Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 5, Mei 2022

 

ANALISIS YURIDIS PENYIMPANGAN PASAL 285 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 PADA PERJANJIAN PERDAMAIAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) DIKAITKAN DENGAN SYARAT SAH PERJANJIAN

 

Kemal Azhardhia Ghiffary, Kurnia Toha

Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Perjanjian timbal balik merupakan perjanjian yang pasti memiliki hak dan kewajiban yang telah diatur dan ditujukan kepada kedua belah pihak yang berjanji. Pihak yang berkewajiban melakukan prestasi juga berhak menuntut kontraprestasi atas hak dan kewajiban tersebut. Setiap perjanjian timbal balik hak dan kewajiban satu pihak akan dihadapkan dengan hak dan kewajiban pihak lain, dengan asumsi hak dan kewajiban tersebut dianggap selalu memiliki prinsip bahwa kedua belah pihak haruslah secara tanggung renteng atau secara bersama-sama dibebani hak-hak dan secara bersama-sama pula dibebani atas kewajiban-kewajibannya.Homologasi adalah pengesahan perdamaian oleh pengadilan negeri. Putusan Perdamaian yang telah dihomologasi merupakan perjanjian yang syarat sahnya juga mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah berkaitan dengan status perdamaian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang menyimpangi Pasal 285 ayat (2) UUKPKPU. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan analisis kasus. Selain itu, tesis ini juga melakukan analisis data sekunder yang dilakukan secara kualitatif. Dari analisis yang dilakukan, dapat dinyatakan bahwa menyimpangi Pasal 285 ayat (2) UUKPKPU telah melanggar salah satu syarat sah perjanjian sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata

 

Kata kunci: Perjanjian, Syarat Sah Perjanjian, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Abstract

A reciprocal agreement is an agreement which definitely has rights and obligations that have been regulated and addressed to both parties who promise. Parties who are obliged to perform achievements are also entitled to claim counter-achievements of these rights and obligations. Every reciprocal agreement on the rights and obligations of one party will be faced with the rights and obligations of the other party, assuming these rights and obligations are considered to always have the principle that both parties must jointly or jointly be burdened with rights and jointly also burdened with its obligations. Homologation is the ratification of composition plan by the district court. The Homologated Composition Plan is an agreement whose legal requirements also refer to Article 1320 of the Civil Code. The problem raised in this research is related to the peace status of Suspension of Debt Payment Obligations (PKPU) which deviates from Article 285 paragraph (2) of the UUKPKPU. To answer these problems, a normative research method with a statutory approach and case analysis is used. In addition, this thesis also analyzes secondary data which is done qualitatively. From the analysis carried out, it can be stated that violating Article 285 paragraph (2) of the UUKPKPU has violated one of the legal conditions of the agreement as stipulated in Article 1320 of the Civil Code.

 

Keywords: Agreement, Legal Terms of Agreement, Suspension of Debt Payment Obligations.

 

Pendahuluan

Perkembangan sektor bisnis berbanding lurus dengan perkembangan dan juga kompleksitas atas permasalahan dalam bisnis pula. Banyaknya kompleksitas atas permasalahan yang timbul tentunya juga berkaitan erat dengan jumlah pihak-pihak yang terkena dampak. Permasalahan yang timbul inilah yang memicu adanya inkonsistensi dan ketidakstabilan bisnis sehingga berpengaruh pada tingkat prestasi antara para pihak dalam menjalankan bisnis; salah satu masalah yang paling umum adalah mengenai hutang yang tidak terbayar (default). Dibutuhkan suatu produk hukum sebagai penunjang sekaligus koridor bagi para pihak agak memiliki aturan main dalam berbisnis, produk hukum tersebut adalah perjanjian, sehingga dalam perjanjian tersebut akan muncul setidak-tidaknya hak dan kewajiban para pihak (Wicaksono, 2008). Perjanjian adalah kesepakatan antara para pihak sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), perjanjian adalah suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang lainnya atau lebih. Perjanjian juga dapat pula dimaknai sebagai sumber perikatan yang terpenting dan menjadi sebab terbanyak lahirnya perikatan adalah perjanjian-perjanjian (Hadisoeprapto et al., 1984).

Selanjutnya Subekti menjelaskan bahwa perjanjian adalah formasi konkrit dari perikatan, sedangkan perikatan merupakan formasi abstrak dari perjanjian. Hal tersebut dapat ditafsirkan bahwa terdapat suatu hubungan hukum yang bersifat timbal balik yang esensinya adalah hak dan kewajiban para pihak, di mana terdapat hak untuk saling menuntut hak dan kewajiban atas pemenuhan tuntutan tersebut sebagaimana telah diatur dalam perjanjian (Hartana, 2016). J. Satrio juga turut menjelaskan mengenai klasifikasi perjanjian; menjelaskan bahwa perjanjian bisa dikategorikan menjadi beberapa klasifikasi, diantaranya merupakan perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik. Perjanjian timbal balik adalah adanya hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari perjanjian dan mengikat antara pihak-pihak dalam perjanjian tersebut (Satrio, 1995). Hak dan kewajiban tersebut satu sama lain memiliki korelasi yang erat satu sama lainnya. Korelasi yang dimaksud adalah hubungan antara satu pihak dengan pihak lain bahwa dalam perjanjian yang melahirkan perikatan tersebut memiliki hak, maka pihak yang berlawanan secara otomatis akan memiliki kewajiban yang bersifat berkebalikan dari hak pihak lain dalam perjanjian tersebut (Komariah, 2005).

Perjanjian timbal balik merupakan perjanjian yang pasti memiliki hak dan kewajiban yang telah diatur dan ditujukan kepada kedua belah pihak yang berjanji. Pihak yang berkewajiban melakukan prestasi juga berhak menuntut kontraprestasi atas hak dan kewajiban tersebut. Setiap perjanjian timbal balik hak dan kewajiban satu pihak akan dihadapkan dengan hak dan kewajiban pihak lain, dengan asumsi hak dan kewajiban tersebut dianggap selalu memiliki prinsip bahwa kedua belah pihak haruslah secara tanggung renteng atau secara bersama-sama dibebani hak-hak dan secara bersama-sama pula dibebani atas kewajiban-kewajibannya (Budiono, 2010).

Utang piutang yang secara khusus diatur dalam perjanjian utang piutang juga merupakan bagian dari kategori perjanjian timbal balik, karena dalam perjanjian utang piutang memiliki konsep yang serupa, yaitu pihak kreditur memberikan pinjaman berupa harta atau aset sedangkat pihak debitur mengembalikan harta atau aset sesuai dengan jangka waktu tertentu. Dalam hal debitur tidak mampu melakukan prestasi atas pengembalian harta atau aset, maka pihak tersebut dinyatakan wanprestasi atau default. KUHPerdata turut pula menjelaskan mengenai utang; yaitu kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah tertentu baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang nantinya akan berpotensi timbul di masa depan dan merupakan akibat dari perjanjian atau Undang-Undang dan wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur dengan tujuan mendapatkan prestasi dari harta arau aset dari debitur. Kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU) diatur secara tegas, khususnya Pasal 1 angka 6 yaitu yang dimaksud dengan kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannnya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas.

Perjanjian yang memiliki tagihan atas utang dapat dimintakan pertanggung jawabannya selain dengan gugatan perdata yaitu dengan upaya hukum kepailitan atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Bahasa Belanda, Perancis, dan Inggirs mengenal istilah pailit namun nomenklatur tersebut memiliki arti ganda (multi definition) yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Bahasa Perancis memiliki nomenklatur yaitu dengan istilah failite yang artinya adalah macet atau mogok atau berhenti membayar utang yang dimilikinya. Pihak yang mogok atau macet atau berhenti membayar utang yang dimilikinya disebut dengan nomenklatur Le Faile. Bahasa latin juga menggunakan nomenklatur serupa yaitu failire dan dalam bahasa Inggris diterjemahkan secara resmi dengan istilah to fail. Pada beberapa negara yang berbahasa Inggris, nomenklatur pailit dan kepailitan menggunakan istilah resmi yaitu bankrupt dan bankruptcy (Asikin, 1991).

Kepailitan dan pailit dalam konteks Bahasa Indonesia memiliki makna definitif yang berbeda. Pailit adalah suatu kondisi yang mana debitur tidak mampu untuk melakukan prestasi berupa pembayaran-pembayaran terhadap tanggungan berupa utang dari kreditur-krediturnya. Kondisi seperti demikian secara umum disebut dengan financial distress. Sedangkan kepailitan merupakan kondisi di mana telah tercapai proses litigasi berupa putusan pengadilan yang menyebabkan adanya sita umum atas seluruh kekayaan debitur pailit; hal tersebut berlaku untuk debitur yang telah ada maupun yang di masa depan akan berpotensi ada. Kurator di bawah pengawasan hakim pengawas akan melakukan tugas pengurusan dan pemberesan kepailitan dengan capaian utama yang menggunakan hasil penjualan harta kekayaan milik debitur pailut secara proporsional (prorate parte) dan besarannya sesuai dengan struktur kreditur (Shubhan, 2015). Nilai-nilai utama yang menjadi titik permulaan dari regulasi mengenai Kepailitan sebelumnya berdasar pada Buku I, II, III, dan IV KUHPerdata. Pada Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) diawali dengan pertanyaan mengenai siapa pihak Orang, baik rechpersoon maupun naturlijkpersoon yang dapat dinyatakan pailit, apa saja yang dapat dijadikan sebagai jaminan serta transaksi yang bagaimana yang terjamin atas eksekusinya. Semua pertanyaan tersebut adalah nyawa daripada UUKPKPU dibuat dan menjadi konsep utama yangn bersifat fundamental menuju pada prosedur pernyataan dan keputusan pailit. Konsep dasar tersebut kemudian secara tegas diatur lebih rigit pada ketentuan kepailian dan penundaan kewajiban pembayaran utang di UUKPKPU (Shubhan, 2015).

Pada awalnya, kepailitan diatur oleh beberapa ketentuan perundang-undangan tentang Kepailitan dan dikenal dengan istilah Failissment Verordening (FV), yaitu Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 Jo. Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348. Pada perkembangannya muncul penyempurnaan regulasi yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 sehubungan dengan gejolak moneter yang menimpa Indonesia sejak tahun 1907 hingga sekitar 1908 sebaai perubahan dari FV. Peraruran Pemerintah tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 dan berakibat belum terpenuhinya perkembangan dan kebutuhan akan kompleksitas hukum pada masa itu, kemudian disempurnakan dan diperbarui kembali dengan UUKPKPU. Selain UUKPKU, ada pula regulasi-regulasi tambahan yang masih berkaitan erat dengan UUKPKPU, yaitu diantaranya:

a.    KUHPerdata, sebagai contoh terdapat pada Pasal 1139, 1149, dan 1134;

b.   Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebagai contoh terdapat pada Pasal 396, 397, 398, 399, 400, dan 520;

c.    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, sebagai contoh terdapat pada Pasal 79 ayat (3), Pasal 96, Pasal 85 ayat (1) dan (2), Pasal 3 ayar (2) huruf b, c, dan d, Pasal 90 ayat (2) dan (3),dan Pasal 98 ayat (1);

d.   Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan; dan

e.    Regulasi lain di bidang Pasar Modal, Perbankan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan lain-lain (Fuady, 2014).

 

Selain Kepailitan memang telah teradopsi dan mengadopsi dari berbagai regulasi yang berlaku di Indonesia, Hukum Kepailitan juga memiliki karakter atau asas-asas yang berlaku. Asas-asas Hukum Kepailitan didasarkan pada asas-asas dan prinsip-prinsip sebagai berikut: (Fredrick B.G Tambunan, 1994).

Berbeda dengan PKPU, PKPU tidak didefinisikan secara jelas dalam UUKPKPU. Penjelasan yang secara eksplisit sebagaimana penjelasan mengenai Kepailitan tidak ditemukan dalam UUKPKPU; Hanya terdapat penjelasan mengenai prosedur sebagaimana penjelasan pada Pasal 222 ayat (2) dan (3) UUKPKPU yaitu PKPU yang pada intinya dijelaskan merupakan upaya dari debitur maupun kreditur apabila memperkirakan debitur tidak akan dapat melakukan tanggungan pembayaran utang sebagaimana mestinya yang telah jatuh tempo dan utang tersebut telah dapat ditagih untuk melanjutkan proses pengajuan rencana perdamaian yang meluputi penawaran atas pembayaran sebagian ataupun seluruh utang kepada kreditur. Munir Fuady juga turut menjelaskan mengenai PKPU; yaitu suatu masa atau periode yang diberikan oleh UUKPKPU di mana periode tersebut dituangkan dalam putusan hakim niaga. Pada periode tersebut para pihak yaitu baik debitur maupun kreditur diberikan kesempatan untuk bermusyawarah dan bernegosiasi yang setidak-tidaknya meliputi cara pembayaran, jaminan terpenuhinya pembayaran, daftar aset, keseluruhan utang, termasuk juga bahkan rencana restrukturisasi utang (Shubhan, 2015).

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pada hakikatnya berbeda dengan kepailitan, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tidak bedasarkan pada debitor yang tidak mampu membayar utangnya dan juga tidak untuk dilakukan pemberesan (likuidasi) atas boedel, tetapi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) didasarkan pada kondisi debitor yang sulit untuk membayar utang-utangnya secara penuh. Contohnya perusahaan mengalami kerugian yang disebabkan kebakaran, resesi ekonomi yang mengakibatkan nilai tukar (kurs) terhadap Dollar. Kondisi debitor belum menjadi indikasi kebangkrutan (kepailitan), jika debitor diberikan waktu maka kemungkinan besar sanggup untuk melunasi utangnya secara penuh (Suyatno, 2002).

Menurut Fred BG Tumbuan pengajuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dalam rangka menghindari pailit yang di mana bermuara pada likuidasi harta debitor, khusus dalam perusahaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) memiliki tujuan untuk memperbaiki ekonomi dan kemampuan debitor untuk menghasilkan laba, sehingga memiliki kemungkinan yang besar debitur dapat melunasi kewajibannya (Lontoh et al., 2001). Debitur dapat melangsungkan usahanya dan memiliki kesempatan untuk merestrukturisasi perusahaan yang dapat meningkatkan cash flow, semakin tinggi nilai cash law maka pembayaran utang semakin terbuka (Suyatno, 2002). Kelangsungan usaha tersebut membawa dampak positif bagi tenaga kerja karena dengan adanya eksistensi kegiatan perusahaan maka berdampak pada dipertahankannya tenaga kerja sehingga mereka terhindar dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Proses permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tersebut apabila dikabulkan maka menghasilkan putusan homologasi yang dimana sebelumnya diadakan rapat kreditor untuk pengambilan suara serta restrukturisasi utang kepada debitor.

Dalam perdamaian yang dibuat, kreditor mendaftarkan piutangnya kepada panitia Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), tetapi terdapat pristiwa yang terjadi dalam praktik, yang dimana terdapat kreditor tidak mendaftarkan piutangnya, sehingga dalam putusan homologasi tidak tercantum. Akan tetapi putusan homologasi mengikat seluruh kreditor, baik yang mengajukan tagihannya ataupun yang tidak mengajukannya dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Pada praktiknya kreditor yang tidak mendaftarkan piutang disebabkan karena kelalaian pihak kreditor yang tidak mengetahui adanya proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap debitor. Konsekuensi dari ketidak tahuan kreditor tersebut hanya dapat mengacu pada klasifikasi penyelesaian utang dalam putusan homologasi tersebut, dengan kata lain kreditor tidak dapat melakukan negosiasi dengan debitor terhadap penyelesaian utang karena sudah disepakati oleh mayoritas kreditor dalam putusan tersebut.

Kreditor adalah orang yang memiliki piutang yang disebabkan adanya Undang-Undnag atau Perjanjian dan memiliki hak tagih muka pengadilan. Kreditor dapat melakukan upaya hukum atas putusan homologasi apabila debitor tidak melaksanakan putusan homologasi berupa pembatalan perjanjian �Kreditor dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan apabila debitor lalai memenuhi isi perdamaian tersebut�. Konsekuensi dari dikabulkannya permohonan pembatalan perdamaian oleh kreditor berupa mengakibatkan debitor pailit.

Perdamaian yang dihomologasi dalam PKPU diputus oleh pejabat umum yang berwenang, dalam hal ini adalah majelis hakim. Notaris juga merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Produk dengan pembuktian sempurna yang salah satunya adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris merupakan akta autentik, dan memiliki pembuktian sempurna, dengan segala akibatnya (Kohar, 1983). Berdasarkan pengertian tersebut sangat jelas bahwa, Notaris berwenang membuat akta sepanjang dikehendaki oleh para pihak atau menurut aturan hukum wajib dibuat dalam bentuk akta otentik. Notaris sebagai Pejabat Publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian (Sukarno, 2016).

Pada Putusan Nomor 125/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst telah dilakukan homologasi atas proposal perdamaian antara PT Ade Pede Realty selaku debitur dengan para kreditur yang pada intinya, penyelesaian atas perdamaian dilakukan dengan cara penjualan aset terlebih dahulu dan tanpa didasarkan pada grace period. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat adalah: Menyatakan sah dan mengikat perdamaian yang dilakukan antara Debitur dengan Para Krediturnya sebagaimana yang telah disepakati bersama dalam Perjanjian Perdamaian pada tanggal 18 November 2021 tersebut; Menghukum Debitur (Pemohon PKPU) dan Para Kreditur untuk tunduk dan mematuhi serta melaksanakan isi Perjanjian Perdamaian tertanggal 18 November 2021 yang telah disepakati; Mentatakan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Nomor 125/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst demi hukum berakhir; Menetapkan imbalan jasa Pengurus dan biaya pengurusan selama proses PKPU dibebankan pada Debitur (Pemohon PKPU) akan ditetapkan dengan penetapan tersendiri; Menghukum Debitur (Pemohon PKPU) membayar biaya perkara sejumlah Rp7.740.000 (tujuh juta tujuh ratus empat puluh ribu Rupiah).

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, dilakukan kajian analisis dengan judul �Analisis Yuridis Penyimpangan Pasal 285 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 pada Perjanjian Perdamaian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Dikaitkan dengan Syarat Sah Perjanjian (Studi Putusan Nomor 125/Pdt.Sus-Pkpu/2021/Pn.Niaga.Jkt.Pst)� Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji bagaimana akibat hukum dari perjanjian perdamaian PKPU yang menyimpangi Pasal 285 ayat (2) UUKPKU khususnya pada Putusan Nomor 125/Pdt.Sus-Pkpu/2021/Pn.Niaga.Jkt.Pst

Metode Penelitian

Penelitian merupakan manifestasi atas penyampaian karya secara ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya. Atas dasar hal tersebut, metodologi penelitian haruslah diselaraskan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi bagian induk dari penelitian itu sendiri. Hal tersebut tidaklah mengesampingkan dan mendiskreditkan bahwa metodologi penelitian pasti akan dipergunakan sebagai ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya yang utuh (Soekanto, 2007).

Pendekatan penulisan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, di mana penelitian yuridis normatif dilakukan dengan cara mengkaji bahan pustaka yang merupakan data sekunder dan juga dapat dirujuk sebagai penelitian kepustakaan. Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa pendekatan hukum secara normative merupakan penelitian di bidang hukum yang diaplikasikan dengan langkah meliputi bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan utama sebagai basis penelitian dengan cara menjalankan penulusuran terhadap regulasi-regulasi dan literature-literatur terkait dengan membenturkan masalah yang dituju atau diteliti.

Pendektan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan perundang-undangan yang digunakan untuk mengetahui status yuridis proposal perdamaian PKPU yang mengandung unsur ketidakbenaran dikaitkan dengan konsep perjanjian. menggunakan pendekatan perundang-undangan.

Dikarenakan penulisan ini adalah suatu jenis penelitian yuridis normatif, maka data yang digunakan berupa data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dengan membaca dan menganalisa berbagai literatur seperti buku, makalah, jurnal, tesis, disertasi, dan artikel mengenai status yuridis proposal perdamaian PKPU yang mengandung unsur ketidakbenaran dikaitkan dengan konsep perjanjian. Di dalam membuat laporan ini penulis meneliti dan mengkaji menganalisis status proposal perdamaian PKPU yang mengandung unsur ketidakbenaran dikaitkan dengan konsep perjanjian dengan cara melihat peraturan perundang-undangan yang terkait dan pendapat-pendapat para ahli.

Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah a) Teori kewajiban penolakan pengesahan perdamaian menurut UUKPKPU. b) Teori syarat sah perjanjian menurut KUHPerdata.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Kewajiban Penolakan Pengesahan Perdamaian menurut UUKPKPU

Pasal 285 ayat (2) UUKPKPU menjelaskan bahwa pengadilan berkewajiban untuk menolak pengesahan perdamaian apabila harta debitur, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan benda, jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian; pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin, perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan satu atau lebih kreditur, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah debitur atau pihak lainnya bekerja sama untuk mencapai hal ini, dan/atau imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayarannya.

Konjungsi antar poin pada pasal tersebut adalah konjungsi �dan/atau� sehingga memiliki konsekuensi yuridis yaitu opsional kumulatif. Artinya, salah satu syarat saja terpenuhi, maka sudah dapat berakibat hukum.

Hal tersebut dilanjutkan diperjelas kembali dengan Pasal 255 ayat (1) UUKPKPU yang pada intinya menyatakan bahwa penundaan kewajiban pembayaran utang dapat diakhiri, atas permintaan Hakim Pengawas, satu atau lebih Kreditor, atau atas prakarsa Pengadilan dalam hal: Debitor, dalam jangka waktu penundaan kewajiban pembayaran utang bertindak dengan iktikad buruk dalam melakukan pengurusan terhadap hartanya; Debitor telah merugikan atau telah mencoba merugikan para kreditornya; Debitor melakukan pelanggaran ketentuan Pasal 240 ayat (1) UUKPKPU, yaitu selama penundaan kewajiban pembayaran utang, Debitor tanpa persetujuan pengurus tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya; Debitor lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diwajibkan kepadanya oleh Pengadilan pada saat atau setelah penundaan kewajiban pembayaran utang diberikan, atau lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang disyaratkan oleh pengurus demi kepentingan harta Debitor; Selama waktu penundaan kewajiban pembayaran utang, kondisi dari harta atau aset dari Debitor ternyata tidak lagi memungkinkan dilanjutkannya penundaan kewajiban pembayaran utang; atau Keadaan Debitor tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya terhadap Kreditor pada waktu yang telah ditentukan.

B.  Syarat Sah Perjanjian menurut KUHPerdata

Proposal Perdamaian yang telah dihomologasi oleh Pengadilan akan memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak, yaitu Debitor maupun Kreditor. Proposal perdamaian yang semula hanya rencana perdamaian akan menjadi perdamaian antara para pihak yang ketentuan-ketentuannya telah diatur secara tegas dalam isi perdamaian itu sendiri. Maka dari itu, perdamaian merupakan perjanjian antara debitor dan kreditor untuk melakukan pengakhiran atas utang-utangnya yang biasanya dilakukan secara berkala berkenaan dengan pembayaran dan pelunasannya. Setelah proses homologasi dilakukan, maka hubungan hukum antara kreditor dengan debitor tidak lagi diatur dengan perjanjian pokok atau perjanjian bisnis yang dimiliki oleh masing-masing debitor lagi, melainkan hak dan kewajiban serta ketentuan-ketentuannya akan diatur sesuai dengan perjanjian perdamaian (Sanjaya, 2014).

Sebagaimana diatur lebih lanjut mengenai perjanjian, perdamaian juga tetap melekat pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang berkaitan dengan syarat sah perjanjian. yaitu: (Soerjopratiknjo, 1982)

1.   Adanya kesepakatan kedua belah pihak.

Kesepakatan kedua belah pihak dalam Pasal 1320 KUHPerdata ini memiliki makna persesuaian antara kehendak antara seorang atau lebih dengan pihak lain. Sepakat berarti mereka yang mengikatkan dirinya dalam hal ini kreditor dan debitor yang membuat perjanjian itu terdapat kesesuaian kehendak. Dalam perjanjian perdamaian PKPU, kesepakatan perdamaian terjadi ketika voting yang dilakukan oleh Para Kreditor.

2.   Kecakapan Bertindak

Kecakapan bertindak memiliki arti yaitu kemampuan pihak untuk melakukan tindakan atau perbuatan hukum yang akan menimbulkan akibat hukum. Dalam PKPU, ketentuan menganai kecakapan bertindak telah terpenuhi, karena subjek hukum dalam hal ini adalah Orang, baik naturlijkpersoon ataupun rechtpersoon. Pada intinya, kecakapan untuk mengadakan perjanjian memiliki arti bahwa kreditor dan debitor dalam PKPU yang membuat perjanjian perdamaian tersebut cakap dan berwenang untuk melakukan kesepakatan dalam perjanjian perdamaian.

3.   Adanya Objek Perjanjian (Suatu Hal Tertentu)

Objek Perjanjian dan Suatu Hal tertentu berarti objek dari perjanjian tersebut harus dapat ditentukan. Dalam perjanjian perdamaian PKPU, objek yang menjadi pokok yang diperjanjikan adalah prestasi debitor untuk membayar utang kepada kreditor.

4.   Adanya Kausa yang Halal

Hoge Raad berpandangan mengenai arti dari kausa yang halal merupakan sesuatu yang menjadi visi dan tujuan dari para pihak yang mengadakan perjanjian. Sebab yang halal memiliki makna yaitu pokok yang diperjanjikan tidak boleh menyimpangi dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku di sampung tidak mendiskreditkan norma-norma yang berlaku secara umum dan ketertiban serta kesusilaan yang ada pada masyarakat (Safira, 2017). Tetapi dalam hal tertentu, perjanjian juga perlu memberikan peraturan-peraturan khusus (Soerjopratiknjo, 1982). Maka, perjanjian perdamaian PKPU haruslah memenuhi ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan yang berlaku dan memperhatikan norma kesusilaan dan ketertiban pada masyarakat.

Suatu akta dapat terbentuk karena kepailitan, yaitu pada saat proses PKPU, di mana tahapan tersebut berbentuk penundaan atau moratorium. Hal tersebut memiliki tujuan untuk debitur yang dalam upayanya memiliki potensi untuk melakukan pelunasan atas pembayaran utang dan upaya untuk menghadiri kepailitan. Proses tersebut terjadi pada saat debitur belum dikategorikan sebagai status pailit oleh Pengadilan Niaga setempat di mana proses PKPU berlangsung. (Sanjaya, 2014).

Perjanjian Perdamaian yang telah dihomologasi juga merupakan Perjanjian yang memiliki sifat pembuktian sempurna atau disebut sebagai akta autentik. Akta autentik adalah suatu akta yang ada dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dan dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. PKPU dapat diajukan oleh debitur yang memiliki lebih dari satu kreditur maupun kreditur yang memprediksi bahwa debitur memiliki potensi untuk tidak dapat menyelesaikan pembayaran atas utang yang telah jatuh masanya atau biasa disebut jatuh tempo, dan dapat dilakukan penagihan. Kreditur dapat memohon kepada debitur untuk diberikan penundaan atas kewajiban pembayaran utang terhadap potensi debitur mengajukan proposal perdamaian yang meliputi penawaran dan rencana pembayaran sebagian atau keseluruhan utang kepada krediturnya; selaras dengan Pasal 222 ayat (3) UUKPKPU (Harsono & Prananingtyas, 2019) Perjanjian Perdamaian baru dapat dikatakan sebagai akta autentik dengan pembuktian sempurna ketika telah dihomologasi oleh Pengadilan Niaga.

C.  Akibat Hukum dari Perjanjian Perdamaian PKPU yang Menyimpangi Pasal 285 Ayat (2) UUKPKU Khususnya pada Putusan Nomor 125/Pdt.Sus-PKPU/2021/Pn.Niaga.Jkt.Pst

a.   Putusan 125/Pdt-Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst menyimpangi Pasal 285 ayat (2) UUKPKPU

Diketahui, dalam Putusan tersebut penyelesaian pembayaran dari debitur kepada kreditur diselesaikan dengan cara:

a.    Sumber Dana Utama

PT Ade Pede Realty dimungkinkan dengan target nilai sebesar Rp. 142.000.000.000 (seratus empat puluh dua miliar Rupiah) yang akan digunakan untuk menyelesaikan Proyek Royal Olive dan lainnya. Dana hasil penjualan tersebut akan ditempatkan dalam Rekening Escrow untuk memastikan agar pelaksanaannya seuai dengan Proposal Perdamaian. PT Ade Pede Realty akan melaporkan perkembangan proses penjualan Tanah Citara dan/atau opsi lainnya yang dimungkinkan setiap 3 (tiga) bulan kepada Para Kreditur.

b.   Pengikatan Jual Beli dan Serah Terima Aset atas Asset Settlement

Proses pengikatan jual beli dan serah terima aset terhadap masing-masing kreditur atas aset yang menjadi haknya sesuai dengan Proposal Perdamaian dapat dilaksanakan sesudahnya berdasarkan jadwal waktu yang disepakati antara APR dengan Krediturnya. Sedangkan proses jual beli tetap harus menunggu hingga proses penerbitan SHMSRS sesuai dengan jadwal waktu yang disepakati.

Dalam perjanjian tersebut juga tidak ditentukan adanya grace period dan kapan target penjualan tanah akan dilakukan. Sehingga, tidak adanya kepastian tersebut menimbulkan tidak adanya jaminan bagi para kreditur untuk mendapatkan pelunasan atas piutang.

b.   Putusan 125/Pdt-Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst menyimpangi Pasal 1320 KUHPerdata

Akibat Hukum adalah akibat atas adanya tindakan yang dibuat atau dilakukan guna memperolah akibat yang akan dihendaki oleh pelaku sebagaimana diatur oleh hukum. Tindakan tersebut dideifiniskan sebagai tindakan hukum. Maka, dengan kata lain, akibat hukum merupakan akibat dari adanya suatu tindakan hukum yang memiliki hubungan kausalitas (Soeroso, 2011). Tindakan hukum yang dimaksud pada rumusan masalah pertama berkenaan perjanjian yang tidak sah berdasarkan syarat sah perjanjian yaitu syarat kausa yang halal.Hal-hal yang dimaksud dengan sebab yang halal pada perjanjian adalah sebagai berikut:

a.    Kausa yang halal memiliki isi dari perjanjian itu tidak bertentangan berdasarkan ketertiban umum, kesusilaan, dan undang-undang;

b.   Sebab dikatakan terlarang, apabila yang diperjanjikan bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum;

c.    Sebab dikatakan sebagai palsu, apabila diadakan untuk menutupi sebab yang sebenarnya

Syarat batal dalam sebuah perjanjian adalah suatu peristiwa atau fakta tertentu yang belum tentu akan terjadi di masa depan, namun para pihak dalam perjanjian itu sepakat bahwa bila peristiwa atau fakta tersebut benar terjadi maka perjanjian tersebut menjadi batal. Syarat batal ini merupakan kebalikan dari syarat tangguh, yang apabila peristiwa atau fakta yang belum tentu terjadi di masa depan itu benar terjadi adanya maka justru membuat lahirnya per janjian yang bersangkutan. Ketentuan tentang kedua syarat ini diatur dalam Pasal 1253 KUH Perdata yang menyebut bahwa:

�Suatu perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang mungkin terjadi dan memang belum terjadi, baik dengan cara menangguhkan berlakunya perikatan itu sampai terjadinya peristiwa itu, maupun dengan cara membatalkan perikatan itu, tergantung pada terjadi tidaknya peristiwa itu�.

Maka, akibat hukum dari perjanjian yang telah dihomologasi adalah batal demi hukum, karena tidak sesuai dengan syarat sahnya perjanjian khususnya syarat objektif. Perjanjian dengan syarat batal yang menjadi batal demi hukum karena syarat batal tersebut terpenuhi, menimbulkan akibat kembalinya keadaan pada kondisi semula pada saat timbulnya perikatan itu atau dengan kata lain, perjanjian yang batal demi hukum seperti itu berlaku surut hingga ke titik awal perjanjian itu dibuat. Akibat selanjutnya adalah pihak yang telah menerima prestasi atau sesuatu dari pihak lain maka ia harus mengembalikannya. Pasal 1265 KUH Perdata mengatur hal ini dengan menyebut bahwa �Suatu syarat batal adalah syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menunda pemenuhan perikatan; ia hanya mewajibkan kreditur mengembalikan apa yang telah diterimanya, bila peristiwa yang dimaksudkan terjadi�.

Putusan terkait yang telah menyimpangi Pasal 285 ayat (2) UUKPKPU khususnya bagian perjanjian perdamaian tidak cukup terjamin jelas tidak memenuhi kausa yang halal dalam hal syarat sah perjanjian dala Pasal 1320 KUHPerdata, maka konsekuensi dari tidak terpenuhinya syarat objektif tersebut adalah batal demi hukum.

 

Kesimpulan

Pelaksanaan perjanjian yang menyimpangi Pasal 285 ayat (2)UUKPKPU telah melanggar salah satu syarat sah perjanjian sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Penyimpangan atas Pasal 285 ayat (2) UUKPKPU juga dapat mengakibatkan status perjanjian tersebut batal demi hukum dan tidak sah, karena menyimpangi unsur kausa yang halal.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Asikin, Z. (1991). Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran di Indonesia. Jakarta, Penerbit Rajawali Pers.

Budiono, H. (2010). Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan. PT Citra Aditya Bakti.

Fuady, M. (2014). Hukum Pailit dalam Teori & Praktek. Jakarta: PT Citra Aditya Bakti.

Hadisoeprapto, H., Perikatan, P. H., & Jaminan, H. (1984). Liberty. Yogyakarta.

Harsono, I., & Prananingtyas, P. (2019). Analisis Terhadap Perdamaian Dalam Pkpu Dan Pembatalan Perdamaian Pada Kasus Kepailitan Pt Njonja Meneer. Notarius, 12(2), 1067�1088.

Hartana, H. (2016). Hukum Perjanjian (Dalam Perspektif Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara). Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), 2(2).

Kohar, A. (1983). Notaris Dalam Praktek Hukum. Alumni.

Komariah. (2005). Hukum Perdata. UMM Press.

Lontoh, R. A., Kailimang, D., & Ponto, B. (2001). Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung: Alumni.

Safira, M. E. (2017). Aspek Hukum dalam Ekonomi (Bisnis). CV Nata Karya.

Sanjaya, U. H. (2014). Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam Hukum Kepailitan. Ctk. Pertama, NFP Publishing, Yogyakarta.

Satrio, J. (1995). Hukum perikatan, perikatan yang lahir dari perjanjian: buku II. Citra Aditya Bakti.

Shubhan, M. H. (2015). Hukum Kepailitan. Prenada Media.

Soekanto, S. (2007). Penelitian hukum normatif: Suatu tinjauan singkat.

Soerjopratiknjo, H. (1982). Aneka perjanjian jual-beli. Seksi Notariat, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada.

Soeroso, R. (2011). Pengantar Ilmu Hukum, cetakan 12. Sinar Grafika, Jakarta.

Sukarno, K. S. (2016). Penghapusan Legalisasi Surat Pengakuan Utang dalam Perjanjian Kredit Perbankan.

Suyatno, R. A. (2002). Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sebagai Upaya Mencegah Kepailitan. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

Wicaksono, F. S. (2008). Panduan lengkap membuat surat-surat kontrak. Jakarta: Visimedia.

 

Copyright holder:

Kemal Azhardhia Ghiffary, Kurnia Toha (2021)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: