Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 5, Mei 2022

 

MEKANISME HEDGING SYARIAH DI INDONESIA DAN PANDANGAN PARA ULAMA FIQIH

 

Ujang Suherman

Universitas Buana Perjuangan Karawang, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Pasar valuta asing menjadi hal yang tabu bagi sebagian masyarat umum, imej yang muncul adalah spekulasi, judi , ghoror dan lain sebaginya. Namun seiring dengan perkembangan ekonomi dunia yang global menuntut adanya transaksi antar mata uang telah menjadikan fungsi yang berbeda. Bahkan telah menjadi suatu keharusan dalam melakukan lindung nilai perusahaan yang diakibatkan transaksi multinasional. Oleh karena itu tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menelaah bagaimana mekanisme transaksi hedging secara syariah atas nilai tukar yang diterapkan di indonesia dan bagaimana para ulama mujtahid ahli fiqih dalam menilai hukum jual beli mata uang yang digunakan dalam proses hedging. Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian kepustakaan, data diambil dari berbagai referensi yang mendukung penelitian, reduksi data, display data. Hasil penelitian menunjukan bahwa mekanisme hedging syariah di Indonesia diatur oleh fatwa MUI melalui Dewan Syariah Nasional membolehkan melakukan hedging dengan kontrak forward yang di ikuti transaksi spot, para mujtahid membolehkan transaksi valuta asing yang disertakan komoditas dengan syarat tertentu secara tunai dan tidak ada penundaan penyerahan valas.

 

Kata Kunci: derivatif; hedging; kurs; valuta asing; islamic perspektive; mujtahid

 


Pendahuluan

Dalam setiap aktivitas bisnis mengandung resiko, terelebih bisnis mutlinasional yang melibatkan negara asing dalam transaksi bisnisnya dikarenakan adanya perbedaan kurs valuta asing disetiap negara. Nilai tukar valas menjadi permasalahan dalam transaksi bisnis multinasional, dikarenakan ada unsur ketidak pastian dalam menentukan nlai asset, utang atau modal yang akan di dapat di masa yang akan datang dan menjadi sebuah keniscayaan bagi perusahaan. Terlebih dimasa pandemi covid19 yang melanda dunia menjadikan masalah baru dalam perekonomian dan perdagangan karena nilai kurs mata uang khususnya indonesia mengalami pelemahan sampai pada Rp. 14.885 per dollar AS per tanggal 15 Mei 2020. Hal ini membutuhkan suatu solusi untuk menekan tingkat risiko yang akan terjadi.

Memitigasi risiko atas ketidak pastian perusahaan dalam menghadapi kondisi keuangan di masa yang akan datang memerlukan peranan penting dari manajemen risiko. Seperti yang diungkapkan oleh (Suryani & Fathoni, 2017) manajemen risiko  menentukan strategi yang tepat untuk menghindari kerugian dibalik keuntungan yang disebabkan adanya pertukaran valuta asing dimana fluktuasi kurs nilai tukar mengalami volalitas yang sangat tidak terukur dan memerlukan strategi dalam mengatasinya diantaranya dengan melakukan lindung nilai atau hedging (Stulz, 1984; DeMarco dan Duffie, 1995; Breeden dan Viswananthan, 1996; Fatemi dan Luft, 2002).

Lindung nilai (hedging) merupakan salah satu cara untuk menekan adanya risiko ketidak tentuan akibat dari naik turunya nilai tukar mata uang, financial distres, underinvestment problem (Paranita, 2011) sama halnya dengan pendapat (Faisal, 2001) yang mengatakan hedging adalah “suatu tindakan lindung nilai dari resiko nilai tukar yang timbulkan akibat adanya transaksi bisnis”, dalam islam ada kaidah fiqih yang secara substansi mengharuskan usaha untuk meminimalisir risiko bisa dalam bentuk kontrak jaminan atau gadaian (al-rahmu) (Nordin, Rahman, & Omar, 2014).

Banyak alternatif yang dapat dilakukan perusahan dalam lindung nilai (hedging) di pasar derivatif diantaranya dengan forward contract, future contact, options dan swap (Utomo, 2000). Dengan jenis  underlying instruments yang ada di dalam pasar derivatif   menurut (Brigham, 2004) dan (Faisal, 2001) jenis underlying instruments dibagi menjadi dua jenis. Pertama, instrumen finansial seperti saham, warrants dan obligasi. Kedua, komoditas seperti indeks saham, tingkat suku bunga, logam berharga dan kurs nilai tukar.

Yang jadi permasalahan didalam transaksi hedging adalah jenis transaksi seperti apa yang diperbolehkan oleh syriat islam apakah forward contract, future contact, options atau swap, yang kedua adalah adanya silang pendapat ikhtilaf tentang hukum jual beli mata uang dari para ulama. Berdasarkan permasalahan dan fenomena yang terjadi dan berkembang di Indonesia, penulis penyimpulkan dan merumuskan permasalahan dalam penelitian ini menjadi dua, pertama bagaimana mekanisme hedging secara syariah atas nilai tukar di indonesia, kedua bagaimana pandangan para ulama dalam menilai hukum jual beli atas mata uang yang dipergunakan dalam praktik hedging.

 

Metode Penelitian

Penulisan penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan, data diambil dari berbagai referensi yang mendukung penelitian ini, analisis data dilakukan melalui reduksi data, display data kesimpulan, dan validasi datanya menggunakan triangulasi sumber data.

 

Hasil Dan Pembahasan

A.    Hedging atas Nilai Tukar di Indonesia

Hedging diibaratkan asuransi untuk meng-cover risiko dan sudah menjadi keharusan bagi perusahaan multinasional di era perdagangan bebas. Praktek hedging di indonesia sudah mengalami perkembangan, menurut Bank Indonesia (2020) 90% perusahaan yang berurusan dengan valas dari 2.900 perusahaan yang melakukan transaksi ekspor impor sudah melakukan hedging. Masih ada 10 % perusahaan yang belum melakukan hedging, diantara penyebabnya dituturkan oleh (Suryani & Fathoni, 2017) dikarenakan adanya kewajiban yang muncul pada saat melakukan transaski hedging seperti hadging fee.

Beberapa peneliti seperti (Madura, 2009), (Levi, M. & Prasetyo, 2001) menemukan bahwa sekarang ini banyak perusahaan yang menggunakan kontrak forward dalam melakukan hedging, dikarena dalam kontrak forward terdapat keluwesan dalam  menentukan nilai valuta asing oleh pembeli beberapa hari sebelum kontrak dilaksanakan, keluwesan ini dapat menjadi obat atas ketidak pastian akan nilai tukar yang akan terjadi. Hal yang senada disampaikan oleh (Istutik & Rofifah, 2017) yang mengatakan hedging dengan kontrak forward adalah hedging yang sesuai menurut syariah, dan lebih menguntungkan dibandingkan open position (Larasati, Era, Ni Putu & Suarjaya, Gede, 2017); (Rofifah, Topowijono, & Nuzula, 2017). Namun ada unsur bunga yang menjadikan masalah yang tentunya dilarang oleh syarait islam. Hal ini memerlukan suatu alternatif lain dalam memitigasi bunga tanpa mengurangi manfaat dalam lindung nilai atau eksposur nilai tukar valuta asing.

Solusi yang dilakukan dalam menghilangkan bunga dalam menghitung nilai kurs di kontrak forward konvensional tersebut oleh (Putranto, 2007) dijelaskan yaitu dengan menggantinya dengan nilai risiko kurs valuta asing yang akan di gunakan. Adanya alternatif tersebut memberikan solusi bagi konsep syariah untuk melakukan lindung nilai dimana menentukan kurs forward dengan mempertimbangkan kurs spot, nilai risiko kurs valuta asing dan periode kontrak (Istutik & Rofifah, 2017).

Namun dalam kondisi riil dalam transaksi hedging di Indonesia saat ini, menurut Jahya Setiaatmaja, Direktur Bank Central Asia mengatakan pada kontan.co.id (2020) “transaksi hedging yang lazim digunakan adalah dalam bentuk swap dan forward” yang artinya hedging secara syariah masih belum banyak diminati oleh perusahaan dalam melakukan transaksi lindung nilai di Indonesia. Walaupun 90% perusahaan multinasional sudah melakukan hedging namun hedging syariah masih minim peminatnya.

B.    Mekanisme hedging secara syariah di Indonesia

Transaksi hedging syariah di Indonesia sudah diatur atau di fatwakan oleh Majlis Ulama Indonsia melalui Dewan Syariah Nasional bahwa hedging boleh dilakukan dengan jenis kontrak Forward  Agreement yaitu perjanjian untuk masa yang akan datang yang dilakukan dua belah pihak untuk melakukan transaksi valuta asing secara spot dalam jumlah yang sudah ditentukan dengan nilai kurs yang telah disepakati pada saat perjanjian.

Selain jenis transaski yang di fatwakan oleh Majlis Ulama Indonesia, MUI juga menerbitkan ketentuan-ketentuan umum yang harus di laksanakan dalam bertransaski hedging secara syariah di Indonesia, diantaranya :

1.     Lindung Nilai memiliki tujuan untuk lindung nilai

2.     Forward Agreement adalah saling berjanji untuk transaksi mata uang asing secara spot dalam jumlah tertentu di masa yang akan datang  dengan nilai kurs yang sudah disepakati pada saat perjanjian.

3.     Transaksi Mata Uang Asing dilakukan secara spot (tunai, penyerahan pada saat itu juga atau penyerahannya paling lambat dua hari )

4.     Transaksi Lindung Nilai Sederhana, yaitu transaksi lindung nilai dengan skema kontrak Forward Agreement yang di ikuti oleh transaksi spot,pada saat jatuh tempo dengan penyelesaiannya berupa serah terima mata uang.

5.     Transaksi Lindung Nilai Kompleks, yaitu transaksi lindung nilai dengan skema kontrak berupa dengan rangkaian transaksi spot dan Forward Agreement yang diikuti dengan transaski spot .

6.     Transaksi Lindung Nilai melalui Bursa Komoditi Syariah, yaitu transaksi lindung nilai dengan skema kontrak yang berupa rangkaian transaksi jual beli komoditi (sil’ah) dalam mata uang rupiah yang diikuti jual beli komoditi (sil’ah) mata uang asing dengan penyelesaiannya serah terima mata uang pada saat jatuh tempo.

Majlis Ulama Indonesia juga menjelaskan ketentuan dalam Mekanisme Transaksi lindung nilai secara syariah atas Nilai Tukar, diantaranya:

1.     Mekanisme Transaksi Lindung Nilai Sederhana. Pertama, diawali adanya perjanjin antara pihak pembeli dan penjual, baik secara tertulis maupun tidak tertulis untuk melakukan satu kali atau lebih transaksi spot di masa yang akan datang yang meliputi kesepakatan atas : mata uang yang diperjualbelikan, jumlah nominal, kurs atau perhitungan kurs dan waktu pelaksanaan. Kedua, pada saat waktu yang telah disepakati para pihak melakukan transaksi spot dengan harga yang telah disepakati yang diikuti serah terima mata uang yang dipertukarkan.

2.     Mekanisme Transkasi Lindung Nilai Kompleks. Pertama, keduabelah pihak melakukan transaksi spot, selanjutnya para pihak saling berjanji untuk melakukan spot kembali dimasa akan datang , meliputi kesepakatan atas : mata uang yang diperjualbelikan, jumlah nominal, kurs atau perhitungan kurs dan waktu pelaksanaan. Pada saat waktu pelaksanaan tiba mereka melakukan transaksi spot dengan harga dan ketentuan yang sudah disepakati bersama.

3.     Mekanisme Transkasi Lindung Nilai melalui Bursa Komoditi Syariah, bursa komoditi syariah memfasilitasi pelaku transaski lindung nilai syariah atas nilai tukar untuk melakukan transaksi atas komoditi (sil’ah) di Bursa Komoditi Syariah. Dibagi menjadi 2 transaski :

a.      Transaksi pertama, konsumen komoditi melakukan pesanan (salam) dan janji beli sil’ah kepada peserta komersial, selanjutnya peserta komersial melakukan pembelian tunai atas pesanan tadi ke pedagang komoditi, peserta komersial menerima dokumen kepemilikan Surat Penguasaan Atas Komoditi Tersetujui (SPAKT) dari bursa melalui sistem, konsumen komoditi membeli sil’ah dari peserta komersial dengan akad murabahah diikuti dokumen, konsumen komoditi menjual sil’ah tunai kepada pedagang komoditi.

Text Box: 4. sil’ah & SPAKT
Text Box: 1. Pesan & janji
Text Box: Konsumen KomoditiText Box: Peserta Komersil

Text Box: 2. beli

Text Box: 3. SPAKT

Text Box: 5. Jual

 


Text Box: Pedagang Komoditi

 

 

Gambar 1

Transaksi dengan Salam

Sumber : Penelitian

 

b.     Transaksi kedua, konsumen komoditi memberikan kuasa (akad wakalah) kepada peserta komersial, selanjutnya peserta komersial membeli sil’ah mewakili konsumen kepada pedagang komoditi secara tunai, konsumen komoditi menerima dokumen SPAKT dari bursa melalui sistem, peserta komersial membeli sil’ah dari konsumen komoditi dengan akad murabahah diikuti dokumen, peserta komersial menjual sil’ah kepada pedagang komoditi secara tunai, konsumen komoditi menerima mata uang dari peserta komersial.

 

Konsumen Komoditi

 

1. Kuasa ( wakalah)

 
Text Box: Peserta Komersil

4. Beli sil’ah & SPAKT

 
 

6. Rp

 

2. beli

 
 

 


Text Box: 5. Jual Text Box: 3. SPAKT

 

 

 

 

Pedagang Komoditi

 
 

 


Gambar 2

Transaksi dengan Akad Wakalah

Sumber : Penelitian

 

C.    Pandangan Para Mujtahid Terhadap Jual Beli Mata Uang (sharf)

Berikut ini adalah ijtihadnya para ulama ahli fiqih (perbandingan mazhab) dalam menilai suatu hukum fiqih terkait jual beli mata uang yang dikutif dari kitab “Bidayatul Mujtahid” karangan Ibnu Rusyd Al-Ab yang lahir di Cordova 495 H/1094M :

1.     Hukum Jual Beli Valas (sharf)

Dalam mazhab Maliki diperselisihkan tentang penjualan yang dilakukan bersama-sama jual beli mata uang (sharf). Malik berpendapat bahwa perbuatan itu tidak boleh kecuali salah satunya lebih banyak dan yang lain mengikuti pihak yang lain, baik jual beli itu satu dinar atau beberapa dinar. Pendapat lainnya mengatakan bahwa jual beli mata uang itu dalam satu dinar, sedangkan apabila dalam jumlah yang lebih banyak maka salah satunya diperhitungkan dengan mengikuti kebolehan yang lain. Apabila yang dimaksud untuk keduanya bersama-sama maka hal itu boleh. Asyhab membolehkan jual beli mata uang bersama penjualan. Pendapat ini dinilai lebih baik karena pada perbuatan tersebut tidak terdapat hal-hal yang bisa mendtaangkan riba atau penipuan.

2.     Pengertian Tunai dalam Transaksi Valas (sharf)

Para ulama sepakat bahwa jual beli mata uang yang disyaratkan adalah secara tunai. Kemudian muncul beda pendapat mengenai batas waktu pengertian tunai tersebut. Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa jual beli mata uang terjadi secara tunai selama kedua pihak belum berpisah, baik penerimaanya itu segera atau lambat. Menurut Malik, jika penerimaan pada majlis terlambat maka jual beli mata uang itu batal meskipun kedua pihak belum berpisah. Karena, ia tidak menyukai janji-janji di dalamnya. Pangkal silang pendapat dalam masalah ini adalah karena ada keraguan mereka dalam menafsirkan sabda Nabi SAW “kecuali tunai dengn tunai”

3.     Penundaan Penyerahan Valas (sharf)

Para fuqaha berbeda pendapat jika penyerahan mata uang baru sebagian sedang yang lain tertunda. Menurut Syafi’I jual beli tersebut batal seluruhnya, pendapat lain mengatakan, hanya bagian yang tertunda itu saja yang batal, pendapat ini dikemukaan oleh Abu Hanifah, Muhammad dan Abu Yusuf. Dan kedua pendapat ini terdapat dalam mazhab Maliki. Pangkal silang pendapat dalam masalah ini bersumber dari barang dagangan (sil’ah) yang berisi campuran antara barang halal dan haram, apakah yang batal tersebut khusus barang haram saja atau seluruhnya.

4.     Jual Beli Piutang

Para fuqaha berbeda pendapat jika terjadi jual beli dengan piutang dimana uang masih berupa tagihan atau tanggungan. Malik berpendapat bahwa perbuatan tersebut dibolehkan manakala kedua piutang itu sudah jatuh tempo atau belum. Abu Hanifah juga membolehkan perbuatan itu, baik piutang sudah jatuh tempo atau belum. Sedangkan Syafi’I dan al-Lait’s berpendapat bahwa perbuatan itu tidak boleh, baik piutang itu sudah jatuh tempo atau belum. Fuqaha yang melarang beralasan jual beli dengan barang yang tidak ada dengan yang tidak ada. Malik beranggapan jatuh tempo tagihan adalah sama halnya dengan tunai, hanya saja disyaratkan jatuh temponya secara bersamaan.

5.     Jual Beli dengan Pesanan (Salam)

Para Fuqaha sepakat bahwa salam itu untuk semua barang yang ditakar atau ditimbang, berdasarkan hadits sahih dari Ibnu Abbas.r.a Nabi SAW bersabda “ barang siapa mengutangkan hendaklah  ia mengutangkan dalam harga yang diketahui (jelas) dan timbangan yang diketahui (jelas) hingga masa yang diketahui (jelas)” (HR. Bukhari Muslim). Dawud dan sekelompok fuqaha Zhahiri melarang berdasarkan hadits diatas. Adapun jumhur fuqaha membolehkan salam pada barang yang dapat ditentukan sifat dan bilangannya. Abu Hanifah dan Syafi’I berpendapat bahwa diantara syarat salam ialah saling menerima dalam majlis.

6.     Jual Beli dengan Akad Wakalah

Para Fuqaha sepakat bahwa memberikan kuasa pada orang lain itu boleh dengan syarat memiliki keterbatasan atau dalam kondisi terpaksa, kecuali untuk kegiatan ibadah dan perbuatan yang dasarnya tidak boleh. Menurut Malik tidak sah memberi kuasa kepada anak di bawah umur dan orang gila, menurut Malik dan Syafi’I tidak sah memberikan kuasa kepada wanita. Jika seseorang memberi kuasa secara mutlak dalam jual beli,  menurut Malik penerima kuasa tidak boleh menjual kecuali berdasarkan harga pasar, secara tunai dan dengan mata uang negri itu. Jika ia membayar dengan pembayaran kemudian atau tidak berdasarkan harga pasar, maka hal itu tidak boleh. Menurut Malik hal tersebut berlaku juga untuk pembelian. Lain halnya dengan Abu Hanifah, Abu Hanifah melakukan pemisahan antara penjualan dan pembelian, dalam menjual dibolehkan tidak berdasarkan harga pasar dan menjual dengan pembayaran kemudian. Menurut  Abu Hanifah hak kepemilikan barang pertama ada ditangan penerima kuasa kemudian beralih ke pemberi kuasa.

 

Kesimpulan

Dalam penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1). Mekanisme Hedging syariah di indonesia sudah diatur oleh Majlis Ulama Indonesia dengan mengeluarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional No : 96 / DSN – MUI / IV / 2015, mekanisme hedging secara syariah di Indonesia boleh dilakukan dengan kontrak forward yang diikuti oleh transaksi spot, atau bisa dilanjutkan dengan kontrak berikutnya, transaksi sil’ah bisa dilakukan dengan salam dan wakalah. 2). Pandangan umum para mujtahid terhadap Jual Beli Mata Uang diikuti oleh komoditi dengan cara pesanan (salam) atau kuasa (wakalah) dibolehkan dikarenakan pada jual beli itu tidak mendatangkan riba atau penipuan, dengan syarat dilakukan secara tunai dan  tidak ada penundaan penyerahan valas (sharf).

 


BIBLIOGRAFI

 

Brigham, H. (2004). Fundamentals of Financial Management (10th editi). Thomson, South Western.

 

Faisal, M. (2001). Manajemen Keuangan Internasional. Jakarta: Salemba Empat. Google Scholar

 

Istutik, Istutik, & Rofifah, Tita Irbah. (2017). Implementasi Hedging Syariah Dalam Minimalisasi Risiko Atas Fluktuasi Kurs Valuta Asing (Studi Pada Pt Astra Agro Lestari, Tbk). Adbis: Jurnal Administrasi Dan Bisnis, 11(1), 57–70. Google Scholar

 

Larasati, Era, Ni Putu & Suarjaya, Gede, A. .. (2017). Analisis Forward Contract Hedging dan Open Position dalam menghadapi Eksposure Valuta Asing. E-Jurnal Manajemen Unud, 6(5), 2556–2581. Google Scholar

 

Levi, M. & Prasetyo, H. (2001). Keungan Internasional. Salemba Empat, Jakarta.

 

Madura, J. (2009). International Corporate Finance (ed. 8). Salemba Empat, Jakarta.

 

Nordin, Nadhirah, Rahman, Asmak Ab, & Omar, Hydzulkifli Hashim. (2014). The Islamic hedging management: Paving the way for innovation in currency options. International Journal of Management Studies, 21(1), 23–37. Google Scholar

 

Paranita, Ekayana Sangkasari. (2011). Kebijakan Hedging dengan Derivatif Valuta Asing pada Perusahaan Publik di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional & Internasional, 1(1). Google Scholar

 

Putranto, E. (2007). Lindung nilai (hedging) syariah atas risiko nilai tukar dari kewajiban kepada pihak ketiga dalam valuta asing. Diakses Pada Tanggal, 26. Google Scholar

 

Rofifah, Tita Irbah, Topowijono, Topowijono, & Nuzula, Nila Firdausi. (2017). Penggunaan Contract Forward Hedging Secara Konvensional Dan Syariah Dalam Meminimalkan Risiko Nilai Tukar (Studi Kasus Pada PT Indofood Cbp Sukses Makmur, Tbk Dan Anak Perusahaan Yang Terdaftar Di JII). Brawijaya University. Google Scholar

 

Suryani, Suryani, & Fathoni, Muhammad Anwar. (2017). Lindung Nilai (Hedging) Perspektif Islam: Komparasi Indonesia Dan Malaysia. Inferensi: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 11(2), 351–372. Google Scholar

 

Utomo, Lisa Linawati. (2000). Instrumen Derivatif: Pengenalan Dalam Strategi Manajemen Risiko Perusahaan. Jurnal Akuntansi Dan Keuangan, 2(1), 53–68. Google Scholar

 

 

Copyright holder:

Ujang Suherman (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: