Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 5, Mei 2022
PEMANFAATAN LAPORAN HASIL ANALISIS (LHA) PPATK DALAM PENYIDIKAN TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG OLEH PENYIDIK POLRI
Taufan Setia Prawira
Program Studi Magister Hukum, Universitas
Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Analisis adalah kegiatan meneliti laporan Transaksi Keuangan mencurigakan dan/atau laporan lainnya serta informasi yang diperoleh PPATK dalam rangka menemukan atau mengidentifikasi indikasi tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana lainnya. Hasil analisis adalah penilaian akhir dari Analisis yang dilakukan secara independen, obyektif, dan profesional untuk ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan atau disampaikan kepada penyidik. Penyidik Polri adalah salah satu penyidik yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang. Laporan Hasil Analisis dari PPATK merupakan informasi intelijen yang bersifat sangat rahasia, sehingga informasi ini tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti oleh Penyidik untuk kelengkapan berkas perkara. Permintaan informasi ke PPATK telah diatur dalam Peraturan Kepala PPATK Nomor PER-08/1.02/PPATK/05/2013 tentang Permintaan Informasi ke PPATK. Adapun yang dimaksud dengan informasi dalam peraturan ini adalah keterangan atau data yang meliputi profil atau keadaan diri orang perseorangan atau Korporasi, data keuangan, harta kekayaan, dan/atau keterangan lain yang dimiliki oleh PPATK. Dengan adanya peraturan ini, maka penegak hukum khususnya penyidik Polri dapat memanfaatkan LHA PPATK sebagai informasi pendukung/tambahan dalam proses penyelidikan ataupun penyidikan guna membuat terang suatu peristiwa pidana, menemukan tersangka dan menelusuri aset hasil tindak pidana.
Kata kunci: laporan hasil analisis PPATK; penyidikan tindak pidana pencucian uang; polri
Abstract
Analysis is the activity of examining
suspicious Financial Transaction reports and/or other reports as well as
information obtained by PPATK in order to find or identify indications of money
laundering or other criminal acts. The result of the analysis is the final
assessment of the analysis which is carried out independently, objectively, and
professionally to be followed up with an examination or submitted to the
investigator. The National Police Investigator is one of the investigators
authorized by law to investigate money laundering crimes. The Analysis Result
Report from the PPATK is intelligence information that is highly confidential,
so this information cannot be used as evidence by investigators for the
completeness of the case file. Requests for information to PPATK have been
regulated in the Regulation of the Head of PPATK Number
PER-08/1.02/PPATK/05/2013 concerning Requests for Information to PPATK. What is
meant by information in this regulation is information or data covering the
profile or condition of individuals or corporations, financial data, assets,
and/or other information held by PPATK. With this regulation, law enforcers,
especially Polri investigators, can use the LHA PPATK
as supporting/additional information in the investigation or investigation
process in order to make light of a criminal incident, find suspects and trace
assets resulting from criminal acts.
Keywords:
report of
ppatk analysis results,; investigation
of money laundering; police
Pendahuluan
Indonesia adalah negara Hukum, hal ini tertuang
sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Dimana setiap
aspek kehidupan di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia
harus didasarkan pada hukum dan segala produk perundang-undangan serta turunanya yang berlaku di wilayah NKRI. (Simamora, 2014)
Negara hukum sendiri berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan bagi seluruh
warga negara. Selain itu,
negara hukum adalah negara
yang di dalamnya terdapat berbagai aspek peraturan-peraturan yang bersifat
memaksa dan mempunyai sanksi tegas apabila
dilanggar.
Pemerintah Indonesia menyadari bahwa organisasi kejahatan melalui uang haram yang
dihasilkannya bisa mengkontaminasi dan menimbulkan distorsi disegala aspek baik pemerintahan,
ekonomi, sosial dan politik. Salah satu bentuk pengaturan negara untuk melindungi setiap warga negaranya
adalah dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut UU TPPU) (Lololangi, Prananingtyas, & Mahmudah, 2016). Dimana seperti kita ketahui
bersama bahwa motivasi dari para pelaku kejahatan dalam melakukan aksinya adalah agar dapat menikmati hasil kejahatannya tanpa harus merasa
khawatir bahwa akan ada pihak
yang mengetahui dari mana sumber uang tersebut berasal.
Sutan Remy Sjahdeini, mendefinisikan pencucian uang sebagai rangkaian kegiatan yang merupakan proses
yang dilakukan oleh seseorang
atau organisasi terhadap uang haram yaitu uang
yang berasal dari kejahatan dengan maksud untuk menyembunyikan
atau menyamarkan asal usul uang tersebut dari pemerintah
atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhaadap tindak pidana dengan
cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem
keuangan (financial system) sehingga
uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan
itu sebagai uang yang halal
(Amalia, 2016).
Pada umumnya pelaku
tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta
Kekayaan yang merupakan hasil dari tindak
pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil tindak pidananya
susah ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan
yang sah maupun tidak sah. Karena itu, tindak pidana
Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 �(Sinaga, 2022).
UU TPPU memberikan kewenangan, hak dan kewajiban tertentu bagi institusi terkait, seperti aparat penegak hukum, lembaga pengawas dan pengatur, pihak pelapor antara
lain penyedia jasa keuangan dan penyedia barang dan jasa dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan sebagai lembaga yang bertugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dalam menelusuri proses penyembunyian asal usul dana hasil kejahatan (follow the money) sampai
tindakan penerapan UU TPPU bagi pelaku pencucian
uang (Sabar, 2016).
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (selanjutnya disebut PPATK) dibentuk oleh UU
TPPU merupakan lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah
dan memberantas tindak pidana pencucian uang. (Kusheri, 2015)
Dalam melaksankan tugasnya tersebut, PPATK mempunyai fungsi sebagai berikut: a. pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; b. pengelolaan data dan informasi
yang diperoleh PPATK; c. pengawasan
terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan d. analisis atau pemeriksaan
laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana Pencucian Uang dan atau tindak pidana
lainnya sebagaimana di atur dalam UU TPPU. Dan dalam melaksankan fungsi analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana Pencucian Uang dan atau tindak pidana
lainnya, salah satu poinnya adalah PPATK dapat menerusakan hasil analisis atau pemeriksaan kepada penyidik.
Pasal 74 UU TPPU mengatur bahwa penyidikan tindak pidana pencucian
uang dilakukan oleh penyidik
tindak pidana asal sesuai dengan
ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan (Hutahaean & Pujiyono, 2016). Yang dimaksud dengan �penyidik tindak pidana asal� adalah
pejabat instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia (yang selanjutnya
disebut Polri), Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Badan Narkotika Nasional (BNN), serta
Direktorat Jenderal pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan
Republik Indonesia. Penyidik
tindak pidana asal dapat melakukan
penyidikan tindak pidana pencucian uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian
uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai
kewenangannya.
Salah satu penyidik
tindak pidana asal yang dapat melakukan tindak pidana pencucian uang adalah Polri. Dimana kewenangan untuk melakukan penyidikan tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
pada pasal 14 ayat (1) huruf g yang menyatakan bahwa dalam melaksankan
tugas pokok Polri bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana
sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya (Makauli, 2016).
Analisis adalah kegiatan
meneliti laporan Transaksi Keuangan mencurigakan dan/atau laporan lainnya serta informasi yang diperoleh PPATK dalam rangka menemukan atau mengidentifikasi indikasi tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana
lainnya. Hasil analisis adalah penilaian akhir dari Analisis
yang dilakukan secara independen, obyektif, dan profesional untuk ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan atau disampaikan kepada penyidik (Adrian Sutedi, 2008). Adapun jenis Laporan Hasil Analisis PPATK terdapat 2 macam yaitu Hasil Analisis Proaktif dan Hasil Analisis Reaktif/Inquiry. Perbedaanya adalah Hasil Analisis Proaktif berasal dari inisiatif
PPATK sedangkan Hasil Analisis
Reaktif/Inquiry berasal dari permintaan penyidik. Pada dasarnya Laporan Hasil Analisis (selanjutnya disebut LHA) dari PPATK merupakan informasi intelijen yang bersifat sangat rahasia, sehingga informasi ini tidak dapat
dijadikan sebagai alat bukti oleh Penyidik untuk kelengkapan berkas perkara, namun LHA dari PPATK dapat dimanfaatkan oleh Penyidik sebagai acuan dalam
menemukan bukti lain terhadap tindak pidana asal maupun
tindak pidana pencucian uang yang sedang ditangani (Arsyanda, 2018). Sehubungan dengan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul �Pemanfaatan Laporan Hasil Analisis (LHA)
PPATK dalam Penyidikan Tindak Pidana Pencucian
Uang oleh Penyidik Polri�.
Metode Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan pendekatan scoping review. Literatur
ini menggunakan pedoman dari (Arksey & O�Malley, 2005)
dengan tahapan perumusan masalah penelitian; identifikasi literatur yang relevan; pemilihan literatur, memetakan atau menggambarkan data; menyusun, meringkas, dan melaporkan hasil yang bertujuan meringkas penelitian secara luas.
Pencarian literatur menggunakan
data based Scopus, EBSCO, CINAHL, dan MEDLINE.
Kata kunci yang digunakan yaitu �Stroke OR Strokes OR �Cerebrovascular Accident� OR
�Cerebrovascular Accidents� OR �Acute Stroke� OR �Acute Strokes OR Acute
Cerebrovascular Accident� OR �Acute Cerebrovascular Accidents� AND depression
OR PSD AND treatment OR �therapy� OR �treatment outcome� OR management AND intervention.
Kriteria kelayakan literatur
dipilih jika full text, partisipasi pasien stroke, mengukur depresi, tahun terbit 2011-2021, subject
area nursing dan randomized controlled trial. Setelah dilakukan
penyaringan terdapat 210 literatur diidentifikasi, 18 diantaranya duplikat. Peneliti menyaring 127 literatur berdasarkan judul dan abstrak. Setelah penyaringan berdasarkan judul dan abstrak, teks lengkap
dari 28 dinilai kelayakannya. Setelah menyaring teks lengkap, terdapat literatur dikeluarkan. Sebelas ditemukan tidak sesuai dengan
kriteria inklusi, tujuh literatur berfokus pada pengasuh pasien stroke. Sepuluh literatur ditemukan untuk tujuan tinjauan
lingkupan literatur ini.
Hasil dan Pembahasan
1.
Laporan Hasil Analisis
(LHA) PPATK
Hasil analisis atau pemeriksaan merupakan hasil akhir yang dihasilkan oleh PPATK
yang akan diteruskan berdasarkan kewenangan yang diatur dalam UU TPPU kepada instansi peminta atau penyidik
dalam menjalankan fungsi sebagai poros dalam mekanisme
komunikasi dan koordinasi antar instansi atau lembaga yang terlibat dalam upaya menegakkan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang di Indonesia (Arsyanda, 2018)
Hasil dari pelaksanaan fungsi tersebut PPATK menghasilkan 3 (tiga) output (keluaran), yaitu:
a. Hasil
Analisis (HA) pada dasarnya adalah merupakan output utama dari proses analisis yang dilakukan
melalui beberapa jenjang atau tahapan proses internal yang diawali dengan
penerimaan data (Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM)/ Laporan Transaksi
Keuangan Tunai (LTKT)/ Laporan Pembawaan
Uang Tunai dari/ke Luar
Negeri (LPUTLB)) yang telah� melalui proses pre-cleansing pada Direktorat Pengawas
Kepatuhan PPATK, untuk selanjutnya dilakukan proses analisis awal, termasuk melakukan eksplorasi database
PPATK dengan menggunakan
analytical tools yang dimiliki beserta
proses inquiry dari PPATK kepada
seluruh PJK terkait. Output
berupa HA diperoleh dengan menggabungkan berbagai informasi dari berbagai sumber
termasuk baik atas profil terlapor,
sumber pendanaan, tujuan penggunaan dana,
underlying transaction setiap transaksi
yang dilakukan, kesesuaian antara nilai tranasksi
dengan profil terlapor serta hal-hal lainnya yang dipandang perlu untuk dapat dijadikan
informasi ataupun data pendukung.
b. Hasil Pemeriksaan (HP) secara umum adalah
merupakan pengembangan mendalam dari proses analisis. HP dapat diperoleh dari pengembangan HA ataupun merupakan penanganan dari laporan yang diterima oleh PPATK yang dipandang
perlu dilakukan pemeriksaan ke lapangan mengingat urgensi, signifikansi nilai transaksi, kuatnya dugaan tindak pidana berdasarkan
informasi awal, dampak maupun pertimbangan-pertimbangan
lainnya sehingga dipandang perlu untuk dilakukan pemeriksaan oleh PPATK. Perbedaan
mendasar dari Hasil Analisis dan Hasil Pemeriksaan adalah pada langkah-langkah yang bisa ditempuh�� oleh PPATK dalam memperoleh data atau informasi. Hasil Analisis berdasarkan informasi atau laporan yang diterima PPATK, sedangkan Hasil Pemeriksaan merupakan perluasan HA dengan melakukan pemeriksaan ke lapangan termasuk
dalam hal ini antara lain adalah penghentian sementara transaksi, serta �melakukan permintaan keterangan kepada pihak-pihak lainnya.
c. Informasi Hasil Analisis (IHA), adalah dari proses analisis dengan proses seperti butir (1), namun hasilnya berupa informasi yang disampaikan kepada instansi atau� lembaga
terkait yang telah mempunyai nota kesepahaman (MoU) dengan PPATK, hal ini dimaksudkan dalam upaya pencegahan
TPPU.
Laporan yang disampaikan ke PPATK akan dianalisis.
Keseluruhan proses analisis
yang dilakukan oleh PPATK menghasilkan
2 (dua) jenis keluaran (output) sebagai berikut:
a. Hasil analisis yang diserahkan kepada aparat penegak hukum. Hasil analisis yang�� diserahkan kepada aparat penegak
hukum adalah hasil analisis yang berisi petunjuk mengenai adanya dugaan transaksi keuangan mencurigakan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan atau tindak pidana
lainnya berdasarkan ketentuan Pasal 44 UU TPPU.
b. Hasil
analisis yang dimasukkan ke dalam database PPATK. Dari hasil analisis terhadap laporan
transaksi keuangan mencurigakan yang diterima dari Penyedia Jasa Keuangan tidak/belum
ditemukan adanya indikasi tindak pidana tertentu baik� tindak pidana pencucian uang maupun tindak
pidana asal. Terhadap hasil analisis�
tersebut akan disimpan dalam database PPATK sampai diperoleh adanya
informasi terkait tindak pidana tertentu. Seluruh data yang berada pada
database PPATK akan membantu proses analisis berikutnya dalam hal memiliki
keterkaitan dengan data yang
sedang atau sedang di analisis.
Sebelum melakukan penerusan
hasil analisis kepada penyidik, PPATK melakukan proses analisis terhadap Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) yang dilaporkan
oleh pihak pelapor. Adapun
Tujuan Analisis Transaksi Keuangan, yaitu:
a.
Melakukan penelaahan yang tepat atas laporan
untuk mengidentifikasi inidikasi money laundering atau
predicate crimes lainnya. Proses ini
termasuk mengidentifikasi
orang-orang yang terlibat dan hasil-hasil
kejahatannya.
b.
Sebagai dasar analisis
strategis, tipologi, manajemen risiko, dan rekomendasi kepada instansi terkait.
Adapun hasil analisis
yang tidak terindikasi dugaan tindak pidana
akan dimasukkan ke dalam database PPATK. Hasil analisis PPATK yang disampaikan�� kepada penyidik dibagi menjadi dua yaitu:
a. Hasil
analisis proaktif merupakan hasil analisis yang disampaikan atas insiatif
PPATK.
b. Hasil
analisis Inquiry merupakan
hasil analisis yang disampaikan atas permintaan dari Penyidik.
Jadi hasil analisis proaktif merupakan hasil analisis yang disampaiakan oleh
PPATK karena kewenangannya berdasarkan undang-undang tanpa didasarkan atas permintaan penyidik, sedangkan hasil analisis inquiry disampaikan berdasarkan permintaan penyidik.
Berdasarkan penjelasan tersebut diketahui bahwa dengan adanya
penerusanan Laporan Hasil Analsis PPATK kepada penyidik dapat membantu aparat penegak hukum dalam
mengungkap tindak pidana pencucian uang sekaligus mengungkap tindak pidana asal
dari tindak pidana pencucian uang atau dua kejahatan
sekaligus. Hal tersebut karena tindak pidana
pencucian uang menganut asas kriminalitas ganda (double criminality). Kriminalitas
ganda bermakna adanya dua kejahatan
pidana yang masing-masing sebagai
perbuatan tersendiri yang dalam terminologi hukum dikenal sebagai
concursus realis yang terdiri dari
kejahatan asal (predicate
crime) dan tindak pidana
pencucian uang (money laundering) (Jahja & SH, 2012).
2.
Penyidikan Tindak Pidana
Pencucian Uang oleh
Penyidik Polri
Adapun dasar peneyelidikan dan penyidikan tindak pidana pencucian
uang oleh Polri adalah sebagai berikut:
1.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;
2.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
3.
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
4.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;
5.
Undang-Undang lain yang terkait
(pidana asal).
Penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum diawali dengan
adanya bahan masukan suatu tindak
pidana, sumber bahan masukan suatu
tindak pidana berupa pengetahuan atau persangkaan telah terjadinya suatu perbuatan pidana dapat diperoleh
penyidik dari berbagai sumber, yaitu dari adanya
laporan, pengaduan, tertangkap tangan, atau diketahui sendiri oleh aparat penegak hukum dari
hasil penyidikan. Kewenangan Polri sebagai penyelidik dan penyidik untuk mengungkap tindak pidana, dapat dilihat
kembali dalam Pasal 1 angka 8 dan 9, dan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepolisian bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai
dengan hukum acara pidana dan peraturan perundangundangan lainnya. Untuk penyidikan Tindak Pidana Pencucian
Uang mengacu pada aturan dalam KUHAP dan berwenang melakukan penyidikan Tindak Pidana Pencucian
Uang yaitu Polri sesuai aturan dalam
Pasal 1 butir (1) KUHAP, �Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang di beri wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan�(Sjahdeini, 2007)
Disamping itu, adapun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang pada Bab
VIII bagian Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di sidang pengadilan, khususnya pada bagian kedua mengenai Penyidikan, Pasal 74 UU TPPU memberikan kewenangan bagi penyidik tindak
pidana asal untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana pencucian
uang antara lain telah digariskan di dalam Pasal 74: �Penyidikan tindak pidana pencucian
uang dilakukan oleh penyidik
tindak pidana asal sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut undang-undang ini. Yang dimaksud dengan �penyidik tindak pidana asal� adalah
pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Kejaksaan, Komisi
Pemberantasan Korupsi
(KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan
Republik Indonesia (Soekanto, 1986).
Penyidik tindak pidana asal dapat
melakukan penyidikan tindak pidana pencucian
uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana asal
sesuai kewenangannya. Jika penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian
uang dan tindak pidana asal, penyidik dapat menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan
penyidikan tindak pidana pencucian uang dan memberitahukannya kepada PPATK.
Adapun penjelasan dari jenis tindak
pidana asal dalam UU TPPU tercantum dalam Pasal 2 ayat
(1) UU TPPU yang menyatakan bahwa
Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan
yang diperoleh dari tindak pidana:
a. korupsi;
b. penyuapan;
c. narkotika;
d. psikotropika;
e. penyelundupan
tenaga kerja;
f. penyelundupan
migran;
g. di
bidang perbankan;
h. di
bidang pasar modal;
i. di
bidang perasuransian;
j. kepabeanan;
k. cukai;
l. perdagangan
orang;
m. perdagangan
senjata gelap;
n. terorisme;
o. penculikan;
p. pencurian;
q. penggelapan;
r. penipuan;
s. pemalsuan
uang;
t. perjudian;
u. prostitusi;
v. di
bidang perpajakan;
w. di
bidang kehutanan;
x. di
bidang lingkungan hidup;
y. di
bidang kelautan dan perikanan; atau
z. tindak
pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang
dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan
tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Dalam hal ditemukan
adanya indikasi tindak pidana pencucian
uang atau tindak pidana lain, PPATK menyerahkan Hasil Pemeriksaan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan (Pasal 64 UU TPPU). Penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan�� PPATK diserahkan kepada Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan�� Kejaksaan
Republik Indonesia dan tembusannya
disampaikan kepada penyidik lain sesuai kewenangannya berdasarkan UU TPPU.
Dan sesuai dengan Pasal 69 UU TPPU, untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian
uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana
asalnya (Fadli, 2013). Dalam proses penyidikan ini, UU memberikan kewenangan kepada penyidik, yaitu:
1. Penundaan
Transaksi oleh PJK atas Perintah Penegak Hukum (Pasal 70 UU TPPU) Penyidik,
penuntut� umum, atau hakim berwenang memerintahkan Pihak
Pelapor untuk melakukan penundaan� Transaksi terhadap Harta Kekayaan yang diketahui atau patut
diduga merupakan hasil tindak pidana.
2. Pemblokiran (Pasal 71 UU TPPU), Penyidik,� penuntut�
umum,� atau� hakim berwenang memerintankan� Pihak�
Pelapor� untuk melakukan pemblokiran Harta� Kekayaan�
yang� diketahui� ataupatut�
diduga� merupakan hasil tindak
pidana dari setiap
orang yang telah dilaporkan oleh� PPATK kepada penyidik;
tersangka; atau terdakwa.
3. Permintaan
keterangan (Pasal 72 UU TPPU), Untuk kepentingan
pemeriksaan dalam perkara tindak pidana
pencucian uang, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta Pihak
Pelapor� untuk memberikan
keterangan� secara� tertulis mengenai Harta Kekayaan� dari orang�
yang telah dilaporkan oleh PPATK
kepada penyidik; tersangka; atau terdakwa.
4. Penyitaan (Pasal 81 UU TPPU), Apabila
diperoleh bukti cukup selama pemeriksaan terdakwa di pengadilan, hakim dapat
memerintahkan penyitaan aset yang diketahui atau sepatutnya dicurigai� merupakan hasil kejahatan
yang belum disita oleh penyidik atau jaksa
penuntut�� umum yang bersangkutan.
3. Pemanfaatan
Laporan Hasil Analisis (LHA) PPATK dalam Penyidikan Tindak Pidana
Pencucian Uang oleh Penyidik Polri
Instrumen LHA PPATK sebagai informasi itelijen sangat berguna bagi penyidik
dalam mengungkap suatu tindak pidana.
Karena kekhususan LHA adalah
dapat menembus prinsip kerahasiaan perbankan yang tidak dapat ditembus oleh penyidik jika hanya
menggunakan persangkaan pasal tindak pidana
asal saja.
Adapun mekanisme permintaan informasi ke PPATK telah diatur dalam Peraturan
Kepala PPATK Nomor
PER-08/1.02/PPATK/05/2013 tentang Permintaan
Informasi ke PPATK. Adapun
yang dimaksud dengan informasi dalam peraturan ini adalah
keterangan atau data yang meliputi profil atau keadaan diri
orang perseorangan atau Korporasi, data keuangan, harta kekayaan, dan/atau keterangan lain yang dimiliki oleh PPATK. Produk PPATK
meliputi: a. hasil analisis; b. hasil pemeriksaan; c. rekomendasi; dan
d. Informasi. Pihak dalam negeri yang dapat meminta Informasi ke PPATK meliputi:
a.
Instansi penegak hukum;�
b.
Lembaga yang berwenang melakukan
pengawasan terhadap penyedia jasa keuangan;
c.
lembaga yang
bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;�
d.
lembaga lain
yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
atau tindak pidana lain terkait dengan tindak pidana pencucian uang.
Permintaan informasi kepada PPATK diajukan secara tertulis dan ditandatangani oleh:
a.
hakim ketua majelis;
b.
Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia atau
kepala kepolisian daerah;
c.
Jaksa Agung atau kepala
kejaksaan tinggi;
d.
pimpinan instansi atau lembaga atau
komisi dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik, selain penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia;
e.
pemimpin, direktur atau pejabat yang setingkat, atau pemimpin satuan kerja atau kantor
di lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap penyedia jasa keuangan;
f.
pimpinan lembaga yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara; atau
g.
pimpinan dari lembaga lain yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana
lain terkait dengan tindak pidana pencucian
uang.
Pengajuan permintaan Informasi ke PPATK harus memenuhi persyaratan lain sebagai berikut, mencantumkan paling kurang:
1)
identitas lengkap orang perseorangan atau Korporasi;
2)
nama penyedia jasa keuangan atau
penyedia barang dan/atau jasa lain;�
3)
Rekening atau rincian catatan yang lengkap mengenai pengguna jasa termasuk
tetapi
tidak terbatas pada identitas, transaksi, atau perikatan antara penyedia jasa keuangan atau
penyedia barang dan/atau jasa laindengan
pengguna jasa;
4)
tujuan dan alasan permintaan Informasi;
5)
periode waktu spesifik dari Informasi
yang diminta;
6)
kasus posisi;
7)
hubungan Informasi yang diminta dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang atau tindak pidana lain yang terkait dengan tindak pidana
pencucian uang; dan
8) pernyataan untuk menjaga kerahasiaan Informasi dan menggunakan Informasi yang diterima sesuai dengan tujuan
yang telah disetujui oleh PPATK.
�
Dengan adanya peraturan
ini, maka penegak hukum khususnya
penyidik Polri dapat memanfaatkan LHA PPATK sebagai informasi pendukung/tambahan dalam proses penyelidikan ataupun penyidikan guna membuat terang
suatu peristiwa pidana, menemukan tersangka dan menelusuri aset hasil tindak
pidana. Seyogyanya sejak awal, penanganan
tindak pidana asal langsung digabungkan
dengan tindak pidana pencucian uang, apalagi bila melibatkan
dengan jumlah kerugian berupa uang dalam nominal yang sangat besar
dan dilakukan melalui instrumen perbankan atau sektor keuangan
lainnya.
Kesimpulan
Hasil analisis atau pemeriksaan merupakan hasil akhir yang dihasilkan oleh PPATK
yang akan diteruskan berdasarkan kewenangan yang diatur dalam UU TPPU kepada instansi peminta atau penyidik
dalam menjalankan fungsi sebagai poros dalam mekanisme
komunikasi dan koordinasi antar instansi atau lembaga yang terlibat dalam upaya menegakkan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang di Indonesia.
Penyidik Polri merupakan
salah satu penyidik yang diberikan kewenangan oleh UU TPPU
untuk dapat melakukan penyidikan TPPU. Terdapat berbagai macam kekhususan kewenangan yang diberikan oleh UU
TPPU kepada penyidik tindak pidana asal
yang melakukan penyidikan
TPPU diantaranya adalah penundaan transaksi oleh PJK atas perintah penegak
hukum, pemblokiran harta kekayaan, permintaan keterangan kepada pihak pelapor
terkait harta kekayaan dari orang yang dilaporkan PPATK, tersangka atau terdakwa. Sehingga dengan adanya kewenangan tambahan dalam UU TPPU ini dapat memaksimalkan
tugas penyidik dalam hal penelusuran
hasil tindak pidana (follow the money).
Instrumen LHA PPATK sebagai informasi itelijen sangat berguna bagi penyidik
dalam mengungkap suatu tindak pidana.
Karena kekhususan LHA adalah
dapat menembus prinsip kerahasiaan perbankan yang tidak dapat ditembus oleh penyidik jika hanya
menggunakan persangkaan pasal tindak pidana
asal saja. Sebaiknya penanganan tindak pidana asal
bila ditemukan bukti permulaan yang cukup terkait TPPU, bisa langsung digabungkan
dengan tindak pidana pencucian uang, apalagi bila melibatkan
dengan jumlah kerugian berupa uang dalam nominal yang sangat besar
dan dilakukan melalui instrumen perbankan atau sektor keuangan
lainnya. Dengan adanya Peraturan Kepala PPATK Nomor PER-08/1.02/PPATK/05/2013
tentang Permintaan Informasi ke PPATK dapat mempermudah penyidikan TPPU oleh penyidik Polri.
BIBLIOGRAFI
Adrian Sutedi, Sh. (2008). Tindak pidana
pencucian uang. Citra Aditya Bakti. Google Scholar
Amalia, Renata. (2016). Pertanggungjawaban
korporasi dalam tindak pidana pencucian uang menurut hukum Islam. Jurnal
Hukum Pidana Islam, 2(2), 385�407. Google Scholar
Arksey, Hilary, & O�Malley, Lisa.
(2005). Scoping studies: Towards a methodological framework. International
Journal of Social Research Methodology: Theory and Practice, 8(1),
19�32. Google Scholar
Arsyanda, Sifa. (2018). Pelaksanaan
Informasi, Data, Laporan, Dan Pengaduan (IDLP) dalam Upaya Law Enforcement
Tindak Pidana di Bidang Perpajakan (Studi Pada Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak Jawa Timur III). Universitas Brawijaya. Google Scholar
Fadli, Muhammad. (2013). Tinjauan Hukum
Tindak Lanjut Laporan Hasil Analisis Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi
Keuangan Di Tingkat Penyidikan. Universitas Hassanuddin. Google Scholar
Hutahaean, Osel Haposan B. M., &
Pujiyono, Sukinta. (2016). Peran Penyidik Badan Narkotika Nasional (Bnn) dalam
Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (Tppu). Diponegoro Law Journal,
5(2), 1�9. Google Scholar
Jahja, H. Juni Sjafrien, & SH, M. H.
(2012). Melawan money laundering!: mengenal, mencegah, & memberantas
tindak pidana pencucian uang. Visimedia. Google Scholar
Kusheri, D. D. (2015). Fungsi Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (Ppatk) dalam Melacak Transaksi Keuangan yang
Mencurigakan. Lex Crimen, 4(4), 3287. Google Scholar
Lololangi, Iffandie, Prananingtyas,
Paramita, & Mahmudah, Siti. (2016). Kajian Yuridis Pelaksanaan Peraturan
Bank Indonesia Nomor 12/20/pbi/2010 Tentang Penerapan Program Anti Pencucian
Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorismebagi Bank Perkreditan Rakyat dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah. Diponegoro Law Journal, 5(2), 1�11. Google Scholar
Makauli, Noula Hillary. (2016). Kewenangan
Penyidik Polri Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut Undang-undang Nomor 8
Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Lex
Privatum, 4(2). Google Scholar
Sabar, Moses Frian. (2016). Tindak Pidana Money
Laundering Dalam Penyedia Jasa Keuangan Pasar Modal Menurut Undang-undang Nomor
8 Tahun 2010. Lex Crimen, 5(4). Google Scholar
Simamora, Janpatar. (2014). Tafsir Makna
Negara Hukum dalam Perspektif Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Jurnal Dinamika Hukum, 14(3), 547�561. Google Scholar
Sinaga, Nikho Halomoan. (2022). Analisis
Tindak Pidana Pencucian Uang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Universitas Islam Kalimantan Mab. Google Scholar
Sjahdeini, Sutan Remy. (2007). Seluk
Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme. HeinOnline. Google Scholar
Soekanto, Soerjono. (1986). pengantar penelitian
hukum, Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia. Google Scholar
Copyright holder: Taufan Setia Prawira (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |