Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 5, Mei 2022

 

PENGUNGKAPAN IDENTITAS PASIEN COVID-19 KEPADA PUBLIK DALAM PERSPEKTIF KEWENANGAN KERAHASIAN PASIEN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK MEDIS

 

Armen Sosialisa Sihotang1, Eddy Asnawi2, Bahrun Azmi3

1 Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Lancang kuning Pekanbaru, Indonesia

2 Dosen Pembimbing 1 Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Lancang kuning Pekanbaru, Indonesia

3 Dosen Pembimbing 2 Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Lancang kuning Pekanbaru, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Melihat kondisi wabah COVID-19 saat ini, terjadi dorongan akan keterbukaan arsip rekam medis secara akurat dan transparan dengan target guna menghentikan rantai penebaran virus, oleh sebab itu rekam medis pasien Covid-19 boleh dibuka apabila hal tersebut menyangkut kepentingan umum, atas dasar perintah undangundang, atas izin pasien yang bersangkutan serta dalam proses penegakkan hukum. Adapun Jenis riset yang dipakai adalah riset hukum normatif dengan pendekatan perUUan dan pendekatan konseptual. Hasil riset ini memperlihatkan bahwa pada dasarnya pasien tak terkecuali pasien positif Covid-19 memperoleh kewenangan guna merahasiakan dan mempunyai kepastian agar tetap merahasiakan penyakitnya serta kondisi medis terkait sebagai bagian dari aspek hukum privat. Pada aspek kesenjangan norma yang terjadi antara UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Medis dengan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Arsip Publik dalam hal transparansi arsip rekam medis pasien Covid-19, maka dipakai asas hukum yaitu asas Lex Spesialis Derogat Lex Generali. Dengan begitu keberlakuan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Arsip Publik akan dikesampingkan karena regulasi ini merupakan aturan yang umum terkait dengan pengaturan rekam medis pasien.

 

Kata kunci: Pengungkapan; Identitas; Pasien Covid-19�

 

Abstract

The form of regulation and legal protection for the medical records of positive Covid-19 patients in positive law and the gap in norms in the protection of the transparency of information on the medical records of Covid-19 patients. However, looking at the current Covid-19 wabahc situation, there is a push for accurate and transparent disclosure of medical record information with the aim of stopping the chain of spreading the virus, therefore the medical records of Covid-19 patients may be opened if it concerns the public interest, on the basis of statutory orders, with the permission of the patient concerned and in the law enforcement process. The type of research used is normative legal research with a statutory approach and a conceptual approach. The results of this research show that basically patients, including those who are positive for Covid-19, have the right to keep secrets and have the assurance that their illness and related medical conditions are part of the private law aspect. On the aspect of the norm gap that occurs between Law Number 39 of 2009 concerning Health, Law Number 44 of 2009 concerning Hospitals and Law Number 29 of 2004 concerning Medical Practice and Law Number 14 of 2008 concerning Openness of Public Information In terms of transparency of medical record information for Covid-19 patients, the legal principle is used, namely the Lex Specialist Derogat Lex Generali principle. In this way, the enactment of Law Number 14 of 2008 concerning Disclosure of Public Information will be set aside because this regulation is a general rule related to the regulation of patient medical records.

 

Keywords: Disclosure; Identity; Covid-19 Patients.

 

Pendahuluan

Awal tahun 2020 penduduk dunia digegerkan dengan munculnya virus Covid-19 yang disinyalir bersumber dari kota Wuhan China. Virus Covid-19 di Indonesia terus menyebar ke seluruh 34 provinsi telah terdampak akan penularan virus ini dan berbagai macam permasalahan muncul di seluruh dunia tidak terkecuali di Indonesia, adalah tidak terkedalinya jumlah pasien diseluruh Indonesia, dan makin banyaknya pasien positif di berbagai daerah kota dan kabupaten dan mengakibatkan kepanikan di seluruh lapisan penduduk.�

Salah satu permasalahan yang paling banyak menimpa penduduk dan menjadi suatu kekuatiran dipenduduk khususnya didaerah terkait dengan pengumuman jumlah pasien terdampak positif Covid-19. Tim gugus penanggulangan daerah yang selalu aktif menyampaikan kondisi terkini kasus di setiap daerah akan mendapatkan banyak pertanyaan dari penduduk apabila terdapat penambahan pasien positive Covid-19, tata cara kerja tim gugus penanggulangan Covid-19 apabila terdapat penambahan pasien positif Covid-19 dengan cara mengumumkan identitas umum pasien yaitu berupa, jenis kelamin, umur dan kecamatan wilayah tempat tinggal pasien serta riwayat perjalanan pasien tersebut. Berbagai macam arsip yang belum terkonfirmasi kebenarannya sangat cepat tersebar melalui media sosial terutama mengenai identitas pasien yang seharusnya dirahasiakan. Permasalahan lain timbul adalah bukan hanya mengenai identitas pasien yang tersebar tetapi rekam medik kesehatan pasien selama ini turut disebarkan dengan luas melalui media sosial. Menyebarkan arsip tentang memo pasien dilarang dan dilindungi oleh hukum jika dilaksanakan dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan. Selama ini kita semua tahu bahwa rekam medis pasien merupakan rahasia yang perlu dilindungi oleh semua pikewenangan yang terlibat sesuai kesepakatan.�

Seperti halnya yang terjadi di wilayah Kecamatan Mandau, penebaran nama-nama pasien terkomfirmasi covid-19 menyebar luas lewat media sosial seperti WA (WhatsApp), FB (facebook) dan lain-lain, hal ini membuat pasien yang terkomfirmasi covid-19 merasa kewenangan privasinya terganggu, sehingga menimbulkan dampak sosial yang intens, seperti dijauihi, dikucilkan dan sebagainya (Widjaja, 2021) .�

Pasal 47 ayat (2) UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Medis mengatakan bahwa �Rekam medis harus dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan kepala bantuan kesehatan. Pasal 48 ayat (1) UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Medis mengatakan bahwa �Rahasia medis adalah memo dan arsip tentang kesehatan seseorang yang didapatkan petugas kesehatan pada waktu menjalankan pekerjaan atau profesinya. Selanjutnya dalam Pasal 1 Sistem Menteri Kesehatan Nomor 269 Tahun 2008 tentang Rekam Medis menyatakan, �Rekam medis adalah dokumen yang berisi memo dan arsip mengenai identitas pasien, pemeriksaan, penyembuhan, reaksi dan bantuan lain yang telah diberikan kepada pasien.�

Konsensus adalah salah satu sumber keterlibatan. Kontrak menciptakan kontrak yang menciptakan kewajiban bagi satu atau lebih pikewenangan dalam kontrak (Guwandi, 2019). Perikatan adalah hubungan hukum antara sejumlah badan hukum yang dalam hal ini mengikat satu orang atau lebih untuk berbuat atau tidak kepada pikewenangan lain[1]. Beberapa janji memong dari konsensus dan beberapa memong dari UU. Salah satunya adalah kesepakatan dalam bidang kesehatan antara dokter dan pasien yang lahir dari suatu kesepakatan, yang sering disebut dengan kesepakatan terapeutik. Segala sesuatu yang termasuk dalam kontrak adalah rahasia dokter dan pasien.�

Kontrak penyembuhan atau transaksi penyembuhan adalah penyembuhan suatu penyakit oleh dokter yang didukung oleh dua jenis kewenangan antara dokter dan pasien yang memiliki sifat yang lebih mendasar dan lebih individu: kewenangan atas berita (the right to information) guna mencari atau menemukan penyembuhan sebagai inisiatif. Dan kewenangan guna mengatur nasib sendiri. Pada hubungan hukum yang terjadi pada kasus penebaran virus Covid-19 terdapat perbedaan yang menurut peneliti berbeda dengan perjanjian yang melahirkan ikatan antara dokter dan pasien yang sifatnya tertutup. Kasus�

Covid-19 telah dinyatakan sebagai bencana nonalam oleh pemerintah sehingga pikewenangan yang terlibat dalam hubungan hukum bukan saja antara dokter dan pasien tetapi juga pemerintah selaku pikewenangan yang berkewajiban melinudngi penduduk dari penebaran virus Covid-19 (Utami, Pinzon, & Meliala, 2021).�

Permasalahan terbesar yang muncul saat ini adalah mengenai klaster virus Covid-19 yang masih sangat sulit untuk terditeksi penebarannya atau biasa disebut contact tracing pasien. Tidak terbacanya tracing pasien positive drumoratu daerah sangat berbahaya karena akan terus memunculkan kasus klaster terbaru khususnya dari orang-orang yang masuk katagori Pasien Dalam Pengawasan (PDP) ataupun Orang Tanpa gejala (OTG). Desakan muncul dari berberapa penduduk mengenai pentingnya untuk mengumumkan identitas lengkap pasien positive Covid-19 sebagai upaya menghentikan penebaran pasien positive di Indonesia. Pengumuman yang selama ini dilaksanakan yang hanya menyebutkan jenis kelamin dan kecamatan atau kelurahan pasien positif disinyalir belum mampu menghentikan dan tidak dapat membaca tracing pasien positive. Berdasarkan kerangka diatas, maka diperlukan pertahanan hukum terhadap pasien sebagai pelanggan dalam layanan kesehatan dalam hal Pengungkapan Identitas Pasien Covid-19 kepada Publik sangat kompleks dan mengandung rumor-rumor yang menarik untuk dipelajari.�

�

Metode Riset

Metode riset yang peneliti pakai adalah riset hukum normatif, Hal ini ditujukan agar peneliti bias memahami sedalam-dalamnya apa saja alat-alat ukur yang ada pada saat membahas riset ini, sehingga dapat menemukan maksud sebenarnya dari target �riset ini. Menurut Bagir Manan, �riset normatif adalah studi tentang kaidah-kaidah dan dasar hukum yang ada (Setiawan, 1999). Menurut Haryono, berbagai kaidah hukum yang menjadi pusat dan fokus kajian dikaji, sehingga harus mengpakai kajian normatif maupun pendekatan perUUan. Menurut Peter Mahmud Marzuki, �Pendekatan hukum dilaksanakan dengan mengkaji semua sistem perUUan yang terkait dengan permasalahan hukum yang ditangani. Pendekatan perUUan adalah pendekatan yang mengpakai sistem perUUan (Prananda, 2020).

1)   Pendekatan yuridis normatif dilaksanakan dengan menyelidiki dan menafsirkan hal-hal teoritis yang berkaitan dengan asas, konsep, dogma , dan norma usia dewasa seseorang dalam hukum.

94

2)   Pendekatan konseptual adalah pendekatan ini menyimpang dari perspektif dan dogma� yang menyebar dalam hukum. Pendekatan ini penting karena pemahaman mengenai dogma yang berkembang dalam hukum bisa menjadi dasar guna menghasilkan perdebatan hukum saat menangani masalah hukum secara langsung. Dogma �memperkuat gagasan dengan memberikan pemahaman hukum, rancangan hukum, dan asas hukum yang berhubungan dengan masalah (Muhammad, 2021).

3)   Pendekatan historis adalah bahwa pendekatan ini dilaksanakan dalam kerangka pemahaman filosofi negara hukum dari waktu ke waktu dan pemahaman tentang peralihan dan penebaran filosofi yang mendasari negara hukum. Pendekatan ini dilaksanakan dengan menyelidiki kerangka regulasi dan perkembangan permasalahan hukum yang sedang dialami (Azizah, 2020).

�

Jenis dan Sumber Data

Penyidikan hukum normatif, sumber memonya adalah MEMO SEKUNDER, yang dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a.    Sumber hukum utama adalah sumber utama arsip riset. Bahan hukum utama dapat dalam format berikut: UU 29 Tahun 2004 tentang Praktik Medis, Sistem Menteri Kesehatan 269 Tahun 2008 tentang Rekam Medis, dan sistem perUUan lainnya yang berhubungan dengan riset ini.

b.     Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang berfungsi memperkuat, menambah dan memaparkan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder bisa berupa: artikel, jurnal, buku-buku sastra yang berhubungan dengan pokok bahasan.�

c.    Bahan perUUan tersier adalah bahan perUUan yang berfungsi memaparkan bahan perUUan primer dan bahan perUUan sekunder. Bahan hukum tersier meliputi kamus hukum.

 

Teknik Pengumpulan Memo

Dalam penghimpunan informasi untuk penelusuran hukum normatif ini, peneliti mengpakai metode literature review atau riset arsipter. Dalam hal ini, penelaah harus berhati-hati dan akurat untuk menemukan memo yang terkandung dalam sistem dan kepustakaan yang relevan dengan masalah yang diselidiki.�

 

Teknik Analisis Memo�

Tenik telaah data yang peneliti pakai pada riset hukum normatif ini adalah dilaksanakan dengan menganalisis data secara kualitatif. Artinya, peneliti menjabarkan bahan hukum yang terkumpul dan mengelolanya secara sistematis. Sistematis artinya mengpakai analisis kualitatif untuk mengklasifikasikan bahan hukum. Analisis kualitatif bertarget untuk menjabarkan memo berdasarkan persektif teoritis dan bahan hukum yang ada serta menarik kesimpulan alhasil bisa menyatakan apa yang dibutuhkan dalam riset ini. Kedua, dalam menarik kesimpulan, peneliti mengpakai metode induktif. Artinya, menarik kesimpulan dari apa yang secara inheren khusus untuk umum.

 

Hasil dan Pembahasan

1. Pengungkapan Identitas Pasien Covid-19 Kepada Publik Dalam Perspektif Kewenangan Kerahasian Pasien Dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Medis�

Sekarang adalah waktu yang tepat guna meningkatkan riset tentang hukum kesehatan bersama dengan hukum siber. Alasannya karena wabah Covid-19 sebagai masalah kesehatan penduduk belum berakhir. Alasan kedua, cyber law menjadi salah satu rumor hukum yang banyak dibicarakan bersamaan dengan pesatnya perkembangan teknologi (Riyanti, 2021).

Kerahasiaan dan pengungkapan data individu pasien merupakan salah satu rumor dalam hukum kesehatan. Hukum kesehatan adalah segala ketetapan hukum yang berkaitan langsung dengan bantuan kesehatan dan pelaksanaan berbagai sistem perUUan yang terkait dengannya. Wabah sebagai gejala yang berkaitan dengan medis manusia tentunya dekat kaitannya dengan praktik kesehatan. Misalnya, sistem vaksinasi, kerahasiaan informasi individu pasien, dan pelacakan kontak Covid-19. Pada saat yang sama, memo individu tergolong pada ruang cakupan perdebatan hukum siber (Boehme-Ne�ler, 2016).[2]�

Sistem Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE), memo individu adalah �informasi mengenai perseorangan, sistem elektronik dan/atau nonelektronik� (Azizah, 2020). Contoh memo mengenai orang yang bias diperiksa adalah informasi yang tentang perpindahan lokasi, yang merupakan basis informasi pencarian kontak (Riyanti, 2021).�

Salah satu wadah pengambilan data individu adalah ketika terjadi komunikasi antara penyedia layanan dan penerima layanan kesehatan. Misalnya, ketika memberikan perawatan dan layanan medis, profesional kesehatan perlu menerima, mendengar, dan mengetahui segala arsip tentang pasien. Tidak hanya dokter dan perawat sebagai tenaga medis, namun juga berbagai pikewenangan terkait seperti tenaga medis dan tenaga klerikal dapat melihat arsip tentang pasien.�

Arsip ini berisi informasi individu. Meski tidak ada wabah, informasi individu penting untuk diselidiki dan dipantau terus-menerus, baik dari segi regulasi maupun penegakannya. Konflik antara pentingnya kerahasiaan informasi individu dan kepentingan pemerintah atau pikewenangan lain dalam mengakumulasi dan mengolah informasi individu merupakan perdebatan yang menetapkan taraf demokrasi di sebuah negara. Sebab demokrasi memerlukan masyarakat sebuah negara yang mempunyai sifat-sifat demokratis seperti pandangan kritis dan openmind. Ini tidak dapat dicapai tanpa sistem privasi yang tepat.�

Terkait wabah, rumor data individu adalah pertahanan kewenangan privasi publik atas memo individu (tidak lagi hanya privasi pasien) dan penebaran Covid-19. Realisasi animo penduduk dalam penanggulangan wabah Covid-19 dilaksanakan dengan contact tracing guna mendeteksi siapa pun yang terpapar Covid19. Untuk menghadapi wabah, transparansi dan penebaran arsip kesehatan bagi pasien Covid-19 sering dianggap dapat meringankan pengendalian pemaparan virus. Kumpulan tanda pengenal, tempat tinggal, atau histori interaksi penduduk bias dipakai dalam menolong pemerintah mengekang epidemi Covid-19. Di seluruh negara, termasuk Indonesia, informasi ini dipakai dalam aplikasi tracing kontak Covid-19 (Hisbulloh, 2021)[3][4].�

Arsip kesehatan, di sisi lain, bisa dilihat sebagai kelanjutan dari informasi medis. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 1 sd 1 PP No. 46 tahun 2014. Oleh karena itu, arsip kesehatan hanya bisa ada dalam bentuk informasi kesehatan. Menurut Pasal 13-15, dalam PP Nomor 46 Tahun 2014, informasi dan arsip kesehatan akan tersedia dari sarana medis (penyedia bantuan kesehatan) dan penduduk. Data dan arsip kesehatan dari promosi kesehatan berasal dari rekam medis, dan yang berasal dari penduduk antara lain berasal dari riset, kajian dan report. Permenkes No. 2008, Pasal 1, 269, rekam medis itu sendiri memuat keterangan yang harus tertulis. Menurut Pasal 61 PP No., data dan arsip kesehatan tidak serta merta harus dirahasiakan. Menyampaikan data kesehatan dan arsip kesehatan menjadi terbuka dan tertutup 2014 46.�

Aturan informasi medis bisa diartikan oleh peneliti lebih luas dari arsip �sekedar� tentang komunikasi pasien dengan dokter. SIK bias diurus secara digital maupun non digital. Contoh SIK adalah Arsip Bantuan BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan), arsip obat termasuk konteks wabah ini: data pasien, gambaran distribusi dan konsekuensi, data distribusi vaksin, dan sistem pelacakan kontak Covid-19. .. Berdasarkan definisi data individu PPPSTE, termasuk frasa "setiap data tentang individu", peneliti adalah orang untuk rahasia medis, rekam medis, data kesehatan, arsip kesehatan, dan SIK. Peneliti menarik kesimpulan bahwa arsip mengenai pasien yang didapatkan dokter melampaui rahasia medis dan memo medis.�

Akan tetapi, arsip tersebut dapat diproses lebih lanjut dan dipakai. Rahasia medis dicatat/ditulis dalam bentuk rekam medis dan merupakan salah satu sumber memo memo kesehatan berdasarkan Pasal 14 PP No. 46 tahun 2014. Informasi medis relatif tidak bias dipakai bagi produk dan sistem yang ramah komunitas. Anda perlu mengubah data kesehatan anda menjadi berita medis. Informasi medis yang dipakai untuk mengorganisasikan SDM, teknik, dan cara kerja adalah Sistem Informasi Kesehatan (SIK). SIK yang terorganisir secara ampuh mengontrol pengendalian dan peredaman wabah Covid-19.�

2. Kewajiban Dokter dalam menjaga Identitas Pasien Covid-19 Kepada Publik Dalam Perspektif Kewenangan Kerahasian Pasien Dalam Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Medis�

Komunikasi antara pasien dan dokter itu menciptakan suatu hubungan hukum yang dikenal dengan sebutan �transaksi terapeutik�. Korelasi hukum ini memberikan kewenangan dan keharusan tersendiri kepada para pikewenangan. Sebagian tugas dokter adalah menyimpan kerahasiaan arsip mengenaipasien. Tetapi, keharusan ini tidak mutlak, sebab dapat dibuka pada beberapa kasus (Guldi, 2022). [5]�Pada Maret 2020, ada permimintaan pengujian materi mengenai keterbukaan data pasien Covid-19 yang diusulkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tiga ketetapan yang diusulkan untuk pengujian UUD 1945 adalah Pasal 48 Ayat 2 UU. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Medis, Pasal 38 Ayat 2 UU tersebut. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 73 UU (2). 36 tahun 2014 tentang petugas kesehatan (Riyanti, 2021) .[6]21�

Semua pasal yang diminta pada kewenanganikatnya merupakan dasar hukum untuk melindungi informasi individu pasien. Tetapi, orang yang memohon justru menilai ketiga ketetapan itu akan mengganggu kewenangan konstitusionalnya, sebab menurutnya memfasilitasi keterbukaan arsip pasien justru akan mengurangi penebaran virus lebih cepat. Pemohon ingin mengetahui secara pasti siapa saja yang positif Covid-19. ��

UU mengatur terkait kondisi yang bisa menjadi alasan pengungkapan rahasia medis dan rekam medis. Semuanya mungkin berisi memo individu pasien. Situasi wabah Covid-19 jelas berada dalam kondisi eksklusi di bawah kondisi seperti "demi UU", "demi kepentingan umum", "modis", dan "kepentingan umum". Kami perlu mempertimbangkan lebih lanjut seberapa banyak memo individu pasien yang bisa diungkapkan dan bagaimana mengelola pengungkapan data medis dengan benar. Berdasarkan ketetapan-ketetapan pokok UU di atas, peneliti tidak sependapat dengan keinginan mereka yang mengusulkan uji materi UU, dan peneliti merasa keinginan mereka ambigu. Ketiga pasal yang diuji meliputi persyaratan pengungkapan rahasia kesehatan/rahasia medis pasien, atau anomali kerahasiaan. Diskusi sebelumnya telah menunjukkan bahwa kondisi wabah adalah pengecualian dalam hal diperbolehkannya pengungkapan rahasia pasien. Padahal, Pengurus Besar Persatuan Dokter Indonesia (PB IDI) sendiri telah menyatakan bahwa pengungkapan tanda pengenal positif Covid-19 tidak melanggar hukum.[7]�

Pemeriksa harus mengkomunikasikan keinginan mereka kepada legislatif atau pemerintah mengenai prosedur pengungkapan rahasia medis dan, menurut dia, mengelola aturan berita kesehatan yang mudah diakskes. Selanjutnya, dari sisi keterbukaan arsip publik, jika melihat identitas berupa nama secara detail, siapa pun bisa melihat apakah seseorang di depan adalah orang yang terinfeksi Covid-19. Peneliti melihat ini sebagai sesuatu yang berlebihan dan tak seimbang dalam membalancing keperluan akan kerahasiaan dengan manfaat menahan pemaparan Covid-19.�

�

3. Implikasi hukum terhadap Pengungkapan Identitas Pasien Covid-19 Kepada Publik Dalam Perspektif Kewenangan Kerahasian Pasien Dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Medis�

Kesehatan merupakan kewenangan atau hak asasi setiap individu yang perlu direalisasikan oleh pemerintah dengan menyediakan bantuan jaminan kesehatan yang bermutu, tak terkecuali situasi wabah COVID-19 yang terjadi diseluruh dunia saat ini [8].�

Tanda pengenal pasien biasanya dituliskan dan diarsipkan dalam rekam medis'. Rekam medis ini adalah berkas yang berisi data dan arsip yang berkaitan dengan identitas pasien, pemeriksaan, penyembuhan, reaksi dan bantuan lain yang diberikan kepada pasien. Rekam medis ini adalah rahasia medis yang memuat identitas pasien positif COVID-19 yang wajib dijaga kerahasiaannya dan dijaga kerahasiaannya oleh pikewenangan rumah sakit atau dokter yang bertugas.�

UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Medis dalam UU Nomor 'Setiap dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik medis wajib memiliki rekam medis yang perlu diisi sesudah pasien menerima bantuan kesehatan. Selain itu disebutkan bahwa arsip rekam medis adalah milik dokter, dokter gigi atau organisasi bantuan kesehatan, dan isi rekam medis adalah milik pasien. Kebiasaan ini, yang merupakan kebiasaan petugas kesehatan untuk mencatat pasien dan dikenal dengan istilah "Status Pasien" dalam bahasa medis, sekarang menjadi kewajiban bagi setiap petugas kesehatan yang bekerja di institusi kesehatan. Sebutan yang populer di penduduk adalah �Medical Register� (Daftar Medis).�

Penyimpanan rekam medis menjadi tanggung jawab dokter/rumah sakit. Setiap dokter dan petugas rumah sakit bertanggung jawab untuk memastikan bahwa rekam medis pasien selesai dalam waktu yang ditetapkan setelah pasien meninggalkan rumah sakit. Bagian rekam medis harus menentukan prosedur untuk memberi tahu dokter jika ada memo medis yang hilang dan harus ditindaklanjuti. Sejak diterbitkannya Sistem Menteri Kesehatan Republik Indonesia 749a/MENKES/PER/XII/1989, sudah menjadi kewajiban bagi dokter/rumah sakit untuk memelihara rekam medis. Pengertian Rekam Medis menurut Pasal 1 huruf a, PerMenKes No. 749a tahun. Pasal 2 dan Pasal 10 ditetapkan tentang kepemilikan dari rekam medik.�

Sebagian dari tugas rumah sakit adalah memberikan penghormatan dan dan perlindungan hak pasien. Pelanggaran kewajiban rumah sakit diberikan hukuman administratif berupa teguran atau denda serta pencabutan izin rumah sakit. Artinya, apabila rumah sakit tidak menjaga identitas pasien positif COVID-19, rumah sakit itu bisa dikenakan hukuman administratif. Rumah sakit juga bisa dikenai hukuman pidana jika menyebarluaskan identitas pasien COVID-19. Sebab rumah sakit memenuhi kriteria sebagai lembaga publik yang ditentukan pada ayat (1) Pasal 54 UU Nomor 6698. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Arsip Publik (KIP). Berkenaan dengan pengungkapan identitas pasien COVID-19 adalah pertanyaan dokter atau dokter gigi yang tidak memenuhi kewajiban yang diatur dalam Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 51 huruf c UU Nomor 29 Tahun 2004, dapat dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000 berdasarkan Pasal 79 b dan c UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Medis.�

Tersebarnya tanda pengenal pasien khususnya pasien COVID-19 menjadi dilematis karena ada dua opini di kalangan para ahli, ada yang menyatakan wabah perlu pengecualian dalam artian identitas pasien dapat dipublish kuncinya sebab mengidap penyakit COVID19. Namun opini lain menyatakan identitas pasien wabah Covid-19 tidak bisa dipublish tergantung bunyi aturan di paragraf 1 pasal 46 dan huruf c pasal 51. Pendapat ahli UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Medis yang akan menghukum mereka yang mengungkapkan identitas pasien, didasarkan pada apa yang tertuang dalam UU No. 6698. Resolusi 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular didasarkan pada premis atau prinsip �lex specialis derogat legi generalis�. Dalam hal ini UU No. UU Nomor 4 Tahun 1984 merupakan UU khusus dan tidak mencakup sistem perUUan yang bersifat umum yaitu ketetapan UU Nomor 6698. Pertahanan hukum bagi pasien COVID-19 terkait Praktik Medis Tahun 2004 dapat dilaksanakan melalui 3 (tiga) upaya hukum, yaitu:�

1.     Upaya Hukum Permemo:�

Kerugian baik pasien COVID-19 maupun keluarganya yang menimbulkan kerugian material dan moral efek layanan medis dan layanan medis akibat kebocoran rahasia medis dapat digugat sesuai dengan hukum dan dapat dimintakan ganti rugi. Mengpakai perkara melawan hukum, yaitu Pasal 1365 KUHPermemo. Dengan memakai ketetapan Pasal 1365 KUH Permemo, personil atau petugas kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit Negara dan pikewenangan-pikewenangan yang menyebarkan tanda pengenal atau rekam medis pasien di tempat umum bisa dimintai ganti rugi. Entah itu kelalaian atau perbuatan kesengajaan yang menimbulkan kerugian materiil dan moral, maka efek bocornya rekam medis akan dihitung berapa hari. Berdasarkan bukti resmi, keadaan tersebut menunjukkan adanya dugaan kelalaian yang timbul dari suatu reaksi atau kewenangan yang dilaksanakan seseorang yang menyebabkan kerugian, seperti pemarsipan melalui pandangan, surat kabar, media online, reaksi publik, dan lain-lain. Dalam KUH Permemo, lebih banyak rekaman audio, gambar, arsip surat kabar online, dll. Cukup dengan menghadirkan bukti fisik sebagai alat bukti di pengadilan dengan kehadiran seorang saksi.[9]�

2.     Upaya Hukum Pidana:�

Kajian Hukum Pidana bisa dilihat dalam sistem perUUan sebagai berikut: a. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Medis; UU No. UU Nomor 29 Tahun 2004, selain mengurus masalah hukum administrasi, juga mengatur banyak hukuman pidana terhadap dokter yang melakukan kesalahan pada praktik medisnya. Pasal 75 sampai dengan 80 yang memuat hukuman pidana, tetapi berhubungan langsung dengan profesi medis, termasuk dalam Pasal 79 huruf c.

Ketetapan Pasal 51 adalah ketetapan mengenai kewajiban yang perlu dipenuhi oleh dokter atau dokter gigi dalam menjalankan profesi medis, dan apabila kewajiban tersebut tidak dipenuhi, maka akan dikenakan hukuman pidana yang diatur dalam Pasal 79 UU Nomor 6698. 29 Tahun 2004 dan Pasal 51 UU Nomor 29 Tahun 2004.

3. Upaya Hukum Administrasi�

Karena target Konsil Medis Indonesia menurut ketetapan UU No. 6698, maka pekerjaan yang bisa dilaksanakan adalah melaporkan kepada Konsil Medis Indonesia (KKI) untuk pertahanan. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Medis bertarget guna menjaga penduduk yang memperoleh bantuan kesehatan dari dokter dan dokter gigi. Selain itu, juga dibawa ke Dewan Kehormatan Disiplin oleh pasien COVID-19 atau siapa saja yang merugikan urusan reaksi dokter atau dokter gigi saat melaksanakan profesi medis. Pengaduan diajukan secara tertulis kepada Ketua Badan Kehormatan Disiplin, dengan menyebutkan identitas pelapor, nama dan alamat praktiknya, tanggal reaksi dan alasan pengaduan. Apabila benar, dokter mendapat teguran sampai surat tanda registrasi atau izin praktik dicabut.�

�

 

 

Kesimpulan

Menurut penjabaran yang didapat, maka kesimpulan yang didapatkan adalah : �Pengungkapan Tanda Pengenal Pasien Covid-19 Kepada Publik Dalam Perspektif Kewenangan Kerahasian Pasien Dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Medis bahwa adanya pertahanan hukum terhadap pasien positif Covid- 19 yang diatur dalam beberapa regulasi yaitu UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedoteran, Undang- Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Arsip Publik dan PERMENKES Nomor 269 Tahun 2008 tentang Rekam Medis yang pada intinya pasien termasuk pasien Covid-19 memiliki kewenangan untuk merahasiakan� data medisnya terkait sebagai bagian dari aspek hukum privat. Karena itulah, pembukaan rekam medis pasien boleh dilaksanakan atas izin pasien, atas dasar perintah UU, guna keperluan umum serta dalam proses penegakkan hukum.�

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Azizah, Laela Khonaatul. (2020). Pengaruh Peran Orang Tua Terhadap Keaktifan Belajar Siswa Pada Masa Pandemi Covid-19 Di Min 2 Madiun Kabupaten Madiun Tahun Pelajaran 2020/2021. Iain Ponorogo.

 

Boehme-Ne�ler, Volker. (2016). Privacy: A Matter Of Democracy. Why Democracy Needs Privacy And Data Protection. International Data Privacy Law, 6(3), 222�229.

 

Guldi, Jo. (2022). The Long Land War: The Global Struggle For Occupancy Rights. Yale University Press.

 

Guwandi, J. (2019). Hukum Medik (Medical Law).

 

Hisbulloh, Moh Hamzah. (2021). Urgensi Rancangan Undang-Undang (Ruu) Perlindungan Data Pribadi. Jurnal Hukum, 37(2), 119�133. Https://Doi.Org/10.26532/Jh.V37i2.16272

 

Muhammad, Agenda Citra. (2021). Pembukaan Kerahasiaan Data Pribadi Pasien Dan Data Pribadi Masyarakat Untuk Pelacakan Kontak Demi Menekan Penyebaran Covid-19. Jurnal Legislatif, 153�167. Https://Doi.Org/10.20956/Jl.Vi.14597

 

Prananda, Rahandy Rizki. (2020). Batasan Hukum Keterbukaan Data Medis Pasien Pengidap Covid-19: Perlindungan Privasi Vs Transparansi Informasi Publik. Law, Development And Justice Review, 3(1), 142�168. Https://Doi.Org/10.14710/Ldjr.V3i1.8000

 

Riyanti, Dinda Nur. (2021). Perlindungan Hukum Bagi Pasien Covid-19 Menurut Hukum Positif Di Indonesia. Lex Administratum, 9(2).

 

Setiawan, Rachmat. (1999). Pokok-Pokok Hukum Perikatan.

 

Utami, Yohana Puji Dyah, Pinzon, Rizaldy T., & Meliala, Andreasta. (2021). Evaluasi Kesiapan Rumah Sakit Menghadapi Bencana Non-Alam: Studi Kasus Covid-19 Di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia: Jkki, 10(2), 100�106.

 

Widjaja, Gunawan. (2021). Perikatan Yang Lahir Dari Undang-Undang. Buku Dosen-2019.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Copyright holder:

Armen Sosialisa Sihotang, Eddy Asnawi, Bahrun Azmi (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: