Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN:
2548-1398
Vol.
7, No. 6, Juni 2022
KEDUDUKAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL DALAM PEMBATALAN
HAK GUNA USAHA ATAS TANAH TERLANTAR
Fida Adhiati, Achmad
Busro
Universitas Diponegoro Semarang, Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Adanya kasus
HGU PT. Sinar Kartasura
yang tidak digunakan sesuai peruntukanya sehingga menjadi tanah terlantar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 Tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk
menganalisis kedudukan Badan Pertanahan
Nasional dalam penerbitkan surat keputusan pembatalan hak guna usaha atas
tanah terlantar PT. Sinar Kartasura dan akibat dan status hukum pengelolaan tanah HGU setelah dibatalkan namun kemudian dimanfaatkan secara komunal oleh warga. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian yuridis normatif, dengan spesifikasi penelitian
deskriptif analitis. Hasil penelitian ini yaitu (1) kedudukan BPN dalam menerbitkan SK pembatalan HGU didasarkan pada putusan pengadilan
yang sudah berkekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde)
yang amarnya memerintahkan
agar BPN melaksanakan pembatalan
terhadap HGU karena diterlantarkan. (2) HGU PT. Sinar Kartasura Semarang setelah dibatalkan oleh negara berakibat
pada pemutusan hubungan hukum antara PT. Sinar Kartosuro dengan objek tanah
HGU tersebut sehingga PT. Sinar Kartasura Semarang tidak dapat lagi
mengelola atas tanah tersebut.
Kata Kunci: pembatalan; tanah terlantar
Abstract
There is a case of usufructuary rights of PT. Sinar
Kartosuro not used according to its designation so
that it becomes abandoned land based on Government Regulation Number 20 of 2021
concerning Controlling Areas and Abandoned Land. The purpose of this study is
to analyze the position of the National Land Agency in issuing the decision
letter for the cancellation of the right to cultivate the abandoned land of PT.
Sinar Kartasura and the
consequences and legal status of land use rights after being canceled but later
used communally by residents. This study uses a normative juridical research
approach, with descriptive analytical research specifications. The results of
this study are (1) the position of BPN in issuing a decree for the cancellation
of the right of cultivation is based on a court decision that has permanent
legal force which instructs BPN to carry out the cancellation of the right of
cultivation because it is neglected. (2) usufructuary rights of PT. Sinar Kartasura Semarang after
being canceled by the state resulted in the termination of legal relations
between PT. Sinar Kartosuro
with the object of land use rights so that PT. Sinar Kartasura Semarang can no longer manage the land.
Keywords: cancellation; abandoned
land
Pendahuluan
Setiap kegiatan
baik secara langsung maupun tidak langsung yang dilakukan oleh manusia tidak terlepas dengan tanah. Tak
terkecuali pada saat manusia meninggal dunia masih memerlukan tanah untuk penguburannya.
Tanah bagi kehidupan manusia sangat strategis karena berdimensi sangat luas yang meliputi dimensi sosial, ekonomi, budaya, politik, produksi dan dimensi pertahanan dan keamanan (Wahanisa & Niravita, 2015).
Indonesia merupakan negara yang berlatar
belakang sebagai negara agraris sehingga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tanah merupakan sesuatu yang sangat bernilai.
Tanah berfungsi sebagai tempat dimana warga
masyarakat bertempat tinggal dan tanah juga memberikan penghidupan baginya (Soekanto & Taneko, 2001).
Adapun dasar
hukum pertanahan Indonesia diatur dalam Undang-undang
Nomor 5 tahun 1960 Tentang Pengaturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Secara substansial, pemerintah memiliki kewenangan untuk mengatur bidang pertanahan terutama mengenai pemanfaatan tanah. Kewenangan pemerintah terhadap tanah didasarkan pada ketentuan Paal 2 ayat (2) yaitu kewenangan untuk mengatur peruntukan, penggunaan tanah, persediaan, pemeliharaan tanah maupun mengenai hubungan hukum antara orang dengan tanah atau hubungan
hukum antara orang dengan perbuatan hukum mengenai tanah.
Sejak mulai
berlakunya UUPA sampai dengan era reformasi saat ini, berbagai permasalahan
tanah masih terus berlangsung, salah satunya ialah permasalahan
dalam pemberian status Hak Guna Usaha oleh Pemerintah. Berdasarkan catatan laporan dari Non Goverment Organization (NGO) yakni Forest Watch
Indonesia (FWI) sebagai organisasi
jaringan yang peduli terhadap pemantauan hutan-hutan di Indonesia bahwa
pada tahun 2019 dari total
4,3 juta hektare lahan HGU, hanya 2,8 juta hektare yang digunakan untuk perkebunan dan 1,3 juta hektare tidak digunakan
sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian hak atau
dasar penguasaannya (Bayu, 2019). Apalagi melihat kondisi saat ini di Indonesia khususnya kondisi geografis tanah, terdapat ketidak seimbangan antara persediaan tanah dengan permintaan tanah untuk kegiatan
yang dilakukan oleh masyarakat.
Untuk itu diperlukan kebijakan pemerintah yang arif dan bijaksana dalam menyelesaikan permasalahan pertanahan ini, disamping melakukan Law
Enforcement.
Salah satu contoh kasus masalah
sengketa tanah dengan status Hak Guna Usaha yaitu PT. Sinar Kartasura yang sebelum tanggal 29 Januari 2001 memiliki HGU dan berhak mengelola atas lahan 198 Ha yang terletak di Desa Candi dan Desa Kenteng, Kecamatan Bandungan (dahulu Ambarawa), Kabupaten Semarang. Namun, sejak tahun
2001 Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia (BPN RI) menerbitkan Surat Keputusan tentang Pembatalan HGU tersebut dengan alasan bahwa PT Sinar Kartasura tidak secara optimal memanfaatkan tanahnya sesuai dengan maksud
pemberian perpanjangan haknya.
Adanya pembatalan
Hak Guna Usaha PT. Sinar Kartasura, warga desa sekitar memanfaatkan
tanah terlantar tersebut hingga berlangsung dalam jangka waktu lama. tanah tersebut mulai digarap kembali
oleh masyarakat sekitar
yang mayoritas merupakan
para petani sejak sebelum terjadinya pemberian status HGU kepada PT. Sinar Kartasura dan masyarakat setempat secara komunal menggunakan dan melakukan pengelolaan menjadi tempat wisata. Akan tetapi, masyarakat yang mendiami tanah eks hak guna
usaha merasa bahwa, penguasaan secara fisik belum
memberikan perlindungan hukum yang kuat tanpa disertai penguasaan secara yuridis, oleh sebab itu perlu kebijakan
yang tepat dari pemerintah untuk menghindari terjadinya ketimpangan penguasaan atas tanah.
Teori hukum
yang digunakan untuk menganalisis kedudukan Badan Pertanahan Nasional dalam penerbitkan surat keputusan pembatalan hak guna usaha
atas tanah terlantar PT. Sinar Kartasura yaitu teori kepastian hukum. Dalam hal
ini, kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan. Hukum secara hakiki harus adil
dan pasti. Pasti merupakan sebagai pedoman kelakukan dan adil karena pedoman
kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat
adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum
dapat menjalankan fungsinya. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara
normatif, bukan sosiologi (Rato, 2010).
Keberlakuan hukum dalam masyarakat harus memperhatikan kepastian hukum didalamnya agar hukum tersebut diterima oleh masyarakat. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten, dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi
oleh keadaan-keadaaan yang sifatnya
subjektif.
Berdasarkan latar belakang
di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana kedudukan Badan Pertanahan
Nasional dalam penerbitkan surat keputusan pembatalan hak guna usaha atas
tanah terlantar PT. Sinar Kartasura? dan (2) bagaimana akibat dan status hukum pengelolaan tanah Hak Guna Usaha setelah dibatalkan namun kemudian dimanfaatkan secara komunal oleh warga?
Hasil studi
penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini sebagai orisionalitas penelitian diantaranya yaitu penelitian (Arvita, 2016)
yang menganalisis kedudukan
Badan Pertanahan Nasional dalam
menghadapi problematik putusan non-executable PTUN tentang
pembatalan sertipikat hak atas tanah.
Kemudian (Wisnuwardhani, 2013)
yang mengkaji model penataan
yuridis tanah terlantar (studi Kasus Tanah-Tanah Terlantar di Kabupaten Malang). Penelitian (Sari, 2019)
hanya menganalisa objek tanah terlantar
atas hak guna usaha (HGU) perkebunan di Kabupaten Kutai Timur. Ketiga penelitian
terdahulu tersebut memiliki perbedaan dengan penelitian ini yaitu pada aspek fokus/tujuan penelitian, lokasi dan metode penelitian.
Penelitian ini
mempunyai perbedaan dengan jurnal atau
dengan penelitian-penelitian
diatas. Penelitian ini membahas mengenai
kedudukan Badan Pertanahan
Nasional dalam penerbitkan surat keputusan pembatalan hak guna usaha atas
tanah terlantar PT. Sinar Kartasura dan akibat dan status hukum pengelolaan tanah HGU setelah dibatalkan namun kemudian dimanfaatkan secara komunal oleh warga.
Metode Penelitian
Penelitian ini
menggunakan pendekatan yuridis normatif yang didasarkan
pada data sekunder dengan bersumber dari beragam peraturan perundnagan, keputusan dari pengadilan, teori-teori hukum maupun pendapat ahli hukum (Sunggono, 2015).
�Spesifikasi penelitian
yang digunakan yaitu deskriptif analitis dengan tujuan untuk
mendeskripsikan secara sistematis dan akurat tentang fakta dan sifat atau karakteristik
dari populasi wilayah tertentu (Sugiyono, 2015).
Pada penelitin deskriptif analitis digunakan untuk memberikan gambaran atau deskripsi
serta menjawab persoalan penelitian yaitu kedudukan Badan Pertanahan Nasional dalam penerbitkan surat keputusan pembatalan hak guna usaha
atas tanah terlantar PT. Sinar Kartasura.
Jenis data utama
dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari studi kepustakaan
dengan cara peneliti menelaah atau mempelajari berbagai buku hukum,
perundang-undangan terkait dengan permasalahan penelitian. Data sekunder pada penelitian ini berasal dari
bahan hukum primer, sekunder maupun tersier. Bahan hukum primer berasal dari Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun
1945; Undang-undang Nomor 5
tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah; Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun
2021 Tentang Penertiban
Kawasan dan Tanah Terlantar; dan Peraturan Menteri Agraria dan
Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan
Republik Indonesia Nomor 20
tahun 2021 tentang Tata cara Penertiban dan Pendayagunaan Kawasan dan Tanah Telantar.
Pengumpulan data sekunder pada penelitian ini yaitu melalui
studi kepustakaan dan studi dokumen. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara menelaah dan menganalisis bahan kepustakaan yang meliputi buku, jurnal, artikel termasuk pustaka online yang berkaitan dengan permasalahan penelitian (Iskandar, 2013).
Sedangkan studi dokumen, dilakukan dengan mengidentifikasi dan menelaah peraturan perundang-undangan serta dokumen hokum secara resmi sebagai bahan
hukum pokok bagi penelitian hukum normative ini (Hidayat, 2011).
Analisis data dilakukan
secara kualitatif melalui penelaahan logika berpikir secara deduktif (Amiruddin & Asikin, 2015)
yaitu peneliti membuat kesimpulan mulai dari hal-hal
yang sifatnya umum menuju hal yang sifatnya khusus sebagaimana pada penelitian
normative yang menjadikan metode
deduktif sebagai pegangan utama. Selain itu, analisis
data yuridis normative yang dilakukan
peneliti memiliki beberapa tahapan diantaranya yaitu (1) data sekunder dan data hukum positif lainnya dirumuskan asas-asas hukumnya, (2) merumuskan pengertian hukum yang berkaitan dengan permasalahan penelitian, (3) membentuk standar hukum yang berlaku terkait dengan masalah penelitian dan (4) kendala hukum yang ditemui dirumuskan secara rinci dan jelas (Amiruddin & Asikin, 2015).
Hasil dan Pembahasan
1. Kedudukan Badan Pertanahan Nasional Dalam Penerbitkan Surat Keputusan
Pembatalan Hak Guna Usaha
Atas Tanah Terlantar PT. Sinar
Kartasura
PT. Sinar
Kartosuro adalah pemilik yang sah atas Hak Guna Usaha No.1/Candi,
Gambar Situasi tanggal 8 Agustus 1973, No. 676/1973 seluas
742.000 M2 dan Hak Guna Usaha No. 1/Kenteng, Gambar Situasi tanggal 8 Agustus 1973, No.
677/1973, seluas 1.238.000 M2, atas
nama PT. Sinar Kartasura. Total tanah milik pemegang hak HGU No. 1/Candi dan HGU No. 1/Kenteng
adalah seluas 198 Ha. Kepemilikan PT. Sinar Kartosuro atas tanah objek tanah
HGU tersebut yang berlangsung
sejak tahun 1973 dan berlaku untuk 25 tahun. Sejak PT. Sinar Kartosuro memperoleh HGU tersebut kemudian memanfaatkan tanah untuk kegiatan
pertanian atau kegiatan peternakan berupa tanaman sereh wangi: 74,20 Ha; Rumput padang penggembalaan untuk 400 ekor sapi: 54,00 Ha; Emplasemen: 1,50
Ha; Tanaman kopi: 4,00 Ha; Tanaman
rumput king grass dan kandang:
46,80 Ha ; lainnya dan jurang: 17,48 Ha.
Pada awalnya,
sertipikat HGU No. 1/Candi dan Sertifikat
HGU No. 1/Kenteng adalah sertifikat yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Semarang berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. SK.
37/HGU/DA/73, tanggal 24 Mei 1973. Kemudian perpanjangan HGU dilakukan pada tahun 1998 oleh
BPN melalui Surat Keputusan Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Tengah No.
SK.540.2/429/1/401/33/98, tanggal 5 Juni 1998 yaitu tanah HGU telah diperpanjang sampai dengan tanggal 31 Desember 2023. Akan tetapi karena adanya indikasi
HGU tersebut menjadi tanah terlantar maka HGU PT. Sinar Kartosuro kemudian dibatalkan oleh Badan Pertanahan
Nasional.
Tanah dengan
status Hak Guna Usaha milik
PT. Sinar Kartasura dibatalkan melalui penerbitan SK Pembatalan HGU berdasarkan Surat Keputusan Kantor wilayah BPN nomor 6-V-2001 tertanggal 29 Januari 2001 tentang pembatalan hak guna usaha tersebut.
PT. Sinar Kartosuro atas SK Pembatalan HGU tersebut telah mengajukan gugatan di PTUN
Jakarta untuk pembatalan SK
tersebut. Hasil putusan
PTUN Jakarta Pada tanggal 21 Juni
2011 tersebut yaitu Putusan No.022/G.TUN/2001/PTUN-JKT yang isinya
mengabulkan gugatan PT. Sinar Kartasura, sampai pada tinggat Banding di
PTTUN Jakarta dengan putusan
No. 175/B/PT.TUN-JKT pada tanggal 9 Januari 2002 yang isinya tetap menguatkan PTUN Jakarta. Putusan berbalik arah pada tingkat kasasi yaitu melalui
Putusan Mahkamah Agung Nomor 03 PK/TUN/2009 yang pada intinya
yaitu (1) mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi
I, II: Wakil Kepala Badan Pertanahan
Nasional, PT Kereta Api
(Persero); (2) menyatakan batal
putusan PTUN, PTTUN Jakarta. Atas putusan
kasasi tersebut kemudian PT. Sinar Kartasura mengajukan Peninjauan Kembali (PK) namun permohonan tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung.
Kewenangan Pengelolaan
terhadap tanah negara bekas hak yaitu
tanah eks Hak Guna Usaha atas nama PT. Sinar Kartasura adalah kewenangan otoritas pertanahan yaitu Kementerian Atr/BPN. Dalam hal ini sesuai
dengan Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 yaitu �Penetapan Tanah Telantar dilakukan oleh Menteri berdasarkan usulan penetapan Tanah Terlantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27�. Penetapan tanah terlantar atas tanah HGU PT. Sinar Kartosuro dilakukan melalui pembatalan HGU berdasarkan Putusan PTUN dan
PERDATA sebagai perlaksanaan
putusan Ka BPN 6-V-2001 dengan
berbagai pertimbangan yang berasal dari:
1) Surat Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Kabupaten
Semarang tanggal 20 Juli
1999 No. 570.1/1588/33/99 dan 10 Januari 2001 No.
500/25/33/2001;
2) Surat Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten
Semarang tanggal 03 Januari
2001 No. 500/17/2001;
3) Kepala Kejaksaan
Tinggi Jawa Tengah selaku
Kuasa Hukum PT. Kerata Api
Indonesia tanggal 16 Maret
1998 Nomor B-233/P.3/Gph/3/1998 dan tanggal 05 Mei 1999 No. B.233/T.3/Gph/05/199;
4) Surat Bupati
Semarang tanggal 08 Januari
2001 Nomor 590/00074 tentang
Pengelolaan Tanah Kurang Optimal;
5) Keberatan dari
masyarakat/ petani Desa Candi dan Desa Kenteng terhadap Perpanjangan Pemberian Hak Guna Usaha No. 1/ Candi dan No. 1/ Kenteng.
Analisis peneliti
terhadap permasalahan pertama mengenai penetapan status tanah terlantar atas Hak Guna Usaha PT. Sinar Kartasura Semarang sesuai teori kepastian dan keadilan hukum yaitu PT. Sinar Kartosuro yang telah memiliki hak atas
tanah sejak tahun 1973 setelah dikeluarnya Sertifikat HGU No.
1/Candi dan Sertifikat HGU No. 1/Kenteng,
yang berlaku untuk 25 tahun, sejak tanggal
8 Agustus 1973. Dalam hal ini, sesuai
teori kepastian hukum menurut Gustav Radbruch bahwa keadilan dan kepastian hukum merupakan bagian-bagian yang tetap dari hukum yang harus diperhatikan, kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dan ketertiban suatu negara sehingga hukum positif harus
selalu ditaati (Huijbers, 1982).
Berdasarkan teori kepastian hukum dan nilai yang ingin dicapai yaitu nilai
keadilan dan kebahagiaan, maka sertifikat HGU atas nama PT. Kartosuro
yang dikeluarkan oleh Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten
Semarang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. SK. 37/HGU/DA/73, tanggal
24 Mei 1973 sebagai tanda bukti sah atas
haknya untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah. Kepastian hukum yang hendak diwujudkan dalam kepemilikan sertifikat HGU ini, meliputi kepastian status hak yang didaftar, kepastian subyek hak, dan kepastian objek hak.
Pendaftaran HGU oleh PT. Sinar Kartosuro di tahun 1973 untuk memanfaatkan obyek tanah sebagai perkebunan
ini juga sejalan dengan teori kepastian
hukum. Dalam hal ini, (Santoso, 2010)
menyebutkan bahwa dengan adanya pendaftaran
seperti HGU maka memungkinkan bagi pemegang hak atas
tanah untuk dengan mudah membuktikan
hak atas tanah yang dikuasainya dan baik pihak yang berkepentingan untuk memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai tanah yang menjadi objek perbuatan hukum yang akan dilakukan serta bagi pemerintah untuk melaksanakan kebijakan pertanahan.
Kepemilikan HGU PT. Sinar Kartosuro dalam teori kepastian
hukum menurut Utrecht mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu
mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh
dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu
dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan
yang bersifat umum itu individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu (Syahrani, 2009).
Dalam hal ini, PT. Sinar Kartosuro dapat melakukan perbuatan yang boleh atau tidak
boleh sebagaimana yang tercamtum dalam HGU yaitu untuk perkebunan.
Kepastian hukum
yang diperoleh dari sertifikat termasuk HGU atas nama PT. Sinar
Kartosuro mengandung makna bahwa hukum
hanya memberikan jaminan atas bukti
hak kepemilikan tersebut kepada PT. Sinar Kartosuro (Sutedi, 2006).� Sertifikat HGU yang
diperoleh dalam pendaftaran hak atas tanah oleh PT. Sinar Kartosuro mampu memberikan kekuatan akan berlakunya,
karena sertifikat sangat penting dalam hal
memberikan kepastian hukum bagi PT. Sinar Kartosuro sebagai nama tercantum
dalam sertifikat; pemberian sertifikat HGU ditujukan untuk mencegah terjadinya sengketa lahan; dan PT. Sinar Kartosuro dapat melakukan tindakan hukum atas objek yang tercantun dalam sertifikat sepanjang sesuai dengan aturan
hukum yang berlaku.
Kepemilikan HGU kepada
PT. Sinar Kartosuro sesuai ketentuan dalam Pasal 4 UUPA yaitu: �Berdasarkan hak menguasai dari
negara seperti ditegaskan dalam Pasal 2 UUPA, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang
lain maupun badan-badan hukum.
�Jadi menurut ketentuan pasal tersebut PT. Sinar Kartosuro mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh hak atas tanah,
untuk mendapat manfaat dan hasilnya. Sebagai konsekuensinya maka negara berkewajiban memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak atas
tanah tersebut, sehingga PT. Sinar Kartosuro yang memiliki hak tersebut dapat
mempertahankan haknya.
2. Akibat Dan Status Hukum Pengelolaan Tanah Hak Guna Usaha Setelah Dibatalkan Namun Kemudian Dimanfaatkan Secara Komunal Oleh Warga
Penelantaran tanah
merupakan salah satu tindakan yang dapat menurunkan kesuburan tanah sehingga berdampak pada kualitas lingkungan, hal tersebut bertentangan dengan amanat Pasal
15 UUPA tersebut, yang menyatakan
bahwa sudah menjadi sebuah kewajiban bagi pihak yang mempunyai hubungan hukum sesuai dengan hak
yang diberikan atas tanah tersebut dengan tanah untuk
memelihara serta menambah kesuburan tanah. Termasuk hak atas tanah
dengan Hak Guna Usaha (HGU
PT. Sinar Kartosuro).
Hasil penelitian
ini menemukan bahwa adanya putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atas
kasus penelantaran tahan HGU atas nama PT. Sinar Kartasura yaitu Surat Keputusan
Kantor Wilayah BPN Jawa Tengah nomor
5-V-2001 dengan diperkuat
oleh Putusan Mahkamah Agung
Nomor 03 PK/TUN/2009 maka sesuai degan ketentuan
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas
Tanah, Pasal 17 ayat (2) bahwa hapusnya Hak Guna Usaha mengakibatkan tanahnya menjadi Tanah Negara.
HGU PT. Sinar Kartasura Semarang setelah dibatalkan oleh negara berakibat pada pemutusan hubungan hukum antara PT. Sinar Kartosuro dengan objek tanah HGU tersebut sehingga PT. Sinar Kartasura Semarang tidak dapat lagi
mengelola atas tanah tersebut. Oleh karena itu, saat
ini status hukum tanah HGU PT. Sinar Kartasura Semarang adalah dikuasai kembali oleh Negara. Temuan penelitian ini sesuai dengan
Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 yaitu:
1) Dalam hal
tanah yang akan ditetapkan sebagai Tanah Telantar berupa tanah hak atau
tanah Hak Pengelolaan dan merupakan keseluruhan hamparan, penetapan Tanah Telantar memuat juga:
a) hapusnya Hak
Atas Tanah atau Hak Pengelolaan;
b) putusnya hubungan
hukum; dan
c) penegasan sebagai
tanah negara bekas Tanah Telantar yang dikuasai langsung oleh negara.
2) Dalam hal
tanah yang akan ditetapkan sebagai Tanah Telantar berupa tanah hak atau
tanah Hak Pengelolaan dan merupakan sebagian hamparan, penetapan Tanah Telantar memuat juga:
a) hapusnya Hak
Atas Tanah atau Hak Pengelolaan pada bagian yang ditelantarkan;
b) putusnya hubungan
hukum antara Pemegang Hak atau
Pemegang Hak Pengelolaan dengan bagian tanah yang ditelantarkan;
c) penegasan sebagai
tanah negara bekas Tanah Telantar yang dikuasai langsung oleh negara terhadap bagian tanah yang ditelantarkan; dan
d) perintah untuk
melakukan revisi luas Hak Atas Tanah atau Hak Pengelolaan
3) Dalam hal
tanah yang akan ditetapkan sebagai Tanah Telantar merupakan tanah yang telah diberikan Dasar Penguasaan Atas
Tanah, penetapan Tanah Telantar
memuat juga:
a. �pemutusan hubungan hukum antara pemegang Dasar Penguasaan Atas Tanah dan tanah
yang dikuasai; dan
b. penegasan sebagai
tanah negara bekas Tanah Telantar yang dikuasai langsung oleh Negara
Adanya keputusan
Penetapan Tanah Terlantar
HGU PT. Sinar Kartosuro
Semarang maka berakibat
pada hapusnya hak atas tanah, pemutusan
hubungan hukumnya, dan sekaligus menegaskan bahwa tanah dimaksud
dikuasai langsung oleh
negara (Pasal 60 Peraturan
Menteri ATR/BPN Nomor 20 tahun
2021). Tanah negara, ialah tanah
yang dikuasai penuh oleh
negara Tanah Negara� menunjukan suatu
status hubungan hukum. Berubahnya status HGU menjadi tanah negara ini juga sesuai dengan pendapat
bahwa ruang lingkup tanah negara diantaranya yaitu tanah-tanah yang ditelantarkan atau tanah hak
yang berakhir jangka waktunya (Sumardjono, 2001).
Tanah bekas
HGU PT. Sinar Kartosuro sejak dibatalkan HGU nya oleh pemerintah yaitu sejak tahun
2000an telah dikuasai oleh warga Desa Candi dan Desa Kenteng untuk
ditanami sayur-sayuran karena merupakan tanah terlantar. Para petani yang tergabung dalam P3TR (Paguyuban Petani Penggarap Tanah Rakyat) telah berjuang sejak tahun 2000 guna mendapatkan hak. Khususnya hak atas lahan
eks hak huna
usaha (HGU) PT Sinar Kartasura, sebab hingga saat ini
tanah seluas sekitar 100 hektar lebih itu dikuasai
petani untuk dijadikan lahan bercocok tanam dan selama ini petani
juga tidak pernah nunggak pajak. Bahkan pembayaran pajaknya juga jauh lebih besar dari
pada sebelum lahan eks HGU PT. Sinar Kartasura ini dikelola
warga. Petani sudah meminta rekomendasi
kepada Bupati Semarang untuk bisa mendapatkan
sertifikat, namun prosesnya masih belum selesai hingga
kini.
Lahan perkebunan
HGU tersebut memiliki batas waktu kepemilikan
oleh PT. Sinar Kartosuro
dan pada akhirnya akan dapat beralih. Hal ini sesuai dengan
teori terkait dengan sifat dan ciri HGU yaitu dapat beralih dan dialihkan, jangka waktunya terbatas, artinya pada suatu waktu pasti berakhir
dan dapat dilepaskan oleh pemegang hak, sehingga
tanahnya menjadi milik negara. HGU yaitu tergolong hak yang kuat; dapat beralih;
jangka waktunya terbatas; dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani
hak tanggungan; dapat dialihkan kepada pihak lain; dapat dilepaskan oleh empunya dan hanya dapat diberikan untuk keperluan pembangunan bangunan-bangunan (Zumrokhatun & Darda, 2013).
Oleh karena itu setelah menjadi lahan terlantar, dan belum beralih menjadi
hak milik warga maka status tanah tersebut menjadi tanah negara.
Berdasarkan konsep
teori keadilan yang dapat membedakan keadilan ke dalam
dua kategori, yaitu keadilan substantif dan keadilan prosedural. Keadilan substantif dan keadilan prosedural idealnya harus berjalan selaras, serasi serta berimbang. Pengertian keadilan secara subtansi dapat diartikan bahwa kebenaran adanya penelantaran tanah secara fisik
tidak dipergunakan, tidak diusahakan, atau tidak dimanfaatkan
sesuai dengan sifat atau keadaan
dan tujuannya pemberian hak atau dasar
penguasaannya oleh PT. Sinar
Kartosuro. Hakim mengetahui
secara fisik adanya pelantaraan tanah, akan tetapi
aspek prosedur dalam membuat keputusan
penetapan tanah terlantar tidak ditaati, yang menyebabkan pembatalan dan pencabutan surat keputusan. Implikasi penetapan tanah terlantar berakibat pendayagunaan tanah terlantar untuk keperluan reforma agraria, program strategis negara dan tanah untuk cadangan negara negara tidak tercapai.
Tanah terlantar
Eks HGU atas nama PT. Sinar Kartosuro Semarang tersebut saat ini dimohon
oleh warga sebagai Tanah Objek Reforma Agraria
yang akan di redistribusikan
ke masyarakat agar bisa dikelola dan memiliki fungsi sosial serta ekonomis
sebagai lahan garapan. Pemantauan terakhir telah diterbitkannya Surat Keputusan Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Tengah Nomor 209/KEP-9-33.300/VIII/2016 tentang
Penunjukan Tim Terpadu Penyelesaian Masalah Tanah Negara
Bekas HGU Nomor 1/Desa Kenteng dan 1/Desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang a.n PT Sinar Kartasura.
Oleh karena itu, tanah tersebut mulai digarap kembali
oleh masyarakat sekitar
yang mayoritas merupakan
para petani sejak sebelum terjadinya pemberian status HGU kepada PT. Sinar Kartasura dan masyarakat setempat secara komunal menggunakan dan melakukan pengelolaan menjadi tempat wisata. Akan tetapi, masyarakat yang mendiami tanah eks hak guna
usaha merasa bahwa, penguasaan secara fisik belum
memberikan perlindungan hukum yang kuat tanpa disertai dengan penguasaan secara yuridis, oleh sebab itu diperlukan
kebijakan yang tepat dari pemerintah untuk mencegah terjadi ketimpangan penguasaan atas tanah.
Proses pengubahan
status kepemilikan hak oleh
PT KAI dan masyarakat di Desa
Candi dan Desa Kenteng ini sesuai dengan
teori keadilan subtantif bahwa hak atas tanah
dimaknai bagaimana masyarakat mempuyai akses terhadap pemilikan, dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah, mengurangi konsentrasi pemilikan dan penguasaan tanah, dari tangan segelintir
orang pihak, serta memperkuat kepastian hak atas pemilikan
dan penguasaan tanah bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, khususnya masyarkat Desa Candi dan Desa Kenteng yang sudah lama mengelola/memanfaatkan tanah terlantar PT. Sinar Kartosuro tersebut.
Pemberian hak
menguasai tanah oleh pemerintah kepada PT KAI dan masyarakat di Desa Candi dan Desa Kenteng ini
sesuai Perpres No. 86 Tahun 2018 yang mendefinisikan Reforma Agraria sebagai penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, pemanfaatan, dan penggunaan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan aset dan penataan akses untuk kemakmuran rakyat. Penataan aset dilakukan melalui redistribusi tanah pertanian dan non-pertanian, sedangkan legalisasi aset dilakukan melalui sertipikasi tanah. Reforma Agraria ini bertujuan untuk:
mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka
menciptakan keadilan; menangani Sengketa dan Konflik Agraria; menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang berbasis agraria melalui pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah; menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan; memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi;
meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan; dan memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil
penelitian maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa (1)
Kedudukan Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga atau institusi
yang secara konstitusional diberi kewenangan oleh negara untuk menerbitkan melalui surat keputusan
mengenai kepemilikan hak atas tanah
dan sekaligus juga mempunyai
kewenangan untuk mencabut dan membatalkan keputusan mengenai kepemilikan atas tanah seseorang apabila telah ada
putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde)
yang amarnya memerintahkan
agar BPN melaksanakan pembatalan
terhadap HGU karena diterlantarkan. (2) HGU PT. Sinar Kartasura Semarang setelah dibatalkan oleh negara berakibat
pada pemutusan hubungan hukum antara PT. Sinar Kartosuro dengan objek tanah
HGU tersebut sehingga PT. Sinar Kartasura Semarang tidak dapat lagi
mengelola atas tanah tersebut. Oleh karena itu, saat
ini status hukum tanah HGU PT. Sinar Kartasura Semarang adalah dikuasai kembali oleh Negara. Namun dengan adanya
sengketa antara PT. KAI maka tanah seluas
15 Ha akan segera berubah status menjadi hak
milik PT. KAI
dan sisanya yang saat ini dimanfaatkan oleh warga Desa Candi dan Desa Kenteng juga akan menjadi hak
milik setelah proses pengajuan pendaftaran ke BPN disetujui.
Amiruddin, & Asikin, H. Zainal. (2015).
Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Google Scholar
Arvita, Rani. (2016). Kedudukan Bpn RI
Dalam Menghadapi Problematik Putusan Non-executable Pengadilan Tata USAha
Negara Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah (Anotasi Putusan Mahkamah
Agung RI No. 158/pk/tun/2011 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Guna Bangunan
No. 132. Jurnal Media Hukum, 23(1). Google Scholar
Hidayat, Arif. (2011). Metode Penelitian
& Pengkajian Hukum. Yogyakarta: Langit Aksara. Google Scholar
Huijbers, Theo. (1982). Filsafat Hukum
Dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius. Google Scholar
Iskandar. (2013). Metodologi Penelitian
Kualitatif. Jakarta: Gaung Persada Press. Google Scholar
Rato, Dominikus. (2010). Filsafat Hukum
Mencari: Memahami dan Memahami Hukum. Yogyakarta: Laksbang Pressindo. Google Scholar
Santoso, Urip. (2010). Pendaftaran dan
Peralihan Hak Atas Tanah. Surabaya: Kencana Prenada Media Group. Google Scholar
Sari, Siti Nurmaya. (2019). Tinjauan
Yuridis Terhadap Objek Tanah Terlantar Atas Hak Guna Usaha (Hgu) Perkebunan Di
Kabupaten Kutai Timur. Angewandte Chemie International Edition, 6(11),
951�952., 1(2), 1�9. Google Scholar
Soekanto, Soerjono, & Taneko, Soleman
B. (2001). Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada. Google Scholar
Sugiyono. (2015). Metode Penelitian
Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,. Kualitatif dan R&D). Bandung: CV.
Alfabeta. Google Scholar
Sumardjono, Maria S. W. (2001). Kebiijakan
Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi. Jakarta: Kompas. Google Scholar
Sunggono, Bambang. (2015). Metodologi
Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Google Scholar
Sutedi, Adrian. (2006). Peralihan Hak
Atas Tanah dan Pendaftarannya. Jakarta: Sinar Grafika. Google Scholar
Syahrani, Riduan. (2009). Rangkuman
Intisari Ilmu Hukum. Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti. Google Scholar
Wahanisa, Rofi, & Niravita, Aprila.
(2015). Tipologi Sengketa Tanah Dan Pilihan Penyelesaiannya (Studi Pada Kantor
Pertanahan Kabupaten Semarang). Adhaper, Jurnal Hukum Acara Perdata, 1(2),
75�85. Google Scholar
Wisnuwardhani, Diah Aju. (2013). Model
Penataan Yuridis Tanah Terlantar (Studi Kasus Tanah-Tanah Terlantar. Jurnal
Cakrawala Hukum, 18(1), 51�58. Google Scholar
Zumrokhatun, Siti, & Darda, Syahrizal.
(2013). Undang-Undang Hukum Agraria dan Aplikasinya. Jakarta: Dunia
Cerdas. Google Scholar
Copyright holder: Fida Adhiati, Achmad Busro (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |