Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 6, Juni 2022

 

PENGARUH JENIS KLON DAN KONSENTRASI TRICODERMA SP. TERHADAP PERTUMBUHAN REPRODUKSI KAKAO (THEOBROMA CACAO L.)

 

Andi Besse Tenri Ola, Rafiuddin, Nasaruddin

Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis klon dan pemberian Tricoderma sp. terhadap komponen produksi kakao. Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Gantarangkeke, Kecamatan Gantarangkeke, Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan pada bulan Juni sampai Desember 2019. Penelitian ini dilaksanakan dalam bentuk percobaan yang disusun berdasarkan pola Rancangan Petak Terpisah (RPT) dengan 3 ulangan. Petak utama adalah jenis klon, terdiri atas 3 klon yaitu MCC 01, Sulawesi 01 dan Sulawesi 02. Anak petak adalah konsentrasi Tricoderma sp yang terdiri dari 4 taraf yaitu Tricoderma sp. 0 gram/liter air, 2 gram/liter air, 4 gram/liter air dan 6 gram/liter air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan konsentrasi Tricoderma sp. 6 gram/liter memberikan nilai terbaik terhadap parameter persentase bunga yang terbentuk menjadi pentil (1.05%), persentase pentil yang berhasil menjadi buah dewasa (91.12%). Klon MCC 01 memberikan nilai terbaik pada parameter persentase pentil menjadi buah dewasa (88.81%). Interaksi antara klon Sulawesi 01 dengan konsentrasi Tricoderma sp 6 gram/liter air memberikan nilai terbaik terhadap paremeter persentase bunga yang gugur (46.43%).

 

Kata Kunci: Klon, Tricoderma sp, Kakao.

 

Abstract

The purpose of the research is to determining the effect of clone type and concentration of Tricoderma sp. to components of cocoa production. This research was conducted in Gantarangkeke Village, Gantarangkeke District, Bantaeng Regency, South Sulawesi Province on June until December 2019. The research was conducted with arranged experiment, Split Plot Design (SPD) in 3 replications. The main plot was clone type, consisting of 3 clones i.e., MCC 01 (k1), Sulawesi 01 and Sulawesi 02. Sub-plot is concentration of Tricoderma sp which consisted of 4 levels i.e., Tricoderma 0 grams/liter of water, 2 grams/liter of water, 4 grams/liter of water and 6 grams/liter of water. The results showed the concentration of Tricoderma sp. 6 gram/liter gave the best value for percentage of flowers into cherelle form (1.05%), parameters and the percentage of cherelle that succeeded in becoming ripe fruit (91.12%). The MCC 01 clone gave the best value on the cherelle into ripe fruit form (88.81%) percentage parameters. The interaction between the Sulawesi 01 clone and the concentration of Tricoderma sp 6 grams/liter of water gave the best value for flowers wilt (46.43%) percentage parameters. 
 

Keywords: Clones, Tricoderma sp, Cocoa.

 

Pendahuluan

Kakao (Theobrema cacao L.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang memiliki peran cukup penting dalam perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan, devisa negara, disamping sebagai pendorong pembangunan wilayah dan pengembangan agroindustri (Pertanian, 2020). Kakao memiliki manfaat dari biji, kulit, buah, pulp yang dimanfaatkan untuk industri, bahan makanan, farmasi, kosmetik, dan daun untuk pembuatan pupuk organik. Kakao dikenal memiliki kandungan gizi yang mudah dicerna dan mengandung banyak vitamin seperti A, B, B2, C, D dan E (Rukmana dan Yudirachman, 2016).

Perkebunan kakao di Indonesia mengalami penurunan luas area secara terus menerus yakni 0.39% pertahun terhitung selama 2011-2020. Pada tahun 2011, luas areal kakao Indonesia 1.732.641 ha, kemudian pada tahun 2020 menurun 1.582.406 ha atau berkurang 150.235 ha. Sebagian besar perkebunan kakao di Indonesia dalam bentuk perkebunan rakyat (98,33%) dengan sentra produksi utama di Sulawesi (Yunia & Arianto, 2015). Berdasarkan data rata-rata produksi kakao selama lima tahun terakhir (2014-2018), Provinsi Sulawesi Selatan merupakan sentra penghasil kakao kedua terbesar di Indonesia memberikan konstribusi sebesar 17.05 % (Pertanian, 2020).

Seperti halnya pada perkembangan luas areal, perkembangan produksi kakao Indonesia pada periode 2011-2020 juga berfluktuasi dan cenderung menurun dengan rata-rata pertumbuhan turun sebesar 0,41% per tahun. Ditinjau dari sisi produktivitas, selama kurun waktu 2011-2020 komoditas kakao di Indonesia mengalami fluktuasi dengan kecenderungan pertumbuhan menurun rata-rata sebesar 1,21% per tahun (Pertanian, 2020).

Penuruan luas area perkebunan dan perkembangan produksi yang cenderung menurun mengakibatkan target produksi hingga saat ini belum dapat terpenuhi. Upaya peningkatan terus menerus dilakukan salah satunya dengan pemilihan bahan tanam unggul. Menurut (Widyastuti, Parapasan, & Same, 2021) salah satu penyebab rendahnya produksi dan produktivitas kakao di perkebunan rakyat karena belum menggunakan bibit dari klon atau varietas unggul atau masih menggunakan bibit asalan. Hingga saat ini terdapat 5 klon yang telah di lepas oleh pemerintah Sulawesi selatan yakni MCC 01, MCC 02, Sulawesi 01, Sulawesi 02 dan Sulawesi 03. Klon tersebut memiliki potensi daya hasil yang tinggi dan tahan terhadap hama dan penyakit. Sehingga melalui penggunaan bahan tanam yang tepat diharapkan mampu meningkatkan produksi kakao.

Menurut Prawoto dalam Ahmad (2015) tanaman kakao merupakan tanaman yang memiliki potensi produksi yang tinggi, namun produksi tersebut tidak dapat optimal karena pada tanaman kakao terdapat penyakit fisiologis yang dikenal dengan layu pentil.� Pada penelitian yang dilakukan oleh (HS, 2021) menyatakan bahwa layu buah muda (cherelle wilt) merupakan salah satu penyakit fisiologis yang terjadi pada tanaman kakao. Cherelle wilt terjadi pada kakao yang berusia masih muda sehingga menyebabkan potensi keberhasilan perkembangan buah rendah. Rendahnya buah yang berkembang menyebabkan produksi kakao rendah. Penyebab dari layu buah muda terjadi karena adanya gangguan fisiologis yang terjadi dalam proses metabolisme buah. Gangguan metabolisme buah menyebabkan terhambatnya pembentukan asimilat serta translokasi asimilat dari source (sumber) ke sink (lubuk). Layu pentil (cherelle wilt) mengakibatkan kegagalan proses embriogenesis dan perkembangan pada buah. Dimana bunga akan layu, pentil akan menjadi hitam dan gugur sehingga persentase gugur bunga dan buah yang tinggi akan berdampak nyata pada produksi atau hasil panen. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh (Rahman, 2018) menjelaskan bahwa pemberian Tricoderma sp mengakibatkan jumlah buah gugur semakin sedikit dan semakin sedikit buah yang gugur maka buah yang dipanen semakin banyak.

Berdasarkan hal tersebut, untuk mengetahui klon-klon yang memiliki potensi daya hasil yang lebih tinggi dan untuk mengetahui konsentrasi Tricoderma sp yang tepat untuk diaplikasikan, maka dilakukanlah penelitian pengaruh jenis klon dan konsentrasi Tricoderma sp terhadap pertumbuhan reproduksi kakao.

 

Metode Penelitian

Tempat dan Waktu

����������� Penelitian dilaksanakan di sentra produksi kakao Kelurahan Gantarangkeke, Kecamatan Gantarangkeke, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan yang berlangsung dari Juni 2019 hingga Desember 2019.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sprayer dan alat tulis menulis. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah air, kertas label, Tricoderma sp. dan 3 jenis klon kakao (MCC 01, Sulawesi 01 dan Sulawesi 02).

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dalam bentuk percobaan pola Rancangan Petak Terpisah (RPT), petak Utama adalah klon kakao (K), terdiri dari 3 klon yaitu:

-    Klon MCC 01 (k1)

-    Klon S1 (Sulawesi 1) atau (k2)

-    Klon S2 (Sulawesi 2) atau (k3)

Anak petak adalah konsentrasi Tricoderma (T), terdiri atas 4 taraf yaitu:

-    0 gram/liter air (to)

-    2 gram /liter air (t1)

-    4 gram /liter air (t2)

-    6 gram /liter air (t3)

Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali, masing-masing terdiri dari 3 unit tanaman sehingga untuk semua perlakuan terdapat 108 populasi tanaman.

 

 

Pelaksanaan Penelitian

Pengaplikasian Tricoderma dilakukan sesuai dengan taraf perlakuan yang telah ditentukan, pengaplikasian dilakukan mulai dari proses pembentukan bunga, pentil hingga buah matang fisiologis. Penyemprotan dilakukan pada pagi hari, dilakukan setiap 3 hari sekali pada tahap pembungaan dan ketika telah memasuki tahap pembentukan pentil dan buah interval penyemprotan dilakukan setiap 7 hari sekali. Penyemprotan dilakukan disemua bantalan buah yang terdapat pada batang primer pada pohon kakao.

Parameter yang diamati adalah jumlah bunga terbentuk, persentase bunga gugur, persentase bunga yang berhasil membentuk pentil dan persentase pentil membentuk bunga dewasa. Dilakukan dengan menghitung jumlah bunga, pentil dan buah yang terbentuk selama periode pengamatan. Menggunakan rumus di bawah ini:

�

 

Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan Anova sesuai Rancangan Petak Terpisah (RPT). Apabila berpengaruh nyata atau sangat nyata, maka dilakukan analisis lanjutan dengan Uji BNT (α = 0.05).

 

Hasil Dan Pembahasan

 

Gambar 1

Diagram Rata-Rata Jumlah Bunga Yang Terbentuk Pada Berbagai Jenis Klon Dan Konsentrasi Tricoderma sp.

 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan jenis klon dan konsentrasi Tricoderma sp tidak berpengaruh nyata terhadap parameter jumlah bunga yang terbentuk. Namun jika di lihat dari Gambar 1, dapat di simpulkan bahwa klon Sulawesi 02 pada pemberian Tricoderma sp. 0 gram/liter air (k3t0) cenderung menghasilkan jumlah bunga terbentuk terbanyak yakni 348 bunga. Sedangkan nilai terendah terdapat pada klon MCC 01 pada pemberian Tricoderma sp. 2 gram/liter air (k1t1) yakni 163 bunga. Menurut Nasaruddin et al., (2021) intensitas berbunga setiap varietas atau klon sangat bervariasi, hal ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan tentunya juga dapat dipengaruhi oleh faktor kompatibilitas bunga. Sehingga sifat ini tidak dapat digunakan untuk proses karakterisasi secara genetik dengan perubahan yang terjadi. Variasi genotipik ini dapat dipastikan melalui pengamatan komparatif dan dalam rentang waktu yang cukup lama.

Gambar 1 juga menunjukkan bahwa pemberian Tricoderma sp tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah bunga terbentuk. Hal ini dikarenakan pada saat penelitian berlangsung, rata-rata curah hujan bulanan dari bulan Juli-Oktober 2019 (sumber data BMKG setempat) tidak lebih dari 5 mm/bulan sehingga sangat rendahnya curah hujan mengakibatkan efektivitas dari cendawan Tricoderma sp. juga ikut menurun. Menurut pendapat Baihaqi et al., dalam Fitri et al., (2021), sumber makanan, curah hujan serta kelembaban udara juga mempengaruhi ruang tumbuh untuk pertumbuhan Trichoderma sp. dan juga akan berpengaruh kepada efisiensi aplikasi Trichoderma sp. yang berdampak pada pertanaman.

 

Tabel 1

Rata-Rata Persentase Bunga Yang Gugur Pada Berbagai Jenis Klon Dan Konsentrasi Tricoderma sp.

Jenis Klon (K)

Tricoderma (T) (gram/liter air)

NP BNT

0 (to)

2 (t1)

4 (t2)

6 (t3)

(t)

MCC 01 (k1)

78.84 by

70.63 abx

68.73 aby

62.54 ay

12.022

Sulawesi 01 (k2)

68.96 bx

71.57 by

59.66 by

46.43 ax

Sulawesi 02 (k3)

62.61 abx

67.23 bx

59.32 abx

51.31 ax

NP BNT (k)

������� 6.585

 

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom (x,y) dan baris (a,b,c) yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut uji BNT taraf 5%.

 

Hasil uji BNT 0.05 pada Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai persentase bunga gugur terendah ditunjukkan oleh interaksi antara klon Sulawesi 01 pada Tricoderma sp. 6 gram/liter air (k2t3) yakni 46.43%, berbeda nyata dengan Tricoderma sp. 0 gram/liter air (k2t0), Tricoderma sp. 2 gram/liter air (k2t1) dan Tricoderma 4 gram/liter air (k2t2). Klon Sulawesi 02 (k2t3) berbeda nyata dengan klon MCC 01 (k1t3) tetapi masih sama dengan Sulawesi 02 (k3t3). Sedangkan interaksi antara klon MCC 01 pada konsentrasi Tricoderma sp. 0 gram/liter air (k1t0) menunjukkan nilai persentase bunga gugur tertinggi yakni 78.84% berbeda nyata dengan Tricoderma sp. 6 gram/liter air (k1t3) tetapi masih sama dengan Tricoderma sp. 2 gram/liter air (k1t1) dan Tricoderma sp. 4 gram/liter air (k1t2).� Klon MCC 01 pada Tricoderma sp. �0 gram/liter air (k1t0) berbeda nyata dengan klon Sulawesi 01 pada Tricoderma sp. �0 gram/liter air (k2t0) dan klon Sulawesi 02 pada Tricoderma sp. 0 gram/liter air (k3t0).

Hal ini sesuai dengan pendapat (Masese, 2022), yang menyatakan bahwa interaksi antara cendawan endofit dan inangnya bersifat simbiosis mutualisme dimana mikroba endofit memperoleh pasokan nutrisi terlindungi dari kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan dalam upaya reproduksi dan kolonisasi. Sedangkan tanaman inang dapat meningkatkan pertumbuhannya dan potensi endofit ini berkaitan dengan produksi berbagai fitohormon seperti giberelin dan auksin. Dimana hormon tanaman memiliki peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Menurut (Tambunan, Proborini, & Astiti, 2018) pertumbuhan tanaman kakao (Theobroma cacao L.) dipengaruhi oleh faktor lingkungan, hara, tanah dan mikroorganisme. Salah satu mikroorganisme yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman kakao adalah cendawan endofit. Cendawan endofit adalah cendawan yang hidup pada jaringan tumbuhan seperti biji, daun, bunga, ranting, batang dan akar yang bersifat mutualistik dan diketahui dapat memacu pertumbuhan tanaman, mampu menghasilkan antibiotika dan zat pengatur tumbuh (hormon). Beberapa cendawan endofit yang di isolasi dari tanaman kakao salah satunya yaitu Tricoderma sp.

(S Simbolon, Purnomo, & Sulistyo, n.d.) juga menjelaskan bahwa pemberian Tricoderma sp. dapat membantu untuk mempertahankan persentase bunga dan buah untuk bertahan serta menurunkan persentase gugurnya sehingga produksi yang dihasilkan dapat meningkat. Sehingga semakin tinggi konsentrasi yang diberikan, kemampuannya dalam mempertahankan bunga ataupun buah juga akan semakin baik.

Disamping itu, tanaman kakao diketahui mampu berbunga dan berbuah sepanjang tahun. Namun kemampuan reproduksi pada setiap klon juga berbeda, produksi setiap bulannya tidak sama. Oleh karena itu jumlah bunga dan buah yang dihasilkan antar klon sangat variatif tergantung jenis klon atau varietas dari suatu tanaman (Tjahjana, Bambang Eka, Handi Supriadi, 2014).

 

Tabel 2

Rata-Rata Persentase Bunga Yang Berhasil Menjadi Pentil Pada Berbagai Jenis Klon Dan Konsentrasi Tricoderma sp.

Jenis Klon (K)

Tricoderma (T) (gram/liter air)

0 (t0)

2 (t1)

4 (t2)

6 (t3)

MCC 01 (k1)

1.37 (0.89)

1.50 (1.27)

1.37 (0.88)

1.51 (1.28)

S1 (k2)

1.22 (0.48)

1.17 (0.38)

1.34 (0.80)

1.37 (0.88)

S2 (k3)

1.23 (0.51)

1.33 (0.77)

1.31 (0.71)

1.41 (0.99)

Rata-rata

1.27 (0.63) b

1.34 (0.81) b

1.34 (0.80) b

1.43 (1.05) a

NP BNT (T)

0.077

Keterangan: �- Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut uji BNT taraf 5%

-Angka-angka yang berada di dalam kurung (data asli sebelum di transformasi).

 

Hasil uji BNT 0.05 pada Tabel 2 menunjukkan bahwa konsentrasi Tricoderma 6 gram/liter air (t3) menunjukkan nilai persentase bunga tertinggi yang berhasil menjadi pentil yakni 1.05% berbeda nyata dengan konsentrasi Tricoderma 0 gram/liter air (t0), 2 gram/liter air (t1) dan 4 gram/liter air (t2). Persentase bunga yang berhasil menjadi pentil terendah terdapat pada perlakuan konsentrasi Tricoderma 0 gram/liter air (t0) yakni 0.63%.

(Simamora, 2021) menjelaskan bahwa salah satu hormon tumbuh yang bermanfaat untuk mendorong pembungaan tanaman kakao yaitu auksin dan sitokinin. Selain dapat merangsang pembentukan bunga, auksin juga dapat merangsang pembentukan buah. Penelitian yang dilakukan Chamzurni (2013) juga menyatakan bahwa Tricoderma dapat memproduksi Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) berupa Indole Acetic Acid (IAA).� Dimana, IAA salah satu jenis hormon yang dapat memacu pertumbuhan tanaman. Sehingga semakin banyak konsentrasi Tricoderma yang diberikan maka auksin yang terbentuk juga akan semakin banyak dan tentunya berdampak pada pertumbuhan dan produksi tanaman.

 

Tabel 3

Rata-Rata Persentase Pentil Yang Berhasil Menjadi Buah Dewasa Pada Berbagai Jenis Klon Dan Konsentrasi Tricoderma sp.

Jenis Klon (K)

Konsentrasi Tricoderma (T)

(gram/liter air)

Rata-rata

0 (t0)

2 (t1)

4 (t2)

�6 (t3)

MCC 01 (k1)

82.14

90.48

90.48

92.13

88.81 x

Sulawesi 01 (k2)

53.33

55.56

85.00

84.92

69.70 y

Sulawesi 02 (k3)

49.44

67.14

86.11

96.30

74.75 xy

Rata-rata

61.64 b

71.06 b

87.20 a

91.12 a

0.00

NP BNT (T)

13.969

 

NP BNT (K)

14.611

 

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut uji BNT taraf 5%.

 

Hasil uji BNT 0.05 pada Tabel 3 menunjukkan bahwa persentase pentil yang berhasil menjadi buah dewasa tertinggi terdapat pada Tricoderma sp. 6 gram/liter air (t3) yakni 91.12% berbeda nyata dengan konsentrasi Tricoderma sp. 0 gram/liter air (t0) dan 2 gram/liter air (t1) tetapi masih sama dengan Tricoderma sp. 4 gram/liter air (t2). Sedangkan, persentase pentil menjadi buah dewasa terendah terdapat pada perlakuan Tricoderma sp. 0 gram/liter air (t0) yakni 61.64%. Klon MCC 01 (k1) menghasilkan persentase pentil menjadi buah dewasa tertinggi yakni 88.91%, berbeda nyata dengan klon Sulawesi 01 (k2) tetapi masih sama dengan klon Sulawesi 02 (k3), sedangkan persentase pentil menjadi buah dewasa terendah terdapat pada klon Sulawesi 01 (k2) yakni 69.70%.

Hal ini dikarenakan setiap klon atau varietas memiliki kemampuan untuk mempertahankan dan menghasilkan jumlah buah yang berbeda-beda, sehingga jumlah pentil yang dapat bertahan dan tidak layu hingga dapat menjadi buah dewasa juga tidak sama. Kemampuan tersebut merupakan salah satu sifat bawaan genetik yang dimiliki oleh setiap jenis tanaman, klon ataupun varietas. Hal ini sesuai dengan pendapat (Sopialena, 2018) yang menyatakan bahwa kemampuan tiap varietas menghasilkan buah berbeda-beda, perbedaan ini berkaitan adanya perbedaan genetik yang dibawa setiap varietas. Variasi produksi buah antara pohon dipengaruhi banyak faktor, antara lain jumlah bunga yang dihasilkan, sifat compatible dan imcompatible dari masing-masing klon, pengaruh layu buah muda, dan tingkat serangan hama dan penyakit sejak pertumbuhan hingga panen (Apriana, 2018).

Kompatibilitas adalah persentase kemampuan membentuk buah, daya fertilitas adalah kemampuan fertilisasi. Sehingga inkompatibilitas terjadi karena ketidakmampuan organ jantan dan betina menghasilkan biji seksual akibat faktor fisiologi, serta tidak mampu menghasilkan pollen tube dengan cepat sampai ke ovul.� Perbedaan daya tahan buah menggantung (bertahan) dipengaruhi oleh faktor luar (eksternal) dan fisiologis tanaman (internal). Tidak semua buah yang terbentuk dapat�� dipanen, karena sebelumnya mengalami kerontokan. �Penyebab kerontokan buah sebelum panen antara lain embrio dan endosperm berhenti tumbuh sehingga tidak normal, tidak kuat dan selanjutnya lekas mati kemudian menjadi rontok. Kemudian, umur buah juga berbeda- beda karena setia buah memiliki daya tahan untuk bertahan yang tdiak sama. Buah ada yang bertahan lama menggantung hingga panen, namun ada juga yang tidak dapat tumbuh terus atau tidak sampai masak karena rontok lebih dahulu sebelum masuk ke periode panen (Hartati, Cahyono, & Lestari, 2017).

Menurut (Nasaruddin, 2009) buah yang terbentuk pada bulan pertama tidak seluruhnya akan bertahan sampai panen dan belum mampu menjamin produksi sebab akan mengalami kelayuan dan keguguran buah dalam kurung waktu 1-2 bulan yang biasanya di sebut dengan cerella wilt. Persentase kelayuan dapat mencapai sekitar 60%� 90% yang umumnya terjadi pada umur buah sampai 50 hari. Tingkat kelayuan buah muda pada umumnya terjadi dalam dua tahap yakni pada umur 7 minggu setelah pembuahan dan pada umur buah sekitar 10 minggu setelah pembuahan. �

Pemberian Tricoderma sp pada Tabel 3 memberikan pengaruh nyata terhadap persentase pentil menjadi buah dewasa. Dimana, aplikasi Tricoderma sp 6 gram/liter air memberikan nilai persentase tertinggi yakni 91.12% tidak berbeda nyata dengan perlakuan Tricoderma sp 4 gram/liter air dan persentase terendah terdapat pada perlakuan 0 gram/liter air (tanpa Tricoderma sp). Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Rahman (2018) menjelaskan bahwa pemberian Tricoderma sp mengakibatkan jumlah buah muda yang gugur semakin sedikit dan semakin sedikit buah muda (pentil) yang gugur maka buah yang dipanen semakin banyak. Sehingga tanaman yang diberikan Tricoderma dengan yang tidak diberikan akan menghasilkan hasil panen yang berbeda pula. Penelitian lain juga menjelaskan bahwa kekurangan air yang terjadi pada musim kemarau menyebabkan angka persentase pentil buah mengalami kelayuan meningkat dan tentu saja akan menyebabkan penurunan produksi (Tutiliana, 2014).

 

 

Kesimpulan

Perlakuan Tricoderma sp dan jenis klon tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah bunga terbentuk. Penggunaan konsentrasi Tricoderma sp. 6 gram/liter memberikan nilai terbaik terhadap parameter persentase bunga yang terbentuk menjadi pentil (1.05%), persentase pentil yang berhasil menjadi buah dewasa (91.12%). Klon MCC 01 memberikan nilai terbaik pada parameter persentase pentil menjadi buah dewasa (88.81%). Interaksi antara klon Sulawesi 01 dengan konsentrasi Tricoderma sp 6 gram/liter air memberikan nilai terbaik terhadap paremeter persentase bunga yang gugur (46.43%).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Apriana, Bau Lilis. (2018). Identifikasi Klon Kakao (Theobroma Cacao.L) di Kebun Induk Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar Sukabumi � Jawa Barat. Jurusan Budidaya Tanaman Penyegar. Skripsi. Politeknik Negeri Pertanian Pangkep.

 

Hartati, Sri, Cahyono, Ongko, & Lestari, Nunik Puji. (2017). Uji Tingkat Kompatibilitas Dan Umur Mekar Bunga Pada Persilangan Intergenerik Anggrek Vanda sp Dan Phalaenopsis sp. Caraka Tani: Journal of Sustainable Agriculture, 32(1), 24�28. Google Scholar

 

HS, Endang Sri Dewi. (2021). Tingkat Layu Pentil (Cherelle Wilt) Pada Berbagai Klon kakao (Theobroma cacao L). Agropet, 18(2), 1�13. Google Scholar

 

Masese, Zaedar. (2022). Eksplorasi dan Potensi Cendawan Endofit Tanaman Kakao (Theobroma cacao) Asal Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah sebagai Agen Biokontrol terhadap Colletotrichum gloeosporioides Penyebab Antraknosa pada Tanaman Kakao= Exploration and Potential of the Endophytic Fungus of Cocoa (Theobroma cacao) from Banggai Regency, Central Sulawesi as a Biocontrol Agent Against Colletotrichum Gloeosporioides Causing Anthracnose on Cocoa Plants. Universitas Hasanuddin. Google Scholar

 

Nasaruddin. (2009). Kakao, Budidaya dan Beberapa Aspek Fisiologisnya. Depok: Yayasan Forest Indonesia.

 

Pertanian, Kementerian. (2020). OutLook Kakao. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Pertanian.

 

Rahman, Adhe Riany. (2018). Respon Tanaman Cabai Besar (Capsicum annum L.) Terhadap Pemupukan Bioslurry dan Pengayaan Tricoderma asperellum pada Media tanaman. Skripsi. Universitas Hasanuddin.

 

S Simbolon, Berliance A., Purnomo, Bambang, & Sulistyo, Bambang. (N.D.). Aplikasi Trichoderma Sp. Untuk Mengendalikan Serangan Fusarium Oxysporum F. Sp. Lycopercii Pada Tanaman Tomat Cung (Lycopersicum Esculentum Mill.). Universitas Bengkulu. Google Scholar

 

Simamora, Manippo. (2021). Potensi Metabolit Sekunder Trichoderma asperellum dan Pseudomonas fluorescens dalam Mengendalikan Penyakit Vascular Streak Dieback (VSD) pada Tanaman Kakao. Google Scholar

 

Sopialena, Sopialena. (2018). Giving Effect Trichoderma sp. In Tomato Plant To Production Factors. Agrifor: Jurnal Ilmu Pertanian Dan Kehutanan, 17(2), 345�354. Google Scholar

 

Tambunan, Lilis Riana, Proborini, Meitini, & Astiti, Putu Adriani. (2018). Eksplorasi Spatial Dan Identifikasi Cendawan Endofit Pada Tanaman Kakao (Theobroma Cacao L.) Di Bali. Simbiosis: Journal of Biological Sciences. Google Scholar

 

Tjahjana, Bambang Eka, Handi Supriadi, dan Dewi Nur Rokhmah. (2014). �Pengaruh Lingkungan Terhadap Produksi Dan Mutu Kakao�. Dalam Bunga Rampai Inovasi Teknologi Bioindustri Kakao. Jakarta : IAARD Press.

 

Widyastuti, Leni Sri, Parapasan, Yonathan, & Same, Made. (2021). Pertumbuhan Bibit Kakao (Theobroma cacao L.) pada Berbagai Jenis Klon dan Jenis Pupuk Kandang. Jurnal Agro Industri Perkebunan, 109�118. Google Scholar

 

Yunia, Ida, & Arianto, Yanuar. (2015). Statistik Perkebunan Indonesia 2014-2016. Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan. Google Scholar

 

Copyright holder:

Andi Besse Tenri Ola, Rafiuddin, Nasaruddin (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: