Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 7, No. 5, Mei 2022
PENGARUH BUDAYA
PANGAN LOKAL DALAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN STUNTING PADA ANAK BALITA
(6-59 BULAN): SYSTEMATIC REVIEW
Ida Fauziah, Tri
Krianto
Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok Jawa
Barat, Indonesia
Email: [email protected],
[email protected]
Abstrak
Latar Belakang: Stunting didefinisikan
sebagai tinggi badan menurut usia di bawah -2 standar median kurva pertumbuhan anak, Stunting merupakan kondisi kronis buruknya pertumbuhan linier anak yang merupakan akumulasi dampak berbagai faktor seperti gizi dan kesehatan yang buruk sebelum dan setelah kelahiran anak. Prevalensi stunting di Indonesia tahun
2018 mencapai 30,8%. Dengan
kompleksitas penyebab
stunting, salah satu upaya
yang dikampanyekan oleh pemerintah
adalah pemanfaatan pangan lokal. Budaya
pangan lokal di Indonesia
sangat beragam sehigga dapat menjadi potensi
untuk pencegahan dan penanggulangan stunting yang berbasis
kearifan lokal. Tujuan: Mengetahui pengaruh budaya pangan lokal untuk
mencegah dan penanggulangan
stunting pada balita (6-59 bulan)
di Indonesia. �Metode:
Systematic review ini menggunakan
pandungan dari PRISMA dengan menggunakan 3 databased
ProQuest, ScienceDirect, dan Google Scholar dengan
kata kunci seperti
�stunting�, �local food�, �culture�. Hasil: Review dari
7 jurnal yang telah dipilih menunjukkan bahwa budaya pangan
lokal memberikan pengaruh kepada peningkatan status gizi balita khususnya pada fase pencegahan stunting. Sedangkan pada fase pencegahan, budaya pangan lokal dengan
pemanfaatan bentuk makanan olahan belum dapat meningkatkan
status gizi pada balita
yang sudah menderita
stunting. Pemanfaatan pangan
lokal untuk balita yang menderita stunting perlu didampingi dengan suplementasi lainnya agar memberikan pengaruh yang siginifikan. Kesimpulan:
Makanan dan makan di masyarakat memiliki nilai budaya dan sosial, sehingga pemanfaatan budaya pangan lokal untuk
makanan balita akan mudah diterima,
mudah didapat dan terjangkau secara harga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pencegahan stunting di daerah.
Kata Kunci: budaya, pangan lokal,
stunting
Abstract
Background: Stunting is defined
as height according to age below -2 median standard of a child's growth curve.
Stunting is a chronic condition of a child's linear growth rate which is an
accumulation of the impact of various factors such as poor nutrition and health
before and after the birth of a child. The prevalence of stunting in Indonesia
in 2018 reached 30.8% . With the complexity of the causes of stunting, one of the efforts
campaigned by the government is the use of local food. Local food culture in Indonesia
is very diverse so that it can be a potential for stunting prevention and
control based on local wisdom. Objective: To determine the influence of local
food culture to prevent and control stunting in toddlers (6-59 months) in
Indonesia. Methods: This systematic review uses PRISMA's guidance using
3 databases ProQuest, ScienceDirect, and Google Scholar with keywords such as
"stunting", "local food", "culture". Results:
A review of 7 selected journals shows that local food culture has an influence
on improving the nutritional status of children under five, especially in the
stunting prevention phase. Meanwhile, in the prevention phase, local food
culture by utilizing processed food forms has not been able to improve the
nutritional status of toddlers who are already suffering from stunting. The use
of local food for toddlers who suffer from stunting needs to be accompanied by
other supplements in order to have a significant effect. Conclusion:
Food and eating in the community has cultural and social values, so that the
use of local food culture for toddler food will be easily accepted, easy to
obtain and affordable in price has a significant influence on stunting
prevention in the area.
Keywords: culture, local food, stunting
Pendahuluan
Kejadian
stunting pada balita di Indonesia masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang perlu diwaspadai. Berdasarkan data prevalensi balita stunting yang dirilis WHO menjelaskan bahwa Indonesia termasuk ke dalam
negara dengan prevalensi tertinggi di South-East Asian Region setelah Timor Lester (50,5%), India (38,4%), dan Indonesia
(30,8%) (RI, 2018).
Kecukupan
gizi merupakan salah faktor penentu keberhasilan tumbuh kembang anak yang optimal. Kondisi gizi yang cukup dan seimbang diperlukan sebagai modal dalam periode emas
pertumbuhan dan perkembangan
anak. Periodes emas (golden period) dimulai
sejak anak masih dalam kandungan
hingga usia dua tahun atau
seringkali disebut dengan istilah �seribu hari pertama
kehidupan� (1000 HPK). Kekurangan
gizi yang terjadi pada periode 1000 HPK dapat menyebabkan berbagi masalah pertumbuhan dan perkembangan, salah satunya adalah masalah gagal tumbuh sehingga
anak menjadi lebih pendek (stunting) dari standar usianya.
Stunting didefinisikan sebagai
tinggi badan menurut usia di bawah -2 standar median kurva pertumbuhan anak WHO (WHO, 2010).
Berbagai
kajian dan penelitian menjelaskan bahwa kemiskinan, kesehatan sanitasi, dan lingkungan adalah faktor lain yang memiliki konsekuensi stunting
pada anak balita. Selain itu, status pendidikan dan pengetahuan ibu terkait gizi
juga berpengaruh besar terhadap kejadian stunting pada balita (Aridiyah, Rohmawati, & Ririanty, 2015).
Oleh karena itu,
stunting dapat menjadi ukuran proksi yang baik untuk mengukur
kesenjangan kesehatan anak. Hal ini dikarenakan
kondisi stunting dapat
menggambarkan berbagai dimensi kesehatan, perkembangan dan lingkungan kehidupan anak.� Berbagai ahli menyatakan bahwa stunting merupakan dampak dari berbagai
faktor seperti berat lahir yang rendah, stimulasi dan pengasuhan anak yang kurang tepat, asupan
nutrisi yang kurang, dan infeksi berulang serta berbagai faktor lingkungan lainnya (Wamani, �str�m, Peterson, Tumwine, & Tyllesk�r, 2007).
Dalam
upaya penanggulangan
stunting pada anak balita, Pemerintah telah memiliki landasan kebijakan program pangan dan gizi yang harapannya dengan terjaminnya ketersediaan pangan yang meliputi produksi, pengolahan, distirbusi, dan konsumsi pangan dengan kandungan gizi yang cukup diharapkan dapat menurunkan prevalensi kekurangan gizi pada daerah dengan prevalensi
stunting tinggi di Indonesia. Dalam upaya pencegahan
dan penanggulangan stunting tentunya diperlukan kerja sama yang melibatkan banyak stakeholder.
Keterlibatan seluruh unsur masyarakat secara kolektif juga sangat diperlukan untuk meningkatkan gizi anak Indonesia (Teja, 2019).
Salah satu upaya pencegahan dan penanggulangan stunting yang dilakukan
oleh pemerintah melalui
Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian menginisiasi gerakan konsumsi dan pengembangan pangan lokal sebagai
upaya diversifikasi pangan dapat menjadi
intervensi gizi spesifik untuk menekan prevalensi angka stunting di berbagai
wilayah di Indonesia. Budaya konsumsi
pangan lokal di Indonesia
sangat bervariasi dan memiliki
banyak manfaat serta kaya akan zat gizi akan
menjadi kesempatan yang besar untuk inovasi
olahan makanan lokal sebagai sumber
makanan bergizi pada anak balita untuk
mencegah dan menanggulangi
stunting yang lebih diterima
oleh budaya masyarakat dan tersedia di wilayah tersebut (Bekele & Turyashemererwa, 2019).
Tujuan
dari systematic review ini
adalah mengetahui pengaruh budaya konsumsi dari pangan
lokal di berbagai wilayah
di Indonesia dalam pencegahan
dan penanggulangan stunting.
Metode Penelitian
Penelitian
ini merupakan systematic
review berdasarkan pedoman
PRISMA (Moher, Liberati, Tetzlaff, Altman, & Group, 2009).
Proses yang dilakukan untuk
melakukan systematic review adalalah mencari beberapa artikel jurnal penelitian yang dipublikasi melalui online databased.
Beberapa databased elektronik
yang digunakan dalam penelitian ini adalah ProQuest, ScienceDirect, dan Google Scholar dengan rentang waktu 2016 hingga 2021 dengan kata kunci �Stunting�
and �Local Food� and �Culture�. Proses pemilihan studi terdiri dari
6 langkah yang ditampilkan
pada diagram 1. Data yang diesktraksi meliputi: tahun, asal negara, populasi, dan
setting, desain studi, tujuan penelitian, metode, intervensi, dan hasil (Tabel 1). Systematic
review ini menggunakan pedoman untuk menganalisis
kualitas pelaporan di antara studi yang dipilih. Pedoman yang digunakan adalah Critical
Appraisal Skill Program Tools (CASP) dan Quality Assesment
untuk menilai risiko bias dari studi yang dipilih.
Gambar 1
Prisma Flow
Diagram
Tabel 1
Rangkuman Temuan Budaya Pangan Lokal
Dalam Pencegahan dan Penanggulangan
Stunting di Indonesia
Penulis & Judul |
Metodologi |
Hasil |
1.
(Helmizar, Jalal, Lipoeto,
& Achadi, 2017),
|
Community-based
randomized controlled trial |
a. Setelah
enam bulan intervensi, panjang rata-rata meningkat menjadi 6,86+2,08 cm
dan 6,66+2,41 cm untuk FS (Food Suplementation); |
2.
(Nirmala & Pramono, 2017), |
Community-based, nonrandomized,
controlled intervention design |
a. Kandungan
protein dan lemak pada kelompok intervensi
lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (8,8 g dan 7,3
g vs 4,7 g dan 0,5 g masing-masing). b. Pada kelompok intervensi yang menerima makanan pendamping ASI dengan ulat sagu, tinggi
badan anak berubah minimal
seperti halnya kelompok kontrol (0,3 vs 0,2
cm) |
3.
(Rasni, Susanto, Nur, & Anoegrajekti, 2019), |
Mix Method |
a.
Setelah kegiatan masak abereng dilakukan sebanyak 4 kali selama satu bulan,
terdapat kenaikan berat badan 200-1.000 g. |
4.
(Nadimin & Lestari, 2019), |
Quasy-experiments study,
one group of stunting babies |
a. Ada perubahan tinggi badan baduta stunting setelah dilakukan treatment weaning pada baduta dengan nilai mean pre-test: 69.61 dan mean post-test:
77.16, nilai korelasi
> 0.05 (0.846). |
5.
(Kurniati & Sunarti, 2020), |
Quasi �
experimental one group pre test � post test design |
a. Terdapat peningkatan berat badan (p<0,005) dan tinggi
badan (p<0,001) pada balita stunting di Kecamatan Kayan Hilir Kabupaten Sintang |
6.
(Sofais, Sianipar, & Darmawansyah, 2019), Pengaruh
kearifan pangan lokal suku rejang
terhadap penanganan
stunting baduta di bengkulu
utara |
Quasy-experiments study,
one group of stunting babies |
a. Ada perubahan tinggi badan baduta stunting setelah dilakukan treatment weaning pada baduta dengan nilai mean pre-test: 69.61 dan mean post-test:
77.16, nilai korelasi
> 0.05 (0.846). |
7.
(Sineke & Kawulusan, 2020), Indonesia, Pemberian
makanan ringan (biskuit) berbahan dasar pangan lokal tepung tulang ikan malalugis (decapterus spp) dan bihun dalam meningkatkan
status gizi anak balita stunting usia 1-2 tahun |
Quasy eksperiment
one group design pre and post test |
a. Rata-rata
nilai tinggi badan sampel sebelum intervensi sebesar 77,63 cm dan
nilai tinggi badan sesudah intervensi adalah 78,17 cm, peningkatan nilai tinggi badan 0,54 cm sesudah dilakukan inervensi. |
Hasil Dan Pembahasan
Hasil
Tujuh (7) penelitian yang terpilih di atas dilakukan di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan yaitu Randomized
Controlled Trial (RCT), Quasi-Experimental, dan Mix Method (n=7).
Artikel penelitian ini dipublikasikan pada rentang 2016 hingga 2021. Pengaruh budaya pangan lokal
terhadap pecegahan dan penanggulangan stunting adalah sebagai berikut:
a. Intervensi yang dilakukan
adalah suplementasi dan stimulasi psikososial pada ibu dan pengasuh dari balita berusia
6-12 bulan dilakukan di Tanah
Datar, Provinsi Sumatera
Barat. Suplementasi makanan
yang dilakukan menggunakan bahan lokal yang digunakan masyarakat dengan bahan utama
ubi jalar merah, ubi jalar ungu, beras
merah, kacang merah, kacang hijau,
kadang kedelai, dan ikan kering dengan 3 suplemen makanan komposit iso protein dan iso energi.
Pemilihan formula lokal tersebut disesuaikan dengan kebiasaan makan lokal di Sumatera Barat agar
mudah didapat dan diolah oleh orang tua. Setelah intervensi selama 6 bulan, terdapat peningkatan pertumbuhan linier, perkembangan kognitif dan motorik yang signifikan pada kelompok yang mendapat suplementasi makanan lokal dengan
penambahan panjang rata-rata
menjadi 6,86 + 2,08 cm (Nirmala & Pramono, 2017). Intervensi yang sejenis dilakukan pada balita usia 1-5 tahun di daerah pedesaan Sulawesi Selatan dengan menggunakan bahan dasar pangan lokal
yang menjadi budaya makanan setempat yaitu ulat sagu
yang didapatkan dari batang pohon sagu.
Intervensi ini menunjukkan hasil perubahan tinggi badan balita sama dengan
kelompok kontrol namun secara kandungan
protein dan lemak makanan olahan
ulat sagu lebih tinggi protein dan lemak dibandingkan MPASI lokal lainnya (Helmizar et al., 2017).
b. Intervensi penggunaan
budaya pangan lokal menujukkan hasil yang signifikan untuk penanggulangan stunting terlihat pada budaya pangan lokal suku
rejang Kabupaten Bengkulu
Utara yang kaya akan protein seperti
belut sawah dan ikan nila. Pemanfaatan masakan yang terbuat dari belut
sawah dan ikan nila sebagai
MPASI pada baduta stunting dengan
pemberian 3 kali sehari selama 90 hari (3 bulan) yang menujukkan hasil terdapat perbedaan rata-rata tinggi badan signifikan pada anak baduta (6-24 bulan) yang telah diintervensi menggunakan olahan makanan lokal (Sofais et al., 2019).
Pemanfaatan budaya pangan lokal sebagai
penanggulangan stunting juga terlihat
di daerah Kecamatan Belang, Kabupaten Minahasa Tenggara yang menggunakan
suplementasi makanan ringan bahan dasar
pangan lokal yaitu tepung tulang
ikan malalugis dan bihun dalam bentuk biskuit
dengan sasaran anak usia 1-2 tahun.
Hasil dari pemanfaatan biskuit berbahan dasar pangan lokal
menujukkan ada peningkatan rata-rata tinggi
badan anak, peningkatan nilai tinggi badan 0,54 cm, namun tidak ada
perubahan derajat z-skor stunting setelah intervens (Sineke & Kawulusan, 2020).
c. Intervensi penggunaan
budaya pangan lokal menunjukkan hasil yang positif untuk pencegahan stunting terlihat pada pemanfaatan pangan lokal jagung
dengan pengembangan budaya masak abereng
(masak bersama-sama) di Desa Glagahwero, Kecamatan Panti, Kabupaten Jember selama 4 minggu. Pemanfaatan pangan lokal dengan budaya
masak abereng menunjukkan hasil terdapat kenaikan berat badan balita (1-3 tahun) sebanyak 1.000 gram sampai dengan 6.000 gram (Rasni et al., 2019).
Pemanfaatan budaya pangan lokal untuk
pencegahan stunting juga terlihat
di daerah kecamatan Kaya Hilir, Kabupaten Sintang, Kalimatan Barat dengan pemberian Bubur Jawak (Setaria Italica) selama 3 bulan menunjukkan hasil adanya peningkatan signifikat rata-rata berat badan
(rerata kenaikan 1,8 kg) dan
tinggi badan (rerata kenaikan 0,45 cm) (Kurniati & Sunarti, 2020).
Pembahasan
Pada tujuh artikel penelitian
tersebut terdapat jenis penelitian: Randomized
Controlled Trial (RCT), Quai-Experimental, dan Mix Method untuk mengetahui efektivitas dari budaya pangan lokal
dalam pemanfaatannya untuk mencegah dan penanggulangan stunting di Indonesia. Berdasarkan
beberapa sintesa yang ditelaah dapat diketahui bahwa budaya pangan lokal
secara penggunaannya sebagai MPASI (Makanan Pendamping Asi) menjadi lebih diterima
oleh orang tua, mudah diperoleh dengan biaya murah atau
tanpa biaya pun (economic
efficient), mudah dibudidayakan,
bernilai gizi baik dan dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga (health economic)
(Sofais et al., 2019).
Berdasarkan
beberapa sintesa yang ditelaah budaya pangan lokal lebih
banyak digunakan dalam pencegahan stunting dalam bentuk makanan
olahan dengan protein dan
lemak yang tinggi. Sedangkan
untuk penanggulangan dalam hal intervensi
bagi balita yang sudah terdeteksi stunting budaya pangan lokal
ini belum efektif untuk meningkatkan
secara signfikan status gizi anak sehingga
perlu ada upaya-upaya fortifikasi dengan bahan lainnya
(Nirmala & Pramono, 2017).
Secara umum, terdapat 2 alasan utama budaya
pangan lokal dapat menjadi salah satu intervensi gizi spesifik yang dapat menekan angka
prevalensi stunting dengan menitikberatkan pada aspek kemandirian, budaya setempat, dan keberlanjutan yaitu:
Pertama, Budaya
Pangan Lokal dan Perilaku Makan
Lingkungan
sosial dapat memberikan gambaran tentang perbedaan pola makan masyarakat
di wilayah tertentu. Setiap
masyarakat atau suku memiliki kebiasaan
pola makan berbeda sesuai dengan kebiasaan atau tradisi yang dianut. Kebutuhan makan bukanlah satu-satunya alakasan dorongan untuk mengatasi rasa lapar, ada kebutuhan lain seperti fisiologis yakni makan sebagai
pemenuhan gizi juga ikut mempengaruhi pola makan individu
atau masyarakat. Setiap kelompok sosial masyarakat memiliki pola yang berbeda dalam memperoleh,
menggunakan, dan menilai makanan yang merupakan ciri dari kelompok
sosial masing-masing. Di Indonesia sendiri setiap daerah memiliki makanan pokok utama
yang berbeda seperti jagung, sagu, ubi jalar, dan ketela pohon. �Berbagai potensi yang terkandung dalam sistem pangan
lokal adalah potensi solusi mengatasi permasalahan pangan pada tingkat komunitas �community based food system� (Fadhilah, 2013).
Tradisi pangan berbasis pangan lokal masih
tetap dilestarikan di berbagai daerah salah satunya di Kecamatan Pulubala, Kabupaten Gorontalo. Komunitas masyarakat di daerah ini memiliki
tradisi mengonsumsi jagung sebagai makanan pokok. Pemilihan jagung sebagai makanan pokok dilandasi sebagai sebagai tindakan turun-temurun nenek moyang sebagai
adapatasi terhadap lingkungan geografis, yang berbukit-bukit serta lahan kering, selain
itu jagung sebagai sumber bahan pokok termasuk
sumber pangan yang bisa dipanen mudah
dan mudah diolah (Fadhilah, 2013).
Dapat digambarkan bahwa makanan bukanlah sederah produk organik dengan kualitas biokimia, tapi lebih dari
itu makanan dapat dilihat sebagai
gejala budaya. Pada makanan gejala budaya dapat dibentuk
karena berbagai pandangan hidup masyarakatnya. Sehingga, pola makan juga merupakan konsep budaya yang dipengaruhi oleh unsur sosial budaya
yang berlaku dalam kelompok masyarakat tersebut. Seperti nilai sosial, norma
sosial, dan budaya, yang bertalian dengan makanan, di masyarakat pada akhirnya akan muncul
apa makanan yang dianggap baik dan tidak hal ini
tidak hanya dilihat dari sisi
kesehatan tetapi juga dari sisi budaya
(Fadhilah, 2013).
Kedua, Ketersediaan
dan Keterjangkauan Terhadap
Pangan Lokal
Kebiasaan
konsumsi pangan pada kelompok masyarakat tertentu tidak hanya bergantung pada ketersediaan budaya seperti status sosial, status fisik, peranan sosial, adat istiadat.
Kebiasaan makan terhadap pangan lokal tertentu juga dipengaruhi oleh ketersediaan fisik dan harga dari bahan pangan
lokal tersebut. Konsumi pangan lokal akan berkaitan
erat dengan makna ketahanan pangan.
Ketahanan
pangan sendiri menyangkut ketersediaan dan keterjangkauan terhadap pangan yang cukup dan bermutu. Pemberian makanan lokal sebagai
MPASI (Makan Pendamping
ASI) jika dilihat dari sisi ketahanan
pangan ini mencakup aspek aksesibilitas, ketersediaan, keamanan, dan kesinambungan. Aksesibilitas ini berarti pemanfaat pangan lokal hadir
dengen tujuan agar rumah tangga mampu
memenuhi kecukupan pangan keluarga dengan gizi yang sehat. Ketersediaan pangan adalah jumlah
dari pangan lokal untuk rumah
tangga tersedia dalam jumlah yang mencukupi, Sedangkan, keamanan pangan menitikberatkan bahwa pangan lokal memiliki
kualitas pangan yang memenuhi kebutuhan gizi,
Aspek ketersediaan dan keterjangkaun terhadap pangan lokal sebagai upaya
pencegahan balita stunting ini sejalan penelitian
Nurhayati tahun 2020 terkait pelaithan pengolahan produk berbasis jagung di Desa Labuapi, Kabupaten
Lombok Barat. Sumber pangan
lokal yang melimpah di desa Labuapi adalah
jagung. Pengolahan susu jagung dan nuget jagung sebagai MPASI dapat diterima dan direplikasi oleh ibu-ibu balita di daerah tersebut (Nurhayati, Asmawati, Ihromi, Marianah, & Saputrayadi, 2020).
Aspek ketersediaan dan keterjangkauan pengelolaan pangan lokal dalam pencegahan
stunting di Keluarahan Jember
Lor, Kecamatan Patrang, Kabupaten Jember melalui penyuluhan dan pelatihan pembuatan abon lele. Kegiatan
pembuatan abon lele didasari oleh ketersediaan ikan lele yang melimpah dan harga ikan lele yang terjangkau oleh masyarakat skala rumah tangga. Ikan lele secara kesehatan
memiliki protein yang tinggi,
sedangkan secara ekonomi pelatihan pembuatan abon lelel dapat menjadi
sumber alternatif meningkatkan ekonomi keluarga (Nuha & Utami, 2020).
Kesimpulan
�Systematic review ini memfokuskan pada pengaruh budaya pangan lokal
yang dimanfaatkan sebagai olahan MPASI untuk anak balita memiliki
beberapa pengaruh kepada pencegahan dan penanggulangan stunting: 1). Budaya
pangan lokal berpengaruh kepada perilaku makan masyarakat sehingga olahan pangan lokal
lebih dapat diterima oleh orang tua atau kelompok masyarakat
sesuai dengan budaya pada masing-masing daerah.
2). Budaya pangan lokal berpengaruh pada pencegahan stunting, secara studi gizi ditujukkan
dengan adanya peningkatan berat badan dan tinggi balita setelah
dilakukan intervensi. 3). Budaya pangan lokal
berpengaruh pada pencegahan
dan penanggulangan stunting karena
pangal lokal memiliki ketersediaan dan keterjangkauan secara harga, dan modah diolah oleh orang tua balita atau kelompok
masyarakat di daerah. 4). Budaya pangan lokal
belum memiliki bukti yang kuat dalam penanggulangan stunting secara studi gizi
ditujukkan dalam intervensi 30-90 hari intervensi dengan olahan pangan lokal
menunjukkan derajat z-skor stunting pada bayi
(6-24 bulan) tidak mengalami perubahan.
Aridiyah, Farah Okky, Rohmawati, Ninna, & Ririanty, Mury.
(2015). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stunting pada Anak Balita di
Wilayah Pedesaan dan Perkotaan (The Factors Affecting Stunting on Toddlers in
Rural and Urban Areas). Pustaka Kesehatan, 3(1), 163�170. Google Scholar
Bekele, Hana, & Turyashemererwa, Florence. (2019).
Feasibility and acceptability of food‐based complementary feeding
recommendations using Trials of Improved Practices among poor families in rural
Eastern and Western Uganda. Food Science & Nutrition, 7(4),
1311�1327. Google Scholar
Fadhilah, Amir. (2013). Kearifan lokal dalam membentuk daya
pangan lokal komunitas Molamahu Pulubala Gorontalo. Buletin Al-Turas, 19(1),
23�38. Google Scholar
Helmizar, Helmizar, Jalal, Fasli, Lipoeto, Nur Indrawati,
& Achadi, Endang L. (2017). Local food supplementation and psychosocial
stimulation improve linear growth and cognitive development among Indonesian
infants aged 6 to 9 months. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition, 26(1),
97�103. Google Scholar
Kurniati, Paskalia Tri, & Sunarti, Sunarti. (2020).
Efektivitas Pemberian Bubur Jawak (Setaria italica) dalam Peningkatan Berat
Badan dan Tinggi Badan pada Balita Stunting di Kecamatan Kayan Hilir Kabupaten
Sintang. Jurnal Dunia Kesmas, 9(4), 440�448. Google Scholar
Moher, David, Liberati, Alessandro, Tetzlaff, Jennifer,
Altman, Douglas G., & Group, Prisma. (2009). Preferred reporting items for
systematic reviews and meta-analyses: the PRISMA statement. PLoS Medicine,
6(7), e1000097. Google Scholar
Nadimin, Nadimin, & Lestari, Retno Sri. (2019).
Peningkatan Nilai Gizi Mikro Kudapan Lokal Melalui Subtitusi Tepung Ikan Gabus
untuk Pencegahan Stunting di Sulawesi Selatan. Media Kesehatan Politeknik
Kesehatan Makassar, 14(2), 152�157. Google Scholar
Nirmala, Intan R., & Pramono, Mochammad S. (2017). Sago
worms as a nutritious traditional and alternative food for rural children in
Southeast Sulawesi, Indonesia. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition,
26(Supplement). Google Scholar
Nuha, Gardina Aulin, & Utami, Resti. (2020). Aplikasi
Pemberdayaan IRT Terhadap Pengelolaan Pangan Lokal Dan Gizi Anak Dalam Mencegah
Stunting. Jurnal Pengabdian Masyarakat Manage, 1(2), 56�60. Google Scholar
Nurhayati, Nurhayati, Asmawati, Asmawati, Ihromi, Syirril,
Marianah, Marianah, & Saputrayadi, Adi. (2020). Penyuluhan gizi dan
pelatihan pengolahan produk berbasis jagung sebagai upaya meminimalisir
stunting di desa Labuapi Kabupaten Lombok Barat. JMM (Jurnal Masyarakat
Mandiri), 4(5), 806�817. Google Scholar
Rasni, Hanny, Susanto, Tantut, Nur, Kholid Rosyidi Muhammad,
& Anoegrajekti, Novi. (2019). Pengembangan budaya masak abereng dalam
peningkatan status gizi balita stunting di desa glagahwero, kecamatan panti,
kabupaten jember dengan pendekatan agronursing. Google Scholar
RI, Kemenkes. (2018). Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar
2018. Jakarta: Kemenkes RI.
Sineke, Jufri, & Kawulusan, Mirna. (2020). Suplemenntasi
Pemberian Makanan Ringan (Biskuit) Berbahan Dasar Pangan Lokal Tepung Tulang
Ikan Malalugis (Decapterus Spp) Dan Bihun Dalam Meningkatkan Status Gizi Anak
Balita Stunting Usia 1-2 Tahun. Jurnal Gizido, 12(2), 87�98. Google Scholar
Sofais, Danur Azissah Roesliana, Sianipar, Berlian Kando,
& Darmawansyah, Darmawansyah. (2019). Pengaruh Kearifan Pangan Lokal Suku
Rejang terhadap Penanganan Stunting Baduta di Bengkulu Utara. Jurnal
Keperawatan Silampari, 3(1), 201�210. Google Scholar
Teja, Mohammad. (2019). Stunting Balita Indonesia Dan
Penanggulangannya. Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, XI (22), 13�18. Google Scholar
Wamani, Henry, �str�m, Anne Nordrehaug, Peterson, Stefan,
Tumwine, James K., & Tyllesk�r, Thorkild. (2007). Boys are more stunted
than girls in sub-Saharan Africa: a meta-analysis of 16 demographic and health
surveys. BMC Pediatrics, 7(1), 1�10. Google Scholar
WHO. (2010). Interpretation Guide. [Internet]. Nutrition
landscape information system (NLIS) Country Profile. 50. Retrieved from
www.who.int/nutrition
Copyright holder: Ida Fauziah, Tri
Krianto (2022) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |
��