Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN:
2548-1398
Vol.
7, No. 5, Mei 2022
POTENSI KONFLIK AGRARIA DARI LAHIRNYA UNDANG-UNDANG
CIPTA KERJA
Ananda
Failasufa Rachman, Arsin Lukman
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Indonesia
Universitas
Indonesia, Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Indonesia sebagai
negara yang mengakui supremasi
hukum mengisyaratkan adanya keadilan penegakan hukum, disamping itu hukum
juga harus ditegakkan secara professional, berintegritas
dan akuntabel, sehingga sistem penegakan hukum yang ada harus berjalan efektif agar mampu menyelesaikan segala permasalahan hukum yang terjadi di masyarakat. Akhir tahun 2020 menjadi masa lahirnya aturan perundang-undangan baru yakni UU 11/2020 atau UU Ciptaker yang membawa banyak pro dan kontra, tak terkecuali dari segi bidang
pertanahan atau agraria. Dilakukan penulisan yang bertujuan untuk mengetahui potensi konflik agrarian dari lahirnya UU Ciptaker, dengan metode hukum normatif
dengan inventarisir hukum positif. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder melalui studi kepustakaan,
untuk kemudian dikumpulkan dan dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menyatakan bahwa adanya UU Ciptaker memang cukup banyak
membawa potensi konflik di bidang agraria, karena secara substansi UU Ciptaker mempermudah para pengusaha dan pemerintah salah satunya dengan regulasi perizinan yang dipermudah, namun disisi lain menjatuhkan masyarakat yang tidak memiliki kekuatan untuk menerima keadaan khususnya para petani. Masih ditemukan ketimpangan masalah kepemilikan tanah, yang mengakibatkan kesejahteraan masyarakat sulit tercapai.
Kata Kunci: UU ciptaker; konflik
agrarian; investor
Abstract
Indonesia as a country that recognizes the rule of law implies justice in
law enforcement, besides that the law must also be enforced professionally,
with integrity and accountability, so that the existing law enforcement system
must run effectively in order to be able to resolve all legal problems that
occur in society. The end of 2020 was the time for the birth of new laws and
regulations, namely Law 11/2020 or the Ciptaker Law
which brought many pros and cons, not least in terms of the land or agrarian
sector. The purpose of writing is to determine the potential for agrarian
conflicts from the birth of the Ciptaker Law, using
the normative legal method with a positive legal inventory. The data used in
this research is secondary data through literature study, and then collected
and analyzed descriptively qualitatively. The results of the study stated that
the existence of the Ciptaker Law brought quite a lot
of potential for conflict in the agrarian sector, because substantially the Ciptaker Law made it easier for entrepreneurs and the
government, one of which was by simplifying licensing regulations, but on the
other hand it brought down people who did not have the power to accept the
situation, especially farmers. There are still gaps in land ownership issues,
which makes it difficult for community welfare to be achieved.
Keywords: ciptaker law; agrarian conflicts; investors
Pendahuluan
Dari segi hukum atau yuridis,
tanah berperan dalam kehidupan manusia karena dapat melangsungkan hubungan dan juga perbuatan hukum baik secara
individu maupun dengan orang lain, sehingga hukum berperan dalam hal pembuatan
aturan mengenai penguasaan dan penggunaan tanah agar mencegah atau meminimalisir timbulnya konflik yang ada dalam masyarakat,
itulah sebabnya diadakan peraturan yang disebut dengan hukum tanah. Salah satu objek hukum
agraria ialah tanah. Di Indonesia, keberadaan hukum tanah jauh
sebelum lahirnya UUPA, terdapat badan perdagangan ditahun 1602 yang secara terorganisir mampu mempengaruhi sejarah hukum pertanahan yang ada di Indonesia, yakni VOC. Dulu, terjadi dualisme
hukum agraria bahkan pluralism karena disatu sisi peruntukan
hukum agraria adat adalah untuk
pribumi atau penduduk Indonesia asli, sementara disisi lain hukum agraria barat berlaku untuk orang-orang yang tunduk pada hukum barat yang terdiri dari banyak
tingkatan. Dari situlah muncul pluralistik hak atas tanah
yang terdapat di Indonesia (Usman, 2020).
Indonesia yang memiliki maysarakat
dengan bercorak agraris, menentukan bahwa tanah haruslah� dimanfaatkan
untuk sebesar-besarnya kepentingan dan kesejahteraan rakyat, guna mencapai
tujuan negara yakni menjadikan masyarakat adil dan makmur. UUPA dibentuk untuk menjamin kepasian hukum dalam hal
hak-hak atas tanah di Indonesia, sehingga untuk melindungi hak tersebut, diperlukan
adanya pendaftaran tanah dalam konsep
kepemilikan hak atas tanah. Dalam
Pasal 19 ayat 1 dan 2 UUPA diatur mengenai pendaftaran hak atas tanah, yang mana dalam pendaftaran haruslah mencakup kegiatan pengukuran, pemetaan hingga pembukuan tanah, kemudian dilakukan pendaftaran hak atas tanah, dan terakhir kepada pemegang hak diberikan
pemberian surat sebagai tanda hak,
juga berlaku sebagai alat bukti yang kuat dan valid. Pendaftaran tanah ini menjadi
kewajiban bagi pemerintah dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi seluruh rakyat
Indonesia. Lebih lanjut, pengaturan mengenai pendaftaran tanah ada dalam PP No. 10/1961 yang kini memerlukan penyempurnaan karena ketentuan yang ada sebelumnya belum sepenuhnya dapat mendukung tercapainya hasil yang nyata dalam pembangunan nasional (Silitonga, 2017)
Terdapat dua
hal penting yang akan sangat berpengaruh dalam terjadinya sengketa atau konflik
agraria, yakni :
1. Faktor hukum.
Menurut Bernhard Limbong, faktor hukum yang menjadi sumber permasalahan tanah adalah kurang memadainya
regulasi yang ada, kemudian bisa juga disebabkan karena peradilan yang tumpang tindih. Sejalan dengan hal itu,
Soerjono Soekanto juga menyatakan bahwa kebanyakan undang-undang diberlakukan dengan tidak mendasarkan pada asas hukum, juga banyak pemilihan bahasa dan kata dalam peraturan yang bersifat multitafsir sehingga membuat sulitnya penerapan oleh penegak hukum. Dalam penelitian
terdahulu, sebanyak 60% responden menjawab dan beranggapan bahwa fakor hukum ini
cukup berpengaruh terhadap sengketa tanah.
2. Faktor penegak
hukum, hal ini misalnya sifat
ketidakjujuran aparat hingga menyebabkan tidak benarnya data administrasi, oknum BPN yang tidak teliti juga menjadi bagian dari faktor penegak
hukum yang memicu sengketa, padahal mereka dituntut untuk memiliki keterampilan, etika dan juga
moral untuk mencegah dan menyelesaikan sengketa dibidang pertanahan. Dalam teori keadilan
tedapat pemahaman yang disebut fairness yang
artinya semua pihak memiliki hak yang sama untuk
dipndang netral oleh hukum. (Sari, 2020)
Akhir-akhir
ini, banyak masyarakat yang dibuat resah dengan hadirnya
aturan perundang-undangan baru yakni Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja
atau biasa disebut UU Ciptaker. UU Ciptaker memang mendatangkan banyak pro dan kontra, terbukti dengan adanya pengajuan
uji materi dari beberapa pihak berkaitan dengan UU Ciptaker hingga Mahkamah Konstitusi menghasilkan Putusan No.
91/PUU-XVIII/2020 yang pada intinya menyebutkan bahwa UU Ciptaker bertentangan dengan dasar negara, serta tidak memiliki
kekuatan hukum yang mengikat secara bersyarat. Putusan tersebut memberikan tenggang waktu hingga dua bulan
sejak putusan diucapkan agar UU Ciptaker diperbaiki jika ingin diakui sebagai
konstitusi, sebaliknya jika dalam kurun
waktu tersebut pemerintah tidak mampu menyelesaikan perbaikan, UU Ciptaker dibatalkan dan memberlakukan kembali UU yang dicabut atau diubah dengan
adanya UU Ciptaker, disamping itu pemerintah
juga tidak diperkenankan untuk menerbitkan peraturan apapun yang berkaitan dengan UU Ciptaker. (Bbc, 2021)
UU Ciptaker
cukup banyak mempengaruhi aspek kehidupan karena memang banyak hal
yang diubah dari adanya UU Ciptaker, salah satunya bidang hukum pertanahan. Penulis ingin mengetahui
seberapa besar potensi konflik yang ditimbulkan dari adanya UU Ciptaker, khususnya dalam masalah agraria/tanah, sehingga dilakukan penelitian dengan judul Potensi
Konflik Agraria dari Lahirnya Undang-Undang
Cipta Kerja.
Metode Penelitian
Penelitian ini
menggunakan metode hukum normatif yang mana pokok kajian atau
isu hukumnya adalah berlakunya UU Ciptaker. Berfokus pada inventarisir hukum positif, asas dan juga doktrin hukum, penemuan hukum, sejarah hukum dan juga perbandingan hukum. Adapun data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder melalui studi kepustakaan,
untuk kemudian dikumpulkan dan dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Hasil dan Pembahasan
Tahun 2020 adalah
masa dimana pemerintah menerapkan Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Untuk
mencapai efektivitas pemberlakuan UU Ciptaker, pemerintah membuat banyak peraturan pelaksanaan yang salah satunya adalah berkaitan dengan hak pengelolaan,
hak atas tanah, satua rumah
susun serta pendaftaran, dalam PP No.
18/2021. Kemudian pemerintah
menetapkan Permen ATR/BPN
No. 16/2021 yang mengatur tentang
ketentuan pelaksanaan pendaftaran tanah, hal ini cukup
banyak merubah aturan yang ada dalam Permen sebelumnya
yakni Permen ATR BPN No.
3/1977, salah staunya perubahan
berkaitan dengan istilah Kepala Seksi Pengukuran dan Pendataran Tanah diartikan sebagai dua pilihan
peran yaitu kepala seksi survey dan pemetaan sepanjang berkaitan dengan bidang fisik; dan yang kedua adalah kepala
seksi (kasi) penetapan hak dan pendaftaran sepanjang berkaitan dengan bidang yuridis.
Ketentuan UU Ciptaker di bidang agraria berkaitan dengan pertanahan yang mana semangat
yang dibawa adalah dalam hal perizinan
atau persetujuan investor akan hak atas
tanah.
Berdasarkan data yang ada, tercatat bahwa
pemasalahan sengketa tanah dalam masyarakat
semakin hari semakin meningkat. Setiap tahun, terhitung
perkara pertanahan yang masuk ke MA adalah
sekitar 65 hingga 70%, belum lagi perkara
yang selesai ditingkat pertama dan banding. Sengketa pertanahan yang muncul tidak lain karena tanah menjadi komoditas
utama, dengan harga yang cepat naik berlipat ganda hingga 500% dalam waktu sepuluh tahun
saja. Di daerah, seringkali didapati permasalahan dalam pelayanan pertanahan yang mana seharusnya hal ini menjadi faktor
yang harus diperhatikan
oleh pemerintah dalam pelayanan pertanahan di bidang perkebunan, pembangunan dan pertanian. Pertama dibidang perkebunan, begitu banyak orang yang menguasai tanah luas dengan
kepemilikan hak guna usaha yang dikelola hanya sampai pada pembukaan lahan dan juga saat mengajukan persyaratan kredit, hingga banyak penyelenggara perkebunan yang bertolak belakang dengan tanah hak masyarakat
setempat yang pada akhirnya
menyebabkan konflik� pertanahan
yang memanjang. Kemudian dari segi pembangunan,
beberapa tempat yang awalnya menjadikan izin lokasi sebagai
langkah pengendalian pemanfaatan anah, banyak yang memanfaatkannya sebagai alat untuk
menekan rakyat pemilik tanah agar mau menyerahkan tanahnya tersebut kepada perusahaan yang memegang izin lokasi
tadi, akibatnya pemilik tanah asal
tidak lagi memiliki hak sebagai
pemilik hak atas tanah. Kemudian
yang ketiga, dibidang pertanian, begitu banyak tanah pertanian
yang dikuasai tanpa adanya batasan yang memunculkan banyaknya tuan-tuan tanah, sementara disisi lain para petani hanya memiliki tanah yang sempit atau bahkan tidak
memiliki tanah sama sekali. Selain
itu, banyak juga bidang tanah pertanian
yang dimiliki oleh orang-orang yang bukan berprofesi sebagai petani yang mengalihfungsikan lahan pertanian. Ketiga bidang yang disebutkan tadi menjadi cerminan
bahwa ketimpangan masalah kepemilikan tanah masih ditemui
ketidakadilan dan ketimpangan,
yang mengakibatkan kesejahteraan
masyarakat sulit tercapai. (Fitri, 2018)
Hadirnya UU Ciptaker
berpotensi akan memperparah permasalahan agraria di Indonesia, dikatakan
juga sebagai alat hukum untuk mengkriminalisasi
rakyat, dimana UU Ciptaker memberikan kewenangan bagi pemerintah dan juga perusahaan untuk menentukan lokasi pembangunan infrastruktur secara sepihak begitu saja tanpa persetujuan
masyarakat, sehingga yang akan terjadi adalah
penggusuran semakin parah, serta ketimpangan
dan juga konflik agraria
yang semakin rumit karena proses perampasan tanah yang lebih mudah dilakukan dengan alasan pengadaan
tanah untuk pembangunan insfrastruktur. Disamping itu UU Ciptaker juga menghapus mekanisme perlindungan terhadap lahan pertanian dengan cara merubah UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). (Sukarman & Prasetiya, 2021)
Hal ini berarti terdapat penguatan hak pengelolaan yang akan menghidupkan kembali prinsip domein verklaring yang
lebih bersifat kapitalis yang menentukan hak pengelolaan dipegang oleh instansi pemerintah pusat; pemerintah daerah; badan bank tanah; BUMN dan BUMD; atau badan hukum lain yang ditunjuk oleh pemerintah pusat untuk membuat rencana
pemanfaatan tanah sesuai dengan rencana
tata ruang. (Wardhani, 2020)
Dalam hal kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, UU Ciptaker dianggap sebagai sebuah kondisi yang dipaksakan merubah undang-undang pertanian pangan berkelnajutan, perubahannya membawa dampak yang begitu luar biasa
pada jumlah lahan pertanian yang menyokong kebutuhan pangan masyarakat yang bisa membawa dampak bagi petani di Indonesia.
Menurut Julisan
Dwi Prasetia, konflik agraria di Indonesia setidaknya disebabkan karena tiga hal
yakni karena adanya pemberian hak guna usaha
kepada korporasi yang berhadapan dengan masyarakat, adanya pengembangan industri oleh pemerintah, serta sengketa di lahan perhutanan yang dimiliki oleh perhutani yang berhadapan dengan masyarakat. UU Ciptaker yang baru diciptakan dinilai memiliki rencana jahat dalam menghancurkan
mayoritas rakyat Indonesia karena tidak menghiraukan
adanya kerusakan lingkungan hidup di atasnya. UU Ciptaker lebih menganggap bahwa yang paham akan penguasaan tanah adalah apra
pemilik modal, karenanya pemilik modal menjadi semakin mudah dalam
menggunakan lahan di
Indonesia, ini artinya masyarakat menjadi terpinggirkan karena penguasaan tanah diberikan kepada mereka yang mendapatkan izin dari pusat.
(Universitas Islam Indonesia, 2021)
Terlebih, dengan adanya UU Ciptaker membuat pengusaha menjadi semakin mudah dalam memperoleh
perizinan. Dalam hal menyederhanakan perizinan berusaha, UU Ciptaker menerapkan perizinan berbasis risiko, kesesuaian tata ruang, persetujuan lingkungan, dan persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi (SLF).
a. Penerapan perizinan
berbasis risiko, terdiri dari risiko
tinggi yang mengharuskan adanya izin; risiko
menengah yang menggantikan perizinan dengan sertifikat standar; dan risiko rendah yang mengharuskan perizinan dengan berupa pendaftaran
atau nomor induk berusaha dari OSS. (Pasal 14, 2021)
b. Kesesuaian tata ruang,
hal ini dilakukan
melalui kesesuaian tata ruang mulai dari
RT hingga Kabupaten.
c. Persetujuan lingkungan,
mengatur AMDAL tetap ada hanya bagi
usaha yang berisiko tinggi, kemudian persetujuan lingkungan diintegrasikan kedalam perizinan berusaha.
d. Persetujuan bangunan
gedung dan SLF, diperuntukkan
bagi gedung sederhana dengan mengikuti standar.
UU Ciptaker
dapat berdampak serius dan mampu menggeser spirit reforma agraria, selain itu lingkungan juga akan mudah rusak,
serta keadilan sosial yang semakin jauh. Dibawah ini
merupakan 10 permasalahan
fundamental yang ada dalam
UU Ciptaker dan bertentangan
dengan reforma agraria, diantaranya :
1) UU Ciptaker
bertentangan dengan berbagai putusan Mahkamah Konstitusi
2) UU Ciptaker
dianggap tidak memiliki landasan filosofis, ideologis, yuridis dan juga sosiologis hingga menjadikan undang-undang terlihat menjadi sangat liberal di bidang pertanahan
3) Penghidupan kembali
asas dan cara domein verklaring
4) Bank tanah
yang melayani pemilik modal
menjadi syarat monopoli dan spekulasi tanah
5) Terdapat penyesatan
publik mengenai reforma agraria dalam bank tanah, dan adanya klaim agenda reforma agraria yang menjadi pemenuhan aspirasi yang dijawab UU Ciptaker
6) Adanya ketimpangan
antara penguasaan tanah dengan konversi
tanah pertaian kecil yang dilegitimasi
7) UU Ciptaker
dijadikan pemerintah, aparat keamanan dan perusahaan untuk menjadi alat kriminalisasi
rakyat karena secara gamblang mengatur larangan untuk petani dan juga masyarakat adat untuk berladang dengan cara membakar
8) Diskriminasi hak
petani karena adanya klaim hutan
Negara
9) Hak konstitusional
dan kedaulatan petani atas benih lokal
menjadi hilang
10) Petani dan nelayan
selaku produsen pangan yang utama mengalami diskriminasi, serta adanya kebijakan
yang kontraproduktif terhadap
janji kedaulatan pangan. (CNN, 2020)
Bagi para petani,
dilaksanakannya UU Ciptaker
akan mengancam kesejahteraan mereka, dimana perusahaan atau investor tidak memiliki syarat kelayakan strategis, rencana alih fungsi
tanah dan juga kesesuaian rencana tata ruang wilayah sehingga� lanskap tanah pertanian akan lebih cepat
berubah, petani juga akan kehilangan hak penyediaan tanah pengganti. Selain itu, permasalahan
lain yang akan muncul adalah lahan pertanian
yang semakin menyusut, satu rumah tangga
petani akan hilang karena konversi
tanah dalam sepuluh tahun, hal ini sejalan
dengan laporan dan catatan dari KPA dan juga Kementerian
Pertanian terkait LP2B yang
mana luas baha baku sawah mengalami penurunan rata-rata 650 ribu hektar pertahun, dan yang akan terjadi jika
laju cepat konversi tanah pertanian tidak dihentikan, tanah pertanian masyarakat akan semakin menyusut.
(Kamil, 2020)
UU Ciptaker
mengenal adanya bank tanah yang berfungsi selaku penghimpun tanah, pengaman tanah untuk memberikan
pengamanan dalam penyediaan dan peruntukan serta pemanfaatan tanah yang sejalan dengan rencana tata ruang yang telah disahkan. Peraturan pemerintah yang baru diterbitkan oleh pemerintah, ternyata substansi dalam bidang agraria
masih kurang memenuhi harapan masyarakat, masih sangat kuatnya kesan sektoralisme
menimbulkan keruwetan baru yang akan menimbulkan permasalahan masalah di bidang agraria. Menurut Rina Mardiana ketua pusat studi agraria
IPB, konsep ekonomi kerakyatan yang terkandung dalam UU Ciptaker sangatlah tidak jelas mengenai subjek dan objek agro-maritimnya, selain itu bias perkotaan sangat tinggi bahkan tidak
berfokus pada pedesaan sama sekali, sehingga
jauh dari target kedaulatan pangan dan liberalisasi pangan menjadi lebih dominan.
(DPIS IPB, 2021)
Bank tanah memiliki status hukum sebagai badan khusus yang mengelola tanah, namun pemerintah
belum menjelaskan secara tegas bentuk
hukum bank tanah apakah selaku BUMN, lembaga negara, badan layanan umum atau bentuk
lainnya, padahal status ini sangatlah penting
karena berkaitan dengan pelaksanaan tugas serta wewenang
sehari-hari dan juga perlindungan
hukum pihk ketiga. Adapun struktur organisasi bank tanah terdiri dari komite,
dewan pengawas dan juga badan pelaksana
yang kemudian ditetapkan dalam peraturan presiden berkaitan dengan tiga peran
tersebut, yang mana posisi
paling kuat adalah komite karena diisi
oleh para menteri dan dapat
menetapkan badan pelaksana
yang isinya adalah kepala dan deputi. (Arrizal & Wulandari, 2021)
Maria Sumardjono
seorang guru besar Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta mennguraikan
kekurangan yang terkandung dalam UU Ciptaker terutama berkaitan dengan pertanahan atau agrarian, yaitu :
1) Tidak ada
tujuan pembentukan UU Ciptaker apakah untuk mendatangkan investasi atau peluang kerja.
2) Tidak ada
kejelasan mengenai sifat mendesaknya UU Ciptaker
3) UU Ciptaker
tidak memiliki landasan filosofis karena adanya pengubahan
dan penyatuan sebanyak 79 undang-undang.
4) UU Ciptaker
tidak disusun dengan memperhatikan asas keterbukaan.
5) Tidak mampu
memenuhi kedayagunaan, artinya berhasil memberikan kemudahan bagi investor namun tidak memudahkan hak asasi manusia
dan lingkungan
6) Tidak dapat
diraikan asas keadilan, ketertiban dan kepastian hukum karena UU Ciptaker memotong begitu saja prinsip dasar
yang berpotensi melanggar konstitusi. (Ashar, 2020)
UU Ciptaker
menjadi ancaman berkaitan dengan investasi penggunaan hak atas tanah
yang sangat dirasakan oleh komunitas
masyarakat adat yang keberadaannya diakui oleh negara.
Pemerintah yang mendengungkan
kesejahteraan rakyat atas pengggunaan tanah namun tidak
berdampak pada kesejahteraan
ekonomi bagi kelompok tradisional, yang ada adalah sebaliknya
terjadi penggusuran lahan, kesengsaraan, ancaman serta krinimalisasi
yang tertuju pada masyarakat
yang tidak memiliki kekuatan. Ketentuan dalam UU Ciptaker yang mengatur penghapusan peran serta masyarakat
dalam mengelola lingkungan dan sumber daya alam, akan
membahayakan perlindungan lingkungan karena investor semakin mudah untuk
menjalankan proses penggunaan
hak atas tanah. (Rimbawan & Izziyana, 2020)
PP No. 18/2021 menjadi wujud aturan
pengelolaan agraria pasca UU Ciptaker, yang mana menurut Prof Dr. Kurnia Warman
Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Andalas, pengaturan
pengelolaan pertanahan pasca UU Ciptaker terbilang belum taat asas sebagaimana
diatur dalam UUPA, sehingga implementasinya menimbulkan ketidakpastian hukum, padahal setiap aturan perundang-undangan
haruslah selaras dengan asas demokrasi
dan konstitusi. (Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2021)
Selain merugikan masyarakat hukum adat yang berprofesi sebagai petani karena lahirnya UU Ciptaker mengurangi regulasi birokrasi yang panjang, aturan baru tersebut juga seolah memberikan anggapan yang tidak penting bagi redistribusi
lahan bagi petani dan juga penguasaan tanah ulayat oleh pengusaha perkebunan. Terdapat keraguan yang timbul dari diberlakukannya
UU Ciptaker karena redistribusi yang dilakukan bukan bertujuan untuk memerdekakan rakyat melainkan memperkaya pemodal atau investor. Pun fungsi sosial yang diamanatkan oleh Pasal 6 UUPA yakni semua hak mempunyai
fungsi sosial, sulit terwujud pasca diberlakukannya UU Ciptaker, yang terjadi adalah UU Ciptaker hanya menghasilkan fungsi ekonomi yang menyebabkan terjadinya tumpang tindih pengaturan, UU Ciptaker klaster pertanahan juga bukan menjadi pelengkap
dan penyempurna UUPA melainkan
berpotensi mengganti ketentuan yang ada dalam UUPA. (Satria, Anantha, & Ibrahim, 2021)
Kesimpulan
UU Ciptaker
hadir banyak membawa kontroversi, termasuk dalam hal agraria karena
banyak hal yang berkaitan dengan pertanahan dan merembet pada bidang perkebunan, pertanian, perumahan, kawasan industri serta hal investasi
lainnya yang memerlukan tanah. Berlakunya UU Cipaker dapat mengancam
sektor agraria dan lingkungan hidup, karena tidak diperkenankannya
masyarakat berperan serta dalam pengelolaan
lingkungan dan sumber daya alam, yang ada hanyalah investor yang semakin bebas dan mudah dalam menggunakan
hak atas tanah. Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan untuk selalu memegang penuh kewenangan dalam pengadaan tanah sesuai dengan
asas umum pemerintahan yang baik dan kerkeadilan, karena jika hal ini
dibiarkan, kesejahteraan masyarakat akan sulit tercapai dan UU Ciptaker yang diberlakukan dapat dinilai gagal
dalam mencapai tujuan dan amanat negara
Indonesia. UU Ciptaker terlihat
hanya menjadi karpet merah bagi
pengusaha swasta atau penanam modal asing agar bisa mendapatkan tanah secara murah bahkan
gratis, dan disisi lain menyengsarakan
masyarakat kecil terutama petani.
Arrizal, Nizam, & Wulandari, Siti.
(2021). Kajian Kritis Terhadap Eksistensi Bank Tanah Dalam Undang-Undang No. 11
Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Keadilan : Jurnal Fakultas Hukum
Universitas Tulang Bawang, 18(2), 99�110.
https://doi.org/10.37090/keadilan.v18i2.307. Google Scholar
Ashar, Syamsul. (2020). Omnibus law UU
Cipta Kerja ciptakan masalah baru bidang pertanahan bernama Bank Tanah. Google Scholar
Bbc. (2021). Mahkamah Konstitusi
perintahkan DPR dan pemerintah perbaiki UU Cipta Kerja karena �bertentangan
dengan UUD 1945.� Google Scholar
CNN. (2020). KPA Sebut DPR Resmi Pangkas
Kedaulatan Agraria di Omnibus Law. Google Scholar
DPIS IPB. (2021). Tinjauan Kritis UUCK
Bidang Pertanahan dan Agraria. Google Scholar
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
(2021). Webinar �Quo Vadis Pengelolaan Peranahan Pasca UU No. 11/2020 tentang
Cipta Kerja.� Google Scholar
Fitri, Ria. (2018). Hukum Agraria Bidang
Pertanahan Setelah Otonomi Daerah. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 20(3),
421�438. https://doi.org/10.24815/kanun.v20i3.11380. Google Scholar
Kamil, Irfan. (2020). Ancaman terhadap
Petani dan Potensi Konflik Agraria dalam RUU Cipta Kerja. Google Scholar
Pasal 14. Peraturan Pemerintah Nomor 5
tahun 2021. , (2021). Google Scholar
Rimbawan, Andhika Yuli, & Izziyana,
Wafda Vivid. (2020). Omnibus Law Dan Dampaknya Pada Agraria Dan Lingkungan
Hidup. Rechtmatig: Jurnal Hukum Tata Negara, 6(2), 29�38. Google Scholar
Sari, Dewi Arnita. (2020). Sengketa
Pendaftaran Hak Milik Atas Tanah. Al-Adalah:
Jurnal Hukum Dan Politik Islam, 5(2), 138�155.
https://doi.org/10.35673/ajmpi.v5i2.816. Google Scholar
Satria, Putu, Anantha, Satwika, &
Ibrahim, R. (2021). Kepastian Hukum Undang-Undang Cipta Kerja Terhadap
Undang-Undang Pokok Agraria Mengenai Domein Verklaring. (2), 857�868.
https://doi.org/10.24843/JMHU.2021.v10.i04.p14. Google Scholar
Silitonga, Novi Diana. (2017). �Pelaksanaan
Program Nasional Agraria (Khususnya Tanah Hak Milik) Dalam Rangka Mewujudkan
Kepastian Hukum Di Kabupaten Sekadau Provinsi Kalimantan Barat. Jurnal Hukum,
1�8. Google Scholar
Sukarman, Hendra, & Prasetiya, Wildan
Sany. (2021). Degradasi Keadilan Agraria Dalam Omnibus-Law. Jurnal.Unigal.Ac.Id,
9, 17�37. Google Scholar
Universitas Islam Indonesia. (2021). UU
Cipta Kerja Bisa Memperburuk Konflik Agraria dan Lingkungan. Google Scholar
Usman, Abdul Hamid. (2020). Perlindungan
Hukum Hak Milik atas Tanah Adat Setelah Berlakunya Undang-undang Pokok Agraria.
Jurnal Kepastian Hukum Dan Keadilan, 1(2), 60�76. Google Scholar
Wardhani, Dwi Kusumo. (2020). Disharmoni
Antara Ruu Cipta Kerja Bab Pertanahan Dengan Prinsip-Prinsip Uu Nomor 5 Tahun
1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Jurnal Komunikasi
Hukum (JKH), 6(2), p 440-455. Google Scholar
Copyright holder: Ananda Failasufa Rachman,
Arsin Lukman (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |