Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 5, Mei 2022
PENDIDIKAN
KARAKTER DI INDONESIA (TELAAH GAGASAN HAEDAR NASHIR)
Muh. Akmal Ahsan
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Indonesia sedang
mengalami krisisis moral yang ditandai dengan berbagai macam persoalan
kekerasan seksual, penyalahgunaan narkoba, bullying, korupsi, pelanggaran HAM
dan sekelumit persoalan lain. Lingkaran masalah itu menjadikan kehadiran
pendidikan dipertanyakan keberadaannya. Banyak pemikir yang merancang
pendidikan karakter sebagai solusi persoalan moral di Indonesia, salah satunya
adalah Haedar Nashir. Penelitian ini merupakan studi pemikiran tokoh Haedar
Nashir. Dalam penelitian ini, subyek yang diteliti adalah Haedar Nashir.
Peneliti melakuan wawancara langsung dengan subyek penelitian sembari menggali
dan mengambil data dari sumber-sumber kepustakaan terkait. Data dianalisis
secara mendalam untuk penarikan kesimpulan. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa pemikiran
pendidikan karakter Haedar Nashir relevan dengan konteks masalah krisis moral
yang terjadi di Indonesia. Tujuan pendidikan karakter menurut Haedar Nashir
adalah usaha untuk membentuk manusia yang integral dan paripurna. Hal ini didukung
oleh kualitas guru dan kurikulum yang komrpehensif, kurikulum yang tidak
dipandang secara formal belaka. Pendidikan karakter di Indonesia juga didukung
dengan kebijakan yang berangkay dari konstitusi yang berlaku.
Kata kunci: Pendidikan Karakter, Haedar
Nashir, Pendidikan Indonesia.
Abstract
Indonesia is experiencing a moral crisis marked by various problems of
sexual violence, drug abuse, bullying, corruption, human rights violations and
a number of other issues. This circle of problems makes the existence of
education questionable. Many thinkers have designed character education as a
solution to moral problems in Indonesia, one of which is Haedar
Nasir. This research is a study of the thought of Haedar
Nasir. In this study, the subject under study was Haedar
Nasir. Researchers conducted direct interviews with research subjects while
digging and taking data from related library sources. The data were analyzed in
depth to draw conclusions. In this study it was concluded that Haedar Nasir's thoughts on character education were
relevant to the context of the moral crisis that occurred in Indonesia. The
purpose of character education according to Haedar
Nasir is an effort to form an integral and complete human being. This is
supported by the quality of teachers and a comprehensive curriculum, a
curriculum that is not seen as merely formal. Character education in Indonesia
is also supported by policies based on the applicable constitution.
Keywords: Character Education, Haedar Nasir, Indonesian
Education
Pendahuluan
Indonesia tengah mengalami persoalan krisis
moral yang mengkhawatirkan. Beragam macam kasus moral seperti kekerasan
seksual, penyalahgunaan narkoba, bullying, masalah korupsi, pelanggaran HAM dan
paket persoalan yang lain menjadikan publik bertanya, dimana peran pendidikan
sebagai medium strategis penanaman nilai-nilai moral kepada anak bangsa.
Persoalan kian rumit ketika dekadensi moral
justru dialami oleh anak usia sekolah. Sebegai contoh, pada tahun 2022, Komisi
Perlindungan Anak Indonesia menyebutkan setidaknya ada 207 anak yang telah
menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual di satuan pendidikan pada
periode tahun 2021. Tragisnya ialah, mayoritas kasus kekerasan seksual tersebut
terjadi di sekolah dan bahkan melibatkan guru/tenaga pendidik. KPAI
menyebutkan, kasus kekerasan seksual yang menimpa anak rentang pada usia 3-17
tahun, usia PAUD/TK sebesar 4%, SD/MI 31%, SMP/MTS 36% dan SMA/MA 28% (Mutia Fauzia, 2022) .
Selain kasus pelecehan dan kekerasan seksual,
kasus penyalahgunaan narkoba juga turut memprihatinkan. Angka prevalensi
pelajar serta mahasiswa penyelaguna narkoba terakhir di 13 provinsi tahun 2018
mencapai 2,1%. Kelompok pekerja dan pelajar merupakan dua kelompok yang paling
rentan terpapar narkoba (Coversation, 2022) . Kasus lain yang
juga kronis adalah masalah perundungan terhadap anak. KPAI menyebut, kasus
perundungan terbanyak dialami oleh anak sekolah dasar (SD) (Mahar Prastiwi, 2022) . Sementara kasus
tawuran antar pelajar juga masih kerap terjadi. Badan Pusat Statistik
menyebutkan, sepanjang tahun 2021 terdapat 188 desa atau kelurahan di seluruh
Indonesia yang telah menjadi arena perkelahian massal antar pelajar/mahasiswa.
Perkelahian tersebut terjadi sebagai akibat dari sisi emosional yang belum
stabil, situasi keluarga yang tidak harmonis, problem ekonomi, sosial-budaya,
lingkungan sekolah serta guru yang kurang mampu untuk mengarahkan siswa
berkegiatan secara positif (Databoks, n.d.).
Data sebagaimana telah disebutkan di atas
hanyalah sebagian dari ragam macam persoalan dekadensi moral yang melanda anak
bangsa di Indonesia. Lingkaran persoalan tersebut membuat pendidikan perlu
melakukan koreksi secara mendalam dan komprehensif demi menannggulangi kian
merebaknya krisis dan dekadensi moral anak bangsa. Banyak para ahli yang
berharap bahwa paradigma pendidikan yang perlu dilaksanakan adalah usaha
melawan dekadensi moral adalah paradigma pendidikan karakter. Melalui model
pendidikan karakter tersebut, maka diharapkan dapat tertanam nilai-nilai luhur
kepada anak bangsa, khususnya anak usia sekolah.
Salah satu pemikir
dan pemerhati pendidikan yang secara serius mengembangkan paradigma pendidikan
karakter adalah Haedar Nashir. Keseriusannya dalam pengembangan pendidikan
karakter tersebut tercermin dalam ujaran dan tulisan-tulisan yang pernah
diterbitkan. Salah satunya adalah tulisan dalam bentuk buku bertajuk Pendidikan
Karakter Berbasis Agama dan Budaya (2013). Selain itu, banyak juga
tulisan-tulisan Haedar yang terbit dalam majalah, koran, media online, dan
medium yang lain. Penelitian ini adalah usaha penelaahan dan pengembangan
pemikiran Haedar Nashir.
Metode Penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan dengan menggunakan model penelitian studi tokoh. Suatu bentuk
penelitian yang berangkat
pada keunikan sebuah pemikiran dan pendapat serta karya intelektual
sang tokoh. Salam �hal
ini subyek penelitian yang diteliti adalah Haedar Nashir
sebagai pemikir pendidikan karakter (Junaedi, 2015).
Karena subyek penelitian masih hidup, maka
sang tokoh dijadikan sebagai subyek utama penelitian. Penelitian �melakukan
wawanca langsung dengan subyek penelitian
sembari menggali dan mengambil data dari sumber-sumber kepustakaan yang memiliki keterkaitan dengan penelitian. Data yang diambil dari wawancara,
pustaka dan dokumen terkait kemudian dianalisis secara mendalam untuk mendapatkan kesimpulan yang utuh dan dalam rangka menjawab rumusan masalah yang telah dijelaskan.
Hasil dan Pembahasan
A. Biografi Haedar Nashir
Haedar Nashir adalah tokoh
Islam yang banyak dikenal sebagai intelektual sekaligus ulama. Ia terlebih kian populer
semenjak menjadi Ketua Umum Pimpinan
Pusat Muhammadiyah. Organisasi ini
adalah persyarikatan non-pemerintahan besar yang turut besumbangsih besar bagi pembangunan
sumber daya manusia di Indonesia. �Haedar Nashir laihir pada 28 Februari 1959 di Ciparay, Bandung
Selatan, Jawa Barat. Ia merupakan anak bungsu dari 12 bersaudara, buah hasil pernikahan H. Bahruddin dan Hajah Endah binti Tahim. Ayahnya memili peran yang sangat signifikan terhadap pembentukan pemikiran dan sifat Haedar. H Bahruddin menerapkan model pendidikan disiplin kepada Haedar, ini misalnya
bisa dilihat ketika tiba waktu
subuh, guruyan air akan segera menimpa
Haedar (Setiawan, 2021). Hal lain
misalnya terlihat dari sambitan selendang
Ayahnya apabila sang anak salah dalam membaca al-Qur�an. Dari Ayahnya itulah, Haedar meraih pendidikan pertama dari keluarga.
Sang ayah dikenal sebagai tokoh masyarakat. Di kawasan tempat tinggalnya, banyak Kyai yang segaris senasab dengan keluarga Haedar Nashir, bahkan juga termasuk dari kalangan Kyai Nahdhatul Ulama.
Haedar mempelajari kitab kuning langsung dari Ayah dan kakaknya. Selain itu, Haedar juga telah banyak menamatkan
kitab-kitab selama berada
di Cintawana. Bacaan-bacaan
tersebut telah memberi dorongan intelektual yang kuat kepada Haedar untuk
meraih beragam bentuk pemikiran yang lain. Selain itu, aktivitas
Haedar Nashir sebagai kader Ikatan
Pelajar Muhammadiyah di SMA 10 juga turut memberi andil
besar bagi proses pertumbuhan dan perkembangan kepribadin Haedar . Di dalam organsiasi
inilah ia belajar membangun relasi sosial (Musanada & Haidar, 2014).
Selain Ayahnya, sosok yang juga berpengaruh kepada pola pemikiran Haedar adalah figur
sang kakak. Pengaruh pemikiran itu khususnya
terjadi setelah Haedar pindah ke
Bandung Kota dan menetap selama
6 tahun lamanya sembari melanjutkan studinya di SMP Muhammadiyah III Bandung juga SMA Negeri X.
Kakanya adalah alumni Pondok Pesantren Gontor serta merupakan
lulusan sarjana dari Universitas Islam Bandung (UNISBA). Di samping itu, Haedar
juga sekaligus mendalami pemikiran agama dai Pesantren Cintawana. Interaksi dengan sang kakak sekaligus persentuhannya dengan pesantren telah turut mengembangkan pemikiran Haedar, khususnya mengenai pemikiran Islam yang ada di Indonesia .
Proses pertumbuhan Haedar
Nashir menunjukkan sosoknya yang gemar belajar. Giat untuk
terus belajar itu kemudian didukung
oleh sikap disiplin Ayahnya serta pengaruh
kakanya yang juga mempunyai
dasar pemikiran keislaman yang kuat. Seturut itu, ia
juga terbentuk dari lingkungan keagamaan yang kental. Suasana dan kondisi itulah yang memberi dasar kehidupan
yang kuat bagi Haedar untuk menjalani
proses kehidupannya sendiri.
Kemudian pada penghujung tahun 1979, Haeda memilih untuk
berpindah ke Yogyakarta. Di
kota inilah, Haedar melanjutkan aktivitas organisasinya dengan terlibat di IPM Wilayah
DIY setelah sebelumnya banyak membina diri di IPM Bandung. Kepindahan Haedar ke Yogyakarta memberi pengaruh besar bagi pengembangan
pemikirannya. Seluruh aktivitas keilmuan yang digeluti telah cukup mengembangkan wawasan Haedar Nashir, ia telah
banyak menelaah secara mendalam perbedaan pemikiran antara ulama yang ada di Jawa Barat dengan Ulama yang ada di Yogyakrta (HAEDAR, 2019) .
Di Yogyakarta, Haedar melanjutkan
studinya di Sekolah Tinggi
Pembangunan Masyarakat Desa dan kemudian
lulus dengan raihan terbaik. Selanjutnya, ia melanjutkan perkualiahannya di Universitas Gadjah Mada
dan kembali meraih prestasi terbaik dengan status cum laude . Aktivitasnya di UGM membuka wawasan keislaman Haedar untuk lebih
kontekstual dan mampu ditelaah secara sosiologis.
Haedar juga pernah menjalani karir sebagai seorang
wartawan. Dalam pekerjaan ini, ia merasakan bagaimana
susahnya bekerja sebagai pencari berita. Menerutunya, kerja-kerja sebagai seorang wartawan bukan saja merupakan
aktivitas teknis, melainkan pula merupakan ikhtiar ibadah sekaligus dakwah. Sebuah bentuk pekerjaan yang diharapkan dapat memabwa berkah yang terus mengalir. Haedar adalag sosok
pemikir yang memiliki kegemaran untuk membaca dan menulis. Tulisan-tulisannya banyak tersebar di koran-koran, baik lokal maupun
nasional .
Di Yogyakarta, Haedar Nashir
kemudian mengenal beragam macam pemikiran-pemikiran
yang progresif sekaligus berwatak moderat dan berkemajuan. persentuhannya dengan para pemikir dan buah pemikiran yang beragam menjadikannya sadar akan perlunya
sebuah konsepsi Islam yang berwatak maju sekaligus
inklusif. Dalam struktur pemikirannya di bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya, Haedar banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran sosiologi
yang turut memberi cakrawala luas mengenai kehidupan (Hamdi, Shofwan, & Muhammad, 2019) .
Haedar Nashir telah berhasil
melalui masa pertumbuhan
dan perkembangannya dengan
sangat baik lalu memasuki masa kematangan dalam hidupnya. Di masa kematangannya, Haedar menjadi Ketua Umum
PP Muhammadiyah, jabatan dalam
persyarikatan ini. Sementara keseluruhan aktivitas keilmuannya sejak dari remaja
membawanya sebagai Guru Besar, sebuah jabatan
fungsional paling tinggi bagi seorang yang mengajar dalam satuan pendidikan.
B. Pendidikan
Karakter Di Indonesia Perspektif
Haedar Nashir
1.
Urgensi
Pendidikan Karakter
Menurut Haedar Nashir, sebagai sebuah bangsa dan negara, Indonesia sesungguhnya
merupakan entiteas yang
sangat besar yang dibangun dengan sejarah dan tradisi yang besar (the great
tradition). Kebesaran itu misalnya tergambar dari penginggalan nenek-moyang bangsa ini yang menunjukkan sebuah warisan budaya luhur, kondisi
geografis luas dan besar, kekayaan dan sumber daya alam
yang melimpah serta kesuburan tanah. Tak ayal, kebesaran
dan kebesaran itulah yang mendorong bangsa-bangsa Eropa hingga Jepang
tertarik dan menjajah bangsa Indonesia hingga ratusan tahun lamanya .
Indonesia menurut Haedar sebenarnya memiliki potensi yang besar untuk kemudian menjadi timbul sebagai kekuatan besar; menjadi bangsa dan negara yang maju, adil dan makmur, bersatu, bermartabat juga berdaulat sebagaimana cita-cita kemerdekaan. Dalam rentan sejarah
yang bergulir, Indonesia memperlihatkan
ragam kemajuan yang berarti, khususnya dalam di bidang kualitas sumber daya intelektual dan penguasaan ilmu pengetahuan & teknologi (Iptek). Meski begitu,
pada saat yang bersamaan, terdapat juga persoalan di
wilayah mentalitas yang erat
kaitannya dengan persoalan karakter. Masalah itu misalnya
terlihat dari ragamnya penyakit korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, perusakan lingkungan dan kekerasan serta masalah lain yang mencerminkan lemah dan rapuhnya karakter sebagai bangsa yang justru seharusnya mempunyai jati diri yang kuat. Melemahnya karakter bangsa itu menunjukkan
perlunya melakukan usaha rekonstruksi , membangun kembali visi dan karakter bangsa (Iswantir, 2019) .
Dari gugusan argumen Haedar di atas, tergambar bahwa rentang sejarah panjang yang telah dilalui bangsa Indonesia, masih tersimpan tugas bersama, khususnya berkaitan dengan mentalitas dan karakter bsanga. Sikap abai pada mental, karakter dan moral itu secara perlahan akan membentuk suatu budaya dan peradana yang justru akan menurunkan harkat dan martabat manusia Indonesia. Kesadaran Haedar ihwal lingkar
persoalan yang menjangkiti tubuh bangsa Indonesia mendorong Haedar Nashir untuk membangun
gagasan pembangunan karakter, khususnya di bidang pendidikan (Iswantir, 2019).
Kesadaran akan perlunya pendidikan
karakter juga disampaikan
oleh Thomas Lickona, menurutnya
salah satu dasar alasan menapa dibutuhkan
pendidikan karakter bagi suatu bangsa
ialah fakta bahwa ada kekurangan
yang mencolok dalam diri anak-anak, khususnya berkaitan dengan masalah moral
. Presiden pertama
Indonesia, Soekarno juga pernah memberikan
gagasannya ihwal kepentingan membangun pendidikan karakter melalui gagasan Trisakti. Soekarno dalam hal ini menekankan
pentingnya anak bangsa indonesia untuk menyeimbangkan antara pengembangan material dengan spiritual, pendidikan untuk karir dengan
karakter .
Sengkarut persoalan mental dan karakter di
Indonesia membuat lembaga pendidikan beserta lembaga-lembaga sosial lainnya tengah menanggung beban berat dalam upaya
menghadapi fakta pelemahan nilai dan orientasi kebangsaan, khususnya pada masalah cinta tanah air, ikatan kebangsaan, solidaritas kebangsaan, jati diri bangsa
dan bahkan lebih luas, membangun dan membela martabat dan keddulatan bangsa ditengah gempuran nilai-nilai yang melemahkan bangsa. Haedar memandang bahwa lembaga pendidikan nasional akan menghadapi
tantangan yang tidak ringan dalam upaya
berperan sebagai medium startegis bangsa. Tantangan itu utamanya
berkaitan dengan lembaga pendidikan yang masih memiliki masalah internal seperti kcenderungan kuat untuk berorientasi pada pendidikan kognisi belaka dan tidak seimbang dengan mentalitas. Pada saat yang sama, tantangan pendidikan juga ialah pengaruh globalisasi dan faktor eksternal lain yang masuk ke dalam
institusi pendidikan .
2.
Tujuan
Pendidikan Karakter
Dalam perumusannya,
tujuan pendidikan seringkali memiliki kecenderungan kuat pada usaha memenuhi kebutuhan-kebutuha pragmatis belaka, misalnya pemenuhan kebutuhan lapangan kerja. Perumusan tujuan yang bertumpu pada kepentingan pragmatis itu akhirnya
menghilangkan fungsi pendidikan sebagai sebuah fondasi budaya, moral dan gerakan sosial .
Dalam konteks
keindonesiaan sesunguuhnya telah dijelaskan tujuan utuh dari
pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 yang berbunyi (Lestari, 2017):
�Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab�
Dari Undang-Undang tersebut tercermin jelas perlunya pendidikan karakter. Dari undang-undang tersebut dapat dipahami bahwa pendidikan di Indonesia hakikatnya
merupaka pendidikan yang memperhatikan aspek nilai-nilai luhur yang bersumber dari nilai agama, Pancasila budaya bangsa yang diharapkan melahirkan pribadi yang berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif,
mandiri serta demokratsi dan bertanggung jawab (Lestari, 2017).
Haedar Nashir
menjelaskan, pendidikan hakikatnya merupakan insitusi sosial yang dilahirkan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, mencerahkan akal budi manusia. Maka
seyogyanya pendidikan diletakkan sebagai sebuah medium startegis untuk kemudian melakukan upaya pencerahan. Hal ini dimulai dari usaha
pencerahan individu, masyarakat lalu berdampak pada peradab yang mulia. Pendidikan dalam hal ini diarahkan
tidak saja pada upaya melahirkan manusia yang memiliki keahlian dan kecerdasan otak belaka, namun
rapuh secara moral dan tingkah laku. Kecerdasan
otak dan keahlian bahkan dalam situasi-situasi
tertentu kerap disalahgunakan demi melakukan sesuatu yang berlawanan dengan nilai moral, budaya dan agama (Mu�ti, 2019).
Dari argumen tersebut, tergambar terang bahwa tujuan pendidikan
yang dikehendaki oleh Haedar
Nashir adalah bentuk tujuan pendidikan
yang utuh dan integral dalam
upaya melahirkan manusia yang paripurna (insan kamil). Sosok
yang memiliki keterampilan,
kecerdasan pada saat yang sama juga memiliki ahlak yang mulia.
Haedar mencita-citakan
sebuah bentuk pendidikan karakter yang holistik, terpadu dan menyeluruh. Sebuah model pendidikan yang tidak saja bertumpu secara
sempit pada aspek perilaku siswa di ruang kelas. Haedar
menghendaki pendidikan yang
tidak saja sekadar pembelajaran melalui kurikulum formal, melainkan juga melibatkan keteladanan semua pihak, di dalam maupu diluar lembaga
pendidikan. Melalui pendidikan yang holistik itu, diharapkan lahir manusia yang utuh, bukan manusia
yang berkeping-keping dan saling
menegasikan. Sebagai sebuah institusi sosial yang mencita-citakan manusia utuh, pendidikan
di Indonesia seyigyanya tidak
saja bertumpu pada akal pikiran namun
juga keimanan dan keberpihakan
terhadap kemajuan.
3.
Guru
Guru memiliki peran vital dalam usaha penerapan
pendidikan karakter. Mereka adalah model dan teladan bagi anak
yang sekaligus juga bertindak
sebagai pengajar dan pembimbing dalam proses belajar-mengajar. Dalam hubungannya dengan pendidikan karakter, guru perlu memegang komitmen kuat dan memiliki visi ke
depan untuk mewujudkan pendidikan karakter di sekolah. Komitmen tersebut dimaknai sebagai tekad kuat yang mengikat pada guru untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang pendidik .
Dalam teknis pembelajaran, guru bertindak sebagai perancang pembelajaran, pengelola pembelajaran, pengarah, evaluator
dan sebagai konselor.
Dalam upaya
melakukan transformasi nilai agama dan budaya, guru berperan penting untu memaksimalkan usaha transformasi tersebut. Sebagai sosok agen kebudayaan,
transformasi budaya dimungkinkan apabila guru mampu merancang, mengelola, mengarahkan dan mengevaluasi mata pelajaran yang ia kuasai sebagai medium penanaman nilai pandangan dan keterampilan hidup. Maka dalam
hal ini perlu
untuk memperhatikan kompetensi tiap-tiap guru.
Menurut Haedar Nashir, guru seyogyanya mampu memberi indibasi dalam tata kelola materi pembelajaran di dalam kelas, di sisi lain, orang tua dan keluarga juga seharusnya melakukan fungsi utamanya untuk mendidik anak . Guru juga harus memiliki kesabaran dan kesungguhan juga kemampuan untuk menumbuhkan dan membangun sikap inner dynamic, keinginan kuat yang memacu untuk maju
dan berkembang (Utomo, 2021).
Haedar Nashir
juga menekankan arti penting
posisi Guru Besar dalam pendidikan tinggi. Menurutnya, Guru Besar tidak boleh
berhenti belajar dan terus memproduksi pengetahuan, menyebarluaskan sekaligus mengamalkan ilmunya. Sejalan dengan itu, Guru Besar perlu memiliki
keteladan moral dan intelektual.
Sebagai seorang warga negara, Guru Besar diharapakan terus bersumbangsih, menghibahkan kepeduliannya pada kondisi bangsa dengan sikap
yang bijaksana, tidak dengan memerankan diri sebagai politisi
atau figur yang sibuk bersikap partisan di media sosial.
4.
Kurikulum
Kurikulum secara general dapat dimaknai sebagai agenda terecna yang memiliki makna luas, tidak
saja sebagai sebuah dokumen tekstual yang menyangkit teknikalitas pembelajaran. Secara sempit, kurikulum dimaknai sebagai sejumlah mata pelajaran yang diberikan oleh sekolah. Dalam maknanya yang luas, pendidikan diartikan sebagai keseluruhan pengalaman belajar yang diberikan oleh sekolah kepada peserta didik.
Menurut Haedar Nashir, proses pendidikan tidak bisa disempitkan pada makna kurikulum formal di sekolah belaka, melainkan pula lewat keteladanan segala pihak, di dalam maupun diluar sekolah.
Pihak tersebut adalah pihak dalma
lembaga pendidikan, pemerinta, partai politik, media massa, para penguasaha, organisasi kemasyarakata, lembaga swadaya masyarakat dan institusi sosial lain yang memiliki tanggung jawab serta kewajiba
untuk membentuk generasi bangsa (Al Hana, 2017).
Dalam kaitannya
dengan subtansi kurikulum dalam pendidikan karakter, Haedar membagi dua kategori utama
dalam rumusan kurikulum. Pertama, nilai dasar (basic values) yang berkaitan dengan nilai-nilai berharga yang menjadi fundamen dasar terbentuknya sebuah perilaku. Nilai dasar tersebut berfungsi sebagai pandangan hidup untuk berperilaku ideal sehingga tidak menjadi sikao menerabas.
Nilai dasar lain yang melekat
dengan pandangan hidup itu ialah
keimanan dan ketakwaan yang
telah melekat dalam kehidupan indonesia. Kedua, nilai perilaku (behavior values)
yang merupakan manifestasi dari nilai dasar.
Nilai perilaku itu seperti sikap jujur,
baik, adil, amanah, arif, rasa malu, tanggung jawab, berani, disiplin, mandiri, kasih sayang, toleran,
cinta tanah air beserta ragam macam
karakter baik yang lain.
5.
Kebijakan
Pendidikan
Pendidikan
dalam konteks kenegaraan erat kaitannya dengan kehidupan publik, berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan kepentingan hidup banyak orang dalam suatu negara. Dalam penyelenggaraannya, pendidikan kerapkali diperhadapkan pada konflik dan pertentangan kepentingan. Masalah yang satu berkaitan dengan masalah yang lain. Kompleksitas persoalan itulah yang menjadikan kebijakan pendidikan dibutuhkan sebagai kekuatan yang berpengaruh untuk dapat mengelola pendidikan agar mampu memenuhi harapan publik. Dalam makna
yang luas, perlu untuk membentuk kebijakan adil dalam pendidikan yang ditandai dengan kemampuan memahami keseluruhan dimenasi masalah yang ada di masyarakat. Kebijakan yang baik merupakan kebijakan yang selalu mengandung prinsip bagi orang banyak, tidak merugikan. Dalam posisi ini,
sebuah kebijakan seyogyanya berangkat dari dasar perundang-undangan
yang jelas
.
Selain itu,
kebijakan dilahirkan untuk melaksanakan tujuan dari sebuah
negara. Pendidikan dimaknai sebagai
arena strategis untuk meraih tujuan dan cita-cita negara. Pada konteks itulah kebijakan memainkan peranan penting untuk membangun
agenda strategis pendidikan
agar mampu mencapai tujuan negara yang bersangkutan.
Dalam pandangan
Haedar Nashir, pada praktiknya, sering terjadi masalah misskontinuitas dalam upaya merancang kebijakan strategis negara dalam pendidikan. Orientasi untuk melakukan lompatan kemajuan yang jauh ke depan sering
tidak integral dengan identitas bangsa Indonesia yang berdasar pada Pancasila, nilai-nilai
agama serta budaya luhur bangsa. Haedar
memandang memang rumit untuk memadukan
aspek-aspek fundamental bernegara
dengan hal yang bersifat strategis. Dalam masalah inilah,
kerapkali terjadi reduksi (DIPA, n.d.) .
Dalam hubungannya
dengan landasan kebijakan, Haedar memandang pendidikan sudah seharusnya dibangun di atas landasan konstitusi yang berlaku, khususnya berangkat dari pasal 31 UUD 1945. Salah satu aspek yang tidak boleh terlupakan dalam perumusan kebijakan ialah kepentingan untuk mengintegrasikan aspek keimanan dan ketakwaan, nilai-nilai agama serta akhlak mulia. Haedar
menekankan bahwa segala bentuk pemikiran
yang berwatak sekuler dan pragmatis dalam sistem pendidikan nasional telah bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 dan Pancasila (Syahril, 2019).
Kesimpulan
Indonesia tengah mengalami krisis moral yang
mengkhawatirkan yang titandai dengan ragam macam persoalan seperti kekerasan
seksual, penyalahgunaan narkoba, bullying, korupsi, pelanggaran HAM dan
sekelumit persoalan lain. Lingkaran masalah itu menjadikan kehadiran pendidikan
dipertanyakan keberadaannya. Banyak pemikir yang merancang pendidikan karakter
sebagai solusi persoalan moral di Indonesia, salah satunya adalah Haedar
Nashir.
Dalam perspektif Haedar Nashir, pendidikan karakter
dibangun untuk membentuk manusia yang intergal, manusia yang paripurna. Yakni
sosok yang memiliki keterampilan, kecerdasan dan juga akhlak mulia. Hal ini
didukung oleh kualitas guru. Sebagai salah satu agen kebudayaan, guru harus
memiliki kesungguhan dan kesabaran untuk membangun sikap inner dynamic, yakni
keinginan untuk selalu maju dan berkembang.
Dalam hal kurikulum, Haedar Nashir mendorong
kurikulum yang komprehensif yang tidak dimaknai dalam bentuk kurikulum formal
belaka. Sementara subtansi pendidikan karakter menurut Haedar dibagi dalam dua
kategori utama, yakni nilai dasar dan nilai perilaku sebagai manifestasi dari
nilai dasar tersebut. Keseluruhan rancangan dan praktik pendidikan itu bertumpu
pada kebijakan pendidikan. Haedar memandang pendidikan harus berangkat dari
landasan konstitusi yang berlaku dan tidak melupakan aspek keimanan, ketakwaan
dan nilai-nilai agama
Al Hana, Rudy. (2017). Eksistensi
Pesantren Salafiyah: Perubahan Dan Kesinambungan Di Pondok Pesantren Langitan
Tuban. Uin Sunan Ampel Surabaya.
Coversation, The. (2022). Peredaran Narkoba
Meningkat Selama Pandemi; Keluarga Menjadi Salah Satu Faktor Penting Dalam
Penanganan.
Databoks. (N.D.). Tawuran Pelajar Paling
Banyak Terjadi Di Jawa Barat. Retrieved From Databoks Website:
Www.Katadata.Co.Id
Dipa, Dibiayai Dengan Anggaran. (N.D.). Nip:
196904252000031001.
Haedar, Haedar. (2019). Penerapan Etika
Bisnis Islam Pada Jual Beli Kopra Di Desa Askakec. Sinjai Selatan. Institut
Agama Islam Muhammadiyah Sinjai.
Hamdi, Ahmad Zainul, Shofwan, Moh, &
Muhammad, Agus. (2019). Peran Organisasi Islam Moderat Dalam Menangkal
Ekstremisme Kekerasan: Studi Kasus Nahdlatul Ulama Dan Muhammadiyah. -.
Iswantir, Muhammad. (2019). Pendidikan_Islam:
_Sejarah, _Peran_Dan_Kontribusi_Dalam_Sistem_Pendidikan_Nasional. Aura.
Junaedi, Didi. (2015). Living Qur�an:
Sebuah Pendekatan Baru Dalam Kajian Al-Qur�an (Studi Kasus Di Pondok Pesantren
As-Siroj Al-Hasan Desa Kalimukti Kec. Pabedilan Kab. Cirebon). Journal Of
Qur�an And Hadith Studies, 4(2), 169�190.
Lestari, Heni. (2017). Pendidikan Agama
Dan Nasionalisme (Studi Pada Sekolah Islam Terpadu Di Jakarta).
Mahar Prastiwi. (2022). Kasus Perundungan
Paling Banyak Terjadi Pada Siswa Sd.
Mu�ti, Abdul. (2019). Ta�awun Untuk
Negeri: Konteks Keindonesiaan. Muhammadiyah University Press.
Musanada, Siti Rohmatul, & Haidar, Ali.
(2014). Peranan Kh Mas Muhajir Mansur Dalam Mengembangkan Pondok Pesantren
An-Najiyah Sidosermo Surabaya Tahun 1942-1989. Avatara, E-Journal Pendidikan
Sejarah, 2(1).
Mutia Fauzia. (2022). 207 Anak Jadi Korban
Kekerasan Seksual, Mayoritas Di Sekolah Berasrama.
Setiawan, Farid. (2021). Muhammadiyah
Mencerdaskan Anak Bangsa. Uad Press.
Syahril, Muhamad. (2019). Peran Guru
Pendidikan Agama Islam Dan Wali Kelas Dalam Menanamkan Sikap Hormat Siswa
(Penelitian Di Smk Mitra Bintaro Kota Tangerang). Universitas Islam Negeri
Serang Banten.
Utomo, Joko. (2021). Implementasi Program
Shalat Berjamaah Dalam Pembentukan Karakter Islami Siswa Di Sma Muhammadiyah 4
Kota Bengkulu. Uin Fas Bengkulu.
Copyright holder: Muh. Akmal Ahsan (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |