Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia
p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 5, Mei
2022
ANALISIS KESIAPAN
IMPLEMENTASI KELAS RAWAT INAP STANDAR: STUDI KASUS DI RS WILAYAH KABUPATEN
TANGERANG (PP NO 47 TAHUN 2021)
Devi Afni, Adang Bachtiar
Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Indonesia
Email:
[email protected], [email protected]
Abstrak
Salah satu amanah
UU No. 40 Tahun� 2004� yaitu masyarakat memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan serta perlindungan terpenuhinya Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK)� dan�� jika masyarakat membutuhkan rawat inap di RS maka dilayani di kelas standar. Hal ini dituangkan dalam peta jalan Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) 2012-2019� yaitu keseragaman paket manfaat medis dan nonmedis bagi peserta
JKN di RS pada tahun 2019, namun
sampai saat ini belum terwujud.� Terbitnya PP 47 tahun 2021 mengatur kelas standar yang akan diberlakukan tanggal 1 Januari 2023 dan juga mengatur ruang intensif, ruang isolasi dan ketentuan SDM purna waktu. Penelitian
dilakukan untuk menganalisis kesiapan implementasi KRIS JKN, ruang intensif, ruang isolasi dan� ketentuan
SDM purna waktu dengan menggunakan pendekatan kuantitatif (kuesioner rancangan 12 konsep kriteria KRIS JKN bulan November 2021)�
dan kualitatif (wawancara
mendalam menggunakan teori Donald van Metter dan Carl van Horn) pada 22 RS di
wilayah kabupaten Tangerang. Hasil penelitian menunjukan kesiapan RS di akhir tahun 2021, untuk KRIS masih kurang dari
60% RS yang baru memenuhi kriteria kepadatan ruangan (luas ruangan
per TT, jarak antar TT
minimal 1,5m2, jumlah maksimal
TT per ruangan); untuk ruang intensif terpenuhi 23% RS; untuk ruang isolasi terpenuhi
36% RS; serta 15%-20% terpenuhi
dokter spesialis purna waktu di RS swasta dan 100% di RS pemerintah
(secara kuantitas bukan kualitas). Saran penelitian ini: RS melakukan mapping ketersediaan ruang rawat inap
saat ini dan penyesuaian dilakukan setelah kriteria KRIS JKN ditetapkan pemerintah; pemerintah segera membuat peraturan pelaksana termasuk ketegasan jenis kepesertaan dan tarif yang akan diberlakukan sehingga RS dapat mempersiapkannya dengan tepat , melakukan harmonisasi regulasi, memberikan keringanan pajak alat-alat kesehatan, mengalokasikan dana khusus bagi RS pemerintah , sosialisasi masif kepada RS atau masyarakat luas, melakukan mapping tenaga dokter kemudian
bekerjasama dengan institusi pendidikan yang memproduksi tenaga dokter spesialistik; RS swasta juga mempersiapkan dana khusus secara mandiri
untuk persiapan KRIS JKN; penerapan KRIS JKN, ruang intensif dan ruang isolasi dilakukan bertahap dalam 2-4 tahun kedepan.
Kata kunci: kelas rawat inap standar, kesiapan
implementasi kebijakan, Van
Meter dan
Van Horn
Abstract
One of the mandates of Law Number
40 Year 2004 that the community gets the benefits of health care and protection
for Basic Health Needs (KDK), and if the community requires hospitalization
then it is served according to standard inpatient room. This is stated in
National Health Insurance (JKN) Roadmap �2012-2019, equality of medical and
non-medical benefit packages for JKN participants in hospitals in 2019, but so
far this has not been realized. The issuance of PP Number 47 Yearf 2021 regulates standard classes that will be
implemented on January 1, 2023 and also regulates intensive rooms, isolation
rooms and provisions for full-time human resources. The study aims to analyze
the readiness of�
implementation standard inpatient room (KRIS), intensive rooms,
isolation rooms and the provision of full-time human resources using a quantitative
approach (a questionnaire designed 12 concepts of KRIS JKN criteria in November
2021) and qualitative approch (in-depth interviews
using the theory of Donald van Metter and Carl van Horn) at 22 hospitals in the
Tangerang district. The results of the study show that the readiness of
hospitals at the end of year 2021 to implement KRIS is still less than 60% of
hospitals fulfill� the
criteria for density room (area for bed, minimum distance between beds are
1.5m2, maximum number of bed in KRIS); hospitals fulfilled� 23% for intensive care criteria, 36% for
isolation room; and 15%-20% full-time specialist doctors in private hospitals
and 100% in government hospitals (quantity not quality). Suggestions for this
research: the hospital does a mapping of the current availability of inpatient
rooms and adjustments are made after the KRIS JKN criteria are set by the
government; the government immediately make implementing regulations including
firmness on the type of participation and tariffs to be applied so that
hospitals can prepare them properly, harmonize regulations, provide tax breaks
for medical devices, allocate special funds for government hospitals, massive
socialization to hospitals or the wider community, conduct mapping doctors then
collaborate with educational institutions that produce specialist doctors;
Private hospitals also prepare special funds independently for the preparation
of the KRIS JKN; the implementation of KRIS JKN, intensive rooms and isolation
rooms is carried out in stages over the next 2-4 years.
Keywords: standard inpatient room, the readiness of� implementation,
Van Meter and Van Horn
Pendahuluan
Berdasarkan
amanah Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28H(1) dan pasal
34(3) diatur bahwa �hak setiap warga negara untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan, dimana tanggung jawab ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
pelayanan umum yang layak merupakan tanggung jawab negara�. Dalam pelaksanannya,
pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 yang
mengatur tentang� Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN), dan Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit.
Di dalam UU No. 40 Tahun 2004� pasal 19 dan pasal 23,
ditetapkan bahwa jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional sesuai
prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas, tujuannya supaya peserta
memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan serta perlindungan terpenuhinya Kebutuhan
Dasar Kesehatan (KDK) , dan ��jika peserta membutuhkan rawat inap di RS maka
dilayani di RS sesuai dengan kelas standar.
Pemerintah �membuat peta jalan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 2012-2019 sebagai acuan
bagi seluruh pemangku kepentingan. Salah
satu sasaran pokoknya adalah keseragaman paket manfaat medis dan nonmedis bagi
peserta JKN di RS dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat,
pada tahun 2019
�(Mundiharno et al., 2012). Namun
hal tersebut, sampai saat ini belum terimplementasi, dimana
sampai dengan saat ini masih dibedakan manfaat nomedis pada saat rawat inap, sesuai
dengan besarnya iuran yang dibayarkan peserta.
Pada
bulan Mei 2020, diterbitkan Peraturan Presiden Nomor
64 Tahun 2020 tentang Jaminan
Kesehatan, yang merupakan perubahan kedua atas Perpres No. 82 Tahun 2018. Hal ini merupakan upaya
sungguh-sungguh dari pemerintah dalam hal meningkatkan kualitas pelayanan dan
keberlangsungan dana jaminan kesehatan. Diantaranya, pasal 54 mengatur bahwa paling
lambat Desember 2020, menteri bersama kementerian, lembaga, organisasi profesi,
dan asosiasi lembaga kesehatan terkait telah menyelesaikan peninjauan manfaat
jaminan kesehatan berdasarkan KDK dan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) �yang akan diterapkan berangsur-angsur sampai
dengan Desember 2022 . Sehingga pada 1 Januari 2023, semua RS sudah menerapkan
KRIS sesuai KDK.
Pada bulan November tahun 2020, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia mengesahkan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pasal 61 memuat beberapa perubahan dari UU No. 44 Tahun 2009� tentang RS. Dari UU Cipta Kerja itu pula, dilahirkan peraturan pelaksana yakni 45 PP dan 4 Perpres (Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), 2021). Salah satu peraturan pelaksananya adalah PP No. 47 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan. PP ini mengatur hal-hal terkait: �klasifikasi RS, kewajiban RS, akreditasi RS, pembinaan dan pengawasan RS, dan tata cara pengenaan sanksi administratif�. PP ini sejalan dengan kebijakan yang terbit sebelumnya dalam hal perumahsakitan, dengan beberapa penyesuaian. Ditegaskan kembali di dalam PP tersebut, pada pasal 84 �bahwa pelayanan KRIS diterapkan pada 1 Januari 2023, dengan jumlah proporsi tempat tidur (selanjutnya disingkat TT) untuk KRIS� dan proporsi TT perawatan intensif sesuai pasal 18, serta proporsi TT ruang isolasi sesuai pasal 19. Dengan adanya KRIS ini, maka amanah UU SJSN bahwa JKN diselenggarakan sesuai prinsip ekuitas, yaitu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medisnya yang tidak terkait dengan besaran iuran yang dibayarkan, dapat diwujudkan.
Adapun beberapa kebijakan yang sudah ada terkait� bangunan, sarana, dan prasarana di RS, yaitu:
1. Pedoman teknis bangunan RS ruang rawat inap (Kemenkes RI, 2012)
2. Pedoman teknis bangunan RS ruang perawatan intensif (Kemenkes RI, 2012a)
3.
Pedoman
teknis prasaranan sistem tata udara pada bangunan Rumah Sakit (Kemenkes
RI, 2012c)
4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1778/Menkes/SK/XII/2010 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Intensive Care Unit (ICU) di RS
5. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
604/Menkes/SK/VII/ 2008 tentang
Pedoman Pelayanan Maternal Perinatal pada RSU Kelas B, Kelas C, dan Kelas D.
Dewan Jaminan
Sosial Nasional (DJSN) berfungsi
merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaran SJSN,� melakukan tugasnya dalam hal mengkaji dan meneliti hal-hal yang berkaitan dengan KRIS dalam beberapa tahapan. DJSN telah melakukan �pertemuan virtual
antara dengan 504 RS di
wilayah Jawa Barat dan wilayah Jakarat
Bogor Depok Tangerang Bekasi, pada tanggal 9 Februari 2021, yaitu sosialisasi KRIS JKN yang akan dimplementasikan pada tahun 2022. Pada saat itu ditetapkan 11 rancangan konsep KRIS JKN, dengan membagi 2 jenis KRIS yaitu KRIS A untuk segmen� kepesertaan
Penerima Batuan Iuran (PBI)
dan KRIS B untuk segmen kepesertaan non PBI. �Rancangan konsep kriteria KRIS JKN ini, disusun berdasarkan
kebijakan yang sudah ada sebelumnya di Kementrian Kesehatan (Dewan Jaminan Sosial Nasional, 2021b).
Kebijakan yang dimaksud adalah:
� Pedoman teknis bangunan� RS ruang
rawat inap (Kemenkes RI, 2012)
� Permenkes
24 Tahun 2016 tentang Persyaratan Teknis Bangunan dan� Prasarana Rumah Sakit
� Draft konsep kelas standar Direktorat Jendral Pelayanan Kesehatan
Kemenkes (dipresentasikan pada rapat�
dengan
Dewan Jaminan Sosial Nasional� pada tanggal 11� Februari 2020)�
� Masukan dari Perhimpunan Rumah Sakit
Seluruh Indonesia (PERSI) �dan Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh Indonesia (ARSADA) dalam rapat penyusunan kriteria Kelas Standar JKN
Pada pertemuan
virtual tersebut, RS melakukan
self assesment terkait
kesiapan menerapkan KRI JKN
berdasarkan kondisi
masing-masing RS saat ini.
Dari hasil assesment
diperoleh bahwa 428 RS memerlukan penyesuaian kecil, 62 RS yang memerlukan penyesuaian sedang-besar, dan baru 14 RS yang sudah siap mengaplikasikan KRIS (Dewan Jaminan Sosial Nasional, 2021b).
Dalam perjalanannya yaitu di bulan November 2021, 11 rancangan� konsep KRIS
JKN berkembang menjadi �konsensus rancangan 12 kriteria KRIS JKN, dimana terdapat penambahan kriteria ruang rawat inap
telah terbagi atas jenis kelamin,
usia, jenis penyakit (infeksi, non infeksi, bersalin). Konsep penerapan KRIS ini adalah mengutamakan
keselamatan pasien, letak ruang rawat
inap berada di lokasi yang tenang, aman, dan nyaman, ruang rawat inap
harus memiliki akses yang mudah ke ruang penunjang
layanan lainnya, ruang rawat inap
harus dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, usia, dan jenis penyakit (Dewan Jaminan Sosial Nasional, 2021a).
Pada tahun 2021 terdapat
22 RS di kabupaten Tangerang yang bekerjasama
dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan cabang Tigaraksa untuk melayani peserta JKN. Sebelum dilakukan perpanjangan kerjasama dengan RS, BPJS
Kesehatan cabang Tigaraksa melakukan rekredensialing sebagai salah satu persyaratan kerjasama di tahun 2021. Rekredensialing� merupakan
proses evaluasi fasilitas kesehatan yang menjadi provider
BPJS Kesehatan untuk kepentingan
perpanjangan kerjasama tahun berikutnya, dengan menggunakan kriteria teknis yang meliputi: a. sumber daya manusia; b. kelengkapan sarana dan prasarana; c. lingkup pelayanan; dan d. komitmen pelayanan (Permenkes no 99 , 2015) berpedoman
pada regulasi yang berlaku saat ini.� Dalam melakukan rekredensialing,
BPJS Kesehatan cabang Tigaraksa
didampingi oleh perwakilan dari Dinas Kesehatan kabupaten
Tangerang dan PERSI provinsi Banten. Dari hasil rekredensialing yang
dilakukan, masih ditemukan 18 RS yang belum memenuhi persyaratan ketentuan teknis bangunan RS untuk ruang rawat inap� dan ketentuan
ruang rawat intensif. Sehingga dalam perjalanan kerjasama di tahun 2021, BPJS
Kesehatan cabang Tigaraksa meminta komitmen pihak RS untuk melakukan perbaikan secara bertahap (BPJS Kesehatan cabang Tigaraksa, 2021).
Analisis kesiapan implementasi
suatu kebijakan adalah tahap penting
untuk menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan yang ditetapkan. PP No. 47 Tahun 2021 merupakan komitmen pemerintah dalam hal peningkatan kualitas layanan, keberlangsungan pendanaan jaminan kesehatan, dan prinsip ekuitas untuk mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia, yang dilakukan bertahap dalam hal pelayanan
KRIS yang akan diterapkan
paling lambat 1 Januari
2023 dan hal lainnya yang diatur dalam PP ini berlaku pertanggal
diundangkan.
Jika dilihat dari hasil rekredensialing
pada RS di kabupaten Tangerang untuk
perpanjangan kerjasama di tahun 2021, terlihat ada potensi permasalahan
pada 81,8% RS di kabupaten Tangerang sebagai provider layanan peserta JKN dalam mengimplementasikan ketentuan
yang berlaku dalam hal ruang rawat
inap� sesuai Permenkes 24 tahun 2021 (salah sumber kebijakan penetapan kriteria KRIS) yang saat itu berlaku, sehingga
memungkinkan timbulnya kendala dalam penerapan
KRIS kedepannya. Peneliti merasa perlu melakukan� penelitian lebih lanjut untuk
mengantisipasi kendala tersebut jika kebijakan
ini� sudah harus dilaksanakan
pada 1 Januari 2023. Jika pada tanggal
1 Januari 2023 belum dapat diimplementasikan, dikhawatirkan� dapat menghambat pelayanan kepada peserta JKN untuk mendapat pelayanan yang berkualitas dan terstandarisasi dari RS.
Penelitian ini menganalisis
kesiapan implementasi KRIS, sekaligus dengan ketentuan lainnya yang ada di PP No. 47 Tahun 2021 yaitu tentang kesiapan
ruang intensif, ruang isolasi, dan sumber daya manusia
yaitu tenaga tetap purnawaktu, menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif untuk memberikan gambaran kesiapan RS di wilayah kabupaten Tangerang menggunakan kuesioner sesuai konsensus rancangan 12 kriteria KRIS JKN di bulan
November 2021 yaitu dibedakan
antara KRIS A dan KRIS B, dan pendekatan
kualitatif menggunakan teori Donald van Metter dan Carl van Horn karena kebijakan ini bersifat top down dan comprehensive
Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Pengumpulan dan analisis data terdiri dari 2 tahap, yaitu pengumpulan dan analisis data kuantitatif diikuti dengan pengumpulan dan analisis data kualitatif.
Adapun tahapan yang dimaksud adalah:
1. Tahap pertama menggunakan kuesioner sesuai konsensus rancangan 12 konsep kriteria KRIS JKN. Topik selanjutnya mengenai kesiapan RS dalam memenuhi SDM, sarana, dan prasarana di ruang ICU. Topik terakhir mengenai kesiapan RS dalam memenuhi sarana ruang isolasi. Harapannya akan didapatkan gambaran umum kesiapan RS di wilayah kabupaten Tangerang pada saat penelitian berlangsung.
2. Tahap kedua peneliti melakukan wawancara dengan informan terpilih untuk mendapatkan gambaran yang lebih mendalam terhadap hasil pengumpulan data yang didapatkan melalui kuesioner, menggunakan kerangka konsep sesuai teori implementasi kebijakan menurut Donald van Meter dan Carl van Horn (1975).
Penelitian ini dilakukan pada November 2021 sampai dengan Februari 2022, di wilayah kabupaten Tangerang dimana informan berada. Populasi target untuk pendekatan kuantitatif yaitu melalui kuesioner adalah direktur RS di wilayah kabupaten Tangerang, berjumlah 25 RS.
Hasil dan Pembahasan
Dari hasil survey, didapatkan bahwa variabel yang total nilai kriteria variabel sedang disiapkan 75% dan sudah siap, nilainya dibawah 60%, adalah kepadatan ruang rawat dan kualitas TT bagi KRIS JKN.
Adapun kepadatan ruang rawat yang dimaksud adalah variabel luas ruangan per TT yang baru dapat dipenuhi
oleh 50% RS, jarak antar tepi TT minimal 1,5 m2 hanya
59% dan jumlah maksimal TT
per ruangan hanya 55%. Sebenarnya ketentuan kepadatan ruang rawat bukanlah sesuatu yang baru, namun merupakan adopsi dari pedoman teknis bangunan RS ruang rawat inap tahun
2012 sesuai kriteria kelas 2 dan kelas 3, yang nampaknya belum diimplementasikan oleh RS. Penyesuaian ini akan berdampak pada pengurangan jumlah TT di ruangan tersebut jika menggunakan
ruangan yang ada saat ini. �Strategi RS adalah melakukan penyesuaian untuk mempertahankan jumlah TT sehingga RS tidak turun kelas,
yaitu dengan menambah kamar dengan memanfaatkan ruangan yang telah ada, misal ruangan
managemen RS dirubah menjadi ruang rawat
ataupun RS membangun gedung yang baru, yang pastinya membutuhkan biaya renovasi yang tidak kecil. Kesiapan
kualitas TT bagi KRIS JKN, yaitu TT semielektrik, baru terpenuhi 45%. Kebanyakan TT yang ada di RS adalah TT jenis yang lama, sehingga RS perlu mengganti jenis TT yang sudah ada.
Adapun variabel yang total nilai kriteria variabel sedang disiapkan 75% dan sudah siap, nilainya
diantara 60% - 70%, adalah variabel bangunan yang tidak memiliki porositas yang tinggi, 1 (satu) nakas per TT, dan tirai/partisi antar
TT, rel dibenamkan di plafon dan bahan tidak berpori. Hal ini disebabkan masih ada beberapa
RS yang bahan dinding� dan plafonnya memiliki standar yang berpori seperti dinding dan langit-langit dari bahan gypsum yang akan menyulitkan RS memenuhi 100% bahan bangunan tidak berpori. Terkait perlengkapan nakas dan tirai partisi, merupakan hal yang mudah yang dapat ditambahkan oleh RS dan tidak mengeluarkan dana yang besar.
Variabel lain yang total nilai kriteria variabel sedang disiapkan 75% dan sudah siap, nilainya diantara 70% - 80%, adalah variabel kamar mandi di dalam ruangan sesuai
5 standar yang ditetapkan, kelengkapan setiap TT sesuai 3 standar yang ditetapkan, dan ventilasi udara. Sudah semua
RS memiliki kamar mandi di dalam ruangan, hanya saja perlu
penyesuaian di beberapa RS
agar sesuai dengan 5 standar yang ditetapkan. Kelengkapan TT yaitu kontak arus listrik,
outlet oksigen dan nurse call, masih perlu penambahan
karena disesuaikan dengan posisi TT. Beberapa RS masih menggunakan kipas angin (sumber hasil
rekredentialing BPJS Kesehatan Cabang) sebagai ventilasi mekanik dan masih ada ruangan dengan
jendela kamar yang tidak terhubung dengan luar ruangan.
Variabel yang total kriteria
variabel sedang disiapkan 75% dan sudah siap, nilainya diatas 90%, adalah dan variabel suhu ruangan
20-26℃, variabel pencahayaan
ruangan, dan pembagian ruangan atas jenis
kelamin, usia, jenis penyakit (infeksi, non infeksi, bersalin). Hal ini dikarenakan ketentuan ini sudah diterapkan
di seluruh RS, hanya masih ada beberapa
ruang rawat saja yang perlu dilakukan penyesuaian.
Tabel 1
Rangkuman hasil survey kesiapan
KRIS
sesuai rancangan konsensus
12 kriteria KRIS JKN bulan November tahun
2021
Total kriteria sedang disiapkan 75% sampai dengan sudah siap |
Variabel |
< 60% |
Luas ruangan per TT� (50% ) |
Jarak antar tepi TT minimal 1,5 m2� (59%) |
|
Jumlah maksimal TT per ruangan� (55%) |
|
60-70% |
Bangunan yang tidak memiliki porositas yang tinggi (64%) |
1 (satu) nakas per TT (68%) |
|
Tirai/partisi antar TT, rel dibenamkan di plafon dan bahan tidak berpori
(68%) |
|
70-80% |
Kamar
mandi di dalam ruangan sesuai 5 standar yang ditetapkan (77%) |
Kelengkapan setiap TT sesuai 3 standar yang ditetapkan (77%) |
|
Ventilasi udara (73%) |
|
> 90% |
Suhu ruangan 20-26℃
(95%) |
Pencahayaan ruangan (91%) |
|
Pembagian ruangan atas jenis kelamin,
usia, jenis penyakit (infeksi, non infeksi, bersalin) (95%) |
Dari hasil survey diketahui RS masih terkendala dalam menyiapkan TT intensif yaitu sebesar 10% dari total seluruh TT. Baru 23% RS yang dapat memenuhi 10% total TT intensif, sisanya sebagian besar masih sedang disiapkan.
Hasil wawancara mendalam diperoleh informasi kendala yang dihadapi RS yaitu terutama dari segi pembiayaan
untuk pemenuhan sarana ICU dan SDM yang kompeten.
Untuk menyediakan ventilator
dan alat monitoring biaya cukup mahal, untuk melatih SDM menjadi kompeten juga dibutuhkan biaya pendidikan, belum lagi terkendala
terbatasnya penyelenggaraan
pelatihan di masa pandemi
Covid. Dukungan yang diharapkan
RS adalah keringanan pajak dari pemerintah
untuk alat-alat kesehatan yang mahal seperti
ventilator.
Dari hasil survey, RS dapat memenuhi ruang isolasi yaitu sebesar
10% dari total seluruh TT hanya 36% RS. Sisanya, sebagian besar masih sedang disiapkan.
Kendala yang dihadapi beragam, didominasi oleh keterbatasan ruangan yang ada dan�
ketersediaan ruang
isolasi yang sesuai standar.
Standar dan sasaran/tujuan kebijakan sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan. Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan sasaran/tujuan kebijakan adalah penting. Implementasi kebijakan yang berhasil bisa jadi gagal (frustated) ketika para pelaksana, tidak sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan.
Menurut peneliti, pemahaman pelaksana di lapangan mengenai standar kebijakan, sudah cukup, terbukti dengan adanya renovasi ataupun pembangunan ruangan sesuai kriteria KRIS, ruang intensif dan ruang isolasi, baik dari segi kuantitas maupun kualitas yang dilakukan oleh RS. Pemahaman informan mengenai tujuan kebijakan bermacam-macam, sesuai informasi informan sebagai berikut:
1. Kesetaraan dalam hal fasilitas
2. Kenyamanan
3. Simplifikasi jenis iuran (PBI
dan non PBI saja)
4. Memudahkan masyarakat mendapatkan
pelayanan, dikarenakan telah ditentukan proporsi KRIS, intensif dan isolasi� dibanding
total TT yang tersedia di RS.
Sumber daya memiliki peranan penting dalam implementasi
kebijakan PP No. 47 Tahun
2021. Sumber daya disini berkaitan dengan segala sumber
yang digunakan untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan tsb. Sumber daya
ini mencakup sumber daya manusia,
sarana dan prasarana, dana,
dan waktu.
Sumber daya manusia dalam implementasi
kebijakan PP No. 47 Tahun
2021 salah satunya adalah pemenuhan tenaga medis khususnya dokter spesialis dan perawat dengan kompetensi tertentu, pihak RS masih mengalami kesulitan memenuhi ketentuan ini. Sesuai Permenkes
No. 14 Tahun 2021, RS harus
memiliki sumber daya tenaga tetap
yang bekerja secara purna waktu minimal 80% (delapan puluh persen)
dari jumlah total SDM.
Tenaga tetap tersebut diangkat dan ditetapkan oleh pimpinan Rumah Sakit. Informasi yang disampaikan informan, RS mengalami kesulitan memenuhi :
1. Tenaga purnawaktu
80% terutama dokter spesialis dikarenakan ketersediaan tenaga spesialis yang terbatas
2. Perawat ICU yang kompeten (bersertifikat
ICU)
Beberapa pernyataan
informan terkait keterbatasan tenaga spesialis purna waktu dan didukung dari hasil penelusuran
data sesuai hasil rekredentialing yang dilakukan di
akhir tahun 2021, ketersediaan dokter spesialis purna waktu di RS swasta sekitar 15-20% dari total spesialis yang berpraktek di RS tsb. Untuk RS Pemerintah,
sudah terpenuhi jumlah dokter spesialis
purna waktu 80% secara kuantitas, namun secara kualitas
dokter spesialis tidak dapat berpraktek
8 jam di RS.
Perawat ICU yang kompeten
(bersertifikat ICU) sulit dipenuhi saat ini
dikarenakan pusat-pusat pendidikan yang menyelenggarakan pelatihan terbatas karena adanya pandemi
Covid. Beberapa RS melakukan
pelatihan internal saja, sambil menunggu pelatihan di pusat pendidikan yang resmi.
Menurut peneliti,
ketentuan tentang SDM pada Permenkes No. 14 Tahun 2021 dimana disebutkan RS harus memiliki sumber daya tenaga
tetap yang bekerja purna waktuminimal 80% dari total SDM di RS, akan sulit dipenuhi saat ini jika
yang dimaksud Permenkes tsb adalah 80% dari masing-masing 14 jenis tenaga tetap di RS umum dan 6 jenis tenaga tetap pada RS khusus yaitu pada point tenaga medis.
Lahan yang terbatas
pada membuat RS melakukan beberapa strategi dalam hal pemenuhan KRIS dengan memanfaatkan ruang yang ada, diubah menjadi KRIS. Untuk RS yang masih memiliki lahan maka RS akan membangun
gedung baru.
Sumber pembiayaan
untuk melengkapi sarana dan prasarana di RS non pemerintah bersumber secara mandiri tanpa bantuan dari
pemerintah. Untuk RS non pemerintah yang kepemilikannya merupakan grup besar, dukungan dana cukup kuat untuk
mengimplementasikan KRIS, ruang
intensif dan ruang isolasi. �Sedangkan untuk RS non pemerintah kepemilikan pribadi, dana yang digunakan berasal dari income RS terutama dari pelayanan
kepada peserta JKN, dimana selama aliran
dana lancar dengan jumlah pemasukan yang tidak mengalami penurunan yang signifikan akan dirasakan cukup. Untuk tahun
2022 DAK bagi RS Pemerintah
ditiadakan sehingga cukup dirasakan berat oleh RSUD. DAK ini dibutuhkan terutama untuk memenuhi kebutuhan alat kesehatan yang belum ada ataupun yang membutuhkan pembaruan.
Menurut informan
waktu yang ideal untuk memenuhi semua ketentuan KRIS, ruang intensif dan ruang isolasi adalah 2 sd 4 tahun kedepan.
Hal ini dikarenakan PP tersebut dikeluarkan tahun 2021, berbarengan dengan adanya pandemi
Covid yang memperlambat pembangunan
ataupun perbaikan sarana dan prasarana di RS.
Dalam penelitian
ini organisasi pelaksana kebijakan adalah RS. Untuk mengimplementasi ketentuan KRIS, ruang intensif, dan ruang isolasi ini,
RS sudah memiliki SOP di
masing-masing ruangan. Pembuatan
SOP melibatkan seluruh bidang pelayanan sampai dengan mangemen
RS. Dalam pelaksanaanya diperlukan monitoring terhadap jalannya SOP dikarenakan masih ada beberapa
pegawai yg belum melakukan SOP dengan sempurna, sehingga beberapa RS melakukan inovasi untuk memantau agar semua mematuhi SOP yang telah ditetapkan.
Seluruh informan
menerima dan mendukung dengan secara bertahap
sudah melakukan penyesuaian.
Dari informasi yang didapat peneliti, RS mendapat informasi mengenai ketentuan KRIS, ruang intensif, dan ruang isolasi berasal dari sosialisai yang dilakukan baik oleh Kemenkes, DJSN, PERSI, maupun
BPJS Kesehatan melalui webinar-webinar. Penjelasan yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh RS, sehingga RS memiliki gambaran yang semakin jelas tentang standardisasi
ataupun ketentuan KRIS, ruang intensif, dan ruang isolasi.
Pada awal terbitnya PP No. 47 Tahun 2021 ini, masih banyak persepsi
dari masing-masing organisasi
yang terlibat, namun semakin sering dilakukan diskusi antar organisasi dan RS, serta simulasi yang dilakukan oleh DJSN, membuat pemahaman mengenai standardisasi ini semakin mengeruct menuju pemahaman yang sama.
Pembagian ruang rawat yang ada saat ini
adalah kelas rawat 1,2, dan 3. Dengan adanya kebijakan ini, maka RS mulai
memappingkan kamar rawat inap yang ada untuk disesuaikan
dengan pedoman teknis bangunan
RS ruang rawat inap tahun 2012 yang diperkuat dengan Permenkes 24 Tahun 2016
tentang Persyaratan Teknis Bangunan dan Prasarana Rumah Sakit dalam hal
kebutuhan minimal luas ruangan rawat inap per kelas perawatan. Hal ini dikarenakan rancangan konsensus KRIS dibuat dengan mempedomani
ketentuan tersebut. Penyesuaian yang dilakukan di beberapa RS yang luas kamarnya tidak sesuai rancangan konsensus KRIS akan menyebabkan pengurangan TT, yang nantinya akan berdampak
pada ketidaksesuain jumlah TT dengan tipe kelas RS, sesuai SIO yang berlaku saat ini. Sehingga
beberapa RS melakukan penyesuaian dengan mengubah fungsi beberapa ruangan yang ada untuk managemen
RS menjadi ruang rawat inap atau
dengan membangun gedung baru. Untuk
preferensi KRIS kelas A atau kelas B yang disiapkan RS, disesuaikan dengan segmen peserta
yang banyak berobat ke RS tersebut. Untuk RS pemerintah, akan menyiapkan lebih banyak KRIS kelas A dan untuk RS swasta akan lebih
banyak menyiapkan KRIS kelas B. Beberapa RS menyiapkan KRIS A dan KRIS B dengan
jumalah TT tidak maksimal, misal kelas A disiapkan maksimal hanya 3 TT/kamar dan kelas B maksimal hanya 5 TT/kamar sebagai competitif
value.
Salah
satu informan menyampaikan bahwa kriteria KRIS yang akan ditetapkan dalam rangka mewujudkan keadilan, bukan berarti menyamaratakan antara peserta JKN yang preminya dibayarkan pemerintah dengan peserta yang membayar sendiri dalam hal
pelayanan non medis.
Harapan informan �tetap
ada KRIS PBI dan non PBI namun
sesuai standar yang ditetapkan, tanpa membedakan dalam hal pelayanan medis
yang diberikan kepada peserta JKN.
Terkait dana yang dibutuhkan RS swasta untuk melakukan
penyesuaian KRIS, ruang intensif dan ruang isolasi tidak ada
bantuan dana dari pemerintah. Dari hasil wawancara dengan informan, RS yakin mampu untuk melakukan
penyesuaian KRIS ini. Dukungan yang diharapkan dari pemerintah bagi RS swsta
adalah keringanan pajak untuk alat
kesehatan yang mahal seperti
ventilator� yang
memang dibutuhkan untuk memenuhi ketentuan ruang intensif. Tahun ini RSUD tidak mendapat DAK dan hal ini cukup disayangkan
oleh RS. Adapun untuk masyarakat
yang tidak mampu, RSUD masih mengharapkan adanya Jamkesda, karena belum semua
masyarakat memiliki JKN dan
juga bagi peserta JKN kelas 3 yang nonaktif karena tunggakan ataupun segmen kelas 2 yang tiba-tiba menjadi miskin karena tidak lagi bekerja
di perusahaan, maka dapat dijaminkan oleh Jamkesda.
Harapan lain dari organisasi RS adalah agar pemerintah segera menetapkan kriteria kelas rawat apa yang akan dianut di tahun 2023, apakah KRIS saja atau masih
ada perbedaan kelas rawat sesuai
segmen kepesertaan saat ini yaitu
kelas 1,2, dan 3. Mengingat
perarturan sebelumnya belum dicabut, dan peraturan pelaksana PP No. 47 Tahun 2021 belum ada, sehingga perlu
adanya harmonisasi regulasi. Disamping itu RS membutuhkan waktu untuk menyiapkan
sesuai kriteria kelas rawat yang nantinya akan ditetapkan
pemerintah.
Tabel 2
Rangkuman Hasil Penelitian
�����������
����������� �����������
Sesuai dengan Teori Van Meter dan Van Horn bahwa antar variabel dapat saling mempengaruhi pada kinerja Implementasi kasiapan KRIS, ruang intensif, dan ruang isolasi, dijelaskan dengan uraian sebagai berikut:
1. Variabel standar dan sasaran/ tujuan kebijakan dapat mempengaruhi komunikasi antar organisasi, yaitu penjelasan yang diberikan pembuat regulasi yaitu Kemenkes bersama dengan DJSN, dapat dipahami dengan jelas oleh RS dan non RS. Pada awal PP 47 tahun 2021 terbit, masing-masing organisasi pelaksana mempersepsikan sesuai dengan kepentingannya. Namun dengan berjalannya
waktu, dan gencarnya sosialisasi yang diberikan, apalagi ketika DJSN melakukan self assesment terkait kesiapan RS melaksanakan KRIS, maka pemahaman makin mengerucut menuju kesamaan bagi masing-masing organisasi pelaksana. RS kemudian mulai melakukan penyesuaian sesuai dengan penjelasan
yang diberikan.
2. Variabel sumber daya mempengaruhi
komunikasi antar organisasi. Ini dapat terlihat sesuai sumber daya
yang ada yaitu SDM, sarana dan prasarana, dana, dan waktu, maka RS melakukan penyesuaian sesuai penjelasan yang disampaikan dan dipahami RS. Untuk organisasi non RS mulai bergerak
dalam hal melakukan pembinaan yaitu melalui sosialisasi
dan memapping kesiapan RS untuk menerapkan kebijakan tsb.
3. Variabel standar dan sasaran/ tujuan
kebijakan dapat mempengaruhi sikap para pelaksana. Dimana dengan memahami tujuan dari kebijakan tersebut, menuju kesetaraan dan equitas dalam hal pelayanan
dan pada akhirnya akan menjaga mutu layanan.
Baik RS dan non RS menerima dan mendukung kebijakan ini.
4. Variabel standar dan sasaran/ tujuan
kebijakan dapat mempengaruhi lingkungan sosial, politik, dan ekonomi. Dapat dilihat bahwa dengan
adanya kebijakan ini, maka peran
pemerintah untuk mensukseskan kebijakan ini masih banyak
yang perlu dilakukan. Dalam hal membuat
peraturan pelaksana, harmonisasi regulasi dengan peraturan-peraturan sebelumnya yang bersinggungan, serta ketegasan menjalankan kebijakan ini. Masyarakat juga harus disiapkan untuk menerima kebijakan KRIS yang bukan menurunkan mutu layanan, namun
justru menjaga kualitas layanan. Pemerintah daerah juga masih mempertahankan dana Jamkesda bagi masyarakat
yang belum menjadi peserta JKN ataupun yang terkendala dalam hal kepesertaan JKN yang tidak aktif.
5. Variabel komunikasi antar organisasi mempengaruhi sikap pelaksana. Hal ini terlihat dengan
komunikasi yang jelas mengenai kebijakan tersebut, baik RS dan non RS menerima dan mendukukung kebijakan ini dan melakukan penyesuaian sesuai standar kebijakan.
6. Variabel komunikasi antar organisasi mempengaruhi karakteristik organisasi pelaksana. Dengan komunikasi yang terus menerus, jelas, dan konsisten, maka baik RS maupun non
RS mulai menjalankan
perannya masing-masing. RS mempersiapkan
SOP di masing-masing bidang pelayanan,
sedangkan non RS melakukan fungsinya dalam pembinaan dan pengawasan.
7. Variabel lingkungan sosial, politik, dan ekonomi mempengaruhi sikap para pelaksana. RS swasta yang tidak mendapat dukungan dana dari pemerintah mengharapkan adanya kebijakan keringanan pajak alat kesehatan yang mahal dalam hal pemenuhan
sarana. RS pemerintah mengharapkan agar DAK tahun 2022,
tidak dihilangkan terutama untuk pemenuhan sarana alat kesehatan yang baru ataupun yang perlu pembaharuan. Terkait penerapan KRIS ini, RS dan non RS mendukung kebijakan tsb dan mengharapkan adanya sosialisasi juga ke masyarakat bahwa
kebijakan KRIS ini dalam rangka menjaga
mutu layanan dan bukan menurunkan kualitas layanan.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dalam
penelitian ini adalah: Secara umum gambaran
kesiapan RS di wilayah kabupaten
Tangerang untuk mengimplementasikan
KRIS sesuai rancangan konsensus 12 kriteria KRIS JKN, sampai dengan akhir
tahun 2021, yaitu sedang disiapkan 75% sd sudah siap
adalah sbb:
� Kurang dari
60% RS memenuhi kriteria kepadatan ruangan (luas ruangan per TT, jarak antar TT minimal 1,5m2,
jumlah maksimal TT per ruangan)
� 60% - 70% RS memenuhi
kriteria bangunan yang tidak memiliki porositas yang tinggi, 1 (satu) nakas per TT, tirai/partisi antar
TT (rel dibenamkan di plafon dengan bahan
tidak berpori).
� 70-80% RS memenuhi
kriteria kamar mandi di dalam ruangan sesuai
5 standar yang ditetapkan, kelengkapan TT sesuai 3 standar yang ditetapkan, dan ventilasi udara.
� Lebih dari 90%
RS memenuhi kriteria suhu ruangan, pencahayaan
ruangan dan pembagian ruangan antar jenis
kelamin, usia, jenis penyakit (infeksi, non infeksi, bersalin).
Kesiapan RS wilayah kabupaten
Tangerang mengimplemetasikan ruang intensif 10% dari
total TT di RS sampai dengan
akhir tahun 2021 yaitu sudah siap,
baru terpenuhi 23% dari seluruh RS. Butuh waktu yang lebih lama untuk menyiapkan ruang intensif dibadingkan KRIS, terutama terkendala alat kesehatan dan SDM yang kompeten.
Kesiapan RS wilayah kabupaten
Tangerang mengimplemetasikan ruang isolasi 10% dari
total TT di RS sampai dengan
akhir tahun 2021 yaitu sudah siap,
baru terpenuhi 36% dari seluruh RS. RS saat ini masih
belum fokus pada standar ideal ruang isolasi, baru memenuhi
kewajiban dalam hal ketersediaan ruangan saja.
Standar dan sasaran/tujuan kebijakan
Standar kebijakan
telah dipahami oleh semua RS dan orgnisasi pelaksana non RS. Sasaran/tujuan kebiajakan yaitu keseragaman paket manfaat medis dan non medis untuk mewujudkan
keadilan sosial, dipahami oleh informan secara luas sebagai
kesetaraan dalam hal fasilitas, kenyamanan, simplifikasi jenis
iuran (PBI dan non PBI saja),
dan memudahkan masyarakat mendapatkan pelayanan dikarenakan telah ditentukan proporsi KRIS, intensif dan isolasi� dibanding
total TT yang tersedia di RS.
Sumber daya
RS masih mengalami kesulitan memenuhi ketentuan 80% tenaga purna waktu, jika
yang dimaksud Permenkes 14 tahun 2021 tsb adalah 80% dari masing-masing 14 jenis tenaga tetap
di RS umum dan 6 jenis tenaga tetap pada RS khusus yaitu pada point tenaga medis. Ketersediaan
dokter spesialis masih terbatas. RS juga menemukan kesulitan dalam pemenuhan alat kesehatan di ruang intensif. Untuk dana, walaupun cukup besar, RS menyanggupi menyediakan dana untuk melakukan penyesuaian KRIS. Waktu yang ideal untuk
menyelesaikan KRIS, ruang intensif, dan ruang isolasi menurut informan adalah 2 sampai 4 tahun kedepan.
Komunikasi antar organisasi
dan kegiatan pelaksana
Sosialisasi terkait
KRIS sudah cukup banyak dan jelas dan semakin mengerucut menuju pemahaman yang sama.
Karakteristik organisasi pelaksana
RS sudah memiliki SOP di masing-masing
ruangan. Pembuatan SOP bottom
up, yaitu mulai dari melibatkan seluruh bidang pelayanan sampai ke managemen RS. Kemudian dilakukan monitoring terhadap jalannya SOP
Sikap para pelaksana
RS dan organisasi pelaksana lainnya, menerima dan mendukung kebijkan yang telah dikeluarkan.� RS saat ini secara bertahap
sudah melakukan penyesuaian dengan kebijakan.
Lingkungan ekonomi, sosial dan politik
RS memappingkan
kamar rawat inap yang ada untuk
disesuaikan pedoman teknis bangunan RS ruang rawat inap
tahun 2012 sehingga ketika kriteria KRIS nantinya sudah ditetapkan, maka RS akan lebih
mudah dalam melakukan penyetaraan kelas rawat inap.
Penyesuaian yang dilakukan RS adalah dengan mengubah fungsi beberapa ruangan seperti ruangan managemen RS menjadi ruang rawat,
atau dengan membangun gedung baru. Hal ini dilakukan
untuk mempertahankan jumlah total TT sehingga tidak terjadi penurunan� kelas RS. RS
pemerintah, akan menyiapkan lebih banyak KRIS kelas A dan RS swasta akan lebih
banyak menyiapkan KRIS kelas B, sesuai dengan dominasi segmen peserta yang berobat ke RS. Ada pula RS yang menyiapkan KRIS A maksimal 5 TT/kamar dan dan KRIS kelas B maksimal 3 TT/kamar sebagai competitif
value. Untuk penyesuaian
kebijakan ini, RS swasta menyatakan siap dalam hal
pendanaan walaupun tidak dibantu pemerintah,
selama klaim JKN yang saat ini berjalan
pembayarannya tetap lancar. Dari hasil wawancara dengan RSUD, pada tahun ini RSUD tidak mendapat DAK dan hal ini cukup
disayangkan dikarenakan
sangat dibutuhkan untuk penyediaan dan pembaharuan alat kesehatan yang sudah tidak dapat
digunakan lagi.
Dana Jamkesda
sampai saat ini masih tersedia
dari pemerintah daerah dan dirasakan membantu RS dalam hal pembiayaan bagi masyarakat tidak mampu namun
belum terdaftar sebagai peserta JKN, peserta JKN kelas 3 yang nonaktif karena tunggakan, ataupun segmen kelas 2 yang menunggak karena kehilangan pekerjaan (casuistik) sehingga menjadi tidak mampu.
Hambatan utama yang dihadapi
dalam megimplementasikan KRIS sesuai rancangan konsensus 12 kriteria KRIS JKN adalah bangunan eksisting yang luasnya belum sesuai
standar kepadatan ruangan untuk KRIS, sehingga perlu dilakukan renovasi yang membutuhkan dana dan waktu penyelesaian yang akan mengganggu pelayanan saat ini.
Hambatan untuk mengimplementasikan ruang intensif 10% dari TT di RS, adalah ketersediaan alat kesehatan canggih seperti ventilator dan
SDM yang kompeten seperti perawat ICU yang bersertifikasi.
Pada masa pandemi ini, RS kesulitan mengirim perawatnya untuk mengikuti pendidikan karena keterbatasan penyelengaraan �pendidikan.
Hambatan untuk mengimplementasikan ruang isolasi 10% dari TT di RS terutama adalah keterbatasan ruangan di RS dan saat ini RS belum
terlalu fokus untuk menyiapkan ruang isolasi yang sesuai standar.
Saran
Adapun saran yang dapat diberikan
dalam pelaksanaan implementasi berdasarkan penelitian ini adalah:
RS mengidentifikasi ketersediaan ruang rawat inap terlebih dahulu terkait keesuaian luas ruangan yang ada dengan pedoman
yang berlaku saat ini yaitu pedoman
teknis ruang bangunan RS ruang rawat inap tahun
2012. Kondisi kamar rawat inap di RS saat ini, belum
semuanya memenuhi ketentuan tersebut. Ketika konsensus KRIS telah ditetapkan pemerintah maka RS dapat langsung
melakukan penyesuaian sesuai ketentuan yang ditetapkan. Untuk mempertahankan kelas RS, sesuai SIO yang berlaku saat ini,
kekuragan TT dapat disiasati dengan memanfaatkan ruangan yang sudah ada, jika
belum memungkinkan bagi RS untuk membangun
gedung baru. Ketika ruangan sudah dimappingkan,
RS dapat melakukan penyesuaian dengan 12 kriteria lainnya secara bertahap sampai dengan tahun
2023.
Pemerintah segera membuat peraturan pelaksana agar RS dapat mempersiapkan dengan tepat sesuai
standar yang ditetapkan dan tidak
menimbulkan persepsi yang berbeda-beda antar masing-masing organisasi pelaksana. Peraturan pelaksana yang dimaksud termasuk juga dengan ketegasan pemerintah dalam hal segmen kepesertaan
yang akan diterapkan (kelas 1, kelas 2, kelas 3 atau kelas
non PBI dan kelas PBI) yang pastinya
akan mempengaruhi premi dan tarif INACBGs yang akan diberlakukan.
Pemerintah segera melakukan harmonisasi regulasi yang sudah ada sebelumnya yang berkaitan dengan kebijakan implementasi KRIS, ruang intensif, dan ruang isolasi.
PERSI, ARSADA, dan Dinas Kesehatan memaksimalkan
fungsinya dalam hal pembinaan dan pengawasan dalam pelaksanaan kebijakan ini.
Sosialisasi yang masif kepada
RS atau masyarakat luas bahwa kebijakan
KRIS adalah dalam rangka melakukan standardisasi dalam hal fasilitas ruang
rawat inap untuk menjaga mutu
layanan ,
bukan menurunkan mutu layanan.
Pemerintah mempermudah RS untuk memenuhi alat kesehatan
dengan memberikan keringanan pajak alat-alat kesehatan yang
pada akhirnya untuk kepentingan masyarakat juga.
Adapun beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketersediaan tenaga spesialistik di wilayah kabupaten adalah dengan mendorong pemerintah daerah melakukan mapping tenaga dokter yang dibutuhkan di wilayahnya kemudian bekerjasama dengan institusi pendidikan yang memproduksi tenaga dokter spesialistik sehingga informasi kebutuhan tenaga dokter spesialistik di wilayah tersebut dapat ditangkap oleh institusi pendidikan tersebut dan disampaikan kepada calon dokter spesialistik
yang sedang menyelesaikan pendidikan. Informasi kebutuhan tenaga spesialistik dari masing-masing daerah, juga dapat dijadikan acuan bagi pemerintah pusat dalam hal
pengembangan pendidikan dokter spesialistik dan kebijakan pemerataan distribusi dokter spesialis.
Terkait waktu
yang ditetapkan implementasi
PP 47 pada 1 Januari 2023, agar kiranya
dapat dilakukan pentahapan terlebih dahulu dalam 2-4 tahun kedepan,
terutama dalam hal kesiapan ruang
intensif dan ruang isolasi yaitu pemenuhan
sarana dan prasarana sesuai standar.
Badan
Pengembangan Infrastruktur Wilayah (Bpiw) Kementrian Pupr. (2021). Sinergi
Peraturan Pelaksana Undang Undang Cipta Kerja Perkuat Landasan Perencanaan
Infrastruktur Pupr.
Bpjs
Kesehatan Cabang Tigaraksa. (2021). Evaluasi Hasil Rekredensialing Rs Tahun
2020. Kab. Tangerang.
Dewan
Jaminan Sosial Nasional. (2021a). Apakah Dampak Pp 47 Tahun 2021 Terhadap Jkn?
Begini Penjelasannya.
Dewan
Jaminan Sosial Nasional. (2021b). Self Assesment Kri Jkn V.3.
Kementrian
Kesehatan Ri. Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
604/Menkes/Sk/Vii/2008 Tentang Pedoman Pelayanan Maternal Perinatal Pada Rumah
Sakit Umum Kelas B, Kelas C, Dan Kelas D. , (2008).
Kementrian
Kesehatan Ri. Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1778/Menkes/Sk/Xii/2010 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Intensive Care Unit
(Icu) Di Rumah Sakit. , (2010).
Kementrian
Kesehatan Ri. (2012a). Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Ruang Perawatan
Intensif.
Kementrian
Kesehatan Ri. (2012b). Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Ruang Rawat Inap.
Indonesia.
Kementrian
Kesehatan Ri. (2012c). Pedoman Teknis Prasarana Sistem Tata Udara Pada
Bangunan Rumah Sakit.
Kementrian
Kesehatan Ri. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 99 Tahun
2015. , (2015).
Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
, (1945).
Mundiharno,
Hasbullah Thabrany, Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Dewan Jaminan
Sosial Nasional, Kesehatan, Kementrian, & Nasional, Kementrian Perencanaan
Pembangunan. (2012). Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan N Asional 2012-2019.
Pemerintah
Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004
Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. , (2004).
Pemerintah
Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
Tentang Rumah Sakit. , (2009).
Pemerintah
Republik Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan
Kesehatan. , (2018).
Pemerintah
Republik Indonesia. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 64 Tahun
2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018
Tentang Jaminan Kesehatan. , (2020).
Pemerintah
Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020
Tentang Cipta Kerja. , (2020).
Pemerintah
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun
2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan. , (2021).
Copyright holder: Devi Afni, Adang
Bachtiar (2022) |
First publication right: Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed under: |