Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 5, Mei 2022

 

PENEGAKAN KEDAULATAN DAN HUKUM PADA WILAYAH LAUT INDONESIA

 

Wilshen Leatemia, Ricky Marthen Wattimena

Fakultas Hukum, Universitas Pattimura, Ambon, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Penegakan kedaulatan dan hukum atas wilayah laut Indonesia menjadi suatu keharusan atas pengakuan dan implementasi prinsip negara kepulauan. Implementasi prinsip negara kepulauan menegaskan adanya kedaulatan negara Indonesia atas wilayah laut terutama perairan kepulauan dan laut wilayah (teritorial) Indonesia. Penegakan kedaulatan dan hukum di laut menghadapi masalah akibat luasnya wilayah laut Indonesia dan sumber daya ikan pada wilayah Indonesia yang masih kaya sehingga banyak kapa lasing yang masuk dan melakukan illegal fishing. Penelitian dilakukan menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute aproach) dan pendekatan konseptual (conceptual aproach). Hasil dari penelitian menunjukan bahwa penegakan kedaulatan dan hukum atas wilayah laut Indonesia belum dilakukan secara sistematis dan masalah adanya kelengkapan dokumen SIUP, SIPI dan SIKPI menjadi masalah yang terkait dengan penangkapan kapal-kapal yang melakukan praktek illegal fishing di perairan Indonesia. Pengakan hukum melalui hukum administratif ditindak lanjuti dengan pengawasan intensif berkaitan dengan ijin yang diberikan kepada kapal.

 

Kata kunci: Penegakan Hukum, Illegal Fishing

 

Abstract

The enforcement of sovereignty and law over Indonesia's marine territory is a must for the recognition and implementation of the principle of an archipelagic state. The implementation of the principle of an archipelagic state emphasizes the sovereignty of the Indonesian state over marine areas, especially archipelagic waters and Indonesian territorial seas. The enforcement of sovereignty and law at sea is facing problems due to the vast area of ​​Indonesia's seas and the rich fish resources in Indonesia's territory, so that many foreign ships enter and carry out illegal fishing. The research was conducted using a normative juridical method with a statutory approach and a conceptual approach. The results of the study show that the enforcement of sovereignty and law over Indonesian marine areas has not been carried out systematically and the problem of completeness of SIUP, SIPI and SIKPI documents is a problem related to the arrest of ships that practice illegal fishing in Indonesian waters. Legal enforcement through administrative law is followed up with intensive supervision regarding permits granted to ships.

Keywords: Law Enforcement, Illegal Fishing

Pendahuluan

Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menegaskan bahwa �Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat�. Ketentuan konstitusional ini menegaskan komitmen Negara dalam penguasaan sumber kekayaan alam yang terkandung dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), baik di darat, laut dan udara untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia secara merata dan berkesinambungan. Dalam konteks ini, sumber kekayaan alam di wilayah laut Indonesia, hendaknya dikelola berdasarkan fungsinya untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia tersebut (Leatemia, W, & Wattimena, R. M. (2021).

Bagi bangsa Indonesia laut merupakan bagian dari wilayah negara yang harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya baik untuk kepentingan pertahanan negara maupun untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. Untuk itu sangatlah diperlukan pengaturan yang baik oleh Indonesia terkait dengan laut yang dimilikinya karena Indonesia adalah negara yang kaya akan sumberdaya kelautan serta memiliki posisi strategis sebagai jalan silang dunia antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) termasuk salah satu Negara Kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah mencapai 5.193.250 km, terdiri dari 2.027.087 km berupa daratan dan 3.166.163 km berupa lautan (Sudirman, 2009). Letak geografis Indonesia yang berada di antara Benua Asia dan Australia serta di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik telah menempatkan Indonesia pada posisi strategis ditinjau dari segi ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Dalam hal ini, pengaturan batas-batas wilayah laut, pengawasan dan penegakan kedaulatan dan hukum menjadi suatu yang mutlak dilakukan.

Untuk mengelola kedaulatan Negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan Negara dibentuk sistem pertahanan laut (Pasal 58 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2014). Selanjutnya ditegaskan pada Pasal 59 UU Nomor 32 Tahun 2014 bahwa �Penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, dasar laut dan tanah di bawahnya, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi atas pelanggarannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional�(Ayat 1).

Yurisdiksi dalam penegakan kedaulatan dan hukum terhadap kapal asing yang sedang melintasi laut territorial dan perairan kepulauan Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional (Ayat 2). Ketentuan hukum internasional dalam konteks ini, terkait dengan Pasal 2 ayat (2) Konvensi Hukum Laut 1982 yang menyatakan bahwa �Kedaulatan suatuNegara pantai meliputi ruang udara di atas laut wilayah serta dasar laut dan lapisan tanah di bawahnya�. Ini berarti bahwa Negara pantai mempunyai wewenang penuh bukan saja terhadap udara di atas laut wilayah, tetapi juga atas semua sumber-sumber kekayaan yang terdapat di dalam laut, di dasar laut, dan lapisan tanah di bawahnya(Boer Mauna, 2003).

Penegakan kedaulatan dan hukum di wilayah laut Indonesia, mengalami masalah terkait dengan perbatasan laut, illegal fishing maupun gangguan terhadap kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia.Kegiatan illegal fishing tersebut dilakukan oleh nelayan-nelayan asing dari negara-negara tetangga di kawasan yang memasuki perairan Indonesia secara ilegal. Melalui berbagai modus operandi para nelayan asing tersebut menangkap ikan di perairan Indonesia dan selanjutnya diperjualbelikan di luar Indonesia dengan keuntungan yang berlipatganda. Penangkapan ikan secara ilegal tersebut telah merugikan negara secara finansial, karena telah ikut menurunkan produktivitas dan hasil tangkapan secara signifikan, di samping telah mengancam sumber daya perikanan laut Indonesia. Para nelayan asing yang kerap memasuki wilayah perairan Indonesia, antara lain, berasal dari Thailand, Vietnam, Filipina, dan Malaysia. Perairan Natuna, perairan Sulawesi Utara dan perairan di sekitar Maluku serta Laut Arafura merupakan kawasan yang paling rawan terhadap kegiatan illegal fishing (Muhamad, S.V, 2016).

Hal ini terkait dengan keberadaan Indonesia sebagai suatu Negara kepulauan. Sebagai Negara kepulauan Indonesia termasuk�� Negara�� yang�� paling�� diuntungkan�� dengan�� keberadaan�� UNCLOS.Indonesia memperoleh tambahan wilayah yang sangat signifikan dengan diakuinya hak Negara kepulauan untuk menarik garis dasar lurus kepulauan menghubungkan titik-titik terluar. Perairan yang semula laut bebas menjadi perairan kepulauan. Perairan laut Indonesia sekitar 5.176.800 km2. Ini berarti luas wilayah laut Indonesia lebih dari dua setengah kali luas daratannya. Sebagai konsekuensi diperolehnya perairan kepulauan ini Negara kepulauan harus menetapkan dan mengumumkan alur laut kepulauannya bagi kapal asing. Di alur laut kepulauan berlakulah hak lintas damai bagi kapal asing yang isinya sama dengan yang berlaku di laut territorial(Sefriani, 2016).

Masih tingginya kegiatan penangkapan ikan yang melanggar hukum, terjadi karena berbagai faktor yaitu(Sularso, 2004):

1.   masih adanya beberapa faktor insentif, baik yang dikondisikan oleh

2.   kebijakan yang ada maupun karena kondisi ketidakmampuan dalam manajemen;

3.   kegiatan ilegal juga terjadi karena adanya disparitas (perbedaan) harga ikan di dalam dan luar negeri karena adanya mekanisme pasar;

4.   pelaksanaan hukum atau penegakan hukum

Selain itu akhir-akhir ini semakin marak terjadinya atau dilakukannya kejahatan melalui laut, seperti peredaran obat terlarang (drug trafficking), penyelundupan (smuggling), perdagangan wanita dan anak (woman and children trafficking), migrasi illegal (illegal migrant), perompakan (armed robbery ), pembajakan laut (maritime piracy) penyelundupan senjata (arms smuggling) dan terorisme yang membuat semakin rumitnya upaya-upaya untuk menjamin keamanan di laut(Wignyo, 2004).

Praktek illegal fishing yang terjadi merupakan pelanggaran yang secara umum meliputi : (1) Penangkapan yang tidak memiliki ijin sama sekali; (2) Memiliki dokumen tetapi tidak melapor; dan (3) Pelanggaran fishing ground, dan transhipment di laut. Oleh CCRF-FAO (Code of Conduct for Responsible Fishery-Food and Agriculture Organization), pelanggaran-pelanggaran tersebut kemudian dikelompokkan sebagai perbuatan illegal, unregulated, and unreported (IUU) fishing dan transhipment di laut. Illegal fishing adalah kegiatan penangkapan ikan yang : (1) dilaksanakan oleh kapal-kapal bendera nasional dan asing di dalam yurisdiksi perairan negara tanpa izin atau di daerah konservasi sesuai peraturan negara tersebut; (2) dilaksanakan oleh kapal-kapal suatu negara yang menjadi anggota organisasi pengelolaan perikanan regional namun operasinya bertentangan dengan aturan pengelolaan organisasi tersebut atau aturan internasional; (3) melanggar peraturan nasional atau keharusan internasional, termasuk negara-negara yang bekerjasama dengan organisasi pengelolaan regional yang relevan.

Unreported adalah kegiatan penangkapan yang tidak dilaporkan, atau yang salah lapor kepada instansi yang berwenang dan bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Dampak kegiatan unreported adalah kerugian negara dari pemasukan biaya PEB (pemberitahuan ekspor barang), tidak tercatatnya dalam statistik perikanan, dan hilangnya nilai ekonomis karena tidak mendapat di pelabuhan. Unregulated adalah kegiatan penangkapan ikan: (1) di daerah organisasi pengelolaan regional yang dilakukan oleh kapal tanpa kebangsaan, atau oleh kapal yang mengibarkan bendera bukan negara anggota organisasi, atau kelompok perikanan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konservasi yang dianut oleh organisasi tersebut; atau (2) di daerah stok ikan yang tidak diterapkan prinsip-prinsip konservasi dimana kegiatan penangkapan dilaksanakan dengan cara yang tidak konsisten dengan tanggung jawab negara terhadap konservasi atau hukum internasional. Dampak kegiatan unregulated adalah tekanan terhadap sumberdaya ikan dan lingkungan karena ketidakaturan pengelolaan dan juga kemungkinan terjadinya eksploitasi berlebihan(Sularso, 2004).Melaluihukum positif nasionalnya, Indonesia senantiasa berupaya demi mewujudkan tujuan nasionalnya yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut, maka syarat utamanya adalah Indonesia, sebagai negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia, perlu secara konsisten menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman militer serta ancaman bersenjata terhadap keutuhan bangsa dan negara terutama pada wilayah laut Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara tetangga (Tahamata, 2021)

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan adalah penelitian hukum normatif, yakni penelitian yang terutama mengkaji ketentuan-ketentuan hukum positif, asas-asas hukum, prinsip- prinsip hukum maupun doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Marzuki, 2006). Bahan hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder, berupa pendapat sarjana, dan bahan hukum tersier, berupa dokumen pemerintahan. Bahan-bahan hukum yang terkumpul dianalisis secara kualitatif untuk mendapatkan kesimpulam yang akurat

 

Hasil dan Pembahasan

1.   Konsteksutal Penegakan Kedaulatan dan Hukum di Laut

Penegakan kedaulatan dan hukum di laut merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam usaha pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum (nasional dan internasional) yang berlaku, baik yang bersifat penindakan maupun pencegahan mencakup keseluruhan kegiatan baik teknis maupun administratif yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, sehingga dapat melahirkan suasana aman, damai dan tertib untuk pemantapan kepastian hukum dalam masyarakat. Dalam pengertian ini, secara asumtif penegakan kedaulatan dan hukum di laut berarti suatu rangkaian kegiatan dalam rangka usaha pelaksanaan ketentuan- ketentuan hukum yang berlaku di laut, baik yang bersifat penindakan maupun pencegahan mencakup keseluruhan kegiatan baik teknis maupun administratif yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum di laut, sehingga dapat melahirkan suasana aman, damai dan tertib untuk pemantapan kepastian hukum di laut.

Menurut Radbruch (Muladi, 1997), dalam satu masyarakat yang tertib, (konsep) hukum itu dapat berbeda karena tatanan dari berbagai macam norma. Pada satu sisi hukum dapat bersifat �ide-ide� (yuridis normatif) dan pada sisi lainnya hukum juga bersifat � kenyataan� (yuridis sosiologis)�. Dalam kaitan itu, maka penegakan kedaulatan dan hukum di laut harus bersifat �spririt of law�, yaknimendasari peraturan-peraturan hukum yang hendak ditegakkan pada asas-asas hukum, karena hal ini terkait dengan berbagai dinamika yang terjadi dalam proses pembuatan hukum (law making process). Ada syarat yang perlu diperhatikan dalam proses penegakan kedaulatan dan hukum, yakni keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara �kesadaran hukum� yang ditanamkan oleh penguasa (legal awarensess) dengan perasaan hukum yang bersifat spontan dari rakyat (legal feeling).

Masalah dalam mewujudkan keamanan dalam penggunaan laut yang bebas, sangat tergantung pada adanya penegakan kedaulatan dan hukum yang proporsional, berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai laut yang tumpang tindih dan kewenangan dalam penegakan kedaulatan dan hukum di laut yang tersebar pada berbagai institusi. Pembahasan penegakan kedaulatan dan hukum di laut dalam konteks ketiga masalah ini, akan terlihat nyata dalam kaitan permasalahan illegal fishing yang sangat mengganggu keamanan pengelolaan sumberdaya alam di perairan Indonesia.

Apabila dilihat dari hasil evaluasi sumber daya alam (hayati), sumberdaya ikan selalu mengalami penurunan secara sistematis, sehingga dapat dikatakan terjadinya tingkat eksploitasi yang berlebihan. Hal ini terjadi akibat overfishing, artinya jumlah ikan yang ditangkap melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan stock ikan dalam suatu daerah tertentu. Persoalannya adalah bahwa masih banyaknya kapal-kapal asing yang secara illegal beroperasi, dan melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Nusantara.

Pelaksanaan penegakan kedaulatan dan hukum di laut secara berkualitas akan medorong keamanan dan ketertiban di laut yang pada akhirnya akan mengatasi masalah pelanggaran hukum di laut terutama illegal fishing. Hal ini penting, karena persepsi keamanan di laut tidak hanya masalah penegakan kedaulatan dan hukum, tetapi mengandung pemahaman bahwa laut aman digunakan bagi pengguna dan bebas dari ancaman atau gangguan terhadap aktifitas penggunaan atau pemanfaatan laut, yaitu :

(1) Bebas dari ancaman kekerasan, yaitu ancaman menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisir dan dinilai mempunyai kemampuan untuk mengganggu dan membahayakan kedaulatan Negara baik berupa ancaman militer, sabotase obyek vital maupun aksi terror bersenjata di laut, pembajakan dan perompakan.

(2) Bebas dari ancaman navigasi, yaitu ancaman yang ditimbulkan oleh kondisi geografi dan hidrografi serta kurang memadainya sarana bantu navigasi yang ada, seperti system perambuan/buoy yang tidak berfungsi sehingga membahayakan keselamatan pelayaran.

(3) Bebas dari ancaman pencemaran dan pengrusakan ekosistem, yaitu ancaman terhadap kelestarian lingkungan yang dampaknya akan sangat merugikan generasi penerus seperti kegiatan penambangan yang over exploitation dan over exploration.

(4) Bebas dari ancaman pelanggaran hukum, yaitu ancaman pelanggaran terhadap ketentuan hukum nasional dan internasional yang berlaku, seperti illegal logging, illegal fishing, illegal dredging dan lain-lain. (Sondakh, 2004).

 

Kegiatan Illegal Fishing yang paling sering terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia adalah pencurian ikan oleh kapal-kapal ikan asing (KIA) yang berasal dari beberapa negara tetangga (neighboring countries). Walaupun sulit untuk memetakan dan mengestimasi tingkat illegal fishing yang terjadi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI), namun dari hasil pengawasan yang dilakukan selama ini, dapat disimpulkan bahwa illegal fishing oleh KIA sebagian besar terjadi di ZEE dan juga cukup banyak terjadi di perairan kepulauan (archipelagic state). Pada umumnya, Jenis alat tangkap yang digunakan oleh KIA atau kapal eks Asing illegal di perairan Indonesia adalah alat- alat tangkap produktif seperti purse seine dan trawl. Kegiatan illegal fishing juga dilakukan oleh kapal ikan Indonesia (KII) (Fauzi, 2005) Beberapa modus/jenis kegiatan illegal yang sering dilakukan KII, antara lain: penangkapan ikan tanpa izin (Surat IzinUsaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) maupun Surat Izin Kapal Pengangkutan Ikan (SIKPI)), memiliki izin tapi melanggar ketentuan sebagaimana ditetapkan (pelanggaran daerah penangkapan ikan, pelanggaran alat tangkap, pelanggaran ketaatan berpangkalan), pemalsuan/manipulasi dokumen (dokumen pengadaan, registrasi, dan perizinan kapal), transshipment di laut, tidak mengaktifkan transmitter (khusus bagi kapal-kapal yang diwajibkan memasang transmitter), dan penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang membahayakan melestarikan sumberdaya ikan. Masalah adanya kelengkapan dokumen SIUP, SIPI dan SIKPI menjadi masalah yang terkait dengan illegal fishing, karena tanpa dokumen-dokumen tersebut maka suatu kapal dapat dihukum karena melakukan illegal fishing.

2.   Penegakan Hukum Dengan Sarana Hukum Adminitrasi

Banyaknya kegiatan illegal fishing yang terjadi di Indonesia, akan berimplikasi pada masalah kedaulatan terhadap sumberdaya alam kelautan di perairan Indonesia. Penanganan illegal fishing hendaknya dilakukan dengan instrumen penegakan kedaulatan dan hukum di laut. Penegakan kedaulatan dan hukum di laut merupakan upaya untuk menjamin ketertiban masyarakat, karena penegakan kedaulatan dan hukum merupakan upaya agar hukum dapat ditaati oleh masyarakat. Dalam menangani permasalahan illegal fishing, penegakan kedaulatan dan hukum yang dilakukan dapat menggunakan sarana hukum administrasi. Diperlukannya sarana hukum administrasi, oleh karena aktivitas illegal fishing juga berkaitan dengan perizinan yang diberikan oleh instansi yang berwenang. Apa yang dikemukakan oleh Siti Sundari Rangkuti sejalan dengan laporan Kongres PBB ke-VI, bahwa untuk mengefektifkan penanggulangan kejahatan ekonomi, disarankan penggunaan pidana penjara (imprisonment), denda yang tinggi (increased fine) dan tindakan-tindakan yang bersifat keperdataan dan administratif (civil and administrative measures) (Muladi, 2002)

Menurut Siti Sundari Rangkuti (Rangkuti, 2005) penegakan hukum preventif diartikan sebagai pengawasan aktif yang dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa kejadian langsung yang menyangkut peristiwa konkrit yang menimbulkan sangkaan bahwa peraturan hukum telah dilanggar. Instrumen bagi penegakan hukum preventif adalah penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan yang sifatnya pengawasan. Penegakan hukum yang bersifat represif dilakukan dalam hal perbuatan yang melanggar peraturan dan bertujuan untuk mengakhiri secara langsung perbuatan terlarang (Untuk itu, pejabat/aparat yang berwenang memberi izin merupakan aparat penegak hukum yang utama dalam mencegah terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan dalam perundang-undangan.

Ditinjau dari aspek hukum administrasi, pemberian ijin merupakan kewenangan (beleid) dari perbuatan pemerintahan (bestuurhandelingen) untuk mengkonkritkan norma yang sifatnya abstrak. Berkaitan dengan perijinan di bidang perikanan, diatur secara tegas dalam Undang Undang (UU) Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Menurut UU Nomor 45 Tahun 2009, untuk melakukan usaha perikanan dibutuhkan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI), Surat Ijin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). SIUP, SIPI dan SIKPI wajib ada pada semua kapal yang melakukan penangkapan ikan, baik di perairan kepulauan dan laut teritorial Indonesia maupun sampai pada zona ekonomi eksklusif Indonesia.

Setiap orang maupun badan hukum yang melakukan usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia diwajibkan untuk memperoleh ijin. Di sini ijin merupakan instrumen yang penting. Olehnya itu, ijin dapat diletakkan dalam fungsi untuk menertibkan masyarakat, dengan tujuan, (a) Keinginan mengarahkan (mengarahkan �sturen�) aktivitas-aktivitas tertentu; (b) Mencegah bahaya bagi lingkungan; (c) Keinginan melindungi obyek-obyek tertentu; (d) Hendak membagi benda-benda yang sedikit; dan (e) Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas. SIUP, SIPI, maupun SIKPI merupakan wewenang Menteri Kelautan dan Perikanan, yang di dalamnya terdapat syarat-syarat untuk ditaati oleh penerima ijin. Syarat-syarat yang ditentukan dalam pemberian ijin tersebut merupakan norma perilaku yang memberikan kebolehan khusus terhadap norma yang dilarang dalam undang-undang. Dikatakan demikian, karena berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, �negara diberikan hak menguasai untuk mengatur peruntukan dan penggunaan wilayah air sebagai untuk kemakmuran rakyat�. Oleh sebab itu dengan ijin, setiap orang maupun badan hukum (korporasi) yang memiliki kebolehan khusus untuk melakukan usaha perikanan pada wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh negara, dan untuk itu harus ditaati dalam melakukan usaha perikanan sesuai dengan syarat-syarat yang dipenuhi.

Penegakan hukum terhadap praktek illegal fishing, dari aspek hukum administratif penting bagi aparatur yang memberikan ijin, karena harus ditindak lanjuti dengan pengawasan intensif berkaitan dengan ijin yang diberikan. Diperlukannya pengawasan intensif, oleh karena antara perijinan dengan pengawasan terdapat hubungan, di mana larangan yang diperbolehkan itu harus diawasi agar sesuai dengan syarat-syarat yang telah dipenuhi dalam pemberian ijin. Perijinan juga memiliki kaitan dengan penerapan sanksi berdasarkan syarat-syarat perijinan. Syarat-syarat inilah yang kemudian merupakan patokan bagi aparatur penegak hukum untuk menerapkan sanksi administrasi, apabila tidak ditaati oleh setiap orang maupun badan hukum (korporasi) yang melakukan usaha perikanan.

Selain itu, sanksi administrasi juga pada hakikatnya mengancam setiap kegiatan atau usaha yang dilakukan tanpa ijin, sedangkan pengawasan yang dilakukan dapat mendeteksi terjadinya pelanggaran secara dini, sehingga sanksi administrasi dapat diterapkan secara cepat dan tepat. Dengan demikian, penegakan hukum dengan menggunakan sarana hukum administrasipun sangat diperlukan dalam menangani praktek illegal fishing yang terjadi di Indonesia, dengan melakukan pengawasan intensif. Kesadaran pejabat pembuat ijin berkaitan dengan kedudukannya selaku aparatur penegak hukum administrasi sangat dibutuhkan, karena selaku aparatur yang menerbitkan ijin, sekaligus berwenang mencabut izin sebagai bentuk dari sanksi administrasi. Urgensi penegakan hukum administrasi yang berkaitan dengan sanksi penertiban dan pencabutan izin, jika ditelaah dapat mengakibatkan konflik norma. Kenapa, karena pada hakikatnya pejabat yang menerbitkan ijin berkewenangan melakukan penertiban dan pencabutan ijin tersebut. Dari sisi pengaturan administratif, konflik norma merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya illegal fishing.

 

 

 

Kesimpulan

Penegakan kedaulatan dan hukum di laut dalam wilayah peraiaran Indonesia merupakan suatu keharusan untuk mempertahankan wilayah negara kesatuan republik indonesia, sehingga dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya baik untuk kepentingan pertahanan maupun terutama untuk kesejahteraan masyarakat indonesia secara berkelanjutan. Penegakan kedaulatan dan hukum di laut terkait penanggulangan ilegall fishing, perlu dilakukan secara berkualitas dan sistematis mengingat sumber daya alam yang ada dalam wilayah laut indonesia memilki nilai ekonomis yang tinggi. Penegakan hukum melalui sanksi administrasi juga pada hakikatnya mengancam setiap kegiatan atau usaha yang dilakukan tanpa ijin, sedangkan pengawasan yang dilakukan dapat mendeteksi terjadinya pelanggaran secara dini, sehingga sanksi administrasi dapat diterapkan secara cepat dan tepat

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Bernard Kent Sondakh. (2004). Pengamanan Wilayah Laut Indonesia, Jurnal Hukum Internasional, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Indonesia, Jakarta.

 

Boer Mauna. (2003).Hukum Internasional Pengertian, Peranan, Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung.

 

Fauzi Akhmad. (2005). Kebijakan Perikanan dan Kelautan, Isue, Sintesis dan Gagasan; Pustakata Gramedia, Jakarta

 

Leatemia, W., & Wattimena, R. M. (2021). Problematika Hukum dalam Penanggulangan Illegal Fishing Di Provinsi Kepulauan Maluku. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia6(11), 5964-5978.

 

Muhamad, S. V. (2016). Illegal fishing di perairan indonesia: permasalahan dan upaya penanganannya secara bilateral di Kawasan. Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri dan Hubungan Internasional3(1).

 

Muladi. (1997). Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Universitas

Diponegoro, Semarang.

 

Muladi dan Barda Nawawi. (2002), Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung.

Peter Mahmud Marzuki. (2006). Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta

 

Sefriani. (2016). Hukum Internasional, Suatu Pengantar; Raja Grafindo Persada, Jakarta.

 

Siti Sundari Rangkuti. (2005). Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan, Airlangga University Press

 

Sudirman Saat. (2009). Hak Pemeliharaan dan Penangkap Ikan, Eksisten dan Prospek Pengaturannya di Indonesia, LkiS, Yogyakarta.

 

Sularso Aji. (2004). Mecari Solusi Mengatasi Illegal Fishing Di Perairan Laut Arafura,Forum Hukum, Vol. 1 Nomor 2

 

Tahamata, L.C. (2021). Penegakan Hukum Diwilayah Laut Maluku oleh Lantamal IX Ambon. Balobe Law Journal, 1(1), 17-24. DOI: https://doi.org/10.47268/balobe.v1i1.507.

 

Wignyo Handoko. (2004). Kebijakan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Jurnal Hukum Internasional, Edisi Khusus, dan lihat juga Fredy B.L Tobing, Peran Negara Dalam Menangani Isu Bajak Laut yang Bersifat Transnasional di Asia Tenggara

 

 

 

Copyright holder:

Wilshen Leatemia, Ricky Marthen Wattimena (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: