Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 5, Mei 2022

 

KAJIAN KONSEPTUAL KEBIJAKAN PEMERINTAH PUSAT UNTUK MENYELESAIKAN KONFLIK PAPUA DI INDONESIA (PRESPEKTIF UU OTONOMI KHUSUS PAPUA)

 

Methodius Kossay

Universitas Trisakti, Jakarta Barat, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Sejak 20 Tahun Implementasi UU Nomor 2 Tahun 2021 Perubahan kedua UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, sampai dengan saat ini tidak memberikan dampak secara signifikan bagi pembangunan di Papua. Hal tersebut diakibatkan oleh berbagai akar konflik Papua yang belum kunjung di selesaikan sampai dengan saat ini. Berbagai kebijakan dalam payung hukum otsus Papua dan regulasi berupa Inpres, Perpres, Perdasi, perdasus dan regulasi sectoral diterbitkan dengan model pendekatan Kesejahteraan dan Pendekatan Keamanan. Namun, tetap tidak memberikan dampak khususnya bagi Orang Asli Papua (OAP). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana konsep kebijakan politik hukum Papua di Indonesia. Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan jenis penelitian normatif. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Negara Hukum dan Teori L.M. Friedman. Hasil penelitiannya adalah Implementasi Otonomi Khusus Papua dan berbagai kebijakan pembangunan belum optimal mengakselerasi tingkat kesejahteraankhususnya Orang Asli Papua (OAP) di Papua dan belum mampu menyelesaikan konflik di Papua. Ada beberapa masalah utama terkait dengan implementasi kebijakan yang menjadi akar masalah pembangunan Papua, diantaranya : tidaknya grand design pembangunan Papua yang berjangka Panjang dan mengkat komitmen seluruh aktir pembangunan Papua, koordinasi lemah antar aktor pembangunan Papua, khususnya internal pemerintah, inkonsistensi kebijakan akibat kekosongan dan tumpang tindih hukum, Kebijakan Pembangunan Papua masih menerapkan pendekatan top-down, Penyalahgunaan dan tata Kelola anggaran yang buruk.

 

Kata kunci: otonomi khusus papua, kebijakan pemerintah, konflik

 

Abstract

Since the 20 years of implementation of Law No. 2 of 2021, the second amendment to Law No. 21 of 2001 concerning Special Autonomy for the Province of Papua, until now has not had a significant impact on development in Papua. This is due to the various roots of the Papua conflict that have not been resolved until now. Various policies within the umbrella of Papua otsus law and regulations in the form of Presidential Decree, Perdasi, Perdasi, perdasus and sectoral regulation are published with a model of welfare approach and security approach. However, it still does not have an impact, especially for Indigenous Papuans (OAP). The purpose of this research is to find out and analyze how the concept of Papuan legal political policy in Indonesia. The research method to be used in this research is a qualitative method with a normative type of research. The theories used in this study are the State Theory of Law and the Theory of L.M. Friedman. The results of the research are the Implementation of Papua Special Autonomy and various development policies have not optimally accelerated the level of welfare, especially Indigenous Papuans (OAP) in Papua and have not been able to resolve the conflict in Papua. There are several main problems related to the implementation of policies that are at the root of papua development problems, including: the absence of a long-term Papua development grand design and strengthening the commitment of all Papua development activities, weak coordination between Papuan development actors, especially internal government, policy inconsistencies due to vacancies and legal overlap, Papua Development Policy still applies a top-down approach, Abuse and governance of the budget.bad.

 

Keywords: special autonomy of Papua, government policy, conflict

 

Pendahuluan

Salah satu ketentuan dalam Bab VI (enam) Undang-Undang Dasar1945 tentang Pemerintahan Daerah adalah persoalan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Sebagaimana yang datur dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, yang mengatakan: �Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus ataubersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang (Indonesia & ATAS, 2001).� Salah satu daerah yang mendapatkan khususan tersebut adalah Provinsi Papua. Kekhususan tersebut diakomodir melaIui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Jika melihat sejarah lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua disebabkan olehmunculnya aspirasi Papua Merdeka oleh masyarakat Papua mulai dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2000.Aspirasi ini muncul dikarenakan 3 penyebab utama yakni: 1) Sejarah integrasi politik Papua; 2) Telah terjadinya berbagai kekerasan Negara dan Pelanggaran HAM terhadap orang Papua dan 3) Kegagalan Pembangunan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan infrastruktur. Namun, sebagai jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat Papua tersebut Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagai kebijakan nasional.

Kebijakan otonomi khusus merupakan jawaban Pemerintah untuk meredusir berbagai persoalan yang muncul sejak bergabungnya Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI) beserta dinamika sosial dan politik termasuk tuntutan untuk melepaskan diri dari Indonesia. Semangat dasar penawaran Otonomi Khusus Papua oleh Pemerintah Pusat kepada rakyat Papua adalah untuk meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua dalam berbagai segi pembangunan agar meminimalisir aspirasi Politik orang Papua untuk keluar dari Indonesia dan aspirasi pelanggaran (Berat) HAM Papua selama 40-an tahun hingga sampai dengan saat ini.

Kebijakan Pemerintah Pusat dibawah payung hukum UU Otsus Papua ini, dinilai belum memberikan dampak siginifikan. Sejak 20 tahun implementasi Otsus di Papua, pendekatan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dengan dua model yaitu pendekatan kesejahteraan dan pendekatan keamanan. Dua model pendekatan ini, bagi pemerintah pusat pada saat itu, sebagai solusi untuk menyelesaikan konflik di Papua. Namun, sebaliknya bahkan semakin subur eskalasi kekerasan dan konflik bersenjata di Papua. Berdasarkan hasil riset dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2008, ada empat akar persoalan di Papua yang harus di selesaikan, yaitu; 1) Masalah Marjinalisasi dan efek diskriminasi terhadap orang asli Papua akibat pembangunan ekonomi, konflik politik dan migrasi massal ke Papua sejak tahun 1970, 2) kegagalan pembangunan terutana dibidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. 3), adanya kontradiksi sejarah dan kontruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta. 4), pertanggung jawaban atas kekerasan negara dimasa lalu terhadap warga negara Indonesia di Papua (Widjojo, Amiruddin, Pamungkas, & Dewi, 2008).

Kebijakan politik hukum yang diambil oleh pemerintah pusat untuk menyelesaikan konflik Papua selalui bersifat top down. Bersifat top down artinya bahwa setiap keputusan kebijakan dibentuk oleh para pejabat pemerintah pusat dan implementasi kebijakan yang dilakukan secara tersentralisir atau terpusat. Bukan kebijakan yang bersifat botten up. Dimana pengambilan kebijakan berdasarkan masukan atau aspirasi murni dari rakyat dan kemudian disusun serta direalisasikan oleh pemerintah. Selain itu, juga karena tidak berlandaskan pada sikap saling percaya sehingga mengakibatkan sikap saling curiga antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua.

Selama 20 tahun implementasi UU Nomor 2 tahun 2021 perubahan kedua atas UU nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, tidak memberikan dampak signifikan bagi pembangunan di Papua.Pembangunan menjadi prioritas utama dari implementasi Otsus di Papua, dengan berbagai kebijakan strategi nasional untuk mengatasi berbagai persoalan di Papua. Pendekatan pembangunan yang dilakukan oleh Pemerinta pusat dalam menyelesaikan masalah di Papua adalah dengan pendekatan kesejahteraan dan pendekatan keamanan. Dua pendekatan ini, dalam implementasinya tidak memberikan dampat positif secara signifikan di Papua. Bahkan sebaliknya , yaitu memperkeruh eskalasi kekerasan di Papua.

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, penulis tertarik untuk melakukan kajian analisis dengan judul: �Kajian konseptual Kebijakan Pemerintah Pusat untuk menyelesaikan konflik Papua di Indonesia (Prespektif UU Otsus Papua)�.

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana konsep kebijakan Pemerintah Pusat untuk menyelesaikan konflik Papua di Indonesia (Prespketif UU Otsus Papua).

 

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu melukiskan fakta-fakta dengan bahan hukum primer, sekunder dan tersier (Soekanto & Mamudji, n.d.). Dengan jenis penelitian normatif atau bentuk penelitian dengan melihat studi kepustakaan (library research), karena penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan Pustaka baik berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah a) Teori Negara Hukum; dalam konteks Negara Hukum di Indonesia dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan; �Negara Indonesia adalah Negara Hukum�. b) Teori L.M. Friedman, efektif atau tidaknya penegakan hukum dilihat dari 3 komponen yaitu; Struktur, subtansi dan kultur hukum.

 

Hasil dan Pembahasan

1.   Kebijakan Pemerintah Pusat

Kebijakan Pemerintah Pusat pada hakikatnya merupakan kebijakan yang ditujukan untuk publik dalam pengertian yang seluas-luasnya (negara, masyarakat dalam berbagai status serta untuk kepentingan umum), baik itu dilakukan secara langsung maupun tidak secara langsung yang tercermin pada berbagai dimensi kehidupan publik. Kebijakan pemerintah pada hakikatnya merupakan kebijakan yang ditujukan untuk publik dalam pengertian yang seluas-luasnya (negara, masyarakat dalam berbagai status serta untuk kepentingan umum), baik itu dilakukan secara langsung maupun tidak secara langsung yang tercermin pada berbagai dimensi kehidupan publik. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah sering disebut sebagai kebijakan publik.

Kebijakan dalam pengertian pilihan untuk melakukan atau untuk tidak melakukan mengandung makna adanya kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan, kehendak mana dinyatakan berdasarkan otoritas yang dimiliki untuk melakukan pengaturan dan jika perlu dilakukan pemaksaan. Pernyataan kehendak oleh otoritas dikaitkan dengan konsep pemerintah yang memberikan pengertian atas kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah yang disebut sebagai kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah dapat berkonotasi sebagai kebijakan negara ketika pemerintah yang melakukan adalah diarahkan pada pemerintah negara. Kalau kebijakan pemerintah dipahami dari saran yang akan dicapai (diatur) di mana sasarannya adalah publik tidak saja dalam pengertian negara akan tetapi dalam pengertian masyarakat dan kepentingan umum maka kebijakan pemerintah dapat dikategorikan sebagai kebijakan publik.

Kebijakan pemerintah yang dimaksudkan disini adalah kebijakan pemerintah pusat dalam menyelesaikan konflik di Papua sehingga tujuan yang cita-citakan tersebut dapat tercapai dan memberikan dampak signifikan dalam dinamika khidupan masyarakat di Papua. Kebijakan-kebijakan dilakukan oleh pemerintah pusat ini adalah salah satu cara untuk menyelesaikan konflik di Papua. Kebijakan Pemerintah pusat ini dilakukan pada masa Pemerintahan Presiden Megawati, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Salah satu kebijakan pemerintah pusat pada masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri sampai dengan Presiden Jokowi adalah melalui regulasi tentang kebijakan tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteran bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

2.   Implementasi Kebijakan Pemerintah dalam Pembangunan Papua

Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana yang termuat dalam Pasal 1 (3)UUD 1945 yang menyatakan bahwa �Negara Indonesia adalah Negara Hukum�. Maka setiap kebijakan berlandaskan pada amanat konstitusi 1945 dan Pancasila. Dalam konteks Papua, Pembangunan di Tanah Papua dilaksanakan sebagaimana yang diamanatkan konstitusi UUD 1945 dan Pancasila. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh rumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerndekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, merupakan amanat konstitusi UUD 1945 sebagai pilar pembangunan di Tanah Papua. Pembangunan di Papua oleh Kementerian PPN /Bappenas RI mengklasifikasikan dalam 4 pilar pembangunan Indonesia 2045 dalam acara penyusunan konsep RIPPP ( Jayapura dan Manokwari, 17 & 19 Januari 2022), yakni; a) Manusia Indonesia unggul, berbudaya dan menguasai iptek, b) ekonomi maju dan berkelanjutan, c) pembangunan merata dan inklusif , d) negara demokratis, kuat dan bersih.

Sejak 20 tahun Implementasi Otonomi Khusus Papua dan berbagai kebijakan pembangunan di Papua belum optimal mengakselerasi tingkat kesejahteraankhususnya Orang Asli Papua (OAP) dan belum mampu menyelesaikan konflik di Papua. Hal ini, disebabkan oleh beberapa masalah utama terkait dengan implementasi kebijakan yang menjadi akar masalah pembangunan di Papua Papua. Pertama; tidaknya grand design pembangunan Papua yang berjangka Panjang dan mengkat komitmen seluruh aktir pembangunan Papua. sejauh ini paying kebijakan untuk Papua adalah UU Otonomi Khusus Papua dengan turunannya untuk mempercepat pembangunan berupa pedoman kerja pemerintah dalam bentuk perpres atau inpres. Namun pemerintah tidak memiliki rancangan induk yang menjabarkan secara detail-operasional tentang bagaimana perencanaan, implementasi, pengawasan, serta target-terget pembangunan Papua berjalan dalam jangka Panjang. Selain itu, pemerintah tidak memiliki desain yang berisikan tentang peran pembangunan apa dan bagaimana kolaborasi dilakukan oleh masing-masing aktor pembangunan, khususnya pemerintah pusat dan daerah (Elisabeth, 2021).

Kebijakan percepatan pembangunan Papua kerap mengamanatkan penyususnan rencana aksi untuk pembangunan Papua yang mengacu pada RPJMN dan Rencana Pembangunan Jangka Menengan Provinsi (RPJMP), namun RPJMN dan RPJMP bukanlah grand design karena keduanya memiliki periode waktu yang singkat, hanya lima tahun sesuai dengan periode waktu pad asatu periode pemerintahan saja. Padahal, Kerjasama dan pelaksanaan pembangunan Papua tidak bisa hanya dilakukan dalam kurun waktu yang singkat dan perlu berkesinambungan antar periode pemerintahan. Tidak hanya itu, RPJMN atau bahkan, rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN) yang menjadi pedoman pembangunan untuk kurun waktu 20 tahun juga tidak bisa diposisikan sebagai grand design pembangunan Papua karena berisi program pembangunandi Indonesia yang berlaku sangat umum dan tidak secara detail operasional membahasa spesifik pembangunan Papua. Sementara itu, RPJPP dan RPJMP juga tidak bisa dapat diposisikan sebagai grand design karena subtansinya yang berfokus pada kerja pemerintaha daeraj, yakni pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Padahal grand design harus membicarakan kolaborasi dan kordinasi seluruh actor (perencana dan pelaksana) pembangunan di Papua.

Absenya rancangan induk pembangunan di Papua menjadikan kebijakan percepatan pembangunan disusun berdasarkan prioritas dari masing-masing kepala pemerintahan dalam melalui Peraturan Presiden (Perpres) atau Instruksi Presiden (Inpres). Oleh karena itu, Inpres 5/2007, Perpres 65/2011, Inpres 9/2017 dan inpres 9/2020 diterjemahkan sebagai landasan umum membuat program dari kementerian teknis pada pemerintah pusat dan juga dinas daerah (Elisabeth, 2021).

Situasi saat ini, memperlihatkan adanya kekosongan grand design pembangunan sebagai satu kebijakan rujukan yang mengatur langkah-langkah strategis pembangunan di Papua dalam jangka Panjang dan mengikat komitmen para aktor pembangunan. Padahal Papua sebagai wilayah yang paling terbelakang tingkat pembangunannya dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia, serta memiliki karakteristik konflik yang patut mendapatkan perhatian khusus terkait dengan sasaran dan rencana pembangunan yang spesifik, mendetail, dan tersusun matang. Hal ini penting sebagai dasar koordinasi dan kerjasama lembaga, baik itu pemerintah ataupun non-pemerintah dalam bekerja untuk membangun Papua.

Kedua; koordinasi lemah antar aktor pembangunan Papua, khususnya internal pemerintah. Upaya percepatan telah membawa konsekuensi besarnya anggaran dan beragamnnya program yang dijalankan di tanah Papua. Pemerintah Pusat dan daerah memiliki tanggungjawab pengelolaan anggaran dan program masing-masing yang berbeda. Sudah sepatutnya, sebagai sesama bagian lembaga eksekutif, pemerintah pusat dan daerah saling bersinergi dan koordinasi untuk menjalankan pembangunan di Papua. Namun, demikian, hal tersebut tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Persoalan koordinasi yang lemah tidak hanya terjadi di dalam relasi pusat-daerah saja, tetap juga berlangusung antar institusi di level pemerintahan yang sama (antar K/L atau antar dinas) karena ego sektoral masing-masing institusi. Masalah koordinasi juga berlangsung antar dinas di dalam lingkungan pemerintahan daerah di Papua. Lemahnya kerja koordinatif antar lembanga pemerintah seperti ini tentu sangat berpengaruh terhadap hasil pembangunan yang tidak optimal menjadi hal yang disesalkan, jika problem yang telah disadari sejak lama hingga saat ini belum juga menemui titik akhir.

Ketiga; inkonsistensi kebijakan akibat kekosongan dan tumpang tindih hukum. Undang-Undang Otsus Papua menjadi sebuah kebijakan Politik hukum yang bersifat khusus yang memberikan kewenangan besar bagi Pemerintah Daerah untuk mengelola pembangunan di Papua dan papua Barat. UU Otsus juga memberikan alokasi dana khusus yang menjadi sumber utama untuk percepatan pembangunan di tanah Papua. Namun, kekhususan yang ada pada UU Otsus nampaknya secara berangsur-angsur banyak yang tidak berjalan karena implementasinya yang kemudian mengacu pada regulasi nasional yang bersifat nasional (umum)(Enembe, 2016). Hal ini terjadi akibat kekosongan Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang seharusnya menjadi aturan turunan dan mengatur hal-hal teknis dari yang dihendaki oleh Otsus Papua.

Jika berujuk pada pasal-pasal yang berfokus pada isu pembangunan sosial-ekonomi di dalam UU Otsus Papua, maka terdapat tujuh perdasi/perdasus di Provinsi Papua dan 16 perdasus/ perdasi di Provinsi Papua Barat yang seharusnya sudah ada untuk menunjang pembangunan di Papua namun belum terealisasi. Sementara itu, setidaknya empat dalam UU Otsus Papua yang sepatutnya diatur di dalam peraturan teknis setingkat PP juga belum terlaksanahingga hari ini, termasuk tentang fasilitasi pemerintah pusat melalui pemberian pedoman, pelatihan dan supervisi, pengawasan represif terhadap perdasus, perdasi, dan keputusan gubernur, pengawasan fungsional terhadap penyelenggaan pemerintahan daerah serta evaluasi pelaksanaan UU Otsus Papua. Kekosongan peraturan teknis yang seharusnya menjabarkan amanat kekhususan Otsus Papua tentu saja menjadi persoalan besar. Tanpa aturan teknis ini, maka apa yang diatur di dalam UU Otsus dapat tidak terlaksana dan/atau kehilangan marwah kekhususannya. Situasi ini pada akhirnya akan menghambat pembangunan di Papua.

Keempat; Kebijakan Pembangunan Papua masih menerapkan pendekatan top-down, atau seharunya dimaknai sebagai kebijakan yang dibuat semata-mata oleh keputusan pemerintah (utamanya di lewel pusat) tanpa pertimbangan dan tidak melibatkan public dan/atau level pemerintahan dibawahnya. Kebijakan untuk Papua yang bersifat top-down lekat dengan kebijakan yang diterapkan pad amasa orde baru, misalnya, melalui penerapan rencana pembangunan lima tahun (Repelita), Daerah Operasi Militer (DOM), hingga kebijakan Transmigrasi. Setelah berakhirnya Orba, orientasi kebijakan top-down mulai diubah dengan menerapkan pendekatan botton-up yang memberi ruang lebih besar kepada pemerintah daerah dan public untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan dan program pemerintah untuk Papua. Misalnya; sejak 2017 mulai diselenggarakan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrembang) Otsus Papua berbasis wilayah adat di Papua dan Papua Barat untuk melibatkan publik luas dalam pemanfaatan program dan dana Otsus Papua. Meski ada upaya berubah, kebijakan top-down tidak lantas berhenti dan masih terus berlangsung di Papua hingga hari ini.

Salah satu ciri mendasar dari kebijakan top-down adalah lemahnya pelibatan publik dan/atau pemerintah pada level di bawah pembuat kebijakannya. Rendahnya partisipasi publik terutama masyarakat Papua di tujuh (7) wilayah adat. Dalam kebijakan top-down akan berakibat pada dua (2) hal yakni; Kebijakan tidak sesuai dengan kebutuhan dan nilai masyarakat, serta menimbulkan rasa keterasingan hingga tidak berhasil menciptakan rasa memiliki (ownership) yang kuat terhadap kebijakan itu. Halini kemudian berakhir pada dukungan yang lemah terhadap kebijakan itu, dan bahkan bisa jadi muncul penolakan terhadap kebijakan itu.

Kelima; Penyalahgunaan dan tata Kelola anggaran yang buruk. Anggaran merupakan salah satu elemen program pembangunan yang sangat penting karena tanpa anggaran yang cukup, maka program pun tidak mungkin terimplementasi dengan baik. Dari aspek kuantitas jumlah anggaran, tidak dapat dipungkiri bahwa alokasi anggaran pemerintah untuk pembangunan Papua sangatlah besar. Namun demikian, hal yang masih menjadi solah adalah pengelolaan anggaran yang belum optimum dilakukan dan memiliki banyak celah masalah. Persooalan penganggaran ini, di antaranya terlihat dari laporan pertanggungjawaban keuangan yang masih menunjukan banyak masalah menajemen pengelolaan anggaran, alokasi anggaran yang tidak sesuai Amanah kebijakan serta penyalahgunaan anggaran pembangunan Papua.

Baik buruknya manajemen pengelolaan keuangan oleh pemerintah daerah dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk kualitas kapasitas sumber daya manusia (SDM) dilingkungan birokrasi daerah, pengawasan pengelolaan keuangan, penerimaan transfer pusat oleh daerah dan lainnya. Misalnya; Provinsi Papua dinilai kurang optimal dalam melalkukan pengelolaan dana Prospek karena adanya persoalan keterbatasan kapasitas SDM pengelola keuangan di tingkat distrik dan kampung (Aziz, 2018). Persoalan SDM yang kemudian bersinggungan dengan fungsi pengawasan pengelolaan keungan juga terjadi karena terbatasnya jumlah aparat pengawasan internal (Inspektorat) hanya berjumlah 19 orang untuk mengawasi 51 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Selain itu, ada juga masalah lain yang seringkali mempengaruhi kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola dana APBD, khususnya dana Otsus Papua yakni; terlambatnya dana Otsus dari Pemerintah Pusat.

 

Kesimpulan

Kajian kebijakan Pemerintah pusat dalam menyelesaikan konflik Papua di Indonesia dalam prespektiff UU Nomor 2 tahun 2022 perubahan kedua atas UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua adalah bahwa sejak 20 Tahun Implementasi Otsus Papua, tidak memberikan dampak signifikan di Papua. Implementasi Otonomi Khusus Papua dan berbagai kebijakan pembangunan belum optimal mengakselerasi tingkat kesejahteraankhususnya Orang Asli Papua (OAP) di Papua dan belum mampu menyelesaikan konflik di Papua. Ada beberapa masalah utama terkait dengan implementasi kebijakan yang menjadi akar masalah pembangunan Papua, diantaranya : tidaknya grand design pembangunan Papua yang berjangka Panjang dan mengkat komitmen seluruh aktir pembangunan Papua, koordinasi lemah antar aktor pembangunan Papua, khususnya internal pemerintah, inkonsistensi kebijakan akibat kekosongan dan tumpang tindih hukum, Kebijakan Pembangunan Papua masih menerapkan pendekatan top-down, Penyalahgunaan dan tata Kelola anggaran yang buruk.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Aziz, Nyimas Latifah Letty. (2018). Dinamika Pengawasan Dana Otonomi Khusus Dan Istimewa. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Google Scholar

 

Elisabeth, Adriana. (2021). Mosaik Cenderawasih-Pembangunan Dan Kesejahteraan Di Tanah Papua. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Google Scholar

 

Enembe, Lukas. (2016). Papua, Antara Uang Dan Kewenangan. Rmbooks. Google Scholar

 

Indonesia, Pemerintah Republik, & Atas, Perubahan Kedua. (2001). Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Jakarta. Google Scholar

 

Soekanto, Soerjono, & Mamudji, Sri. (N.D.). Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Rajawali, 1985). See Also Roni Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 4�15. Google Scholar

 

Widjojo, Muridan S., Amiruddin, Al Rahab E., Pamungkas, Cahyo, & Dewi, Rosita. (2008). Papua Road Map. Indonesian Institute Of Sciences, Jakarta. Google Scholar

 

Copyright holder:

Methodius Kossay (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: