Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 6,
Juni 2022
PENGARUH JENIS
KLON DAN KONSENTRASI TRICODERMA SP. TERHADAP PERTUMBUHAN REPRODUKSI KAKAO
(THEOBROMA CACAO L.)
Andi
Besse Tenri Ola, Rafiuddin, Nasaruddin
Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin,
Indonesia
Email: [email protected],
[email protected], [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis klon dan pemberian Tricoderma sp. terhadap komponen produksi kakao. Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Gantarangkeke, Kecamatan Gantarangkeke, Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi
Selatan pada bulan Juni sampai Desember 2019. Penelitian ini dilaksanakan dalam bentuk percobaan yang disusun berdasarkan pola Rancangan Petak Terpisah (RPT) dengan 3 ulangan. Petak utama adalah
jenis klon, terdiri atas 3 klon yaitu MCC 01, Sulawesi 01
dan Sulawesi 02. Anak petak adalah
konsentrasi Tricoderma sp yang terdiri dari 4 taraf yaitu
Tricoderma sp. 0 gram/liter air, 2 gram/liter air,
4 gram/liter air dan 6 gram/liter air. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan konsentrasi Tricoderma sp. 6
gram/liter memberikan nilai
terbaik terhadap parameter persentase bunga yang terbentuk menjadi pentil (1.05%), persentase pentil yang berhasil menjadi buah dewasa
(91.12%). Klon MCC 01 memberikan
nilai terbaik pada
parameter persentase pentil
menjadi buah dewasa (88.81%). Interaksi antara klon Sulawesi 01 dengan
konsentrasi Tricoderma sp 6 gram/liter air memberikan
nilai terbaik terhadap paremeter persentase bunga yang gugur (46.43%).
Kata Kunci: Klon, Tricoderma sp, Kakao.
Abstract
The purpose of the research is to determining the effect of clone type and concentration of Tricoderma sp. to components of cocoa production. This research was conducted in Gantarangkeke Village, Gantarangkeke District, Bantaeng Regency, South Sulawesi Province on June until December 2019. The research was conducted with arranged experiment, Split Plot Design (SPD) in 3 replications. The main plot was clone type, consisting of 3 clones i.e., MCC 01 (k1), Sulawesi 01 and Sulawesi 02. Sub-plot is concentration of Tricoderma sp which consisted of 4 levels i.e., Tricoderma 0 grams/liter of water, 2 grams/liter of water, 4 grams/liter of water and 6 grams/liter of water. The results showed the concentration of Tricoderma sp. 6 gram/liter gave the best value for percentage of flowers into cherelle form (1.05%), parameters and the percentage of cherelle that succeeded in becoming ripe fruit (91.12%). The MCC 01 clone gave the best value on the cherelle into ripe fruit form (88.81%) percentage parameters. The interaction between the Sulawesi 01 clone and the concentration of Tricoderma sp 6 grams/liter of water gave the best value for flowers wilt (46.43%) percentage parameters.
Keywords: Clones, Tricoderma sp, Cocoa.
Pendahuluan
Kakao (Theobrema cacao L.) merupakan
salah satu komoditas perkebunan yang memiliki peran cukup penting dalam
perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan,
devisa negara, disamping sebagai pendorong pembangunan wilayah dan
pengembangan agroindustri (Pertanian, 2020).
Kakao memiliki manfaat dari biji, kulit, buah, pulp yang dimanfaatkan untuk industri, bahan makanan, farmasi, kosmetik, dan daun untuk pembuatan
pupuk organik. Kakao dikenal memiliki
kandungan gizi yang mudah dicerna dan mengandung banyak vitamin seperti A, B, B2, C, D dan E (Rukmana dan Yudirachman,
2016).
Perkebunan kakao di
Indonesia mengalami penurunan
luas area secara terus menerus yakni
0.39% pertahun terhitung selama 2011-2020. Pada tahun
2011, luas areal kakao
Indonesia 1.732.641 ha, kemudian pada tahun 2020 menurun 1.582.406 ha atau berkurang 150.235 ha. Sebagian
besar perkebunan kakao di Indonesia dalam bentuk perkebunan rakyat (98,33%) dengan sentra produksi utama di
Sulawesi (Yunia & Arianto, 2015).
Berdasarkan data rata-rata produksi
kakao selama lima tahun terakhir (2014-2018), Provinsi Sulawesi Selatan merupakan
sentra penghasil kakao kedua terbesar
di Indonesia memberikan konstribusi
sebesar 17.05 % (Pertanian, 2020).
Seperti halnya
pada perkembangan luas
areal, perkembangan produksi
kakao Indonesia pada periode
2011-2020 juga berfluktuasi dan cenderung
menurun dengan rata-rata pertumbuhan turun sebesar 0,41% per tahun. Ditinjau dari sisi
produktivitas, selama kurun waktu 2011-2020 komoditas kakao di Indonesia mengalami fluktuasi dengan kecenderungan pertumbuhan menurun rata-rata sebesar 1,21% per tahun (Pertanian, 2020).
Penuruan
luas area perkebunan dan perkembangan produksi yang cenderung menurun mengakibatkan target produksi hingga saat ini
belum dapat terpenuhi. Upaya peningkatan terus menerus dilakukan salah satunya dengan pemilihan bahan tanam unggul. Menurut
(Widyastuti, Parapasan, & Same, 2021)
salah satu penyebab rendahnya produksi dan produktivitas kakao di perkebunan rakyat karena belum menggunakan
bibit dari klon atau varietas
unggul atau masih menggunakan bibit asalan. Hingga
saat ini terdapat 5 klon yang telah di lepas oleh pemerintah Sulawesi selatan yakni MCC 01, MCC 02, Sulawesi 01, Sulawesi 02 dan Sulawesi
03. Klon tersebut memiliki potensi daya hasil yang tinggi dan tahan terhadap hama dan penyakit. Sehingga melalui penggunaan bahan tanam yang tepat diharapkan mampu meningkatkan produksi kakao.
Menurut
Prawoto dalam Ahmad (2015) tanaman kakao merupakan
tanaman yang memiliki potensi produksi yang tinggi, namun produksi
tersebut tidak dapat optimal karena pada tanaman kakao terdapat
penyakit fisiologis yang dikenal dengan layu pentil.� Pada penelitian
yang dilakukan oleh (HS, 2021)
menyatakan bahwa layu buah muda (cherelle wilt) merupakan salah satu penyakit fisiologis
yang terjadi pada tanaman kakao. Cherelle wilt
terjadi pada kakao yang berusia masih muda
sehingga menyebabkan potensi keberhasilan perkembangan buah rendah. Rendahnya buah yang berkembang menyebabkan produksi kakao rendah. Penyebab
dari layu buah muda terjadi
karena adanya gangguan fisiologis yang terjadi dalam proses metabolisme buah. Gangguan metabolisme buah menyebabkan terhambatnya pembentukan asimilat serta translokasi asimilat dari source (sumber) ke sink (lubuk). Layu pentil (cherelle wilt) mengakibatkan kegagalan
proses embriogenesis dan perkembangan
pada buah. Dimana
bunga akan layu, pentil akan
menjadi hitam dan gugur sehingga persentase gugur bunga dan buah yang tinggi akan berdampak
nyata pada produksi atau hasil panen.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh (Rahman, 2018)
menjelaskan bahwa pemberian Tricoderma sp mengakibatkan jumlah buah gugur
semakin sedikit dan semakin sedikit buah yang gugur maka buah yang dipanen semakin banyak.
Berdasarkan
hal tersebut, untuk mengetahui klon-klon yang memiliki potensi daya hasil
yang lebih tinggi dan untuk mengetahui konsentrasi Tricoderma sp yang tepat untuk diaplikasikan, maka dilakukanlah penelitian pengaruh jenis klon dan konsentrasi Tricoderma sp terhadap pertumbuhan reproduksi kakao.
Metode Penelitian
Tempat dan Waktu
����������� Penelitian dilaksanakan
di sentra produksi kakao Kelurahan Gantarangkeke, Kecamatan Gantarangkeke, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan yang berlangsung dari Juni 2019
hingga Desember 2019.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sprayer dan alat tulis menulis. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah air, kertas label, Tricoderma sp. dan 3 jenis
klon kakao (MCC 01, Sulawesi 01 dan
Sulawesi 02).
Metode Penelitian
Penelitian
dilakukan dalam bentuk percobaan pola Rancangan Petak Terpisah (RPT), petak Utama adalah klon kakao (K), terdiri dari 3 klon yaitu:
- Klon
MCC 01 (k1)
- Klon
S1 (Sulawesi 1) atau (k2)
- Klon
S2 (Sulawesi 2) atau (k3)
Anak
petak adalah konsentrasi Tricoderma (T), terdiri atas 4 taraf yaitu:
- 0
gram/liter air (to)
- 2
gram /liter air (t1)
- 4
gram /liter air (t2)
- 6
gram /liter air (t3)
Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali, masing-masing terdiri
dari 3 unit tanaman sehingga untuk semua perlakuan
terdapat 108 populasi tanaman.
Pelaksanaan Penelitian
Pengaplikasian
Tricoderma dilakukan sesuai dengan taraf perlakuan
yang telah ditentukan, pengaplikasian dilakukan mulai dari proses pembentukan bunga, pentil hingga buah
matang fisiologis. Penyemprotan dilakukan pada pagi hari, dilakukan
setiap 3 hari sekali pada tahap pembungaan dan ketika telah memasuki tahap pembentukan pentil dan buah interval penyemprotan dilakukan setiap 7 hari sekali.
Penyemprotan dilakukan disemua bantalan buah yang terdapat pada batang primer pada pohon kakao.
Parameter yang diamati adalah jumlah bunga
terbentuk, persentase bunga gugur, persentase
bunga yang berhasil membentuk pentil dan persentase pentil membentuk bunga dewasa. Dilakukan dengan menghitung jumlah bunga, pentil
dan buah yang terbentuk selama periode pengamatan. Menggunakan rumus di bawah ini:
Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan
dianalisis dengan menggunakan Anova sesuai Rancangan Petak Terpisah (RPT). Apabila berpengaruh nyata atau sangat nyata, maka dilakukan
analisis lanjutan dengan Uji BNT
(α = 0.05).
Hasil Dan Pembahasan
Gambar 1
Diagram Rata-Rata Jumlah Bunga Yang Terbentuk Pada Berbagai Jenis Klon Dan Konsentrasi Tricoderma sp.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan jenis klon dan konsentrasi Tricoderma sp tidak berpengaruh nyata terhadap parameter jumlah bunga yang terbentuk. Namun jika di lihat dari
Gambar 1, dapat di simpulkan
bahwa klon Sulawesi 02 pada
pemberian Tricoderma sp. 0
gram/liter air (k3t0) cenderung menghasilkan
jumlah bunga terbentuk terbanyak yakni 348 bunga. Sedangkan nilai terendah terdapat pada klon MCC 01 pada pemberian Tricoderma sp. 2 gram/liter air (k1t1) yakni 163 bunga. Menurut Nasaruddin et al., (2021)
intensitas berbunga setiap varietas atau klon sangat bervariasi, hal ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan tentunya juga dapat dipengaruhi oleh faktor kompatibilitas bunga. Sehingga sifat ini tidak dapat
digunakan untuk proses karakterisasi secara genetik dengan perubahan yang terjadi. Variasi genotipik ini dapat dipastikan
melalui pengamatan komparatif dan dalam rentang waktu yang cukup lama.
Gambar 1 juga menunjukkan bahwa pemberian Tricoderma sp tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah bunga terbentuk. Hal ini dikarenakan pada saat penelitian berlangsung, rata-rata curah hujan bulanan dari
bulan Juli-Oktober 2019 (sumber data BMKG setempat) tidak lebih dari
5 mm/bulan sehingga sangat rendahnya curah hujan mengakibatkan efektivitas dari cendawan Tricoderma sp. juga
ikut menurun. Menurut pendapat Baihaqi et al., dalam Fitri et al., (2021), sumber makanan, curah hujan serta kelembaban
udara juga mempengaruhi ruang tumbuh untuk
pertumbuhan Trichoderma
sp. dan juga akan berpengaruh
kepada efisiensi aplikasi Trichoderma
sp. yang berdampak pada pertanaman.
Tabel 1
Rata-Rata Persentase Bunga Yang Gugur Pada Berbagai Jenis Klon Dan Konsentrasi Tricoderma sp.
Jenis Klon (K) |
Tricoderma (T) (gram/liter
air) |
NP BNT |
|||
0 (to) |
2 (t1) |
4 (t2) |
6 (t3) |
(t) |
|
MCC 01 (k1) |
78.84 by |
70.63 abx |
68.73 aby |
62.54 ay |
12.022 |
Sulawesi 01 (k2) |
68.96 bx |
71.57 by |
59.66 by |
46.43 ax |
|
Sulawesi 02 (k3) |
62.61 abx |
67.23 bx |
59.32 abx |
51.31 ax |
|
NP BNT (k) |
������� 6.585 |
|
Keterangan:
Angka-angka yang diikuti
oleh huruf yang sama pada kolom (x,y)
dan baris (a,b,c) yang sama
menunjukkan berbeda tidak nyata menurut
uji BNT taraf 5%.
Hasil uji BNT 0.05 pada Tabel
1 menunjukkan bahwa nilai persentase bunga gugur terendah
ditunjukkan oleh interaksi antara klon Sulawesi 01 pada Tricoderma sp. 6 gram/liter air (k2t3) yakni 46.43%, berbeda nyata dengan Tricoderma sp. 0 gram/liter air (k2t0), Tricoderma sp. 2 gram/liter air (k2t1) dan Tricoderma 4 gram/liter air
(k2t2). Klon Sulawesi 02 (k2t3) berbeda
nyata dengan klon MCC 01 (k1t3) tetapi masih sama dengan
Sulawesi 02 (k3t3). Sedangkan interaksi
antara klon MCC 01 pada konsentrasi Tricoderma sp. 0
gram/liter air (k1t0) menunjukkan nilai
persentase bunga gugur tertinggi yakni 78.84% berbeda nyata dengan Tricoderma sp. 6 gram/liter air (k1t3) tetapi masih sama dengan
Tricoderma sp. 2 gram/liter air (k1t1) dan Tricoderma sp. 4 gram/liter air (k1t2).� Klon MCC 01 pada Tricoderma sp. �0 gram/liter air (k1t0) berbeda
nyata dengan klon Sulawesi 01 pada Tricoderma sp. �0 gram/liter air (k2t0)
dan klon Sulawesi 02 pada Tricoderma sp. 0 gram/liter air (k3t0).
Hal ini sesuai
dengan pendapat (Masese, 2022),
yang menyatakan bahwa interaksi antara cendawan endofit dan inangnya bersifat simbiosis mutualisme dimana mikroba endofit memperoleh pasokan nutrisi terlindungi dari kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan dalam upaya reproduksi
dan kolonisasi. Sedangkan tanaman inang dapat
meningkatkan pertumbuhannya
dan potensi endofit ini berkaitan dengan
produksi berbagai fitohormon seperti giberelin dan auksin. Dimana hormon tanaman memiliki peranan penting dalam pertumbuhan
dan perkembangan tanaman.
Menurut
(Tambunan, Proborini, & Astiti, 2018)
pertumbuhan tanaman kakao (Theobroma
cacao L.) dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, hara, tanah dan
mikroorganisme. Salah satu mikroorganisme yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman kakao adalah
cendawan endofit. Cendawan endofit adalah cendawan yang hidup pada jaringan tumbuhan seperti biji, daun, bunga,
ranting, batang dan akar
yang bersifat mutualistik
dan diketahui dapat memacu pertumbuhan tanaman, mampu menghasilkan antibiotika dan zat pengatur tumbuh
(hormon). Beberapa cendawan endofit yang di isolasi dari tanaman
kakao salah satunya yaitu Tricoderma sp.
(S Simbolon, Purnomo, & Sulistyo, n.d.)
juga menjelaskan bahwa pemberian Tricoderma sp. dapat membantu untuk mempertahankan persentase bunga dan buah untuk bertahan
serta menurunkan persentase gugurnya sehingga produksi yang dihasilkan dapat meningkat. Sehingga semakin tinggi konsentrasi yang diberikan, kemampuannya dalam mempertahankan bunga ataupun buah juga akan semakin baik.
Disamping itu, tanaman kakao diketahui
mampu berbunga dan berbuah sepanjang tahun. Namun kemampuan
reproduksi pada setiap klon juga berbeda, produksi setiap bulannya tidak sama. Oleh karena itu jumlah bunga
dan buah yang dihasilkan antar klon sangat variatif tergantung jenis klon atau
varietas dari suatu tanaman (Tjahjana, Bambang Eka, Handi Supriadi, 2014).
Tabel 2
Rata-Rata Persentase Bunga Yang Berhasil Menjadi Pentil Pada Berbagai Jenis Klon Dan Konsentrasi Tricoderma sp.
Jenis Klon (K) |
Tricoderma (T) (gram/liter air) |
|||
0 (t0) |
2 (t1) |
4 (t2) |
6 (t3) |
|
MCC 01 (k1) |
1.37 (0.89) |
1.50 (1.27) |
1.37 (0.88) |
1.51 (1.28) |
S1 (k2) |
1.22 (0.48) |
1.17 (0.38) |
1.34 (0.80) |
1.37 (0.88) |
S2 (k3) |
1.23 (0.51) |
1.33 (0.77) |
1.31 (0.71) |
1.41 (0.99) |
Rata-rata |
1.27 (0.63) b |
1.34 (0.81) b |
1.34 (0.80) b |
1.43 (1.05) a |
NP BNT (T) |
0.077 |
Keterangan: �- Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata
menurut uji BNT taraf 5%
-Angka-angka yang berada di dalam kurung (data asli sebelum di transformasi).
Hasil uji BNT 0.05 pada Tabel
2 menunjukkan bahwa konsentrasi Tricoderma 6 gram/liter air (t3) menunjukkan
nilai persentase bunga tertinggi yang berhasil menjadi pentil yakni 1.05% berbeda nyata dengan
konsentrasi Tricoderma 0 gram/liter air (t0), 2 gram/liter air (t1) dan
4 gram/liter air (t2). Persentase bunga
yang berhasil menjadi pentil terendah terdapat pada perlakuan konsentrasi Tricoderma 0 gram/liter air (t0) yakni
0.63%.
(Simamora, 2021)
menjelaskan bahwa salah satu hormon tumbuh
yang bermanfaat untuk mendorong pembungaan tanaman kakao yaitu
auksin dan sitokinin. Selain dapat merangsang
pembentukan bunga, auksin juga dapat merangsang pembentukan buah. Penelitian yang dilakukan Chamzurni (2013) juga menyatakan bahwa Tricoderma dapat memproduksi Zat Pengatur Tumbuh
(ZPT) berupa Indole Acetic Acid (IAA).� Dimana, IAA salah satu
jenis hormon yang dapat memacu pertumbuhan
tanaman. Sehingga semakin banyak konsentrasi Tricoderma yang diberikan maka auksin yang terbentuk juga akan semakin banyak dan tentunya berdampak pada pertumbuhan dan produksi tanaman.
Tabel 3
Rata-Rata Persentase Pentil Yang Berhasil Menjadi Buah Dewasa Pada Berbagai Jenis Klon Dan Konsentrasi Tricoderma sp.
Jenis Klon (K) |
Konsentrasi Tricoderma (T) (gram/liter air) |
Rata-rata |
|||
0 (t0) |
2 (t1) |
4 (t2) |
�6 (t3) |
||
MCC 01 (k1) |
82.14 |
90.48 |
90.48 |
92.13 |
88.81 x |
Sulawesi 01 (k2) |
53.33 |
55.56 |
85.00 |
84.92 |
69.70 y |
Sulawesi 02 (k3) |
49.44 |
67.14 |
86.11 |
96.30 |
74.75 xy |
Rata-rata |
61.64 b |
71.06 b |
87.20 a |
91.12 a |
0.00 |
NP BNT (T) |
13.969 |
|
|||
NP BNT (K) |
14.611 |
|
Keterangan
:
Angka-angka yang diikuti
oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut
uji BNT taraf 5%.
Hasil uji BNT 0.05 pada Tabel
3 menunjukkan bahwa persentase pentil yang berhasil menjadi buah dewasa tertinggi
terdapat pada Tricoderma sp. 6
gram/liter air (t3) yakni 91.12% berbeda
nyata dengan konsentrasi Tricoderma sp. 0
gram/liter air (t0) dan 2 gram/liter air (t1) tetapi masih sama dengan
Tricoderma sp. 4 gram/liter air (t2). Sedangkan, persentase pentil menjadi buah dewasa terendah
terdapat pada perlakuan Tricoderma sp. 0 gram/liter air (t0) yakni 61.64%. Klon MCC 01 (k1) menghasilkan persentase pentil menjadi buah dewasa tertinggi
yakni 88.91%, berbeda nyata dengan klon
Sulawesi 01 (k2) tetapi masih
sama dengan klon Sulawesi 02 (k3), sedangkan persentase pentil menjadi buah dewasa
terendah terdapat pada klon Sulawesi 01 (k2) yakni
69.70%.
Hal ini dikarenakan
setiap klon atau varietas memiliki
kemampuan untuk mempertahankan dan menghasilkan jumlah buah yang berbeda-beda, sehingga jumlah pentil yang dapat bertahan dan tidak layu hingga
dapat menjadi buah dewasa juga tidak sama. Kemampuan
tersebut merupakan salah satu sifat bawaan
genetik yang dimiliki oleh setiap jenis tanaman,
klon ataupun varietas. Hal ini sesuai dengan pendapat
(Sopialena, 2018)
yang menyatakan bahwa kemampuan tiap varietas menghasilkan buah berbeda-beda, perbedaan ini berkaitan
adanya perbedaan genetik yang dibawa setiap varietas. Variasi produksi buah antara pohon
dipengaruhi banyak faktor, antara lain jumlah bunga yang dihasilkan, sifat compatible dan imcompatible dari
masing-masing klon, pengaruh
layu buah muda, dan tingkat serangan hama dan penyakit sejak pertumbuhan hingga panen (Apriana, 2018).
Kompatibilitas
adalah persentase kemampuan membentuk buah, daya fertilitas
adalah kemampuan fertilisasi. Sehingga inkompatibilitas terjadi karena ketidakmampuan organ jantan dan betina menghasilkan biji seksual akibat faktor fisiologi, serta tidak mampu
menghasilkan pollen tube dengan
cepat sampai ke ovul.� Perbedaan daya tahan buah
menggantung (bertahan) dipengaruhi oleh faktor luar (eksternal) dan fisiologis tanaman (internal). Tidak semua buah yang terbentuk
dapat�� dipanen, karena sebelumnya mengalami kerontokan. �Penyebab kerontokan buah sebelum panen antara lain embrio
dan endosperm berhenti tumbuh
sehingga tidak normal, tidak kuat dan selanjutnya lekas mati kemudian menjadi
rontok. Kemudian,
umur buah juga berbeda- beda karena
setia buah memiliki daya tahan
untuk bertahan yang tdiak sama. Buah
ada yang bertahan lama menggantung hingga panen, namun ada
juga yang tidak dapat tumbuh terus atau
tidak sampai masak karena rontok
lebih dahulu sebelum masuk ke
periode panen (Hartati, Cahyono, & Lestari, 2017).
Menurut
(Nasaruddin, 2009)
buah yang terbentuk pada bulan pertama tidak
seluruhnya akan bertahan sampai panen dan belum mampu menjamin produksi sebab akan mengalami kelayuan dan keguguran buah dalam kurung
waktu 1-2 bulan yang biasanya di sebut dengan cerella wilt. Persentase kelayuan dapat mencapai sekitar 60%� 90% yang umumnya terjadi pada umur buah sampai 50 hari. Tingkat kelayuan buah muda pada umumnya terjadi dalam dua tahap
yakni pada umur 7 minggu setelah pembuahan dan pada umur buah sekitar 10 minggu setelah pembuahan. �
Pemberian
Tricoderma sp pada Tabel 3 memberikan pengaruh nyata terhadap persentase pentil menjadi buah dewasa. Dimana, aplikasi Tricoderma sp 6 gram/liter air memberikan
nilai persentase tertinggi yakni 91.12% tidak berbeda nyata
dengan perlakuan Tricoderma sp 4
gram/liter air dan persentase terendah
terdapat pada perlakuan 0
gram/liter air (tanpa Tricoderma sp). Hasil penelitian
yang telah dilakukan oleh
Rahman (2018) menjelaskan bahwa
pemberian Tricoderma sp mengakibatkan jumlah buah muda
yang gugur semakin sedikit dan semakin sedikit buah muda
(pentil) yang gugur maka buah yang dipanen semakin banyak. Sehingga tanaman yang diberikan Tricoderma dengan yang tidak diberikan akan menghasilkan hasil panen yang berbeda pula. Penelitian lain
juga menjelaskan bahwa kekurangan air yang terjadi pada musim kemarau menyebabkan
angka persentase pentil buah mengalami
kelayuan meningkat dan tentu saja akan
menyebabkan penurunan produksi (Tutiliana, 2014).
Kesimpulan
Perlakuan
Tricoderma sp dan jenis klon tidak
berpengaruh nyata terhadap jumlah bunga terbentuk. Penggunaan konsentrasi Tricoderma sp. 6 gram/liter memberikan
nilai terbaik terhadap parameter persentase bunga yang terbentuk menjadi pentil (1.05%), persentase pentil yang berhasil menjadi buah dewasa (91.12%). Klon MCC 01 memberikan nilai terbaik pada parameter persentase pentil menjadi buah dewasa
(88.81%). Interaksi antara klon Sulawesi 01 dengan konsentrasi Tricoderma sp 6 gram/liter air memberikan
nilai terbaik terhadap paremeter persentase bunga yang gugur (46.43%).
Apriana, Bau Lilis. (2018). Identifikasi Klon Kakao
(Theobroma Cacao.L) di Kebun Induk Balai Penelitian Tanaman Industri dan
Penyegar Sukabumi � Jawa Barat. Jurusan Budidaya Tanaman Penyegar. Skripsi.
Politeknik Negeri Pertanian Pangkep.
Hartati, Sri, Cahyono, Ongko, & Lestari, Nunik Puji.
(2017). Uji Tingkat Kompatibilitas Dan Umur Mekar Bunga Pada Persilangan
Intergenerik Anggrek Vanda sp Dan Phalaenopsis sp. Caraka Tani: Journal of
Sustainable Agriculture, 32(1), 24�28. Google Scholar
HS, Endang Sri Dewi. (2021). Tingkat Layu Pentil (Cherelle
Wilt) Pada Berbagai Klon kakao (Theobroma cacao L). Agropet, 18(2),
1�13. Google Scholar
Masese, Zaedar. (2022). Eksplorasi dan Potensi Cendawan
Endofit Tanaman Kakao (Theobroma cacao) Asal Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah
sebagai Agen Biokontrol terhadap Colletotrichum gloeosporioides Penyebab
Antraknosa pada Tanaman Kakao= Exploration and Potential of the Endophytic
Fungus of Cocoa (Theobroma cacao) from Banggai Regency, Central Sulawesi as a
Biocontrol Agent Against Colletotrichum Gloeosporioides Causing Anthracnose on
Cocoa Plants. Universitas Hasanuddin. Google Scholar
Nasaruddin. (2009). Kakao, Budidaya dan Beberapa Aspek
Fisiologisnya. Depok: Yayasan Forest Indonesia.
Pertanian, Kementerian. (2020). OutLook Kakao.
Jakarta: Pusat Data dan Informasi Pertanian.
Rahman, Adhe Riany. (2018). Respon Tanaman Cabai Besar
(Capsicum annum L.) Terhadap Pemupukan Bioslurry dan Pengayaan Tricoderma
asperellum pada Media tanaman. Skripsi. Universitas Hasanuddin.
S Simbolon, Berliance A., Purnomo, Bambang, & Sulistyo,
Bambang. (N.D.). Aplikasi Trichoderma Sp. Untuk Mengendalikan Serangan
Fusarium Oxysporum F. Sp. Lycopercii Pada Tanaman Tomat Cung (Lycopersicum
Esculentum Mill.). Universitas Bengkulu. Google Scholar
Simamora, Manippo. (2021). Potensi Metabolit Sekunder Trichoderma
asperellum dan Pseudomonas fluorescens dalam Mengendalikan Penyakit Vascular
Streak Dieback (VSD) pada Tanaman Kakao. Google Scholar
Sopialena, Sopialena. (2018). Giving Effect Trichoderma sp.
In Tomato Plant To Production Factors. Agrifor: Jurnal Ilmu Pertanian Dan
Kehutanan, 17(2), 345�354. Google Scholar
Tambunan, Lilis Riana, Proborini, Meitini, & Astiti, Putu
Adriani. (2018). Eksplorasi Spatial Dan Identifikasi Cendawan Endofit Pada
Tanaman Kakao (Theobroma Cacao L.) Di Bali. Simbiosis: Journal of Biological
Sciences. Google Scholar
Tjahjana, Bambang Eka, Handi Supriadi, dan Dewi Nur Rokhmah.
(2014). �Pengaruh Lingkungan Terhadap Produksi Dan Mutu Kakao�. Dalam Bunga
Rampai Inovasi Teknologi Bioindustri Kakao. Jakarta : IAARD Press.
Widyastuti, Leni Sri, Parapasan, Yonathan, & Same, Made.
(2021). Pertumbuhan Bibit Kakao (Theobroma cacao L.) pada Berbagai Jenis Klon
dan Jenis Pupuk Kandang. Jurnal Agro Industri Perkebunan, 109�118. Google Scholar
Yunia, Ida, & Arianto, Yanuar. (2015). Statistik
Perkebunan Indonesia 2014-2016. Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan. Google Scholar
Copyright
holder: Andi Besse Tenri Ola, Rafiuddin, Nasaruddin (2022) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |