Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN:
2548-1398
Vol.
7, No. 5, Mei 2022
STRATEGI PENINGKATAN MUTU
PENDIDIKAN ISLAM DI MADRASAH IBTIDAIYAH MELALUI UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN
2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Hana Niswatus Salamah, Amirudin, Achmad Junaedi Sitika
Universitas Singaperbangsa Karawang, Indonesia
Email: [email protected], [email protected],
[email protected]
Abstrak
Mutu pendidikan
Islam adalah terpenuhinya harapan semua pihak
yaitu pengelola pendidikan, pimpinan, guru,dosen, masyarakat maupun kepada peserta
didik, karena diintegrasikannya pendidikan
agama dan keagamaan, teknis
peningkatan mutu melalui penetapan standar nasional pendidikan oleh Badan Akreditasi
Nasional Sekolah dan Madrasah (BAN S/M), serta Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), penjaminan
mutu pendidikan, sertifikasi guru dan dosen, sekolah/madrasah berbasis internasional, dan pengelolaan pendidikan yang berbasis pada mutu terpadu yang unggul ke dalam
UUD Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 sebagai suatu strategi untuk meningkatkan mutu pendidikan di bawah naungan kementerian pendidikan nasional maupun di bawah naungan kementerian agama secara lebih merata.
Maka penelitian ini menjadi sebuah
gambaran bahwasannya
Pendidikan agama tidak tertinggal
atau ditinggalkan begitu saja oleh pemerintah. Peneliti menggunakan penelitian kualitatif deskriptif.
Kata Kunci: mutu pendidikan; UUD sisdiknas no. 20 tahun 2003
Abstract
The quality of Islamic education is the fulfillment of the expectations
of all parties, namely education managers, leaders, teachers, lecturers, the
community and students, because of the integration of religious and religious
education, technical improvement Quality through the establishment of national
education standards by the National Accreditation Board for Schools and
Madrasas (BAN S/ M), as well as the National Accreditation Board for Higher
Education (BAN-PT), education quality assurance, teacher and lecturer
certification, internationally-based schools/madrasahs, and superior
quality-based education management into the National Education System
Constitution Number 20 of 2003 as a a strategy to
improve the quality of education under the auspices of the ministry of national
education and under the auspices of the ministry of religion more evenly. So this research is an illustration that religious education
is not left behind or abandoned by the government. The researcher used descriptive
qualitative research.
Keywords: quality of education; national
education system constitution no. 20 of 2003
Pendahuluan
Ada lima hal
yang melatarbelakangi terjadinya
perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.� Kelima
hal tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, bahwa pendidikan di Indonesia mutunya masih berada
di bawah mutu pendidikan negara-negara di kawasan
Asia Tenggara, sehingga lulusannya
belum diakui secara internasional, dan karenanya mereka tidak memiliki akses, serta tidak
mampu bersaing di pasaran global yang kompetitif.� bahwa pendidikan yang dilaksanakan ternyata belum dapat diberikan secara merata kepada
seluruh masyarakat
Indonesia, terutama dari golongan keluarga kurang mampu atau
mereka yang tergolong
miskin.� Ketiga,
bahwa pendidikan yang dilaksanakan belum dapat membelajarkan masyarakat, sehingga tidak dapat mewujudkan
konsep masyarakat belajar (learning society) dan konsep
belajar seumur hidup (long life education).� Keempat, pendidikan yang dilaksanakan masih belum terkait
dan sesuai (link and mach) dengan dunia usaha dan industri (Dudi), sehingga tamatan pendidikan tidak dapat diserap oleh lapangan kerja yang tersedia, dan pada gilirannya menimbulkan dampak yang ditimbulkan oleh para penganggur.� Kelima, pendidikan yang dilaksanakan masih belum mampu
meningkatkan kualitas hidup, ketakwaan dan mulia para lulusannya, sebagai akibat dari belum efektifnya
pelaksanaan pendidikan
agama, akhlak mulia, dan budi pekerti.
Kajian- kajian terhadap Islam di
Indonesia dengan melihat berbagai gejala terakhir mengundang hipotesis bahwa Islam tidaklah mengalami ke munduran di era modernisasi dengan segala dampak yang ditimbulkannya. Sebaliknya Islam mengalami kebangkitan dan menemukan vitalitas baru dalam modernisasi.
(Amirudin (2015:167).
Dengan demikian,
lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional tersebut mengemban
misi peningkatan mutu pendidikan, pemerataan pendidikan, menciptakan masyarakat belajar yang semakin berbudaya dan beradab, relevansi dunia pendidikan dengan dunia kerja, serta peningkatan akhlak mulia, kepribadian
dan karakter bangsa.
Dalam tulisan yang singkat ini perhatian
akan fokus pada kajian tentang strategi peningkatan mutu pendidikan Islam sebagaimana yang
terkandung dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dengan
terlebih dahulu mengemukakan pengertian dan ruang lingkup pendidikan
Islam.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan
adalah penelitian pustaka (library research). Karena untuk
menerangkan suatu teori yang di jelaskan dalam penelitian ini. Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku,
catatan, maupun laporan hasil penelitian
terdahulu.
Hasil dan Pembahasan
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Mutu Pendidikan Islam
Mutu memiliki
pengertian yang bervariasi.
Seperti yang dinyatakan
Nomi Pfeffer dan Anna Coote, sebagai
dikutif Edward Sallis, bahwa mutu merupakan
konsep yang licin.� Saling mengimplikasikan hal-hal yang berbeda pada masing- masing orang.� Tak dapat disangkal bahwasanya setiap orang setuju terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan.� Hanya saja, masalah yang muncul biasanya adalah kekurangan kesamaan makna tentang mutu tersebut
dan banyaknya presepsi-presepsi
lain. Sebuah alasan yang
paling mungkin dalam memahami karakter yang membingungkan tersebut adalah, bahwa mutu
merupakan gagasan yang dinamis.� Kekuatan emosi dan moral yang dimiliki sehingga menjadi sebuah gagasan yang sulit untuk disamkan.� Ada suatu perasaan bahwa kekuatan emosi dan moral tersebut akan hilang
jika ia terlalu
dicekoki dan direcoki dengan analisis akademik. Beberapa kebingungan terhadap pemaknaan mutu bisa muncul karena
mutu dapat digunakan sebagai suatu konsep yang secara bersama-sama absolut dan relatif.� Mutu dalam percakapan sehari-hari sebagian besar di- pahami sebagai suatu yang absolut, misalnya restoran yang mahal dan mobil-mobil
yang mewah. Sebagai suatu konsep yang absolut, mutu sama
halnya dengan sifat baik, cantik,
dan benar; mutu merupakan suatu idealisme yang tidak dapat dikompromikan.
Definisi yang mutlak,
sesuatu yang bermutu merupakan bagian dari standar yang sangat tinggi yang tidak dapat diungguli. Produk-produk yang bermutu adalah sesuatu yang dibuat dengan sempurna
dan dengan biaya yang
mahal. Produk-produk tersebut
dapat dinilai serta membuat puas
dan bangga bagi pemiliknya. Selanjutnya mutu dapat juga digunakan sebagai suatu konsep yang relative. Definisi relatif tersebut memandang mutu bukan sebagai
suatu atribut produkatau layanan, tetapi sesuatu yang dianggap berasal dari produk atau
layanan tersebut. Mutu dapat dikatakan
jika sebuah layanan memenuhi spesifikasi yang ada. Mutu merupakan sebuah cara yang menentukan apakah produk terakhir sesuai dengan standar
atau belum. Produk atau layanan
yang memiliki mutu, dalam konsep yang relatif ini tidak
harus mahal atau eksklusif.� Produk atau layanan
tersebut bisa cantik, bisa tidak
harus selalu demikian Produk atau layanan tersebut
tidak harus spesial, tapi ia
harus asli, wajar dan familiar.
Perkembangan pendidikan juga sangat
dipengaruhi oleh kebijakan
pendidikan. Karena kebijakan
pendidikan dapat menentukan hal-hal yang strategis
dalam sistem pendidikan sehingga pendidikan bisa berjalan secara efektif dan
efisien. Namun pengambilan kebijakan dalam dunia pendidikan dipengaruhi
faktor-faktor strategis. (Amirudin, 2017:2)
Menurut Edward Sallis (2006: 49) bahwa Definisi yang relative tentang mutu tersebut memiliki
dua aspek. Pertama adalah menyesuaikan diri dengan spesifikasi. Kedua adalah memenuhi
kebutuhan pelanggan. Cara pertama, penyesuaian diri dengan spesifikasi
sering disimpulkan sebagai sesuai dengan tujuan dan manfaat. Kadangkala difinisi ini sering
dinamai definisi produsen tentang mutu. Produsen bersama dapat diperoleh
melalui produk atau layanan yang memenuhi spesifikasi awal yang diterapkan dalam pola yang konsisten.� Para produsen menunjukkan bahwa mutu memiliki
sebuah sistem, yang bisa disebut sistem
jaminan mutu (sistem jaminan kualitas), yang memungkinkan roda produksi menghasilkan
produk yang secara konsisten sesuai dengan standar atau spesifikasi tertentu. Sebuah produk dikatakan bermutu selama produk tersebut secara konsisten, sesuai dengan tuntutan
pembuatannya. Cara kedua, mutu disesuaikan dengan harapan dan masyarakat yang bersifat dinamis dan variatif.� Mutu dalam cara yang kedua ini sepenuhnya
tunduk pada kepentingan pelanggan (customers oriented), dan karenanya
tidak ada mutu yang seragam pada semua orang. Untuk menjawab kebutuhan pelanggan ini, maka penelitian terhadap analisis kebutuhan pelanggan merupakan suatu keharusan. Dengan cara ini, maka
terjadi dalam memproduk barang atau jasa dapat
dipertahankan.
Pengertian tentang
mutu selanjutnya dikemukakan oleh Fandy dan
Anastasia dalam buku Total
Quality Management (2003:3) menyebutkan bahwa mutu mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu.
Dalam menentukan mutu jasa bioskop
misalnya, aspek-aspek yang berkaitan dengan mutu antara lain berkaitan dengan ketepatan dalam waktu penayangan, lingkungan atau tata ruang, kursi yang nyaman/empuk, harga,
pilihan film yang ditayangkan,
serta sound system.
Selanjutnya banyak
pakar dan organisasi yang mencoba mendefinisikan kualitas berdasarkan sudut pandangnya masing-masing. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Performance to the
standard expected by the customer, yakni menghasilkan
standar menghasilkan standar yang diharapkan oleh pelanggan. Dengan demikian, suatu ukuran diukur pada seberapa jauh pelanggan
merasa puas dan puas dengan keinginan
dan harapannya.
2. Meeting the custemer�s needs the first time and every time, yakni
melayani kebutuhan pelanggan setiap saat secara tepat
waktu.
3. Providing our custemers with products and services that consistently meet
their needs and expectations, yakni menyediakan
atau memberikan kebutuhan pelanggan kita dengan produk
dan pelayanan yang konsisten
dan sesuai dengan kebutuhan dan harapan mereka.
4. Doing the right thing
right the first time, always striving for improvement, and� always satisfying customer. Melakukan hal
yang benar pertama kali, selalu berusaha untuk perbaikan, dan selalu memuaskan pelanggan.� melakukan sesuatu yang baik dengan baik
tepat waktu, selalu berusaha sungguh-sungguh untuk memperbaiki dan nantiasa memuaskan pelanggan.
5. A pragmatic
systems of continual improvement, a way to successfully organize man and
machines.
Yaitu adanya sistem perbaikan secara terus menerus
yang dapat digunakan, sebagai jalan menuju
keberhasilan pengelolaan sumber daya manusia
dan peralatan.
6. The meaning of excellence. Yakni
pengertian yang unggul.
7. The unyielding and
continuing effort by everyone in an organization to understand, meet, and
exceed the need of its customers. Yakni usaha
yang dilakukan seseorang dengan sungguh-sungguh dan berkelanjutan dalam sebuah organisasi dalam rangka memahami,
memenuhi dan meningkatkan kebutuhan pelanggan.
8. The best product that you
can produce with the materials that you have to work with. Yakni
kualitas yang baik yang dapat dihasilkan dengan material yang dikerjakan
Bersama.
9. Continuous good product
which a customer can trust. Yakni melanjutkan
hasil yang baik yang dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat.
10. Not only satisfying
customers, but delighting them, innovating, creating. Yakni
bukan hanya memuaskan pelanggan, melainkan juga menyenangkan, meningkatkan dan mendorong mereka untuk menyukainya.
Diakui meskipun
belum ada definisi mengenai mutu yang dapat diterima oleh semua pihak secara universal namun dari definisi-definisi
yang dikemukakan tersebut, terdapat kesamaan, yaitu adanya kualitas
yang meliputi usaha memenuhi atau melebihi
harapan pelanggan; kualitas mencakup produk, jasa, manusia,
proses dan lingkungan, serta
kualitas merupakan kondisi yang berubah-ubah, misalnya apa yang dianggap kualitas saat ini mungkin
dianggap kurang berkualitas pada masa mendatang.
Selain itu,
uraian tersebut di atas juga memperlihatkan adanya penegasan dan keberpihakan yang kuat dalam menentukan sesuatu sebagai yang bermutu, yaitu Ketika sesuatu itu : produk, jasa,
manusia, proses, lingkungan,
dan sebagainya benar-benar dapat menyenangkan, memanjakan, dan meningkatkan kepercayaan pada pelanggan.
Aktivitas-aktivitas islami merupakan kegiatan-kegiatan di madrasah
yang ditujukan untuk mentradisikan perilaku positif (akhlak al-karimah) siswa yang didasari oleh ajaran Islam. Artinya, aktivitas- aktivitas Islami di sekolah adalah perwujudan dari nilai-nilai Islami yang diyakini sekolah dalam kehidupan nyata. Dalam pemahaman
lain, aktivitas religius (Islami) merupakan upaya sekolah untuk menerjemahkan
dan mewujudkan nilai-nilai Islami kedalam perilaku nyata. (Amirudin, Acep Nurlaeli;,
Iqbal Amar Muzaki. 2020:618).
Definisi tentang
mutu yang bernuansa ekonomi tersebut selanjutnya tidak digunakan hanya dalam kegiatan bisnis atau usaha
hal-hal yang berkaitan dengan perdagangan dan yang semisalnya, tetapi juga digunakan sebagai ukuran kegiatan pendidikan. Hal ini terjadi, karena saat ini pendidikan
lebih dilihat sebagai sebuah bisnis, investasi dan jasa yang harus memiliki keuntungan. Usaha ini harus dilakukan
dengan cara memberikan jasa pendidikan yang bermutu, yaitu pendidikan dengan segala aspeknya
yang benar-benar dapat memuaskan pelanggan, baik pelanggan eksternal, yang dalam hal ini peserta
didik, mahasiswa atau sebutan lainnya,
maupun pelanggan internal, yakni para pelaksana pendidikan tersebut, mulai dari pimpinan,
para pendidik, tenaga kependidikan, dan sebagainya.
Dengan demikian,
dapat diketahui, bahwa pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang mencakup seluruh komponen serta berbagai perangkat pendukung lainnya dapat memuaskan
peserta didik, pimpinan, guru dan masyarakat
pada umumnya.� Komponen pendidikan yang bermutu tersebut antara lain terkait dengan kurikulum atau pelajaran yang diberikan, proses belajar mengajar, tenaga pendidik, tenaga kependidikan, sarana prasarana, lingkungan, pengelolaan, dan lain sebagainya. Pendidikan agama
Islam adalah suatu proses bimbingan kepada peserta didik berlandaskan ajaran-ajaran
Islam agar dapat mencapai derajat setinggi-tingginya sehingga ia mampu menunaikan tugasnya sebagai khalifah dimuka bumi dan akhirnaya dapat mewujudkan kebahagiaan di dunia
dan akhirat. (M.Tawab,
amirudin, Acep Nurlaeli, 2020 : 754).
B. Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Islam
Melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa lahirnya
Undang-undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah
karena ingin meningkatkan mutu Pendidikan, sehingga dapat mencapai tingkatan yang setara atau bahkan
melebihi mutu Pendidikan
yang terdapat di negara lain. Berkenaan
dengan keinginan tersebut, maka strategi yang ditempuh oleh UU Sisdiknas tersebut, antara lain sebagai berikut.
Pertama, bahwa di dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas tidak hanya mencakup Pendidikan formal tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI),
Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) dan
Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), melainkan
juga termasuk pendidikan keagamaan, yakni Madrasah Diniyah dan Pesantren, sera pendidikan diniyah non formal, yakni pengajian kitab, majelis taklim, pendidikan Al-Qur'an, Diniyah Takmiliyah, atau bentuk lain yang sejenis. Dengan dimasukkannya pendidikan agama dan keagamaan ini ke dalam
undang-undang tersebut menunjukkan kesungguhan yang tinggi dari pemerintah,
agar mutu pendidikan Islam
(termasuk pendidikan agama)
dapat ditingkatkan. Hal
yang demikian terjadi, karena dimasukkannya ke dalam undang-undang
dan peraturan tersebut, berarti pendidikan agama akan mendapatkan pengobatan yang sama dengan pendidikan umum, dalam hal
dana, sarana prasarana, pembina dan lain sebagainya. Kedua, di dalam Bab IX, Pasal 35 Undang-Undang Nomot 20 Tahun 2003 telah ditetapkan adanya standar nasional peserta didik, yang meliputi standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, biayaan dan pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Upaya ini lebih
lanjut dijabarkan dalam peraturan pemerintah RI Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasi�nal Pendidikan, serta dijabarkan lebih lanjut dalam
peraturan Mentri.
Dalam teknis pelaksanaannya, peningkatan mutu pendidikan melalui penetapan standar nasional pendidikan ini dilaksanakan oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah dan
Madrasah (BAN S/ M), serta Badan Akreditasi
Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), Melalui institusi-institusi ini, maka mutu
pendidikan dengan berbagai komponennya benar-benar terbukti� dengan
seksama.
Ketiga, dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pada Bab XV Pasal 91 terdapat ketentuan tentang penjaminan mutu.� Yaitu: (1) setiap satuan pendidikan
dari jalur formal dan non
formal wajib melakukan penjaminan mutu pendidikan; (2) penjaminan mutu pendidikan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan; dan (3) penjaminan
mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, sistematis, dan terencana dalam suatu program penjaminan mutu yang memiliki target dan kerangka waktu yang jelas.� Penjamin mutu pendidikan ini termasuk pendidikan
Islam yang di dalamnya terdapat
pendidikan agama dan pendidikan
keagamaan.
Keempat, di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Bab XVII,
Bagian Ketiga, Pasal 61 terdapat ketentuan tentang Sertifikasi. Ketentuan ini selanjutnya
di perkuat oleh Nomor 14 thn 2005 tentang sertifikasi guru dan dosen, serta sebagai peraturan
turunannya. Didalam ketentuan tersebut dinyatakan, bahwa dalam rangka meningkatkan
mutu Pendidikan perlu dilakukan peningkatan mutu guru kearah yang lebih professional, yaitu guru
yang memiliki kompetensi akademik, profeional, pedagogi, kepribadian dan social.
Dengan adanya ketentuan ini, maka diharapkan tidak ada lagi
guru yang tidak professional yang berani
melaksanakan tugas kependidikan.
Kelima, kebijakan tentang sekolah berstandar internasional (SBI) yang didasarkan
pada adanya standar yang harus dipenuhi pada seluruh komponen pendidikannya, seperti standar isi/kurikulum,
standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar pengelolaan pendidikan, standar sarana prasarana, dan lain sebagainya.� Selain itu, SBI ini juga misalnya harus menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar atau Bahasa internasional lainnya, dipimpin oleh kepala sekolah yang bergelar doktor untuk tingkat SMU, pengelolaan administrasi yang berbasis teknologi informasi, memiliki standar baku mutu
(benchmarking) yang unggul yang ditandai
dengan adanya sertifikat ISO, telah mencapai akreditasi A, dan berbagai persyaratan lainnya Dengan terpenuhinya ketentuan ini, maka sekolah
bertarap internasional tersebut akan dapat
diwujudkan.
Keenam, adanya kebijakan tentang pengelolaan Pendidikan
yang berbasis pada mutu terpadu yang unggul (Total
Quality Management/TMQ) yang bertumpu pada pemberian pelayanan yang terbaik dan memuaskan kepada seluruh pelanggan. Dengan demikian, para pelanggan akan merasa puas,
terpenuhi harapannya, nyaman dan menyenangkan. Dalam konteks ini,
pendididikan dilihat sebagai sebuah restoran yang menawarkan menu
yang sesuai dengan selera pelanggan, pelayanannya yang ramah, santun, simpatik dan penuh perhatian, tempat yang bersih, indah, aman dan nyaman, harganya terjangkau, dan suasananya yang menyenangkan serta harga yang terjangkau. Dengan demikian, setiap uang yang dibayar oleh pelanggan dapat diimbangi dengan produk, jasa, dan lingkungan yang bermutu.
Dunia pendidikan juga tidak
dapat terlepas dari sistem manajemen.
Pada Pendidikan terdapat beberapa
kelemahan mendasar dalam penyelenggaraannya di
Indonesia, dan kelemahan mendasar
itu antara lain yaitu bidang manajemen
yang mencakup dimensi
proses dan substansi. Pada tataran
proses, seperti perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi belum dilakukan dengan prosedur kerja yang ketat. Pada tataran substantif, seperti personalia, keuangan, sarana dan prasarana, instrument pembelajaran, layanan bantu, layanan perpustakaan, dan sebagainya, tidak hanya substansinya
belum komprehensif, melainkan kriteria keberhasilan untuk masing-masingnya belum ditetapkan secara taat asas. (Amirudin,
2017:1).
Madrasah menjadi alternatif
pendidikan yang mudah dijangkau oleh masyarakat, karena waktu yang bersifat dapat menyesuaikan dan tempat yang masih dekat dengan
rumah pribadi dan bersifat sementara sehingga pembelajaran hanya dilakukan beberapa jam untuk mendalami materi saja. Madrasah juga dapat menjadi pionir kemajuan salah satu Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang telah berdiri di Indonesia. Dengan kata lain pendidikan Islam
di Indonesia sudah mempunyai
harapan untuk perkembangan masyarakat yang bertujuan memiliki kepribadian muslim dengan mempelajari ajaran-ajaran Islam sejak dini. Sekolah atau
madrasah merupakan lembaga pendidikan termasuk yang penting setelah pendidikan dari keluarga, karena semakin bertambah kebutuhan anak, maka para orang tua menyerahkan tanggung jawabnya sebagian kepada lembaga sekolah ini. (wina khaerunisa, Amirudin, Iqbal Amar Muzaki, Moh.Subhan, 2021:164).
Kesimpulan
Berdasarkan uraian
dan analisis sebagaimana tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa upaya peningkatan
mutu Pendidikan Islam sudah
terintegrasi kedalam Sistem Pendidikan Nasional, sebagaimana
diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003. Keadaan ini seharusnya dimanfaatkan oleh para pengelola
Pendidikan Islam, Karena didalam undang-undang
tersebut sudah terbuka berbagai peluang yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan mutu Pendidikan
Islam.
Abdul Jalil, Amirudin,
Acep Nurlaeli. (2020). Implementasi Pendidikan Karakter
Berbasis Budaya Religius
(Studi Deskriptif
Di Sdit Tahfizh Qur�an Al-Jabar). Jurnal Wahana Karya Ilmiah_Pascasarjana (S2)
Pai Unsika, Vol.4 (2),4613�621.
Amirudin
(2015). Transformasi Intelektual Melalui Penerbitan Buku-Buku Islam Serta Pengaruhnya
Terhadap Dakwah Islam. Jurnal Studi Al-Qur�an, Vol.11 (2), 166-181.
Amirudin
(2017). Peranan Manajemen Perguruan Tinggi Dan Implementasinya
Di Fakultas Agama Islam (Fai) Unsika.
Jurnal Pendidikan Islam Rabbani, Vol. 1 (No.1).Asy�arie, Musa, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-Qur�an, (Yogyakarta:
Lembaga Studi Filsafat
Islam, 1992), Cet. I.
Al-Fiqqi, Ibrahim, 10 Kunci Pembangkit Diri Menuju Sukses, (Solo: Abyan,
2010).
Al-Jami�ah, Journal
Of Islamic Studies, Volume No. 45. No. 2. 2007,
Yogyakarta-Indonesia.
Buchori, Mochtar, Pendidikan
Antisipatoris, (Yogyakarta: Kanisius,
2005), Cet. V.
Himpunan Peraturan Tentang
Pendidikan Tinggi Di Indonesia Dan Pedoman Umum Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, (Jakarta: Bina Dharma Pemuda, 2004).
Muhamad Tawab, Amirudin, Acep Nurlaeli, (2020). Konsep
Pendidikan Karakter Dalam Kitab Adāb Al-�Ālim
Wa Al-Muta�allim Karya Kh. Hasyim Asy'ari Dan Implementasinyadalam Penguatan
Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam
Di Smp Negeri 2 Cikarang
Selatan. Jurnal Wahana Karya Ilmiah Pascasarjana(S2)
Pai Unsika. Vol. 4 (2).748-760.
Nata, Abuddin, Paradigma Pendidikan
Islam, (Jakarta: Grasindo Persada,
2005), Cet. I.
____________,
Pendidikan Multikultural Dalam
Islam, (Jakarta: Uin Jakarta Press, 2005).
Palmer,
Joy, A., 50 Pemikir Pendidikan Dari Piaget Sampai Masa Sekarang,
(Yogyakarta: Jendela, 2003), Cet. I.
Prayitno, Dasar Teori Dan Praksis
Pendidikan, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia,
2009), Cet. I.
Prawironegoro, Filsafat Ilmu
Pendidikan, (Jakarta : Nusantara Consulting, 2010).
Rahardjo, M. Dawam, (Ed), Insan
Kamil Konsep Manusia Menurut Islam, (Jakarta: Grafiti
Press, 1987), Cet. Ii.
Rahman,
Fazlur, Tema Pokok
Al-Qur�an, (Terj.) Anas Mahyuddin
Dari Judul Asli Major Themes Of
The Qur�an (Bandung: Pustaka, 1403 H/ 1983 M), Cet. I.
Rahman,
Yusuf, Islam And Society In Contemporary Indonesia,
(Jakarta: Faculty Of Graduate Studies, 2006).
Soemantri Brodjonegoro, Satryo,
�Dekastanisasi Pendidikan�, Dalam
Kompas, Jum�at, 25 Maret
2011.
Suwito, Education In Several Countries, (Jakarta: Uin Jakarta Press, 2002).
Tjahyono, Herry, Culture Based Leadership Menuju Kebesaran Diri Dan Organisasi Melalui Kepemimpinan Berbasiskan Budaya Dan Budaya Kinerja Tinggi, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2011),
Cet. I.
Wina Khaerunisa, Amirudin, Iqbal Amar Muzaki, Moh.Subhan (2021). Madrasah Sebagai Alternatif Pelaksanaan Pendidikan Islam Dalam
Persepsi Masyarakat (Studi Kasus Di Dta Sirojul
Falah Ii, Telukjambe Barat Karawang). Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Keislaman. Vol.8
(2).164-177.
Copyright holder: Hana Niswatus Salamah,
Amirudin, Achmad Junaedi Sitika (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |