Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN:
2548-1398
Vol.
7, No. 6, Juni 2022
PERAN PEMBIMBING
KEMASYARAKATAN DALAM PENERAPAN KEADILAN
RESTORATIF BAGI PELAKU DEWASA (STUDI PERBANDINGAN DENGAN BELANDA)
Margareta Dewi Lusiana, Surastini Fitriasih
Magister Ilmu Hukum
Universitas Indonesia, Indonesia
Email: [email protected],
[email protected]
Abstrak
Tujuan pemidanaan di
Indonesia saat ini masih belum dapat sepenuhnya meninggalkan paradigma
retributif yang berorientasi pada pembalasan. Banyaknya peraturan
perundang-undangan yang memuat aturan pidana dengan sanksi penjara membawa
implikasi pada permasalahan overcrowding Lapas/Rutan. Guna menanggulangi
hal tersebut pembaharuan hukum pidana Indonesia melalui penyusunan� RUU KUHP memuat sebuah terobosan yaitu
dirumuskannya tujuan pemindanaan di mana Keadilan Restoratif terdapat di
dalamnya. Sejalan dengan hal tesebut, hadirnya alternatif pemidanaan dalam RUU
KUHP membawa angin segar bagi pemasyarakatan yang masih mengalami permasalahan klasik
berupa overcrowding Lapas. Pemasyarakan dalam hal ini turut memiliki
andil dalam mengatasi permasalahan overcrowding melalui optimalisasi
tugas dan fungsi Pembimbing Kemasyarakatan. Dalam RUU KUHP peran Pembimbing Kemasyarakatan
di Indonesia mengalami perluasan ruang lingkup menjadi mendekati praktik probation
service di Belanda yang dinilai cukup berhasil dalam penerapan keadilan
restoratif dan alternatif pidana. Untuk itu tulisan ini akan menggali peran
Pembimbing Kemasyarakatan dalam pelaksanaan keadilan restoratif bagi pelaku
dewasa, sambil memaparkan perbandingannya dengan praktik probation service
di Belanda. Metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam tulisan ini
adalah metode penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder. Agar dapat dilaksanakan secara optimal, peran
Pembimbing Kemasyarakatan dalam pelaksanaan keadilan restoratif masih
membutuhkan dukungan hukum positif sebagai pijakan.
Kata Kunci: pembimbing kemasyarakatan; keadilan restoratif; pemidanaan
Abstract
The purpose of punishment in Indonesia is currently
still unable to completely abandon the retributive paradigm that is oriented
towards revenge. The number of laws and regulations that contain criminal rules
with prison sanctions has implications for the problem of overcrowding in
prisons/detention centers. In order to overcome this, the reform of Indonesian
criminal law through the drafting of the Draft Criminal Code contains a
breakthrough, namely the formulation of the purpose of punishment in which
Restorative Justice is contained. In line with this, the presence of an
alternative punishment in the Draft Criminal Code has brought fresh air to corrections
that are still experiencing the classic problem of prison overcrowding.
Correctional institution in this case also have a hand
in overcoming the problem of overcrowding through optimizing the duties and
functions of Probation Officer. In the Draft Criminal Code, the role of Probation Officer in Indonesia has expanded its scope to approach the practice of
probation service in the Netherlands, which is considered quite successful in
the application of restorative justice and criminal alternatives. For this
reason, this paper will explore the role of Probation Officer in the
implementation of restorative justice for adult offenders, while describing its
comparison with the practice of probation service in the Netherlands. The
method used to answer the problems in this paper is a normative legal research
method which is carried out by examining library materials or secondary data.
In order to be carried out optimally, the role of Probation Officer in the
implementation of restorative justice still requires positive legal support as
a foothold.
Keywords: probation
officer; restorative justice; punishment
Pendahuluan
Pemidanaan
merupakan isu yang problematik karena pidana berkenaan dengan tindakan-tindakan
yang harus dilakukan oleh negara dengan berlandaskan hukum agar tidak menjadi
tindakan yang melanggar moral (Harkisnowo, 2003)� Pidana memiliki� konsekuensi yang kadang
cukup berat bagi pelaku tindak pidana, karenanya diperlukan landasan, dasar
maupun pembenaran mengapa negara harus menjatuhkan pidana. (Santoso,
2020)
Berbagai �teori dikemukakan untuk
menjustifikasi penjatuhan pidana, di antaranya teori absolut/retributif, teori
relatif/utilitarian serta teori gabungan. (Santoso, 2020) Namun
demikian, hingga saat ini dalam hukum pidana Indonesia, belum nampak paradigma
pemidanaan yang menjadi acuan penjatuhan pidana. (Irmawanti
& Arief, 2021)
Saat ini dalam
perkembangan hukum pidana terjadi pergeseran paradigma pemidanaan dari konsep restitutif justice (criminal justice) menuju konsep restorative
justice. (Hariyanto
& Pradnya Yustiawan, 2020)
Pergeseran paradigma tersebut bukan merupakan hal yang baru� dalam sistem pemasyarakatan. Konsep keadilan
restoratif merupakan bentuk reintegrasi sosial sebagaimana yang dikenal sebagai
sistem pemasyarakatan. Reintegrasi sosial sebagai tujuan yang ingin dicapai
oleh pemasyarakatan diwujudkan dalam terintegrasinya hubungan antara terpidana dan
masyarakat. (Nurbaningsih,
2017)
Keadilan restoratif merupakan sebuah konsep pemikiran yang merespon
pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan
perlibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang
bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada saat ini. (Eva Achjani Zulfa dan Indriyanto Seno Adji, 2010) Melalui
penerapan keadilan restoratif, diharapkan terbangun suatu penyelesaian yang
mengakomodir kebutuhan para pihak melalui pemulihan korban, masyarakat, pelaku
serta dapat mengurangi stigmatisasi bagi pelaku kejahatan.
Dalam
kenyataannya konsep keadilan restoratif belum dapat diterapkan secara optimal.
Pemidanaan dengan paradigma retributif tidak dapat serta merta ditinggalkan.
Kondisi dalam masyarakat saat ini belum sepenuhnya beranjak dari pandangan
bahwa penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan bertujuan untuk memberikan
pembalasan atau efek jera. Celakanya hal ini bukan hanya terjadi pada
masyarakat awam. Para pihak yang terlibat dalam proses penjatuhan pidana pun
sering kali belum menyadari sepenuhnya sifat hukum pidana sebagai alternatif
terakhir atau �ultimum remedium.�
Kondisi ini didukung dengan keberadaan peraturan perundang-undangan di
Indonesia yang memuat sanksi pidana penjara sebagai primadona. Dalam Pasal 10
KUHP salah satu� bentuk pidana pokok
adalah pidana penjara. Jenis pidana ini menjadi jenis sanksi yang paling banyak
diancamkan dalam KUHP, maupun�
undang-undang lainnya di luar KUHP yang mengatur tentang sanksi pidana,
sehingga� dapat diasumsikan saat ini
dalam setiap putusan hakim masih mengutamakan pidana penjara dalam amar
putusannya (Napitupulu, Novian, & Eddyono, 2018).
Begitu banyaknya
peraturan perundang-undangan yang memuat aturan pidana dengan ancaman� sanksi penjara membawa implikasi pada para
pelanggar hukum yang seolah diarahkan untuk ditempatkan di dalam Lapas/Rutan.
Padahal penggunaan pidana penjara dalam upaya penanggulangan tindak pidana
tidak selalu membawa hasil yang memuaskan. Salah satu dampak yang ditimbulkan
adalah munculnya permasalahan overcrowding.
Overcrowding merupakan �kondisi meningkatnya pertumbuhan jumlah
narapidana serta tahanan tanpa diikuti penambahan ruang dan daya tampung hunian
yang optimal pada setiap Rutan dan Lapas, sehingga mengakibatkan jumlah
penghuni melebihi kapasitas hunian yang tersedia (Republik Indonesia, 2017).
Sejalan dengan
tujuan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan, dalam Pasal 2 UU No. 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan) ditegaskan� Lapas/Rutan seyogyanya bukan hanya ditujukan
sebagai tempat penampungan para pelaku tindak pidana. Lebih jauh dari itu,
Lapas dan Rutan merupakan tempat pembinaan dan reintegrasi sosial warga binaan
secara sehat agar setelah memperbaiki diri dapat kembali menjadi anggota
masyarakat yang baik dan bertanggung jawab. Kondisi ini akan sulit dicapai
apabila Lapas dan Rutan masih dihadapkan pada permasalahan overcrowding, yang� dapat
mengakibatkan tidak terpenuhinya� hak
tahanan dan narapidana, kesulitan menjaga ketertiban dan keamanan, besarnya
beban biaya negara dalam pengelolaan Rutan dan Lapas, serta tidak tercapainya
tujuan pemasyarakatan (Latifah,
2019).
Penanganan overcrowding membutuhkan arah baru
kebijakan yang komprehensif dalam pembangunan hukum pidana dan sistem peradilan
pidana. Besarnya perhatian global terhadap overcrowding
menyebabkan permasalahan ini menjadi salah satu fokus dari Kongres tentang
Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana yang diselenggarakan di Salvador,
Brasil pada tahun 2010 yang mengusung tema "Strategi dan Praktik Terbaik
terhadap Kepadatan di Lembaga Pemasyarakatan." Kegiatan tersebut
menghasilkan serangkaian kesimpulan dan rekomendasi. Salah satunya� yang relevan dengan tulisan ini adalah
pelaksanaan peninjauan, evaluasi, dan pembaruan kebijakan, undang-undang dan
penerapannya untuk memastikan pengembangan strategi peradilan pidana yang
komprehensif yang harus mencakup pengurangan pemberian pidana dan meningkatkan
penggunaan alternatif pidana Lapas/Rutan, termasuk program-program keadilan
restoratif (Republik Indonesia, 2017).
Keadilan
restoratif di Indonesia pada awalnya identik dengan penyelesaian perkara pidana
di luar sidang seperti diversi dalam pelaksananaan peradilan pidana anak. Seiring
perkembangan terdapat upaya memperluas cakupan agar keadilan restoratif dapat
diterapkan untuk pelaku dewasa dan berbagai tindak pidana lainnya. Penerapan
keadilan restoratif tidak dapat dimaknai secara sempit hanya sebagai
penyelesaian perkara di luar sidang. Penyelesaian perkara pidana dengan
keadilan restoratif pada dasarnya berfokus pada upaya mentransformasikan
kesalahan pelaku pada upaya perbaikan hubungan antara para pihak yang terkait
dengan peristiwa� kejahatan. Menurut Handbook on Restorative Justice Programmes
United Nations Publication (2006), dalam pelaksanaan keadilan restoratif
kegiatan yang dilakukan harus didasarkan pada sejumlah asumsi yaitu : (Zulfa, 2009)
a) Tanggapan
atas kejahatan yang harus diperbaiki sebagai ganti atas kerugian yang diderita
oleh korban;
b) Pelaku
harus diarahkan untuk memahami bahwa perbuatan mereka tidak dapat diterima dan
perbuatan kejahatan tersebut membawa konsekuensi nyata bagi korban maupun
masyarakat;
c) Pelaku
dapat dan harus menerima tanggung jawab atas perbuatannya;
d) Korban
harus mendapatkan kesempatan untuk dapat menyatakan keinginannya serta turut
terlibat dalam menentukan langkah terbaik yang dapat dilakukan pelaku dalam
memperbaiki kerusakan yang ditimbukan oleh perbuatannya;
e) Masyarakat
diharapkan diikut sertakan dalam prosesnya
Keadilan
restoratif dapat ditemukan baik dalam tahapan pra ajudkasi, ajudikasi, maupun
purna ajudikasi.
Dalam tahapan ajudikasi, paradigma keadilan restoratif membuka wacana baru bagi
hakim dalam membuat putusan termasuk mengalihkan jenis pemidanaan. Adapun dalam
tahapan purna adjudikasi, penerapan keadilan restoratif dapat dilakukan dengan
mengadakan pertemuan antara pelaku dan korban di penjara dengan tujuan para
pihak dapat bertemu, menyampaikan keinginan masing-masing yang belum dapat
disampaikan sepanjang proses persidangan berlagsung. Pertemuan ini diharapkan
membantu pemulihan para pihak (Zulfa, 2009).
Perkembangan
baru yang cukup signifikan terkait keadilan restoratif� dan alternatif pemidanaan bagi pelaku dewasa
di Indonesia adalah ketika RUU KUHP disahkan. Perkembangan dalam pembaruan
hukum pidana pada RUU KUHP menunjukan adanya pergeseran tujuan pemidanaan dari
pendekatan keadilan retributif yang menitikberatkan pada pembalasan pada tujuan
pemidanaan lain termasuk restoratif
justice sebagaimana dalam rumusan Pasal 51 RUU KUHP yaitu bahwa Pemidanaan
bertujuan:
a. mencegah
dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan
pengayoman masyarakat; (pencegahan)
b. memasyarakatkan
terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang
baik dan berguna; (pemasyarakatan atau rehabilitasi)
c. menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan
(restoratif), serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat;
d. menumbuhkan
rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana
Rumusan di atas
terutama Pasal 51 huruf (c) menunjukan dianutnya restorative justice dalam tujuan pemidanaan oleh RUU KUHP. Hal ini
terlihat dari adanya tujuan penyelesaian konflik dan pemulihan keseimbangan
dalam melakukan pemidanaan. Menumbuhkan rasa penyesalan terpidana apabila
ditinjau dari sudut pandang kriminologi merupakan bagian dari reintegrative shaming, sebagaimana yang dimaksud oleh John Braithwaite. Restorative Justice memulihkan hubungan
antara para� 'pemangku kepentingan' yang �tercapai melalui proses reintegrative shaming di mana pelaku menerima
tanggung jawab untuk tindakan mereka (malu) dan berusaha menebus kesalahan
(reintegrasi) kepada korban dan juga masyarakat (Fox,
2009).
Di samping
hadirnya rumusan tentang tujuan pemidanaan, pergeseran paradigma pemidanaan terlihat dari
adanya ketentuan tentang pedoman pemidanaan serta diperkenalkannya jenis pidana
baru. Pedoman pemidanaan yang diatur dalam Pasal 54 RUU KUHP mengindikasikan
perkembangan menuju arah individualisasi pemidanaan yaitu hakim ketika akan
menjatuhkan pidana wajib mempertimbangkan sejumlah unsur yang bukan hanya
berkaitan dengan pembuktian unsur dakwaan tetapi juga memuat pertimbangan�pertimbangan
terkait kondisi dari terdakwa, korban dan masyarakat. Pidana alternatif dalam
RUU KUHP yang belum dikenal dalam KUHP yang�
berlaku di Indonesia saat ini,�
berupa pidana pengawasan (Pasal 75 RUU KUHP) dan� pidana kerja sosial (Pasal 85 RUU KUHP).
Pelaksanaan
keadilan restoratif merupakan upaya untuk mereformasi criminal justice system (sistem peradilan pidana) yang masih
mengedepankan pidana penjara.� Pergeseran
paradigma pemidanaan retributif menuju restoratif
justice dengan� hadirnya sejumlah
peraturan yang menerapkan prinsip restoratif
justice patut diapresiasi. Meskipun demikian, peran dari komponen-komponen
yang bekerja dalam sistem peradilan pidana sangat dibutuhkan sebagai pihak yang
berproses dalam upaya penanggulangan kejahatan.
Sistem peradilan
pidana digambarkan sebagai suatu sistem yang bertujuan �menanggulangi
kejahatan�, salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan kejahatan tetap �berada dalam batas-batas toleransi yang
dapat diterimanya. (Reksodiputro,
2020) Dengan
menggunakan persepsi sistem, keterlibatan berbagai badan penegak hukum dengan
fungsi yang berbeda-beda namun memiliki kesamaan �tujuan. (Waskito,
2018) Lembaga-lembaga
penegak hukum yang merupakan subsistem peradilan pidana bekerja dalam suatu
sistem yang terintegrasi dimulai dari subsistem penyidikan yang dilakukan
oleh kepolisian, penuntutan yang dilakukan oleh kejaksaan, pemeriksaan
persidangan oleh pengadilan dan pelaksanaan pidana yang dilakukan oleh
pemasyarakatan. Adapun dalam tulisan ini komponen yang akan menjadi pokok
pembahasan adalah peran dari (lembaga) pemasyarakatan.
Selama ini
pemasyarakatan dikenal sebagai komponen dalam sistem peradilan pidana yang
kehadirannya baru terasa usai proses penjatuhan pidana di pengadilan. Hal ini
tidak mengherankan mengingat bagi sebagian besar orang, hal pertama yang
terpikirkan ketika berbicara tentang pemasyarakatan adalah Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas). Padahal Lapas hanyalah salah satu lembaga dalam sistem
pemasyarakatan Indonesia yang berada di bawah naungan Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI. Sebagai bagian dari sistem
peradilan pidana, pemasyarakatan adalah instansi yang melakukan pemenuhan dan perlindungan
hak-hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana. (Pemasyarakatan
& Sulhin, 2011) Menurut
Richard Snarr, sistem pemasyarakatan mencakup kegiatan pada ranah penahanan
pelaku, mendampingi mantan narapidana dalam bekerja dan mendapatkan pendidikan
di masyarakat, hingga menyediakan pendampingan bagi korban. (Nurbaningsih, 2017) Bila
melihat cakupan sistem pemasyarakatan yang dikemukakan oleh Richard Snarr, maka
tugas pemasyarakatan tidak cukup hanya dilaksanakan oleh Lapas.
Dalam sistem
permasyarakatan Indonesia dikenal pula lembaga-lembaga lain yang memiliki
fungsi yang tidak kalah penting dari Lapas,�
salah satunya yaitu Balai Pemasyarakatan (Bapas). Bapas
melalui Pembimbing Kemasyarakatan bertugas melaksanakan pembimbingan,
pendampingan, pengawasan, serta pembuatan penelitian kemasyarakatan (Litmas)
bagi narapidana dan juga anak berhadapan dengan hukum. Melalui kehadiran
lembaga ini, pemasyarakatan yang selama ini dikenal sebagai muara akhir dari
sistem peradilan pidana menjadi memiliki ruang lingkup tugas mulai dari tahapan
pra ajudikasi, ajudikasi sampai dengan purna ajudikasi. Saat ini eksistensi
Pembimbing Kemasyarakatan dirasakan dalam hal penanganan perkara anak dalam UU
No. 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). UU SPPA mewajibkan
pendampingan oleh Pembimbing Kemasyarakatan untuk� anak selama menjalani proses peradilan baik
di tingkat kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan. Rekomendasi penelitian
kemasyarakatan yang disusun oleh Pembimbing Kemasyarakatan juga wajib
dipertimbangkan oleh hakim� ketika
memutus perkara anak yang berkonflik dengan hukum.
Optimalisasi peran
Pembimbing Kemasyarakatan yang bersinergi dengan aparat penegak hukum lain
dalam sistem peradilan pidana memiliki andil yang patut diperhitungkan dalam
implementasi keadilan restoratif serta pidana alternatif bagi pelaku dewasa
sebagai upaya menanggulangi permasalahan overcrowding
Lapas. Indonesia dapat berkaca pada keberhasilan Belanda dalam mengurangi
tingkat hunian Lapas hingga dilakukan penutupan beberapa Lapas karena tidak ada
penghuninya. (Indonesia, 2017)
Populasi penjara sangat kecil sebagai akibat penyelesaian perkara di luar
pengadilan, penerapan denda sebagai ganti pidana perampasan kemerdekaan, serta
penerapan pidana bersyarat secara maksimal. (Nurbaningsih,
2015) Di Belanda
petugas yang menjalankan tugas dalam merekomendasikan sanksi yang relevan bagi
pelaku kejahatan dewasa dan pengawasan pelaksanaan pidana termasuk pidana
alternatif serupa dengan Pembimbing Kemasyarakatan di Indonesia. Petugas yang
tersebut dikenal sebagai Probation
Officer. Ruang lingkup tugas Probation
Officer di Belanda meliputi hal-hal sebagai�
berikut: (Bosker,
Witteman, & Hermanns, 2013)
�� an advice about the sanction (only in
pre-sentence reports) and when relevant about the conditions for a suspended
sentence or supervised release from prison (for example, a treatment program or
the prohibition to use alcohol or drugs), instructions
about what the offender must or may not do, interventions for control such as
electronic monitoring, the intensity of supervision, goals describing the
desired behavioral change or change of circumstances of the offender, the
criminogenic needs that must be changed, and the programs (including treatment
and support) that are supposed to realize the change.�
Pemasyarakatan
yang sering kali mendapatkan keluaran permasalahan overcwoding dalam sistem peradilan pidana di Indonesia belum
mendapat perhatian sebanyak lembaga lainnya seperti kepolisian, kejaksaan,
serta pengadilan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila komponen-komponen
yang bekerja di dalamnya masih terdengar asing bagi sebagian orang seperti
contohnya bagaimana masyarakat masih sulit membedakan Bapas dengan Lapas.
Termasuk publik masih asing terkait peran Pembimbing Kemasyarakatan. Kehadiran
dan peran Pembimbing Kemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana baru
dirasakan oleh pihak-pihak atau stakeholder
yang membutuhkan rekomendasi penelitian kemasyarakatan seperti petugas lapas,
aparat penegak hukum dalam tindak pidana oleh pelaku anak, ataupun klien
pemasyarakatan yang sedang mengajukan program reintegrasi� tertentu. Hal ini tidak terlepas dari masih
belum memadainya hukum positif dalam memberikan payung hukum terkait
optimalisasi peran Pembimbing Kemasyarakatan. Padahal pemasyarakatan melalui
Pembimbing Kemasyarakatan memiliki potensi dalam mendukung pergeseran paradigma
pemidanaan darI yang berorientasi pada pembalasan dan pemberian efek jera
menuju pemidanaan dengan pendekatan pemulihan serta reintegrasi sosial seperti
praktik serupa yang dinilai cukup berhasil di Belanda.
Wacana yang
bergulir terkait pengesahan RUU KUHP dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi
untuk menggantikan KUHP Indonesia yang saat ini berlaku, menjadi momentum yang
baik untuk menggali potensi dari para aparat penegak hukum yang ada dalam
sistem peradilan pidana Indonesia. Hadirnya regulasi yang baru membawa
kesempatan bagi pemasyarakatan untuk semakin mengoptimalkan personil di
dalamnya termasuk peran para Pembimbing Kemasyarakatan dalam mendukung implementasi
keadilan restoratif serta alternatif pemidanaan guna mengurangi berbagai permasalahan
yang ada dalam sistem peradilan pidana Indonesia, utamanya adalah terkait overcrowding.
Berlatar
belakang uraian di atas, tulisan ini akan menggali lebih dalam peran pembimbing
pemasyarakatan dalam penerapan keadilan restoratif dan alternatif pemidanaan
bagi pelaku dewasa dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Kajian terkait
peran Pembimbing Kemasyarakatan dalam penerapan keadilan restoratif di
Indonesia sudah banyak dilaksanakan. Meskipun demikian, tulisan yang membahas secara spesifik
peran Pembimbing Kemasyarakatan dalam penerapan keadilan restoratif bagi pelaku
dewasa masih belum ditemukan karena tulisan yang ada sebelumnya masih berfokus
pada penyelesaian perkara pidana dalam sistem peradilan pidana anak.
Tulisan ini akan
mengedepankan pembahasan tentang peran dan potensi dari Pembimbing
Kemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana yang belum terlalu mendapat
perhatian meskipun kehadirannya ada pada hampir setiap tahapan baik pra
ajudikasi, ajudikasi, maupun purna ajudikasi. Guna memberikan gambaran yang
lebih komprehensif, tulisan ini memuat pula praktek petugas serupa (Probation Officer) di negara Belanda
sebagai pembanding yang dinilai cukup berhasil menerapkan penyelesaian perkara
di luar pengadilan dan praktik pidana alternatif.
Metode Penelitian
1.
Pendekatan
Untuk
menjawab permasalahan dalam tulisan ini digunakan metode penelitian yuridis
normatif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian dengan pendekatan yuridis normatif
yang dimaksud, yaitu metode pendekatan dengan mempergunakan kaidah-kaidah hukum
serta mengutamakan penelitian kepustakaan bersifat kajian pustaka����� atau library
research (Sri Mamudji dan Hang Rahadjo, 2005).
2.
Teknik
Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan studi dokumen, yaitu pengumpulan data sekunder berupa bahan � bahan
hukum primer, sekunder dan tersier berupa:
a) Bahan
hukum primer
Bahan
hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat masalah yang akan
diteliti� terdiri dari Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; Undang-Undang
No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan; Undang-Undang No. 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; Peraturan Pemerintah No 31 Tahun 1999
Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Narapidana dan Klien Pemasyarakatan;
Permenpan-RB� Nomor� 22 Tahun 2016, TLN No. 1716 Tahun 2016
Peraturan Menteri
Pemberdayaan Aparatur Negara-Reformasi Birokrasi tentang Jabatan Fungsional
Pembimbing Kemasyarakatan; serta Peraturan pelaksana lain� terkait�
Pembimbing Kemasyarakatan dan implementasi keadilan restoratif.
b) Bahan
hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer. Penulis akan meneliti buku-buku ilmiah hasil karya dikalangan hukum
yang ada relevansinya dengan masalah-masalah yang akan diteliti
c) Bahan
hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum
primer dan sekunder, misalnya kamus hukum, media massa dan internet
3.
Metode
Analisa Data
Metode
yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah normatif
kualitatif. Normatif berarti penelitian didasarkan pada asas-asas hukum serta
norma-norma hukum. Kualitatif berarti penelitian dilakukan dengan mempelajari
dokumen-dokumen dan peraturan perundang- undangan yang berlaku, literatur-literatur
dan tulisan-tulisan ilmiah yang berhubungan dengan objek penelitian, kemudian
dianalisis.
Hasil dan Pembahasan
1.
Perbandingan Pelaksanaan Tugas Pembimbing Kemasyarakatan
Kemasyarakatan Dalam Penanganan Pelaku Tindak Pidana Dewasa Indonesia
Dengan Negara Belanda
Petugas
yang melaksanakan tugas serupa dengan Pembimbing Kemasyarakatan di Belanda
dikenal sebagai Probation Officer.
Terdapat beberapa aspek yang ingin dibandingkan terlakait pelaksanaan tugas
Pembimbing Kemasyarakatan dan Probation
Officer yaitu pertama terkait kelembagaan dan status kepegawaian, serta
kedua terkait tugas dan fungsi.
1) Perbandingan
Kelembagaan dan Status Kepegawaian
a) Kelembagaan dan Status Kepegawaian Pembimbing Kemasyarakatan di
Indonesia
Di
Indonesia, Pembimbing Kemasyarakatan yang berada di bawah naungan Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM. Para petugas kemasyarakatan pada umumnya
ditempatkan di unit pelayanan teknis yang tersebar di berbagai� wilayah di Indonesia yang bernama Balai
Pemasyarakatan atau yang dikenal sebagai Bapas. Berdasarkan Permenpan RB No. 22
Tahun 2016 Tentang Jabatan Fungsional Pembimbing Kemasyarakatan Pembimbing
Kemasyarakatan merupakan jabatan fungsional yang mempunyai ruang lingkup tugas,
tanggung jawab, wewenang dan hak untuk melakukan kegiatan di bidang bimbingan
kemasyarakatan. Bahwa status kepegawaian Pembimbing Kemasyarakatan sebagaimana
dimaksud Pasal 1 angka 6 Permenpan RB No. 22 Tahun 2016 adalah pegawai negeri
sipil.
Berdasarkan
data dari Sistem Data Base Pemasyarakatan (SDP Pemasyarakatan) jumlah
Pembimbing Kemasyarakatan di Indonesia hingga bulan Maret 2021 sebanyak 2.416
(dua ribu empat ratus enam belas) orang. Dengan perbandingan jumlah narapidana
dan tahanan di lapas dan rutan di seluruh Indonesia yang menjadi klien
pemasyarakatan mencapai 255.417 (dua ratus lima puluh lima ribu empat ratus
tujuh bela) orang. Untuk menjadi Pembimbing Kemasyarakatan, latar belakang
pendidikan yang dibutuhkan adalah setidaknya setingkat Strata-1 dengan program
studi terbanyak berasal dari fakultas hukum, psikologi dan sosiologi.
b) Kelembagaan
dan Status Kepegawaian Probation Officer
di Belanda
Berbeda
dengan Indonesia, probation system di
Belanda berdiri dengan prakarsa privat yaitu sejumlah asosiasi (termasuk
asosiasi keagamaan), yang� semuanya
berfokus pada tiga tugas utama yaitu untuk probation
service, the provision of social
enquiry reports (di Indonesia serupa dengan penelitian kemasyarakatan), dan
jasa provision of aftercare. (Tak, 1999) Para
sukarelawan asosiasi berusaha memerangi ancaman kerusakan moral yang timbul
dari kondisi yang menyedihkan di penjara dengan kunjungan, pemberian
pendidikan, pengajaran keagamaan, dan penyediaan buku.
Organisasi
penyedia jasa probation service di
Belanda memiliki struktur yang unik. Terdapat 3 (tiga) organisasi yang� melaksanakan tugas probation untuk orang dewasa.�
ketiga organisasi tersebut antara lain : (De Kok, Tigges, & Van Kalmthout, 2020)
a) Dutch Probation Foundation (RN)
The Probation Foundation adalah
organisasi swasta yang� memiliki sekitar
2000 karyawan di lima wilayah yang dipimpin oleh lima direktur regional.
Organisasi ini adalah yang terbesar dibandingkan tiga organisasi probation lain dan menerima sekitar 60%
dari anggaran Ministry of Justice and
Safety Belanda. Bersama dengan sistem peradilan, polisi, pemerintah kota
dan sistem kepenjararaan, Probation
Foundation berupaya� untuk mencegah
pelaku melakukan pelanggaran hukum kembali. The
Probation Foundation bermaksud sebanyak mungkin mengendalikan risiko dan mendorong
pelaku untuk berubah perilakunya.
b) Probation Service for addicted offenders (�SVG/Verslavingsreclassering�)
The Addiction Probation Service (SVG)
menyediakan layanan Probation dengan
perawatan (forensic). SVG� berupaya untuk melakukan� reintegrasi orang-orang yang pernah terlibat
dengan otoritas peradilan dan dihadapkan dengan masalah kecanduan dan/atau
masalah kejiwaan. Dalam kerangka peradilan pidana, pelaku dipantau dan
dibimbing dengan hati-hati yang diarahkan pada pemulihan sehingga mereka dapat
mengatur kembali kehidupan mereka dan tidak melakukan pelanggaran kembali.
Pelanggar yang menjadi SVG biasanya juga memiliki masalah di bidang kehidupan
lain, seperti keuangan, perumahan dan masalah aktivitas harian. Dalam banyak
kasus, kombinasi masalah ini adalah penyebab yang mendasarinya perilaku penyimpangan.
c) Salvation Army Probation Service (Leger
des Heils reclassering)
LJ&R
memainkan peran kunci dalam mendukung peran pemerintah dalam� mengurangi angka residivisme di Belanda.
Untuk mencapai tujuan tersebut, LJ&R menggunakan metode pemberian saran, pengawasan,
konseling dan jika perlu� intervensi
perilaku, layanan after care dan
dukungan dalam pelaksanaan resosialisasi. Kelompok sasaran utama LJ&R
adalah 'weaker members of society'.
Kelompok ini termasuk misalnya tunawisma, pelanggar residivis� dan orang-orang dengan masalah kejiwaan yang
serius. Karena kelompok sasaran ini seringkali sulit dijangkau, LJ&R
menggunakan metode 'assertive outreach'� sebagai cara kerjanya.
Hingga
tahun 2019, jumlah total petugas Probation
Officer dari ketiga organisasi di atas sebanyak 2.147 orang. Semua petugas Probation Officer merupakan tenaga profesional,
yang memiliki pendidikan dalam bidang pekerjaan sosial. Latar belakang
pendidikan petugas Probation Officer
adalah tingkat sarjana, dengan program studi terbanyak berasal dari program studi
profesional sosial forensik, pekerjaan dan layanan sosial, layanan hukum
sosial, kriminologi. Selain ketiga organisasi di atas, kegiatan probation service� bagi pelaku yang berusia di bawah 18 tahun
dilaksanakan oleh Child Care and Protection
Board. (De Kok et al., 2020)
Setelah
melihat paparan dalam uraian di atas, secara garis besar terlihat bahwa lembaga dan status kepegawaian
Pembimbing Kemasyarakatan di Indonesia berbeda dengan Probation Officer di Belanda. Pembimbing Kemasyarakatan di Bapas
yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan berada di bawah naungan
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Sedangkan petugas Probation Officer
di Belanda adalah staf dari penyedia layanan probation service. Pelaksanaan probation
service dilaksanakan oleh sektor privat, berbeda dengan di Indonesia yang
memasukan layanan probation service
menjadi bagian internal sebuah kementerian.
Perbedaan
lainnya adalah bahwa di Belanda pelaksana tugas probation bagi klien anak dan
dewasa dilaksanakan oleh lembaga yang berbeda. Kegiatan probation service termasuk pembuatan Litmas� bagi pelaku yang berusia di bawah 18 tahun
dilaksanakan oleh Child Care and Protection Board, sementara di Indonesia tidak
ada pemisahan instansi untuk menangani klien anak dan dewasa. Kedua jenis klien
tersebut ditangani oleh Pembimbing Kemasyarakatan yang berada di Bapas.
Berdasarkan
informasi dalam literatur yang ada bahwa pelaksanaan jasa probation service di Belanda dilaksanakan dalam rangka penghematan
anggaran dan efisiensi. Meskipun Ministry of Justice di Belanda memberikan
anggaran kepada yayasan dan organisasi swasta penyedia layanan probation service, namun dengan
dilaksanakannya layanan probation service
oleh sektor swasta maka membuka peluang bagi masyarakat umum untuk turut
berpartisipasi dalam penyediaan layanan kepada klien probation service.
Layanan probation service di Indonesia hingga
saat ini masih menjadi bagian dari pelayanan yang publik yang diselenggarakan
terpusat oleh negara. Belum terdapat sektor swasta yang melaksanakan layanan
serupa. Keberadaan Pembimbing Kemasyarakatan sebagai bagian dari sebuah
instansi kementerian memiliki kelebihan terutama terkait kemudahan dalam
berkoordinasi dengan instansi pemerintah lain seperti Lapas yang juga sama-sama
berada di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM. Meskipun demikian, Indonesia
dapat pula belajar dari keberhasilan Belanda dalam melibatkan peran swasta
dalam pelaksanaan Probation Service melalui mekanisme kerja sama.
2) Perbandingan Tugas dan Fungsi
a) Tugas
dan Fungsi Pembimbing Kemasyarakatan Indonesia
Tugas
dan fungsi dari Bapas dilaksanakan utamanya oleh para Pembimbing Kemasyarakatan
yang berpedoman pada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016 tentang Jabatan Fungsional
Pembimbing Kemasyarakatan (PermenPAN-PB No. 22 Tahun 2016). Sebagaimana
definisi yang dimuat dalam Pasal 1 angka 7 Permenpan-RB No. 22 Tahun 2016 bahwa
Pembimbing Kemasyarakatan memiliki tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk
melaksanakan kegiatan di bidang bimbingan kemasyarakatan. Adapaun yang dimaksud
dengan bimbingan kemasyarakatan terdiri dari kegiatan:
1) Penelitian
kemasyarakatan
Kegiatan
penelitian untuk mengetahui latar belakang kehidupan warga binaan pemasyarakatan
yang dilaksanakan
oleh Pembimbing Kemasyarakatan
2) Pendampingan
Upaya
yang dilakukan Pembimbing Kemasyarakatan dalam membantu klien untuk mengatasi
permasalahan yang dihadapinya sehingga klien dapat mengatasi permasalahan
tersebut dan mencapai perubahan hidup ke arah yang lebih baik.
3) Pembimbingan
Pemberian tuntunan
untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, intelektual,
sikap dan perilaku, profesionalisme, kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan.
4) Pengawasan
Kegiatan
pengamatan dan penilaian terhadap pelaksanaan program layanan, pembinaan dan
pembimbingan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan rekomendasi laporan
penelitian kemasyarakatan/penetapan/putusan hakim
5) Sidang
Tim Pengamat Pemasyarakatan
Kegiatan
yang dilakukan oleh tim pengamat pemasyarakatan untuk memberikan saran dan
rekomendasi mengenai penyelenggaraan pemasyarakatan.
Dalam
hukum positif saat ini, terdapat perbedaan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi
Pembimbing Kemasyarakatan ketika menangani pelaku kejahatan dewasa dengan anak.
Dalam menangani perkara kejahatan oleh anak mengacu pada UU SPPA, Pembimbing
Kemasyarakatan melakukan pendampingan dalam hampir setiap tahapan peradilan
pidana baik ditingkat Kepolisian, Kejaksaan, maupun Pengadilan. UU SPPA mewajibkan
pendampingan Pembimbing Kemasyarakatan bagi anak pelaku. Termasuk juga terkait
pembuatan Litmas. Rekomendasi dalam Litmas pada saat penyelesaian perkara anak
menjadi sesuatu yang wajib untuk dipertimbangkan para pihak termasuk hakim
untuk menentukan keputusan terbaik yang akan diberikan kepada anak. Demikian
pula pada saat persidangan, hakim wajib mempertimbangkan laporan hasil
penelitian kemasyarakatan yang dihimpun oleh Pembimbing Kemasyarakatan mengenai
data pribadi maupun keluarga dari anak yang bersangkutan. Tidak
dipertimbangkannya Litmas dalam putusan hakim mengakibatkan putusan hakim batal
demi hukum.
Berbeda
dengan penanganan perkara anak, kehadiran Pembimbing� Kemasyarakatan bagi pelaku tindak pidana
dewasa lebih dirasakan eksistensinya ketika telah dilaksanakan penjatuhan
pidana oleh hakim. Pelaku dewasa tidak disyaratkan untuk diberikan pendampingan
oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Belum ada kewajiban untuk melaksanakan pembuatan
Litmas untuk tersangka dewasa meskipun ketentuan mengenai hal tersebut telah
dimuat dalam Pasal 38 ayat (4) PP 31 Tahun 1999. Dikarena belum ditetapkan
sebagai suatu keharusan oleh hukum positif maka pelaksanaannya belum efektif.
Oleh karena
Pembimbing Kemasyarakatan lebih banyak menangani pelaku dewasa yang telah
dijatuhi pidana, maka ruang lingkup tugas bagi klien dewasa disesuaikan dengan
jenis pidana yang paling sering dijatuhkan oleh hakim yaitu pidana penjara.
Pembimbing Kemasyarakatan berperan membuat Litmas untuk pelaksanaan program
pembinaan dan reintegrasi sosial warga binaan. Selain membuat Litmas Pembimbing
Kemasyarakatan turut melaksanakan pengawasan dan pembimbingan dalam program
pembinaan narapidana di Lapas serta pembimbingan bagi narapidana yang sedang
melaksanakan program reintegrasi sosial sesuai dengan rekomendasi di dalam
Litmas yang dibuatnya.
b) Tugas
dan Fungsi Petugas Probation Officer
di Belanda
Dasar
legislatif� untuk� layanan probation
service di Belanda ditetapkan di the 1995 Probation and AfterCare
Regulation� (yang biasa disebut �Probation
Regulation� atau �Reclasseringsregeling�),
demikian pula dalam sejumlah pasal di KUHP dan KUHAP Belanda mengatur jenis
sanksi dan tindakan yang melibatkan layanan probation service, seperti layanan
masyarakat, pidana percobaan, dan pembebasan bersyarat Pada tahun 2005,
ketentuan terpisah disusun, yaitu the Probation Implementation Regulations (Uitvoeringsregeling Reclassering),
berisi aturan lebih lanjut tentang pelaksanaan kegiatan probation (De Kok et al., 2020).
Fungsi
utama dari layanan probation service
ditetapkan dalam sections 8-14 of the 1995 Probation Rules yang terdiri dari: (Tak, 1999)
a) the provision of early help, consisting
of provisional social enquiry reports on the offender to the police, the
prosecution service, and the judge in case the person in question has been
arrested by the police and pre-trial detention is considered;
b) the provision of social enquiry reports
at the request of the criminal justice agencies, of the offender or on the
initiative of the probation service in order to enable the agencies to make
decisions;
c) the provision of assistance and
supervision for convicted persons;
d) assisting offenders at the court
session;
e) assisting offenders with behavioural
difficulties;
f) providing probation activities in the
last phase of the implementation of a prison sentence and during aftercare
(penitentiary programs);
g) preparing and implementing task penalties
and substitutes to imprisonment, such as electronic
monitoring, including supervision of compliance with task penalties and
providing information to the competent authorities on compliance.
Probation Officer di
Belanda dalam menangani pelaku dewasa terlibat dalam proses pemberian bantuan
di awal proses peradilan dengan membuat�
laporan serupa Litmas yang disebut social
enquiry reports terhadap pelaku. Laporan
tersebut diberikan kepada polisi, kejaksaan, dan hakim dalam hal pelaku yang
bersangkutan telah ditangkap oleh polisi dan membutuhkan� pertimbangan terkait penahanan sebelum proses
persidangan dimulai. Selain membuat pertimbangan terkait penahanan, Probation Officer di Belanda menyusun social enquiry reports atas permintaan
aparat penegak hukum lain, pelaku tindak pidana maupun atas inisiatif penyedia
layanan probation service dengan
tujuan memberikan rekomendasi yang bertujuan memudahkan lembaga peradilan
membuat keputusan tertentu terhadap pelaku tindak pidana. Probation Officer di Belanda melakukan pendampingan pelaku tindak
pidana dewasa dalam sidang di pengadilan dan membantu mencarikan solusi bagi
pelaku yang memilki permasalahan perilaku tertentu.
Dalam
hal pelaksanaan pidana, Probation Officer
Belanda bertugas menyediakan kegiatan percobaan di fase terakhir implementasi
dari pidana penjara dan selama masa perawatan (program pemasyarakatan);
mempersiapkan dan menerapkan� tugas dan
pengganti pidana penjara, seperti pemantauan elektronik, termasuk pengawasan
kepatuhan dengan pidana tugas tertentu serta memberikan informasi kepada pihak
yang berwenang terkait kepatuhan pelaku pelanggar hukum. Ruang lingkup tugas Probation Officer di Belanda bagi pelaku
tindak pidana dewasa mencerminkan arah pemidanaan pelaku kejahatan yang tidak
semata-mata berorientasi pada penjeraan pelaku tetapi juga mencerminkan
penerapan keadilan restoratif.
Secara
garis besar, ruang lingkup tugas dan fungsi Pembimbing Kemasyarakatan dengan Probation Officer di Belanda hampir
serupa yaitu meliputi pendampingan, pengawasan, pembimbingan dan juga pembuatan
laporan terkait pelaku tidak pidana. Akantetapi terdapat perbedaan yang cukup
signifikan terkait penanganan tindak pidana bagi pelaku dewasa. Ruang lingkup
tugas dan fungsi Probation Officer di
Belanda lebih luas dibandingkan Pembimbing Kemasyarakatan di Indonesia yaitu
turut berperan dalam pembuatan laporan sosial bagi pelaku di tahapan pra
ajudikasi serta turut mendampingi selama persidangan. Di Indonesia pembuatan
Litmas dan pendampingan bagi tersangka dewasa baru efektif berlaku bagi
penanganan perkara anak. Terlebih pelaksanaan Litmas di Indonesia diawali dari
penerimaan permintaan dari instansi pemohon yang mayoritas berasal dari sesama
aparat penegak hukum sehingga sepanjang belum diwajibkan dan tidak ada
permintaan dari instansi terkait maka pelaksanaan Litmas sebagai pada tingkat
pra ajudikasi untuk pelaku tindak pidana dewasa di Indonesia belum berjalan
secara efektif.
Kondisi
yang berbeda ditemui di Belanda. Sejak dilaksanakan penangkapan, probation service sudah mulai dilibatkan
untuk memberikan rekomendasi yang ditujukan baik bagi polisi, jaksa maupun
hakim.� Tujuan dari laporan ini adalah
untuk memberi tahu hakim tentang latar belakang sosial terdakwa, keadaan
(kriminogenik), risiko pelanggaran kembali dan kelayakan untuk jenis pidana
tertentu, laporan dari Probation Offiicer
dapat dijadikan salah stu pertimbangan bagi hakim ketika membuat putusan. (van
Wingerden, van Wilsem, & Moerings, 2014) Lebih
lanjut, di Belanda, sudah diterapkan pidana pengganti penjara seperti community service, sementara di
Indonesia alternatif pemidanaan baru diatur dalam RUU KUHP yang akan disahkan.
Oleh karena itu, peran Probation Officer
di Belanda
lebih luas dalam hal penerapan keadilan restoratif dan alternatif pidana karena
telah didukung oleh keberadaan dasar hukum positif.
2.
Peran
Pembimbing Kemasyarakatan dalam Pelaksanaan Keadilan Restoratif Bagi Pelaku
Dewasa
Arah
pembentukan hukum Indonesia seyogyanya berpedoman pada tujuan bernegara pada
alinea ke-4 (empat) pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 sebagai acuan utamanya yaitu:
�Kemudian daripada itu untuk membentuk
suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.�
Isi dari
alinea keempat tersebut menggambarkan tujuan pembentukan hukum Indonesia adalah
�perlindungan masyarakat� (social defence)
dan �kesejahteraan masyarakat� (social
welfare). (Republik Indonesia, 2017)
Akantetapi tujuan tersebut belum dapat sepenuhnya tercapai karena masih
terdapat perbedaan pandangan terhadap tujuan pemberian pidana.
Penjatuhan
pidana terhadap pelaku kejahatan dilakukan semata-mata karena perintah
undang-undang. Pemidanaan dilakukan untuk memberikan efek jera kepada pelaku,
dengan keyakinan semakin tinggi pidana yang dijatuhkan maka semakin besar efek
jera yang diberikan kepada pelaku. Pola pemikiran praktis ini berdampak pada
keluaran dari
sistem peradilan pidana menghasilkan permasalahan overcrowding yang justru�
menjadi bumerang. �Overcrowding mengakibatkan tidak
terpenuhinya hak asasi narapidana dan pelaksanaan pembinaan menjadi tidak
efektif berujung tingginya angka pelanggaran dan residivis. Kondisi tersebut
pada akhirnya membawa peradilan pidana menjadi semakin menjauh dari tujuan
memberikan perlindungan serta kesejahteraan masyarakat.
Untuk
itu, dibuat kebijakan dalam pemindanaan yang mulai meninggalkan paradigma
pembalasan sebagai tujuan penjatuhan pidana yaitu melalui penerapan keadilan
restoratif. Keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon
pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan
perlibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang
bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. (Eva Achjani Zulfa, 2006)
Penerapan
dari keadilan restoratif tidak terlepas dari pengaruh metode EAL Economic Analysis of Law. Pendekatan Economic analysiss of law (EAL) dikenal
pula dalam konstitusi Indonesia yaitu dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 melalui frasa
�efisiensi berkeadilan�. Efisiensi berkeadilan tersebut ditujuan untuk kesejahteraan
masyarakat sebagaimana tujuan daripada EAL. Salah satu perangkat dari EAL
adalah CBA atau Cost Benefit Analysis. Maksud
dari penerapan pendekatan EAL dilatar belakangi analisis ekonomi dalam
perumusan kebijakan pidana perlu digunakan untuk menghasilkan kebijakan pidana
yang lebih efisien. Analisis ini menekankan pentingnya analisis untung rugi (cost
and benefit analysis) karena menyadari adanya kelangkaan atau keterbatasan
(scarcity) dalam penindakan ketentuan pidana. Analisis untung rugi
digunakan terutama menghadapi kondisi di mana mayoritas ketentuan pidana
diancam dengan pidana penjara yang tidak efisien karena menghabiskan terlalu
banyak anggaran. Pidana penjara juga belum mampu mengembalikan kerugian yang
diderita korban.
(Ramadhan, 2016)
Walaupun pelaku telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana, kondisi korban tidak
bisa kembali normal. Dengan kelemahan ini, muncul gagasan tentang sistem
pemidanaan yang berorientasi
pada pemulihan korban, yang disebut keadilan restoratif (Flora,
2018).
Pendekatan
Keadilan Restoratif diasumsikan sebagai pergeseran paling mutakhir dari berbagai
model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem peradilan pidana dalam menanggani
perkara-perkara pidana pada saat ini. (Adji,
2020)� Adapun dalam beberapa penelitian disebutkan
bahwa unsur dari keadilan restoratif merupakan ciri hukum adat yang
berlaku� di Indonesia pada masa silam.
Hal ini terlihat dalam beberapa literatur antara lain dalam Kitab Hukum Pidana
Majapahit Kutara Manawa serta Qonun Mangkuta Alam di Aceh yang masih menjadi
rujukan dari keberlakuan hukum adat di beberapa daerah di Indonesia. (Eva Achjani Zulfa dan Indriyanto Seno Adji, 2010)
Dalam
bagian X dari �Pandecten van het
adatrecht� dijelaskan bahwa sanksi adat dapat berupa :
1) Pengganti
kerugian immateriil dalam berbagai rupa;
2) Pembayaran
�uang adat� kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai
pengganti kerugian rohani;
3) Selamatan
(korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib;
4) Penutup
malu, permintaan maaf.
Kesimpulan
Sebagai bagian
dari subsistem dalam sistem peradilan pidana, pemasyarakatan memiliki andil
dalam pelaksanaan keadilan restoratif melalui instansi di dalamnya termasuk melalui
para Pembimbing Kemasyarakatan. Pembimbing Kemasyarakatan bertugas melaksanakan
pembimbingan, pendampingan, pengawasan, serta pembuatan penelitian
kemasyarakatan terhadap narapidana dan juga anak berhadapan dengan hukum.
Adapun di Belanda, terdapat pula petugas serupa yang dikenal sebagai Probation Officer. Berbeda dengan
Pembimbing Kemasyarakatan yang berstatus sebagai ASN di Kementerian Hukum dan
HAM, pelaksanaan probation service di
Belanda dilaksanakan oleh lembaga privat dengan pengawasan dari Ministry of Justice and Safety Belanda.
Hal yang cukup menarik dari hasil kajian terhadap perbandingan tugas dan fungsi
dari kedua lembaga ini di Indonesia dan Belanda adalah dalam hal pelaksanaan
penanganan pelaku tindak pidana dewasa. Ruang lingkup tugas Probation Officer di Belanda cukup luas
meliputi pembuatan laporan sosial bagi pelaku di tahapan pra ajudikasi serta
turut mendampingi selama persidangan. Adapun pelaksanaan Litmas dan pendamping
bagi tersangka dewasa di Indonesia baru efektif berlaku bagi penanganan perkara
anak.
Perbedaan jenis
pidana yang diatur dalam KUHP Indonesia dan Belanda turut mempengaruhi
pula ruang lingkup tugas Pembimbing Kemasyarakatan. Indonesia belum mengatur
pidana alternatif dalam KUHP yang saat ini berlaku sehingga hakim lebih banyak
menjatuhkan pidana penjara pada pelaku kejahatan. Akibatnya Pembimbing
Kemasyarakatan dalam menangani pelaku dewasa lebih banyak berperan ketika
proses penjatuhan pidana selesai yaitu dalam pelaksanaan program pembinaan dan
reintegrasi sosial warga binaan. Sementara di Belanda, sudah diterapkan pidana
alternatif, sehingga ketika pelaku masih berstatus tersangka, Probation Officer dapat memberikan
rekomedasi kepada hakim terkait kemungkinan diterapkan pidana alternatif sesuai
dengan kondisi pelaku. Selain itu Probation
Officer di Belanda berperan dalam mengawasi pelaksanaan pidana alternatif
seperti pidana community service.
Peran Pembimbing
Kemasyarakatan dalam penerapan keadilan restoratif bagi pelaku dewasa di
Indonesia saat ini masih belum terlalu signifikan. Pasal 38 ayat (4) PP 31
Tahun 1999 memperluas peran Pembimbing Kemasyarakatan dalam pelaksanaan Litmas
pada tahap pra-ajudikasi termasuk juga pelaksanaan pendampingan bagi pelaku
tindak pidana dewasa. Ketentuan ini merupakan inisiasi yang baik bagi penerapan
keadilan restoratif bagi pelaku dewasa. Namun penerapannya masih belum optimal
dikarenakan pelaksanaan Litmas bagi tersangka dewasa belum menjadi suatu
keharusan. Belum adanya kesamaan persepsi dari para aparat penegak hukum lain
dalam menerapkan ketentuan ini menjadikan Litmas bagi tersangka dewasa belum
banyak dilaksanakan.
Peran Pembimbing Kemasyarakatan dalam penerapan keadilan restoratif
akan lebih terasa ketika RUU KUHP disahkan. Salah satu perkembangan yang cukup
signifikan adalah hadirnya jenis Litmas baru yaitu Litmas sebagai pre-sentenced
report atau yang hampir serupa dengan social enquiry reports sebagai pre-sentenced report yang diterapkan di Belanda. Komponen Litmas
sebagai pre-sentenced report selain
memuat identitas dan riwayat hidup pelaku memuat pula tanggapan dari korban
yaitu apakah terdapat pemaafan dari korban dan/atau keluarganya serta� tanggapan dari masyarakat terkait tindak
pidana yang dilakukan pelaku. Litmas ini merupakan perwujudan dari upaya
optimalisasi penerapan keadilan restoratif, sehingga diharapkan hasil dari putusan
hakim bukan lagi sekedar ditujukan untuk pemberian efek jera pelaku tetapi juga
memperhatikan tanggapan dan harapan korban serta masyarakat.
Terkait dengan
jenis pidana, berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 10 KUHP, di dalam RUU KUHP
terdapat beberapa jenis pidana baru seperti pidana pengawasan dan juga pidana
kerja sosial bagi pelaku tindak pidana dewasa sebagai alternatif pidana
penjara. Berkaitan dengan pidana alternatif tersebut, Pasal 57 RUU
Pemasyarakataan� mengamanatkan bahwa
pembimbingan, pendampingan serta pengawasannya akan dilaksanakan oleh
Pembimbing Kemasyarakatan. Hal ini hampir serupa pelaksanaan tugas probation service di Belanda, diharapkan
optimalisasi peran Pembimbing Kemasyarakatan dalam menangani pelaku tindak
pidana dewasa dalam membantu mendorong implementasi keadilan restoratif dan
berdampak pula pada berkurangnya tingkat overcrowding
Lapas/Rutan.
Adji, Indriyanto Seno. (2020). KORUPSI :
Economic Analysis of Law & Perspektif Keadilan Restoratif. Pusat Analisa
Kebijakan Hukum Dan Ekonomi, 1�19. https://doi.org/10.2139/ssrn.859406. Google Scholar
Bosker, Jacqueline, Witteman, Cilia, &
Hermanns, Jo. (2013). Agreement About Intervention Plans By Probation Officers.
Criminal Justice and Behavior, 40(5), 569�581.
https://doi.org/10.1177/0093854812464220. Google Scholar
De Kok, Marco, Tigges, Leo, & Van
Kalmthout, Anton. (2020). Probation in Europe - The Netherlands. Google Scholar
Eva Achjani Zulfa. (2006). Keadilan
Restoratif. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Google Scholar
Eva Achjani Zulfa dan Indriyanto Seno Adji.
(2010). Pergeseran Paradigma Pemidanaan. Bandung: Lubuk Agung. Google Scholar
Flora, Henny Saida. (2018). UBELAJ, Volume
3 Number 2, October 2018 | 142. 3(2), 142�158. Google Scholar
Fox, Darrell. (2009). Social welfare and restorative
justice. Kriminologija I Socijalna Integracija, 17(1), 55�68. Google Scholar
Hariyanto, Diah Ratna Sari, & Pradnya
Yustiawan, Dewa Gede. (2020). Paradigma Keadilan Restoratif Dalam Putusan
Hakim. Kertha Patrika, 42(2), 180. https://doi.org/10.24843/kp.2020.v42.i02.p06.
Google Scholar
Harkisnowo, Harkristuti. (2003).
Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan
Pemidanaan di Indonesia, dalam Majalah KHN Newsletter. Edisi April. Google Scholar
Indonesia, Kementerian Hukum dan HAM
Republik. (2017). Banyak Sel Penjara Kosong di Belanda, Menkumham Antusias
Belajar dari Kerajaan Belanda. Google Scholar
Irmawanti, Noveria Devy, & Arief, Barda
Nawawi. (2021). Urgensi Tujuan Dan Pedoman Pemidanaan Dalam Rangka Pembaharuan
Sistem Pemidanaan Hukum Pidana. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 3(2),
220. Google Scholar
Latifah, Marfuatul. (2019). Overcrowded
Pada Rumah Tahanan Dan Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia. Kajian Singkat
Terhadap Isu Aktual Dan Strategis, 1�6. Google Scholar
Napitupulu, Erasmus A. T., Novian, Rully,
& Eddyono, Supriyadi Widodo. (2018). Strategi Menangani Overcrowding di
Indonesia. Google Scholar
Nurbaningsih, Enny. (2015). Draft Naskah
Akademik Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Badan
Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, 1�539. Google Scholar
Nurbaningsih, Enny. (2017). Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang Tentang Pemasyarakatan. Jakarta: BPHN, 1�115. Google Scholar
Pemasyarakatan, Filsafat Sistem, &
Sulhin, Iqrak. (2011). Filsafat (Sistem) Pemasyarakatan. Jurnal Kriminologi
Indonesia, 7(1), 134�150. Google Scholar
Ramadhan, Choky Risda. (2016). Pengantar
Analisis Ekonomi Dalam Kebijakan Pidana di Indonesia. Google Scholar
Reksodiputro, Mardjono. (2020). Sistem
Peradilan Pidana (1st ed.; Yayat Sri Hayati, Ed.). Depok. Google Scholar
Republik Indonesia. (2017). Peraturan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017 tentang
Grand Design Penanganan Overcrowded pada Rumah Tahanan Negara dan Lembaga
Pemasyarakatan. Berita Negara Republik Indonesia, p. 90. Google Scholar
Santoso, Topo. (2020). Hukum Pidana
Suatu Pengantar (1st ed.; Yayat Sri Hayati, Ed.). Depok: Rajawali Pers. Google Scholar
Sri Mamudji dan Hang Rahadjo. (2005). Metode
Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. Google Scholar
Tak, Peter J. P. (1999). The Dutch Criminal
Justice System. In Organization and operation. Google Scholar
van Wingerden, Sigrid, van Wilsem, Johan,
& Moerings, Martin. (2014). Pre-sentence reports and punishment: A
quasi-experiment assessing the effects of risk-based pre-sentence reports on
sentencing. European Journal of Criminology, 11(6), 723�744.
https://doi.org/10.1177/1477370814525937. Google Scholar
Waskito, Achmad Budi. (2018). Implementasi
Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Integrasi. Jurnal Daulat Hukum,
1(1), 287�304. Google Scholar
Zulfa, Eva Achjani. (2009). Keadilan
restoratif di Indonesia (Studi Tentang Kemungkinan Penerapan Pendekatan Keadilan
Restoratif dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana ). Unversitas Indonesia. Google Scholar
Copyright holder: Margareta Dewi Lusiana dan Surastini Fitriasih (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |