Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 5, Mei 2022
TINDAK PIDANA MALPRAKTIK TENAGA KEFARMASIAN DALAM
PERSPEKTIF KEPASTIAN HUKUM
Stevanus Miharso
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Iblam Jakarta, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Pelayanan kesehatan
adalah hak setiap orang yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945,
yang merupakan amanat konstitusi dengan tujuan untuk memajukan
kesejahteraan masyarakat
dan meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
baik perorangan, kelompok atau masyarakat.
Penulis memberikan contoh pelanggaran hukum yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang beroperasi tanpa izin yang kasusnya telah diputus oleh Pengadilan Tinggi Surabaya dengan
putusannya Nomor
10/PID.SUS/2020/PT SBY. Rumusan masalah
yang penulis bahas adalah :
1) Bagaimana penerapan hukum pidana materiil
malpraktik tenaga kefarmasian berdasarkan putusan pengadilan nomor 10/Pid.Sus/2020/PT. Sby dalam perspektif
kepastian hukum ? dan
2)� Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelaku malpraktik tenaga kefarmasian berdasarkan putusan pengadilan nomor 10/Pid.Sus/2020/PT. Sby dalam perspektif kepastian hukum ? Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode yuridis
normatif, yaitu penelitian yang mengutamakan data
kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder. Data sekunder tersebut dapat berupa bahan hukum
primer,sekunder maupun tersier. Dari hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa penerapan sanksi hukum terhadap
pelaku praktik tenaga kefarmasian yang tidak� memiliki izin,�� antara lain, sanksi pidana, sanksi perdata dan sanksi administrasi, dimana sanksi-sanksi tersebut berupa pidana penjara,
ganti rugi, teguran, denda atau pencabutan izin akibat kelalaian
tersebut dan pelanggaran terhadap norma. Terhadap sanksi administrasi umumnya dikenakan kepada pelanggar diklasifikasikan pelanggaran administrasi bersifat privat yang dijatuhkan oleh aparatur atau pejabat tata usaha negara, sanksi teguran merupakan teguran secara lisan dan tertulis hingga pencabutan izin.
Kata Kunci: pertanggungjawaban pidana, tenaga kefarmasian, malpraktik
Abstract
Health care is the right of every person which is guaranteed in the 1945
constitution, which is a constitutional mandate with the aim of advancing the welfare
of the community and increasing the degree of the highest level of health for
individuals, groups or communities. The author gives examples of legal
violations committed by health workers who operate without a permit whose case
has been decided by the Surabaya High Court with its decision Number
10/PID.SUS/2020/PT SBY. The formulation of the problem that the author
discusses are: 1) How is the application of the criminal law of material
malpractice of pharmaceutical staff based on court decision number 10/Pid.Sus/2020/PT. Sby in the
perspective of legal certainty ? and 2) What are the
judges' legal considerations in imposing sanctions on malpractice pharmacists
based on court decisions number 10/Pid.Sus/2020/PT. Sby in the perspective of legal certainty ? The research
method that the author uses is a normative juridical method, namely research
that prioritizes library data, namely research on secondary data. The secondary
data can be in the form of primary, secondary or tertiary legal materials. From
the results of the study, the authors conclude that the application of legal
sanctions against perpetrators of practicing pharmaceutical workers who do not
have permits, among others, criminal sanctions, civil sanctions and
administrative sanctions, where the sanctions are in the form of imprisonment,
compensation, warnings, fines or license revocation. as a result of such
negligence and violation of norms. Administrative sanctions are generally
imposed on violators classified as private administrative violations imposed by
state administrative apparatus or officials, warning sanctions are verbal and
written warnings to revocation of permits.
Keywords: criminal liability, pharmacy staff, malpractice
Pendahuluan
Kesehatan merupakan hak asasi manusia,
artinya setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh
akses pelayanan kesehatan. Kualitas pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau juga merupakan hak seluruh masyarakat
Indonesia. Dengan berkembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka melakukan upaya kesehatan tersebut perlu didukung dengan sumberdaya kesehatan, khususnya tenaga kesehatan yang memadai, baik dari segi
kualitas, kuantitas maupun penyebarannya.[1]
Dalam menghadapi tantangan tersebut, diperlukan adanya penguatan regulasi untuk pendukung pengembangan dan pemberdayaan kesehatan melalui percepatan pelaksanaan, peningkatan kerjasama lintas sektor dan peningkatan pengelolaannya secara berjenjang di pusat dan di daerah. Perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan secara nasional disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan masalah kesehatan, kebutuhan pengembangan program pembangunan kesehatan, serta ketersediaan tenaga kesehatan tersebut.[2]
Pengaturan pelayanan kesehatan untuk masyarakat di Indonesia, secara filosofis berasal dari pasal
34 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 yang menetapkan
pelayanan kesehatan sebagai
tanggung jawab negara, dan pasal 28 H ayat (1) yang menetapkan mengenai
hak warga negara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.[3]
Kedua pasal
tersebut merupakan perwujudan dari sila kemanusiaan yang adil dan beradab
dan sila keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.[4]
Pelayanan Kesehatan diatur juga pada ketentuan pasal 5 ayat (2) dan
pasal 53 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yaitu :
pasal 5 ayat (2) berbunyi: �Setiap orang mempunyai hak yang dalam
memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau�.
Pasal 53 berbunyi:
1) �Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan
penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga.
2) Pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok
dan masyarakat.
3) Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan lainnya�.[5]
Dalam rangka memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum kepada tenaga kesehatan
baik yang melakukan pelayanan langsung kepada masyarakat maupun yang tidak langsung serta untuk masyarakat
penerima pelayanan itu sendiri diperlukan
adanya landasan hukum yang kuat yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, sosial, ekonomi dan budaya. Adanya Undang � Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dalam pasal 2 poin e disebutkan bahwa Undang � Undang ini bertujuan untuk
memberikan kepastian hukum kepada masyarakat
dan tenaga kesehatan. Adapun
dalam pasal 11 UU Tenaga
Kesehatan disebutkan mengenai
klasifikasi tenaga dibidang kesehatan salah satunya yaitu tenaga
kefarmasian.[6]�������������
Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian dalam pasal 1 angka
3 bahwa tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas apoteker
dan tenaga teknis kefarmasian, pada angka 5 menyebutkan bahwa �Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker�.[7]
Secara umum pengertian obat adalah suatu
bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosa, mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit,
luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan, memperelok
badan atau bagian badan manusia.[8]
Ada dua golongan obat yang dipasarkan yakni:
1. Obat yang diperoleh tanpa resep dokter
yaitu obat bebas dan obat bebas terbatas atau dikenal dengan
sebutan Over The Counter
(OTC).
2. Obat yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter
(ethical) dan dibeli di apotek,
yang terdiri dari:
a. Daftar
G atau obat keras adalah golongan
obat antibiotika, anti diabetes, anti histamin dan lainnya.
b. Daftar
O atau obat bius adalah golongan
obat narkotika.
c. Obat Keras Tertentu (OKT) atau psikotropika, seperti obat penenang, obat tidur, obat
sakit jiwa, dan lainnya.
d. Obat Wajib Apotek yaitu obat
keras yang dapat dibeli dengan resep
dokter, namun dapat pula diserahkan oleh apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter
dengan jumlah tertentu, seperti anti histamin, obat asma, pil anti hamil, beberapa obat kulit tertentu
dan lainnya.[9]
� Hukuman
dalam hukum pidana ditujukan untuk memelihara keamanan dan pergaulan hidup yang benar.[10]
Hukum bekerja dengan cara mengatur perbuatan
seseorang atau hubungan antara orang-orang dalam masyarakat. Untuk keperluan pengaturan tersebut, maka hukum menjabarkan
pekerjaannya dalam berbagai fungsinya yaitu: (1) pembuatan norma-norma, baik yang memberikan peruntukan maupun yang menentukan hubungan antara orang dengan orang; (2) penyelesaian sengketa-sengketa; (3) menjamin kelangsungan kehidupan.[11]
Bahwa sanksi dalam hukum
pidana adalah merupakan reaksi atas pelanggaran hukum yang telah ditentukan undang-undang, mulai dari penahanan,
penuntutan sampai, sampai pada penjatuhan hukuman oleh hakim. Simon menyatakan,
bahwa bagian terpenting dari setiap undang-undang adalah menentukan sistem hukum yang dianutnya. Masalah kebijakan menetapkan jenis sanksi dalam
hukum pidana, tidak terlepas dari masalah
penetapan tujuan yang ingin dicapai dalam
pemidanaan.[12]
Dalam penelitian tesis ini penulis memberikan
contoh kasus tentang tenaga kefarmasian yang melakukan malpraktik. Kasus telah diputus oleh Pengadilan Tinggi Surabaya dengan
putusannya Nomor
10/PID.SUS/2020/PT SBY. Dalam kasus
ini terdakwanya adalah FAUZIAH TRI ARINI (32 tahun)
yang kesehariannya berprofesi
sebagai apoteker. Dalam dakwaannya penuntut umum telah
menuntut terdakwa selaku apoteker yang memiliki ijin praktek
namun memperjual belikan obat keras
(daftar G) berupa obat
Misoprostol 200 mcg merk Chromalux tanpa resep dokter
tersebut merupakan bentuk perbuatan ikut serta melakukan
praktek yang lazimnya dilakukan oleh tenaga kesehatan, dimana terdakwa sendiri tidak termasuk dalam katagori tenaga kesehatan, dengan ke ikut
sertaan terdakwa selaku apoteker yang memiliki ijin praktek
untuk pembelian obat seperti tersebut
diatas maka terjadilah pembelian obat tanpa menggunakan
resep dokter dalam jumlah banyak
dan penggunaannya pun tanpa
pengawasan dokter sehingga perbuatan terdakwa dapat membahayakan nyawa orang lain. Penuntut Umum menuntut:
1) Terdakwa: FAUZIAH TRI
ARINI. S. Farm, Apt bersalah melakukan
tindak pidana �Turut serta melakukan
praktik seolah-olah sebagai tenaga kesehatan yang memiliki izin� sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal
83 UU RI No. 36
tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan Jo pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHP; 2) Menjatuhkan pidana
terhadap terdakwa FAUZIAH
TRI ARINI. S. Farm, Apt oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 2 (dua) tahun dikurangi
selama berada dalam tahanan.[13]
Berdasarkan bukti dan fakta di persidangan akhirnya Pengadilan Negeri Surabaya dengan
putusannya Nomor 2319/Pid.Sus/2019/PN. Sby, tanggal 4 November 2019 menetapkan
: 1) Menyatakan terdakwa
FAUZIAH TRI ARINI, terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana �turut serta melakukan
praktek seolah-olah sebagai tenaga kesehatan yang memiliki ijin�; 2) Menjatuhkan pidana kepada terdakwa
FAUZIAH TRI ARINI dengan pidana
penjara selama 1 (satu) tahun; 3) Menetapkan masa penangkapan dan
masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; dan 4)� Menetapkan agar terdakwa tetap ditahan. Atas putusan tersebut penuntut umum melakukan
upaya hukum banding, sehingga akhirnya Pengadilan Tinggi Surabaya dengan
amar putusannya Nomor 10/PID.SUS/2020/PT SBY menetapkan
: 1) Menerima permintaan banding dari JPU; 2) Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri
Surabaya Nomor 2319/Pid.Sus/2019/PN.Sby tanggal 4 November 2019
yang dimintakan banding tersebut;
3)� Menetapkan terhadap pidana yang dijatuhkan tetap dikurangi dengan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalankan oleh terdakwa; dan 4) Memerintahkan
agar terdakwa tetap berada dalam Rumah
Tahanan Negara.
Metode Penelitian
Tipe pendekatan yang dilakukan dalam penelitian hukum ini adalah dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang mengutamakan data kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder. Data sekunder tersebut dapat berupa bahan hukum primer, sekunder maupun tersier.[14] Penelitian ini meliputi penelitian mengenai ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan malpraktik tenaga kefarmasian dalam perspektif kepastian hukum.[15]
Hasil dan Pembahasan
A.
Penerapan Hukum Pidana Materiil
Malpraktik Tenaga Kefarmasian Dalam Perspektif Kepastian Hukum
1. Tinjauan
Umum tentang Malpraktik
Malpraktik
adalah setiap sikap tindak yang salah, kekurangan keterampilan dalam ukuran
tingkat yang tidak wajar. Kegagalan untuk memberikan pelayanan profesional dan
melakukan pada ukuran tingkat keterampilan dan kepandaian yang wajar di dalam
masyarakatnya oleh teman sejawat rata-rata dari profesi itu, sehingga
mengakibatkan luka, kehilangan atau kerugian pada penerima pelayanan tersebut
yang cenderung menaruh kepercayaan terhadap mereka itu. Termasuk di dalamnya
setiap sikap tindak profesional yang salah, kurang keterampilan yang tidak
wajar atau kurang kehati-hatian atau praktek buruk atau ilegal atau sikap immoral.
Pada
peraturan perundang-undangan Indonesia yang sekarang berlaku tidak ditemukan
pengertian mengenai malpraktik. Akan tetapi makna atau pengertian malpraktik
justru didapati dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b UU No. 6 Tahun 1963 tentang
Tenaga Kesehatan (selanjutnya ditulis UU Tenaga Kesehatan). Oleh karena itu
secara perundang-undangan, menurut Siswati S,�
ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf b UU Tenaga Kesehatan dapat dijadikan
acuan makna malpraktik yang mengidentifikasikan malpraktik dengan melalaikan
kewajiban, berarti tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.
Pasal 11
ayat (1) huruf b UU Tenaga Kesehatan: (1)�
Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana dan Peraturan-peraturan perundang-undangan lain, maka terhadap
tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan-tindakan administratip dalam hal
sebagai berikut:
a. melalaikan
kewajiban;
b. melakukan
sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga
kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai
tenaga kesehatan;
c. mengabaikan
sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan;
d. melanggar
sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang ini.
Menurut
Reising dan Allen, klaim malpraktik muncul terhadap perawat saat perawat gagal:
a. Menilai
dan memantau
b. Mengikuti
standar perawatan
c. Menggunakan
peralatan secara bertanggung jawab
d. Menyampaikan
e. Mendokumentasikan
f. Bertindak
sebagai advokat pasien dan mengikuti rantai komando�
Jadi,
dilihat dari arti istilah malpraktik itu sendiri, malpraktiktidak merujuk hanya
kepada suatu profesi tertentu tetapi penulis mengambil contoh studi kasus dari
profesi apoteker dimana nama organisasi profesinya yaitu IAI (Ikatan Apoteker
Indonesia). IAI merupakan satu-satunya organisasi profesi apoteker yang
menaungi seluruh apoteker di Indonesia. Nama IAI sendiri telah berubah-ubah
nama, diawal pembentukannya bernama Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia dan
ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No 41846/KMB/121
tertanggal 16 September 1965 lalu berubah menjadi IKA dan baru berubah menjadi
IAI pada kongres ke XVIII tanggal 7-9 Desember 2009 di Jakarta.
Profesi
apoteker yang telah penulis sebutkan juga memiliki kode etik sebagai pedoman
dalam menjalankan tugas profesi. Selain peraturan perundang-undangan, kode etik
biasanya juga dijadikan dasar bagi organisasi profesi tersebut untuk memeriksa
apakah ada pelanggaran dalam pelaksanaan tugas.
Atas
segala ketentuan terkait pedoman profesi apoteker (baik yang ada dalam
peraturan perundang-undangan maupun kode etik), terdapat pihak yang akan
melakukan pengawasan dan menjatuhkan sanksi atas pelanggaran ketentuan profesi
tersebut. Biasanya terdapat badan khusus yang dibentuk untuk mengawasi profesi
tersebut.
Badan
khusus yang dibentuk untuk mengawasi tugas profesi biasanya akan menjatuhkan
sanksi administratif kepada anggotanya yang terbukti melanggar kode etik.
Selain itu tidak menutup kemungkinan bahwa ia dapat pula dikenakan sanksi
pidana apabila terbukti memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam
undang-undang profesinya.
Selain
itu, klien atau pasien sebagai pengguna jasa juga merupakan konsumen sehingga
dalam hal ini berlaku juga ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Profesi-profesi sebagaimana disebutkan di atas termasuk
sebagai pelaku usaha (Pasal 1 angka 3 UUPK), yang berarti ketentuan Pasal 19
ayat (1) UUPK berlaku pada mereka:
Pasal 19 ayat
(1) UUPK:
�Pelaku
usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,
dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang
dihasilkan atau diperdagangkan.�
Jadi,
tindakan seperti apa yang termasuk sebagai malpraktik ditentukan oleh
organisasi profesi atau badan khusus yang dibentuk untuk mengawasi tugas
profesi berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kode etik masing-masing
profesi. Setiap tindakan yang terbukti sebagai tindakan malpraktik akan
dikenakan sanksi.
Dari
uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa yang disebut dengan malpraktik tenaga
kefarmasian adalah suatu kelalaian atau kesalahan/pelanggaran tugas yang
dilakukan oleh tenaga kefarmasian dalam hal ini adalah apoteker dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawab profesinya.
2. Pengaturan
Hukum Bagi Tenaga Kefarmasian Yang Melakukan Malpraktik
Malpraktik
pada dasarnya tidak hanya dilakukan oleh profesi kedokteran melainkan juga
diprofesi lain seperti perbankan, pengacara, akuntan publik, apoteker dan lain
sebagainya. Hal ini didasari dengan adanya potensi-potensi untuk melakukan hal
yang dapat merugikan pihak lain, menurut kamus hukum Black Law Dictionary
merumuskan malpraktik sebagai Any Professional misconduct, Unreasonable
lack of Skill or Fidelity in Professional or judiacry duties, evil or illegal
or immoral conduct artinya perbuatan jahat dari seseorang ahli,
kekurangan dalam keterampilan di bawah standar atau tidak cermatnya seorang ahli
dalam menjalankan kewajibannya secara hukum, praktik salah atau illegal atau
perbuatan yang tidak bermoral.
Secara
etimologi Malpraktik berasal dari kata malpractice artinya cara mengobati yang
salah atau tindakan tidak benar dan tidak sesuai dengan standar operasional
prosedur yang ada. Dalam bidang kesehatan khususnya farmasi, malpraktik
merupakan tindakan dari tenaga kefarmasian yang sudah profesional tetapi
tindakannya merugikan seseorang atau pasien yang sedang ditanganinya. Ini
merupakan bagian dari pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh tenaga
kefarmasian dalam melakukan kewajibannya melayani pasien. Sedangkan defenisi
dari malpraktik itu adalah: kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan atau tenaga kefarmasian dalam melaksanakan tugas� profesinya yang tidak sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional, akibat kelalaian atau kesalahan
tersebut pasien memderita luka berat, cacat bahkan meninggal dunia.
Janji
apoteker sendiri sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1962
tentang Lafal Sumpah Janji Apoteker yang dijadikan kode etik bagi apoteker
Indonesia yaitu :
Pasal 1.
1) Sebelum
seorang Apoteker melakukan jabatannya, maka ia harus mengucapkan sumpah menurut
cara agama yang dipeluknya, atau mengucapkan janji, Ucapan sumpah dimulai
dengan kata-kata "Demi Allah" bagi mereka yang beragama Islam, dan
sumpah untuk agama lain, pemakaian kata-kata "Demi Allah" disesuaikan
dengan kebiasaan agama masing-masing.
2) Sumpah/janji
itu berbunyi sebagai berikut:
a. Saya
akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan, terutama dalam
bidang kesehatan;
b. Saya
akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan
keilmuan saya sebagai apoteker;
c. Sekalipun
diancam,saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kefarmasian saya untuk
sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan;
d. Saya
akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan martabat dan
tradisi luhur jabatan kefarmasian;
e. Dalam
menunaikan kewajiban saya, saya akan berihtiar dengan sungguh-sungguh supaya
tidak terpengaruh oleh pertimbangan Keagamaan, Kebangsaan, Kesukuan, Politik,
Kepartaian atau Kedudukan Sosial;
f. Saya
ikrarkan sumpah/janji ini dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh keinsyafan.
Perkembangan
Indonesia saat ini kalau dilihat dari kasus malpraktik dilakukan oleh tenaga
kesehatan dan kefarmasian sebagai pelaku yang melakukan pelanggaran bisa
bersifat pidana, perdata dan administrasi, dengan demikian malpraktik dibagi
menjadi tiga (3) golongan besar yaitu malpraktik medik (medical malpractice),
malpraktik etik (ethical malpractice) dan malpraktik yuridik (juridical
malpractice), dimana malpraktik yuridik dibagi menjadi tiga yaitu: malpraktik
perdata, malpraktik pidana dan malpraktik administrasi dimana masing-masing
memiliki sifat sama dimana merugikan pihak lain dan melanggar standar
operasional prosedur yang berlaku.�
Malpraktik administrasi sendiri yaitu jika dokter dan tenaga kesehatan
menjalankan profesinya tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan hukum
administrasi negara misalnya memberikan obat golongan narkotika dan
psikotropika kepada pasien tanpa resep dokter.
Standar
operasional prosedur juga merupakan suatu perangkat instruksi/langkah-langkah
yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutinitas tertentu dan
informasi antara tenaga kesehatan dan pasien agar saling terbuka dalam
pelayanan kesehatan tersebut.
Selain
itu juga ada beberapa faktor lain penyebab terjadinya tindak pidana malpraktik
seperti kelalaian yang dilakukan dengan kurangnya kehati-hatian dan adanya
kesengajaan yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh tenaga kefarmasian itu
sendiri dan kurangnya pengetahuan dan pengalaman dari seorang tenaga
kefarmasian tentu saja di harapkan memiliki kemampuan, pengetahuan dan
keterampilan dibidang kesehatan, ada juga faktor ekonomi dan rutinitas dapat
menimbukan terjadinya malpraktik tersebut.
Selain
dari pada faktor dan hal lain yang menyebabkan terjadinya malpraktik ada juga
unsur-unsur melawan hukum, seperti adanya unsur kesengajaan, unsur kelalaian,
dan tidak ada alasan pembenar atau pemaaf seperti, membela diri, alasan tidak
waras dan lain-lain, unsur kelalaian tersebut diatas terjadi ketika
terpenuhinya beberapa hal pokok seperti, adanya perbuatan atau mengabaikan
sesuatu yang harus dilakukan, tidak menjalankan kewajiban ketidak hati-hatian
dan adanya kerugian bagi orang lain.
Akibat
hukum ketika orang mengalami kerugian terhadap malpraktik tersebut, orang
karena kesalahannya tersebut menerbitkan kerugian itu untuk mengantikan kerugian
tersebut, dari segi yuridis ganti rugi dalam hukum itu ada dua hal antara lain
konsep ganti rugi karena wanprestasi dan konsep ganti rugi.� Karena perikatan berdasarkan undang-undang
termasuk perbuatan melawan hukum, kerugian tersebut memang
harus dibuktikan sehingga seseorang diwajibkan untuk membayarnya, dimana dalam
perbuatan melanggar hukum dapat berupa ganti rugi meteriil dan non materiil.
Pengaturan hukum merupakan sebuah dasar landasan untuk memberikan jaminan hukum
terhadap adanya
kepastian hukum agar terciptanya cita-cita hukum yaitu keadilan, dan sebaliknya
setiap pelanggaran hukum sudah tentu mendapatkan sanksi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dengan demikian setiap tindakan malpraktik yang
dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang dapat merugikan pasien atau menimbulkan
luka berat pada tubuh pasien merupakan pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan pelanggaran terhadap kode etik profesi. Hal
ini juga dapat menimbulkan berbagai macam tanggapan negatif dari masyarakat
sehingga dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap tenaga medis maupun
rumah sakit, selain itu efek dari pada tindakan malpraktik oleh tenaga
kefarmasian ini dapat menimbulkan tanggung jawab besar terhadap, pribadi,
kelompok dan institusi sehingga mempunyai tanggung jawab bersama dalam
menghadapi masalah tersebut.
B.
Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan
Sanksi terhadap pelaku Malpraktik Tenaga Kefarmasian Dalam Perspektif Kepastian
Hukum ?
1. Sanksi
Pidana bagi Tenaga Kefarmasian yang Melakukan Tindakan Malpraktik
Tindakan
malpraktik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sudah diatur hukumnya dalam
peraturan perundang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang kesehatan dan kode etik
profesi yang berlaku selain itu juga adapun sanksi terhadap perbuatan tindakan
tenaga kesehatan yang melakukan malpraktik, sanksi yang dimaksud antara lain,
sanksi pidana, sanksi perdata dan sanksi administrasi, dimana sanksi-sanksi
tersebut berupa pidana penjara, ganti rugi, teguran, denda atau pembekuan izin
akibat kelalaian tersebut dan pelanggaran terhadap norma dan moralitas.
Terhadap
sanksi administrasi umumnya dikenakan kepada pelanggaran diklasifikasikan
pelanggaran administrasi bersifat privat yang dijatuhkan oleh aparatur atau
pejabat tata usaha negara, sanksi teguran merupakan teguran secara lisan dan
tertulis.
Penjatuhan
sanksi teguran ini kepada pihak penerima sanksi harus diberitahu jenis
kesalahannya. Jenis sanksi ini bersifat ringan dan kepada pihak yang ditegur
masih diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri, adapula sanksi dalam pembekuan
hingga pencabutan izn, sanksi ini merupakan penghentian dalam jangka waktu
sementara dan selamanya, apabila untuk sementara sanksi tersebut mempunyai batas
waktu dan sanksi tersebut dianggap selesai ketika penerima sanksi sudah
melewati batas waktu tersebut dan kembali pada kondisi semula yakni kondisi sebagaimana
sebelum menerima
sanksi tersebut, sanksi administrasi yang terakhir adalah sanksi denda,
besar kecilnya denda akan ditentukan oleh hukum yang mengaturnya karena setiap
ketentuan mempunyai dasar hukum dan kriteria masing-masing.
Tenaga
kesehatan pada dasarnya sudah memiliki dasar hukum atau payung hukum untuk
memberikan jaminan hukum kepada tenaga kesehatan atau tenaga kefarmasian pada
khususnya yang melakukan profesi dalam melakukan tindakan atau pelayanan
kesehatan, karena tenaga kesehatan merupakan komponen utama pemberi pelayanan
kesehatan kepada masyarakat dalam rangka untuk mencapai suatu tujuan dalam
melakukan pembangunan kesehatan yang sesuai dengan tujuan nasional sebagaimana
sudah diamanatkan oleh konstitusi.� Hukum
positif Indonesia terdapat beberapa peraturan perundang-undang yang berkaitan
dengan perlindungan hukum terhadap tenaga medis atau tenaga kesehatan dalam
melakukan profesi.
2. Penerapan
Sanksi dalam Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor NOMOR: 10/PID.SUS/2020/PT
SBY
a. Posisi
Kasus Berdasarkan Dakwaan Penuntut Umum
Bahwa
terdakwa FAUZIAH TRI ARINI pada hari yang sudah tidak diingat lagi tanggal 11
Juli 2018 sampai dengan tanggal 4 April 2019 atau setidak-tidaknya bulan Juli
2018 sampai dengan April 2019 bertempat di di Apotek Ngudi Rahayu yang
beralamat di Tawangsari Barat Rt 19/ Rw 04 No.10 Kecamatan Taman Kabupaten
Sidoarjo atau setidak-tidaknya ditempat lain yang masih termasuk dalam daerah
Hukum Pengadilan Negeri Sidoarjo , berdasarkan pasal 84 ayat (2) KUHAP
Pengadilan Negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal,
berdiam terakhir, ditempat ia ditemukan atau ditahan hanya berwenang mengadili
perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang
dipanggil lebih dekat pada tempat Pengadilan Negeri itu dar ipada tempat
kedudukan Pengadilan Negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu
dilakukan, maka Pengadilan Negeri Surabaya berwenang memeriksa dan mengadili
perkara ini yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta
melakukan, bukan Tenaga Kesehatan melakukan praktek seolah- olah sebagai Tenaga
Kesehatan yang telah memiliki izin, perbuatan mana dilakukan terdakwa dengan
cara sebagai berikut:
1) Berawal
saat petugas dari Ditreskrimsus Polda Jatim melakukan penyidikan
terhadap LAKSMITA WAHYUNING PUTRI ALS MITA (berkas tersendiri) yang telah
melakukan tindak pidana tenaga kesehatan ditemukan 2 petunjuk berupa percakapan
lewat WA antara nomor kontak 082233551406 atas nama LAKSMITA WAHYUNING PUTRI
ALS MITA (berkas tersendiri) dengan nomor kontak WA 081217882253 atas nama
M.BUSRO (berkas tersendiri), dalam percakapan tersebut LAKSMITA WAHYUNING PUTRI
ALS MITA (berkas tersendiri) melakukan pememesan obat Misoprostol 200 mcg merk
Chromalux terhadap M.BUSRO (berkas tersendiri) sebanyak 3 kali yaitu tanggal 7
Pebruari 2019 pesan obat sebanyak 1 box, 14 Maret 2019 sebanyak 2 box dan 4
April 2019 sebanyak 1 box dengan harga perboxnya Rp. 750.000,. - Bahwa obat
tersebut oleh M BUSRO (berkas tersendiri) diperoleh dari VIVI NURMALASARI
(berkas tersendiri) ,dan M BUSRO (berkas tersendiri) telah melakukan pemesanan
ke VIVI NURMALASARI (berkas tersendiri) sebanyak 9 kali yaitu: a). pada
tanggal 11 Juli 2018 pesan obat jenis Chromalux sebanyak 1 box seharga Rp.
475.000,- diserahkan di jalan depan BRI Siwalankerto Surabaya, b). Tanggal 5
September 2018 pesan lagi sebanyak 1 box seharga Rp. 475.000,- diserahkan di
depan Indomaret Joyoboyo Surabaya, 3. Tanggal 10 Oktober 2018 pesan obat
sebanyak 1 box seharga Rp. 475.000,- diserahkan di depan BCA Jl A.Yani, 4.
Tanggal 11 Desember 2018 pesan 1 box seharga 475.000,- diserahkan di di Warkop
Angkringan Rindu Malam Bratang Surabaya, 5. Tanggal 27 Desember 2018 pesan 1
box seharga 450.000 ,- diserahkan oleh terdakwa sendiri kealamat M BUSRO , 6.
tanggal 7 Pebruari 2019 pesan se banyak 1 box seharga Rp. 450.000,- melalui
Gojek kealamat M. BUSRO sendiri 7. Tanggal 13 Maret 2019 pesan sebanyak 2 box
seharga Rp. 900.000 , 8. Tanggal 25 Maret 2019 pesan sebanyak 1 box seharga Rp.
450.000,- diserahkan didepan PT Antar Mitra Sembada Surabaya, 9. Tanggal 4
April 2019 pesan sebanyak 1 box seharga Rp. 450.000,- diserahkan di Kantor
Dispenduk Capil Kota Surabaya
2) Bahwa
VIVI NURMALASARI (berkas tersendiri) memperoleh obat Misoprostol 200
mcg merk Chromalux dengan cara memesan di Apotik Ngudi Rahayu milik terdakwa
FAUZIAH TRI ARINI ALS UZI yang beralamat di Tawangsari Barat Kec. Taman
Kabupaten Sidoarjo sejak tanggal 11 Juli 2018 s/d 4 April 2019.
b. Tuntutan
Penuntut Umum
Kejaksaan
Negeri Surabaya NO.REG.PERK : PDM-2303/Eku.2/08/2019, tertanggal 15 Oktober
2019, Terdakwa tersebut telah dituntut sebagai berikut :
1) Menyatakan
terdakwa FAUZIAH TRI ARINI. S. Farm, Apt bersalah melakukan tindak pidana �
TURUT SERTA MELAKUKAN PRAKTEK SEOLAH OLAH SEBAGAI TENAGA KESEHATAN YANG
MEMILIKI IJIN� sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 83 UU RI No.
36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
2) Menjatuhkan
pidana terhadap terdakwa FAUZIAH TRI ARINI. S. Farm, Apt oleh karena itu dengan
pidana penjara selama 2 (dua) Tahun dikurangi selama berada salam tahanan.
c. Putusan
Pengadilan Negeri Surabaya�
Putusan
pengadilan Negeri Surabaya Nomor 2319//Pid.Sus/2019/PN.Sby, tanggal 4 November
2019, yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
1) Menyatakan
terdakwa FAUZIAH TRI ARINI, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana �Turut Serta Melakukan Praktek Seolah-Olah sebagai
Tenaga Kesehatan yang Memiliki Ijin� ;
2) Menjatuhkan
pidana kepada terdakwa FAUZIAH TRI ARINI oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 1 (satu) tahun;
3) Menetapkan
masa penangkapan dan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;�
4) Menetapkan
agar terdakwa tetap ditahan.
d. Pertimbangan
Hakim Pengadilan Tinggi Surabaya
Menimbang,
bahwa Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 2319/Pid.Sus/2019/PN.Sby,
diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada tanggal 4 November 2019,
sedangkan permintaan banding Penuntut Umum diajukan pada tanggal 8 November
2019, karena itu permintaan banding tersebut telah diajukan sesuai tenggang
waktu yang ditentukan Pasal 233 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981,
sehingga memenuhi syarat formal dan karenanya dapat diterima;
Menimbang,
bahwa dalam perkara aquo, Penuntut Umum tidak mengajukan memori banding sebagai
alasan dan landasan keberatan atas putusan Pengadilan Negeri tersebut;
Menimbang
bahwa setelah Majelis Hakim Tingkat Banding memeriksa dan meneliti dengan
seksama berkas perkara beserta turunan resmi putusan Pengadilan Negeri Surabaya
tanggal 4 November 2019, Nomor : 2319/Pid.Sus/2019/PN.Sby, Majelis Hakim
Tingkat Banding berpendapat bahwa pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat
pertama dalam putusannya, yang menyatakan bahwa Terdakwa terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan
dalam dakwaan tunggal yaitu melanggar pasal 83 UU RI No. 36 Tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan Jo Pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP, berdasarkan alasan yang tepat
dan benar menurut hukum, oleh karena itu pertimbangan tersebut dapat disetujui
dan diambil alih serta dijadikan sebagai pertimbangan hukum Majelis Hakim
Tingkat Banding dalam memutus perkara ini ditingkat banding;
Menimbang,
bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas maka putusan Pengadilan Negeri
Surabaya tanggal 4 November 2019, Nomor :�
319/Pid.Sus/2019/PN. Sby., dapat dipertahankan dan dikuatkan;
Menimbang,
bahwa Terdakwa berada dalam tahanan berdasarkan surat penahanan yang sah yakni
menurut ketentuan yang diatur dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (4) KUHAP Jo
Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, maka lamanya pidana yang dijatuhkan harus
dikurangi dengan lamanya penahanan yang dijalani oleh Terdakwa tersebut (pasal
22 ayat (4) KUHAP); Menimbang bahwa karena Terdakwa terbukti bersalah dan
dijatuhi pidana yang lebih lama dari masa penahanan Terdakwa maka tidak ada
alasan untuk dikeluarkan dari Tahanan, maka Majelis Hakim tingkat banding
memerintahkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan Rutan (pasal 242 KUHAP jo
pasal 193 ayat (2) huruf b KUHAP);
Menimbang,
bahwa karena Terdakwa dijatuhi pidana, maka kepadanya harus dibebani membayar
ongkos perkara dalam kedua tingkat peradilan (pasal 222 KUHAP) yang dalam
tingkat banding besarnya seperti dalam amar putusan;
Mengingat
dan memperhatikan Pasal 83 UU RI No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan Jo
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan Undang -undang Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan perkara ini;
e. Putusan
Pengadilan Tinggi Surabaya�
Putusan
pengadilan Tinggi Surabaya Nomor�
10/PID.SUS/2020/PT SBY menetapkan:
1) Menguatkan
Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 2319/Pid.Sus/2019/PN.Sby tanggal 4
November 2019 yang dimintakan banding tersebut;
2) MenetapkanTerhadap
pidana yang dijatuhkan tetap dikurangi dengan masa penangkapan dan penahanan
yang telah dijalankan oleh Terdakwa;
3) Memerintahkan
agar Terdakwa tetap berada dalam Rumah Tahanan Negara;
f. Analisis
Penulis Terhadap Putusan Perkara Nomor 10/Pid.Sus/2020/PT. Sby
Penerapan
hukum di Indonesia haruslah mengedepankan tiga asas yaitu kepastian hukum,
kemanfaatan dan keadilan. Salah satu wujud peningkatan kualitas putusan hakim
serta profesionalisme lembaga peradilan yakni ketika hakim mampu menjatuhkan
dengan memperhatikan tiga hal yang sangat esensia yaitu keadilan
(gerechtigheit), kepastian (rechsecherheit), dan kemanfaatan (zwachmatigheit).
Jika
diteliti lebih dalam dari pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan perkara
nomor 10/Pid.Sus/2020/PT. Sby apakah sudah memenuhi aspek kepastian hukum ?
Pada
putusan perkara nomor 10/Pid.Sus/2020/PT. Sby penulis��� berpendapat bahwa tidak ada unsur pidana
yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa, unsur pidana �turut serta melakukan
praktek seolah-olah sebagai tenaga kesehatan yang memiliki ijin� tidak dapat
dibuktikan secara materiil, dikarenakan:
1) Unsur
�turut serta� yang dimaksud sama sekali tidak dapat dibuktikan. Terdakwa lain
atas nama Laksmita Wahyuning Putri yang melayani praktek aborsi tidak memiliki
hubungan atau bukan kerabat dari terdakwa selain itu terdakwa juga tidak
mengetahui bahwa obat keras merek Chromalux (Misoprostol 200mcg) akan
dipergunakan terdakwa lain untuk melakukan praktek aborsi. Itu terlihat dari
terdakwa sebagai pemilik apt. Ngudi Rahayu menjual obat tersebut kepada
terdakwa lain atas nama Vivi Nurmalasari tanpa mengambil keuntungan sama sekali
sehingga penulis berpendapat bahwa terdakwa tidak memiliki unsur kesengajaan
turut serta didalamnya.
2) Unsur
�melakukan praktek seolah � olah sebagai tenaga kesehatan yang memiliki ijin�
juga sama sekali tidak dapat dibuktikan dikarenakan:
a. Profesi
terdakwa adalah apoteker yang merupakan bagian dari tenaga kefarmasian,
sedangkan tenaga kefarmasian itu sendiri merupakan bagian dari tenaga kesehatan
(sesuai dengan pasal 11 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan).
b. Terdakwa
memberikan obat salah satunya obat keras kepada konsumen merupakan bagian dari
profesi nya sebagai apoteker.
Jadi
penulis berpendapat bahwa unsur �melakukan praktek seolah � olah sebagai tenaga
kesehatan yang memiliki ijin� adalah tidak benar dan tidak dapat dibuktikan
secara hukum pidana materiil. Kesimpulan dan pendapat penulis :
a. Putusan
pengadilan dalam perkara ini baik di tingkat Pengadilan Negeri maupun
Pengadilan Tinggi dalam perspektif kepastian hukum nya tidak berjalan
sebagaimana mestinya.
b. Perbuatan
yang terdakwa lakukan seharusnya hanya berupa sanksi administratif yang
diberikan kepada Apt. Ngudi Rahayu sesuai pasal 31 Peraturan Menteri Kesehatan
RI Nomor 9 Tahun 2017 tentang Apotek
c. Selain
sanksi administratif perbuatan terdakwa juga merupakan pelanggaran kode etik
profesi apoteker tetapi bukan merupakan suatu tindak pidana sehingga penjatuhan
sanksi pidana tidak lah tepat
d. Vonis
hakim kepada terdakwa yaitu lepas (ontslag van alle rechtsvervolging)
Kesimpulan
Pada peraturan perundang-undangan yang sekarang tidak ditemukan mengenai malpraktik namun pada undang-undang tentang tenaga kesehatan yang sudah dicabut yaitu UU No 6 Tahun 1963 tentang Tenaga
Kesehatan tercantum pada pasal
11 ayat (1) huruf b yang berbunyi �Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam Kitab
Undang � Undang Hukum Pidana dan peraturan � peraturan perundang � undangan lain, maka tenaga Kesehatan dapat dilakukan Tindakan � Tindakan
administratip dalam hal sebagai berikut:
(b) melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat
oleh seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah sebagai tenaga Kesehatan;�. Tindak pidana pelaku
malpraktik tenaga kefarmasian dapat dituntut secara hukum baik itu
secara hukum pidana, hukum perdata
maupun hukum administrasi. Selain sanksi hukum jika
itu menyangkut pelanggaran terhadap profesi maka akan
dianggap juga sebagai pelanggaran kode etik profesi (dalam
studi kasus organisasi apoteker yaitu Ikatan Apoteker
Indonesia). Pertimbangan hukum
hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelaku malpraktik tenaga kefarmasian hendaknya memiliki tujuan: a). Kepastian Hukum; b). Kemanfaatan; c). Keadilan.
Sebelum memutuskan vonis hendaknya hakim dapat lebih mengerti dan memahami hukum pidana materiil suatu perkara sehingga
vonis yang dijatuhkan benar � benar dapat
memuat sisi keadilan, kemanfaatan dan terutama kepastian hukumnya. Pada putusan perkara nomor 10/Pid.Sus/2020/PT. Sby penulis berpendapat bahwa tidak ada
unsur pidana yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa melainkan hanya sekedar sanksi administrasi karena apa yang dilakukan oleh terdakwa hanya berupa pelanggaran kode etik profesi
apoteker.
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010)
Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005)
Anief, Moh, Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat, (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 2005)
Anonim, Pedoman Obat Bebas dan Bebas Terbatas, (Jakarta: Depkes RI, 2006)
Astuti EK. Hubungan Hukum Antara Dokter
Dan Pasien Dalam Upaya
Pelayanan Medis, (Semarang:
2003)
Chairul Huda, Dari
Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006)
Darsono S. Etik, Hukum Kesehatan
dan Kedokteran (Sudut
Pandang
Praktikus) Semarang: Bagian Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal (Semarang: Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro,
2004)
H.A. Zainal Abidin, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007)
Hanafiah MJ, Amri Amir. Etika Kedokteran
& Hukum Kesehatan, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007)
Hartono, Penyidikan
dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010)
HR. Ridwan,� Hukum Administrasi
Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,� 2006)
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cetakan Kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2005)
Lutfi Efendi, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, (Malang: Bayumedia Sakti Group, 2004)
Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010)
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, Cetakan Pertama, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010)
Marbun dan Mahfud, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta:
Liberty, 2007)
Mochtar. M, Etika Profesi dan Hukum Kesehatan, Perspektif Profesi Bidan dalam Pelayanan Kebidanan di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2016)
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008)
Muhammad Erwin, Filsafat Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo, 2012)
N.M. dan� J.M.J.M. ten berge,
�Pengantar Hukum Perizinan�,
disunting oleh Philippus M.Hadjon (Surabaya: Yuridika,
2003)
Oemar Seno Adji,
Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaban
Pidana Dokter, (Jakarta:
Erlangga, 1991)
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008)
Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000)
Satjipto Raharjo, Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Cetakan Ketiga, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009)
Siswati S. Etika dan Hukum Kesehatan dalam Perspektif Undang-Undang Kesehatan, 2004
Soekidjo Notoatmodjo,� Etika & Hukum Kesehatan, Cetakan Pertama� (Jakarta: Rineka Cipta, 2010)
Soerjono, Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,� 2010)
------------ dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005)
S.R.Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Cet IV, (Jakarta: Alumni Ahaem-Peteheam, 2006)
Sudikno Mertokusumo, Mengenal hukum suatu pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2007)
Tatiana Siska Wardani dan Aris Prio Agus Santoso, Etika Profesi Farmasis Implementasi Hukum Kesehatan Dalam Praktik Kefarmasian, (Yogyakarta, Pustaka Baru Press, 2022)
Titik Triwulan
dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum bagi Pasien, (Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2010)
Zahir Rusyad, Hukum Perlindungan Pasien, Konsep Perlindungan Hukum dalam Pemenuhan Hak Kesehatan Oleh Dokter dan Rumah Sakit, (Malang: Setara Press, 2018)
A. Undang-Undang
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1962 tentang Lafal Sumpah Janji Apoteker
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang Apotik
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 tentang Apotek
B.
Jurnal
Fakhrurrazi, Mulyadi and Ismail, N.�
�Pengetahuan Dan Sikap Tenaga
Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pidie Jaya Terhadap
Kesiapsiagaan Dalam Menghadapi Risiko Bencana Banjir�, Jurnal Ilmu
Kebencanaan, Program Pascasarjana
Unsyiah Vol.2 No.4, November
2015
Meutuah, L. D. and Ishak, S. �Analisis Kepuasan Dokter Spesialis Terhadap Program Jaminan Kesehatan Nasional (Jkn) Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Tahun 2014�, Jurnal Kedokteran Syiah, Kuala, 2014
Farlen Kanter. �Sanksi Bagi Tenaga Kesehatan Yang
Melakukan Tindak Pidana Dalam Praktik
Pelayanan Kesehatan Menurut
Undang � Undang Nomor 36 Tahun 2014�, Jurnal Lex Privatum, Vol. IV No. 6, Juli,
2016
Ni Komang Hyang Permata Danu Asvatham. �Pertanggungjawaban Perdata Tenaga Medis Apabila Melakukan Malpraktik Medis�, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Jurnal Kertha Semaya Vol. 8 No. 4, 2020
Stevanus Miharso.
�Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap
Pemilikan dan ���������� �� ����Pengedaran Obat Keras Tanpa Resep
Dokter�, Jurnal Syntax
Literate �� �������� ����Vol.6 No.10, 2021
Copyright holder: Stevanus Miharso
(2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |
[1]Astuti EK. Hubungan Hukum Antara Dokter
Dan Pasien Dalam Upaya
Pelayanan Medis.
(Semarang; 2003), hlm. 2
[2] Ibid., hlm. 3
[3] Zahir Rusyad, Hukum Perlindungan
Pasien, Konsep Perlindungan Hukum dalam Pemenuhan
Hak Kesehatan Oleh Dokter
dan Rumah Sakit, (Malang:
Setara Press, 2018), hlm.1.
[4] Ibid
[5] Pasal 5 ayat (2) dan pasal 53 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
[6] Pasal 2 poin (e) dan pasal 11 Undang � Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
[7] Pasal 1 angka (3) dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
[8] Anief, Moh., Apa Yang Perlu Diketahui Tentang Obat, (Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 2001), hlm. 3
[9] Anonim, Pedoman Obat Bebas dan Bebas Terbatas, (Jakarta, Depkes RI, 2006), hlm. 24
[10] Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cetakan Kedua, (Jakarta, Sinar Grafika, 2005), hlm. 105
[11] Satjipto Raharjo, Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Cetakan Ketiga, (Yogyakarta, Genta Publishing, 2009), hlm. 111
[12] Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, Cetakan Pertama, (Jakarta, PT. Sofmedia, Jakarta, 2010), hlm. 92
[13] Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 10/PID.SUS/2020/PT SBY