Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 5, Mei 2022

 

MENCIPTAKAN RELASI RUKUN UMAT BERAGAMA DALAM KONTEKS PEKABARAN INJIL (PENGUTAMAAN IMANENSI DAN TRANSDENSI KRISTUS)

 

Slamet Triadi, Edward Sitepu, Daud H Riwu

Sekolah Tinggi Alkitab Tiranus, Bandung, Indonesia

Sekolah Tinggi Teologi Baptis Bandung, Indonesia

STT REM Jakarta, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Kerukunan beragama adalah suatu falsafah yang harus diwujud-nyatakan dalam kehidupan beragama di NKRI yang berdasarkan Pancasila. Semua agama yang ada di Indonesia, kedudukannya adalah sama. Pemerintah telah memberikan batasan-batasan yang jelas, ada kebebasan, tetapi tetap ada batasan dan harus saling menghargai. Dalam konsep pemerintah, semua warga Negara Indonesia sudah membangun kerukunan beragama, karena didasarkan pada Sila Pertama Pancasila, yaitu: �Ketuhanan Yang Maha Esa�. Kosa kata kerukunan bersama dalam hidup berbeda agama di bangsa yang majemuk seperti di Indonesia, kini telah kehilangan pesonanya. Sehingga terjadinya persinggungan secara masif dengan hadirnya ideologi khilafah untuk menggantikan Pancasila. Idiologi yang diinfus dari luar ini yang sejatinya nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara namun muaranya kepada peneapan syariah seperti yang ada di dalam Piagam Jakarta, terus didengungkan. Atas dasar kenyataan ini dan suara-suara yang terus berteriak mengharuskan penetapan syariat agama tertentu telah mengubah solidaritas dan soliditas kerukunan. Kini tergerus. Perlunya mendalami basis teologi yang kuat. Penulis melihat melalui karya ilmiah ini ada upaya menguak kembali guna memahami integrasi imanensi kemanusiaan dengan transendensi yang utuh. Itu hanya dapat dipahami dalam pribadi Yesus Mesias Sang Logos-Sarx.

 

Kata kunci: kerukunan; umat beragama; imanensi; transendensi; Yesus Mesias.

 

Abstract

Religious harmony is a philosophy that must be manifested in religious life in the Unitary State of the Republic of Indonesia based on Pancasila. All religions in Indonesia have the same position. The government has given clear boundaries, there are freedoms, but there are still limits and must respect each other. In the government concept, all Indonesian citizens have built religious harmony, because it is based on the First Precepts of Pancasila, namely: "Belief in One Supreme God". The vocabulary of mutual harmony in the life of different religions in a pluralistic nation like Indonesia has now lost its charm. So that there is a massive intersection with the presence of the caliphate ideology to replace Pancasila. This ideology which is infused from outside, which is actually the values ​​of the life of the nation and the state but which leads to the implementation of sharia as contained in the Jakarta Charter, continues to be echoed. On the basis of this fact and the voices that continue to shout requiring the stipulation of certain religious laws have changed the solidarity and solidity of harmony. Now eroded. The need to explore a strong theological basis. The author sees that through this scientific work there is an attempt to uncover it again in order to understand the integration of humanity's immanence with complete transcendence. It can only be understood in the person of Jesus the Messiah the Logos-Sarx.

 

Keywords: harmony; religious people; immanence; transcendence; Jesus the Messiah.

 

Pendahuluan

Menggambarkan hubungan (relasi) antar pemeluk agama yang ada di Indonesia memerlukan pendekatan yang spesifik dan tinjauannya pun selain diletakkan pada pijakan bersama (common ground). Kenyataan ini pastilah juga memerlukan sebuah perspektif dari atas dan bukan dari bawah. Berbasikan wahyu Allah. Intinya, keragaman keagamaan di negeri ini bukan sesuatu yang tiba-tiba turun dari langit, melainkan menjalani sebuah proses yang panjang. Suatu perjumpaan dan bauran berbagai idiom kemanusiaan dan keilahian sehingga perlu suatu tema sentral yang mempersatukan bangsa yang majemuk ini. Bukanlah suatu kebetulan jika umat kristen di Indonesia hidup di tengah-tengah mayoritas Muslim yang tersebar di berbagai pulau dan kontinen di Tanah Air.� Dari pihak Tuhan Allah, tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan,� Tuhan Allah mempunyai rencana, supaya setiap orang percaya dapat menjalankan tugasnya sebagai saksi, sebagai terang atau garam, yang mampu menerangi atau menggarami bangsa ini sebagaimana IA menghendakinya. Keutamaannya pada cara hidup welas asih.

�� Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana orang percaya di satu sisi bisa menjalankan tugasnya sebagai orang percaya, tetapi di sisi lain ia tetap dapat hidup berdampingan dengan umat berkeyakinan lain dalam� masyarakat yang sangat heterogeny? Ditambah lagi dengan adanya undang-undang, dan berbagai peraturan baik dari Pemerintah, fatwa dari MUI daerah serta Perda di setiap daerah. Kini di tambah lagi dnegan lahirnya UU tentang Penistaan Agama yang sangat mempersempit gerak orang-orang percaya dalam melaksanakan pemberitaan kabar baik/PI.�

�� Di satu sisi selaku pengikut Kristus adalah bagian dari kumpulan orang-orang percaya, tetapi di sisi lain ia adalah bagian dari mayarakat Indonesia yang sangat majemuk. Dua kenyataan dalam satu entitas memiliki kewajiban untuk tetap menjaga ketertiban, kerukunan dan juga stabilitas banga,. Dan berkewajiban untuk saling menghargai dan menghormati pemeluk agama lain selaras dengan jiwa UUD 1945. Pergumulan dari waktu ke waktu meukudkan panggilannya sebagai murid Kristus kisarannya ialah bagaimana orang-orang kristen di Indonesia dapat menjalankan tugasnya, tanpa harus berbenturan dan melanggar semua aturan yang sudah ada di negara ini? Ihwal sedemikian mengarah kepada bagaimana orang-orang kristen dapat hidup berdampingan dengan penganut agama lain.

�� Menggunakan perspektif historis dirasa perlu dalam mencermati fenomena keragaman versus idiologi tandingan dari komunitas berbasis Gerakan khilafah. Sejarah kekristenan dalam lensa budaya manusia juga tidak terlepas dari perjumpaan dengan beragam keyakinan, tradisi keagamaan hingga kekuatan politik. Pengutamaan latar perjumpaan kekristenan dengan agama lain mencerminkan bahwasanya Injil Kristus dan pemberitaan tahun rahmat Allah bertemu dengan sejumlah dalam nilai-nilai dan cara pandang (world view) yang heterogen.

�� Sehingga bukanlah suatu hal baru jika disebutkan makna teks dalam Alkitab bertemu dengan skrip-skrip kultural. Dan itu menunjukkan berbagai konfigurasi bahasa bermakna penebusan, keselamatan dan penciptaan / pemulihan ciptaan. Idiomatik teologis ini� hendak dikomunikasikan sedemikian rupa. Agar transformasi sesungguhnya dapat terwujud. Baik sisi sosial (hubungan antar agama), budaya (wajah kemanusiaan), ekonomi (hayat hidup layak) dan religiositas (syahadat). Pengkomunikasian pesan bermakna dari Kristus Anak Manusia yang Diurapi untuk memberitakan tahun rahmat Allah membutuhkan ruang publik. Dan perjumpaan inilah yang mennjadikan lahirnya �konflik� seperti yang terjadi ketika Paulus berada di mimbar Areopagus (Kis 17), juga saat ia memberitakan Injil ke wilayah Makedonia. Strategi Paulus dalam pemberitaan tidak mencabut akar budayanya.

�� Dan sebelumnya juga terlihat bahwa pendekatan Kristus kepada individu-individu baik kalangan Jahudi dan luar Jahudi seperti orang Samaria tidak terlepas dari penggunaan istilah yang umum dikenali oleh lawan berbicara. Seperti terlihat dalam percakapan dengan Nikodemus (Yoh 3) dan perempuan Samaria (Yoh 4) serta dengan banyak orang (Yoh 9). Kisah perjumpaan Injil ini menarik untuk disimak. Isi beritanya tentang seseorang perlu dilahirkan kembali (Nikodemus). Juga ritus keagamaan sejati bukanlah tempat tertentu tetapi ruang batin (perempuan Samaria), hingga kepada mengenali kausa Allah jauh melmapaui prsoalan dosa individua tau dosa turunan (orang buta sejak lahirnya � Yoh 9).

�� Konteks pemberitaan pada Injil Yohanes akhirnya mengalami perkembangan isinya, seperti diberitakan Paulus di ruang publik masyarakat Athena.di mimbar Areopagus. Penciptaan bagi ruang pemberitaan Injil yang murni berhadapan dengan keberhalaan yang banyak manifestasinya justru membutuhkan perspektif berbeda� dalam implementasinya. Paulus menekankan pemberitaan imanensi (kemanusiaan bersama) dan melanjutkannya dengan transendensi Kristus, Pribadi Kristus yang mengejawantahkan diriNya sebagai sesama bagi yang berdosa kini kembali dalam kemuliaanNya yang ada sejak kekal bersama BapaNya. Deskripsinya adalah integrasi diriNya sebagai pengantara manusia kepada Allah dan sekaligus mewakili Allah dalam membarui wajah manusia agar kembali ke kodratnya semula sebagai citra Allah Pencipta. Kristus menjalankan dua peran sekaligus agar manusia di muka bumi ini mengalami transformasi seutuhnya.

�� (Mu�oz, 2020) menyebutkan, pentingnya pembacaan teks-teks karena memuat makna (: mengena kepada pengalaman terdalam seseorang). Ini mengindikasikan hal yang perlu juga diimplementasikan dalam menjalin hubungan antar pemeluk agama yang harmonis. Injil adalah produk dari Allah sendiri tentang mengapa Yesus datang dalam tubuh manusia (Sauer et al., 2021). Kepentingan Allah dinyatakan dalam kosa kata �pendamaian�. Kata ini memang telah jauh dari kehidupan bangsa Indonesia saat ini, sebab kosa kata yang sudah lama ini tidak lagi sebagai kebutuhan modernitas saat ini dalam kehidupan bersama.� Sehingga, dimensi sosial dalam bingkai kebangsaan sedang dipersempit menjadi aku dan liyan (: yang lain). Kami berbeda dalam keyakinan, tidak sama dalam berpakaian, kami juga berbeda dalam perjuangan. Apalagi syahadat. Frase pendamaian dalam Bahasa teologis tidak hanya melulu dengan Allah tetapi juga ada tautannya dengan sesame yang lain. Dan itu bukan bermakna berjarak melainkan dapat didekati.

�� Simon Sinek, seorang penulis yang mencoba melihat kebesaran pemimpin seperti Martin Luther King, Jr, Steve Jobs hingga Wright bersaudara mendapatkan esensi diri tokoh tokoh ini yang menginspirasi untuk berpikir, bertindak dan berkomunikasi. Dan hasilnya dengan cara yang sama pada ketiga tokoh ini. Lebih jauh Sinek menimpali temuannya, orang yang benar-benar memimpin adalah orang yang bisa menciptakan pengikut yang bukan bertindak karena bujukan, tetapi karena terinspirasi. Sama seperti teks-teks Alkitab itu sendiri adalah ilham Roh Allah, aspek pemberitaan kabar baik akan menginspirasi seseorang itu karena rohnya sedang menantikan apa isi pesan ultim yang dimaksudkan Roh Allah baginya.

 

Metode Penelitian

Konstruksi sosial mengedepankan metode dan analisis sosial pada domain hubungan antar umat beragama menggunakan pendekatan budaya� Penciriannya kepada adanya sumbatan dalam perujudan eksistensi diri yang selama ini dibangun sedemikian rupa. Kenyataan merupakan rantai belenggu dan itu berpengaruh kepada penciptaan relasi kepada pemeluk agama lainnya. Kosa kata hubungan antar sesame kendati berbeda keyakinan dalam satu falsafah hidup bersama secara ideologi sedang mencari jalan baru. Upaya menciptakan perjumpaan eksistensial dan berharap dapat menghasilkan nilai kebersamaan yang baru.Nilai bersama itu adalah siapakah sesamaku itu sesungguhnya? Dan bagaimana diriku dapat menjembatani keterpisahan yang ada selama ini dalam relas sosial?

����������� Atas dasar kepentingan ini maka. Kemudian menarik ke dalam perspektif imanensi dan transedensi Kristus, sebab Ia adalah being Allah sejak semula sebelum segala sesuatu ada (Sauer et al., 2021). Pengutamaannya karena Kristus, Firman dan Roh Kehidupan bagi manusia keseluruhan pun mengalami penolakan atas keberadaan-Nya. Ini menggambarkan adanya anomali pemahaman keberadaan manusia Indonesia karena belum terpenuhinya penyelarasan hal imanensial dengan transendensial. Bahasa keagamaannya bagiaman manusia dapat kembali kepada kodratnya yang semula sementara dirinya masih di fase iradat? Pelukisan skema metodologisnya sebagai berikut.

 

 

 

 

 

Gambar 1

Problema Metodologi Hubungan Antar Umat Beragama

 

Pattern metodologis awal sebagai pendekatan memahami fenomena yang dituliskan di artikel ini mendasarkan diri kepada eksistensial diri selaku ornag percaya yang diutus pergi untuk menjangkau saudaranya yang dalam masa transisi serta di persimpangan jalan. Keutamaannya adalah ornag percaya dapat move on� kepada liyan itu agar idiomatiknya diubahkan menjadi dia saudaraku.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Sejarah Masuknya Islam di Indonesia

Agama Islam sesungguhnya sama seperti kekristenan, yaitu agama yang berasal dari luar, cuma mungkin masuknya ke Indonesia relatif lebih awal jika dibandingkan dengan kekrisenan. Beberapa tokoh Islam merasa bahwa agama Islam sudah masuk ke Indonesia pada abad ketujuh sebab diperkirakan bahwa pada tahun 674 M pedagang-pedagang Arab sudah mulai bermukim di pantai Barat Sumatra.� Tetapi penulis merasa bahwa belum ada fakta yang kuat yang menyatakan bahwa mereka itu muslim. Sebab sekitar abad ketujuh Arab belum tuntas di Islamkan oleh Muhammad dan pengikut-pengikutnya.

Rentang waktu masuknya Islam ke Indonesia dengan masuknya kekristenan sesungguhnya tidak terlalu jauh berbeda, sebab beberapa pelancong pernah menemukan beberapa prasasti di pemakaman umum di Sumatra, dan dari prasasti itu diperkirakan bahwa kekristenan sudah masuk ke daerah Sumatra sebelum abad ketiga belas.�� Sebab Islam masuk ke Indonesia sekitar abad sebelas (XI). Dan akhir abad ketiga belas barulah berdiri Kerajaan Islam di Nusantara ini, yang pertama adalah Kesultanan Samudra Pasai�� di Aceh, yang terletak di Aceh Utara, tepatnya di Lhokseumawe, yaitu pada tauhn 1297.� Jika dilihat dari segi waktu, sebenarnya agama Hindu dan Budha jauh lebih awal masuk� ke Indonesia dibandingkan dengan agama Islam. Cara Islam masuk ke Indonesia, sudah dipelajari disekolah-sekolah umum, yaitu mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Lanjutan� Tingkat Atas (SLTA). Islam masuk ke wilayah Nusantara yaitu melalui para pedagang dari Arab (khususnya Hadramaut), Persia, Gujarat di India barat yang tujuan utamanya datang ke berbagai pulau di wilayah Nusantara ini untuk berdagang, yaitu pada abad kesebelas (XI). Para pedagang ini datang ke berbagai kota pesisir Nusantara, seperti Aceh, Demak, Cirebon, Gresik dan kota-kota pesisir lainnya.� ��Tetapi ternyata pada akhirnya ketika mereka sudah memiliki hubungan yang baik dengan para penguasa atau raja wilayah, mereka pun mulai melakukan syiar agama kepada para penguasa tersebut, dan sejarah mencatat tidak sedikit dari para penguasa itu yang pada akhirnya memeluk agama Islam, dan setelah para raja atau penguasa memeluk agama Islam, dan kemudian para penguasa tersebut menyarankan dan mewajibkan rakyatnya untuk memeluk agama Islam juga, maka kemudian berdirilah kerajaan-kerajaan yang berbasis Islam, terutama kerajaan-kerajaan yang berada di wilayah pantai.

1.   Aliran Islam di Indonesia

Jumlah umat Islam di Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan umat Islam di negara-negara Islam lainnya, baik yang ada di Asia maupun Timur Tengah.� Dari sekitar 270 juta penduduk Indonesia, diperkirakan penganut agama Islamnya mencapai 200 juta jiwa. Dan jumlah penduduk muslim sebesar ini terbagi dalam banyak aliran atau organisasi Islam, mulai dari organisasi yang diakui pemerintah sampai dengan organisasi-organisasi yang tidak diakui, diantaranya adalah aliran Islam Ahmadiah yang sempat namanya mencuat, sebab dianggap tidak legal dan sesat oleh aliran-aliran Islam lainnya, mungkin salah satu penyebabnya adalah karena mereka mengakui nabi lain selain Muhammad, yaitu yang bernama Gullam Ahmad.

Banyaknya aliran Islam di Indonesia sebenarnya dapat dipahami yaitu karena adanya penafsiran atau pemahaman yang berbeda, baik tentang Al-Quran maupun kitab-kitab lainnya, dan penulis merasa bahwa hal itu adalah suatu kewajaran dari jumlah penganut yang sedemikian besar.� Sebab hal yang sama juga terjadi dengan kekristenan, yang sebenarnya dari segi jumlah penganutnya di Indonesia ini masih jauh di bawah Islam, tetapi jumlah organisasinya sudah mencapai ratusan organisasi.

Aliran Islam di Indonesia dapat diklasifikasikan dalam beberapa cara, misalnya Islam moderat seperti Muhammadiyah dengan Islam fundamental seperti NU. Atau berdasarkan asal-usulnya yaitu Syiah dan Sunni. Syiah di Indonesia memang jumlahnya tidak terlalu banyak dibandingkan Sunni, tetapi Islam yang pengikutnya banyak berasal dari keluarga Nabi Muhammad ini tetap eksis. Diperkirakan jumlah keturunan nabi Muhammad yang sudah mencapai generasi ke 43-45 ini di seluruh dunia pada saat ini mencapai 20.000.000. jiwa dan 2.000.000. jiwa berada di Indonesia, dan mereka dapat dikenali dengan mudah sebab mereka mengenakan gelar Habib, terutama untuk para ulamanya.

B.      Peraturan yang Mengatur Keagamaan di NKRI

Bangsa Indonesia dan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah salah satu bangsa atau negara di dunia ini yang sangat rentan terhadap perpecahan atau disintegrasi, sebab selain terdiri dari banyak suku bangsa, dipisahkan oleh lautan dan terdiri dari banyak pulau, dan juga banyak agama.� Itulah sebabnya pemerintah Indonesia� sudah membuat suatu aturan yang mengatur lembaga keagamaan di Indonesia.

 

 

1.   Pancasila

Soekarno dan Soeharto secara fundamental memiliki pandangan politik yang berbeda, tetapi dalam hal Pancasila, mereka memiliki pandangan yang sama, hal ini nampak ketika Presiden RI yang kedua ini menyatakan pandangan dan isi hatinya tentang Pancasila.

Pancasila yang secara resmi ada dalam UUD 1945 bersumber pada nilai-nilai luhur yang selama berabad-abad telah menjadi bagian sejarah dan kebudayaan Indonesia. Dalam salah satu sambutannya presiden Soeharto pernah berkata: �Kita tidak mempunyai keraguan sedikitpun mengenai kebenaran Pancasila bagi kebaikan, kebahagian dan keselamatan kehidupan bangsa kita.� Pancasila telah mengalami banyak ujian, bahkan sampai saat ini.� Benar bahwa telah ada berbagai usaha�beberapa diantaranya bahkan menggunakan kekerasan�untuk mencabut Pancasila dari hati Rakyat Indonesia, ada berbagai usaha untuk mengganti filsafat negara ini dengan filsafat yang lain.� Usaha ini selalu digagalkan oleh rakyat Indonesia sendiri. Ini menunjukan bahwa Pancasila benar-benar telah menjadi bagian kehidupan bangsa ini. Pancasila adalah jiwa dari kita semua, jiwa dari semua rakyat Indonesia. Pancasila telah menjadi soal hidup atau mati bangsa.

�Pancasila juga telah menjadi dasar Negara ini, yang juga merupakan dasar dari semua undang-undang, hukum serta peraturan yang ada di dalam bangsa ini. Sudah diketahui oleh semuanya, terutama bangsa Indonesia bahwa berdirinya bangsa Indonesia didasarkan pada lima dasar atau lima sila, yang disebut Pancasila (panca = 5 dan sila= dasar). Dan dalam Sila yang pertama jelas sekali dikatakan bahwa bangsa dan negara Indonesia didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.� Pengertian penulis adalah bahwa setiap warga negara Indonesia wajib berke-Tuhan-an atau dengan kata lain setiap warga negara Indonesia wajib menganut salah satu agama dari sejumlah agama yang sudah dinyatakan sebagai agama yang sah di Republik ini.� Jadi termasuk di dalamnya adalah Agama Kristen atau kekristenan.� Jadi dengan demikian menganut agama Kristen adalah sah menurut Pancasila, sebab beragama� atau menganut salah satu agama yang sudah dinyatakan resmi ini merupakan salah satu� kewajiban seluruh bangsa Indonesia.

2.   Undang-Undang Dasar 1945

Di dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu dalam Bab XI� Pasal 29 dikatakan sebagai berikut

Ayat 1.� Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ayat 2.� Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk� untuk memeluk agamanya

masing-masing� dan untuk beribadah menurut Agama dan Kepercayaannya itu

���� Isi Undang-Undang Dasar 1945� Bab XI� pasal 29 ayat 2 di atas, menurut pemahaman penulis adalah, pertama,� setiap warga negara Indonesia diberi kebebasan untuk memilih salah satu agama resmi, menganutnya dan juga menjalankannya sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.

Kedua, kebebasan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing adalah memiliki pengertian bahwa setiap pemeluk agama yang sah diberi kebebasan untuk menjalankan syariat agama mereka, apapun agamanya, termasuk keKristenan.� Ini berarti setiap warga negara Indonesia yang beragama Kristen diberi kebebasan untuk berdoa, untuk beribadah pada hari minggu atau hari-hari lainnya, tanpa rasa takut, bahkan untuk bersaksi, menyaksikan keyakinannya kepada setiap orang, tanpa paksaan atau intimidasi, sebab menurut umat Kristiani bersaksi adalah bagian dari ibadah. Dan menurut penulis, bersaksi adalah sah selama tidak memaksa orang atau mengintimidasi orang untuk menjadi Kristen, sebab jelas sekali bahwa hal itu dijamin oleh� UUD 1945 yang merupakan undang-undang tertinggi di negara ini, dan merupakan dasar hukum tertinggi atas merupakan landasan dari semua peraturan yang ada dan dibuat di negara ini.

3.   Ketetapan MPRS RI

Ketetapan MPRS RI No. XX/MPRS/1966 mengatakan bahwa suatu peraturan �harus berdasar dan bersumber dengan tegas pada peraturan perundangan yang berlaku, yang lebih tinggi tingkatannya.�� Dan di Negara ini Pancasila dan UUD 1945 adalah ketentuan yang tertinggi, berarti semua ketentuan dan peraturan harus mengacu kepada Pancasila dan UUD�45. Dan baik Pancasila maupun UUD�45 menjamin dengan tegas kebebasan� untuk beragama, kebebasan untuk menjalankan syariat agama, sesuai dengan ketentuan agama masing-masing.

4.   Surat Keputusan Menteri

Sehubungan dengan ibadah dan syiar agama menteri agama dan menteri dalam negeri, serta Kejaksaan Agung, telah banyak mengatur hal itu, salah satu keputusan menteri Agama dan menteri dalam negeri, yaitu yang tertuang dalam Keputsan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.01/BER/MDN-MAG/1969 Tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintah dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya. Pasal 1. Kepala Daerah memberikan kesempatan kepada setiap usaha penyebaran agama dan ibadat oleh pemeluk-pemeluknya, sepanjang kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku dan tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum (SKB 2 Menteri ini terlampir).�����

���� Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No.70 Tahun 1978. Tentang Pedoman Penyiaran Agama. Dalam keputusan tersebut poin pertama dikatakan bahwa:� Untuk menjaga stabilitas Nasional dan demi kerukunan umat beragama, pengembangan dan penyiaran agama supaya dilaksanakan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, teposeliro, saling menghargai, hormat-menghormati antar umat beragama sesuai jiwa Pancasila.

C.  Beberapa Metoda PI di Pulau Jawa Tahun 1800-1942

Tokoh Kristen Indonesia yang dimaksudkan disini, tidak hanya mengarah kepada orang-orang Kristen pribumi saja, tetapi juga orang-orang Eropa, Amerika atau Asia yang menjadi tokoh Kristen setelah mereka tinggal dan menetap di negeri ini.

1.   Emde, Surabaya (1774-1859)

Emde adalah seorang Jerman yang merantau ke Indonesia. Ia adalah seorang Pietis yang telah mengalami Revival dari Jerman, yang berlayar ke Indonesia untuk membuktikan Kejadian 8:22 tentang musim dingin dan musim panas, apakah hal ini sesuai dengan keadaan di daerah Khatulistiwa. Ia menetap di Surabaya dengan pekerjaan sebagai tukang jam atau arloji. Pada suatu saat ia dikunjungi oleh Joseph Kam, pada saat itu Kam sedang dalam perjalanan menuju Maluku, dan dari perjumpaannya dengan Kam,� menyebabkan semangat misionaris Emde dibangkitkan pada saat itu.� Pada tahun 1815 Emde mendirikan suatu perkumpulan pekabaran Injil di Surabaya dan mengadakan pertemuan-pertemuan di rumahnya.� Ia memperoleh materi PI dari Bruckner rekan sepelayanan� Joseph Kam yang melayani di Semarang, dan kemudian bergabung dengan misi Baptis yang didirikan oleh William Carey.

Pelayanan yang dilakukan oleh Emde, pada awalnya kelihatan tidak membawa hasil, sebab ia biasa hanya melakukan, menampilkan brosur atau membagikannya kepada orang-orang yang ditemuinya. Tetapi disamping itu ia pun tetap mengadakan perkumpulan ibadah di rumahnya.� Apa yang dilakukan Emde di anggap sebagai ancaman bagi gereja Protestan Indonesia pada saat itu, sehingga ia dilaporkan kepada pemerintah Hindia-Belanda, sehingga ia meringkuk dalam tahanan selama beberapa minggu,� tahun 1820.�

Orang-orang yang biasa hadir dalam persekutuan yang diadakan Emde, adalah orang-orang jawa yang tinggal di kota, mereka biasanya bekerja atau menjadi pembantu di keluarga Eropa.� Emde berpendapat bahwa mereka yang sudah menerima agama Eropa harus menerima juga adat kebiasaan Eropa. Mereka harus memotong rambut, melepas sarungnya dan menggantinya dengan celana, melepas keris yang biasanya selalu terselip dipinggang mereka, mereka tidak boleh mengadakan selamatan,� tidak boleh menonton� wayang, mendengarkan gamelan dan melepaskan segala sesuatu yang masuk dalam kategori kedaerahan, sebab hal itu dianggapnya bagian dari �kekafiran� jadi pada intinya pengajaran Emde menggabungkan kekristenan dengan budaya Eropa.

2.   Coolen di Ngoro (1775-1873)

Ia lahir dari keluarga Belanda-Rusia, tetapi ibunya putri� bangsawan Jawa, dari� ibunya ini ia mewarisi tradisi kebudayaan Jawa, sehingga ia menguasai gamelan, tarian Jawa dan, kesenian� wayang (dalang). Pada tahun 1827� ia menerima pemberian sebuah lokasi yang sangat luas ,tetapi masih hutan belantara, jaraknya kurang lebih 60 km dari kota Surabaya.�� Pembukaan� areal hutan itu berhasil dengan baik, sehingga banyak orang Jawa datang ke lokasi itu dan oleh Coolen diberi sebidang tanah dengan syarat yang sangat ringan.� Beberapa saat kemudian dari hasil kerja keras Coolen beserta anggota masyarakatnya, maka Ngoro menjadi desa yang makmur, sehingga pada saat terjadi kelaparan Ngoro bisa membagi beras kepada ribuan orang di Jawa Timur.�

Sekalipun Coolen seorang Kristen Ia tidak pernah memaksa orang termasuk warganya untuk menjadi Kristen. Dan untuk orang Muslim yang ada di desanya, yaitu Ngoro,� Coolen memerintahkan mereka untuk membangun sebuah Mesjid, tetapi di dalam memimpin desanya, sang pamong ini,� ia berlaku sebagai seorang Kristen. Bahkan jika Coolen diminta untuk membuka alur bajak pertanian, maka ia akan memegang alat bajak itu sambil menyanyikan tembang Jawa. �Oh gunung semeru, oh dewi Sri, berkatilah karya tangan kami dan di atas segala-galanya kami pohonkan karunia dan kekuatan dari Yesus yang kekuasaannya tiada tara.�

Kesaksian� orang yang pernah datang ke Ngoro adalah orang-orang yang tersisih dari masyarakat karena perbuatannya yang tidak terpuji. Dan sang pamong Ngoro itu mengijinkan mereka tinggal di Ngoro dengan menunjukkan jalan kebenaran, supaya mereka memperbaiki diri, dan kepada masyarakatnya sang pamong mengajarkan �ilmu Kristen� yaitu tentang kelepasan manusia dari dosa oleh Juruselamat dunia yaitu Yesus Kristus.

Setiap hari minggu Coolen mengadakan kebaktian di pendopo rumahnya.� Dalam ibadah tersebut ia berdoa dan membacakan satu pasal dari� Alkitab, lalu jemaat selanjutnya setelah selesai ibadah, atau pasamuan jemaat menghabiskan waktnya untuk main gamelan, berzikir yaitu menghafal dan mengulangi doa-doa Kristen yang dihafalkan.� Dan jika ada orang yang minta diajari ilmu Kristen yang baru.� Maka Coolen juga pada hari minggu setelah perjamuan� akan mengajarkan ilmu Kristen kepada mereka yang memintanya�� Dan dengan demikian terbentuklah jemaat Kristen pada saat itu.

Setelah terbentuk jemaat, Coolen membentuk struktur kepengurusan dengan� mengangkat seorang� �pengantara jemaat,�� Kyai penghulu, setingkat guru jemaat, atau pendeta pembantu�,� yang akan bekerja di bawah koordinasinya.� Tetapi jemaat Coolen dan juga Coolen sendiri tidak menjalin hubungan dengan� gereja Protestan Indonesia yang berada di Surabaya, dan Coolen tidak melaksanakan sakramen baik baptisan maupun perjamuan Kudus.

Jemaat Ngoro ini dari hari ke� sehari semakin banyak dibicarakan orang dari desa-desa di sekitar Ngoro, demikian juga tentang �Ilmu Kristen� nya Coolen, sehingga banyak orang untuk mengadu ilmu dengannya,� dan jika mereka kalah, mereka akan berguru �Ilmu Kristen� kepada Coolen.� Dan konon Coolen juga menguasai ilmu kanuragan yang cukup tinggi sehingga ia sangat disegani oleh jawara-jawara pada jamannya.

Dalam pemberitaan Injil yang dilakukannya, Coolen sangat berbeda dengan Emde.� Sebab Coolen memberi tempat pada nilai-nilai budaya Jawa dan Religiusitas Jawa yang sudah bercampur dengan keyakinan Hindu, Budha dan Islam.� Dan hal itu teradopsi ke dalam kekristenan Ngoro.� Sedangkan Emde justru sebaliknya, ia menolak religiusitas Jawa yang sudah bercampur dengan agama yang datang ke tanah jawa, seperti Hindu, Budha, dan� Islam, bahkan ia menolak tegas semua kultur jawa, sebab ia menganggapnya �berhala� dan sebaliknya sepertinya ia menganggap kebudayaan Barat identik dengan kebudayaan Kristen.� Itulah sebabnya ia memisahkan kebudayaan Eropa dalam kekristenan, sementara Coolen� menolak tegas kebudayaan Eropa, sampai pada suatu saat ia mengusir paulus Tosari dan juga Bapak Dasima karena dianggapnya sudah terkontaminasi Budaya Eropa.

Tetapi ada persamaan antara Emde dengan Coolen yaitu minat mengasihi orang-orang pribumi, dan mereka tidak pernah menganggap orang pribumi lebih rendah.

3.   Paulus Tosari (1813-1882)

Ia seorang pribumi yang pernah belajar di pondok pesantren, tetapi pada suatu saat ia mengalami krisis dan pada akhirnya ia belajar tentang �ilmu Kristen� dari Ngoro.��� Kemudian ia menjadi seorang Kristen dan pindah ke Ngoro.�� Perkataan Tuhan Yesus dalam Matius 5:3 menjadi pegangan di dalam hidupnya. Oleh Coolen, ia diberi tugas untuk memimpin perkumpulan pada hari minggu dan kamis malam.� Ketika Coolen menjadi sangat marah terhadap jemaatnya yang sudah dibaptis dan mengadopsi budaya Belanda dalam hidupnya, sehingga ia mengusir mereka dari desa Ngoro dan kemudian Tosari dengan pengikut-pengikutnya memakai sebuah hutan yang dianggap angker pada saat itu.� Ia dan rekan-rekannya mendirikan desa baru yang diberi nama Mojowarno pada tahun 1844 dan Tosari menjadi guru jemaat selama beberapa tahun, dan tata ibadahnya mengikuti tata ibadah Barat.

Ketika NZG mendapat ijin dari pemerintah Hindia Belanda untuk melakukan pelayanan di Pulau Jawa, maka NZG� mengutus utusan Injil pertamanya di Jawa yaitu Jellesma di Surabaya, tetapi karena faktor-faktor tertentu ia berpindah ke Mojowarno.� Selama di Mojowarno, Jellesma tidak mengambil alih kepemimpinan dari Tosari.� Dan Tosarilah yang tetap menjadi pemimpin jemaat di Mojowarno.� Dan� Jellesma bersama Tosari membaptis ribuan jemaat dan mendirikan� �lumbung orang-orang miskin�,� jemaat mengumpulkan padi pada musim panen, kemudian dipinjamkan kepada orang miskin atau berkekurangan, bahkan jika perlu diberikan tanpa penggantian.� Dan� kehadiran Jellesma sangat membantu pelayanan Tosari di Mojowarno dan sekitarnya, itulah sebabnya kerja sama mereka berlangsung dengan sangat baik.� Pada saat itu mereka juga mendirikan� sekolah rakyat dan� mendidik pemuda-pemudi untuk menjadi guru sekolah rakyat dan� merangkap guru jemaat.

4.   Tunggul Wulung (1803-1805)

Nama asli Tunggul Wulung adalah Ngabdullah atau Kyai Ngabdullah.� Pada suatu saat� ketika Jawa Tengah mengalami masa kesulitan pangan atau �paceklik� penduduk� Jawa Tengah mengungsi ke jawa Timur.� Termasuk Kyai Ngabdullah dari Juwano ( dekat gunung Muria).� Sesampainya di Jawa Timur Kyai Ngabdullah bertapa di Gunung Kelud, rupanya oleh masyarakat setelah ia bertapa dianggap �ketitisan� atau merupakan perwujudan dari seorang tokoh pada jaman Joyoboyo, yaitu seorang Jendaral yang bernama Tunggul Wulung.� Dan pada masa ia berada di Jawa Timurlah ia berkenalan dengan agama Kristen, terutama setelah ia �turun gunung� dari gunung Kelud.�

Cara Tunggul Wulung belajar kekristenan tidak diketahui dengan pasti, tetapi Gunung Kelud tempat ia bertapa tidak jauh dari Ngoro dan Mojowarno.� Dan beberapa tahun kemudian� ia dibaptis oleh Jellesma dan diberi nama Ibrahim,� Tunggul Wulung sangat bersemangat dalam pemberitaan Injil, ia sering mengadakan perjalanan keluar kota untuk melakukan Pekabaran Injil, diantaranya ke Pasuruan,� Rembang, Malang, kawasan Gunung Muria dan juga Jawa barat.� Di beberapa daerah ia mendirikan jemaat-jemaat baru dan diperkirakan, selama sepuluh tahun ia berkeliling tanpa mengenal lelah,�� bahkan sampai akhir hayatnya,� dan diperkirakan ketika ia meninggal, ribuan orang telah dibawanya kepada Kristus. Tunggul Wulung menganggap apa yang telah dilakukan Coolen dan Paulus Tosari adalah baik yaitu jika jemaat di relokasi di suatu tempat dan kemudian dipimpin oleh pamong Kristen,� pemikirannya jemaat� menggunakan cara ini akan terhindar dari banyak kesulitan, diantaranya kerja rodi.� Itulah� sebabnya ia bekerja sama dengan zending menonit menggunakan cara ini di gunung Muria.� Tunggul Wulung dikenal sebagai orang Kristen yang lemah lembut, sebab ia memegang Matius 5:5 menjadi pegangan hidupnya �Orang-orang yang lemah lembut akan memiliki bumi� tetapi terhadap orang-orang Eropa ia tidak mau berjongkok apabila menghadap mereka, apalagi jika orang Eropa itu seorang Zending, itulah sebabnya semasa pelayanannya ia sering dikecam oleh orang lain, baik pemerintah Hindia Belanda, Gereja Protestan Indonesia, dan juga para zending.�� Jans berkata� Kyai Ibrahim atau Tunggul Wulung menyanjikan Injil sebagai suatu �ilmu,� ia bersama-sama pengikutnya berfikir, memakai cara-cara dukun untuk mendoakan orang-orang sakit, menggunakan rumah-rumah Kristen untuk mendoakan orang sakit seperti doa Bapa kami.� Tetapi tepat� juga apa yang dinyatakan Van den End atas penilaian Jansz terhadap Tunggul Wulung ini

�Adalah sulit untuk menilai tuduhan-tuduhan semacam ini.� Mungkin juga kerkistenan Tunggul Wulung mempunyai cara-cara sinkretisme (percampuran agama).� Tetapi baiklah kita ingat akan perkataan Kraemer: seorang Jawa yang memiliki �ilmu� akan merahasiakannya, tetapi orang-orang Jawa Kristen itu justru menyebar-luaskan �ilmu� mereka yang baru; hal ini� menunjukkan bahwa Roh telah mulai membaharui pemikiran mereka, betapapun besarnya pengaruh lingkungan Jawa atas pemikiran itu.

Setelah kematian Tunggul Wulung sebagian jemaat beralih ke Zending Menonit, tetapi sebagian lagi terutama di wilayah Jawa Tengah bagian Selatan, masih memelihara tradisi Tunggul Wulung.� Kelompok ini dipimpin oleh muridnya yang bernama Zadrah.

5.   Sadrah (1840-1924)

Sadrah lahir di daerah antara Demak dan Jepara dengan nama kecil Radin, ia lahir dari kalangan Islam abangan.� Tetapi ia memiliki minat yang besar untuk mempelajari agama.� Itulah sebabnya sebelum ia menjadi Kristen, ia� berguru dari pondok pesantren yang satu ke pondok pesantren yang lain.� Dengan tekad memperoleh ngelmu yang� sejati dan tinggi.�� Dalam pencariannya� ini ia bertemu dan berkenalan dengan Pak Kurman, atau nama lainnya� Sis Kanoman seorang guru ngelmu yang pernah dikalahkan oleh Kyai Tunggul Wulung, dan akhirnya Radin diantar untuk berguru kepada Kyai Tunggul Wulung,�� dan setelah beberapa� saat berkenalan� dan berguru kepada Kyai Ibrahim Tunggul Wulung, ia oleh Sang Kyai disarankan untuk pergi ke Batavia menemui Mr. F.L. Anthing.� Di Batavia inilah Radin yang nama lengkapnya Radin Abas di baptis oleh seorang Pendeta Belanda dari Indiche Kerk dan menerima nama Baptis Sadrah.� Setelah ia berguru kepada Mr. F.L. Anthing dan kemudian dibaptis, akhirnya ia� kembali ke Jawa Timur dan Jawa Tengah dan menginjil di daerah Bagelen,� Purworejo membantu Nyonya Philip Stevens.�

Pada tahun 1870� ia merintis dan memimpin persekutuan di Karangjoso, masih di Karesidenan Bagelen.� Pada saat itu banyak orang Purworejo tidak mau tinggal dan bermukin di desa tersebut, karena desa itu dianggap angker.� Dan justru Sadrah menetap disana untuk membuktikan bahwa ia tidak� memiliki ilmu kesaktian.��� Metode yang Sadrah gunakan adalah berdiskusi dan berdebat dengan orang-orang yang haus akan kebenaran dan dia selalu menang.

Ketenaran Sadrah sebagai guru yang berwibawa di daerah yang dulunya merupakan bekas daerah Pangeran Diponegoro, menyebabkan semakin banyak orang-orang yang mengikutinya dan berguru kepadanya dan rupanya hal ini menjadikan Pemerintah Hindia Belanda selalu waswas akan sepak terjangnya, sebab mereka berfikir, Sadrah terlalu populer kemudian banyak� orang Islam yang mengikutinya pasti hal ini akan menimbulkan masalah, terutama yang datang dari pihak penganut agama Islam, dan jika terjadi keributan mesti akan merepotkan Pemerintah Hindia Belanda.� Itulah sebabnya pemerintah Hindu Belanda berusaha bagaimana caranya bisa meredam popularitas dan pelayanan Sadrah.

Banyak hal negatif telah dituduhkan kepadanya, dan justru hal itu datangnya bukan dari orang-orang yang tidak percaya Tuhan, tetapi justru dari pihak GPI, dari para Zending, para Pendeta, dan Pemerintah Hindia Belanda yang notabene beragama Kristen, dan hal ini sempat menjadikan Sadrah harus diadili dan dipenjarakan.� Tetapi keberanian dan kegigihan Kyai Sadrah ini luar biasa, terutama dalam mengurus dan memperjuangkan keberadaan umat Kristen sebagai umat yang merdeka.� Bukan hamba orang Belanda,� istilah yang dia pakai �Kristen merdeko�, seperti halnya Tunggul Wulung, ia tidak pernah mau berjongkok di hadapan orang Barat, termasuk para pejabat dan Zending.� Dan hal ini juga yang telah memicu dia disebut sebagai� pembangkang dan pemberontak sombong, bahkan pernah ia diisukan mengaku sebagai Kristus atau Imam Mahdi, menanggapi fitnah tersebut Sadrah dan pengikutnya hanya berserah kepada Sang Kristus yang dilayaninya itu .

Kejadian yang sangat memukul dalam hidupnya adalah ketika Ny.Philip Stevens meninggal dunia, seorang penginjill wanita yang telah menjadi� guru dan orang tuanya.� Kedua,� kematian Pastor Wilham,� Zending dari NGZV yang sudah dia anggap sebagai teman dan seperti anaknya sendiri.

Cita-cita hidup Sadrah adalah membangun jemaat Kristus� yang mardeko dan menjadi Pendeta yang mardeko.� Dan pada masa tuanya FL. Anthing yang adalah gurunya ketika ia masih muda, mentahbiskan dia sebagai Pendeta Mardeko bagi jemaat Tuhan di Karangyoso.�

Kyai Sadrah memimpin kekristenan Jawa, pertemuan-pertemuan gereja dilakukan setiap hari Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, adat istiadat Jawa dipelihara dan di kembangkan serta disesuaikan dengan kekristenan.�� Nama lain yang digunakan adalah Suropranoto, artinya berani mengatur.� Ia mengembangkan kekristenan Jawa� untuk� membedakannya dari kekristenan Belanda.� Ia bekerja sama dengan para Zending NGZV hanya dalam hal Baptisan dan Perjamuan Kudus.�

D.  Gerakan Keagamaan Berwajah Penolakan dan Kekerasan Massa

�� Pembentukan Pam Swakarsa oleh Wiranto sebagai upaya untuk melakukan resistensi melawan pergerakan reformasi pada akhirnya mengalami kebablasan dan berujung kepada hilangnya kendali atas paham ini. Mereka kini menggunakan jubah keaagamaanya dengan mengusung kebenaran tunggal bahkan ingin menggantikan ideologi Pancasila yang sudah final sebagai permufakatan bangsa. Dengan melihat kepada berbiaknya ideologi ini, dan payung hukum yang saat itu belum dirumuskan, maka pertarungan antara Pancasila vs khilafah menyisakan banyak persoalan hingga kini. Seperti realita terkini dengan slogan mereka menolak dan hendak mengganyang PKI melalui UU HIP, telah menjadikan slogan mereka (FPI yang nota bene tidak mengakui Pancasila) sedemikian ini sarat� dengan kepentingan politis.

�� Terpaparnya banyak ASN serta aparat TNI/POLRI dalam perebutan kekuasaan baik sejak pemilihan Pilkada Jakarta dan Pilpres 2019 silam untuk kemudian menggoreng isu keagamaan di kalangan agama kebanyakan. Isu ini akhirnya sebagai ideologi halal dan yang bukan seakidah haram hukumnya, Ironi ini terjadi karena sihir pilkada sebuah fenomena kebangsaan yang telah melupakan jati dirinya sebagai bangsa yang beragam. Tidak tertutup kemungkinan di masa silam� ada yang bermain pada dua kaki, satu di pusat kekuasaan dan satunya di pergerakan umat. Kenyatan ini telah membawa bangsa ini membuang energi yang besar untuk hal-hal tidak produktif bahkan tidak konstruktif. Banyak kasus perusakan dan penutupan gereja di berbagai daerah menunjukkan bangsa ini sedang mengalami penyakit sosial dalam hubungan antar pemeluk agama. Dan tentunya berakibat kepada dimensi lain dari kehidupan bersama. Termasuk melupakan dan mengabaikan Pancasila sebagai nilai bersama.

E.  Menciptakan Hidup Rukun Selaku Umat Beragama

�� Agama adalah upaya manusia dengan akal budinya untuk mencari Allah dan mempengaruhi Allah dengan ritual keagamaannya. Esensi pencarian ini merefleksikan dirinya hendak mengalami bagaimana sesungguhnya mengatasi kontraksi batinnya yang belum terselesaikan. Mengalami tuduhan dan intimidasi mencerminkan kehilangan damai dalam batin terdalamnya, sirnanya ketenangan jiwa dan pikiran. Kemudian pencarian itu dimungkinkan dengan berbagai upaya manusia agar ia mengalami pembenaran dari kedurhakaannya.

�� Rasul Paulus yang adalah mantan aktifis keagamaan dan mengalami perjumpaan unik, perjumpaan khusus oleh jamahan kemilau Yesus dalam perjalanan ke Damsyik akhirnya menjadi hamba Kristus dan menjadi rasul Injil ke bangsa-bangsa non Jahudi. Determinasinya untuk meluaskan pemberitaan Injil Kristus oleh iman� dan kepada iman sebab hanya dapat dibenarkan karena iman (Lee, 2010), merupakan penciptaan platform kerygma yang memuat anugerah/kasih karunia kepada orang berdosa.

����������� Meluaskan isi Injil dalam kerangka dialog substantif dinyatakan Paulus dalam Kisah 17:22-31 oleh Eckhard J. Schabel� mencerminkan adanya persuasi bahkan penetrasi yang mengena kepada bangunan filosofis orang Athena saat itu. Khotbah ajakan ini dibagai ke dalam tiga susbtansi, pertama exordium (pengantar), argumentatio (narasi logis disertai bukti dan ketiga, peroratio (simpulan). Metode yang dilakukan Paulus ini memberikan petunjuk bahwa ketika pemberita Injil hendak memasuki suatu world view target bagi Injil, hendaknya memperhatikan hal-hal berikut;

v Terdapatnya hal-hal kontradiksi dalam kehidupan target yang hendak dijangkau. Secara lahiriah menjalankan agamanya, namun secara inner world (batiniah � dunia dalam) belum mendapatkan sentosa jiwa. Belum terbitnya benih iman kepada Injil damai sejahtera.

v Pemunculan meme atau produk budaya (hasil nalar budi) yang berseberangan dengan akidahnya akan muncul ketika pengamatan dilakukan dengan cermat � contohnya; meme; �kepada Allah yang tidak dikenal�. Ini merupakan ironi keagamaan yang memuat unsur putus asa (line of despair).

v Konsep ajaran tentang Allah dielaborasi ke dalam gagasan manusia yang pnciptaannya berupa patung tuangan, patung ukiran, pahatan, dan lain sebagainya. Pemikiran sedemikian ini menunjukkan adanya konsep bawaan secara lahiriah bahwa Allah itu dapat dicerna dengan akal manusia. Sehingga kiprah keagamaan buatan manusia semata-mata imanensial dalam produknya namun tidak mampu menjawab rahasia transendental Allah. Inilah yang dikenal dengan dilema metafisis.

v Gagasan asal manusia dalam agama-agama yang ditemukan Paulus di Athena tersebut mencerminkan manusia itu sendiri agnoia (: ignorant � tidak tahu) dan berimplikasi kepada kelak akan menjadi agnostik.

v Aspek penghakiman dan� hari eskatologis (pemberian pertanggungjawaban seseorang) tidak terdapat di dalam perbendaharaan mereka saat itu. Cara hidup yang berkanjang dalam paganisme yang amat banyak, menjadikan bahan ini oleh Paulus merupakan sentralitas bagi masuk berita tentang kebangkitan Kristus sebagai pendamaian Allah dengan manusia (Vollenweider, 2016).

v Penggunaan istilah � istilah terget yang sifatnya umum dapat menjadi pijakan bagi pemberitan Injil kekinian untuk memasuki wilayah yang samar-samar itu dan menggantikannya dengan istilah yang baru. Inilah juga yang digunakan rasul Yohanes ketika menggunakan konsep �Logos� dalam merumuskan Injil-nya. Paulus memakai adagium: sebab kita ini dari keturunan Allah juga (Sugiono, 2020). Kosa kata pinjaman ini tetap tertaut dengan pribadi Allah yang diyakini Paulus di dalam Kristus.

Melalui inferensial atas beberapa upaya Rasul Paulus di Areopagus ini, setidaknya historikal Injil yang diberitakan dapat dipakai dalam menciptakan bangunan dialogis guna perujudan kerukunan umat beragama di Indonesia. Bangunan ini mendapatkan tempat bagi pembahasan lanjutan.

F.   Kerukunan Beragama di Indonesia- Perspektif Historis

Sekitar tahun 1970 � an kerukunan umat� beragama di Indonesia sedemikian harmonis. Tidak ada sekat-sekat aku dan liyan. Aku dan liyan adalah sesama anak bangsa. Sedemikian kentalnya kohesi sosial saat itu. Namun sejak tahun 80-an hal itu menjadi berbeda. Kosa kata kerukunan antar umat bergama menjadi kerumunan satu agama untuk menunjukkan identitasnya. Hal itu sejalan dengan hadirnya tokoh-tokoh yang memberikan ideologi jihad yang bermula dari Surabaya dan sekitarnya, kemudian menyeberang ke Jawa Barat. Ketika terjadi pembajakan Garuda Woyla, Komando Jihad yang sering melakukan kumpulan di Cimahi menjadi aktor di balik pembajakan tersebut.

Kemudian hari, merebak juga pengeboman rumah ibadah nasrani di Jawa Timur termasuk Seminari SAAT di Malang mencerminkan telah masuknya benih-benaih radikal di negeri ini. Ditambah lagi dengan lahirnya persetujuan dari Abu Bakar Baasyir untuk merestrui pemboman di Bali, baik itu Bali 1 dan Bali 2, terkuak bahwa Pesantren Ngruki memang telah disusupi idiologi khilafah dan syariat Islam untuk diterapkan di Indonesia. Mengingat kepada sejarah masuknya Islam di Nusantara diawali di sepanjang pantai utara Jawa dan akhirnya meluas ke pulau-pulau lainnya, modus peluasannya dengan kawin-mawin terutama kepada Raja-raja di Jawa. Hal itu terbukti dengan memberontaknya kerajaan Demak dan melawan kerajaan Majapahit. Inilah gambaran sekilas penetrasi Islam di Indonesia melalui saudagar Arab yang mencari rempah-rempah di Malaka sembari menjual permadani dan lain sebagainya.

Telaah historis ini menunjukkan pengutamaan kekerasan menjadi lazim dalam masuknya Islam, pemboman Gereja Methodis di Meulaboh Aceh tahun 1950-an menjadikan resistensi Injil di serambi Mekah menguat hingga kini. Bahkan lolosnya Perda Syariah sesuai kesepakatan Helsinki dimoderasi Jusuf Kalla memberikan ruang bagi tergerusnya nilai-nilai kebangsaan di Nusantara ini. Paling mencolok kegiatan PA 212 dan HTI plus FPI memberi bentuk kepada pergerakan meraih kekuasaan berjubahkan agama. Kendala di Indonesia sendiri, penegakan hukum masih diwarnai dengan pemunculan isu pelanggaran HAM dan itu menjadikan hukum tidak lagi menjadi panglima bagi semua. Tergantung dari mana ia menafsirkannya. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena selama Orde Baru berkuasa, tidak ada ruang berekspresi terjadinya sumbatan sosial di semua lini organisasi. TNI menjadi alat peredam dan pemukul bagi mereka yang menyuarakan tuntutan-tuntutan keadilan.

G. Implementasi Metodologis Pada Dimensi Kerukunan Umat Beragama

�� Menghentikan prasangka aku dan liyan (: yang lain) merupakan awal bagi ke arah pencapaian hidup rukun. Sejatinya penghapusan ini dibarengi dengan niat tulus membantu sesama yang mengalami ketimpangan sosial dan ketidakadilan. Normanya kepada pembentukan kohesi sosial guna meraih kehidupan bersama yang kondusif. Sehingga prasangka direduksi sedemikian rupa intensional karena praktik gotong royong menjadi gambaran nyata sehari-hari. Baik dalam rangka merayakan hari-hari raya keagamaan, juga karena hal-hal lain yang memang membutuhkan kerjasama.

�� Dalam pandangan Hesselgrave, penulis Komunikasi Lintas Budaya, ia dalam bukunya memaparkan tiga kenyataan untuk membawa perubahan bagi kehidupan bersama. Pertama-tama, perjumpaan dengan agama lain melalui cara hidup yang baik (living encounter) . Kedua dengan cara menjelaskan kebenaran iman kepada agama lain, dan ini tentunya dengan penuh respek (menghormati lawan bicara), dikenal dengan truth encounter.Dan ketiga, ialah dengan pendekatan kuasa yang mengusir kuasa-kuasa kegelapan (disebut; power encounter). Sebab diyakini, Indonesia yang becorak ragam agama telah disusupi kepentingan iblis dalam setiap ritualnya. Sehingga dimungkinkan orang percaya melakukan pengusiran setan menjadi sarana kesaksian bagi pemberitaan Injil kasih karunia Allah.

Bagaimana dengan mereka yang latarnya beragama Islam? Pengalaman yang diberikan oleh Anton Wessels, mengutip cendekia Aljazair Ali Menrad, ia memperingatkan sesama kaum muslimnya, agar mereka jangan berpendapat bahwa orang muslim mengetahui seluruh kebenaran tentang Yesus (1990:40). Kerap kali kerukunan antar umat beragama melalui dialog mengesankan saya lebih tahu ketimbang lawan berbicara. Inilah yang menjadikan nuansa kebersamaan terkhamiri. Kemudian penulis yang sama mengutip pandangan dari tokoh Muslim Mesir Naguib Mahfuz, tokoh ini memang tidak meragukan bahwa Yesus memang dibunuh. Naguib Mahfuz mengatakan, jikalau Musa berusaha menghayati keadilan sosial dalam struktur masyarakat, dan Muhammad hendak mencapai keadilan dengan menggunakan kekerasan, maka Yesus (Rifa�a) mengutamakan perubahan rohani (hal. 43). Kenyataan ini sesuai dengan Yoh 3 � lahir kembali dan Rom 12:1-2, menggunakan kata metamorphoo � perubahan ujud.

Mengintegrasikan beberapa pandangan pakar atau cendekia itu untuk kemudian membawanya ke dalam kehidupan sosial yang majemuk di negeri ini, deskripsi konseptual platform metodologisnya dilukiskan dalam gambar 1 ini. Pijakannya pada Yoh 1:1-18. Utamanya Yoh 1:14. Being Kristus menjadi dasar utama bagi pemenuhan kebutuhan manusia akan dirinya yang imanen terhadap sesama dan dirinya yang transeden kepada Allah Yang kekal.

 

 

 

Gambar. 2

Konsepsi Metodologis Menurut Yoh 1:1-18

 

Dengan melihat kepada gambar 2 tersebut, menciptakan kerukunan antar umat beragama, mestinya berpijak kepada pemenuhan rasa kemanusiaan sebagai panggilan kepada semua anak bangsa ini. Menjadi seperti orang Samaria yang murah hati, bersedia menyelamatkan nyawa sesama adalah gambaran soul-nya Yesus sendiri. Untuk kemudian, pemenuhan rasa itu berlanjut kepada tahapan berikutnya, pengenalan dan pemahaman apa itu sesamaku dan mengapa aku membutuhkan sesamaku. Ini merupakan modal sosial yang perlu jawaban tuntas agar meniadakan hubungan kaku aku-liyan tersebut. Ketika itu terujud, maka proses peningkatan sesama menjadi anak angkat Allah menjadi mungkin karena hadirnya orang Nasrani yang mementingkan dan mengutamakan esensi keadilan Allah bagi manusia. Realitas transenden ini dapat diteruskan kepada sesamanya berujudkan imanensi atau keberpihakan bagi saudaranya.

H. Tinjauan Teologi

�� Siapakah sesamaku mesti dilihat dari perspektif sumbernya dari �atas�. Bukan dari bawah (dari budaya). Sebab lebih objektif melihat sesama dengan menggunakan lensa yang lebih jernih bersumber dari jiwa Kristus yang kekal dan tidak berdosa. Hal ini berpijak atau berpatokan kepada hukum terutama dan berikutnya selaku intisari hukum agamawi Taurat. Imanensi dalam konteks kemanusiaan jika hanya itu yang menjadi pokok utama, maka akhirnya akan tak terjawab dari mana sesungguhnya being manusia itu? Perlu yang namanya transedensi view, bersumber dari pewahyuan Allah ke dalam bahasa manusia. Pemilihan ini dinyatakan dalam kitab suci yang dihembuskan oleh Roh Kudus melalui pengilhaman atas penulis kitab suci. Ketika imanensi kemanusian berjumpa dengan transendensi di atas being manusia, perujudan kerukunan itu merupakan keniscayaan karena landasannya pada kasih Allah kepada manusia. Kasih yang menemukan manusia terhilang guna dihisapkan ke dalam keluarga baru dan besar. Kumpulan yang meriah. Hanya oleh kasih maka praduga terhadap sesama secara negatif dan negatifitas dihapus. Ini memungkinkan kerukunan terujud. Kasih tidak dibuat-buat, kasih menerima apa adanya dan ia tidak menuntut bagi sesamanya.

�� Sejarawan gereja Aloys Grillmeier mengatakan, merujuk kepada teks Kej 49:25, kehidupan manusia itu memiliki dua realitas atau domain, pertama dari perkataan Allah (the word from God) dan kedua dari perawan, dengan demikian kemanusiaan Yesus sesungguhnya juga merupakan ujud keilahiannya sekaligus. Kutipannya: The Logos is begotten of the Father as it were in the corporeality which the Virgin supplies (1975:114). Dengan demikian teologi Nasrani mengenai kemanusiaan sesama mesti diperjuangkan sedemikian rupa berdasarkan keilahian Yesus agar sesama tersebut mengenal Yesus yang sesungguhnya.

 

Diskusi

Wajah kemanusian dalam platform hidup rukun antar umat beragama di Indonesia tetap masih menyisakan persoalan karena penolakan kepada yang lain bukan saudaraku. Ini dapat terjadi karena sumber pemahaman dan pengetahuan kepada Allah belum mengena dan belum dialami mereka sebagai mayoritas beragama. Penekanandi dalam Kristus being-Nya imanen sekaligus transeden belum memenuhi kebutuhan mereka yang resisten terhadap pemeluk agama lain. Perlunya edukasi yang komprehensif berpusat kepada pribadi Kristus dan sekaligus pemenuhan akan pendamaian sebagai jalan kepada penciptaan kebaikan bersama. Tanpa itu, seperti yang disebutkan Rasul Paulus, kisarannya tetap pada tahapan agnoia (Greek) atau ignorant (:ketidaktahuan).

a.   Menjadi Surat Kristus yang Terbuka (2 Korintus 3:1-3)

�Adakah kami memuji lagi diri kami?� Atau perlukah kami seperti orang lain menunjukan surat pujian kepada kamu dari kamu? Kamu adalah surat pujian kami yang tertulis dalam hati kami dan yang dikenal dan yang dapat dibaca oleh semua orang. Karena telah ternyata, bahwa kamu adalah surat Kristus yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Elohim yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu dalam hati manusia.�

Dari nats ini penulis menggaris bawahi pernyataan Paulus yang sangat tegas tentang orang percaya: Pertama, orang percaya di Korintus adalah �surat pujian� Paulus yang dapat dibaca semua orang (ayat 2). Kata �seperti orang lain� (ayat 1) sering digunakan oleh Paulus dalam II Korintus ini karena konflik dengan guru-guru palsu yang selalu mengangkat diri mereka sendiri dan memperbandingkannya dengan Paulus dan latar belakang serta injilnya (Fujita & Komoda, 1978).� Jadi jika jemaat di Korintus merupakan surat pujian Paulus yang terbuka, sehingga dapat dibaca semua orang, maka Paulus tidak perlu mengangkat-angkat dirinya lagi, seperti kebiasaan guru-guru palsu.� Gereja mula-mula mengadopsi prosedur surat rekomendasi untuk menjamin ortodoksi dan keterpercayaan dari para pekabar Injil.��

Kedua, orang-orang percaya adalah �surat Kristus� yang ditulis dengan Roh dari Tuhan yang hidup.� Sebagai surat Kristus, setiap orang percaya harus selalu menampakan dan mengungkapkan Kristus dalam segala sesuatu: dalam kata-kata, dalam perbuatan, dalam ketaatan terhadap huhum, dalam integritas, dalam motivasi, dalam kepedulian kepada sesama, dalam kasih, dan dalam kekudusan hidup.�

Hukum di Indonesia: Pancasila, UUD 1945, UU, Peraturan Pemerintah, dan hukum-hukum lainnya di Negeri ini bisa dipastikan tidak ada yang bertentangan dengan karakter di atas, sebab tidak ada aturan yang melarang warganya menjadi baik, atau berbuat baik, memiliki karakter yang baik.� Justru yang benar adalah semua hukum dan aturan dibuat dengan tujuan supaya warganya menjadi baik dan bertindak benar.� Jika semua orang Kristen di NKRI ini bisa menjadi surat Kristus yang dapat dibaca semua orang, maka itu akan menjadi satu kukuatan yang luar biasa yang dapat meyuarakan dan meyaksikan Kristus tanpa kata-kata.

b.   Mengasihi dengan Tulus� (Matius 22:39 dan Yohanes 4)

�� Kata atau kalimat �Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri� di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian baru diulangi sebanyak 8 kali (Imamat 19:18; Matius 19:19; Matius 22:39;

Markus 12:31; Lukas 10:27; Roma 13:9; Galatia 5:14;� dan Yakobus 2:8), dan satu kali berbunyi� � Kasihilah sesamamu manusia� (Lia, Triposa, & Lumingas, 2020), jadi total kalimat kasihilah sesamamu manusia diulangi sebanyak 9 kali dalam Alkitab, berarti ini adalah suatu perintah yang serius� dan harus dilakukan.�

Dalam Injil Yohanes pasal 4 dikatakan bahwa Yesus memasuki daerah Samaria dan duduk didekat sebuah sumur diluar kota tersebut, sekalipun pada saat itu orang Yahudi tidak bergaul dengan orang samaria. Orang Yahudi menjauhi orang Samaria, karena mereka mengangap orang-orang Samaria telah mencemarkan darah keisraelan mereka dengan cara kawin campur dengan bangsa lain, dan dianggap telah menyembah berhala (Irawan, 2019).� Karena bencinya kepada orang Samaria, mereka lebih rela berjalan mengitari darah Samaria dari pada melintasinya.

�� Tetapi Yesus Kristus mengasihi semua bangsa,� termasuk orang-orang Samaria, itulah sebabnya Dia memberikan teladan, dengan memasuki daerah Samaria membawa Air Hidup kepada seorang perempuan berdosa, dan seluruh penduduk Samaria, sehingga pada akhirnya seluruh penduduk kota tersebut mendengar Injil dan diselamatkan karena kasih (Abrahamsz & Tuhumury, 2012).

c.    Menjadi Orang Kristen yang Indonesiawi

�� KH Abdurahman Wahid, yang dikenal dengan sebutan GusDur (Alm), ketika beliau menjadi Presiden Indonesia, dalam suatu kesempatan beliau berpesan, supaya orang Indonesia tetap menjadi orang Indonesia, apapun Agamanya; ketika menjadi orang Islam tidak harus menjadi orang Arab, atau ketika menjadi orang Kristen tidak harus menjadi orang Yahudi. Pernyatan dan himbauan Presiden RI, jika dilajutkan berarti orang Indonesia Budha tidak harus menjadi orang China atau India, ketika menjadi orang Hindu tidak harus menjadi orang India. Pesan yang disampaikan Presiden pada saat itu, apapun agamanya dari orang-orang Indonesia itu. Ia tetap orang Indonesia.� Hal ini hampir sama dengan adanya keragaman suku di Indonesia, maka apapun suku bangsanya, apakah dia orang, Aceh, apakah dia orang Batak, orang Sunda orang Jawa, orang Dayak, orang Ambon atau orang Papua, kita adalah tetap rang Indonesia.�

Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ini ada tatanan yang mengatur kehidupan berbangsa, bernegara� serta beragama, supaya kebebasan yang ada tidak disalahgunakan, sehingga dapat menimbulkan ketidakharmonisan dalam hubungan satu dengan yang lain, termasuk hubungan antar umat beragama, sebab semua warga negara Indonesai menyadari adanya �kepelbagaian� yang sedemikian heterogen.

d.   Menghindari Perdebatan

 

Perlu adanya redefinisi tentang istilah debat dengan dialog, sebab kedua istilah ini tidak sama.� Menurut penulis debat adalah suatu dialog untuk masing-masing menunjukan superioritas, keunggulan, dan kepandaian atau kekuatan masing-masing, itulah sebabnya saling menjelekkan, serta saling menyerang lazim terjadi, seperti debat anatar Ahmed Deedat dengan Anis Shorros yang dilangsungkan di suatu gedung pertemuan di Inggris, dan ditonton atau disaksikan oleh kedua kelompok umat, dan sering sekali terjadi bahwa kedua kelompok baik penonton maupun orang yang berdebat menjadi panas hati, muka dan telinga menjadi merah dan pulang dengan kemarahan.� Dan jelas untuk iklim indonesia yang sangat rentan dengan perpecahan hal ini tidak boleh dilakukan.� Dan dari segi hasil, umpamanya lawan debat berbalik mengikuti agama atau keyakinannya, sangat jarang terjadi, dan yang sering adalah sebaliknya yaitu permusuhan, dan hal ini penulis alami sendiri, umpamanya pada tahun 1983 di Padalarang Bandung, di trotoar pinggir jalan, penulis berdebat dengan sorang Haji, yang berprofesi sebagai penjual buku-buku bacaan muslim, pada saat itu penulis sempat dicaci maki oleh Haji tersebut.� Dan ketika kita menelusuri sejarah perjumpaan Kristen-Islam, dengan berbagai debatnya, mulai dari Patriarch Timotius I� Seorang Katolik hidup (Halim, 2019) dengan Khalifah Al-Mahdi dan sultan Harun Al-Rasyid (masa pemerintahannya sekitar tahun 775-809 M). Antara Jahannes Damascenus (665-750), seorang tokoh dari gereja Ortodoks Timur. Yang dilakukan oleh Basillius I dan Niketas dari Bynzantium (867-1056), dan juga Bartolomeus dari Edessa (1100), Niketas Akominatos, seorang uskup agung mantan kaisar (� ��-1225), dan juga Johannes Kantakuzenos (1360).�� Selain mereka masih terdapat banya tokoh lainnya yang sangat konsen memfokuskan pelayanannya pada dunia Islam, tetapi penulis membaca bahwa hasilnya tidak seperti yang diharakan, walaupun mungkin tidak boleh dikatakan tanpa hasil.

Dialog,� secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu usaha yang dilakukan oleh dua kelompok orang yang berbeda atau dua orang yang berbeda agama, kemudian mereka masing-masing sepakat untuk bertukar pikiran, dengan tujuan masing-masing ingin mengetahui dengan tulus keyakinan sahabatnya itu, dengan pertanyaan-pertanyaan yang tulus, dan bukan untuk mendeskriditkan atau menyerang. Sebenarnya menurut penulis dialog semacam ini masih cukup relevan di negara yang berdasarkan Pancasila ini, asalkan masing-masing dengan tulus sepakat untuk tetap saling menghormati.

e.    Menghindari Sikap Arogansi

Sikap arogansi yang dimaksudkan disini adalah, suatu tindakan kekerasan, intimidasi, pemaksaan, memprovokasi massa untuk berbagai hal yang negatif, penyerangan, yaitu dalam arti menyerang keyakinan orang lain, menjelek-jelekkan dan mencemooh keyakinan orang lain di depan umum, dan melalui media massa, dan juga berbagai tindakkan kekerasan lainnya yang dapat merugikan pihak lain.

Arogansi Agama adalah suatu sikap yang timbul karena beberapa faktor, umpamanya merasa sebagai mayoritas, merasa sebagai yang memiliki kekuatan, merasa sebagai yang benar sendiri, karena� rasa iri hati dan benci dan ingin berkuasa dan menjadi penguasa serta beberapa faktor lainnya,

Semua umat beragama di Indonesia tidak boleh melakukan tindakan buruk ini terhadap penganut agama lain, sekalipun mungkin mereka berada di daerah-daerah mayoritas Dalam kekristenan,� Kristus Yesus sudah memberikan suatu teladan yang sempurna ketika Dia hidup dalam Perjelmaannya di dunia ini, serta pengajarannya, yaitu supaya kita saling mengasihi, termasuk mengasihi mereka yang tidak sama agamanya atau keyakinannya.

Dalam negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45 sikap arogansi tidak layak diperbuat, tetapi justru harus dilenyapkan hingga tuntas, sebab jelas hal itu melanggar Hak Azasi Manusia, dan bertolak belakang dengan kultur yang diwariskan leluhur bangsa ini, yaitu sopan santun, ramah, berbudi pekerti, sifat welas asih, tepo seliro.� Dan hal ini juga bertolak belakang dengan kultur bangsa Indonesia yang sudah terbiasa hidup dalam kepelbagaian dan juga keragaman.��

f.    Menghindari Metode Peniruan

Secara psykologis pada dasarnya manusia adalah makhluk yang suka meniru, apalagi untuk sesuatu yang baik dan menguntungkan. Tetapi sebaliknya bahwa manusia tidak suka ditiru, terutama sehubungan dengan hal-hal yang cukup esensi misalnya resep makanan/masakan sebuah restoran, metode yang cukup jitu dan terbukti keberhasilannya dalam berbisnis, produk sebuah perusahaan, itulah sebabnya kita mengenal istilah hak paten, yaitu suatu legalitas yang menyatakan kepemilikan atau hak dari seseorang atau suatu perusahaan, dan jika ternyata pada suatu saat didapati bahwa hak patennya itu ditiru oleh perusahan atau seseorang, ia akan segera melaporkan hal itu kepada yang berwajib, dan yang meniru bisa dituntut.

�� Kaum muslim tidak suka, jika orang-orang yang beragama lain meniru mereka, terutama meniru cara ibadah mereka, cara berbusana mereka, cara mereka berdakwah, dan juga cara-cara yang lainnya.� Penulis ingat ketika pada tahun delapan puluhan akhir sampai dengan tahun sembilan puluhan, ketika suatu lembaga kristiani menerbitkan Injil Lukas dengan tulisan sampul atau judul yang mirip dengan kaligrafi Arab, banyak umat muslim tersinggung, bahkan beberapa media masa mereka menyebut bahwa umat kristen Indonesia sedang melakukan manipulasi, dan berbagai komentar lainnya yang tidak enak didengar atau dibaca.� Dr. John Culver, dalam kelas Encounter Muslim-Kristen, pernah menceritakan bahwa suatu lembaga kristiani menerbitkan Kitab Amsal, dengan nama �Hikmat Nabi Sulaeman� pernah dikritik umat Islam, mereka mendesak supaya lembaga tersebut segera menarik kembali semua buku yang sudah beredar, terutama yang masih berada di toko-toko buku. Dan dari segi busana atau pakaian, umat islam juga tidak senang jika umat agama lain meniru cara berbusana mereka, sebab bagi umat islam itu adalah identitas mereka. Bagi umat Kristen tidak memiliki ciri khas busana, kecuali aliran tertentu, tetapi itu tidak mewakili umat Kristen secara umum.� Tetapi jika ada sesuatu yang merupakan ciri khas suatu agama, dan kemudian penganut agama lain menirunya, terutama dalam kaitannya dengan dakwah dan pemeberitaan Injil, mestinya hal itu juga tidak etis.� Jadi dengan jangan pakai metode �meniru�.

g.    Menjalin Persahabatan yang Tulus

Dibanyak negara kaum minoritas yang hidup dalam tekanan kaum mayoritas, hidup dalam ketakutan dan kepahitan, tetapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena mereka takut, dan tidak berdaya terutama dalam kaitannya dengan agama dan ibadah; sebaliknya dari kaum mayoritas banyak yang hidup dalam kepongahan, dan mereka� menekan kaum yang lemah, sehingga hubungan mereka bisa diumpamakan api dalam sekam, diluar tidak Nampak, tetapi di dalamnya ada api yang merah membara.� Jika keadaan seperti ini dibiarkan tanpa penyelesaian dan upaya pemerintah mestinya suatu saat akan mengganggu dan mengancam stabilitas Nasional. Keadaan seperti ini tidak diharapkan oleh pemerintah, itulah sebabnya banyak upaya telah dilakukan oleh pemerintah supaya terjalin kerukunan antar umat beragama.

�Menjalin persahabatan yang tulus dengan mereka.�� Dan sikap ini merupakan pencerminan dari pengajaran Tuhan Yesus: Tulus seperti Merpati dan Cerdik seperti Ular (Silalahi, 2019).

����������� Jika terjadi penolakan dalam pelayanan selama ini beberapa orang berkata, bahwa hal itu disebabkan 60 % adalah faktor orang yang bersangkutan, dan bukan faktor mayarakat yang menolak.� Jadi jika 60% adalah faktor hamba Tuhan atau orang kristen itu sendiri, maka berarti ditolak atau diterimanya pelayanan seseorang sebagian besar bergantung kepada orang kristen atau pemberitanya.

 

Kesimpulan

Hidup dalam kerukunan dan tidak menjadikan yang lain sebagai liyan yang kafir adalah perwujudan nilai-nilai kemanusiaan sejati yang telah mengenal Allah di dalam Kristus. Pribadi Kristus yang memiliki being- kekekalan telah menyatakan Allah itu Bapa-Nya dan Bapa bagi semua keturunan Abraham (band. Gal 3:29). Muaranya adalah agar semakin meluas pemberitaan kasih karunia Allah di dalam Kristus (Efesus 1:3-6) sekaligus agar semua mengalami kelimpahan kasih karunia dan kebenaran di dalam Kristus. Kebanggaan semu dan semangat triumphalis beragama mestinya sudah ditanggalkan agar ruang perjumpaan dengan sesame dan dihadiri Allah Roh benar-benar membawa transformasi seutuhnya.

����������� Perwujudan hidup rukun mendatangkan berkat besar dalam keluarga besar Indonesia. PI di Negeri ini masih tetap berlaku, janji penyertaan-Nya masih tetap berlaku, mukjizat-Nya masih tetap harus dilakukan, tetapi dengan cara yang tidak melanggar hukum yang berlaku di Indonesia, Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai.�

 

BIBLIOGRAFI

Semua rujukan-rujukan yang diacu di dalam teks artikel harus didaftarkan di bagian bibliografi. Bibliografi harus berisi pustaka-pustaka acuan yang berasal dari sumber primer (jurnal ilmiah dan berjumlah minimum 80% dari keseluruhan bibliografi) diterbitkan 5 (lima) tahun terakhir. Setiap artikel paling tidak berisi 15 (Lima belas) bibliografi acuan dan 10 tahun terakhir. Penulisan sistem rujukan di dalam teks artikel dan penulisan bibliografi sebaiknya menggunakan program aplikasi manajemen referensi misalnya: Mendeley, EndNote, Reference Manager atau Zotero. Penulisan referensi menggunakan model sistem dari APA (American Psychological Association), edisi ke-6.).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Abrahamsz, Stefany John Risna, & Tuhumury, Petronella. (2012). Model Penginjilan Dalam Yohanes 4: 4-42 Dan Implementasinya Pada Masa Kini. Jurnal Jaffray, 10(2), 104�139.Google Scholar

 

Fujita, Kazuhisa, & Komoda, Toshiya. (1978). The Effects Of The 1 P 3/2 Core Excitations On The Properties Of The N= 50 Isotones. Progress Of Theoretical Physics, 60(1), 178�196.Google Scholar

 

Halim, Ilim Abdul. (2019). Metode Perbandingan Agama Proporsional Dalam Persepsi Wc Smith. Prodi Studi Agama-Agama Uin Sunan Gunung Djati Bandung, 4(1), 38�49.Google Scholar

 

Irawan, Toni. (2019). �Menyembah Allah Dalam Roh Dan Kebenaran�(Yohanes 4: 20-26): Sebagai Suatu Landasan Praktek Ibadah Kristen Yang Alkitabiah. Jurnal Teologi Amreta Volume, 3(1).Google Scholar

 

Lee, Jae Hyun. (2010). Paul�s Gospel In Romans: A Discourse Analysis Of Rom. 1: 16-8: 39 (Vol. 3). Brill.Google Scholar

 

Lia, Yudi Hendri, Triposa, Reni, & Lumingas, Gloria Gabriel. (2020). Menciptakan Kerukunan Umat Beragama Dalam Masyarakat Majemuk Melalui Pemaknaan Kasih Berdasarkan Matius 5: 43-44. Pneumatikos: Jurnal Teologi Kependetaan, 11(1), 61�70.Google Scholar

 

Mu�oz, Jos� Esteban. (2020). The Sense Of Brown. In The Sense Of Brown. Duke University Press.Google Scholar

 

Sauer, Warwick H. H., Gleadall, Ian G., Downey-Breedt, Nicola, Doubleday, Z�e, Gillespie, Graham, Haimovici, Manuel, Ibanez, Christian M., Katugin, Oleg N., Leporati, Stephen, & Lipinski, Marek R. (2021). World Octopus Fisheries. Reviews In Fisheries Science & Aquaculture, 29(3), 279�429.Google Scholar

 

Silalahi, Junior Natan. (2019). Konsep Penganiayaan Dalam Injil Matius 10: 16-33 Dan Relevansinya Bagi Orang Percaya Pada Masa Kini. Voice Of Hami: Jurnal Teologi Dan Pendidikan Agama Kristen, 2(1), 1�14.Google Scholar

 

Sugiono, Sugiono. (2020). Pendekatan Penginjilan Kontekstual Paulus Berdasarkan Kisah Para Rasul 17: 16-34. Jurnal Ilmu Teologi Dan Pendidikan Agama Kristen, 1(2), 87�102.Google Scholar

 

Vollenweider, Samuel. (2016). �Einer Ist Der Mittler �(1tim 2, 5) Mittleraussagen Der Neutestamentlichen Briefliteratur In Ihren Fr�hj�di-Schen Und Hellenistischen Kontexten. Vermittelte Gegenwart, 209�228.Google Scholar

 

 

 

������������������������������������������������

Copyright holder:

Nama Author (Tahun Terbit)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: