Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No.
5, Mei 2022
PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP PEKERJA OUTSOURCING
PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
Delviola Azhara, Chatarina Dwi Agista
Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Jakarta Barat, Indonesia
Email: [email protected],
[email protected]
Abstrak
Outsourcing (alih daya) dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja. Pengaturan hukum outsourcing (alih daya) di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 (pasal 64, 65 dan 66). Secara umum hak-hak karyawan outsourcing (alih daya) yaitu mendapatkan upah, mendapatkan uang lembur, mendapatkan hak cuti, mendapatkan THR (Tunjangan Hari Raya), mendapatkan perlindungan Jamsostek, mendapatkan kompensasi PHK.
Abstract
Outsourcing
in Indonesian labor law is defined as the contracting of work and the provision
of labor services. The legal arrangements for outsourcing (outsourcing) in
Indonesia are regulated in the Manpower Act No. 13 of 2003 (articles 64, 65 and
66). In general, the rights of outsourced employees are getting wages, getting
overtime pay, getting leave rights, getting THR (Tunjangan
Hari Raya), getting Jamsostek protection, getting
layoff compensation.
Pendahuluan
Indonesia sebagai negara hukum yang berlandaskan Pancasila
menganut konsep negara kesejahteraan (welfare state) dengan
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia demi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Sesuai dengan amanat konstitusi
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menjadi fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Demi mencapai tujuan negara kesejahteraan, Pemerintah memiliki kewajiban terhadap perlindungan hukum bagi setiap rakyatnya.
Khususnya perlindungan hukum bagi para pekerja sebagai pelaku yang memiliki kedudukan dan peran penting dalam pembangunan
nasional. Dalam hal ini perwujudan
perlindungan hukum terhadap para pekerja merupakan pemenuhan hak konstitusional sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal
27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Menilik daripada kebutuhan
dunia bisnis dan perekonomian,� setiap perusahan yang beroperasi membutuhkan pekerja yang dapat berupa pekerja
tetap, pekerja kontrak atau dalam
bentuk pekerja alih daya (outsourcing). Dalam hal ini
pekerja outsourcing adalah suatu bentuk pendelegasian
atau pelimpahan kegiatan bisnis tertentu kepada perusahaan penyedia jasa outsourcing, yang selanjutnya
perusahaan penyedia jasa outsourcing akan melaksanakan pekerjaan yang telah dilimpahkan sebelumnya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati antara perusahaan penyedia jasa outsourcing dan perusahaan pengguna jasa outsourcing
(Suyanto & Nugroho, 2017)
Pemanfaatan pekerja outsourcing oleh perusahaan dilatarbelakangi oleh keadaan dunia bisnis yang selalu naik turun sehingga perusahaan mendapatkan keuntungan menggunakan pekerja outsourcing
yang bukan merupakan pekerja tetap sehingga
ketika perusahan dalam keadaan finansial
yang ketat mereka dapat menyelesaikan perjanjian pekerjaan outsourcing dengan pihak penyedia
jasa outsourcing dikarenakan
sudah tidak membutuhkan jasanya lagi. Berbeda dengan
pekerja tetap yang ketika dilakukan pemutusan hubungan pekerjaan (PHK) mendapatkan pesangon ataupun hak lainnya,
pekerja outsourcing ketika terjadi pemutusan kontrak antara perusahan dan perusahan penyedia jasa outsourcing tidak mendapatkan hak-hak tersebut, hal ini menempatkan
pekerja outsourcing dalam posisi yang lemah atas perlindungan hukum hak atas
pekerja.
Perlindungan hukum bagi
para pekerja sangat dibutuhkan,
mengingat kedudukan pekerja berada pada kedudukan yang lemah. Terlebih dalam mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yaitu keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum, perlindungan hukum menjadi suatu
representasi berjalannya fungsi hukum. Menurut
Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia
yang dirugikan orang lain dan perlindungan
itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. (Raharjo, 2000)
Pemerintah dalam hal
ini memiliki peran besar untuk
hadir dan memberikan perlindungan hukum dalam dunia ketenagakerjaan terhadap hak pekerja
outsourcing yang semakin banyak
digunakan oleh perusahaan.
Salah satu pemenuhan peran pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing dapat terlihat dari disahkannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) oleh DPR RI pada tanggal 5 Oktober 2020 yang diundangkan pada 2 November 2020 berdampak
pada adanya perubahan beberapa ketentuan dalam perundang-undangan terdahulu, salah satunya yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan (UUK). Dalam hal ini
UU Cipta Kerja telah menghapus 29 pasal, mengubah 31 pasal, dan menyisipkan 13 pasal yang terdapat pada UUK (DA,
n.d.) Penghapusan, perubahan,
dan penambahan terhadap beberapa pasal dalam UU Cipta Kerja berimplikasi pada adanya perubahan ketentuan bagi pekerja outsourcing, yakni seperti dihapusnya Pasal 64 dan 65 UUK melalui Pasal 81 angka 18 dan 19 UU Cipta Kerja, serta
adanya perubahan Pasal 66 UUK dalam Pasal 81 angka 20 UU Cipta Kerja.
Hadirnya Pasal 81 angka
20 UU Cipta kerja telah mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dari adanya
alih daya (outsourcing) dan
perlindungan pekerja/buruh yang telah ditindak lanjuti dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021). Oleh
karena itu, dengan adanya perubahan
hukum terhadap pekerja outsourcing pasca berlakunya UU Cipta Kerja hal ini
menjadi sangat penting untuk dikaji lebih
lanjut perlindungan hukum yang dapat diberikan bagi hak pekerja outsourcing dari penerapan regulasi tersebut.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan tipe penelitian normatif, karena itu dilakukan pengkajian
yang mengacu pada bahan-bahan
hukum khususnya peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Pendekatan masalah yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan
perundang-undangan (statute approach) adalah� pendekatan
yang dilakukan dengan cara menganalisis bahan hukum berupa
perundang-undangan sebagai bahan dasar dalam
melakukan penelitian.
Adapun bahan-bahan hukum terhadap penelitian ini bersumber dari :
a. Sumber bahan hukum primer, merupakan sumber utama dalam
dokumen hukum yang berupa norma kaidah
dasar peraturan yang berkaitan dalam bentuk standar dasar peraturan yang relevan. Adapun bahan hukum tersebut adalah : Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945); Pasal
27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja); Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan (UUK); Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021).
b. Sumber bahan hukum sekunder, merupakan sumber hukum yang memperjelas penafsiran terhadap bahan hukum primer dengan bahan yang diperoleh dari studi kepustakaan yang berkaitan dengan masalah penelitian.
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan
(study document). Teknik kepustakaan dilakukan dengan pendaftaran dan pemahaman isi semua
informasi yang diperoleh dari sumber sah
primer dan� sekunder.
A.
Perlindungan Hukum
Terhadap Pekerja
Outsourcing Pasca Berlakunya
UU Cipta Kerja
Pada hakikatnya
pekerja memiliki kedudukan dan peran yang sangat penting sebagai pelaku dalam pelaksanaan
pembangunan nasional. Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja diperlukan untuk menjamin segala hak-hak dasar para pekerja, guna mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran sesuai dengan tujuan
negara kesejahteraan. Konstitusi
telah mengamanatkan pemberian hak bagi
setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Terkhusus dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja
serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Dalam memberikan perlindungan hukum, menurut Philipus M. Hadjon terdapat 2 (dua) macam perlindungan
hukum, yakni perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif (Philipus M. Hadjon, 2007) Perlindungan hukum preventif yang berkaitan dengan pekerja outsourcing dimaksudkan bahwa pekerja outsourcing diberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum terhadap hak-hak normatif yang sudah selayaknya didapatkan seperti upah, kesejahteraan,
syarat-syarat kerja, keselamatan dan kecelakaan kerja, jaminan sosial dan lain-lain sebagaimana
yang telah diamanatkan oleh
peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, perlindungan hukum represif dapat diberikan berupa perlindungan ketika terjadi permasalahan pemutusan hubungan kerja PHK dan perselisihan hubungan industrial lainnya.(Budiartha, 2016)
Sebelum disahkannya UU Cipta Kerja, pengaturan
terhadap pekerja outsourcing
diatur dalam UUK. Merujuk pada peraturan tersebut, hubungan kerja outsourcing dilakukan dengan berlandaskan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Dalam hal ini,
hubungan kerja outsourcing harus tetap memenuhi
persyaratan sebagaimana termaktub dalam Pasal 59 UUK, dan selanjutnya ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor Kep. 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Kepmenakertrans No. Kep
100/MEN/VI/2004). Menilik kedua
peraturan yang mengatur hubungan kerja sistem outsourcing, nyatanya pengaturan hubungan kerja tersebut memiliki ketidakjelasan norma yang menimbulkan multitafsir dan mengakibatkan ketidakpastian hukum terhadap hubungan kerja antara pekerja
outsourcing dengan perusahaan
outsourcing.
Menanggapi adanya ketidakpastian hukum hubungan kerja outsourcing yang berimplikasi kepada perlindungan hukum bagi pekerja outsourcing, terhadap Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UUK telah dilakukan pengujian materiil. Putusan Mahkamah Konstitusi dengan Nomor 27/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 66 UUK pada prinsipnya tidak bertentangan dengan UUD 1945 sejauh status hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan dilakukan dengan hubungan kerja PKWTT. Akan tetapi, dapat dimungkinkan adanya hubungan kerja dengan PKWT dengan syarat perjanjian
tersebut harus mengandung jaminan peralihan hubungan kerja bagi pekerja
outsourcing dengan perusahaan
outsourcing yang menggantikan perusahaan
sebelumnya.
Apabila merujuk pada Pasal 81 angka 20 UU Cipta Kerja dan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) PP 35/2021, hubungan kerja antara perusahaan
outsourcing dengan pekerja dilakukan secara tertulis baik hubungan
kerja tersebut dilaksanakan melalui PKWT atau PKWTT. Selanjutnya ditegaskan dalam hal perusahaan outsourcing mempekerjakan berdasarkan PKWT, maka perjanjian kerja tersebut harus mensyaratkan pengalihan perlindungan hak bagi pekerja
apabila terjadi pergantian perusahaan outsourcing
dan sepanjang objek pekerjaannya tetap ada. Ketentuan terhadap hubungan kerja yang diimplementasikan melalui perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 81 angka 20 UU Cipta Kerja diatur secara
jelas dan telah sesuai dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011. Sehingga adanya perubahan dalam UU Cipta Kerja telah memberikan
kepastian hukum, khususnya mengenai hubungan kerja sistem outsourcing.
Selanjutnya disahkannya UU Cipta Kerja mengubah
outsourcing yang sebelumnya merupakan
penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain menjadi alih daya.
Melalui UU Cipta Kerja pemerintah telah melakukan perluasan atas outsourcing yang sebelumnya hanya secara implisit diatur dalam UUK. Dimana dalam Pasal 81 angka 20 UU Cipta Kerja menghilangkan pengaturan batasan dari pekerjaan yang boleh dilakukan oleh pekerja outsourcing yang dalam
UUK terdapat batasan tidak bolehnya pekerja outsourcing untuk melakukan kegiatan pokok ataupun kegiatan
yang berhubungan langsung dengan proses produksi. Dengan demikian, dihapuskannya batasan pekerjaan tersebut oleh UU Cipta Kerja, pekerja
outsourcing sekarang ini dapat melakukan segala jenis pekerjaan
baik kegiatan pokok maupun kegiatan
penunjang selama hal tersebut diberikan
oleh perusahaan.
Merujuk Pasal 64 UUK telah dinyatakan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh
yang dibuat secara tertulis. Selanjutnya mengenai syarat-syarat penyerahan pekerjaan diatur dalam Pasal
65 UUK. Lebih jauh, pembatasan jenis pekerjaan dan persyaratan kegiatan yang dilakukan melalui sistem outsourcing diatur dalam Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, kemudian dilakukan perubahan kedua kalinya dalam
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan
Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
Yang mana Pasal 81 angka 19
yang menghapuskan Pasal 65
UUK berimplikasi pada adanya
penghapusan syarat dan pembatasan jenis pekerjaan penunjang dan/atau kegiatan jasa
penunjang yang dapat secara sebagian diserahkan kepada perusahaan lain.
Bentuk perlindungan hukum bagi pekerja
outsourcing pasca berlakunya
UU Cipta Kerja juga dapat dilihat dari
ketentuan yang mengharuskan
perusahaan outsourcing berbentuk
badan hukum, serta adanya kewajiban bagi perusahaan outsourcing dalam memenuhi perizinan berusaha yang diterbitkan oleh pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam Pasal
81 angka 20 UU Cipta Kerja dan Pasal 20 ayat (1) PP 35/2021. Ditinjau lebih jauh, pemenuhan
perizinan berusaha bagi perusahaan outsourcing sebelum disahkannya UU Cipta Kerja diarahkan
untuk memiliki izin dari instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana termaktub dalam Pasal 66 ayat (3) UUK. Terlihat bahwa adanya pengalihan
terhadap perizinan berusaha yang sebelumnya menjadi tanggung jawab instansi pada bidang ketenagakerjaan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Pengupahan atau gaji terhadap para pekerja/buruh outsourcing berbeda dengan pekerja lainnya dikarenakan pekerja outsourcing merupakan tenaga kerja dari pihak
ketiga dalam menyelesaikan pekerjaannya. Hal tersebut sangat menguntungkan bagi perusahaan karena tidak perlu
menyediakan fasilitas, tunjangan makan, hingga asuransi kesehatan/BPJS kesehatan. Namun, merugikan bagi pekerja yang terkadang gaji para pekerja/buruh dipotong
oleh perusahaan outsourcing.
Merujuk Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1, upah atau
imbalan� dinyatakan dalam bentuk uang dari pemberi kerja
seperti orang perseorangan,
pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan para pekerja/buruh outsourcing. Berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor
27/PUU-IX/2011, pekerja yang bekerja
pada perusahaan outsourcing sesuai
dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja sama, memperoleh hak yang sama atas
perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan
yang timbul dengan pekerjaan di perusahaan pemberi kerja.
Ditinjau lebih lanjut, dalam UU Cipta Kerja dijelaskan
gaji yang diterima oleh pekerja/buruh outsourcing adalah hasil dari
kesepakatan bersama yang tertulis di dalam kontrak kerja. Jika terjadi pemotongan, hal tersebut harus
berkaitan dengan hal-hal seperti pajak, pembayaran iuran jaminan sosial,
serta alasan lainnya sesuai peraturan yang berlaku. Setiap perusahaan penyedia pekerja/buruh outsourcing memiliki ketentuan sendiri untuk menentukan gaji bagi pekerja.
Dalam UU Cipta Kerja tidak dijelaskan
mengenai perhitungan upah atau gaji
pekerja outsourcing. Namun,
perusahaan pengguna jasa outsourcing harus memberikan bonus, THR dan lain-lain jika
pekerjaan yang dilakukan
oleh pekerja outsourcing memuaskan.
Oleh karena itu, pekerja outsourcing wajib teliti dalam menekan
kontrak dengan perusahaan penyedia outsourcing.
Perlindungan hukum lainnya pun telah diberikan oleh Pasal 81 angka 20 UU Cipta Kerja mengenai perlindungan pekerja/buruh mengenai upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, perselisihan yang timbul dan harus dilaksanakan sekurang-kurangnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan merupakan tanggung jawab perusahan alih daya serta perlindungan
hukum atas hak pekerja/buruh
outsourcing sendiri ketika terjadinya pengalihan perusahan alih daya sepanjang objek pekerjaanya tetap ada.
B. Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak Pekerja Outsourcing
Terlepas dari perlindungan hukum preventif bagi pekerja outsourcing yang telah dijabarkan sebelumnya, sebagaimana telah dijamin melalui peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Maka selanjutnya pekerja juga memiliki perlindungan hukum represif yang dapat ditempuh oleh pekerja sendiri untuk mempertahankan hak-hak normatif yang dimiliki. Pada dasarnya pekerjaan outsourcing berlandaskan
adanya suatu perjanjian atau kontrak kerja tertulis
yang diketahui isinya, ditandatangani dan dipertanggungjawabkan
oleh para pekerja dan perusahaan.
Dalam Pasal 1 angka 14 UUK mendefinisikan perjanjian kerja sebagai perjanjian diantara pekerja/buruh dengan pemberi
pekerjaan yang didalamnya terdapat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban dari para pihak. Dengan adanya
kontrak kerja yang mengatur hubungan antara pihak pemberi
kerja/perusahaan dan pekerja.
Dalam praktis di lapangan tidak jarang terjadi perselisihan antara pemberi kerja dengan
pekerja yang menempatkan pekerja outsourcing pada posisi pihak yang lemah dan dirugikan dalam segala kebijakan yang nantinya diambil oleh perusahaan, selain itu perselisihan lain juga sering timbul dari
adanya diskriminasi pengupahan yang rendah, pemutusan hubungan kerja (PHK), hingga pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan dan lainnya sebagaimana telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Tindakan-tindakan
untuk menyelesaikan perselisihan yang muncul ini disebut sebagai
upaya hukum berupa penyelesaian yang dapat dilakukan oleh pekerja dalam memperoleh
kembali haknya yang telah dirugikan. Bersamaan dengan hal tersebut terdapat
2 macam upaya hukum yang dapat ditempuh yaitu Penyelesaian diluar pengadilan terkait perselisihan hubungan industrial
dan Penyelesaian melalui pengadilan terkait perselisihan hubungan industrial sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(UU PPHI).
Pada upaya hukum dengan Penyelesaian
diluar pengadilan terkait perselisihan hubungan industrial biasanya akan berupa beberapa
penyelesaian cara yaitu dengan prosedur
penyelesaian melalui perundingan bipartit yang diamanatkan dalam Pasal 3 ayat 1 dan 2 UU PPHI yaitu penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib untuk diupayakan
melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat dalam penyelesaiannya
dan harus diselesaikan
paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak dimulainya perundingan. Hasil dari perundingan tersebut jika mencapai
kesepakatan harus ditandatangani para pihak dan wajib didaftarkan pada pengadilan hubungan industrial pengadilan negeri tempat perjanjian dilakukan. Dalam halnya perundingan
bipartit tidak mencapai kesepakatan akan dianggap gagal
maka kedua pihak atau satu
pihak harus mencatatkan perselisihannya tersebut pada instansi ketenagakerjaan setempat beserta pelampiran bukti telah dilakukannya
perundingan.
Selanjutnya penyelesaian diluar pengadilan melalui mediasi hubungan industrial (mediasi) diatur dalam Pasal
8 UU PPHI yang dilakukan oleh mediator pada setiap kantor instansi
bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan
Kabupaten atau Kota.
Mediator Hubungan Industrial sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 1 angka 12 UU PPHI merupakan mediator yang pegawai instansi pemerintah ditetapkan oleh menteri bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan yang tugasnya melakukan mediasi dan memberikan anjuran tertulis bagi para pihak berselisih guna menyelesaikan perselisihan hak, kepentingan, PHK, maupun perselisihan antar serikat pekerja
dalam satu perusahaan. Pada tahap mediasi dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak diterima pelimpahan penyelesaian perselisihan, dalam halnya tercapai kesepakatan maka akan dibuat perjanjian
bersama dan didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan Negeri setempat sesuai Pasal 13 UU PPHI. Jika kesepakatan tidak tercapai maka mediator akan memberikan anjuran tertulis dan apabila salah satu pihak atau kedua
pihak menolak akan dilanjutkan penyelesaianya melalui pengajuan gugatan oleh salah satu pihak ke
Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Penyelesaian diluar pengadilan cara berikutnya dengan melalui Konsiliasi Hubungan Industrial (konsiliasi)
yang dilakukan oleh konsiliator
terdaftar di setiap kantor instansi bertanggung jawab dalam bidang ketenagakerjaan
Kabupaten atau Kota sesuai Pasal 17 UU PPHI. Penyelesaian melalui konsiliasi diajukan oleh para pihak lewat permintaan
tertulis pada konsiliator
yang disepakati para pihak berselisih. Perselisihan yang masuk dalam kewenangan� konsiliasi yaitu perselisihan kepentingan, PHK, dan perselisihan
antar pekerja dalam satu perusahaan.
Sedangkan pada teknisnya konsiliasi mirip dengan mediasi dimana harus diselesaikan
dalam waktu maksimal 30 (tiga puluh) hari kerja,
apabila kesepakatan perdamaian tercapai maka akan dibentuk
perjanjian bersama dan didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial setempat, jika tidak tercapai
kesepakatan maka konsiliator akan memberikan anjuran tertulis kepada para pihak dan jika ditolak akan dilanjutkan
penyelesaian lewat Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri wilayah hukum
setempat.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial diluar pengadilan yang terakhir yaitu dengan melalui
Arbitrase Hubungan
Industrial (arbitrase) yang hanya
memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan dan perselisihan antar pekerja dalam satu
perusahaan sesuai Pasal 29 UU PPHI. Pada Pasal 1 angka 15 UU PPHI menegaskan bahwa arbitrase dilakukan melalui kesepakatan tertulis di antara pihak berselisih
untuk mendelegasikan penyelesaianya dengan arbiter
yang putusannya bersifat
final dan mengikat para pihak
sehingga tidak dapat diajukan lagi pada Pengadilan Hubungan Industrial. Putusan dari arbitrase didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan
Negeri wilayah arbiter memberikan putusan,
dalam halnya putusan arbitrase tidak dijalankan oleh salah satu pihak maka
pihak lainnya yang merasa dirugikan dapat meminta Pengadilan
Hubungan Industrial di Pengadilan
Negeri sesuai wilayah hukumnya
untuk meminta menjalankan putusan yang diajukan lewat permohonan fiat eksekusi sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 51 ayat 3 UU PPHI.
Selain daripada penyelesaian sengketa pekerja outsourcing diluar, terdapat juga upaya hukum penyelesaian sengketa tersebut dengan jalur pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka
17 jo. Pasal 55 UU PPHI jo.Pasal 56 UU PPHI dimana terdapat pengadilan hubungan industrial sebagai pengadilan khusus yang menangani perselisihan terkait hak, perselisihan
kepentingan, dan juga permasalahan
pemutusan hubungan kerja.
Dalam praktis di lapangan tidak jarang terjadi pelanggaran terhadap hak pekerja hingga pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan dan lainnya sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pemerintah dalam hal ini memiliki peran besar untuk hadir dan memberikan perlindungan hukum dalam dunia ketenagakerjaan terhadap hak pekerja outsourcing yang semakin banyak digunakan oleh perusahaan. Salah satu pemenuhan peran pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja outsourcing dapat terlihat dari disahkannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) oleh DPR RI pada tanggal 5 Oktober 2020 yang diundangkan pada 2 November 2020 berdampak pada adanya perubahan beberapa ketentuan dalam perundang-undangan terdahulu, salah satunya yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan (UUK).
Perlindungan hukum bagi para pekerja sangat dibutuhkan, mengingat kedudukan pekerja berada pada kedudukan yang lemah. Terlebih dalam mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, perlindungan hukum menjadi suatu representasi berjalannya fungsi hukum.
Kesimpulan
Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Putusan Mahkamah Konstitusi telah menegaskan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja outsourcing. Menurut pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan terhadap Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 kecuali ayat (7) dan Pasal 66 kecuali ayat (2) huruf (b) UU No. 13 tahun 2003 tidak bertentangan dengan UUD 1945. Artinya, ketentuan selain ayat (7) pada Pasal 65 dan ayat (2) huruf (b) pada Pasal 66 tetap berlaku sebagai hukum positif. Maka, outsourcing merupakan suatu kebijakan usaha yang wajar dalam rangka efisiensi
usaha. Di samping itu, hak-hak pekerja
yang bekerja pada perusahaan
yang melaksanakan pekerjaan
outsourcing tidak boleh dihilangkan. Mahkamah Konstitusi menawarkan dua model outsourcing sebagai bentuk upaya agar pekerja tidak dieksploitasi.
Pertama, mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing tidak berbentuk perjanjian kerja waktu tertentu
(PKWT), melainkan berbentuk
perjanjian kerja waktu tidak tertentu
(PKWTT). Dengan demikian, perjanjian kerja harus melindungi pekerja, mempertahankan tujuan kerja yang sama, bahkan jika
ada perubahan di perusahaan yang melakukan sebagian pekerjaan dari perusahaan lain atau perusahaan yang menyediakan layanan bagi pekerja.
Budiartha, I. (2016). Hukum Outsourcing: Konsep Alih Daya, Bentuk Perlindungan, Dan Kepastian Hukum. Setara Press.
Da, Ady Thea. (N.D.). Mengintip Isi Klaster Ketenagakerjaan Uu Cipta Kerja, Diakses Melalui Https://M.Hukumonline.Com/Berita/A/Mengintip-Isi-Klaster-Ketenagakerjaan-Uu-Cipta-Kerja-Lt5fa14c6fd08ab, Pada Tanggal 27 Februari 2022, Pukul 21.50 Wib.
Philipus M. Hadjon. (2007). Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya:Percetakan M2 Print, Edisi Khusus, 2007) Hlm. 2.
Raharjo, Satijipto. �Ilmu Hukum�, (Bandung: Pt. Citra Aditya Bakti, 2000) Hal. 53. , (2000).
Suyanto, Heru, & Nugroho, Andriyanto Adhi. (2017). Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Pekerja Outsourcing Berdasarkan Asas Keadilan. Jurnal Yuridis, 3(2), 61�74.
Peraturan Perundang-Undangan
Uu Cipta Kerja Dan Pasal 18 Ayat (1) Dan Ayat (2) Pp 35/2021,
Pasal 81 Angka 20 Uu Cipta Kerja
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/Puu-Ix/2011 Tentang Outsourching
Pasal 81 Angka 20 Uu Cipta Kerja
Jurnal
Https://Journal.Uinsgd.Https://Jurnal.Unmer.Ac.Id/Index.Php/Jch/Article/View/5780 Ac.Id/Index.Php/Varia/Article/Viewfile/12607/Pdf_2
Https://Ejournal.Iainpalopo.Ac.Id/Index.Php/Maddika/Article/Viewfile/2481/1658
Copyright holder: Delviola Azhara, Chatarina Dwi Agista (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |