Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 5, Mei 2022
KLINEFELTER
SYNDROME
Ari Fuad Fajri
Bagian Obstetri
dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RSUP
dr. M. Djamil Padang, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Sindrom Klinefelter merupakan kelainan
kromosom seks yang paling banyak terjadi, disebabkan adanya kromosom X tambahan pada laki-laki. Penampilan klinis pasien hampir
tidak berbeda dengan mereka yang berkariotip normal, tanpa gejala klinis yang khas selama masa anak-anak, sehingga diagnosis baru dapat ditegakkan
saat remaja atau dewasa muda.
Mengetahui penegakan diagnosa pada anak-anak dengan Sindrom Klinefelter. Sebuah laporan kasus, seorang anak-anak usia 1 tahun datang ke
Poli Fertilitas-Endokrin Reproduksi
konsultasi dari Poliklinik Bedah Urologi dengan diagnosa Sindrom Klinefelter. Pemeriksaan fisik didapatkan mikropenis dan tidak teraba kedua
testis. Dari Ultrasonografi perabdominam
tidak ditemukan organ
genitalia interna wanita, dan hasil
analisa kromosom : 47,XXY. Pemeriksaan penunjang organ genitalia pada anak-anak
yang didiagnosa dengan ambigu genitalia adalah USG
abdominal, Hydrosonovaginography, transperineal,
MRI rongga pelvis, dan analisa
kromosom.
Kata kunci: ambigu
genitalia, sindrom klinefelter,
hydrosonovaginograph
Abstract
Keywords: ambiguous genitalia, klinefelter
syndrome, hydrosonovaginography
Pendahuluan
Sindrom Klinefelter merupakan kelainan kromosom seks yang paling banyak terjadi dengan prevalensi 1 pada 500 sampai 640 pria, disebabkan adanya kromosom X tambahan pada laki-laki (47,XXY) sebanyak 90%, dan 10% dengan Mosaic Sindrom klinefelter (47,XXY/46,XY) (Allan CA, 2019; chan Y-m, Hannema se, Achermann jc, 2019; Matsumoto Am, 2020). Terjadi pada proses nondisjunction Meotic, sering terjadi pada Meosis I. disebut juga dengan kondisi Primary gonadal failure (hypergonadotrophic hypogonadism) (Chen et al., 2020; Matsumoto Am, 2020; Richard Nithiphaisal Yu M, PhD, 2017).
Fenotipe kondisi testis berukuran kecil, ginekomastia, kondisi eunuchoidism berbagai varian, dan peningkatan eksresi hormon gonadotropin ditemukan pada tahun 1942 oleh Klinefelter dan rekan-rekan. Kemudian pada tahun 1959 ditemukan kariotipe 47,XXY, sehingga dinamakan sindrom klinefelter. Estimasi lebih dari 50% pria tidak terdiagnosis, hanya 10% yang terdiagnosa saat usia anak-anak,� dan 90% diantaranya terdiagnosa pada usia postpubertas (Akcan, Poyrazoğlu, Baş, Bundak, & Darendeliler, 2018). Penampilan anak laki-laki pasien Sindrom Klinefelter hampir tidak berbeda dengan mereka yang berkariotip normal, tanpa gejala klinis yang khas selama masa anak-anak, sehingga diagnosis baru dapat ditegakkan saat remaja atau dewasa muda.
Metode Penelitian
Laporan kasus seorang pasien anak-anak usia 1 tahun dengan diagnosa Klinefelter Syndrome dikonsulkan ke Poli Fertilitas-Endokrin Reproduksi kiriman dari Poliklinik Bedah Urologi dan Endokrinologi Anak. Pasien lahir dengan kelamin yang ambigu dan direncanakan penentuan sex rearing dengan pembentukan tim dari Bagian Anak, Bedah Urologi, dan Obstetri Ginekologi.
Hasil dan Pembahasan
Gejala Klinis
Gejala klinis Sindrom Klinefelter umumnya sangat bervariasi. Dibagi berdasarkan tingkatan usia, sebagai berikut:
�
Anak-anak
Umumnya sulit pada anak-anak dengan Sindrom Klinefelter didapatkan gejala temuan klinis berupa mikropenis dan testis, tumbuh tinggi dan kurus, tetapi kondisi ini biasanya juga ditemukan pada anak-anak normal (Pharthasarathy A, Agrawal R, Shah NK, 2012).
�
Remaja
Gejala yang umum ditemukan pada usia remaja adalah performa sekolah rendah, gangguan prilaku, waktu pubertas biasanya normal, tetapi kadang terlambat, ginekomastia (25% sampai 88%), pertumbuhan pubertas yang tidak lengkap, testis kecil, dan panjang lengan yang melebihi pria normal (Kellner, 1985).
Pasien Sindrom Klinefelter dapat mengalami perkembangan seksual yang normal sebelum pubertas dan memasuki pubertas sesuai waktu dengan fungsi hipofisis-gonadal yang normal. Hal ini dimungkinkan karena pada saat mengalami spermarke (�mimpi basah�), fungsi testikular pasien Sindrom Klinefelter masih relatif normal. Degenerasi testis akan terjadi dengan cepat pada saat pubertas hingga tercapai hialinisasi lengkap tubulus seminiferus, degenerasi sel Sertoli, dan hiperplasia Sel Leydig pada saat dewasa. Testis dapat teraba lebih keras karena terjadi fibrosis tubulus seminiferus (Kellner, 1985).
�
Dewasa
Secara umum mengalami keluhan yang sama dan disertai dengan azoospermia. Ukuran pada pria dengan Klinefelter Sindrom klasik biasanya dengan testis ukuran kecil (<3ml) dan keras.3 Pria dengan Sindrom Klinefelter sangat beresiko terjadinya gangguan endokrin (diabetes mellitus, hipotiroid, dan hipoparatiroid), keganasan (karsinoma payudara, limfoma non-Hodgkin), penyakit autoimun (lupus eritematosus sistemik, sindrom Sj�gren, dan artritis reumatoid), gangguan intelektual dan psikiatri (keterlambatan bicara dan berbahasa, berkurangnya daya ingat, ansietas, neurosis, psikosis dan depresi), dan tromboemboli (varises vena, trombosis vena dalam, dan emboli paru akibat stasis vena).
����������� Temuan klinis pada pasien ini yaitu pada testis didapatkan jenis kelamin yang ambigu, mikropenis dengan ukuran � 2 cm, tidak teraba testis kiri dan kanan.
Gambar 1
Genitalia eksterna pasien Sindrom Klinefelter
Diagnostik
Penegakan diagnosa pada pasien anak-anak dengan ambigu genitalia sangat beragam, Ultrasonografi (USG) merupakan metode lini pertama dalam pemeriksaan kelainan pada organ genitalia interna karena kualitas gambar yang bagus tanpa menggunakan bahan kontras mengandung radiasi dan tidak memerlukan sedasi atau anestesi (Gould & Epelman, 2015). �Penggunaan USG Transvaginal menampilkan hasil lebih baik, tetapi tidak bisa dilakukan pada pasien pediatri.
Salah satu cara untuk melihat patensi vagina atau konfirmasi ada atau tidaknya massa di vagina dengan menggunakan USG pada anak adalah Hydrosonovaginography, USG Transperineal untuk melihat adanya kemungkinan malformasi urogenital, hydrometrocolpos, massa labial, atau atresia anal (Paltiel & Phelps, 2014).
USG transabdominal dilakukan untuk penilaian uterus dan
ovarium, dimana sebelum dilakukan tindakan USG pasien harus dalam
kondisi hidrasi yang diketahui dengan terisinya kandung kemih pasien. Ukuran
dari uterus sesuai dengan usia anak-anak.
Sedangkan ukuran ovarium
pada anak-anak biasanya
sangat kecil. Karena dengan
kondisi dengan tangkai yang panjang dan rongga pelvis yang kecil, maka dapat ditemukan
dimana saja diantara bawah ginjal dan dasar panggul.
Pada beberapa kondisi yang memerlukan akurasi tinggi dalam penegakan diagnosa dan melihat letak kongenitalnya, maka Magnetic
Resonance Imaging (MRI) merupakan opsi selanjutnya dan menjadi Gold Standart pada pemeriksaan pasien dengan suspek
M�llerian Fuct
Anomalies. Dengan menggunakan
MRI maka akan lebih tampak jelas
organ genitalia interna dibandingkan dengan USG (Gould & Epelman, 2015).
Pemeriksaan Endokrin pada pasien Sindrom Klinefelter baru disarankan setelah usia usia 12-14 tahun. Hal ini dikarenakan meskipun fungsi endokrin testikular yang sudah menurun sejak janin, fungsi hipofisis-gonadal pasca-natal pasien Sindrom klinefelter dapat normal hingga pubertas. Baru setelah usia 12-14 tahun, terjadi peningkatan kadar FSH dan LH. hal ini dikarenakan disfungsi pada Sel Leydig dan Tubule Seminiferous.
Penegakan diagnosa utama pasien dengan Sindrom Klinefelter adalah dengan pemeriksaan analisis kromosom.
Pasien ini dilakukan pemeriksaan USG transabdominal untuk melihat organ genitalia interna tetapi tidak ditemukan uterus, adnexa dan ovarium. Selain itu telah dilakukan USG skrotum oleh Bagian Radiologi, didapatkan kesan tidak tampak kontur testis pada scrotum, inguinal, dan pelvis. Dan dilakukan pemeriksaan analisa kromosom pada pasien dengan didapatkan hasil 47,XXY (Sindrom Klinefelter).
Gambar 2
Hasil Pemeriksaan Analisa Kromosom
Tatalaksana
Prinsip tatalaksana
pasien dengan Sindrom Klinefelter adalah penegakan diagnosa sesegera mungkin, yaitu pada masa prenatal. Penegakan
diagnosa awal akan dapat memonitor
komorbid-komorbid yang akan
muncul.7
Tindakan pengobatan dapat dilakukan pada usia diatas 3 tahun. Tatalaksana yang dapat dilakukan pada usia 3 tahun yaitu:(Brough & Nataraja, 2011)
1.
Pengobatan Cryptorchidism segera
2.
Terapi bicara
3.
Penatalaksanaan pemberian
nutrisi untuk mineralisasi tulang dan metabolik sindrom
4.
Pemberian infomasi
secara awal dengan kondisi genital anomaly kepada orang tua.
Langkah strategi pada penatalaksanaan pasien dengan Sindrom Klinefelter:(Shiraishi
& Matsuyama, 2019)
Gambar 3
Gejala
Dan Strategi Manajemen Pasien
Dengan Ks13
Pengganti testosterone Hormon
Keputusan untuk memulai terapi
penggantian androgen tergantung
pada penilaian klinis dan konfirmasi biokimia. Tidak ada penelitian
yang telah dilakukan untuk memberikan panduan mengenai waktu inisiasi testosteron, tetapi sebagian besar menyarankan bahwa setelah kondisinya dikenali, pengobatan harus dimulai selama
masa pubertas untuk memastikan perkembangan normal dengan teman sebaya.
Beberapa literatur menyarankan dilakukan rentang usia 11-12 tahun (Brough & Nataraja, 2011).
Dosis testosterone: Intramuskular
injeksi atau penggunaan skin
patches dimulai pada saat
pasien memaskui usia pubertas. Tindakan ini membantu perkembangan
seksual sekunder tetapi tidak meningkatkan
kemampuan fertilitas. Dosis ditingkatkan sampai level hormon estrogen,
testosterone, FSH, dan LH normal.12 Samango-Sprouce et
al (2013) melakukan penelitian
retrospektif pada 34 anak dengan Sindrom Klinefelter yang diobati dengan testosterone 25mg/
bulan selama 3 bulan pada usia 4-15 bulan untuk pengobatan
mikrophallus. Pada saat usia mereka 3-6 tahun dilakukan pemeriksaan neurokognitif dan didapatkan perubahan secara signifikan pada domain neurokognitif multipel seperti kemampuan berbahasa dan neuromotor dibandingkan
dengan pasien yang tidak diobati. Pada saat usia 9-11 tahun, pada anak-anak yang mendapatkan testosterone lebih sedikit yang mengalami gangguan perilaku dan peningkatan kemampuan sosial (Lizarazo AH, McLoughlin M, 2019).
Selain
itu, pemberian hormon testosterone dapat menekan proses residual spermatogenesis dan menyebabkan prognosa buruk untuk keberhasilan
intracytoplasmic
sperm injection dengan tingkat keberhasilan 40%-50%.2 sehingga salah satu opsi yang disarankan adalah semen storage
jika memungkinkan, atau surgical extraction� sebelum
dilakukan pengobatan.
Intervensi Operasi
����������� Ginekomastia pada pasien Sindrom Klinefelter dilakukan tindakan operasi. Selain itu disarankan
untuk penatalaksanaan infertilitas pasien dengan metode aspirasi
sperma dalam testis dan Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI).8,12
Pada pasien ini dilakukan pembentukan tim dan rapat bersama oleh bagian Endokrinologi Anak, Bedah Urologi, dan Obstetri Ginekologi. Didapatkan kesimpulan akan dilakukan scrotoplasty pada usia presekolah (4-5 tahun) atas indikasi estetika oleh Bedah Urologi dan dilakukan evaluasi berkala setiap 6 bulan sampai masuk usia pubertas.
Kesimpulan
Sindrom Klinefelter merupakan salah satu kondisi ambigu genitalia dengan kelainan kromosom seks yang paling banyak terjadi, hal disebabkan adanya kromosom X tambahan pada laki-laki. Diperlukan penegakan diagnosa sesegera mungkin untuk penatalaksanaan yang komprehensif.
Pemeriksaan penunjang lini pertama pada organ genitalia interna pada pasien anak-anak yaitu USG transabdominal, Hydrosonovaginography, USG Transperineal. Opsi selanjutnya yang lebih akurat yaitu MRI. Pemeriksaan analisis kromosom merupakan yang paling utama utuk penegakan diagnosa pada pasien dengan suspek Sindrom Klinefelter.
Laporan kasus: seorang pasien anak-anak usia 1 tahun dengan diagnosa Klinefelter Syndrome dikonsulkan ke Poli Fertilitas-Endokrin Reproduksi kiriman dari Poliklinik Bedah Urologi dan Endokrinologi Anak. Dari pemeriksaan klinis didapatkan jenis kelamin yang ambigu, mikropenis, dan tidak teraba testis. Pemeriksaan USG transabdominal tidak ditemukan organ genitalia interna, USG scrotum tidak ditemukan testis, dan hasil analisa kromosom didapatkan 47,XXY (Sindrom Klinefelter).
Akcan, Neşe, Poyrazoğlu,
Şï¿½kran, Baş, Firdevs, Bundak, R�veyde, & Darendeliler, Feyza.
(2018). Klinefelter Syndrome In Childhood: Variability In Clinical And
Molecular Findings. Journal Of Clinical Research In Pediatric Endocrinology,
10(2), 100. Google Scholar
Allan Ca, Mclachlan Ri. (2019).
Klinefelter�s Syndrome, Androgen Deficiency Disorders. Elsevier.
Brough, Helen A., & Nataraja, Ram.
(2011). Rapid Paediatrics And Child Health (Vol. 23). John Wiley &
Sons. Google Scholar
Chan Y-M, Hannema Se, Achermann Jc, Hughes
Ia. (2019). Disorders Of Sex Development: Klinefelter Syndrome. Elvesier.
Chen, Wei, Bai, Ming Zhu, Yang, Yixia, Sun,
Di, Wu, Sufang, Sun, Jian, Wu, Yu, Feng, Youji, Wei, Youheng, & Chen,
Zijiang. (2020). Art Strategies In Klinefelter Syndrome. Journal Of Assisted
Reproduction And Genetics, 37(9), 2053�2079.
Google Scholar
Gould, Sharon W., & Epelman, Monica.
(2015). Magnetic Resonance Imaging Of Developmental Anomalies Of The Uterus And
The Vagina In Pediatric Patients. Seminars In Ultrasound, Ct And Mri, 36(4),
332�347. Elsevier. Google Scholar
Kellner, Robert. (1985). Functional Somatic
Symptoms And Hypochondriasis: A Survey Of Empirical Studies. Archives Of
General Psychiatry, 42(8), 821�833. Google Scholar
Lizarazo Ah, Mcloughlin M, Vogiatzi Mg.
(2019). Endocrine Aspects Of Klinefelter Syndrome. Current Opinion In
Endocrinology, Diabetes, And Obesity. 26(1), 60�65. Google Scholar
Matsumoto Am, Anawalt Bd. (2020). Williams
Textbook Of Endocrinology. Elsevier.
Paltiel, Harriet J., & Phelps, Andrew.
(2014). Us Of The Pediatric Female Pelvis. Radiology, 270(3),
644�657. Google Scholar
Pharthasarathy A, Agrawal R, Shah Nk,
Yewale Bn. (2012). Iap Color Atlas Of Pediatrics. Jaypee Brothers Medical
Publishers.
Richard Nithiphaisal Yu M, Phd, David
Andrew Diamond M. (2017). Disorders Of Sexual Development: Etiology,
Evaluation, And Medical Management. Elsevier, 990�1020.
Shiraishi, Koji, & Matsuyama, Hideyasu.
(2019). Klinefelter Syndrome: From Pediatrics To Geriatrics. Reproductive Medicine
And Biology, 18(2), 140�150. Google Scholar
������������������������������������������������
Copyright holder: Ari Fuad Fajri (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |