Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 6, Juni 2022

 

PROBLEMATIKA PEMBATALAN PERJANJIAN KARENA KETIADAAN BAHASA INDONESIA

 

Frangki Boas Rajagukguk

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Kegiatan penanaman modal asing menyebabkan perjanjian dilakukan oleh pihak individu atau lembaga swasta Indonesia dengan pihak-pihak asing di luar Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya konflik yang perlu diselesaikan secara adil mengenai keabsahan perjanjian terkait bahasa yang digunakan dalam perjanjian. Artikel ini akan membahas permasalahan dimana Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (UU No. 24/2009) dan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia (Perpres No. 63/2019) menjadi dasar pembatalan perjanjian-perjanjian yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia karena dianggap melanggar causa halal sebagai syarat sah perjanjian. Dalam pertimbangan hukum Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 575/PDT/2020/PT.DKI jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 590/PDT.G/2018/PN.Jkt.Pst., Hakim merujuk pada pengertian kata �wajib� dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan keterangan ahli untuk menyatakan bahwa berdasarkan UU No. 24/2009 dan Perpres No. 63/2019 perjanjian yang tidak menggunakan bahasa Indonesia menjadi batal demi hukum. Melalui metode studi kasus, artikel ini akan menunjukkan bahwa perjanjian yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia tidak serta merta dinyatakan batal demi hukum. Causa perjanjian pada dasarnya adalah isi perjanjian itu sendiri. Lebih lanjut, peraturan perundang-undangan tersebut juga tidak mengatur sanksi bahwa perjanjian yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia menjadi batal demi hukum. Selain itu, terdapat aspek-aspek yang harus dipertimbangkan untuk menentukan bagaimana jangkauan UU No. 24/2009 dan Perpres No. 63/2019 terhadap keabsahan perjanjian. Dengan demikian putusan yang membatalkan perjanjian karena tidak dibuat dalam bahasa Indonesia adalah tidak tepat karena tidak mempertimbangkan jangkauan dari ketentuan yang dilanggar serta dampak sosial yang diharapkan.

 

Kata kunci: Perjanjian, Pembatalan Perjanjian, Causa Yang Halal

 

Abstract

Foreign investment activities have caused that contract would be performed between individual or Indonesian legal entity and foreign parties abroad Indonesia. Such circumstance has raised a conflict which must be settled equitably regarding the validity of the contract in connection with the language which used in such contract. This article will discuss about the issue that the Law Number 24 of 2009 regarding Flag, Language, State Symbol and National Anthem (Law No. 24/2009) and the Presidential Regulation Number 63 of 2019 regarding the Utilization of Indonesian Language (PR No. 63/2019) has been used as the basis to annul contracts which had been made without Indonesian language on the basis of legal consideration that such contract violated the valid cause as the requirement of validity of a contract. In the legal considerations of the Decision of High Court of DKI Jakarta Number 575/PDT/2020/PT.DKI in conjunction with the Decision of the District Court of Central Jakarta Number 590/PDT.G/2018/PN.Jkt.Pst., the Judges referred to the definition of �mandatory� based on the Dictionary of Indonesian Language and expert testimony to declare that the contracts which had been made without Indonesian language shall be deemed null and void in accordance with Law No. 24/2009 and PR No. 63/2019. Through case study method, this article will indicate that contract which has not been made in Indonesian language could not necessarily be declared null and void. Basically, the cause of the contract is the content of the contract. Furthermore, both regulations do not regulate the sanction that the absence of Indonesian language in contract would not cause that the contract must be deemed null and void. In addition, there are other aspects that must be considered to determine the scope of Law No. 24/2009 and PR No. 63/2019 against validity of a contract. Therefore, the decision which annulled the contract due to the absence of Indonesian language in the contract is incorrect because it did not consider the scope of the regulations which had been violated and the expected social impacts.

 

Keywords: contract, annulment of contract, valid cause

 

Pendahuluan

Pada tanggal 9 Juli 2009, Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 24 Tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan (�UU No. 24/2009�). Dalam ketentuan Pasal 31 UU No. 24/2009 antara lain mengatur bahwa nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan perseorangan Warga Negara Indonesia dan/atau lembaga swasta Indonesia harus dibuat dalam bahasa Indonesia.

Lebih lanjut, Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia (Perpres No. 63/2019) yang mulai berlaku pada tanggal 30 September 2019. Dalam peraturan ini, bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia, atau perseorangan warga negara Indonesia (Pasal 26 ayat (1) Perpres No. 63/2019).

Seiring berjalannya waktu, ternyata ketentuan terkait kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam UU No. 24/2009 dan Perpres No. 63/2019 tersebut telah mengakibatkan adanya permasalahan hukum terkait pembatalan perjanjian yang disebabkan karena tidak dibuatnya suatu perjanjian dalam bahasa Indonesia. Hal tersebut telah memunculkan polemik yang cukup menarik perhatian dalam koridor hukum khususnya terkait keabsahan suatu perjanjian atau kontrak.

Perdebatan ini mulai menarik perhatian masyarakat ketika munculnya kasus antara PT Bangun Karya Pratama Lestari (PT BKPL) melawan Nine A M Ltd. yang terdaftar sebagai perkara dengan nomor register 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar di Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakarta Barat). Dalam perkara tersebut, PT BKPL selaku peminjam dana, mengikatkan diri dengan Nine A M, Ltd. selaku pihak yang meminjamkan dana ke dalam suatu Perjanjian Pinjam Meminjam (Loan Agreement) yang dibuat dan ditandatangani dalam bahasa inggris, sekalipun para pihak sepakat bahwa Loan Agreement diatur dan tunduk pada hukum Negara Republik Indonesia. Kemudian, dengan dasar Loan Agreement hanya dibuat dalam bahasa Inggris dan karenanya bertentangan dengan Pasal 31 ayat (1)  UU No. 24/2009, maka PT BKPL memohon kepada Majelis Hakim untuk menyatakan Loan Agreement tersebut batal demi hukum atau setidak-tidaknya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena tidak terpenuhinya syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu terdapatnya suatu sebab yang dilarang oleh undang-undang. Majelis Hakim pada PN Jakarta Barat dalam putusannya mengabulkan gugatan PT BKPL tersebut dan selanjutnya menyatakan Loan Agreement tersebut batal demi hukum. Putusan mana telah dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 48/PDT/2014/PT.DKI dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1572 K/Pdt/2015.

Hukum Indonesia memang tidak menganut konsep preseden dan pada prinsipnya tidak ada kewajiban bagi pengadilan-pengadilan lainnya di Indonesia untuk mengikuti Putusan PN Jakarta Barat No. 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar, Putusan PT DKI Jakarta No. 48/PDT/2014/PT.DKI dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1572 K/Pdt/2015 dalam mengadili perkara-perkara yang serupa. Namun demikian, putusan-putusan tersebut dapat menjadi acuan bagi pengadilan-pengadilan lainnya di Indonesia dalam menginterpretasikan peraturan perundang-undangan terkait dan secara tidak langsung dapat dijadikan pertimbangan dalam membuat putusan-putusan dalam perkara yang sejenis, dalam hal ini permohonan untuk melakukan pembatalan perjanjian karena tidak menggunakan bahasa Indonesia.

Hal tersebut pada faktanya telah terjadi dan bahkan celakanya Perpres No. 63/2019 juga telah dijadikan dasar pembatalan suatu perjanjian yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia yang bahkan nyata-nyata perjanjian tersebut dibuat sebelum adanya peraturan ini bahkan sebelum adanya UU No. 24/2009. Hal mana tertuang dalam Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 575/PDT/2020/PT.DKI jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 590/PDT.G/2018/PN.Jkt.Pst.

Adapun kronologis dalam perkara tersebut pada awalnya adalah terkait kepemilikan saham Penggugat I, Penggugat II dan Penggugat III pada Turut Tergugat II, Turut Tergugat III. Dimana Turut Tergugat II adalah pemegang Kuasa Pertambangan yang diterbitkan Bupati Musi Rawas No. 545/17/DPE/2005 tertanggal 27 Agustus 2005 dan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi No. 26/KPTS/ DISTAMBEN/2010 tertanggal 19 April 2010. Sedangkan Turut Tergugat III adalah pemegang Kuasa Pertambangan yang diterbitkan oleh Bupati Musi Rawas No. 545/19/DPE/2005 tanggal 27 Agustus 2005 dan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi No. 27/KPTS/ DISTAMBEN/2010 tertanggal 19 April 2010 dan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi No. 39/KPTS/DISTAMBEN/2010 tertanggal 20 April 2010.

Peristiwa hukum dalam perkara ini diawali pada akhir tahun 2007, dimana Tergugat I yang diwakili oleh Tergugat II selaku Vice President of Business Development menghubungi Penggugat I untuk melakukan kerja sama guna memanfaatkan Kuasa Pertambangan yang dimiliki oleh Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III. Tergugat II menyampaikan portfolio Tergugat I dalam memanfaatkan dan mengelola batu bara di India, yaitu salah satunya adalah dengan membangun, mengawasi dan mengoperasikan sebuah pembangkit listrik (power plant) dengan menggunakan tenaga dari batu bara impor di Krishnapatnam, India dengan total nilai proyek sebesar USD 2,700,000,000 (dua milyar tujuh ratus juta dollar Amerika Serikat).

Berdasarkan proyek tersebut, Tergugat I berencana untuk mengajak Penggugat I untuk melakukan kerjasama dengan memanfaatkan Kuasa Pertambangan yang dimiliki oleh Penggugat I (melalui Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III), sehingga dapat menjadi pemasok kebutuhan batu bara bagi proyek di Krishnapatnam tersebut. Adapun kerjasama tersebut akan dilakukan setelah Tergugat I membeli saham milik Penggugat I, Penggugat II dan Penggugat III pada Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III. Tergugat I juga menyatakan bahwa Penggugat I, Penggugat II dan Penggugat III akan mendapatkan pembayaran atas harga jual beli saham-saham tersebut.

Berdasarkan �promosi� yang disampaikan oleh Tergugat I disertai keyakinan Penggugat I, Penggugat II dan Penggugat III bahwa Tergugat I memiliki kredibilitas di bidang usaha Reliance Power dan janji-janji ekonomis lainnya yang akan menguntungkan Para Penggugat, akhirnya Para Penggugat meyetujui untuk menjual saham-saham mereka kepada Tergugat I. Selanjutnya, Tergugat I membuat skema pembelian saham berdasarkan beberapa perjanjian. Perjanjian pertama antara Tergugat I, Penggugat I, Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III adalah Investment Agreement (Perjanjian Investasi) tanggal 14 Maret 2008.

Selanjutnya, pada tahun 2010 Tergugat I membuat Sales and Purchase Agreement (Perjanjian Jual Beli Saham) tanggal 5 Juni 2010 antara Tergugat I dan Penggugat I. Kemudian setelah saham Penggugat I, Penggugat II dan Penggugat III pada Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III beralih kepada Tergugat I, Tergugat I kembali meminta para Penggugat untuk menandatangani perjanjian-perjanjian turunan, yaitu (i) Royalty Agreement (Perjanjian Royalti) tanggal 4 Oktober 2010 yang dibuat oleh dan antara Penggugat IV dan Turut Tergugat II; (ii) Royalty Agreement (Perjanjian Royalti) tertanggal 4 Oktober 2010 yang dibuat oleh dan antara Penggugat IV dan Turut Tergugat III; (iii) Agreement for Advances tanggal 4 Oktober 2010 yang dibuat oleh dan antara Penggugat I, Penggugat IV dan Tergugat III yang dimaksudkan sebagai dasar pelaksanaan janji Tergugat I; dan (iv) Akta-akta Notaris terkait pemindahan hak atas saham sebagai dasar dan bukti bahwa telah terjadi peralihan hak atas saham mayoritas perseroan Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III, yang semula dimiliki oleh Penggugat I, Penggugat II dan Penggugat III menjadi milik Tergugat IV, Tergugat V dan Tergugat VI yang merupakan perusahaan afiliasi dari Tergugat I.

Dalam perjalanannya, Para Penggugat merasa bahwa Para Tergugat telah melakukan perbuatan curang dalam transaksi jual beli saham tersebut dan transaksi tersebut tidak didasarkan dengan iktikad baik. Para Penggugat beranggapan bahwa transaksi tersebut hanya berdasarkan pada keinginan Para Tergugat untuk menguasai saham milik Penggugat I, Penggugat II dan Penggugat III. Oleh karena itu Para Penggugat mengajukan gugaatan perbuatan melawan hukum terhadap Para Tergugat melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat serta mengajukan permohonan pembatalan perjanjian-perjanjian terkait transaksi jual beli saham antara Para Penggugat dan Para Tergugat.

Salah satu dalil Penggugat dalam gugatannya menyatakan bahwa seluruh perjanjian yang berkaitan dengan peralihan hak atas saham milik Penggugat I, Penggugat II dan Penggugat III adalah perjanjian yang melawan hukum karena hanya dibuat dalam versi bahasa Inggris dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 31 UU No. 24/2009 yang mewajibkan bahasa Indonesia untuk digunakan dalam setiap perjanjian yang melibatkan perseorangan Warga Negara Indonesia atau lembaga swasta Indonesia. Oleh karena Penggugat merasa bahwa perjanjian-perjanjian yang terkait dengan peralihan hak atas saham ini seluruhnya melibatkan perseorangan Warga Negara Indonesia, maka sudah sepatutnya perjanjian itu dibuat dalam versi bahasa Indonesia atau setidak-tidaknya 2 versi, yaitu versi bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Maka, berdasarkan hal tersebut diatas, Para Penggugat mendalilkan bahwa Para Tergugat yang membuat dan/atau mempersiapkan seluruh perjanjian tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan tidak membuat versi bahasa Indonesia dalam perjanjian tersebut dan karenanya perjanjian-perjanjian tersebut harus dinyatakan batal demi hukum.

Dalam perkara tersebut, dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim membatasi diri dalam membuat pertimbangan yaitu hanya untuk memeriksa dan mempertimbangkan mengenai persengketaan yang menjadi kewenangan peradilan umum dan tidak mengenai isi dari perjanjiannya atau mengenai persengketaan tentang pelaksanaan perjanjian tersebut. Majelis Hakim sama sekali tidak mempertimbangkan mengenai bantahan dan/atau argumentasi Para Pihak terkait dengan perjanjian pura-pura (proforma) yang merupakan dalil dari Penggugat bahwa Para Tergugat telah berbuat curang untuk memperkaya diri sendiri. Akan tetapi, Majelis Hakim dalam pertimbangannya hanya mempertimbangkan dalil terkait perjanjian yang hanya dibuat dalam versi bahasa Inggris. Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa perjanjian-perjanjian pokok yaitu Perjanjian Jual Beli Saham dan Perjanjian Royalti yang dibuat dalam versi bahasa Inggris termasuk yang mengawali dan menyertai perjanjian pokok tersebut yaitu Investment Agreement yang dibuat pada tahun 2008 serta Akta-akta Turut Tergugat I telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 31 UU No. 24/2009 dan ketentuan Pasal 26 Perpres No. 63/2019. Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa suatu ketentuan yang terdapat di dalam Undang-undang yang telah disahkan dan isinya telah jelas, diadakan tentulah untuk agar dipenuhi, dipedomani dan dilaksanakan sehingga tidak hanya merupakan ketentuan di atas kertas yang tanpa makna, yang kemudian ditafsir-tafsirkan sehingga maksudnya menjadi bias. Untuk itu Majelis Hakim berpendapat bahwa tidak adanya versi bahasa Indonesia pada perjanjian-perjanjian dalam perkara ini merupakan suatu hal pelanggaran terhadap ketentuan normatif perundang-undangan, sehingga harus dinyatakan batal demi hukum. Oleh karena itu, Majelis Hakim membatalkan seluruh perjanjian-perjanjian antara Para Penggugat dan Para Tergugat yang terkait dengan perkara ini.

Dari pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam perkara tersebut, dapat dikatakan bahwa pertimbangan hukum tersebut tidak tepat. Majelis Hakim dalam perkara tersebut membatalkan perjanjian-perjanjian antara para pihak dengan dasar bahwa perjanjian-perjanjian tersebut tidak memenuhi salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu causa atau sebab yang halal karena tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dengan mendasarkan kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian sebagaimana diatur dalam UU No. 24/2009 dan Perpres No. 63/2019. Padahal, sejatinya bahasa yang dipergunakan oleh para pihak dalam suatu perjanjian bukan merupakan sebab atau causa dari perjanjian itu sendiri.� Hal ini mengingat yang dimaksud dengan sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri (Subekti, 2005:19). Dengan demikian, seharusnya perjanjian-perjanjian yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia tersebut tersebut tidak melanggar syarat sahnya suatu perjanjian. Seandainya pun terdapat pelanggaran, maka yang dilanggar adalah formalitas dari perjanjian itu sendiri, yaitu penggunaan bahasa Inggris pada perjanjian tanpa dibarengi dengan penggunaan bahasa Indonesia. UU No. 24/2009 dan Perpres No. 63/2019 juga tidak mengatur konsekuensi hukum dan/atau sanksi apa pun apabila ketentuan terkait kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam nota kesepahaman atau perjanjian tidak dipenuhi.

Ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24/2009 telah menimbulkan sejumlah pertanyaan mendasar terkait kebebasan berkontrak, kesakralan perjanjian dan validitas perjanjian. Namun demikian, diterbitkannya Perpres No. 63/2019 tidak dapat memberikan jawaban terkait pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ketentuan Pasal 26 ayat (1) dan (2) Perpres No. 63/2019 semata-mata hanya merupakan penegasan terkait persyaratan dimana nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan perseorangan warga negara Indonesia atau lembaga swasta Indonesia harus menggunakan bahasa Indonesia dan apabila ada pihak asing yang terlibat, nota kesepahaman atau perjanjian tersebut juga dapat ditulis dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.

Penelitian ini ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan apakah suatu perjanjian yang tidak dibuat dengan menggunakan bahasa Indonesia dapat serta merta dinyatakan batal demi hukum dan apakah UU No. 24/2009 dan Perpres No. 63/2019 dapat diterapkan sebagai dasar hukum untuk membatalkan perjanjian yang tidak dibuat dengan menggunakan bahasa Indonesia. Adapun kegunaan dari penelitian ini yaitu secara teoritis dapat menjadi acuan dalam sengketa atau perselisihan hukum terkait pembatalan perjanjian khususnya terkait dengan tidak digunakannya bahasa Indonesa dalam suatu perjanjian. Selain itu, dari segi praktik hukum, penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan dalam memberikan pertimbangan-pertimbangan yuridis bagi para penegak hukum, khususnya Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang serupa.

 

Metode Penelitian

Artikel ini menggunakan metode penelitian studi kasus (case study) yaitu terkait Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 575/PDT/2020/PT.DKI jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 590/PDT.G/2018/PN.Jkt.Pst. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan dengan menggunakan studi literatur dimana data yang diperoleh dalam penulisan artikel ini didapatkan dari data-data sekunder. Hal ini mengingat bahwa dalam konteks penulisan artikel ini, belum terdapat data-data sekunder yang memadai yaitu dalam hal ketiadaan bahasa Indonesia dalam suatu perjanjian telah menjadi dasar pembatalan perjanjian khususnya terkait penggunaan Perpres No. 63 Tahun 2019 sebagai dasar pembatalan perjanjian. Metode analisis data yang akan diterapkan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Adapun tujuan dari digunakannya metode penelitian kualitatif dalam artikel ini adalah untuk menemukan pemahaman yang mendalam terhadap suatu situasi sosial yang bersifat kompleks, dalam hal ini terkait pembatalan perjanjian karena ketiadaan bahasa Indonesia dalam perjanjian itu sendiri dan mengembangkannya menjadi suatu hipotesis dan akhirnya menjadi sebuah teori.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 575/PDT/2020/PT.DKI jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 590/PDT.G/2018/PN.Jkt.Pst.

1.   Perdebatan Causa Halal dan Formalisme Terkait Kewajiban Penggunaan Bahasa Indonesia Dalam UU No. 24/2009 dan Perpres No. 63/2019

Majelis Hakim dalam perkara ini telah menjatuhkan suatu putusan dengan mempertimbangkan bahwa tidak digunakannya bahasa Indonesia dalam Perjanjian Jual Beli Saham beserta perjanjian yang mendahului dan menyertai perjanjian tersebut melanggar syarat sah suatu perjanjian yaitu causa atau sebab yang halal karena telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 31 UU No. 24/2009 dan ketentuan Pasal 26 Perpres No. 63/2019. Hal mana sebagaimana tertuang pada halaman 77 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 590/PDT.G/2018/PN.Jkt.Pst. yang menyatakan sebagai berikut:

Adapun pertimbangan tersebut diambil oleh Majelis Hakim dengan merujuk pada definisi kata �wajib� dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan keterangan ahli yang diajukan Penggugat dalam perkara tersebut. Adapun hal tersebut sebagaimana tertuang pada (i) halaman 76 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 590/PDT.G/2018/PN.Jkt.Pst.

Merujuk pada pendapat Prof. Subekti, yang dimaksud dengan sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah �isi� dari perjanjian itu sendiri (Subekti, 2005:19). Sedangkan �isi� perjanjian ditentukan oleh apa yang para pihak, baik secara tegas maupun diam-diam sepakati serta berkenaan dengan apa yang telah dinyatakan para pihak, ataupun maksud dan tujuan yang menjadi sasaran pencapaian kontrak sebagaimana betul dikehendaki para pihak melalui perbuatan hukum tersebut (Herlien. B, 2015:337).

Lebih lanjut, menurut Hamaker, causa suatu perjanjian adalah akibat yang sengaja ditimbulkan oleh tindakan menutup perjanjian, yaitu apa yang menjadi �tujuan mereka� untuk menutup perjanjian. Hamaker menyatakan bahwa setiap perjanjian mempunyai tujuannya sendiri yang khas dan setiap perjanjian sebenarnya adalah upaya melaksanakan akibat tertentu dari perjanjian yang mereka sepakati Bersama. Di dalam akibat mana terletak tujuan bersama atau causa perjanjian (Juswito. S, 2019:60-61).

Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa sesuatu keadaan yang mendasari dilakukannya suatu perjanjian adalah tujuan para pihak dalam menutup suatu perjanjian. Hal ini sejalan dengan pandangan Prof. Wiryono Prodjodikoro yang mengatakan bahwa causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan tujuan suatu persetujuan yang menyebabkan adanya persetujuan tersebut (Wiryono. P, 2017: 37).

Causa yang dilarang dalam suatu perjanjian diatur dalam ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang pada pokoknya menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang jika sebab itu (i) dilarang oleh undang-undang; (ii) bertentangan dengan kesusilaan; dan (iii) bertentangan dengan kepentingan umum.

Causa perjanjian dikatakan bertentangan dengan undang-undang apabila terdapat suatu larangan dalam undang-undang untuk membuat suaut persetujuan yang bersifat melanggar larangan tersebut. Lebih lanjut, causa perjanjian yang dilarang oleh undang-undang perdata harus selalu disertai sanksi kebatalan (A. S. Hartkamp, 2020: 320). Dengan demikian, pembatalan suatu perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang dapat dilakukan apabila berkaitan dengan ketentuan yang bersifat memaksa. Artinya, para pihak tidak boleh mengabaikan larangan dalam undang-undang tersebut karena adanya sanksi yang mengakibatkan pembatalan perjanjian dalam hal dilakukannya larangan dalam undang-undang tersebut.

Adapun larangan causa bertentangan dengan kesusilaan dan bertentangan dengan ketertiban umum bersifat tidak mutlak (relatif) dan tidak sama wujudnya di seluruh dunia (Wiryono. P, 2017: 38). Kesusilaan adalah hal yang abstrak yang dapat berbeda-beda di suatu daerah dibandingkan dengan daerah lainnya dan penilaian orang tentang kesusilaan berubah-ubah menurut perkembangan zaman. Adapun yang dimaksud dengan bertentangan dengan ketertiban umum adalah hal-hal yang berkaitan dengan masalah kepentingan umum, seperti keamanan negara, keresahan dalam masyarakat dan lain-lain (Johannes. I. K, 2019: 137).

Dengan demikian, suatu perjanjian dapat dinyatakan bertentangan dengan causa atau sebab yang halal jika �isi� dari perjanjian itu melanggar ketentuan yang dilarang dalam suatu peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut, penggunaan bahasa dalam suatu perjanjian bukan merupakan materi atau isi dari perjanjian itu sendiri. Sehingga,

Menurut Hartkamp, sebagaimana dikutip oleh Herlien Budiono, suatu tindakan hukum menimbulkan suatu perjanjian adalah berhubungan dengan syarat substantif utama dari perjanjian, yaitu perjumpaan kehendak dari para pihak yang terkait dengan ciri atau karakteristik umum sebagai berikut (Herlien. B, 2015:140):

-      Perjanjian bentuknya bebas, namun untuk beberapa perjanjian, suatu bentuk khusus dipersyaratkan oleh perundang-undangan;

-      Tindakan hukum harus terbentuk oleh atau melalui Kerjasama dari dua atau lebih pihak;

-      Pernyataan-pernyataan kehendak yang bersesuaian tersebut tergantung satu dengan yang lainnya;

-      Kehendak dari para pihak harus ditujukan untuk memunculkan akibat hukum; dan

-      Akibat hukum ini dimunculkan demi kepentingan salah satu pihak dan atas beban pihak lainnya, atau demi kepentingan dan atas beban kedua belah pihak bertimbal balik.

Selanjutnya, perjanjian terjadi melalui atau dengan pernyataan kehendak dari orang atau pihak yang bertindak, yang ditujukan pada timbulnya akibat hukum atau karena pihak yang bertindak menunjukkan kepercayaan pada pihak lainnya, dimana kehendaknya itu tertuju pada terjadinya perjanjian (Herlien. B, 2015: 142). Syarat dari suatu tindakan hukum adalah kehendak yang tertuju pada suatu akibat hukum tertentu yang disampaikan dalam suatu pernyataan baik secara lisan maupun tertulis (Herlien. B, 2015: 443). Hal utama yang terkait dalam hukum adalah para pihak telah menyampaikan kehendaknya satu sama lain dengan cara apa pun, baik melalui bahasa atau tanda-tanda, lisan atau tertulis, langsung atau melalui pihak ketiga, dengan bantuan alat mekanis, gerak tubuh, sikap atau tindakan, perkataan � ya�, atau pada keadaan tertentu hanya dengan berdiam diri (A. S. Hartkamp, 2020: 120).

Namun demikian, terdapat kemungkinan dimana salah satu pihak menghendaki pernyataannya serta memahaminya sebagaimana pihak lawan telah memahaminya, namun tidak menginginkan akibat hukum dari pernyataannya itu. Dalam hal ini, seseorang menyatakan mengikatkan diri pada sesuatu, tetapi ungkapan batinnya tidak menghendaki akibat hukum dari pernyataannya itu, dimana ungkapan batinnya itu disembunyikannya dari pihak lawan atau dikenal dengan �reservatio mentalis� (A. S. Hartkamp, 2020: 157). Reservatio mentalis adalah ungkapan yang disampaikan secara ambigu guna memberikan kesempatan kepadanya untuk menginterpretasikan lagi komitmennya di kemudian hari agar sesuai dengan tujuan pribadinya (Alice Pinheiro Walla dalam Larry, 2018:197). Pihak tersebut pada dasarnya tidak berkehendak untuk mengadakan perjanjian yang dibuatnya, tetapi hal tersebut tidak sesuai dalam hukum. Hal ini mengingat hukum menyatakan bahwa pihak tersebut bertanggung jawab terlepas dari tidak adanya kehendak secara psikologis (Josef L. K, 1934:380). Salah satu pihak dalam perjanjian tidak dapat hanya bergantung pada reservasi mental untuk melarikan diri dari tanggung jawab kontraktualnya (Elsje Bonthuys, 2017:271).

Suatu perjanjian terjadi melalui pernyataan yang sesuai dengan kehendak yang sebenarnya dari para pihak dengan pengecualian bahwa dalam peristiwa tertentu, perjanjian juga dapat terjadi meskipun pernyataannya tidak mencerminkan kehendaknya dan juga apabila atas dasar keadaan-keadaan tertentu pihak lawan dapat mempercayai bahwa kehendak dan pernyataan tadi saling mendukung (A. S. Hartkamp, 2020: 132). Oleh karena itu, meskipun salah satu pihak melakukan reservatio mentalis, perjanjian tersebut tetap sah dan mengikat para pihak dalam perjanjian tersebut. Dengan kata lain, tidak dapat dilakukan pembatalan perjanjian dengan dalil adanya reservatio mentalis. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perjanjian ada karena adanya tindakan yang dilakukan dengan bantuan bahasa (Herlien. B, 2015: 144) baik lisan maupun tertulis. Pada prinsipnya, perjanjian terbentuk secara konsensual dan bukan formal (Herlien. B, 2015: 444).

Terkait Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 575/PDT/2020/PT.DKI jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 590/PDT.G/2018/PN.Jkt.Pst., Majelis Hakim perlu mempertimbangkan adanya relevansi reservatio mentalis dalam perkara ini. Hal ini mengingat pada awalnya pihak-pihak yang mengajukan permohonan pembatalan perjanjian dalam perkara tersebut telah menyatakan kehendaknya untuk menyetujui penawaran yang disampaikan oleh Para Tergugat. Adapun hal tersebut sebagaimana tertuang pada halaman 8 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 590/PDT.G/2018/PN.Jkt.Pst. yang menyatakan sebagai berikut:

�Karena mempercayai kredibilitas dari Tergugat 1 sebagai bagian dari kelompok usaha Reliance Power yang merupakan pemain besar dalam bidang usaha energi di India, �promosi� yang begitu menarik dari Tergugat 1 (melalui Tergugat 2), serta janji-janji keuntungan ekonomis, Penggugat 1 (bersama-sama dengan Penggugat 2 dan Penggugat 3) kemudian menyetujui untuk menjual saham-saham mereka kepada Tergugat 1�

 

Selain itu, para pihak dalam perkara tersebut secara sadar mengetahui dan sepakat bahwa perjanjian tersebut dibuat hanya dengan menggunakan bahasa asing. Para Penggugat menyadari sepenuhnya dan bertindak bahwa dirinya memiliki hubungan kontraktual dengan Para Tergugat berdasarkan perjanjian. Penggugat 1 juga menyatakan telah menerima keuntungan finansial dengan ditutupnya Perjanjian Jual Beli Saham. Hal tersebut sebagaimana tertuang pada halaman 13 (angka 31) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 590/PDT.G/2018/PN.Jkt.Pst. yang menyatakan sebagai berikut:

 

�Mengacu pada Pasal 2.2 tersebut, dapat dilihat bahwa nilai jual beli saham yang keseluruhannya adalah USD 200,000 (dua ratus ribu Dollar Amerika Serikat) yang sebelumnya telah diterima oleh Penggugat 1, ��

 

Lebih lanjut, Penggugat 1 menyatakan menyadari bahwa Perjanjian Jual Beli Saham hanya sebuah perjanjian pura-pura pada saat diminta menandatangani Agreement for Advances yang notabene dilaksanakan pada tanggal 4 Oktober 2010. Hal tersebut sebagaimana tertuang pada halaman 13 (angka 30) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 590/PDT.G/2018/PN.Jkt.Pst. yang menyatakan sebagai berikut:

 

�Dan sebagaimana kami uraikan pada poin 21, Penggugat baru menyadari bahwa SPA dimaksud hanyalah sebuah perjanjian pura-pura (proforma) pada saat Penggugat 1 diminta oleh Tergugat 1 (melalui Tergugat 2) untuk menandatangani Agreement for Advances.�

 

Berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa ketika ditandatanganinya Agreement for Advances pada tanggal 4 Oktober 2010, Para Penggugat sudah menyadari dan menyepakati dengan syarat dan ketentuan yang tertuang dalam perjanjian tersebut, terlepas dari adanya dalil Para Penggugat yang menyatakan bahwa perjanjian tersebut adalah perjanjian pura-pura. Oleh karena itu, Majelis Hakim seharusnya perlu memeriksa (melalui proses pembuktian) mengapa Para Penggugat baru mengajukan gugatan terkait permasalahan hukum ini pada tanggal 19 Oktober 2019, sementara Penggugat 1 sendiri secara nyata-nyata menyatakan telah menyadari kesepakatan tersebut pada tanggal 4 Oktober 2010. Dalam hal ini, perlu dibuktikan apakah Para Penggugat sebenarnya memang sepenuhnya menyadari dan menghendaki akibat hukum dari perjanjian-perjanjian yang telah dibuat dengan Para Tergugat atau apakah Para Penggugat sebenarnya dari awal tidak menghendaki akibat hukum yang menimbulkan kerugian baginya, sehingga bermaksud untuk membatalkan perjanjian-perjanjian tersebut, akan tetapi, karena terbentur dengan kondisi reservatio mentalis, maka digunakan dalil kewajiban penggunaan bahasa Indonesia sebagai dasar untuk membatalkan perjanjian tersebut.

Bahasa dan hukum memiliki keterkaitan, sebab bahasa merupakan media untuk menyusun hukum (Priskila. P. P, 2019:84), mengingat hukum hanya dapat diungkapkan dalam bahasa (Derek. R, 1992:57), yaitu baik dalam peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan maupun perjanjian atau kontrak.� Saat ini hukum dengan jelas merujuk setidaknya pada tindakan sosial atau ucapan, seperti pemberlakuan undang-undang, perintah pengadilan, putusan, pembebasan, dan pengampunan, begitu juga dengan pernikahan, kontrak, serta bukti material yang dapat ditemukan dalam dokumen dan arsip (Marianne. C., 2015:361). Pemahaman tentang aturan hukum pada intinya mengacu pada gagasan bahwa peraturan dan norma dapat dinyatakan dalam bahasa, baik secara tertulis maupun lisan (Peter M. T & Lawrence. M. S, 2012:3). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bahasa hanya merupakan media untuk menyampaikan suatu pernyataan dan bukan merupakan substansi dari suatu produk hukum, dalam hal ini termasuk perjanjian.

Sehubungan dengan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 575/PDT/2020/PT.DKI jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 590/PDT.G/2018/PN.Jkt.Pst., causa dari perjanjian-perjanjian yang terjadi antara Para Penggugat dan Para Tergugat pada pokoknya adalah mengenai jual beli saham milik Penggugat I, Penggugat II dan Penggugat III pada Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III. Adapun �isi� perjanjian tersebut, yaitu terkait jual beli saham, bukanlah merupakan suatu hal yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia. Sehingga dapat dikatakan bahwa Perjanjian Jual Beli Saham beserta perjanjian-perjanjian yang mengawali dan mengikuti perjanjian pokok tersebut pada dasarnya memenuhi prinsip �suatu sebab yang halal� sebagai syarat sahnya perjanjian.

Dengan demikian, kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 31 UU No. 24/2009 dan Perpres No. 63/2019 pada dasarnya adalah terkait formalitas dari suatu perjanjian. Dengan demikian, seharusnya ketentuan tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk membatalkan suatu perjanjian. Karena, pada dasarnya suatu perjanjian secara hukum tidak wajib dibuat secara tertulis. Dengan kata lain, fakta hukum bahwa para pihak dalam perkara ini telah melakukan proses negosiasi dan komunikasi mengenai kesepakatan jual beli saham telah mengikat mereka dalam suatu kesepakatan. Ditambah lagi, kesepakatan tersebut telah berjalan yang dapat dibuktikan dengan dibuatkannya perjanjian turunan dari perjanjian induk untuk mengakomodir kesepakatan para pihak serta Para Tergugat juga telah melakukan pembayaran di muka (advance payment) kepada Para Penggugat. Dengan demikian, perjanjian-perjanjian antara Para Penggugat dan Para Tergugat telah terlaksana.

Perjanjian yang dibuat dalam versi bahasa Inggris dalam perkara ini semata-mata hanya digunakan sebagai �media� bagi para pihak yang sebelumnya telah menyampaikan pernyataan kehendaknya mengenai jual beli saham yang mencerminkan maksud dan tujuan para pihak dalam mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. Selanjutnya, seandainya pun Perjanjian Jual Beli Saham serta perjanjian yang mengawali dan mengikuti perjanjian pokok tersebut dinyatakan tidak berlaku karena tidak memenuhi formalitas suatu perjanjian.

Di sisi lain dalam membuat suatu perjanjian, dikenal asas kebebasan berkontrak (Freedom of Contract) yang diatur dan dikenal dalam KUHPerdata. Pada pokoknya, asas ini memberikan kebebasan kepada para pihak yang berkontrak untuk bebas dalam mengadakan suatu perjanjian, sepanjang perjanjian itu dibuat secara sah dan beriktikad baik, serta tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Asas tersebut memberikan penjelasan bahwa setiap pihak dapat membuat perjanjian dengan isi apapun, termasuk menentukan bahasa yang digunakan dalam perjanjian tersebut.

UU No. 24/2009 dan Perpres No. 63/2019 memang memberikan persyaratan formal bahwa perjanjian yang melibatkan pihak Indonesia wajib dibuat dalam bahasa Indonesia. Namun demikian, tidak dipenuhinya persyaratan tersebut seharusnya tidak berpengaruh kepada keabsahan dan keberlakuan suatu perjanjian. Hal ini mengingat, perbuatan hukum terkait perjanjian tersebut tetap berlaku dan absah sekalipun syarat mengenai bentuk telah dilanggar (Herlien. B, 2015:449). Sekalipun ada cacat dalam pemenuhan syarat bentuk, tetap terbuka kemungkinan bahwa perjanjian yang dibuat dalam kondisi demikian sebagaimana adanya tetap berlaku dan absah (Ibid.: 451).

2.   Ambiguitas Dan Kontradiksi Dalam Ketentuan Terkait Kewajiban Penggunaan Bahasa Indonesia Dalam UU No. 24/2009 dan Perpres No. 63/2019

Dalam pertimbangan hukum Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 590/PDT.G/2018/PN.Jkt.Pst, Majelis Hakim mendalilkan sifat wajib dalam penggunaan bahasa Indonesia dengan merujuk pada ketentuan Pasal 31 UU No. 24/2009 dan Pasal 26 Perpres No. 63/2019. Hal mana sebagaimana tertuang pada halaman 76 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 590/PDT.G/2018/PN.Jkt.Pst. yang menyatakan sebagai berikut:

�Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 31 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 yang dipertegas dengan ketentuan Pasal 26 Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019, telah jelas ditentukan bahwa penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian yang antara lain, melibatkan perseorangan warga negara Indonesia adalah bersifat wajib�

Ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24/2009 telah menimbulkan sejumlah pertanyaan mendasar terkait kebebasan berkontrak, kesakralan perjanjian dan validitas perjanjian. Namun demikian, diterbitkannya Perpres No. 63/2019 tidak dapat memberikan jawaban terkait pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ketentuan Pasal 26 ayat (1) dan (2) Perpres No. 63/2019 hanya merupakan suatu penegasan mengenai persyaratan dimana nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan perseorangan warga negara Indonesia atau lembaga swasta Indonesia harus menggunakan bahasa Indonesia dan apabila ada pihak asing yang terlibat, nota kesepahaman atau perjanjian tersebut juga dapat ditulis dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.

Namun demikian, terdapat hal menarik dalam ketentuan Pasal 26 ayat (4) Perpres No. 63/2019 dimana ketentuan tersebut mengatur bahwa dalam nota kesepahaman atau perjanjian para pihak bebas memilih bahasa yang akan berlaku, dimana bahasa tersebut menjadi pedoman bagi para pihak jika ditemukan perbedaan penafsiran antara versi bahasa Indonesia dan versi bahasa asing. Hal ini tentunya kontradiktif dengan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Perpres No. 63/2019 yang mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan perseorangan warga negara Indonesia atau lembaga swasta Indonesia. Di satu sisi nota kesepahaman atau perjanjian wajib menggunakan bahasa Indonesia, sementara di sisi lain para pihak dalam perjanjian tersebut diperkenankan untuk memilih bahasa yang berlaku dalam perjanjian.

Ketidakjelasan yang paling utama sehubungan dengan kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam nota kesepahaman atau perjanjian pada dasarnya disebabkan oleh tidak jelasnya makna dari ketentuan Pasal 31 UU No. 24/2009 dan Pasal 26 ayat (1) Perpres No. 63/2019 itu sendiri. Adapun ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU No. 24/2009 menyatakan sebagai berikut:

 

�Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.�

Ketidakjelasan pertama yang dapat ditarik dari ketentuan tersebut adalah ruang lingkup keberlakuan ketentuan itu sendiri, dalam hal ini terkait pengertian kata �perjanjian� dalam ketentuan tersebut. Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU No. 24/2009 mencoba memberikan penjelasan terkait hal ini dengan menyatakan:

 

 

�Yang dimaksud dengan �perjanjian� adalah termasuk perjanjian internasional, yaitu setiap perjanjian di bidang hukum publik yang diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh pemerintah dan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain. Perjanjian internasional ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa negara lain, dan/atau bahasa Inggris. Khusus dalam perjanjian dengan organisasi internasional yang digunakan adalah bahasa-bahasa organisasi internasional.�

 

Namun demikian, Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU No. 24/2009 tersebut tidak dapat memberikan kepastian dan kejelasan apakah definisi �perjanjian� dalam ketentuan tersebut juga mencakup perjanjian komersial yang dilakukan oleh pihak swasta (private commercial agreement). Apabila merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (�UU No. 24/2000�), maka yang dimaksud dengan perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Lebih lanjut, perjanjian internasional tersebut dibuat oleh pemerintah dengan negara, organisasi internasional atau subjek hukum internasional lain. Berdasarkan hal tersebut, maka perjanjian komersial yang dilakukan oleh pihak swasta (private commercial agreement) bukan merupakan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU No. 24/2009. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terdapat ketidakjelasan apakah ketentuan ini juga dapat diaplikasikan pada perjanjian komersial yang dilakukan oleh pihak swasta (private commercial agreement).

Ketidakjelasan kedua terkait ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU No. 24/2009 dan Pasal 26 ayat (1) Perpres No. 63/2019 adalah mengenai bentuk perjanjian yang diatur dalam ketentuan tersebut, yaitu apakah perjanjian antara perseorangan warga negara Indonesia atau lembaga swasta Indonesia dengan warga negara atau badan hukum asing yang dibuat secara lisan (verbal) juga tunduk pada ketentuan ini. Hal ini mengingat adalah suatu hal yang umum bahwa suatu perjanjian tidak selalu harus dibuat secara tertulis. Dalam hal peraturan perundang-undangan tidak membuat ketentuan khusus yang bertentangan, dimana bukti tertulis dari perjanjian tidak secara tegas diperlukan, maka perjanjian tersebut adalah sah walaupun hanya dibuat secara lisan (Joseph, et al., 1860:857).

Lebih lanjut, hukum perjanjian Indonesia juga tidak mempersyaratkan bahwa suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertulis. Ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (�KUHPerdata�) menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Berdasarkan ketentuan tersebut maka perjanjian yang dibuat secara lisan juga merupakan perjanjian yang sah apabila para pihak telah sepakat untuk mengikatkan dirinya. Namun demikian, UU No. 24/2009 maupun Perpres No. 63/2019 sebagai peraturan pelaksananya tidak mengatur apakah ketentuan tersebut juga berlaku untuk perjanjian yang dibuat secara lisan (verbal).

Ketidakjelasan berikutnya terkait ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU No. 24/2009 dan Pasal 26 ayat (1) Perpres No. 63/2019 adalah sehubungan dengan terminologi �Warga Negara Indonesia� dalam ketentuan tersebut. Seharusnya terminologi ini diterjemahkan dengan merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (�UU No. 12/2006�). Hal ini menimbulkan suatu pertanyaan, yaitu bagaimana jika seseorang yang merupakan Warga Negara Indonesia tetapi tidak bisa berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia dan tidak mengerti bahasa Indonesia? Apakah perjanjian yang dibuat orang tersebut harus dibuat dalam bahasa Indonesia untuk mematuhi ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU No. 24/2009 tersebut, padahal orang tersebut sama sekali tidak mengerti bahasa Indonesia. Pertanyaan selanjutnya adalah terkait terminologi �Warga Negara Indonesia� dalam ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU No. 24/2009 ini adalah bagaimana jika seseorang Warga Negara Indonesia yang sejak dilahirkan telah berdomisili di luar wilayah Republik Indonesia dan bermaksud untuk membuat perjanjian dengan pihak asing di wilayah tempat tinggalnya tersebut? Apakah perjanjian tersebut juga harus dibuat dalam bahasa Indonesia?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentunya akan merujuk pada prinsip kebebasan berkontrak dan keseimbangan bagi para pihak dalam menutup suatu perjanjian. Suatu perjanjian seharusnya mengikat para pihak jika adanya kesepakatan bersama dari para pihak bahwa suatu hal tertentu harus dilakukan atau tidak dilakukan. Bagaimana mungkin seseorang dapat mengerti hal yang diperjanjikan jika orang tersebut tidak mengerti dan tidak berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang harus digunakan dalam perjanjian tersebut. Dalam kondisi seperti itu, tentunya tidak efektif dan tidak adil apabila orang tersebut membuat suatu perjanjian dengan warga negara asing di wilayah domisilinya yang terletak di luar Indonesia dan perjanjian tersebut harus dibuat dalam bahasa Indonesia. Padahal faktanya orang itu sendiri tidak berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dan tidak mengerti bahasa Indonesia.

Dengan demikian, penerapan ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24 untuk membatalkan perjanjian karena tidak menggunakan bahasa Indonesia tidak tepat. Hal ini mengingat, ketentuan-ketentuan tersebut bersifat ambigu, kontradiktif dan multi tafsir.

3.           UU No. 24/2009 dan Perpres No. 63/2019 Tidak Menentukan Sanksi Akibat Hukum Keperdataan Terhadap Perjanjian Yang Tidak Menggunakan Bahasa Indonesia

UU No. 24/2009 dan Perpres No. 63/2019 tidak mengatur akibat hukum dan/atau sanksi apa pun dalam hal ketentuan terkait kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam nota kesepahaman atau perjanjian tidak dipenuhi. Padahal, seharusnya kebatalan atau pembatalan suatu perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang, hanya dapat dibahas apabila hal tersebut memiliki keterkaitan dengan ketentuan undang-undang yang bersifat hukum memaksa (A. S. Hartkamp, 2020: 313).

Ketentuan undang-undang yang bersifat mengatur, selalu memiliki arti bahwa pembentuk undang-undang menetapkan suatu pengaturan yang dipandangnya sebagai sebagai patut dan bermanfaat bagi kepentingan para pihak, tanpa ada maksud pembentuk undang-undang memaksakan berlakunya (Ibid.). Suatu hukum memaksa meletakkan suatu perintah dari pembentuk undang-undang dan para pihak tidak boleh mengabaikan perintah ini atas ancaman saksi kebatalan atau pembatalan tindakan hukumnya (Ibid.). �

Untuk mengetahui apakah suatu undang-undang memiliki kekuatan hukum memaksa, maka harus dicari maksud pembentuk undang-undang dan jangkauan dari ketentuan undang-undang itu sendiri, dalam hal ini hukum perikatan adalah hukum yang mengatur (Ibid.:315).

Kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian sejatinya merupakan ketentuan terkait persyaratan bentuk perjanjian. Meskipun ada kesalahan bentuk, suatu perjanjian tetap terbuka kemungkinan bahwa perjanjian tersebut tetap berlaku dan absah. Selain itu, perjanjian yang mengandung cacat pada bentuknya tidak selamanya merugikan para pihak (Herlien. B, 2015:385-386).

Dengan demikian, keputusan Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 590/PDT.G/2018/PN.Jkt.Pst, untuk membatalkan Perjanjian Jual Beli Saham dan perjanjian-perjanjian terkait lainnya dalam perkara tersebut adalah tidak tepat. Hal ini mengingat UU No. 24/2009 dan Perpres No. 63/2019 tidak mengatur sanksi bahwa dalam hal suatu perjanjian tidak dibuat dengan menggunakan bahasa Indonesia, maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum.

B.  Potensi Hilangnya Makna Dalam Penerjemahan Terkait Kewajiban Penggunaan Bahasa Indonesia Dalam Perjanjian

Bahasa yang digunakan oleh para pelaku bisnis di dunia pada umumnya juga merupakan bahasa yang digunakan ketika mereka mengadakan perjanjian. Kontrol atas bahasa atau penggunaannya memberikan kemungkinan membentuk dan mengatur kelompok besar manusia (Thomasz. D. I. K, 2001:236). Lebih lanjut, tidak dapat dipungkiri bahwa substansi yang mendasari transaksi bisnis dalam ekonomi global dilakukan dalam bahasa Inggris (Volker. T. dalam Frances. O, 2009:147).

Dalam hal suatu perjanjian berkaitan dengan transaksi bisnis yang melibatkan negara lain, tentunya kemungkinan akan terjadi singgungan dengan sistem hukum negara tersebut yang menganut sistem hukum common law. Hal tersebut tentunya akan menimbulkan permasalahan karena tentunya terdapat terminologi-terminologi hukum dalam sistem hukum common law yang berbeda dengan system hukum civil law yang dianut oleh Indonesia yang tentunya tidak dapat serta merta diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ataupun sebaliknya.

Oleh karena itu, apabila perjanjian diharuskan menggunakan bahasa Indonesia, tentunya hal tersebut akan menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang tidak mengetahui dan tidak memahami mengenai penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian dan akhirnya akan menimbulkan sengketa bagi para pihak kemudian hari.

Selain itu, patut diduga pula akan terjadi konsensus palsu apabila salah satu pihak tidak mengerti bahasa yang dipergunakan dalam perjanjian atau memiliki penafsiran yang berbeda terhadap makna bahasa dalam perjanjian tersebut. Konsensus palsu menyebabkan salah satu pihak seolah-olah mempercayai bahwa pihak lain memiliki pemahaman yang sama dengannya (Robert. P., 2003:364). ��

Lebih lanjut, merujuk pada asas kebebasan berkontrak, maka para pihak dalam perjanjian bebas untuk menentukan isi dari perjanjian yang dibuatnya. Dalam hal ini, tentunya para pihak juga dapat menentukan hukum yang berlaku dalam perjanjian tersebut. Sehubungan dengan hal ini, maka tidak tepat jika perjanjian wajib dibuat dengan bahasa Indonesia, padahal misalnya para pihak dalam perjanjian tersebut memilih hukum Inggris sebagai hukum yang mengatur perjanjian tersebut. Tentunya hal tersebut akan menjadi kendala di kemudian hari jika para pihak mengalami perselisihan hukum terkait pelaksanaan perjanjian tersebut.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa: (i) tidak dibuatnya suatu perjanjian dengan menggunakan bahasa Indonesia, tidak mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum dengan pertimbangan hukum bahwa perjanjian tersebut tidak memenuhi causa yang halal sebagai syarat suatu perjanjian; dan (ii) pelanggaran terhadap ketentuan terkait kewajiban penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No. 24/2009 Perpres No. 63/2019 merupakan syarat formil dan karenanya tidak dapat diterapkan sebagai dasar pembatalan perjanjian terlebih perjanjian yang dibuat sebelum adanya peraturan perundang-undangan tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Budiono, Herlien. (2015). Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia (Hukum Perjanjian Berdasarkan Asas-Asas Wigati). Bandung: Pt Citra Aditya Bakti.

 

Budiono, Herlien. (2001). Het Evenwichtsbeginsel Voor Het Indonesisch Contractenrecht. Holland: Diss Leiden.

 

Chitty, Joseph, Et Al. (1860), A Treatise On The Law Of Contracts And Upon The Defences To Actions Thereon. Springfield: George And Charles Merriam.

 

Fuady, Munir. (2002). Pengantar Hukum Bisnis. Bandung: Pt Citra Aditya Bakti.

 

Garner, Bryan A. (2009). Black�s Law Dictionary. Minnesota: West Publishing Co.

 

Hartkamp. A. S., (2020). Hukum Perikatan: Ajaran Umum Perjanjian. Terjemahan Rachmad Setiawan. Bandung: Yrama Widya.

 

Kosasih, Johannes Ibrahim. (2019). Kausa Yang Halal Dan Kedudukan Bahasa Indonesia Dalam Hukum Perjanjian. Cet. 1. Jakarta: Sinar Grafika.

 

Krasnoff, Larry, Nuria S�nchez Madrid And Paula Satne. (Eds.). (2018). Kant's Doctrine Of Right In The 21st Century. Cardiff: University Of Wales Press.

 

Olsen, Frances, Alexander Lorz And Dieter Stein (Eds). (2009). Translation Issues In Language And Law. Hampshire: Palgrave Macmillan.

 

Prodjodikoro, Wirjono. (2017). Azas-Azas Hukum Perjanjian. Cet. 9. Bandung: Cv. Mandar Maju.

 

Satrio, Juswito. (2019). Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku 2. Cet.2. Bandung: Pt. Citra Aditya Bakti.

 

Subekti. (2014). Aneka Perjanjian. Cet. 11. Bandung: Pt. Citra Aditya Bakti.

 

Subekti. (2005). Hukum Perjanjian. Cet. 21. Jakarta: Intermasa.

 

Tiersma, Peter M, Solan, Lawrance. M. (Eds). (2012). The Oxford Handbook Of Language And Law. New York: Oxford University Press.

 

Bonthuys, Elsje. (2017). Proving Express And Tacit Universal Partnership Agreements In Unmarried Intimate Relationships. South African Law Journal, Vol. 134, No. 2, 263-273.

 

Constable, Marianne. (2015). Speaking Imperfectly: Law, Language, And History. Uc Irvine Law Review 5, No. 2, 349-364.

 

Kunz, Josef. L. (1934). The Vienna School And International Law. New York University Law Quarterly Review 11, No. 3, 370-422.

 

Roebuck, Derek. (1992). Language, Law And Truth. Asia Pacific Law Review 1, No. 1, 51-63.

 

Penasthika, Priskila. P. (2019). The Mandatory Use Of National Language In Indonesia And Belgium: An Obstacle To International Contracting?. Indonesia Law Review, Vol. 9, No. 2, 83-107.

 

Kamusella, Thomasz D. I. (2001). Language As An Instrument Of Nationalism In Central Europe. Nations And Nationalism 7, No. 2, 235-251.

 

Prentice, Robert. (2003). Contract-Based Defenses In Securities Fraud Litigation: A Behavorial Analysis. University Of Illinois Law Review, Vol. No.2, 337-422.

 

Sugiyono, & Susanto, Agus. (2017). Cara Mudah Belajar Spss & Lisrel (Teori Dan Aplikasi Untuk Analisis Data Penelitian). Bandung: Alfabeta.

Copyright holder:

Frangki Boas Rajagukguk�

(2022)

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

This article is licensed under: