Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 5, Mei 2022
TINJAUAN TEOLOGIS IBADAH DALAM�
METAVERSE DI ERA PANDEMI DAN KEMAJUAN TEKNOLOGI
Bobby Hartono Putra
Sekolah Tinggi Teologi Kadesi Yogyakarta, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Dengan adanya
pandemi, pelayanan gereja justru� makin
maju dengan kehadiran pelayanan secara digital atau online dengan teknologi
yang semakin luas di aplikasikan oleh gereja-gereja Tuhan. Banyak inovasi baru
bermunculan, salah satunya adalah teknologi metaverse yang berbasis
blockchain. Hal ini akhirnya memunculkan suatu bentuk model dalam ibadah yang
baru yakni ibadah Gereja� Metaverse yang
akhirnya dianggap sebagai salah satu solusi dan bentuk dari panggilan dan pengutusan
gereja. Meskipun demikian rupanya masih banyak pro dan kontra dalam konteks
ibadah dalam Gereja Metaverse ini yang sudah dilakukan oleh beberapa kalangan.
Penelitian
ini akan membahas pentingnya redefinisi dari�
ibadah dan bolehkah gereja�
menyelenggarakan� ibadah dalam
bentuk Metaverse� dan�� relevansinya�
pada pelayanan masa kini dan masa depan. Melalui penelitian ini penulis
berharap bisa� menjadi� bahan untuk pertimbangan sebuah konstruksi teologis bagi umat� dan gereja dalam menyikapi pola badah dengan
Metaverse, sehingga umat dan gereja memahami apa yang dilakukan itu dalam
kerangka iman Kristen. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan analisis deskriptif dan dengan pendekatan penelitian
kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ibadah dengan pola
gereja Metaverse secara teologis dan biblikal tidaklah bertentangan dengan kebenaran
Firman Tuhan, namun tidak boleh dikesampingkan bahwa pola ibadah ini juga
memiliki kekurangan dan kelebihan yang dapat menjadi pertimbangan bagi gereja
dalam menyikapinya.
Kata kunci: tinjauan teologis,� ibadah metaverse, pandemi
Pendahuluan
Seiring dengan perkembangan jaman
diakui memang banyak hal mulai berubah,�
baik secara rohani, sosial dan budaya, maupun perkembangan teknologi
yang terus maju dalam setiap masa. Sebagai contoh pada masa sekarang, dimana
sejak pandemi covid-19 merebak ditahun 2020 terbukti membuat perubahan dalam
hal rohani terutama masalah pola beribadah. Pandemi membuat gereja mau tidak
mau beradaptasi dan melakukan perubahan pola ibadah, hal karena berdasarkan
penemuan para ahli yang mengemukakan bahwa�
penularan�� virus� ini oleh�
karena� terjadinya� penularan�
antar� manusia.� Virus�
menjadi lebih cepat menyebar karena�
adanya� orang-orang� sakit�
yang� menularkan ke� orang sehat, sehingga� dikarenakan dasar tersebut maka keluarlah
kebijakan pemerintah untuk menanggulangi penularan virus�� covid-19 pada masa pandemi ini dengan dengan
membatasi mobilitas� dan aktivitas
manusia. Seperti kebijakan bahwa setiap��
orang�� harus�� menjauhi��
berbagai acara pertemuan yang melibatkan banyak orang tidak terkecuali
kegiatan peribadatan yang pasti melibatkan banyak orang bila dilakukan secara
berjamaah.
Kebijakan khusus ini yang dicetuskan
pemerintah terkait kegiatan dimasa pandemi yang dikenal dengan pola adaptasi
baru atau �new normal� sebagai upayaa penanggulangan, mengakibatkan
gereja yang tentu saja adalah salah satu tempat dan lembaga ibadah yang
pastinya termasuk dalam hal yang berpotensi menimbulkan perkumpulan orang
didalamnya meskipun dalam konteks kerohanian, akhirnya ikut terdampak pada masa
pandemi ini. Gereja tidak terkecuali menjadi salah satu objek yang
dilarang�� untuk sementara waktu tidak
melakukan kegiatan ibadah didalam gedung gereja baik secara umum untuk
kebaktian hari� Minggu� maupun�
dalam� kegiatan kerohanian lain yang
biasa dilakukan gereja bersama jemaatnya.�
Tentu saja imbasnya jelas bahwa akhirnya�
semua� kegiatan� ibadah�
di gereja ditiadakan, hingga mau tidak mau gereja harus memikirkan
solusi bagi kelangsungan pelayanan kerohanian jemaat.
Hal ini akhirnya menimbulkan respon
yang beragam, ada gereja yang menghentikan pelayanan, dan adapula sebagian� gereja�
yang harus memutuskan�� untuk�� menyelenggarakan�� ibadah�
dengan bantuan teknologi seperti yang kita kenal sekarang yang disebut
kebaktian secara online, sehingga jemaat diharapkan bisa tetap beribadah meskipun
tidak didalam gedung gereja secara bersama sama. Sehingga hal ini akhirnya
mengubah tatanan kebiasaan ibadah gereja secara onsite menjadi ibadah online
untuk menghindari paparan virus SARS COV-2. Ibadah online menjadi tombak bagi
gereja dalam menjalankan kegiatan kerohanian. Konsep ibadah yang dipahami
sebagai persekutuan dengan berkumpul di ruangan secara bersama� oleh umat Kristiani, telah menjadi pesekutuan
di ruangan digital (Surna & Suseno, 2020)
Meskipun menurut hasil penelitian� yang
dilakukan oleh Langfan mengemukakan bahwa ibadah online diketahui tidak terlalu
signifikan karena melalui ibadah online tidak semua umat dapat beribadah dengan
khusuk dan dapat mendengarkan firman Tuhan dengan baik karena adanya pengaruh
dari situasi yang berbeda disekitarnya. (Langfan, 2021)
Tidak berhenti pada model kebaktian
online yang menggunakan berbagai aplikasi teknologi seperti youtube, zoom,
sosial media, rupanya kita tidak dapat membendung perkembangan teknologi yang
makin maju. Banyak inovasi baru bermunculan, salah satunya adalah teknologi
metaverse yang berbasis blockchain yang dipopulerkan oleh salah satu pemilik
sosial media terbesar didunia yakni facebook, yang mengembangkan teknologinya
sedemikian canggih. Tdak terkecuali fenomena ini akhirnya memunculkan model
ibadah baru yakni ibadah dengan teknologi metaverse yang dilakukan dalam Gereja
Metaverse dan sudah beroperasi di dunia mapupun diIndonesia saat ini yang
dianggap sebagai salah satu solusi dan bentuk dari panggilan dan pengutusan
gereja. Meskipun demikian rupanya masih banyak pro dan kontra dalam konteks
Gereja Metaverse ini, termasuk perihal bentuk ibadah dalam konsep Gereja
Metaverse yang sudah dilakukan oleh beberapa kalangan.
Dari berbagai literatur dan
penelitian yang ada saat ini, memang�
bahwa untuk menelaah manfaat, maupun kekurangan penggunaan teknologi
dalam ibadah sebenarnya sudah di bahas oleh artikel-artikel terdahulu. Namun
pada kesempatan ini penulis ingin meneliti kembali mengenai situasi terbaru
yakni konsep Gereja Metaverse ini,�
karena artikel-artikel terdahulu hanya sebatas menerangkan bagaimana
sikap gereja dan pandangan teologis terhadap ibadah online dan bagaimana konsep
ibadah yang benar dimasa tertentu. Maka melaui artikel ini penulis khusus
memfokuskan penelitian pada konstruksi konseptual dan redefinisi
ibadah dalam Gereja Metaverse, dengan
mengacu pada pertanyaan pertanyaan� yang
muncul dan menjadi kontroversi mengenai ibadah dalam Gereja Metaverse saat ini
yaitu, apakah pelaksanaan ibadah dalam konsep Gereja Metaverse tidak
bertentangan dengan doktrin gereja? Apakah ada landasan� dasar�
Alkitab� bagi� pelaksanaan�
ibadah� gereja dalam konsep Gereja
Metaverse? Apakah� kelebihan dan
kekurangan dari ibadah dalam Gereja Metaverse dibandingkan ibadah pada gereja
konvensional? dengan penekanan pada penelitian ini
yang lebih menekankan isu ibadah dalam Gereja Metaverse di masa ini terutama di Indonesia. Sehingga� penelitian ini �pada akhirnya akan secara khusus membahas mengenai
pandangan teologis redefinisi ibadah termasuk boleh tidaknya gereja� menyelenggarakan� ibadah dalam bentuk Gereja Metaverse� dan�
relevansinya� pada� masa kini dan masa depan. Melalui penelitian
ini penulis berharap bisa� menjadi� bahan untuk pertimbangan sebuah konstruksi teologis bagi umat� dan gereja dalam menyikapi pola ibadah dengan
Metaverse, sehingga umat dan gereja memahami apa yang dilakukan itu dalam
kerangka iman Kristen.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif
dengan analisis deskriptif dan dengan pendekatan penelitian kepustakaan (Hamzah, 2020).
Penelitian kepustakaan ini memberikan pemahaman konsep ibadah untuk
dikontekstualisasikan dengan gejala sosial saat ini dan untuk melihat dan
mencari statemen dari ibadah itu sendiri agar mendapatkan konstruksi konseptual
dan pandangan terbaru mengenai redefinisi ibadah dalam konsep metaverse
ibadah� pada Gereja Metaverse.
Hasil
dan Pembahasan
Teknologi
Metaverse
Dalam sejarah manusia,
perubahan pasti akan terus terjadi sehingga untuk bisa berdaptasi memang semua
dituntut untuk dapat� mengikuti perubahan
yang terjadi. Sebagai contoh dalam hal kemajuan teknologi, perubahan teknologi
juga semakin tidak bisa
dibendung lagi sehingga �manusia harus dapat memanfaatkan teknologi
baru yang hadir dan berinovasi serta berevolusi dalam hidupnya seiring
perubahan jaman yang dihadapi.Kita bisa rasakan dan amati bahwa saat ini bahkan kekuatan dan kemajuan
teknologi terus berkembang dan merambah semua sektor kehidupan, termasuk
gereja. Salah satu contoh terbaru adalah teknologi metaverse yang merambah
bidang gereja.
Metaverse pada era saat ini memang kita lihat menjadi populer
sejak diumumkan oleh pendiri Facebook. Metaverse sendiri
adalah istilah yang terdiri dari dua kata yakni,� �meta = di atas atau melebihi �
dan �universe = alam semesta� sehingga hal ini� akhirnya merujuk pada dunia serba digital
yang melampaui dunia yang biasa (Orland, 2021).
�Secara umum, berdasarkan pengertiannya metaverse
diartikan sebagai ruang digital yang menjadi tempat berkumpulnya orang-orang �secara virtual untuk berinteraksi satu sama
lain. Hal ini mencakup semuanya, mulai dari platform media sosial, video game
sampai situs perbankan online. Hingga akhirnya terkait hal ini tentu saja dalam kurun waktu
beberapa dekade mendatang semakin banyak orang akan memilih hidup dalam
metaverse. Pilihan ini dipercayai mau tidak mau akan dialami oleh umat manusia
seiring dengan berubahnya zaman dan kemajuan teknologi digital yang akhirnya
membuat manusia hidup dalam era digitalisasi.�
Dunia baru melalui metaverse ini akan menggabungkan virtual reality dengan kehidupan yang
nyata. Bahkan kedepan diprediksikan bahwa �dunia virtual ini akan menjadi jaringan lokasi
digital dimana pengguna akan bertemu dengan teman, pergi ke sekolah, pergi
berlibur, membeli barang bahkan pergi ke gereja.
Ibadah Digital
Gereja Metaverse� Dari Sudut Pandang
Doktrinal Kristen
Gereja sebagai sebuah lembaga
kerohanian, memang tidak dipungkiri bahwa termasuk juga bagian yang sedang
berhadapan dengan perubahan sosial akibat kemajuan teknologi saat ini disamping
akibat situasional karena pandemi covid -19. Kehadiran teknologi digital yang
semakin maju melalui internet ini� akhirnya
telah mengubah banyak hal, tidak terkecuali kegiatan pelayanan dalam gereja.
Salah satunya dapat kita lihat dengan munculnya pelayanan Gereja Metaverse di
Indonesia saat ini.� Pergeseran pola ibadah yang mulanya hanya dalam ruangan persekutuan akhirnya
memberikan celah terhadap redefinisi ibadah konvensional terutama dalam masa
ini yang sedang terjadi fenomena gereja online , sebagai contoh pergeseran
ruang ibadah dalam Gereja Metaverse
yang muncul pada masa ini. Ibadah, bagi menurut�
Risno, adalah manusia yang melakukan hubungan kepada Allah sebagai
elemen yang penting, bukan tempatnya yang esensial. (Risno, 2020)
Dengan pemahaman ini, maka pergeseran ruang ibadah ke Gereja Metaverse yang notabene adalah online memerlukan
pemahaman yang baru untuk meredefinisi ibadah itu sendiri.
Dalam berbagai penelitian yang telah
dilakukan, ibadah selalu diidentikkan dengan bangunan, namun dalam
jurnalnya� Irwan Widjaja et. al.� dia menekankan bahwa ibadah dibangun melalui
rumah (Widjaja et al., 2020) Dengan demikian, pengertian ibadah�
dapat dipahami masih berkisar dengan konsep persekutuan di suatu tempat.
di sisi yang lain Dwiraharjo, melihat konsep Gereja digital dengan pendekatan
refleksi Biblika mengedepankan bahwa Gereja digital telah menembus konsep bangunan
Gereja. Gereja adalah the body of Christ, sehingga Gereja harus
berkumpul dalam tubuh Kristus , gereja�
harus mampu beradaptasi terhadap perubahan. (Dwiraharjo, 2020)
Oleh karena itu, esensi dari ibadah akan tercermin sebagai tubuh Kristus yang
tidak sekedar �hanya berupa kegiatan di
tempat secara fisik, melainkan lebih dari itu memiliki makna luas menjadi wadah
berkumpul atau persekutuan sesama orang percaya di dalam tubuh Kristus.
Epistemologi Gereja dapat menjadi katalisator terhadap pemahaman konsep ibadah
dengan tekkonologi digital, salah satunya adalah teknologi metaverse. Oleh
sebab itu penting bagi gereja di tengah perubahan teknologi dan jaman harus
dapat tetap bersikap arif, dan bijaksana. karena memang� di satu sisi dapat berkontekstualisasi dengan
perubahan bentuk sosial tersebut, sementara sisi lain tidak boleh sampai meninggalkan
nilai-nilai iman yang esensial bagi sebuah gereja, sehingga Gereja tidak keluar
dari makna dan fungsi utamanya.
�Ada dua dasar doktrinal yang dapat kita dijadikan
acuan untuk menjadi jawaban pada� fenomena
yang mengakibatkan terjadinya perubahan pola ibadah dalam gereja saat ini yaitu
doktrin eklesiologi dan liturgis. Pertama, kita bisa meninjau dari sisi doktrin
eklesiologi� yang merupakan sebuah dasar
yang dapat dijadikan acuan untuk melihat proses digitalisasi yang terjadi dalam
gereja. Pengertian eklesiologi sendiri adalah�
jelas merupakan ajaran yang membahas khusus hal-hal tentang gereja. secara
ekslesiologi, makna gereja sendiri diartikan merupakan komunitas semua orang
percaya dalam segala abad. (Grudem, 2000)
Kata gereja ditinjau dari asal kata berasal dari bahasa Portugis yaitu �igrea�
yang merupakan serapan yang �diambil dari
bahasa Yunani �kyriake,� dalam bahasa yang serumpun dengan ini adalah �church.�
Semua ungkapan ini dapat diartikan �menjadi milik Tuhan.� Mereka adalah
orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juru
Selamat.� Dengan demikian gereja dapat
berarti persekutuan orang percaya. Istilah �kyriake� pada hakekatnya dipakai
setelah zaman para rasul untuk menyebut gereja sebagai suatu lembaga dengan
segala peraturannya. Istilah Perjanjian Baru untuk gereja adalah eklesia. Kata
ini secara harafiah berarti rapat atau perkumpulan yang terdiri dari
orang-orang terpanggil untuk berkumpul. Mereka berkumpul karena terpanggil. (Harun Hadiwiyono, 2007)
Dalam Bahasa Yunani klasik� sesudah zaman Herodotus, Thucydides,
Xenophon, Plato serta Euripides pada sekitar abad 5 SM
,sebagai pelaksana ibadah, gereja disebut ekklesia dari kata ekkaleo mempunyai
pengertian "dipanggil keluar". Hal ini� merupakan istilah yang menunjuk kepada sebuah
kelompok atau komunitas masyarakat yang dipanggil keluar, dan dipilih untuk
berdiri di pintu gerbang untuk membuat/mengambil keputusan yang mempengaruhi
sebuah kota (Mat. 16:18) (Milard J. Erickson, 2004).
begitu juga dalam Septuaginta kata �eklesia� juga sering digunakan untuk
menterjemahkan �khahal,� yang berarti perkumpulan. Kata �eklesia� merupakan
sumber utama untuk mengerti konsep gereja di dalam Perjanjian Baru. Kita bisa
lihat sebagai contoh di dalam kitab Kisah Para Rasul kata �eklesia� dipakai
untuk merujuk kepada semua orang kristen pada masa itu yang hidup dan berkumpul
di kota tertentu, seperti misalnya Yerusalem (Kis. 5:11; 8:1; 11:22). (Milard J. Erickson, 2004)
Di sisi lain, Gereja juga dapat dipahami sebagai gereja universal dan juga lokal.
Dalam arti universal gereja diartikan perkumpulan yang �terdiri atas semua orang percaya, yang pada
zaman ini telah dilahirkan kembali oleh Roh Kudus, dan oleh Roh yang sama juga
telah dibaptiskan menjadi anggota tubuh Kristus. (Thiesen, 2008)
Hal ini menjadikan kita
memahami bahwa penekanan utama makna ekklesia bisa ditafsirkan bukanlah
sekedar tempat atau gedung secara fisik tetapi lebih daripada itu juga berarti kumpulan
atau komunitas orang yang percaya kepada Kristus.� Oleh sebab itu secara teologis, gereja dapat
dimaknai sebagai suatu kelompok atau komunitas orang percaya yang dipanggil
dalam Yesus Kristus. (Enns, 2006)
Pengertian ini memberikan esensi pemahaman bahwa gereja juga merupakan
komunitas yang kemudian� dikenal sebagai
persekutuan atau perkumpulan orang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus.� Dengan demikian bisa dipahami bahwa unsur
dasar dari gereja adalah komunitas atau perkumpulan yak maknanya bukan sekedar
tempat atau gedung semata. Norman juga mengungkapkan
pendapat bahwa Gereja lokal dapat dipahami sebagai sebuah kelompok komunitas
yang terikat pada suatu organisasi kegerejaan. (Geisler, 2005)
Dalam perkembangannya
kemudian Gereja juga dinyatakan sebagai tubuh Kristus. Pengertian tubuh Kristus
disini bukan sekedar menjelaskan makna Gereja secara universal seperti dalam
Efesus 1:23, tetapi juga menunjukkan makna sebagai� satu jemaat tunggal� seperti pada 1 Korintus 12:27 yang lebih
menekankan pada kesatuan dari gereja, baik lokal maupun universal,bersifat
organis dan organisme, yang memiliki relasi yang penting sekali dengan Tuhan
Yesus Kristus sebagai Kepala Gereja yang mulia sekaligus sebagai objek
penyembahan dan pengabdian. begitu juga bila
ditinjau dari aspek penatalayanannya, gereja memiliki beberapa fungsi, yang
bersifat saling melengkapi dan terikat satu dengan lainnya. Karena sebagai tubuh Kristus, salah satu elemen utama tugas
gereja sejak semula dari Kristus untuk menyebarkan kabar sukacita dan menjadikan
semua bangsa murid-Nya. (Wiryadinata, 2018)
Oleh sebab itu fungsi atau peranan gereja penting untuk dapat dipahami bersama
sebagai tugas utama gereja dengan penekanan unsur kesatuan
persekutuan dan pengabdian kepada Kristus adalah bagian utama di dalam memaknai
gereja sebagai tubuh Kristus.Ada 4 fungsi gereja yang
utama diantaranya adalah yang pertama penginjilan yang� merupakan pokok penting yang ditekankan Tuhan
Yesus kepada para murid. kedua adalah pembinaan yang dapat dilakukan dengan
berbagai strategi seperti persekutuan, pengajaran, dan juga melalui berkotbah.
Ketiga, penyembahan yang� berfokus pada
Tuhan. Keempat,Sosial yang merupakan tindakan nyata untuk mewujudkan kasih
Kristiani terhadap semua orang baik yang sudah percaya pada Tuhan Yesus atau
yang belum. (Milard J. Erickson, 2004)
Oleh sebab itu melihat kebenaran
eklesiologis ini, gereja harus mampu beradaptasi dengan berbagai hal dan
fleksibel dalam pelaksanaan tugas-tugas pelayanannya. Fleksibel dalam arti
dapat menyesuaikan diri dengan situasi dimana pun� gereja berada. Gereja� jangan terpaku dengan cara-cara lama. Kita
harus berani memahami bahwa gereja dalam�
menjalankan salah satu fungsinya yaitu sebagai pelaksana ibadah memahami
bahwa �ibadah Kristen bukanlah ibadah
yang kaku dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan kondisi. Namun sebaliknya,
Ibadah Kristen adalah ibadah yang berpusatkan pada mendatangi Tuhan sebagai
wujud respons keselamatan, pemberitaan Injil dan ketaatan kepada firman Tuhan.
Sehingga ibadah Kristen yang diselenggarakan secara Digital di tengah fenomena
situasi yang menyebabkan pembatasan dan maraknya fenomena gereja online, tidak
lagi� menunjuk sebuah bangunan fisik
maupun denominasi, tetapi lebih penting�
kembali ke maknanya yaitu kumpulan orang-orang yang dipanggil keluar
untuk melakukan kehendak Allah terhadap dunia (1Pet. 2:5-9). Sehingga ketika
dunia yang dilayani berubah, gereja tidak boleh kehilangan jati dirinya dalam pelayanannya,
gereja harus dapat menyesuaikan pelayanannya dengan perubahan itu dengan tetap
tidak mengubah tujuan pokoknya dan tidak menggeser makna ibadah itu sendiri.
Ketika gereja dapat menyesuaikan diri, maka gereja dapat tetap melaksanakan
fungsi dan tugasnya, namun bersedia mengubah cara pelaksanaannya yang perlu
untuk menjangkau orang salah satunya dengan memanfaatkan secara positif
perkembangan tekonologi, salah satunya metaverse, dengan demikian gereja tetap
dapat menjangkau setiap orang secara lebih luas.
Dasar kedua yang perlu diperhatikan
sebagai pertimbangan terkait perubahan pola peribadatan dalam fenomena ibadah
dalam gereja metaverse pada masa ini�
adalah doktrin liturgi gereja. Liturgi merupakan ilmu yang membahas
segala yang terkait dengan ibadah baik secara teologi maupun sejarah yang tidak
dapat terlepas dari ilmu teologi lain, seperti biblika, dogmatika, maupun
sejarah. Oleh karena itu, liturgi harus dibahas dari sudut biblika, sejarah,
teologi, praktika, psikologi agama, sosiologi agama, linguistik, ilmu pujian,
ilmu dekorasi di ruang ibadah. (Bagio Lee, 2018)
Dalam Perjanjian Lama kata liturgi sering dikaitkan dengan ibadah, yang berarti
melayani (Kel.3:12; Ul. 6:13) dan shyaha, yang berarti sujud (Kej.18:2)
dan� berbaring (2 Taw. 29:30). Sedangkan
dalam Perjanjian Baru yang merujuk pada ibadah dikenal dalam beberapa kata yaitu,
Pertama, proskuneo yang berarti
mencium dengan kehormatan (Yoh. 21-24). Kedua, sebomai yang berarti menghormati, takut (Mat.15:9); Ketiga, latlyuo yang berarti melayani secara agama,
dan Keempat, latreia yang berarti
pelayanan (Yoh.16:2).�
Selain itu dalam ibadah juga� harus dipahami adanya dua unsur yang saling
terkait yaitu antara wahyu dan respon. Unsur wahyu meliputi hal mengenai pembacaan
Alkitab, pembacaan Mazmur dan kotbah. Sementara, pada unsur respon meliputi hal
mengenai doa, pujian dan persembahan. Selain itu standar utama bagi ibadah
orang kristen harus di ingat adalah Alkitab, bukan yang lain. Oleh sebab itu
orang percaya harus mengerti ibadah menurut Alkitab. Oleh sebab itu hal pembahasan
Alkitab menjadi sebuah hal yang paling diutamakan untuk dasar menyelidiki makna
ibadah sendiri. Demikian juga dalam konteks sejarah ibadah perlu
dipelajari.� dari historis kita dapat
belajar bahwa ibadah pada Perjanjian Lama berpusat pada ibadah bait suci dan
pada umat Israel. Tetapi pada� Perjanjian
Baru ibadah berpusat pada sejarah pelayanan keselamatan Yesus dan pada Israel
baru yang berada di dalam Yahudi dan non-Yahudi. Ibadah Perjanjian Baru� dilakukan berdasarkan standar ibadah agama
Yahudi. Jemaat di gereja mula-mula masih mengikuti ibadah di bait suci,
sinagoge dan ibadah di rumah-rumah.
Oleh sebab itu jika mengacu pada
kedua makna liturgi di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, maka ibadah
baik dari sisi eklesiologi maupun liturgi, dapat diperhatikan bahwa gereja itu
bila dicermati dapat dikatakan bersifat �mengalir.� Gereja tidak dimaknai
sekedar seperangkat aturan atau tata ibadah yang bersifat kaku, dan tidak dapat
berubah akibat terjadinya sebuah berubahan dalam lingkungan sosial.� Sehingga ditengah perkembangan dan perubahan
gereja tetap dapat hadir dan mewujud di dalamnya tanpa kehilangan esensinya.
Pada konteks inilah tentu saja gereja dapat tetap menjadi saluran berkat Allah
yang sesungguhnya bagi dunia. Pelayanan tetap dilaksanakan oleh gereja sebagai
komunitas yang tidak sekedar menekankan tempat atau ritus-ritus semata, tetapi
lebih dari semua itu yang jauh lebih penting adalah sebagai wujud relasi dengan
Tuhan. Menjadi sebuah tindakan untuk menghargai dan menghormati Allah di tempat
yang mahatinggi, dan sebuah persekutuan antara Allah dan manusia dalam hadirat
Roh Kudus melalui� Yesus Kristus.
�Dari sini jelas bahwa unsur relasi dengan
Tuhan bukan hanya dalam literasi saja tetapi jelas terwujud dalam tindakan oleh
karena dampak dari pemahaman akan firman Tuhan itu sendiri. Peter Bruner
menegaskan bahwa ibadah adalah pelayanan Allah terhadap manusia dan pelayanan manusia
terhadap Allah. Tiga dimensi dalam ibadah adalah kehadiran Allah, pertemuan di
antara Allah dan manusia, persekutuan di antara Allah dan manusia. dengan
demikian Ibadah yang sejati memiliki natur spiritual, yang �sesuai dengan kebenaran yang telah dinyatakan
oleh Allah sendiri (Yoh. 4:24) (Enns, 2006).
Ibadah� Digital Gereja Metaverse
Realitas perkembangan ibadah memang
tercatat dalam alkitab sudah dimulai maulai perjanjian lama, perjanjian baru
dan hingga masa kini. Sehingga dengan demikian kita bisa amati perkembangan ibadah
yang dicatatkan� dalam Alkitab, baik dari
segi tempat dengan ibadah dalam Perjanjian Lama yang dimulai dari rumah, lalu
berkembang� pada kemah sampai bait suci,
yang mulanya dari bersifat personal di rumah hingga sampai gedung ibadah di dalam
Perjanjian Baru. (Luhukay, 2020)
Semua perubahan itu terjadi karena memang terjadi perubahan secara situasional
yang terjadi sesuai masanya. Artinya perubahan ibadah, baik tempat (lokasi),
perorangan atau persekutuan (kuantitas) dan cara terjadi, sebetulnya tidak menjadi
masalah bagi sebuah gereja dalam penyelenggaraan ibadahnya tidak terkecuali
dengan sentuhan teknologi metaverse. Hal ini dikarenakan kondisi yang terjadi
memang menuntut sebuah gereja untuk beradaptasi agar tetap dapat menjalankan
fungsinya tanpa menghilangkan makna dan nilai luhur pelayananNya. Inilah
pentingnya ibadah untuk dipahami dalam maknanya yang merupakan hidup dan relasi
umat secara pribadi atau komunal kepada Tuhan.
Tuhan yang diyakini adalah dinamis,
bergerak dalam ibadah yang progresif menunjukkan bahwa ibadah tidak dibatasi
oleh ruang dan waktu. Jika ibadah dapat berkembang karena tuntutan situasional,
dan juga sekaligus menunjukkan kasih kepada sesama, maka ibadah kepada Tuhan
dengan perubahan tempat dan bentuk tidaklah masalah.� karena jelas bahwa Ibadah harus tetap
merupakan sebuah bentuk relasi pribadi dan atau komunal secara total kepada
Tuhan Yesus Kristus yang diwujudkan dalam menerima dan melaksanakan perintah
Firman Tuhan, yang teraplikasi kepada sesama sebagai wujud pelayanan kepada
Tuhan.
Selain itu sebagai umat Kristus, dengan
menjadi� orang yang meyakini eksistensi
Tuhan yang menyelamatkan, maka sudah seharusnya ibadah menjadi kebutuhan
hakiki. Sehingga jelas bahwa ibadah yang memiliki esensi relasi dengan Tuhan
dan tidak lagi ditentukan tempat, namun sebaliknya justru menjadikan
ibadah� lebih adaptif dan fleksibel dalam
pelaksanaannya yang tentunya tetap tidak melanggar Firman Tuhan, sehingga sekalipun
di masa� apapun dan �di mana pun gereja tetap dapat melakukan
pelayanan ibadahnya bagi Tuhan dan umat Tuhan tanpa mengubah nilai dan esensi
ibadah itu sendiri karena umat tetap memiliki hubungan yang erat dengan Allah
dan teraplikasi dalam kepedulian dengan sesamanya. (Luhukay, 2020)� Sehingga tidaklah bijak
dan bukanlah sebuah tindakan dan keputusan teologis, jika langsung menolak
ibadah dengan batuan teknologi digital, termasuk konsep ibadah dalam gereja
metaverse yang memanfaatkan teknologi bagi penatalayannya karena menganggap
ibadah hanya harus di gedung Gereja secara fisik terutama dalam kondisi khusus
yang membuat gereja tidak dapat melakukan pertemuan secara fisik, terlepas dari
perlunya beberapa pelayanan liturgis yang memang tidak bisa dilakukan secara digital,� sehingga tidak melanggar prinsip-prinsip
dasar ibadah itu sendiri.
Firman Tuhan dalam Yohanes. 4:24� menuliskan, �Allah itu Roh dan barang siapa
menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran�, sehingga bila kita
melihat kembali secara konteks dekat, kita dapat memahami� �bahwa
dalam nas ini terikat pada ayat sebelumnya yakni terutama pada ayat� 22-26 yang secara khusus berbicara tentang
penyembahan yang benar. Dikisahkan bahwa�
Tuhan Yesus sedang memberitahu seorang wanita mengenai ibadah, bahwa
ibadah itu tidak terbatasi apakah di gunung Gerizim atau Zion. sehingga setiap
orang yang mencari Allah dapat menemukan-Nya di mana pun dia berada. Hal ini
dapat memebrikan kita paradigma bahwa sebenarnya Allah yang kita sembah tidak
terbatasi oleh ruang dan waktu. Memang orang Samaria waktu itu beribadah di
gunung Gerizim dengan tidak mengerti kepada siapa mereka beribadah. Bahkan
dalam kebenaran faktualnya, orang Samaria rupanya hanya menerima lima kitab
pertama dari seluruh Kitab Perjanjian Lama, dimana hal ini membuat mereka
menolak berita para nabi dan nyanyian dari kitab-kitab Puisi. Mereka pun menolak
pengetahuan yang telah tersedia bagi mereka, sehingga dengan alasan inilah yang
membuat para nabi Yahudiakhirnya �membuat
tuduhan kepada orang Samaria bahwa mereka telah melakukan ibadah palsu. (Barclay, 2008)
Sedangkan di sisi lain orang Yahudi� waktu
itu memang melakukan ibadah dengan berpusat di Yerusalem. Orang Yahudi waktu
itu juga memiliki peraturan ketat berkenaan dengan doa, sehingga memang waktu itu
tidak ada agama lain yang menempatkan keutamaan doa lebih tinggi dari agama
Yahudi karena bagi mereka doa itu lebih besar dan melebihi semua perbuatan
baik. Doa diatur sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah ketetapan. Meskipun
hal ini baik, namun sayangnya doa yang dilakukan mereka rupanya hanya sebatas
pemenuhan aspek ritual dan bukan menjadi�
media perjumpaan dengan Tuhan yang �nampak dari sikap doa mereka akan selalu� diarahkan ke Yerusalem. Hingga pada akhirnya
Tuhan Yesus menegur dengan pola doa seperti ini dan menegaskan bahwa menyembah
Allah itu harus dalam Roh dan kebenaran. (Dwiraharjo, 2020)
Dari sudut pandang bahasa aslinya tertulis,
πνεῦμα ὁ θεός (pneuma
ho Theos), yang dapat ditafsirkan bahwa Allah adalah pribadi Roh. Hakikat
�Pribadi� Allah ini diidentifikasi dengan tata bahasa maskulin tunggal. Alkitab
�ITB�� kata ini diterjemahkan� dengan diikuti kalimat: �dan barang siapa menyembah
Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.� Sehingga kalau kita
perhatikan dalam kalimat ini maka akan ditemukan dua kata yang� berasal dari kata yang sama yakni kata dasar
προσκυνέω (proskuneo),
yang memiliki arti dasar: fall down and worship, do obeisance to, prostrate
oneself before, do reverence to, welcome respectfully depending on the object.� Kata ini digunakan secara berbeda sesuai
dalam tata bahasanya. Pertama, kata
προσκυνοῦντας
(proskunountas), kata kerja partisip present, aktif, akusatif,
maskulin jamak. Partisip disebut sebagai kata sifat verbal. Ini tidak lain
adalah kata sifat yang digunakan untuk menjelaskan kata kerja, dan menyatakan
cara pelaksanaan kegiatan yang dinyatakan kata kerja finit, dengan tekanan pada
sikap pelaku tindakan.
Kata kedua adalah:
προσκυνεῖν (proskunein)
dengan tata bahasa verb-infinitive-present- active sehingga �menyuguhkan fakta tindakan itu sendiri. Jadi dengan�
berdasarkan� data gramatikal dan
leksikal ini dapat ditafsirkan bahwa ibadah atau penyembahan itu dilakukan
sebagai sebuah gaya hidup yang dilakukan dengan sungguh-sungguh sebagai sebuah
kebenaran setiap hari. Selanjutnya dilanjutkan kata ini dirangkai dengan
ungkapan �dalam roh dan kebenaran� yang versi bahasa Yunani adalah:
ἐν πνεύματι
καὶ ἀληθεία (en
pneumatic kai aletheia). Bila ditinjau secara gramatikal kedua kata ini
sama-sama kata benda datif, namun yang membedakan adalah jenis kelaminnya. Kata
pneumatic (roh) menggunakan bentuk netral sementara aletheia (kebenaran)
menggunakan bentuk feminim. dimana kata benda datif memberi indikasi akan
kepentingan pribadi; yang menyatakan orang atau benda, yang memiliki hubungan,
mengambil bagian, atau yang menyertai dalam melaksanakan tindakan yang disebut
oleh kata kerja. (Maryono, n.d.)
Sehingga akhirnya kedua kata� ini �roh
dan kebenaran� akan memiliki makna yang luar biasa ketika dikaitkan dengan kata
πνεῦμα ὁ θεός (pneuma
ho Theos) yang dapat ditafsirkan�
bahwa karena Allah itu Roh, maka jelas�
penyembahan yang dilakukan kebenarannya harus di dalam roh.
Allah itu Roh sehingga keberadaan-Nya
tidak dibatasi oleh berbagai bentuk ruang atau tempat dan materi termasuk
teknologi seperti metaverse.� Dengan
demikian stigma pembatasan tempat ibadah yang hanya boleh didalam gedung
gereja� atau tempat-tempat lain berarti
membatasi Allah yang mahahadir dan tidak terbatas. Karena Allah itu Roh,
berarti penyembahan kepada Dia juga di dalam roh yang dapat terefleksi dalam
kasih, kesetiaan, ketaatan dan penyerahan diri dihadapanNya termasuk
menggunakan teknologi, dalam hal ini metaverse. Dengan demikian dapat diambil
pemahaman berkaitan dengan pelaksanaan ibadah secara Metaverse. Dasar
pengmbilan keputusan ini, pada intinya bukan sekedar tren teknologi, atau
larangan pemerintah terkait dengan pengumpulan masa, maupun tingkat kesulitan
perizinan tempat ibadah saja, sekalipun ini telah menjadi pemicunya, namun
lebih dari itu didasarkan pada kebenaran secara teologis. Sehingga akhirnya
dapat dipahami bahwa pelaksanaan ibadah yang tidak dilakukan dengan menggunakan
gedung-gedung gereja secara fisik bukanlah suatu yang bertentangan dengan
firman Tuhan, dan juga tidak mengurangi esensi dan upaya manusia untuk
melakukan penyembahan kepada Tuhan. Selama teknologi ini di gunakan sebagai hal
positif dalam mensuport sarana suport ibadah dan� tidak menghilangkan esensi dari ibadah
sendiri maka teknologi ini seharusnya dapat diterima untuk digunakan dalam
penatalayanan gereja, terutama untuk memperluas pengabaran injil dengan tetap
tidak menghilangkan esensi utama ibadah.
Redefinisi Ibadah Dalam Gereja Metaverse adalah Sebuah Keniscayaan
Ibadah dalam konteksnya sebagai wujud
relasi manusia dengan Tuhan, yang mana relasi ini terwujud dalam sikap
pengabdian pada Tuhan dan merupakan buah dari mendengarkan pemberitaan Firman
Tuhan yang diterima� dan diwujudkan
dengan mengapliaksikannya kepada sesama adalah pokok utama dari ibadah itu sendiri.
Sehingga upaya menjangkau jiwa dengan pemberitaan injil dalam pembatasan atau
hambatan yang dialami dalam penyelenggaraan ibadah on site� dengan menggantikannya dengan ibadah online
dengan menggunakan variasi teknologi yang ada salah satunya melalui tekonolgi
metaverse merupakan sebuah tindakan teologis dari definisi ibadah itu sendiri
terlepas dari kekurangannya seperti dalam beberapa aspek yang tidak tergantikan
kehadiran secara fisik, seperti, baptisan, ataupun aspek liturgis lainnya.
Sehingga berdasarkan penjelasan di
atas, maka diperlukan redefinisi ibadah itu sendiri secara teologis yang akan
menjadi acuan dikemudian hari. Redefinisi ibadah harus dilakukan dan hal ini
tidak mustahil dan bukan hal yang tabu karena fleksibilitas yang terjadi karena
kondisi jelas� membawa gereja yaitu umat
Tuhan untuk tetap menyembah Tuhannya pada masa situasi yang berbeda oleh karena
tuntutan zaman dan keadaan.� Oleh karena
itu ibadah dapat didefinisikan sebagai kegiatan memuji Tuhan, menerima
permberitaan firman dan melakukan firman sebagai respons keselamatan secara
personal atau komunitas (persekutuan) yang tidak di tentukan oleh lokasi dan
teknis yang baku dan kaku. Dengan demikian Ibadah akan beresensikan mengenai
relasi yang kuat kepada Tuhan dengan menerima firman dan
melakukannya
yang teraplikasi dalam bentuk pelayanan jemaat dan sesama. Sehingga ibadah� dalam penggunaan teknologi metaverse ini� tetap dapat berubah menjadi ibadah pribadi,
atau persekutuan online yan tujuannya adalah pelayanan kepada jemaat dan sesama
sebagai wujud relasi dengan Tuhan.
Kekurangan Dan
Kelebihan Ibadah Dengan Metaverse
Berbicara mengenai gereja dengan
teknologi metaverse memang harus diakui bahwa pelaksanaan ibadah dengan konsep
metaverse itu bukan suatu yang mudah, diperlukan persiapan yang matang, baik
secara teknologi maupun sumberdaya manusia pelayan yang terlibat. Hal ini
penting karena teknologi metaverse sejauh ini adalah teknologi yang baru dan,
dibutuhkan perangkat khusus untuk menjalankannya disamping pemahaman teknologi
dalam penggunaannya. Hal ini tentu saja akan menimbulkan biaya yang tinggi bila
ingin menjalankannya,� sehingga jelas
tidak semua gereja siap dengan cara seperti ini selain pendeta, pelayan maupun
jemaat masih banyak yang belum terbiasa dengan pola ibadah denga teknologi ,
termasuk teknologi �metaverse.
Selain itu yang menjadi kekurangan
dengan konsep ibadah dalam metaverse adalah tidak terjadinya kontak personal
secara fisik antar jemaat karena dalam pelaksanaannya akan menggunakan avatar.
Avatar dalam metaverse sendiri pada dasarnya memiliki pada prinsip yang sama
seperti avatar pada game game �online
lainnya namun memang avatar yang digunakan dalam metaverse bisa dibilang lebih
canggih. Avatar dalam teknologi Metaverse rupanya dirasa lebih dari sekadar bentuk
wajah karakter dalam game atau personal �yang dibuat pengguna, namun lebih dari itu
dapat menjadi seluruh manifestasi pengguna di Metaverse itu sendiri. Hal ini
membuat sebuah avatar di Metaverse akan menjadi bentuk identitas pengguna di
seluruh dunia metaverse itu. Setiap orang akan akan dapat membuat dan
menggunakan avatar di Metaverse sesuka hati. Ini yang berpotensi menimbulkan
kerancuan dalam kerohanian karena krisis identitas pada akhirnya. Kesungguhan
dalam pertobatan akan menjadi bias manakala terjadi penyalahgunaan identitas.
�Di satu sisi, karena ini merupakan hal baru
bagi jemaat, maka kebanyakan dari jemaat akan merasa bahwa kebaktian seperti
ini tidak khusuk, tidak serius, dan sulit masuk ke hadirat Allah secara
sungguh-sungguh.� Begitu juga dengan
kondisi jemaat yang� belum siap baik
secara teknologi, mental, spiritual dan fisikal untuk mengikuti ibadah dengan
pola ini. Selain kekurangan, penggunaan teknologi metaverse ini diakui juga ada
kelebihannya, diantaranya jangkauan pengabaran injil lebih luas dan lebih menyebar
ke teritori yang mungkin gereja konvensional selama ini belum memasuki karena
keterbatasan baik perizinan pendirian tempat ibadah maupun hambatan sosial
budaya lainnya sehingga melalui metaverse memang lebih banyak jemaat dan calon
jemaat dapat terlibat, sehingga jelas lebih menjangkau banyak orang dan tidak
terbatasi oleh ruang dan waktu.
Ibadah dalam gereja metaverse ini
bila kita tinjau dari keuntungan dan kekurangannya memang dari satu isi model
ini semakin memperluas jangkauan pelayanan, namun di sisi lain mempersempit
relasi personal. Sehingga alangkah baiknya bila teknologi ini penggunaan
diposisikan secara positif� dan seimbang
dalam upaya sebagai sebuah alternatif pelayanan�
gereja dan bukan menggantikan pelayanan gereja yang sudah ada, sehingga
sementara masih ada kebaktian di gereja, pelayanan gereja digital melalui
metaverse atau digital lainnya dapat juga diselenggarakan.
Kesimpulan
Kebaktian dengan pola gereja Metaverse
secara teologis dan biblikal tidaklah bertentangan dengan kebenaran Firman
Tuhan. Hal ini dikarenakan secara teologis kita tidak boleh mengesampingkan juga
kebenaran bahwa pada satu sisi gereja adalah anggota tubuh Kristus yang
keberadaan dan kuasaNya jelas tidak bisa dibatasi atau dikerdilkan oleh keterbatasan
ruang dan waktu, termasuk juga dalam kajian secara biblikal mengenai menyembah Allah
dengan roh dan kebenaran yang juga �tidak
dibatasi oleh ruang dan waktu. Sehingga pelayanan ibadah sebuah gereja hendaklah dipahami lebih terbuka agar tidak� sekedar dipahami sebagai sebuah keharusan
untuk membatasi pelayanan dengan mutlak seperti harus di dalam sebuah lokasi
dan harus memiliki sebuah teknis baku berupa kehadiran secara fisik tanpa
mempertimbangkan keadaan sehingga justru rentan terhambat karena situasi.
Tetapi hendaknya pelayanan ibadah agar dapat dipahami lebih luas dalam upaya
menjangkau sehingga hendaknya bersifat fleksibel sesuai situasi yang menuntut
dengan tidak menghilangkan esensi utama sebagai elemennya yaitu pemberitaan
firman, melakukan firman dan penyembahan kepada Tuhan sebagai respons atas
keselamatan yang teraplikasi dalam bentuk pelayanan dan menjaga sesama.�
Disamping itu kita harus memahami bahwa
gereja akan selalu akan diperhadapkan dengan tantangan dengan perubahan zaman.
Gereja harus bisa tetap berkontekstual terhadap suatu perubahan tanpa
kehilanganan esensinya sebagai tubuh Kristus. �Dengan demikian pelayanan ibadah akan melampaui batasan dimensi lokasi,
serta alat-alat yang digunakan tanpa menghalangi kuasa Allah bagi manusia
karena ibadah adalah persekutuan dan�
relasi antara Allah dan manusia tanpa melihat batasan-batasan yang ada,
termasuk dengan Ibadah Metaverse yang memiliki kekurangan dan kelebihan yang
dapat menjadi pertimbangan bagi sebuah gereja dalam menyusun strategi
pelayanannya.
Alexander
Stevanus Luhukay, �Analisis Teologis Mengenai Beribadah Di Rumah Di Tengah
Pandemi Covid-19 Di Indonesia,� Visio Dei: Jurnal Teologi Kristen 2, No. 1
(2020): 43�61. Google Scholar
Amir
Hamzah, Metode Penelitian Kepustakaan (Malang: Literasi Nusantara, 2020).
Bagio Lee,
Seminar Ibadah. Jeju: 15-10-2018
B The Old Et
Al., Http://Www.Biblecentre.Net/Theology/Books/Lb/St-Bkmrk.Html, 2006.Google Scholar
Dwiraharjo,
�Konstruksi Teologis Gereja Digital: Sebuah Refleksi Biblis Ibadah Online Di
Masa Pandemi Covid-19:, Jurnal Teologi Dan Pelayanan Kristiani 1, No. 4 (2020).
Https://Www.Stttorsina.Ac.Id/Jurnal/Index.Php/Epigraphe/Article/View/145. Google Scholar
Erickson, Milard
J., Pen. Nugroho. Teologi Kristen, V.3. Jawa Timur: Penerbit Gandum Mas, 2004.
F Risno, �Dampak
Dari Ibadah Online Bagi Pertumbuhan Gereja Masa Kini,� OSF, Last Modified 2020,
Accessed March 9, 2021, Https://Osf.Io/Preprints/4aqeg. Google Scholar
Halim
Wiryadinata, �A Theological Implication Of �Humility� In Mark 10: 13-16 From
The Perspective Of The Parable Of The Kingdom Of God,� EPIGRAPHE: Jurnal
Teologi Dan Pelayanan Kristiani 2, No. 2 (2019): 83. Google Scholar
Harun
Hadiwiyono, Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 362.
Henry
Thiesen, Teologi Sistematika (Malang: Gandum Mas, 2008), 476
Irwan
Widjaja Et Al., �Menstimulasi Praktik Gereja Rumah Di Tengah Pandemi Covid19.� Https://Www.Sttpb.Ac.Id/E-Journal/Index.Php/Kurios/Article/View/166. Google Scholar
Milard J. Erickson,
Pen. Nugroho. Teologi Kristen, V.3. (Malang: Gandum Mas, 2004), 285-288
Norman
Geisler, Systematic Thelogy-Church (Minneapolis: Bethany House, 2005), 65. Google Scholar
Onisimus� Langfan, �Ibadah Online Di Masa Pandemi Covid-19:� Implementasi Ibrani� 12:28,� Stella:�� Jurnal��
Teologi�� Dan�� Pendidikan��
Kristen1,�� No.�� 1��
(2021):�� 15�18, Http://Sttse.Ac.Id/E-Journal/Index.Php/Stella. Google Scholar
Orland, Kyle
(2021-11-07). "So What Is "The Metaverse,"
Exactly?". Ars Technica. Archived From The Original On
2021-11-09. Retrieved 2022-03-09.
Paul Enns,
The Moody Handbook Of The Theology, Bukupegangan Teologi (Malang: Literatur
SAAT, 2003), 432. Google Scholar
Paul Enns,
The Moody Handbook Of Theology (Malang: Literatur SAAT, 2008), 439. Google Scholar
Petrus
Maryono, Diktat Bahasa Yunani Sintak. (Yogyakarta: STTII, Tt), 142-143.
Suriawan
Surna And Aji Suseno, �Pandangan Teologis Live Streaming Atau Zoom Sebagai
Sarana Ibadah Bersama Di Masa Pandemi Covid 19,� Jurnal Teologi Praktika 1, No.
2 (December 30, 2020): 137� 152, Accessed March 2, 2021,
Http://Jurnalstttenggarong.Ac.Id/Index.Php/JTP; C. Kavin Rowe, �For Future
Generations: Worshipping Jesus And The Integration Of The Theological
Disciplines,� Pro Ecclesia: A Journal Of Catholic And Evangelical Theology 17,
No. 2 (May 1, 2008): 186�209, Accessed February 27, 2021, Http://Journals.Sagepub.Com/Doi/10.1177/106385120801700204. Google Scholar
Susanto
Dwiraharjo, Doa Bapa Kami Doa Yang Mengubah Kehidupan Kita (Jakarta: STT Baptis
Jakarta, 2018), 13. Google Scholar
Wayne
Grudem, Systematic Theology (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2000). Google Scholar
William
Barclay. Pemahaman Alkitab Setiap Hari Injil Yohanes. (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2008), 269-270. Google Scholar
Copyright holder: Stevanus Miharso (2022) |
First publication
right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is
licensed under: |