Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 5, Mei 2022
RESTATEMENT ASAS
ON GOING CONCERN MELALUI PENGATURAN DEBT TRESHOLD
SEBAGAI SYARAT PENGAJUAN PERMOHONAN PAILIT DAN PENUNDAAN
KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DI INDONESIA
Andriansyah Tiawarman K
Fakultas Hukum, Universitas Trisakti Jakarta, Indonesia
Email:
[email protected]
Hukum kepailitan dibentuk
pertama kali untuk memecahkan masalah pembayaran utang dari debitur yang mengalami kesulitan membayar
hutangnya sementara debitur memiliki banyak kreditur
(collective execution) dan hartanya tidak mencukupi untuk membayar lunas
seluruh utangnya. Karya tulis ini
membahas mengenai mekanisme penerapan asas on going concern di Indonesia dan sejauh mana penerapannya
bisa menjadi penentu dalam proses proses pengajuan
pailit dan PKPU. Selanjutnya, dalam karya tulis ini dibahas mengenai perlunya pengaturan debt threshold dalam pengajuan pailit dan PKPU demi menjamin
keberlangsungan usaha debitur. Metode penulisan yang digunakan dalam
penulisan karya tulis ini adalah metode pendekatan yuridis
normatif. Hasil dari pembahasan setiap permasalahan di karya tulis ini menyimpulkan bahwa persyaratan pengajuan
kepailitan sebagai sita umum
atas semua kekayaan debitur di Indonesia terlampau sederhana sehinghga diperlukan pengaturan lebih jauh mengenai debt threshold sebagai
syarat pengajuan permohonan pailit dan PKPU demi menjaga
keberlangsungan usaha debitur
sehingga kepailitan merupakan
upaya terakhir (ultimum
remidium) dalam penyelesaian sengketa antara debitur
dan kreditur.
Kata Kunci: On Going
Concern, Debt Threshold, Kepailitan dan PKPU
Krisis moneter pada pertengahan tahun 1997 membawa dampak yang buruk bagi perekonomian nasional. Perusahaan di Indonesia yang turut terdampak, terpaksa meminjam uang kepada perusahaan asing dengan bunga yang tinggi. Beberapa perusahaan bahkan terpaksa untuk menghentikan karyawannya akibat tidak dapat membayar upah. Untuk mengantisipasi adanya kecenderungan dunia usaha yang bangkrut dan kemudian berimbas pada tidak dipenuhinya kewajiban jatuh tempo, maka pemerintah melakukan perubahan� perubahan yang cukup signifikan dalam peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah dengan melakukan revisi terhadap undang�undang kepailitan yang ada (Rooseno, 2008).
Hukum kepailitan dibentuk pertama kali untuk memecahkan masalah pembayaran utang dari debitur yang mengalami kesulitan membayar hutangnya sementara debitur memiliki banyak kreditur (collective execution) dan hartanya tidak mencukupi untuk membayar lunas seluruh utangnya (Schwartz, 2005). Dalam perkembangannya, implementasi UU No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang- Undang, menjumpai berbagai kekurangan sehubungan dengan praktik yang terjadi di lapangan. Untuk mengatasi kelemahan dan ketidakpastian UU No. 4 Tahun 1998 tersebut, dilakukan revisi yang kemudian melahirkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU). Sebagaimana bunyi adagium �Het recht hink achter de feiten aan� (hukum selalu tertatih-tatih mengejar fakta yang terjadi), UU KPKPU masih sering disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Kepailitan yang seharusnya menjadi ultimum remedium, seringkali dijadikan alat untuk menagih utang tanpa memperhatikan hak dan kepentingan debitur beserta para stakeholders. Akibatnya, tidak jarang debitur mengalami kepailitan dengan jumlah utang yang tidak sebanding dengan jumlah aset.
Salah satu penyebab disalahgunakannya UU KPKPU ialah karena syarat untuk mengajukan permohonan pailit yang terlampau sederhana dan tidak menetapkan adanya ambang batas (threshold) utang sebagai prasyarat. Meskipun demikian, UU KPKPU yang menganut asas keseimbangan dan kelangsungan usaha, seharusnya dapat melindungi hak dan kepentingan debitur maupun kreditur. Jika dianggap dapat menguntungkan harta pailit, kurator dapat melanjutkan usaha (going concern) debitur. Hadi Subhan, ahli hukum kepailitan dan PKPU menyebutkan dalam bukunya bahwa,�sebelum kurator memutuskan untuk melanjutkan usaha si pailit, maka harus mempertimbangkan bahwa dengan dilanjutkannya usaha debitur akan mendatangkan pendapatan yang lebih daripada ongkos operasionalnya, serta mempetimbangkan modal kerja didapat darimana. Jika pertimbangan tidak memdai, maka kurator tidak boleh melanjutkan usaha debitur dan harus segera menjual harta pailit dengan harga tertinggi� (Hadi Subhan, 2008). Beranjak dari uraian pada latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti, menganalisis dan membahas lebih lanjut mengenai pengaturan debt threshold sebagai syarat permohonan pengajuan permohonan pailit dan penundaan kewajiban dan pembayaran utang melalui karya tulis ilmiah dengan judul �Restatement Asas On Going Concern melalui Pengaturan Debt Threshold sebagai Syarat Pengajuan Permohonan Pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia�. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pemerintah dalam penyusunan Rancangan Undang-undang Kepailitan dan PKPU nantinya untuk lebih memperhatikan asas on going concern serta membuat pengaturan mengenai ambang batas utang (debt threshold) sebagai syarat pengajuan permohonan pailit dan PKPU demi menjamin keberlangsungan usaha debitur. Untuk memberikan pemahaman sejauh mana penerapan asas on going concern digunakan sebagai penentu dalam proses kepailitan dan PKPU di Indonesia. Untuk menggambarkan sejauh mana pentingnya pengaturan debt threshold dalam menunjang keberlakuan asas kelangsungan usaha.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini ialah metode pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis adalah suatu pendekatan yang mengacu pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Soemitro, 1982), sedangkan pendekatan normatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder terhadap asas-asas hukum serta studi kasus yang dengan kata lain sering disebut sebagai penelitian hukum kepustakaan (Soekanto, 2007).
Berdasarkan jenis dan bentuknya, karya tulis ilmiah ini dibuat dengan penelitian hukum normatif, dimana data yang digunakan dalam karya tulis ilmiah ini adalah data sekunder sebagai data yang dapat menunjang keberadaan data primer. Sebagaimana diketahui bahwa penelitian hukum yang dilakukan dengan memilih bahan pustaka atau data sekunder disebut dengan penelitian hukum normatif (Sumardjono, 2014).
Selanjutnya, karya tulis ilmiah ini juga menggunakan spesifikasi secara deskriptif analitis. Dimana yang dimaksud dengan deskriptif analistis adalah karya tulis ilmiah ini menggambarkan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau hipotesa agar dapat membantu di dalam memperkuat teori lama atau dalam penyusunan teori baru (Soekanto, 1986). Penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara sistematis dan terperinci tentang permasalahannya yang akan diteliti (Sunggono, 2003).
Hukum kepailitan dapat dipisahkan ke dalam dua kelompok, yaitu kepailitan yang berpihak kepada kepentingan debitur (debtor-friendly) dan di pihak lain hukum kepailitan yang berpihak kepada kepentingan kreditur (creditor-friendly) (Sutan Remy Sjahdeini, 2016). Meskipun UU KPKPU mengandung asas keseimbangan untuk melindungi debitur dan kreditur, namun pada praktiknya UU KPKPU lebih condong ke arah kepentingan kreditur (creditor-friendly). Hal ini dapat dilihat melalui syarat pengajuan kepailitan yang sangat sederhana dan memihak kreditur. Kepailitan merupakan proses ketika seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, karena tidak dapat membayar utangnya (Saebani, 2016). Apabila ditinjau melalui UU KPKPU maka pengertian kepailitan berdasarkan Pasal 1 ayat (1) huruf a ialah sebagai sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam UU KPKPU. Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Debitur dapat dinyatakan pailit apabila mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Pernyataan pailit diperoleh melalui putusan Pengadilan atas permohonan debitur itu sendiri maupun atas permohonan kreditur. Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi, hakim harus mengabulkan permohonan pernyataan pailit sebagaimana yang diwajibkan dalam Pasal 8 Ayat (4) UU PKPU (UU RI No 34, 2004). Dengan demikian, debitur dapat dengan mudahnya diputuskan pailit oleh pengadilan niaga atas permintaan kreditur. Sedangkan belum tentu debitur tidak mampu untuk membayar utang tersebut, salah satu faktor penyebab tidak dibayarkannya utang ialah karena kekayaan debitur terdiri daripada aset, yang mana jika dihitung kembali bisa saja melebihi jumlah utang debitur terhadap kreditur. Oleh karena itu, dalam memutuskan pailit atau tidaknya seorang debitur, hakim pengadilan niaga perlu memberlakukan asas keseimbangan dengan memperhatikan hak-hak dan kepentingan debitur. Hak-hak debitur secara implisit terkandung dalam norma-norma hukum UU KPKPU yang keberadaannya didasarkan oleh asas-asas ataupun prinsip. Adapun asas dan prinsip yang dianut oleh UU KPKPU dibunyikan secara eksplisit dalam bab penjelasan yang terdiri atas:
1. Asas keseimbangan
Bertujuan untuk mencegah kepailitan maupun penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) disalahgunakan oleh debitur yang tidak jujur maupun kreditur yang tidak beritikad baik, ataupun oleh kurator yang menyalahgunakan kewenangannya sebagai pengampu dan pemberes dari harta pailit.
2. Asas kelangsungan usaha
Memungkinkan usaha debitur yang memiliki prospektif atau memiliki on going concern value untuk tetap dapat dilanjutkan, meskipun harta pailit telah insolven, dengan tujuan meningkatkan nilai harta pailit agar piutang para kreditur, khususnya piutang kreditur konkuren yang tidak dijamin dengan hak kebendaan debitur dapat dibayar.
3. Asas keadilan
Memberi perlindungan yang sama antara kreditur dan debitur agar tidak timbul kesewenang-wenangan dari pihak kreditur yang memiliki hak suara mayoritas yang berwenang menentukan arah kepailitan debitur, serta mencegah kesewenang- wenangan pihak kreditur yang tidak meamperdulikan hak kreditur lainnya.
4. Asas integrasi
Hukum kepailitan materil ini merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional yang berlaku di Indonesia.
Berdasarkan asas kelangsungan usaha yang dianut oleh UU KPKPU, debitur dimungkinkan untuk tetap menjalankan kegiatan usahanya dengan diberikan kelonggaran waktu untuk melunasi utang-utangnya. Penundaan pembayaran diimplementasikan dalam bentuk kelangsungan usaha yang diberikan kepada debitur, maka debitur dapat melakukan restrukturisasi utang untuk memperbaiki kondisi keuangannya. Restrukturisasi utang yang diatur dalam Undang-Undang Kepailitan ialah Penundaan kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Rumusan PKPU (suspension of payment atau surseance van betaling) diatur dalam Bab III, dimulai dari Pasal 222. PKPU merupakan jangka waktu yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim niaga yang diperuntukkan bagi pihak kreditur dan debitur untuk memusyawarahkan cara pembayaran utang dan merustrukturisasi utangnya. Pihak yang berinisiatif untuk mengajukan PKPU ialah debitur, di mana permohonan itu harus ditandatangani oleh debitur atau kreditur bersama-sama.
Prosedur PKPU terbagi dalam 2 tahap yang tetap merupakan satu rangkaian dari prosedur PKPU, yaitu PKPU sementara (Pasal 225 ayat (4) UUK & PKPU) yang berlangsung paling lama 45 hari dan PKPU tetap yang berlangsung paling lama 270 hari jika disetujui oleh kreditur melalui pemungutan suara (Arthaluhur, 2018).
Prinsip kelangsungan usaha (on going concern) merupakan ciri-ciri dari
hukum kepailitan modern yang mengisi
ketiadaan pengaturan pemberian penghapusan utang (debt recharge) dan
pemberian fresh start bagi debitur
dalam UU KPKPU. Berdasarkan prinsip
kelangsungan usaha, kepailitan sebagai sita umum atas harta debitur tidak serta merta menghentikan operasional usaha
debitur yang masih berstatus going concern. Rumusan asas going concern dalam UU KPKPU dituangkan dalam Pasal
104 Ayat (1) yang berbunyi, �Berdasarkan persetujuan panitia kreditur
sementara, Kurator dapat melanjutkan usaha debitur yang dinyatakan pailit walaupun terhadap
putusan pernyataan pailit
tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.� Sementara pada Ayat (2) dinyatakan bahwa, �Apabila dalam kepailitan tidak diangkat
panitia kreditur, kurator memerlukan izin hakim pengawas
untuk melanjutkan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1).� Terhitung sejak debitur
dinyatakan pailit, UU KPKPU memberi
kewenangan pada kurator untuk
melanjutkan usaha debitur agar tetap beroperasi.
Kelangsungan usaha debitur pailit dapat diusulkan oleh para kreditur konkuren atau kurator setelah
harta pailit menjadi
insolven, hal tersebut
diatur dalam Pasal 179 ayat
(1) UU Kepailitan dan PKPU. Usul untuk meneruskan usaha debitur pailit dilanjutkan, maka kurator hanya bisa melakukan penjualan (likuidasi) harta pailit atas barang-barang yang tidak digunakan untuk mendukung kelangsungan usaha debitur. Misalnya, kurator tidak dapat menjual mesin-mesin dan perangkat pendukung yang memproduksi barang. Kurator hanya dapat menjual aset yang pemeliharaannya membutuhkan biaya tinggi dan membebani harta pailit (Ginting, 2018).
(2) Debitur pada waktu pengajuan permohonan PKPU atau sesudah itu berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada mereka yang mempunyai piutang-piutang yang terhadapnya diberikan PKPU. Apabila pengadilan menolak mengesahkan perdamaian, maka dalam putusan yang sama pengadilan wajib menyatakan debitur pailit. Putusan pengadilan tersebut harus diumumkan dalam Berita Negara dan dalam satu atau lebih surat kabar harian yang ditunjuk oleh hakim (Santiago, 2012).
Apabila Pasal 104, pasal 179 ayat (1)
jo. Pasal 180, pasal 181, pasal 183 UU KPKPU ditelaah
lebih jauh, UU Kepailitan dan PKPU sama sekali tidak ada menyinggung atau mensyaratkan bahwa keputusan kreditur
konkuren untuk melangsungkan usaha debitur pailit yang
telah insolven tersebut harus didasarkan pada
opini dari seorang
akuntan yang menilai
usaha debitur pailit masih layak untuk dilanjutkan atau going concern.
Asas kelangsungan usaha mempunyai arti penting
dalam memberikan perlindungan hukum bagi debitur yang dalam keadaan tidak mampu membayar
harus didefinisikan sebagai usaha
untuk mencegah itikad buruk dari pemohon pailit terhadap debitur yang nyata-nyata berdasarkan asas kelangsungan
usaha atau going concern masih mampu untuk terus beroprasi dan untuk melindungi
secara hukum debitur yang masih memiliki itikad baik dalam menyelesaikan utang-utangnya untuk dapat melangsungkan usahanya (Kamello & Purba, 2019).
Keberlakuan asas kelangsungan usaha didukung dengan adanya pandangan
bahwa �kepailitan merupakan jalan terakhir untuk penyelesaian utang
debitur�. Dengan kata lain, kepailitan seyogianya menjadi ultimum remedium
(upaya terakhir) setelah
gagal mengimplementasikan
upaya perdamaian atau reorganisasi berupa restrukturisasi utang dan restrukturisasi perusahaan. Hal ini
dikarenakan debitur merupakan perseroan besar
yang memiliki banyak pihak yang berkepentingan, seperti
karyawan, para kreditur
(karena belum tentu seluruh kreditur sepakat untuk mempailitkan
debiturnya), pajak sebagai
penerimaan negara
yang berkelanjutan. Erman Rajagukguk, berpendapat terkait peranan penting
asas going concern
dalam proses permohonan pailit. Meskipun permohonan pailit telah memenuhi
persyaratan, hakim pengadilan niaga hendaknya
mempertimbangkan kondisi debitur.
Pendapat Erman Rajagukguk ialah sebagai berikut (Lontoh et al., 2001): �Hakim perlu mempertimbangkan kondisi
Debitur dalam memutuskan perkara kepailitan,
manakala Debitur yang bersangkutan masih mempunyai harapan untuk bangkit kembali, mampu membayar utangnya
kepada Kreditur, apabila ada waktu yang cukup dan besarnya
jumlah tenaga kerja yang menggantungkan nasibnya pada perseroan yang bersangkutan. Dalam
kasus-kasus tertentu kesempatan untuk terus berusaha
perlu diberikan kepada Debitur yang jujur dan dengan putusan itu pula sekaligus
kepentingan Kreditur dan kebutuhan masyarakat dapat dilindungi.�
Penerapan asas kelangsungan usaha dapat ditemukan dalam Putusan No. 024PK/N/1999 dalam perkara antara PT Citra Jimbaran Indah Hotel melawan Ssangyong Engineering & Construction Co. Ltd. Dalam tahap peninjauan kembali, majelis hakim mengemukakan: �Potensi dan prospek dari usaha Debitur harus pula dipertimbangkan secara baik. Jika debitur asih mempunyai potensi dan prospek, sehingga merupakan tunas-tunas yang masih dapat berkembang. Oleh karena itu penjatuhan pailit merupakan ultimum remidium.�
Kemudian beliau menekankan alasan penolakannya: �...dan bahkan terhadap utang Debitur/Termohon Pailit telah diadakan restrukturisasi menunjukkan bahwa usaha debitur masih mempunyai potensi dan prospek untuk berkembang dan selanjutnya dapat memenuhi kewajibannya kepada seluruh kreditur di kemudian hari dan oleh karena itu debitur/termohon pailit bukan merupakan a debtor hopelessly in debt.�
Dapat disimpulkan, hakim peninjauan kembali perkara a quo berpendirian bahwa permohonan pernyataan pailit tidak dibenarkan terhadap debitur yang masih memiliki potensi dan prospek usaha untuk berkembang sehingga di kemudian hari dapat melunasi utang-utang krediturnya. Hal ini sejalan dengan tujuan dan fungsi daripada asas kelangsungan usaha.
Menurut Dr. Jimmy Simanjuntak, S.H, M.H, keberlakuan asas kelangsungan usaha dan asas keseimbangan yang dianut oleh UU KPKPU sudah cukup bagus. Penerapan asas menangani perkara harus memahami cara kerja dari usaha atau kegiatan yang dilangsungkan oleh debitur. Hal ini untuk menghindari terjadinya kerugian dalam menjalankan usaha debitur (Interview, Jimmy Simanjuntak, 30 Juni 2021).
Menurut
sifatnya, kurator dapat melakukan perbuatan
melawan hukum. Oleh karena itu, ia juga bertanggung jawab pribadi terhadap
kerugian yang diderita
oleh pihak ketiga.
Hal ini jika tindakan kurator
yang merugikan harta
pailit dan pihak ketiga tersebut
merupakan tindakan diluar kewenangan kurator yang diberikan padanya oleh
undang- undang, tidak dapat dibebankan pada harta pailit,
dan merupakan tanggung
jawab kurator secara pribadi. Sebaliknya, tindakan
kurator yang dilakukan sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepadanya
oleh undang-undang dan dilakukan dengan itikad baik. Namun,
karena hal-hal di luar kekuasaan kurator ternyata merugikan harta pailit, maka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
pribadi kepada kurator dan kerugian tersebut
dapat dibebankan pada harta pailit (Nating, 2004).
Putusan
pailit menimbulkan akibat
hukum bagi debitur
yaitu kehilangan hak dalam hal pengurusan dan penguasaan harta
pailit sejak putusan pailit diucapkan. Pengaturan lebih lanjut terkait hal itu terdapat dalam Pasal 24 ayat (2) UU
KPKPU, dimana tanggal putusan pailit yang dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (1) UU KPKPU dihitung sejak pukul
00.00 waktu setempat sesuai tempat putusan pailit diucapkan. Dalam penjelasan Pasal 24 ayat (2) UU KPKPU, �waktu setempat� yang dimaksud adalah apabila putusan diucapkan pada pukul 13.00 WIB, maka segala akibat hukum yang timbul dari adanya putusan pailit mulai berlaku sejak pukul 00.00 WIB pada tanggal yang sama sebelum putusan pailit diucapkan (Pratama, 2019).
Artinya, segala harta debitur sudah berada dalam status sita umum sejak dinyatakan pailit oleh pengadilan dan putusan pailit tersebut berlaku sejak pukul 00.00 waktu setempat. Aturan ini dikenal dengan istilah �zero hour rule�, yang pada dasarnya tidak tertulis dalam UU KPKPU, tetapi istilah ini dapat ditemukan dalam Pasal 3 huruf b UU Transfer Dana.
B.
Debt Threshold Sebagai Upaya
Menjamin Keberlangsungan Usaha Debitur
Syarat pengajuan permohonan pailit di Indonesia terbilang cukup sederhana, yakni memiliki setidaknya dua orang kreditur dengan salah satu utang yang dapat ditagih. Akibat daripada persyaratan yang sederhana tersebut, pengajuan permohonan pailit di Indonesia menjadi hal yang lumrah terjadi. Per-semester I tahun 2021, terdapat 309 perkara pailit dan PKPU yang diajukan. Untuk membatasi pengajuan permohonan pailit-PKPU dan menerapkan asas keberlangsungan usaha, dibutuhkan suatu ambang batas (threshold) utang sebagai salah satu persyaratan pengajuan permohonan pailit agar pailit tidak dapat diajukan dengan mudah.
Sutan Remy Sjahdeini berpendapat bahwa batas minimal besarnya utang harus ditentukan, karena apabila piutang yang tidak dibayar dibatasi akan sangat merugikan debitur yang selanjutnya akan sangat merugikan para pemegang saham dari debitur, misalnya seorang debitur dengan aset Rp1.000.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dapat diajukan pailit oleh seorang kreditur yang hanya memiliki tagihan misalnya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta) (Rooseno, 2008). Sebagaimana halnya yang terjadi dalam perkara maskapai Lion Air. Lion Air digugat PKPU karena mempunyai utang sebesar Rp23.000.000 (dua puluh tiga juta rupiah). Sementara itu, aset yang dimiliki Lion Air mencapai ratusan miliar rupiah dan tentu tidak sebanding dengan jumlah utang.
Apabila berkaca pada negara tetangga, maka persyaratan minimum utang yang ditetapkan sebagai dasar pengajuan permohonan pailit sudah tidak asing lagi ditemukan. Seperti halnya di negara Singapura, debt threshold digunakan untuk dapat mengajukan permohonan pailit ialah sebesar S$10.000,- (sepuluh ribu dolar singapura). Hal ini tertuang pada UUK Singapura angka 61 (Singapore Bankruptcy Act, 2009) : �No bankruptcy application shall be made to the court in respect of any debt or debts unless at the time the application is made �
a)
the amount of the debt, or the aggregate amount of the debts, is not less than
$10,000;
b)
the debt or each
of the debts �..�
Kemudian di Hong Kong, debt threshold yang berlaku ialah
sebesar HK$ 10.000,-. (Hongkong Bankruptcy Ordinance, 2007)
�Grounds of
creditor�s petition:
2)
Subject to sections 6A to 6C, a creditor�s
petition may be presented to the court in respect
of a debt or debts if, but only if, at the time the petition is presented-
a)
the amount of the debt, or the aggregate amount of the debts, is equal to or exceeds
$10000 or a prescribed amount;
b)
the debt, or each of the debts, ���
Keberadaan debt threshold akan melindungi debitur dari kreditur yang memanfaatkan pailit sebagai alat untuk menagih utang tanpa memperhatikan kepentingan debitur. Dengan ditetapkannya ambang batas dalam pengajuan permohonan pailit, maka tidak sembarang kreditur dapat mengajukan permohonan pailit. Hal tersebut akan berimbas langsung terhadap berkurangnya permohonan pengajuan pailit di Indonesia dan meningkatkan efektivitas serta efisiensi kinerja Pengadilan Niaga untuk menangani perkara lainnya.
Hakim Agung Mahkamah Agung di Indonesia pada beberapa putusannya, cenderung lebih setuju dengan tidak adanya pembatasan utang dengan argumentasi bahwa utang tetaplah utang, meskipun jumlahnya tidak besar. Selain daripada itu juga dipertimbangkan juga terkait kepentingan kreditur yang tidak dapat beroperasi akibat tidak dibayarkan piutangnya. Debt threshold dinilai cenderung berfokus pada kreditur kecil yang jumlah utangnya kemungkinan tidak sepadan dengan aset debitur. Akan tetapi dengan tidak adanya debt threshold, maka kreditur kecil tersebut menjadi terlindungi dan terbayarkan utangnya. Menjawab permasalahan ini, pengaturan debt threshold seyogyanya diiringi juga dengan itikad baik para debitur terhadap kreditur. Hal ini sejalan dengan asas keseimbangan yang dianut oleh UU KPKPU, yakni agar kepentingan kedua belah pihak terlindungi. Karena apabila dilihat dari segi kepentingan debitur dan para stakeholders, debt threshold akan memberi kepastian bagi masyarakat yang mengalami permasalahan keuangan agar tidak langsung dinyatakan pailit dengan utang yang relatif kecil.
Dr. Jimmy Simanjuntak, S.H., M.H. menyatakan apabila hendak menetapkan ambang batas utang, harus terdapat disparitas antara batas pengajuan kepailitan dan PKPU dengan syarat pengajuan gugatan sederhana (harus ada penjelasan disparitas antara keduanya agar tidak tumpang tindih) (Interview, Jimmy Simanjuntak, 30 Juni 2021).
Di sisi lain, menurut Prof Hikmahanto Juwana, S.H., LLM., Ph.D seharusnya sebelum debitur dimohonkan pailit, seyogyanya dilakukan peninjauan terlebih dahulu terkait apakah debitur tersebut masih berpotensi untuk berkembang dan membayar utang-utangnya atau tidak. Beliau berpendapat bahwa UU KPKPU di Indonesia seharusnya mengadopsi regulasi kepailitan dari negara lain, yakni dengan memberlakukan insolvency test sebelum dapat dinyatakan pailit. Dengan demikian, maka tidak sembarang debitur dapat dipailitkan dengan persyaratan yang terlampau sederhana (Interview, Hikmahanto Juwana, 30 Juni 2021).
Pengajuan permohonan pailit atau PKPU di pengadilan niaga dapat menghabiskan dana hingga Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) pada tahap peninjauan kembali. Oleh karena itu, pengaturan mengenai debt threshold untuk mengajukan permohonan pailit dan PKPU harus lebih besar daripada jumlah tersebut. Penulis sependapat dengan pendapat Ketua Tim Kelompok Kerja Revisi UU KPKPU yang menetapkan besaran ambang batas (threshold) utang sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) (Septiadi, 2021). Penetapan besaran ambang batas tersebut didasarkan pada syarat besaran nilai gugatan materiil maksimal pada gugatan sederhana (small claim court), yakni tata cara pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materil paling banyak Rp 500 juta yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktiannya sederhana.
Berdasarkan pertimbangan dari uraian tersebut, penulis berpendapat bahwa untuk dapat mengajukan permohonan pailit dan PKPU, maka jumlah utang yang dimiliki harus melebihi Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Apabila jumlah utang tidak mencapai ambang batas (threshold) utang, dapat diajukan melalui mekanisme lain, salah satunya ialah dengan melayangkan somasi dan gugatan perdata. Sekalipun telah memenuhi ambang batas utang tersebut, debitur seyogyanya tidak langsung dipailitkan guna menegakkan asas keberlangsungan usaha. Sebagaimana halnya yang terjadi dalam perkara kepailitan PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel). Pada tahun 2012, Telkomsel diputus pailit oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akibat dianggap tidak mampu menunaikan kewajibannya terhadap PT Prima Jaya Informatika sebesar Rp5,3 miliar. Telkomsel yang kala itu memiliki laba bersih Rp12,8 triliun, dipailitkan atas utang senilai Rp5,3 miliar. Hal ini tentu saja menimbulkan ketidakseimbangan perlindungan kepentingan antara debitur dan kreditur.
Berdasarkan permasalahan, hasil penulisan dan pembahasan yang telah dituangkan pada bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa: Pertama, persyaratan pengajuan kepailitan sebagai sita umum atas semua kekayaan debitur
di Indonesia terlampau
sederhana, yakni harus memiliki dua atau lebih
kreditur dengan salah
satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Hal ini
menyebabkan debitur yang sebenarnya
masih memiliki aset dan jalan usaha yang
potensial dapat dirugikan sehingga kebrlangsungan usahanya terganggu. Kedua, UU KPKPU menganut
beberapa asas, seperti
asas keseimbangan dan kelangsungan usaha.
Dalam praktiknya, asas-asas
tersebut masih belum maksimal
penerapannya jika harus bersamaan, karena biasanya akan berpihak kepada
salah satu pihak, baik debitur
maupun kreditur. Oleh karena
itu dibutuhkan suatu terobosan untuk
melindungi kepentingan debitur tanpa mengesampingkan kepentingan
kreditur. Ketiga, apabila diajukan permohonan pailit terhadap debitur,
sebenarnya debitur dapat mengajukan PKPU sebagai upaya restrukturisasi utang dengan mempertimbangkan potensi perusahaan tersebut, sehingga pailit harusnya menjadi ultimum remedium
(upaya terakhir).
Arthaluhur, M. W. (2018). Proses
PKPU Sementara dan PKPU Tetap. Hukumonline.Com.https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5ade9a469d120/proses-pkpu-sementara-dan-pkpu-tetap/
Ginting, E. R. (2018). Hukum Kepailitan: Teori Kepailitan.
Bumi Aksara. Google Scholar
Hadi Subhan, M. (2008). Hukum Kepailitan: Prinsip.
Prenada Media Group.
Hongkong Bankruptcy Ordinance. (2007). (Chapter 6),
Original Enactment : Act 18 of 2005, Revised Edition (10th December 2007).
Kamello, T., & Purba, H. (2019). Penerapan Asas
Kelangsungan Usaha Dan Asas Keseimbangan Dalam Perkara Kepailitan (Studi
Putusan MA Nomor 156PK. PDT. SUS/2012 DAN PUTUSAN 749K/PDT. SUS-PAILIT/2016)�. Google Scholar
Lontoh, R. A., Kailimang, D., & Ponto, B. (2001).
Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang. Bandung: Alumni. Google Scholar
Nating, I. (2004). Peranan dan tanggung jawab kurator
dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit. RajaGrafindo Persada. Google Scholar
Pratama, R. C. Y. (2019). Zero Hour Rule terhadap
Perikatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
PKPU. Universitas Airlangga. Google Scholar
Rooseno, A. (2008). Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit
Bagi Debitor Terhadap Kreditor Pemegang Hak Tanggungan. program
Pascasarjana Universitas Diponegoro. Google Scholar
Saebani, B. A. (2016). Perbandingan Hukum Perdata. CV
Pustaka Setia. Google Scholar
Santiago, F. (2012). Pengantar Hukum Bisnis. Mitra Wacana
Media. Google Scholar
Schwartz, A. (2005). A normative theory of business
bankruptcy. Virginia Law Review, 1199�1265. Google Scholar
Septiadi, A. (2021). Batas Minimum Permohonan PKPU dan
Pailit diusulkan Rp500juta. Nasionalkontan.
https://nasional.kontan.co.id/news/batas-minimum-permohonan-pkpu-dan-pailit-diusulkan-rp-500-juta
Singapore Bankruptcy Act. (2009). (Chapter 20), Original
Enactment: Act 15 Of 1995, Revised Edition. Republic Of Singapore.
Soekanto, S. (1986). Pengantar penelitian hukum.
Penerbit Universitas Indonesia. Google Scholar
Soekanto, S. (2007). Penelitian hukum normatif: Suatu
tinjauan singkat. Raja Grafindo Persada. Google Scholar
Soemitro, R. H. (1982). Metodologi Penelitian Hukum dan
Jumetri. Ghalia Indonesia. Google Scholar
Sumardjono, M. S. W. (2014). Metodologi Penelitian Ilmu
Hukum. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Google Scholar
Sunggono, B. (2003). Metode penelitian hukum. Raja
Grafindo Persada. Google Scholar
Sutan Remy Sjahdeini, S. H. (2016). Sejarah, Asas, dan
Teori Hukum Kepailitan (Memahami undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran). Kencana Prenadamedia Group. Google Scholar
UU RI No 34. (2004). Undang-Undang Republik Indonesia
tentang Nomor 37 Tahun 2004. Republik Indonesia. Google Scholar
Copyright
holder: Andriansyah
Tiawarman K (2022) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |