (APH) menjalankan fungsinya menegakan hukum dan keadilan. Hukum pidana tidak boleh mati, dapat dibayangkan kalaulah hukum pidana tidak dipasangkan dengan hukum acara pidana maka akan menjadi tidak akan ada fungsinya. Sistem peradilan pidana di Indonesia dilakukan oleh 5 lembaga penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat. Khusus dalam perkara tindak pidana korupsi maka kewenangan melakukan proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan diberikan juga kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Semua aparat penegak hukum tersebut melakukan kerjanya berlandasakan Undang-Undang Tipikor yaitu Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 perubahan dari Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sedangkan hukum acaranya menggunakan Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, dan Hukum Acara yang ada dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi perubahan dari Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002. Lembaga penegak hukum yang diberikan kewenangan untuk memproses pelaku korupsi terkendala dengan aturan hukum acara, sebagaimana kita ketahui hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia adalah KUHAP yang dibuat pada tahun 1981, tentunya kalau di kaitkan dengan modus dan perilaku korupsi saat ini butuh hukum acara pidana yang mampu memproses terutama mengenai perumusan alat alat bukti. Sebagaimana kita ketahui perumusan alat-alat bukti yang diatur dalam KUHAP ada 5 yaitu Keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Kelima alat bukti tersebut sebenarnya sangat kurang kalau dibandingkan dengan modus yag dilakukan oleh para pelaku butuh alat bukti lain semacam bukti transaksi atau dokumen elektronik.

Bukti transaksi eleoktrinik sebenarnya sudah dipakai oleh salah satu lembaga penegak hukum yaitu KPK, sehingga terlihat KPK lebih optimal dalam mpenegakan hukumnya sedangkan untuk lembaga kepolisian dan Kejaksaan masih teerikat sama KUHAP ketika meproses pelaku korupsi. Hal ini tentunya menjadikan penegakan hukum terhadap pelaku korupsi terkendala, sudah seharusnya Pemerintah dan DPR memikirkan untuk melakukan revisi atau membangun kembali Hukum Acara pidana yang ada, agar penanganan suatu perkara menjadi optimal terkhusus terhadap perkara tindak pidana korupsi. Dengan lemahnya aturan hukum yang ada tidak jarang dijadikan alasan oleh oknum aparat penegak ukum untuk menyalahgunakan kewenangannya. Pada saat ini semangat untuk memberantas korupsi terkesan hanya menyalahkan sistem yang ada, tetapi kurang berorientasi kepada peningkatan dan pengawasan kinerja dan profesionalitas aparat penegak hukum, sehingga tidak jarang dalam proses pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi itu sendiri, terhalang oleh perilaku para penegak hukum yang menyalahgunakan kewenangan� (abuse of power). (Chaerudin dan Syarif Fadillah, 2008).

B.    Rekonstruksi sistem peradilan pidana dalam menangani perkara tindak pidana korupsi

Rekonstruksi dapat diartikan sebagai membangun kembali sistem atau aturan yang sudah ada menuju kearah lebih baik. Sistem peradilan yang ada saat ini masih berlandaskan kepada Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP. KUHAP yang di gunakan saat ini sudah berumur 41 tahun, tentunya sudah terlihat� ketinggalan karena dibuat pada tahun 1981. Dengan melihat kondisi tersebut sudah seharusnya ada pengembangan atau pembaharuan terhadap sistem peradilan pidana terutama hukum acara untuk menegakan hukum pidana materil. Hal ini dikarenakan modus dan cara yang digunakan oleh pelaku kejahatan sudah begitu terstruktur, sistematis dan masif termasuk dalam kejahatan korupsi. Pelaksanaan sistem peradilan pidana yang dilakukan oleh aparat penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi dirasa belum optimal mencegah ataupun menindak pelaku tindak pidana korupsi pada saat proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, upaya hukum maupun pelaksanaan putusan hakim (eksekusi).

Menurut Romli Atmasasmita yang dikutip dari sebuah jurnal yang ditulis oleh Michael Barama mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana sebagai suatu penegakan hukum atau law enforcement, maka didalamnya terkandung aspek hukum yang menitik beratkan kepada operasionalisasi berjalannya suatu peraturan perundang-undangan dalam hal mengupayakan penanggulangan kejahatan dan bertujuan untuk mencapai kepastian hukum. (Barama, 2016).

Hukum Acara pidana yang berlaku terlihat ketinggalan jaman, karena ternyata banyak kelemahan pada saat proses penegakan hukumnya. Kelemahan yang paling terlihat adalah mengenai pembuktian. Sebagaimana kita ketahui aparat penegak hukum harus benar benar memastikan alat bukti yang dibawa ke Pengadilan sesuai dengan alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Padahal untuk mendapatkan alat bukti tersbut aparat penegak hukum tentunya memerlukan alat bukti lain semacam dokumen yang dihasilkan dari transaksi elektronik. Hal ini menjadi kendala di lapangan yang dirasakan oleh aparat penegak hukum untuk memproses pelaku korupsi. Pelaku tindak pidana korupsi menggunakan dengan berbagai macam cara atau modus termasuk menggunakan transaksi elektronik untuk memudahkan terjadinya tindak pidana korupsi. Tentunya dengan merujuk Pasal 184 KUHAP, aparat penegak hukum akan kesulitan membongkar suatu kejahatan korupsi. Dengan melihat penjelasan tersebut sudah sewajarnya adanya rekonstruksi terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia termasuk dalam aturan hukumnya yaitu Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Apabila KUHAP sudah ada pembaharuan secara otomatis aturan lain seperti Undang-Undang kepolisian, Undang-Undang Kejaksaan, Undang Undang Mahkamah Agung, Undang-Undang KPK, Undang-Undang Lembaga Pemasyarakatan dan Undang-Undang Advokat dapat menyesuaikanHukum acara pidana adalah hukum formil untuk menegakan hukum materil yaitu hukum pidana. Hukum formil adalah hukum mengenai mekanisme atau proses agar hukum materil dapat ditegakan. Mekanisme yang dijalankan oleh hukum acara pidana adalah untuk membantu aparat penegak hukum (APH) menjalankan fungsinya menegakan hukum dan keadilan. Hukum pidana tidak boleh mati, dapat dibayangkan kalaulah hukum pidana tidak dipasangkan dengan hukum acara pidana maka akan menjadi tidak akan ada fungsinya. Sistem peradilan pidana di Indonesia dilakukan oleh 5 lembaga penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat. Khusus dalam perkara tindak pidana korupsi maka kewenangan melakukan proses penyelidikan, penyidkan dan penuntutan diberikan juga kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Semua aparat penegak hukum tersebut melakukan kerjanya berlandasakan Undang-undang Tipikor yaitu Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 perubahan dari Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sedangkan hukum acaranya menggunakan Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, dan Hukum Acara yang ada dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi perubahan dari Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002. Lembaga penegak hukum yang diberikan kewenangan untuk memproses pelaku korupsi terkendala dengan aturan hukum acara, sebagaimana kita ketahui hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia adalah KUHAP yang dibuat pada tahun 1981, tentunya kalau di kaitkan dengan modus dan perilaku korupsi saat ini butuh hukum acara pidana yang mampu memproses terutama mengenai perumusan alat alat bukti. Sebagaimana kita ketahui perumusan alat-alat bukti yang diatur dalam KUHAP ada 5 yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Kelima alat bukti tersebut sebenarnya sangat kurang kalau dibandingkan dengan modus yag dilakukan oleh para pelaku butuh alat bukti lain semacam bukti transaksi atau dokumen elektronik. Bukti transaksi eleoktrinik sebenarnya sudah dipakai oleh salah satu lembaga penegak hukum yaitu KPK, sehingga terlihat KPK lebih optimal dalam menegakan hukumnya sedangkan untuk lembaga kepolisian dan Kejaksaan masih teerikat sama KUHAP ketika meproses pelaku korupsi. Hal ini tentunya menjadikan penegakan hukum terhadap pelaku korupsi terkendala, sudah seharusnya Pemerintah dan DPR memikirkan untuk melakukan revisi atau membangun kembali Hukum Acara pidana yang ada, agar penanganan suatu perkara menjadi optimal terkhusus terhadap perkara tindak pidana korupsi. Dengan lemahnya aturan hukum yang ada tidak jarang dijadikan alasan oleh oknum aparat penegak ukum untuk menyalahgunakan kewenangannya. Pada saat ini semangat untuk memberantas korupsi terkesan hanya menyalahkan sistem yang ada, tetapi kurang berorientasi kepada peningkatan dan pengawasan kinerja dan profesionalitas aparat penegak hukum, sehingga tidak jarang dalam proses pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi itu sendiri, terhalang oleh perilaku para penegak hukum yang menyalahgunakan kewenangan (abuse of power). (Chaerudin dan Syarif Fadillah, 2008).

 

Kesimpulan

Pemberantasan korupsi menjadi salah satu agenda prioritas, bahkan semua agenda reformasi, baik langsung ataupun tidak langsung ditujukan untuk meminimalisasi potensi korupsi, misalnya agenda perubahan UUD 1945 untuk membangun cheks and balancing system agar kekuasaan tidak terkonsentrasi pada satu cabang kekuasaan sehingga menimbulkan potensi korupsi.

Penindakan terhadap pelaku korupsi harus dilakukan secara profesional, karena sifat perbuatan korupsi adalah luar biasa. Aparat penegak hukum baik itu Polisi, Jaksa, KPK maupun Hakim ketika melakukan proses penindakan harus mengedepankan keadilan, kemanfaatan dan kepastian

Yang terpenting dari perubahan IR menjadi HIR ialah dengan perubahan itu dibentuk lembaga Openbaar Ministerie atau penuntut umum yang dahulu ditempatkan dibawah Pamongraja. Dengan perubahan itu maka Openbaar Ministerie atau parket itu secara bulat dan tidak terpisahkan berada dibawah Officer Van Justice dan Procureur General

Hukum formil adalah hukum mengenai mekanisme atau proses agar hukum materil dapat ditegakan. Sistem peradilan pidana di Indonesia dilakukan oleh 5 lembaga penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat. Khusus dalam perkara tindak pidana korupsi maka kewenangan melakukan proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan diberikan juga kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebagaimana kita ketahui perumusan alat-alat bukti yang diatur dalam KUHAP ada 5 yaitu Keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Rekonstruksi dapat diartikan sebagai membangun kembali sistem atau aturan yang sudah ada menuju kearah lebih baik. Sistem peradilan yang ada saat ini masih berlandaskan kepada Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP. KUHAP yang di gunakan saat ini sudah berumur 41 tahun, tentunya sudah terlihat ketinggalan karena dibuat pada tahun 1981. Sistem peradilan pidana di Indonesia dilakukan oleh 5 lembaga penegak hukum yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat. Khusus dalam perkara tindak pidana korupsi maka kewenangan melakukan proses penyelidikan, penyidkan dan penuntutan diberikan juga kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Rekonstruksi dapat diartikan sebagai membangun kembali sistem atau aturan yang sudah ada menuju kearah lebih baik. Kelemahan yang paling terlihat adalah mengenai pembuktian. Padahal untuk mendapatkan alat bukti tersbut aparat penegak hukum tentunya memerlukan alat bukti lain semacam dokumen yang dihasilkan dari transaksi elektronik.


BIBLIOGRAFI

 

Barama, Michael. (2016). Model Sistem Peradilan Pidana Dalam Perkembangan. Jurnal Ilmu Hukum, 3(8), 8�17. Google Scholar

 

Budiman, Maman. (2020). Kejahatan Korporasi Di Indonesia (1st ed.). malang: Setara Press.

 

Chaerudin dan Syarif Fadillah. (2008). Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi. Bandung: Refika Aditama. Google Scholar

 

Fahroji, Ihkhwan. (2016). hukum acara pidana korupsi (1st ed.). malang: Setara press. Google Scholar

 

Hamzah, Andi. (2008). Hukum Acara Pidana Indonesia (1st ed.). Jakarta: Sinar Grafika. Google Scholar

 

Hanitijo, Soemitro Ronny. (1988). Metode Penelitian Hukum (1st ed.). Jakarta: Ghalia Indonesia. Google Scholar

 

Huda, Chaerul. (2006). Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggujawaban Pidana Tanpa Kesalahan (2nd ed.). Jakarta: Prenada Kencana. Google Scholar

 

Saifullah. (2007). Refleksi Sosiologi Hukum (1st ed.). Bandung: PT Refika Aditama.

 

Soekanto, Soerjono. (2002). Metode Penulisan Hukum (1st ed.). Jakarta: UI Press.

 

Suhariyanto, Budi. (2016). Progresivitas putusan pemidanaan terhadap korporasi pelaku tindak pidana korupsi. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 16(2), 201�202. Google Scholar

 

Sutatiek, Sri. (2013). Akuntabilitas Moral Hakim dalam Memeriksa, Mengadili, dan Memutus Perkara Agar Putusannya Berkualitas. Arena Hukum, 6(1), 1. Google Scholar

��������

Copyright holder:

Maman Budiman (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: