Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 5, Mei 2022

 

PERSAINGAN INVESTASI INFRASTRUKTUR JEPANG DAN TIONGKOK DI ASIA TENGGARA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP INDONESIA 2013-2018

 

Syanne Anandyah

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Persaingan investasi infrastruktur yang dilakukan oleh Jepang dan Tiongkok di kawasan Asia Tenggara terjadi karena kedua negara mencari pasar baru yang dapat membantu pertumbuhan perusahaan multinasional mereka. Jepang, yang sudah lebih lama menjadi investor besar di Asia Tenggara selama beberapa dekade, banyak melakukan investasi melalui FDI bilateral dan juga melalui ADB dan organisasi kawasan. Sedangkan Tiongkok, yang belakangan ini menjadi salah satu investor utama di Asia Tenggara, melakukan ekspansi ekonomi dan investasi melalui pembentukan Jalur Maritim Sutra dan juga AIIB. Dengan demikian, persaingan kedua negara ini terjadi di kawasan Asia Tenggara. Indonesia, sebagai salah satu negara di kawasan Asia Tenggara tentu mendapatkan implikasi dari adanya persaingan ini. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana dinamika persaingan investasi infrastruktur di Asia Tenggara ini dan bagaimana implikasinya terhadap Indonesia pada tahun 2013 hingga 2018. Penelitian ini dilakukan melalui metode penelitian kualitatif, dengan menggunakan teori pasar sempurna dengan hipotesa ukuran pasar. Melalui penelitian ini, ditemukan bahwa Tiongkok dan Jepang memilih Asia Tenggara karena Asia Tenggara adalah pasar berkembang yang besar dalam sektor penyerapan investasi/penanaman modal dan potensi ekonominya, sesuai dengan hipotesa ukuran pasar FDI. Hal ini berimplikasi pada Indonesia, bahwa Indonesia akan memiliki bargaining weight yang lebih besar untuk melakukan negosiasi dan juga mengembangkan infrastrukturnya guna meningkatkan perekonomiannya dan tekanan politik seiring meningkatnya persaingan yang dilakukan Tiongkok dan Jepang.

 

Kata Kunci: FDI; investasi infrastruktur; jepang; tiongkok; indonesia

 

Abstract

The infrastructure investment competition carried out by Japan and China in the Southeast Asia region occurs as both of the countries are in search of new markets that are able to sustain the growth of their multinational companies. Japan, who has been a major investor in Southeast Asia for decades, invests heavily through bilateral FDI as well as through ADB and other regional organizations. While China, who has recently become one of the major investors in Southeast Asia, is expanding its economy and investment through The Maritime Silk Road and the establishment of AIIB. Thus, the competition between these two countries occurs in Southeast Asia. Indonesia, as one of the countries in Southeast Asia region, surely receives implications from this competition. This research aims to see how is the dynamics of this infrastructure investment competition in Southeast Asia and how it implies to Indonesia in 2013 until 2018. This research was conducted through qualitative research methods, using the perfect market theory with hypothesis in market size. Through this research, it was found that China and Japan chose Southeast Asia because it is a large developing market in investment absorption sector and also its economic potential according to the FDI market size hypothesis. This leads to the implications for Indonesia, that Indonesia will have more bargaining weight for good negotiations and also for developing its infrastructure to improve its economy and political pressure gained by the increasing competitions done by China and Japan.

 

Keywords: foreign direct investment; infrastructure investment; japan; china; indonesia

 

Pendahuluan

Pembangunan infrastruktur tidak lepas dari adanya kehadiran investasi asing, khususnya investasi langsung atau secara umum disebut sebagai Foreign Direct Investment (FDI). Negara-negara seperti Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat dan lain-lain adalah negara-negara penyumbang investasi yang cukup besar dan tersebar di seluruh dunia. Hal ini banyak memberikan implikasi positif maupun negatif bagi negara-negara baik yang menerima maupun memberikan investasi tersebut.

Di era globalisasi ekonomi dunia, tentunya akan semakin banyak investor yang saling bersaing untuk menanam modal asing di negara tujuan yang diekspektasikan akan memberikan dampak positif terhadap ekonomi negaranya. Tidak hanya investasi tetapi Infrastruktur mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan suatu negara dan juga berguna untuk menggerakkan roda pertumbuhan ekonomi negara tersebut.

Dengan demikian, maka semakin banyak negara yang mencoba untuk semakin memudahkan negaranya untuk menerima investasi asing dari negara lain untuk meningkatkan infrastruktur negaranya. Fenomena ini banyak terjadi di banyak negara di dunia, walaupun kecenderungan terjadi kepada negara-negara berkembang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Grafik 1

FDI Inflow, Top 20 Host Economies 2017-2018

Sumber: UNCTAD, FDI/MNE database

(www.unctad.org/fdistatistics). WIR 2019.

 

Jika dilihat dari sisi FDI Inflow, Grafik 1 menunjukkan FDI inflow untuk 20 negara penerima FDI terbesar di tahun 2017 sampai 2018. Dapat terlihat bahwa beberapa negara di Asia Tenggara seperti Singapura, Indonesia, dan Vietnam menjadi bagian dari negara-negara penerima FDI terbesar. Hal ini membuktikan bahwa Asia Tenggara masih menjadi pusat tujuan dari FDI negara-negara investor.

 

Grafik 2

FDI Outflow, Top 20 Home Economies 2017-2018

Sumber: UNCTAD, FDI/MNE database

(www.unctad.org/fdistatistics). WIR 2019

 

Dari sisi FDI Outflow, grafik 2 menggambarkan negara-negara investor terbesar di tahun 2017-2018. Jepang dan Tiongkok menduduki posisi pertama dan kedua di dunia. Hal ini menunjukkan besarnya investasi yang dilakukan oleh kedua negara dalam sektor penanaman modal asing.

 

Tabel 1

Top Ten Sources Of Foreign Direct Investment

Inflows In ASEAN 2013-2015

Sumber: ASEAN database

 

Tabel 1 memperlihatkan bahwa dari 10 negara investor terbesar FDI inflows ke ASEAN, Jepang dan Tiongkok menjadi negara pertama dan ketiga terbesar. Hal ini membuktikan bahwa investasi yang dilakukan Jepang dan Tiongkok cukup besar dibandingkan dengan negara-negara lainnya dan salah satu fokus terbesarnya adalah ke kawasan Asia Tenggara baik melalui ASEAN maupun melalui jalur FDI bilateral. Selain dari sisi FDI, terlihat juga dari sisi investasi infrastruktur yang dilakukan Jepang dan Tiongkok di kawasan Asia Tenggara.

Jepang menyadari akan pentingnya investasi infrastruktur khususnya untuk negara-negara berkembang yang notabene adalah potensi pasar baru yang sangat besar. Dengan demikian Jepang meningkatkan perannya dalam investasi infrastruktur di wilayah Asia Tenggara, sebagai pasar regional yang sangar besar dan pesat di dunia. Upaya Jepang tercantum dalam Free and Open Indo-Pacific (FOIP) yang dicetuskan oleh Perdana Menteri Jepang di tahun 2016. Salah satu visi dari FOIP ini adalah untuk meningkatkan kemakmuran kawasan dan negara melalui konektifitas regional seperti infrastruktur yang berkualitas, pertukaran pendidikan dan budaya, dan perjanjian perdagangan (Arase, 2019). Juga dengan adanya peran Asian Development Bank (ADB) yang dibentuk oleh Jepang dan bertugas untuk menyediakan memberikan layanan untuk membantu anggotanya untuk memberikan pinjaman, bantuan teknis, investasi untuk mempromosikan pembangunan sosial dan ekonomi di kawasan Asia dan Pasifik. Bahkan semenjak tahun 2011 ADB mempelopori terbentuknya ASEAN Infrastructure Fund (AIF). AIF ini adalah dana yang di dedikasikan oleh negara anggota ASEAN dan ADB untuk menujukan kebutuhan pembangunan infrastruktur di kawasan ASEAN. Dari beberapa projek ini terlihat bahwa Jepang memiliki peran yang cukup signifikan si kawasan Asia Tenggara khususnya di bidang pembangunan dan investasi infrastruktur.

Melihat keberhasilan dari Jepang dan potensi pasar Asia Tenggara yang sangat besar, Tiongkok meningkatkan perannya dalam investasi infrastruktur dan di mulai semenjak Tiongkok mencetuskan terbentuknya China-ASEAN Investment Cooperation Fund (CAF) di tahun 2013. CAF ini adalah dana ekuitas kuasi berdaulat lepas pantai berdenominasi USD yang di sponsori oleh Bank Tiongkok yang bertujuan untuk memberikan kesempatan investasi dalam infrastruktur, energi dan sumber daya alam di Asia Tenggara. Upaya ini diperkuat dengan terbentuknya China�s Belt and Road Initiative (BRI) atau disebut sebagai Jalur Sutera Baru Tiongkok. BRI ini dicetuskan oleh Presiden Tiongkok Xi Jinping di tahun 2013 dan bertujuan untuk melakukan pembangunan besar-besaran dan inisiatif investasi yang kan meliputi Asia Timur sampai ke Eropa, secara signifikan memperluas pengaruh politik dan ekonominya (Chatzky & McBride, 2019). China juga ikut bergabung ke dalam agenda Joint Statement ASEAN mengenai Sinergi Master Plan on ASEAN Connectivity (MPAC) 2025 dengan BRI yang bertujuan untuk membantu membangun infrastruktur berkelanjutan di kawasan dan merealisasikan MPAC 2025 (ASEAN, 2019).

Dengan semakin besarnya peran Jepang dan Tiongkok di wilayah Asia Tenggara maka terlihat sebuah dinamika atau pola dari investasi infrastruktur di Asia Tenggara. Hal ini merujuk kepada persaingan yang terjadi antara Jepang dan Tiongkok dalam investasi khususnya investasi infrastruktur di wilayah Asia Tenggara. Persaingan yang dimaksud adalah jika sebuah organisasi atau individu Saling berlomba untuk mencapai tujuan yang diinginkannya seperti konsumen, pasar, peringkat survei atau sumber daya yang dibutuhkan (Kuncoro, 2005). Jepang dan Tiongkok terlihat melakukan persaingan dalam investasi di wilayah Asia Tenggara, terlihat dari adanya dinamika atau interaksi antara kedua negara.

Indonesia adalah salah satu negara di Asia Tenggara yang sangat terbuka atas penanaman modal asing. Indonesia sedari awal juga gencar untuk melakukan pembangunan infrastruktur. Hal ini di dukung oleh kebijakan pemerintah di masa pemerintahan Jokowi periode 1 dan 2 yang berfokus kepada pembangunan negara khususnya di bidang infrastruktur. Hal ini dapat terlihat dari semakin meningkatnya alokasi anggaran infrastruktur yang selalu meningkat tiap tahunnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Grafik 3

Alokasi Anggaran Infrastruktur

Indonesia 2015-2019

Sumber: Dirangkum dari data yang dimiliki oleh

Kementerian Keuangan Indonesia

dari tahun 2015-2019

 

Berdasarkan grafik di atas, peningkatan alokasi anggaran infrastruktur semakin meningkat, bahkan peningkatan yang cukup drastis terjadi di tahun 2015 dan juga di tahun 2017. Menurut kementerian keuangan Indonesia, beberapa sasaran target dari anggaran ini adalah untuk pembangunan/ rekonstruksi/ pelebaran jalan, pembangunan bandara baru, jaringan irigasi, pembangunan dan rehabilitasi jembatan, pembangunan/ penyelesaian rel kereta api, bendungan dan lain-lain.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Konsep Foreign Direct Investment (FDI) dengan teori asumsi pasar sempurna menjawab pertanyaan penelitian tersebut.

Konsep FDI ini dikemukakan oleh banyak pemikir ekonomi seperti Robert Mundell, Kojima dan Ozawa, Kindleberger dan lainnya. Dari sisi makroekonomi, FDI adalah sebuah bentuk tertentu dari lintas batas alur kapital dari negara asal ke negara tujuan yang dapat ditemukan dalam neraca pembayaran. Dengan demikian variabel dari kepentingan FDI adalah alur saham dan kapital dan pendapatan dari investasi. Menurut Moosa, Teori FDI ini terklasifikasi menjadi beberapa teori, yaitu; Teori dengan asumsi pasar sempurna, teori dengan asumsi pasar tidak sempurna, teori lainnya, dan teori berdasarkan variabel-variabel lainnya. Untuk menjawab pertanyaan penelitian maka digunakan salah satu teori dari FDI yaitu Teori dengan Asumsi Pasar Sempurna. Teori dengan asumsi pasar sempurna akan menghasilkan 3 hipotesa, yaitu; Differential rates of return hypothesis, The Portfolio diversification hypothesis, dan The Market size hypothesis (Moosa, 2002).

Hipotesa yang digunakan adalah hipotesa ukuran pasar. Untuk mengetahui apakah ukuran pasar Asia Tenggara menjadi tujuan mengapa Jepang dan Tiongkok memilih kawasan Asia Tenggara. Penelitian ini tidak akan terlalu terfokus terhadap indikator mikroekonomi dari variabel tetapi tetap menggunakan beberapa tabel untuk menjelaskan fenomena yang terjadi dan membuktikan hipotesa tersebut sehingga dengan menggunakan teori ini maka dapat diketahui mengapa Jepang dan Tiongkok melakukan dan meningkatkan investasi infrastruktur nya di kawasan Asia Tenggara dan implikasinya terhadap Indonesia.

Berdasarkan kerangka analisis teresebut dengan demikian maka metode analisis yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif analitis untuk menjawab pertanyaan penelitian. Penelitian ini berfokus untuk menggambarkan persaingan investasi infrastruktur Jepang dan Tiongkok di Asia Tenggara dan implikasi dari persaingan tersebut terhadap Indonesia. Pengumpulan data akan dilakukan melalui data sekunder. Data sekunder yang dimaksud adalah melalui studi literatur terkait, dokumen resmi publikasi negara, serta melalui sumber media seperti berita, koran, jurnal, dan lain-lain.

 

Hasil dan Pembahasan

1.   Dinamika Persaingan Investasi Infrastruktur Jepang Dan Tiongkok Di Asia Tenggara

Jepang memulai investasi jangka besarnya di Asia Tenggara dengan perusahaan-perusahaan multinasional yang terus membentuk jaringan produksi di kawasan. Di tahun 2010, Jepang dan ASEAN membentuk �The Comprehensive Asia Development Plan�. Rancangan ini dibentuk untuk memperkuat konektifitas infrastruktur Jepang sehingga perusahaan manufaktur Jepang dapat membentuk jaringan produksi dengan basis pembagian tenaga kerja antar negara. salah satu inisiatif dari rancangan ini adalah koridor ASEAN ekonomi maritim. Jepang ikut mendukung dan mempromosikan industrialisasi dan integrasi ASEAN (ERIA, 2010).

Di tahun 2012, setelah naiknya perdana menteri Shinzo Abe. Aber membentuk sebuah strategi baru yang bernama �Proactive Pacifism�, sebagai strategi yang bertujuan untuk memperkuat konektifitas Jepang dengan Asia Tenggara. Strategi ini dijalanan melalui investasi skala besar ke negara-negara lain, membangun berbagai macam jaringan dan mengetahui pertumbuhan kesejahteraan dengan ASEAN masih menjadi tujuan utama dari strategi ini.

Di tahun 2013, Tiongkok mulai masuk ke dalam projek investasi. Presiden Tiongkok Xi Jinping mengelaborasi bahwa Tiongkok harus fokus dalam menjaga perdamaian dan stabilitas dari periferi dan mempromosikan win-win dan keuntungan mutual dengan negara tetangga-tetangganya (Heath, 2013). Asia Tenggara adalah wilayah utama dan area strategis yang krusial bagi diplomasi regional Tiongkok yang di prioritaskan untuk BRI yang termasuk Jalur Sutra Maritim. Dengan demikian investasi dalam infrastruktur sangatlah dibutuhkan demi kelangsungan BRI tersebut. Salah satu proyek jangka panjang yang dimulai oleh Tiongkok adalah Pan-Asia Railway Network yang menghubungkan Asia Tenggara dengan Tiongkok. Pembentukkan rencana kerja sama transportasi ASEAN-Tiongkok membuka jalan koridor transportasi internasional antara negara-negara Asia Tenggara dan Tiongkok (Nikkei, 2019).

Tiongkok membentuk Asian Investment Infrastructure Bank (AIIB) di tahun 2014 yang ditujukan dan dipromosikan untuk negara-negara berkembang yang membutuhkan bantuan finansial untuk membangun infrastruktur di negaranya. Pada dasarnya AIIB ini mempunyai tujuan yang sama dengan organisasi yang dimiliki oleh Jepang yaitu Asian Development Bank (ADB) yang dibentuk di tahun 1966. AIIB menjadi salah satu emerging rival bagi Jepang di kawasan Asia khususnya dalam investasi infrastruktur.

Di tahun 2015, Japan mereformasi pendekatan bantuan asingnya, menggantikan ODA Charter dengan charter perkembangan kerja sama dan menekankan signifikansi strategis dari bantuan asing dan kerja sama. Bantan ekonomi menjadi alat atau instrumen yang dimanfaatkan Jepang untuk menjalin kerja sama dan konektifitas yang lebih erat dengan Asia Tenggara. Proyek HSR yang dicanangkan oleh Jepang masih terus dilaksanakan dan di promosikan oleh Jepang, melihat Tiongkok yang juga mempromosikan Pan-Asia Railway Network di tahun yang sama.

Rancangan aksi implementasi kerja sama strategis ASEAN-Tiongkok menuju perdamaian dan kesejahteraan yang dicanangkan di tahun 2016 membuka jalur untuk BRI untuk mensinergikan dengan rancangan utama konektifitas ASEAN. Dengan harapan agar integrasi kebijakan dan kolaborasi dengan ASEAN semakin diperkuat dengan cara menyediakan industri yang cocok untuk melakukan investasi langsung, meningkatkan mekanisme kerja sama dan memperkuat susunan finansial kawasan.

Untuk menjawab pertanyaan mengapa persaingan investasi infrastruktur terjadi di kawasan Asia Tenggara penelitian ini menggunakan konsep FDI sebagai kerangka utama. hipotesa ukuran pasar menurut Moosa 2002 volume dari FDI di dalam negara host sangar bergantung kepada ukuran pasarnya. Semakin besar ukuran dari pasar tersebut maka semakin tinggi potensi negara tersebut untuk menjadi target FDI inflows. GDP negara digunakan untuk menguji hipotesa ini karena GDP sangat berkorelasi dengan besarnya pasar dari negara tersebut (Moosa, 2002).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Grafik 4

GDP ASEAN Member States 2010-2020

Sumber: Statista database

https://www.statista.com/statistics/796245/

gdp-of-the-asean-countries/

 

Jika dilihat dari GDP ASEAN tiap tahunnya, nilai GDP total ASEAN di tahun 2010 hanya sekitaran 5 bilyar dolar AS dan tiap tahunya meningkat dengan stabil hingga pada tahun 2016 mencapai sekitaran 7,5 bilyar dolar AS dan terus meningkat sampai di tahun 2019 mencapai sekitar 9,5 bilyar dolar AS. Untuk GDP per negara di ASEAN hampir semua negara mengalami pertumbuhan GDP yang sama dengan pertumbuhan GDP ASEAN.

 

Tabel 2

FDI Flow In Asia (Dalam Juta Dolar AS.)

Sumber: UNCTAD,

World Investment Report 2019

https://unctad.org/Sections/dite_dir/docs/

WIR2019/wir19_fs_Asia_en.pdf

 

Tabel 2 menggambarkan aliran FDI di kawasan Asia. FDI inward dan outward yang terbagi ke tiap kawasan di Asia secara lebih mendetail. Dari tahun 2015 sampai 2018 kawasan utama yang mendapatkan FDI baik inward maupun outward terbesar adalah kawasan Asia Timur. Persentase akumulasi kapital dari peningkatan tiap tahun bagi Asia Timur cukup stabil. Hanya saja tidak sebesar Asia Tenggara. Dari semua kawasan di Asia, Asia Tenggara memiliki aliran FDI inward dan outward dengan posisi kedua dari semua kawasan. Dari tahun 2006-2007 yang hanya memilikin nilai FDI inward sebanyak 61 milyar dolar dan outward sebanyak 38 milyar dolar meningkat dan menduduki posisi ketiga di wilayah Asia meningkat dengan cukup pesat di tahun 2015 dengan FDI inward sebanyak 114 milyar dolar dan FDI outward sebanyak 68 milyar dolar dan menduduki posisi kedua, mengalahkan kawasan Asia barat. Tiap tahun aliran FDI inward dan outward Asia Tenggara semakin meningkat hingga di tahun 2018 nilai FDI inward Asia Tenggara adalah 148 milyar dolar dan FDI outward senilai 69 milyar dolar. Dari nilai FDI inward dan outward Asia Tenggara, dapat terlihat bahwa FDI inward yang masuk dari wilayah luar kawasan Asia Tenggara lebih banyak dan meningkat sebanyak hampir 30% dari nilai FDI inward di tahun 2015. Peningkatan ini terasa cukup signifikan bagi pembangunan Asia Tenggara.

Untuk menguji hipotesa ukuran pasar maka perbandingan antara nilai FDI (tabel 2) dan juga GDP (gambar 4) dilakukan. Dari tahun 2016 sampai di tahun 2018 peningkatan dalam GDP dan juga aliran FDI yang terus meningkat tiap tahunnya terlihat bahwa Asia Tenggara mempunyai potensi pasar yang cukup besar dibandingkan kawasan Asia lainnya. Sehingga Tiongkok dan juga Jepang memilih Asia Tenggara sebagai pasar penanaman modal yang baru dan besar dan mempunyai potensi pertumbuhan yang lebih baik.

Implikasi dari persaingan Tiongkok dan Jepang bagi Indonesia dapat terlihat dari peningkatan aliran FDI inward Indonesia dari Jepang dan Tiongkok.

 

Grafik 5

FDI Outflow Ke Indonesia Dari Jepang

Dan Tiongkok 2009-2018

Sumber: IMF database

https://data.imf.org/regular.aspx?key=61227426

Berdasarkan grafik 5, di tahun 2013 terjadi gejolak yang cukup signifikan bagi FDI yang masuk ke Indonesia. FDI inward dari Jepang mengalami kenaikan yang sangat drastis, dari 11 milyar dolar AS di tahun 2012, menjadi 26 milyar dolar AS di tahun 2013. Hal ini terjadi karena perdana menteri Abe memulai adanya penanaman saham skala besar di negara-negara di luar Jepang dan Indonesia menjadi salah satu destinasi favorit para investor-investor Jepang. Dengan populasi yang sangat banyak dan kelas menengah yang semakin berkembang membuat adanya kelas konsumsi yang sangar besar. Sebaliknya terjadi bagi Tiongkok (Republika, 2014). FDI dari Tiongkok mengalami penurunan lebih dari setengah nilai yang didapat di tahun 2012. Di tahun 2013 FDI yang masuk ke Indonesia adalah sebanyak 2 milyar dolar AS sedangkan di tahun sebelumnya nilai FDI yang masuk ke Indonesia adalah sebanyak 4 milyar dolar AS. Hal ini disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Tiongkok di tahun 2013 (Reuters, 2014), di tambah dengan bencana polusi yang melanda Tiongkok di tahun tersebut memberikan dampak negatif kepada pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Tetapi Tiongkok berhasil mengembalikan jumlah FDI di Indonesia di tahun-tahun berikutnya.

Indonesia mendapatkan implikasi positif dan juga negatif dengan adanya persaingan investasi infrastruktur yang terjadi oleh Jepang dan Tiongkok di kawasan Asia Tenggara ini.

Implikasi positif yang didapatkan Indonesia adalah peningkatan bargaining weight Indonesia terhadap kedua negara tersebut. Di masa Pemerintahan Jokowi, dengan semakin terbukanya investasi di Indonesia dan dengan maraknya pembangunan infrastruktur maka Indonesia mempunyai opsi yang lebih besar jika ingin membangun infrastruktur negara.

Opsi yang dimaksud dalam konteks ini adalah ketika Indonesia mempunyai rencana untuk membangun infrastrukturnya, ada dua negara yang dapat didiskusikan untuk menjalin kerja sama atau melaksanakan negosiasi mengenai bantuan dalam pembangunan. Seperti yang terjadi dengan HSR tujuan Jakarta-Bandung di tahun 2015, Indonesia ditawarkan Tiongkok dan Jepang (pada saat itu kedua negara sedang mempromosikan HSR nya) agar Indonesia dapat membeli HSR dari Tiongkok atau Jepang. Indonesia memilih untuk membeli dan membangun projek HSR dengan HSR buatan Tiongkok (Jiang, 2019).

Fenomena dimana Indonesia akan ditawarkan bantuan atas proyek akan terus terjadi karena tentunya dengan semakin bersaingnya Tiongkok dan Jepang maka kesempatan akan pasarnya akan berkurang sehingga Tiongkok dan Jepang harus menggunakan cara sebaik-baiknya agar tidak hilang kesempatan tersebut.

Implikasi negatif terhadap Indonesia adalah Indonesia akan mendapatkan semakin banyak tekanan politik dan ekonomi dengan adanya persaingan ini. Secara Indonesia adalah negara yang menganut politik luar negeri yang bersifat bebas-aktif, yang berarti Indonesia memiliki kesempatan untuk menjalin kerja sama dengan negara-negara lain dan tetap menjaga kenetralannya dalam dinamika politik kawasan. Indonesia tentunya harus lebih hati-hati dalam memilih mitra dalam menjalankan proyek-proyek yang dicanangkan di negaranya. Indonesia tidak bisa terlihat lebih condong ke satu negara, karena tentunya akan memberikan dampak negatif terhadap hubungan politik antara Indonesia dan negara lain.

Implikasi negatif dari persaingan infrastruktur ini mengharuskan Indonesia untuk bisa menjaga keseimbangan dinamika di negaranya dan juga kawasannya agar tetap berpolitik berdasarkan prinsip bebas aktif-nya. Setiap langkah yang dilakukan oleh Indonesia tentunya akan dipantau oleh Tiongkok dan juga Jepang. Memberikan tekanan politik bagi Indonesia dalam menjalankan kebijakan luar negerinya, khususnya mengenai pembangunan infrastruktur.

Seperti contoh, Kerja sama Indonesia dengan Tiongkok sangat erat dan salah satu urgensi yang dimiliki oleh Indonesia dengan Tiongkok adalah mengenai bantuan terhadap pembangunan infrastruktur Indonesia yang diberikan oleh Tiongkok melalui AIIB dan didapatkan melalui keikutsertaan Indonesia dalam proyek OBOR (One Belt One Road) yang dimiliki oleh Tiongkok. (Soviyaningsih, 2019) Hal ini tentunya menjadi ancaman ekonomi dan politik bagi Jepang. Jika Indonesia jelas akan terlihat cenderung bergantung dengan Tiongkok dalam investasi infrastruktur ini, padahal Jepang sudah terlebih dahulu menjadi mitra Indonesia dalam investasi infrastruktur melalui ADB-nya. Dengan demikian persaingan akan terus memanas dan juga hal ini akan memberikan lebih banyak tekanan politik dan ekonomi kepada Indonesia.

 

Kesimpulan

Persaingan investasi infrastruktur yang dilakukan oleh Jepang dan Tiongkok di kawasan Asia Tenggara terjadi karena kedua negara mencari pasar baru yang dapat membantu pertumbuhan perusahaan-perusahaan multinasional yang ada di negaranya. Jepang yang sudah lebih lama menjadi investor besar di Asia Tenggara melalui FDI bilateral dan juga melalui ADB dan organisasi kawasan. Tiongkok melakukan ekspansi ekonomi sebagai emerging investor di wilayah Asia Tenggara dengan pembentukannya Jalur Maritim Sutra dan juga AIIB. Tiongkok dan Jepang memilih Asia Tenggara karena Asia Tenggara adalah pasar yang besar dalam sektor penyerapan investasi/penanaman modal dan potensi ekonominya. Jepang dan Tiongkok mengerahkan upayanya untuk mengikutsertakan Asia Tenggara dalam proyek-proyek pembangunannya dan juga sebaliknya.

Persaingan ini terhadap Indonesia membuahkan implikasi positif dan juga negatif. Implikasi positif yang didapatkan Indonesia adalah peningkatan bargaining weight Indonesia terhadap kedua negara dalam menjalankan proyek sehingga dengan negosiasi yang baik Indonesia dapat memilih pilihan yang dirasa lebih baik dan lebih menguntungkan oleh Indonesia. Indonesia mengalami peningkatan dalam FDI inward yang cukup signifikan baik secara keseluruhan maupun secara bilateral dari Tiongkok dan juga dari Jepang. Implikasi negatif terhadap Indonesia adalah Indonesia akan mendapatkan semakin banyak tekanan politik dan ekonomi.

Penelitian ini telah menunjukkan dinamika dari persaingan investasi infrastruktur dan juga implikasinya Indonesia. Dari pembahasan sebelumnya juga terlihat bahwa Indonesia harus lebih berhati-hati tetapi juga harus pintar dalam mencari kesempatan untuk terus membangun dan mengembangkan infrastruktur negaranya. Menjaga keseimbangan politik antar negara dan tidak memicu ketidakseimbangan politik luar negeri yang tentunya akan memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap politik kawasan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Arase, David. (2019). Japan�s Strategic Balancing Act in Southeast Asia. ISEAS-Yusof Ishak Institute Singapore. Google Scholar

 

ASEAN. (2019). ASEAN-China Joint Statement on Synergising the Master Plan on. Retrieved from ASEAN website: https://asean.org/storage/2019/11/Final-ASEAN-China-Joint-Statement-Synergising-the-MPAC-2025-and-the-BRI.pdf. Google Scholar

 

Chatzky, Andrew, & McBride, James. (2019). China�s massive belt and road initiative. Council on Foreign Relations, 21, 1�5. Google Scholar

 

ERIA. (2010). The Comprehensive Asia Development Plan. Retrieved from Economic Research Institute for ASEAN and East Asia, Japan. Retrieved from ERIA website: http://www.eria.org/publications/research_project_reports/the-comprehensive-asia-development-plan.html. Google Scholar

 

Frankel, Joseph. (1968). The making of foreign policy: an analysis of decision-making (Vol. 200). London; New York [etc.]: Oxford UP. Google Scholar

 

Gibson, Hugh. (1944). The road to foreign policy. Doubleday, Doran, Incorporated. Google Scholar

 

Heath, Timothy. (2013). Diplomacy work forum: Xi steps up efforts to shape a China-centered regional order. China Brief, 13(22), 6�10. Google Scholar

 

Jiang, Yang. (2019). Competitive partners in development financing: China and Japan expanding overseas infrastructure investment. The Pacific Review, 32(5), 778�808. Google Scholar

 

Kuncoro, Mudrajad. (2005). Strategi Bagaimana Meraih Keuntungan Kompetitif. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama. Google Scholar

 

Moosa, Imad. (2002). Foreign direct investment: theory, evidence and practice. Springer. Google Scholar

 

Nikkei. (2019). Why China is determined to connect Southeast Asia by rail. Retrieved from https://asia.nikkei.com website: https://asia.nikkei.com/Spotlight/The-Big-Story/Why-China-is-determined-to-connect-Southeast-Asia-by-rail. Google Scholar

 

Nye Jr, Joseph S. (1999). Redefining the national interest. Foreign Affairs, 22�35. Google Scholar

 

Republika. (2014). BKPM: Japan dominates investment in Indonesia in 2013. Retrieved from Republika website: https://republika.co.id/berita/mzr0ue/bkpm-japan-dominates-investment-in-indonesia-in-2013. Google Scholar

 

Reuters. (2014). China�s 2013 economic growth dodges 14-year low but further slowing seen. Retrieved from https://www.reuters.com website: https://www.reuters.com/article/us-china-economy-gdp/chinas-2013-economic-growth-dodges-14-year-low-but-further-slowing-seen-idUSBREA0I0HH20140120. Google Scholar

 

Soviyaningsih, Kris Naning. (2019). Kepentingan Indonesia Terhadap One Belt One Road (OBOR) dalam Upaya Mewujudkan Poros Maritim Dunia. JURNAL TRANSBORDERS, 2(2), 83�95. Google Scholar

 

Wu, Charles Chong Han. (2017). Understanding the structures and contents of national interests: An analysis of structural Equation Modeling. The Korean Journal of International Studies Vol, 15(3), 391�420. Google Scholar

 

Yoshimatsu, Hidetaka. (2018). New dynamics in Sino-Japanese rivalry: Sustaining infrastructure development in Asia. Journal of Contemporary China, 27(113), 719�734. Google Scholar

 

Zhao, Hong. (2019). China�Japan compete for infrastructure investment in Southeast Asia: Geopolitical rivalry or healthy competition? Journal of Contemporary China, 28(118), 558�574. Google Scholar

 

Copyright holder:

Syanne Anandyah (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: