Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 5, Mei 2022

 

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DALAM TRANSAKSI JUAL -BELI ONLINE (E-COMMERCE)

 

Chatarina Dwi Agista, Margaretha Andini Oktavina, Anggana Rahma Tiya

Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Jakarta, Indonesia

Email: [email protected][email protected], [email protected] 

 

Abstrak

Meluasnya praktik transaksi bisnis online (e-commerce) di Indonesia memudahkan masyarakat yang ingin berbelanja barang dan jasa yang diinginkan, namun masih banyak terjadi pelanggaran hak-hak konsumen sehingga membuka peluang terjadinya kecurangan dari pelaku komersial atau pihak ketiga mengenai keamanan Data pribadi yang perlu dijamin oleh operator toko online mempengaruhi perlindungan konsumen. Investigasi ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan pengguna jasa perdagangan online (e-commerce) terkait kerahasiaan data pribadi dan bagaimana pemilik toko menyelesaikan sengketa terkait kerugian konsumen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlindungan konsumen saat melakukan jual beli online di e-commerce bersifat ambigu karena perlindungan konsumen terhadap kerugian akibat tidak diungkapkannya kewajiban dan wanprestasi (atau biasa disebut wanprestasi) dalam pembelian digital. Proses penjualan dapat mengambil banyak bentuk dan sering terjadi, tetapi tidak terlalu rahasia. Menunjukkan masalah/kejadian proses standar.

 

Kata Kunci: perlindungan hokum; konsumen; e-commerce

 

Abstract

The widespread practice of online business transactions (e-commerce) in Indonesia makes it easier for people who want to shop for the goods and services they want, but there are still many violations of consumer rights that open up opportunities for fraud from commercial actors or third parties regarding the security of personal data that needs to be guaranteed. by online shop operators affect consumer protection. This investigation aims to determine the protection of online trading service users (e-commerce) regarding the confidentiality of personal data and how shop owners resolve disputes related to consumer losses. The results of this study indicate that consumer protection when buying and selling online in e-commerce is ambiguous because consumer protection against losses due to non-disclosure of obligations and default (or commonly called default) in digital purchases. The sales process can take many forms and occurs frequently, but it is not very secretive. Indicates standard process problems/events.

 

Keywords: legal protection; consumers; e-commerce

 

 

Pendahuluan

Saat ini internet menjadi salah satu tanda perkembangan komunikasi yang paling pesat. Internet sebagai sarana informasi dan komunikasi elektronik yang banyak digunakan dalam berbagai kegiatan termasuk kegiatan bisnis. Perkembangan ini telah mempengaruhi kebiasaan mereka yang berdagang secara langsung atau tatap muka.

Internet telah mencakup hampir seluruh dunia. Pada tahun 1998, diperkirakan lebih dari 100 juta orang menggunakan internet dan naik pesat sekitar tahun 2005 dengan angka lebih dari 300 juta orang telah menggunakan internet. Hal ini mendorong banyak orang perlahan mulai melakukan transaksi jual beli melalui internet, atau lebih dikenal dengan istilah jual beli online. Transaksi jual beli online ini lebih praktis dan mudah, karena konsumen dan pelaku bisnis dapat melakukan transaksi jual beli kapan saja dan di mana saja (Astuti & Wirasila, 2018).

Internet dapat digunakan untuk bisnis karena terbuka untuk masyarakat luas. Dalam hal kemajuan teknologi, ada dua keuntungan melakukan bisnis. Hal ini dikarenakan meningkatnya permintaan akan produk teknologi itu sendiri dan kemudahan transaksi bisnis.

Dengan menggunakan internet, para penjual berbagai jenis produk dapat melakukan aktivitas jual beli secara elektronik, atau disebut sebagai e-commerce. Pesatnya pertumbuhan pengguna internet telah menjadikan internet sebagai cara yang sangat efektif untuk berbisnis (Indrajit, 2001). Jual beli melalui media tersebut merupakan alternatif yang menarik, karena konsumen dapat mencari barang yang dibutuhkan, membandingkan harga, membayar hanya melalui transfer bank, dan menunggu barang datang di rumah. Produk yang masih tersedia dalam toko online tersebut terbuka untuk siapa saja selama 24 (dua puluh empat) jam dan kapan saja.

Transaksi jual beli secara umum diatur dalam Buku III tentang Perikatan, khususnya KUHPerdata Bab I-V (selanjutnya disebut KUHPerdata). Namun, secara khusus transaksi jual beli secara elektronik ini diatur dengan Undang-Undang Nomor 19. Tahun 2016 tentang Perubahan yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Menurut Pasal 1457 KUH Perdata, jual beli adalahsuatu perjanjian dimana satu pihak berjanji untuk menyerahkan barang dan pihak lainnya akan membayar sesuai dengan harga yang diperjanjikan�. Pasal tersebut mengartikan bahwasanya kegiatan jual beli merupakan suatu bentuk penyerahan barang yang dijual oleh pelaku usaha, dan pelaku usaha akan mendapatkan uang dari konsumen atas barang yang telah dijualnya. Pasal 1 (2) UU ITE menyatakan bahwakegiatan perdagangan elektronik adalah perbuatan hukum dengan menggunakan komputer, jaringan, dan/atau media digital lainnya�.

Di Indonesia sendiri, pertumbuhan pengguna dalam kegiatan jual beli melalui media sosial berkembang pesat. Kegiatan jual beli online ini sudah berperan penting dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia. Namun sangat disayangkan, ternyata kegiatan ini juga menimbulkan hal negatif kepada konsumen itu sendiri. Sering terjadi tindakan penipuan dalam jual beli melalui media sosial. Banyak konsumen yang tidak menyadari bahwa situs jual beli online yang digunakan mereka adalah palsu. Pelaku usaha tersebut menggunakan jaringan internet sebagai lahan terbuka untuk mendapatkan penghasilan dengan cara yang tidak baik. Oleh karena itu, diperlukan perlindungan hukum bagi konsumen untuk menjamin segala tindakan terkait jual beli di media sosial.

Ada perbedaan antara situs resmi dan situs yang terindikasi tidak resmi, ciri-ciri situs tidak resmi adalah sebagai berikut; Penggunaan nama domain gratis (url/alamat website). Tampilan website terkesan berlebihan (tidak cocok untuk perusahaan besar dengan produk ribuan dan modal ratusan hingga miliaran). (Astuti & Wirasila, 2018) Tidak mencantumkan alamat yang jelas, hanya menyediakan nomor handphone, bukan rumah atau kantor. Produk yang dijual dengan harga murah, di bawah standar, dan layanan pelanggan yang sulit dihubungi.

Untuk itu penulis tertarik menjabarkan permasalahan terkait dengan judul penelitian ini, yaitu apakah suatu kontrak dalam jual beli online dapat dikatakan sah jika dibuat tanpa pertemuan langsung antar kedua belah pihak. Juga bagaimana tanggung jawab dan perlindungan hukum bagi konsumen apabila terjadi wanprestasi dalam transaksi jual beli online.

 

Metode Penelitian

Metodologi penelitian ini dalam mengumpulkan data menggunakan: metode literatur pustaka. Dalam menjawab problematika penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan metode literatur pustaka, diawali dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang berupa peraturan perundang-undangan dan buku-buku yang ditulis oleh para ahli hukum yang berkaitan dengan judul penelitian. Untuk mendukung bahan penelitian juga diperoleh dari artikel, jurnal, dan berbagai sumber lainnya.

 

Hasil dan Pembahasan

1.   Syarat Keabsahan Jual Beli di E-Commerce

Kontrak pada dasarnya adalah suatu peristiwa yang nyata dan dapat diamati, dimana kontrak tersebut dapat tertulis atau tidak tertulis. Meskipun kewajiban bersifat abstrak atau merupakan hasil dari kontrak yang memaksa individu atau pihak untuk melaksanakan apa yang dijanjikan, masih banyak pihak yang tidak dapat mematuhi isi dari perjanjian tersebut.

Perjanjian jual beli pada umumnya merupakan perjanjian dengan pemahaman yang sama antara kedua pihak, sehingga ada keinginan para pihak dalam membangun sebuah kontrak. Oleh karena itu ada perjanjian jual beli yang didalamnya terdapat perjanjian formil, yang perlu dilakukan secara tertulis dalam bentuk akta otentik yaitu jual beli real estate.

Berdasarkan asas persetujuan, dapat dipahami bahwa sumber kewajiban kontraktual adalah konvergensi kehendak atau persetujuan para pihak yang membuat kontrak. Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak segera setelah mereka mencapai kesepakatan tentang barang dan harga, meskipun barang belum diserahkan atau harga belum dibayar. Dalam transaksi E-Commerce tidak ada proses perdagangan seperti dalam transaksi jual beli langsung di pasar (Dewi & Suyatna, 2016). Barang dan harga yang ditawarkan terbatas dan sudah ditentukan oleh penjual. Jika pembeli tidak setuju atau tidak setuju maka pembeli bebas untuk menghentikan transaksi. Selain itu, pembeli dapat mencari website atau toko lain yang lebih sesuai dengan keinginan mereka. Suatu kesepakatan dihasilkan dalam transaksi E-Commerce jika pembeli menyetujui barang dan harga yang ditawarkan oleh penjual (merchant).

Jika unsur pertama dan kedua tidak terpenuhi, kontrak dapat dibatalkan. Sedangkan jika unsur ketiga dan keempat tidak terpenuhi, maka akad tersebut batal demi hukum. Suatu perjanjian tidak hanya membangkitkan apa yang dinyatakan secara eksplisit di dalamnya, tetapi segala sesuatu yang menurut sifatnya memerlukan suatu perjanjian sebagai masalah keadilan, adat, atau hukum. Syarat-syarat yang selalu disepakati oleh konvensi dianggap termasuk dalam kontrak, meskipun tidak diatur secara eksplisit (Gazali & Usman, 2012).

2.   Tinjauan Hak Konsumen

Pasal 4 UUPK menyebutkan bahwa hak-hak konsumen meliputi: Hak untuk menerima barang dan jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi sesuai dengan perjanjian semula. Hak untuk mengoreksi informasi yang akurat, jelas dan jujur ​​mengenai syarat dan jaminan barang dan/atau jasa. Hak atas kerusakan, ganti rugi, dan/atau penukaran jika barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai atau tidak sesuai. dll.

Sedangkan kewajiban pelaku ekonomi menurut Pasal 7 UUPK antara lain: Memberikan informasi yang akurat, jelas dan jujur ​​tentang kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan petunjuk penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Ganti rugi, kerusakan dan/atau penggantian jika barang dan/atau jasa yang diterima atau digunakan tidak sesuai dengan kontrak.

Pasal 8 UUPK melarang pelaku usaha menangani barang/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang tertera pada label, etiket, keterangan, iklan, atau promosi barang dan/atau jasa tersebut. Ketidaksesuaian antara spesifikasi produk yang diterima dari kami dengan produk yang tertera pada iklan/foto penawaran produk akibat produk tersebut merupakan bentuk pelanggaran/larangan pelaku komersial dalam bertransaksi produk (Iman Sjahputra, 2021).

3.   Hukum Perlindungan Konsumen

Bagi banyak orang, jual beli di dunia maya adalah tren atau mode baru yang hampir tidak disadari banyak orang. Jual beli di dunia maya sama dengan jual beli alat-alat mewah dan mahal, dan masih banyak orang yang beranggapan hanya orang-orang tertentu saja yang bisa membelinya. Oleh karena itu, dalam hal ini penulis mencoba menjelaskan tentang pentingnya transaksi online di dunia maya.

Dalam pengertian ini, ini adalah aktivitas umum yang dilakukan antara pedagang dan pembeli, atau dengan pihak lain dalam hubungan kontraktual yang sama, untuk menyediakan produk atau layanan. Kegiatan jual beli online ini terdapat dalam media elektronik yang secara fisik tidak memerlukan pertemuan dengan pihak-pihak yang melakukan jual beli online, dan keberadaan media tersebut dalam sistem tertutup (Wedari & Westra, 2018).

Jual beli online bukanlah mesin untuk menjual barang dan jasa melalui dunia maya atau internet, tetapi tidak seperti Kosiur yang menunjukkan bahwa hal itu mengarah pada bisnis yang mengubah cara perusahaan swasta melakukan pekerjaan sehari-hari.

Ada kesamaan antara masing-masing definisi ini dalam arti yang berbeda yang diberikan dan digunakan oleh berbagai kalangan masyarakat. Kesamaan tersebut menunjukkan bahwa jual beli di Internet memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a)  Terjadinya kegiatan percakapan transaksi antar dua orang;

b)  Adanya kegiatan tukar menukar barang atau informasi;

c)  Internet adalah alat paling penting dalam proses perdagangan.

Tanggung jawab pemilik bisnis kepada pembeli dalam aktivitas jual beli melalui Internet umumnya tidak diatur dengan baik oleh undang-undang perlindungan konsumen dan perdagangan informasi elektronik.UUPK hanya mengatur jual beli tradisional seperti pasar, sedangkan UU ITE mengatur tentang perdagangan elektronik, namun tidak ada penjelasan khusus tentang jual beli secara rinci. Dan kelemahan ini mempersulit masyarakat umum untuk menuntut ganti rugi dari pemilik ruang komersial ketika melakukan jual beli online melalui dunia maya internet ketika kerugian terjadi pada masyarakat umum dan konsumen, merupakan faktor utama yang harus dilakukan.

Sehubungan dengan pertanggung jawaban transaksi penjualan online melalui internet, pengusaha tetap dikenakan biaya atau tanggung jawab, apalagi jika produk yang diperjualbelikan tidak sesuai dengan keinginan pembeli dan pembeli merugikan produk tersebut.UU ITE tidak secara khusus mengatur jual beli. Tentu saja faktor budaya masyarakat Indonesia yang kurang memahami hak perlindungan sebagai pembeli dan tanggung jawab pemilik atau pelaku usaha itu sendiri memunculkan isu perlindungan konsumen.

Selain itu, lembaga-lembaga seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berkontribusi terhadap terwujudnya perlindungan konsumen di Indonesia juga berfungsi normal.

4.   Gugatan adanya Wanprestasi

Tindakan awal menghadapi problem tersebut dengan pendekatan hukum bagi jual beli secara online yang terjadi di Indonesia. Usaha yang dapat dilakukan para konsumen untuk mendapatkan haknya yaitu menerima ganti rugi dalam kegiatan jual beli online dapat dengan:

a)  Litigasi

Rujukan terkait proses pengadilan diatur dalam Pasal 38 (1) UndangUndang Teknologi Informasi dan Komunikasi (UU ITE) dan Pasal 45 (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK).Pasal 38 (1) UU ITE menyatakan sebagai berikut.

Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi nformasi yang menimbulkan kerugian�.

Dalam Pasal 45 ayat 1 UUPK menyebutkanSetiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum�.

b)  Non Litigasi

Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan bertujuan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau tindakan tertentu untuk menjamin agar kerugian yang diderita konsumen tidak terulang kembali (Pasal 47 UUPK).

Relief of International E-Commerce Masalah yang timbul jika terjadi sengketa dalam e-commerce internasional adalah memutuskan hukum/pengadilan mana yang akan digunakan untuk menyelesaikan sengketa tersebut, sebagaimana tercantum dalam Pasal 18.

Masalah lebih lanjut muncul jika pilihan hukum tidak termasuk dalam kontrak e-commerce. Ada beberapa teori yang dikembangkan untuk menentukan hukum mana yang tersedia/berlaku (Wedari & Westra, 2018):

1)  Mail box theory (Teori Kotak Pos). Dalam hal transaksi e-commerce, maka hukum yang berlaku adalah hukum dimana pembeli mengirimkan pesanan melalui komputernya pada konsumen.Dengan ini perlu adanya konfirmasi dari pihak terkait. Sehingga suatu proses transaksi tersebut ada karena ada proses yang masuk k epos secara bersamaan.

2)  Teori penerimaan (reception theory). Hukum yang berlaku adalah hukum di mana pesan penerima diberikan. Oleh karena itu, hukum adalah pedagang.

3)  Hukum kontrak yang unik. Hukum yang berlaku adalah hukum yang paling sering diterapkan ketika membuat kontrak. Misalnya bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia, mata uang yang digunakan dalam transaksi tersebut adalah rupiah, metode arbitrase yang digunakan adalah arbitrase nasional Indonesia, dan pilihan hukumnya adalah hukum Indonesia.

4)  Koneksi yang paling khas. Hukum yang berlaku adalah hukum para pihak yang melakukan sebagian besar jasa. Teori ini menjelaskan bahwa keputusan atas pilihan hukum yang berlaku didasarkan pada kinerja, yang melindungi pihak yang berkinerja paling baik untuk mencegahkerugianpihak tersebut, sehingga hukum yang berlaku adalah yang paling berkinerja, yaitu hukum penyedia.

Selain keputusan para pihak tentang hukum yang berlaku, para pihak juga dapat secara langsung menunjuk pengadilan, majelis arbitrase, dan organisasi penyelesaian sengketa lainnya yang mampu menyelesaikan sengketa di antara mereka (Pasal 18 (4) UUITE).

Untuk menyelesaikan sengketa perdagangan antar negara, sebaiknya menggunakan sistem ADR (Alternative Dispute Resolution). Latar belakang yang paling kuat adalah bahwa ADR tidak mempersulit pemangku kepentingan karena perbedaan budaya atau bahasa, atau fitur lainnya. Dasar hukum ADR di Indonesia adalah UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Meskipun pelaksanaan penyelesaian sengketa e-commerce di Indonesia tidak sepenuhnya online, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan kemungkinan penyelesaian sengketa secara online melalui email.

Selain upaya hukum yang tersedia bagi para pihak, hal ini juga dapat dilakukan melalui asas pertanggungjawaban. Prinsip tanggung jawab yang ketat adalah prinsip yang berlaku jika terjadi wanprestasi. Posisi konsumen yang rentan dalam e-commerce menempatkan tanggung jawab sepenuhnya di tangan pelaku usaha. Pelaku usaha bertanggung jawab sepenuhnya atas kegiatan usaha yang dilakukannya dalam rangka transaksi e-commerce.

Oleh karena itu, dalam e-commerce, orang yang bertanggung jawab default. Dalam hal ini, default dilakukan oleh operator ekonomi. Bentuk tanggung jawab yang diberikan pengusaha adalah ganti rugi sebesar kerugian yang diderita konsumen. Jika pelaku usaha tidak bertanggung jawab atas wanprestasi e-commerce, konsumen dapat menempuh jalur hukum berdasarkan Pasal 38 dan 39 UU Penyelesaian Sengketa TEdan melaporkannya kepada pihak yang berwajib.

5.   Pola Penyelesaian Sengketa

Sengketa e-commerce internasional, terutama sengketa bernilai rendah, dapat diselesaikan di forum yang sesuai: Online Dispute Resolution (ODR) atau Online APS. Ini memberi pelanggan solusi dan solusi yang tepat, berbiaya rendah dan efektif. Mengurangi deteksi kasus di luar negeri. Pembeli dan penjual e-commerce dalam penyelesaian sengketa ODR memiliki beberapa keunggulan, antara lain:

Pertama, menghemat waktu dan uang. Keuntungannya adalah para pihak tidak harus menanggung biaya hukum dan biaya terkait. Kecepatan ODR adalah salah satu keuntungan dasar, pihak dan netral tidak perlu menghadiri rapat, juga tidak perlu hadir pada waktu yang sama. Kemudian, dapat mengurangi waktu antar pengiriman. Artinya, solusinya hanya berbasis dokumen.

Kedua, biaya jasa penyelesaian sengketa perdata biasanya terdiri dari biaya lembaga penyelesaian sengketa, biaya dan biaya pihak netral, serta biaya dan biaya pengacara. Dengan ODR, sebagian dari biaya ini dihilangkan atau dikurangi secara signifikan.

Ketiga, pengguna internet dapat dengan mudah mengontrol dan merespons apa yang terjadi dalam proses, memberi mereka kepercayaan diri untuk menghadapi proses yang sedang berlangsung.

Keempat, jika para pihak bersedia untuk bertemu secara langsung, mereka dapat menghindari pertemuan dengan yang lain. Para pihak dapat menghindari rasa takut akan hal ini. Ini masalah psikologis.

Ini juga dapat dipecah menjadi bentuk penyelesaian sengketa online (ODR) yang dapat dilakukan melalui arbitrase online, berdasarkan alternatif penyelesaian sengketa offline atau tradisional. Perkembangan teknologi e-commerce juga mempengaruhi penyelesaian sengketa secara elektronik. Dalam menghadapi gejolak yang tak lekang oleh waktu dan kemajuan teknologi yang pesat dalam sistem hukum, teknologi telah menelan ide penyelesaian sengketa online dalam bentuk arbitrase online (Astuti & Wirasila, 2018).

Arbitrase online adalah pilihan yang menarik untuk menyelesaikan sengketa e-niaga. Ciri khas transaksi online adalah menghubungkan konsumen dan pelaku bisnis dari berbagai negara melintasi batas geografis dan dapat menyebabkan perselisihan. Jumlah yang disengketakan bisa sangat kecil, tetapi memerlukan solusi cepat dan biayanya tidak terlalu tinggi. Upaya yang telah dilakukan, antara lain memberikan alternatif penyelesaian sengketa secara online, antara lain: B. Arbitrase online. Penyelesaian sengketa online dimulai pada tahun 1995 dengan pembentukan hakim virtual di Vilanova Center for Law and Technology.

Tujuan mereka adalah menjadi penyedia layanan penyelesaian sengketa, khususnya sengketa online. Kasus pertama dirawat pada tahun 1996. Dalam kasus ini, seseorang mengajukan tuntutan karena menerima iklan sepihak melalui email yang dikirim ke alamat American Online (AOL). AOL setuju untuk menanggapi kasus tersebut, dan hakim virtual yang menangani kasus tersebut mengabulkan mosi penggugat dan memerintahkan AOL untuk berhenti menayangkan iklan.

Arbitrase online dan penyelesaian sengketa alternatif tidak jauh berbeda dengan arbitrase tradisional dan penyelesaian sengketa alternatif. Perbedaannya hanya pada metode yang digunakan: penggunaan sarana elektronik dan implementasinya. Arbitrase online melibatkan pendaftaran kasus online, pemilihan arbiter, penyerahan dokumen, saran kepada arbiter dalam kasus pengadilan multi-arbiter, dan pemberitahuan keputusan dan keputusan.

 

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil adalah UUPK dan UUITE dapat melindungi konsumen dalam melakukan jual beli secara online. Perlindungan hukum dapat dilihat pada peraturan UUPK dan UUITE, dimana kedua peraturan tersebut mengatur penggunaan data pribadi konsumen. Konsumen dapat menggunakan persyaratan e-commerce, penggunaan CA (Certification. Authority), dan tindakan yang mengatur tindakan yang dilarang oleh pelaku usaha dalam pemasaran dan pembuatan barang dan jasa yang digunakan sebagai referensi objek e-commerce. Sebenarnya masih banyak masyarakat yang mengalami wanprestasi dalam hidupnya, namun seringkali tidak menyadari akan hal itu karena ketidaktahuan terkait informasi tersebut.

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Astuti, Desak Ayu Lila, & Wirasila, A. A. Ngurah. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Transaksi E-commerce Dalam Hal Terjadinya Kerugian. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 1�5. Google Scholar

 

Dewi, Rai Agustina, & Suyatna, I. Nyoman. (2016). Implementasi Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli Melalui Online. Journal Kertha Semaya, 4(2). Google Scholar

 

Gazali, Djoni S., & Usman, Rachmadi. (2012). Hukum Perbankan. Jakarta: Sinar Grafika, 271. Google Scholar

 

Iman Sjahputra, S. H. (2021). Perlindungan konsumen dalam transaksi elektronik: Ditinjau dari perspektif hukum perlindungan konsumen dan hukum siber. Penerbit Alumni. Google Scholar

 

Indrajit, Richardus Eko. (2001). E-Commerce: Kiat dan strategi bisnis di dunia maya. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Google Scholar

 

Wedari, Sayu Surya Ayu, & Westra, I. Ketut. (2018). Perlindungan Konsumen Terhadap Penyalahgunaan Obat Dekstrometorfan Di Indonesia (Kajian Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen). Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 5(1), 1�19. Google Scholar

 

Copyright holder:

Chatarina Dwi Agista, Margaretha Andini Oktavina, Anggana Rahma Tiya (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: