Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7,
No. 6, Juni 2022
MODAL
SOSIAL MASYARAKAT DESA DAN PERPUSTAKAAN BERBASIS INKLUSI
Masnur Esterida
Cornelia
Universitas Indonesia,
Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Studi ini
mengekplorasi bagaimana modal sosial masyarakat desa dapat dibangun melalui
pemanfaatan perpustakaan berbasis inklusi. Perpustakaan bertransformasi dengan
merubah pendekatannya dalam memberikan layanan, yaitu melalui community outreach dan engagement,
inklusif, memberi layanan informasi melalui (TIK) Teknologi Informasi dan Komunikasi,
dan memberi kesempatan masyarakat untuk berjejaring dan berinteraksi secara
sosial. Studi ini mengadopsi studi kualitatif yang dilakukan oleh Griffis dan
Johnson 2014 yang menemukan bahwa modal sosial masyarakat desa dibangun melalui
partisipasi dalam kegiatan di masyarakat, dengan keterbaruan lokasi penelitian.� Penelitian dilakukan di tiga desa di Kabupaten
Magelang Jawa Tengah, dengan menggunakan metode kualitatif. Studi ini menemukan
bahwa modal sosial masyarakat desa dapat dibangun melalui beragam aktivitas di
perpustakaan yang melibatkan partisipasi
masyarakat yang mendorong terjadinya interaksi sosial di
masyarakat, dan membangun network di
dalam masyarakat, antara masyarakat dengan Stakeholder, serta perpustakaan dengan
stakeholder dan institusi lainnya.
Kata Kunci: modal sosial, inklusi sosial, transformasi perpustakaan, community
outreach, community engagement.
Abstract
This study
explores how the social capital of rural communities can be built through the
use of inclusion-based libraries. Libraries are transformed by changing their
approach in providing services, namely through community outreach and
engagement, being inclusive, providing information services through ICT (information,
Communication, and Technology), and providing opportunities for the community
to network and interact socially. This study adopts a qualitative study
conducted by Griffis and Johnson 2014 which found that the social capital of
rural communities is built through participation in community activities, with
the updated location of the research. The research was conducted in three
villages in Magelang District, Central Java, using qualitative methods. This
study found that the social capital of rural communities can be built through
various activities in the library that involve community participation that
encourages social interaction in the community, and builds networks within the
community, between the community and stakeholders, as well as the library with
other stakeholders and other institutions.
Keywords:� social capital, social inclucion, library
transformation, community outreach, community engagement.
Pendahuluan
Membangun masyarakat desa merupakan salah satu program prioritas pemerintah saat ini.
Salah satu komponen penting yang dapat mendukung pembangunan desa adalah modal
sosial, selain dari human capital dan juga sumber daya alam yang
dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.�
Keberadaan modal sosial penting dalam pembangunan desa tidak hanya
terkait kebutuhan ekonomi, tapi juga perluasan akses terhadap sumber-sumber
daya kehidupan yang ditentukan pula oleh ketersediaan jejaring kerja (network) dan saling percaya (mutual trust) di kalangan masyarakat.
Modal sosial menurut Putnam muncul dari dari hubungan yang dibangun diantara
orang-orang yang membiarkan mereka bekerja bersama untuk mencapai akhir yang
sama.� Modal sosial bersifat inherent
(tetap ada) dalam suatu jaringan interaksi sosial yang mempercepat adanya norma
yang kuat dan mendorong munculnya
kepercayaan sosial (Putnam, 2020).
Dari beberapa studi sebelumnya
ditemukan bahwa perpustakaan umum berkontribusi terhadap modal sosial dengan
menyediakan ruang untuk berkumpul dan memperluas jaringan sosial melalui
pertemuan-pertemuan di perpustakaan. Inklusi sosial dan modal sosial dalam
konteks perpustakaan umum adalah memberikan layanan sebagai platform untuk
membangun jaringan sosial dengan membiarkan masyarakat dari kelas sosial,
kelompok umur, dan tingkat pendapatan yang berbeda untuk berinteraksi di dalam
masyarakat dengan anggota keluaraga mereka dan teman-temannya (Johnson, 2010);
(Griffis & Johnson, 2014).
Sejalan dengan itu Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia menginisiasi Program Transformasi Perpustakaan berbasis
Inklusi Sosial yang merupakan salah satu program prioritas nasional dalam RPJMN
(Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) tahun 2020-2024. Program ini
bertujuan untuk meningkatkan kualitas layanan perpustakaan dan meningkatkan pemanfaatannya
oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhannya, sehingga dapat meningkatkan
literasi masyarakat dan dapat berdampak pada kesejahteraan masyarakat.� Sampai saat ini program ini telah mencakup
160 kabupaten yang tersebar di 32 provinsi dan telah menjangkau sampai ke
tingkat desa. Transformasi
perpustakaan berbasis inklusi sosial menjadi sangat penting untuk
merekonstruksi slogan "perpustakaan umum untuk semua orang", untuk
menantang gagasan perpustakaan sebagai ruang publik yang netral, dan untuk mengidentifikasi
hambatan akses, terutama yang sangat terpatri di benak publik soal kebijakan
dan prosedur perpustakaan yang kaku.
Studi mengenai modal sosial dapat
mengidentifikasi jenis insentif yang dapat mendorong anggota masyarakat untuk
berkolaborasi dalam program dengan minat bersama. Di level negara, studi
mengenai modal mosial membantu pejabat pemerintah dan pelaku pembangunan
lainnya memahami kondisi masyarakat sebagai akibat dari suatu program
pemberdayaan, sehingga dengan demikian dapat membantu menyusun kebijakan yang
lebih praktis. Penelitian modal sosial juga meningkatkan kemampuan development
agencies untuk mengkomunikasikan tujuan program kepada masyarakat lokal.
Hasil studi tentang modal sosial telah memberikan kontribusi untuk meningkatkan disain program pembangunan (Dudwick, Kuehnast, Jones, & Woolcock, 2006).
�Oleh karena itu studi
ini dilakukan untuk mendapatkan rekomendasi untuk penguatan implementasi dan scaling up (perluasan) ke daerah lain
dengan melihat dari perspektif modal sosial, sehingga studi ini akan mengacu
pada data pelaksanaan program yang sedang berjalan.�
Pertanyaan utama dari studi ini
adalah 1) Bagaimana modal sosial masyarakat desa terbangun sebagai efek dari
pemanfaatan perpustakaan berbasis inklusi, 2) Mekanisme apa yang dilakukan oleh
perpustakaan untuk membangun modal sosial di masyarakat desa. Sehubungan dengan
penerapan pendekatan inklusi sosial dalam program yang dilaksanakan oleh
Perpustakaan Nasional maka pertanyaan ke tiga dari penelitian ini adalah 3) bagaimana
penerapan pendekatan inklusi di perpustakaan sebagai bagian dari upaya
membangun modal sosial di masyarakat desa.�
Modal Sosial
Modal sosial menurut Putnam muncul
dari dari hubungan yang dibangun diantara orang-orang yang membiarkan mereka
bekerja bersama untuk mencapai akhir yang sama.�
Modal sosial bersifat inherent (tetap ada) dalam suatu jaringan
interaksi sosial yang mempercepat adanya norma yang kokoh dan mendorong munculnya kepercayaan social (Putnam, 2020).
Nan Lin dengan pendekatan jaringan sosial, melihat modal sosial sebagai sumber
daya individu yang tinggal di dalam jaringan sosial individu yang membuat
mereka dapat mencapai tujuan pribadi mereka. Lin, 2001 mendefinisikan modal
sosial sebagai sumber daya yang tertanam pada jaringan sosial yang diakses dan
digunakan oleh banyak pelaku untuk berbagai hal.
Modal sosial menunjuk pada jaringan
sosial, norma dan kepercayaan yang berpotensi pada produktivitas masyarakat. (Putnam, 2020)
mengemukakan modal sosial bersifat kumulatif dan
bertambah dengan sendirinya (self‐reinforcing).
Dengan demikian, modal sosial tidak akan habis jika dipergunakan, melainkan
semakin meningkat. Modal sosial juga menunjuk pada kemampuan orang untuk
berasosiasi dengan orang lain (Coleman, 1999). Ada tiga parameter modal sosial
yang akan digunakan dalam studi ini yang meiputi kepercayaan (trust), norma‐norma (norms) dan jaringan‐jaringan (networks) Ridell (1997).
Kepercayaan merupakan harapan
masyarakat, yang ditunjukkan oleh perilaku jujur, taat, komitmen, saling
pengertian, solidaritas, gotong royong, kerjasama, dan nilai‐nlai
kepercayaan lainnya yang didasarkan pada norma‐norma yang dianut bersama.
Kepercayaan sosial merupakan produk dari modal sosial. Nilai‐nilai
kepercayaan ini merupakan pegangan dalam melakukan hubungan sosial di masyarakat,
maupun dalam melakukan kerjasama dengan berbagai pihak, yaitu antara
masyarakat, lembaga‐lembaga sosial, dan pemerintah.�
Norma-norma sosial terdiri dari
pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan, tujuan‐tujuan yang
diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang (Suharto, 2000).
Norma-norma dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah
kerjasama di masa lalu dan diterapkan untuk mendukung iklim kerjasama (Putnam,
1993; Fukuyama, 1995). Norma‐norma sosial
dapat merupakan pra‐kondisi maupun produk dari kepercayaan sosial.
Studi yang dilakukan di Amerika
Serikat (Putnam, 2007; Rupasingha et al., 2006) menunjukkan bahwa masyarakat
desa yang cenderung homogen memiliki tingkat modal sosial yang lebih besar
dibanding masyarakat perkotaan. Mereka yang tertarik mengikuti kegiatan
kemasyarakatan merasakan koneksi yang kuat dan memiliki rasa tanggung jawab
untuk kesejahteraan komunitasnya. Dengan modal sosial yang dimiliki masyarakat
desa, hal ini dapat memberi manfaat bagi sebagian anggota masyarakatnya.�
Perpustakaan berbasis
Inklusi
Berdasarkan
Undang � Undang Perpustakaan No. 43 tahun 2007, Perpustakaan diselenggarakan
berdasarkan asas pembelajaran sepanjang hayat, demokrasi, keadilan, keprofesionalan,
keterbukaan, keterukuran, dan kemitraan. Perpustakaan umum harus mampu menjadi
ruang terbuka bagi setiap lapisan masyarakat untuk mencari solusi dalam
meningkatkan kualitas hidupnya sesuai dengan kebutuhannya dengan menggunakan
dan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya dan potensi-potensi daerah yang
tersedia.
Selama ini perpustakaan banyak dikenal sebagai tempat membaca
dan meminjam buku saja dan cenderung dimanfaatkan oleh kelompok tertentu
(eksklusif) seperi pelajar dan mahasiswa. Dengan
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi di era digital saat ini, masyarakat
dapat mengakses pengetahuan dan informasi melalui media lain tanpa harus datang
ke perpustakaan. Untuk itu perpustakaan perlu bertransformasi untuk
mempertahankan eksistensinya di masyarakat. Transformasi dapat diartikan
sebagai proses perubahan atau pembaharuan struktur sosial, termasuk proses
perubahan nilai.
Model transformasi yang kini
dikembangkan di perpustakaan desa adalah perpustakaan berbasis inklusi sosial,
dengan menjadikan program penguatan literasi untuk kesejahteraan masyarakat.
Transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial juga tidak hanya untuk
mempertahakankan eksistensi perpustakaan, namun juga sebagai upaya perpustakaan
untuk mendukung program pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG�s). Contoh dari model
transformasi perpustakaan ini adalah dengan menjadikan perpustakaan sebagai
pusat berkegiatan masyarakat, melalui kegiatan community engagement, dan memfasilitasi komunitas-komunitas untuk
berkumpul dan berinteraksi sesuai dengan kebutuhan dan minat mereka
Eksklusi sosial biasanya mengacu
kepada proses dimana individu-individu atau kelompok-kelompok terisolasi atau
ditolak aksesnya kepada variasi sumber daya yang tersedia untuk anggota
masyarakat yang lain (seperti tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan, dan
pelayanan kesehatan) atau bahkan partisipasi yang tinggi di masyarakat Alphonse
et al., 2007; Walsh et al., 2017). Di banyak masyarakat, orang dapat dengan
mudah terpisah dari masyarakatnya, karena beberapa faktor seperti kurangnya
akses ke intenet, kemiskinan, atau bahkan karena umur.�
Inklusi adalah sebuah pendekatan yang
berguna untuk mengembangkan dan membangun sebuah lingkungan yang bersifat
terbuka. Inklusi adalah suatu tindakan atau keadaan yang terjadi di suatu
kelompok atau struktur tertentu yang menitikberatkan kepada keterlibatan
seseorang atau orang per oranginklusi bertujuan untuk membangun dan
mengembangkan sebuah lingkungan yang semakin terbuka; mengajak masuk dan mengikutsertakan
semua orang dengan berbagai perbedaan latar belakang, karakteristik, kemampuan,
status, kondisi, etnik, budaya dan lainnya.
Perpustakaan berbasis inklusi
berupaya menyediakan layanan dan program-program yang lebih baik dan
menyediakan ruang untuk kelompok-kelompok yang kurang beruntung di masyarakat.
Penting sekali bagi perpustakaan umum untuk mengatasi isu eksklusi sosial dan
melihat secara menyeluruh isu-isu yang dihadapi oleh kelompok-kelompok yang
kurang beruntung. Hal ini tidak cukup dilakukan dengan menyediakan sumber daya
untuk memenuhi kebutuhan informasi
mereka (Fourie, 2007).
Perpustakaan berpotensi untuk
mengurangi isolasi sosial melalui dorongan inklusi sosial dan partisipasi
sosial. Melalui penyediaan community
centre yang inklusif dan terpercaya untuk semua kalangan masyarakat, perpustakaan
dapat meringankan ketidaksetaraan dengan memperluas konsumsi dan partisipasi
masyarakatnya (Summers&Buchanan, p298).
Modal Sosial dan Perpustakaan Umum
Beberapa studi menunjukkan ada
beberapa mekanisme yang dapat dilakukan perpustakan untuk membangun modal sosial
masyarakat desa. Perpustakaan dapat menciptakan modal sosial dengan menawarkan
program dan kegiatan yang variatif sehingga dapat memfasilitasi membaurnya
masyarakat dengan perbedaan usia, latar belakang budaya, status ekonomi, dan
minat; dan menghubungkan dengan institusi lain di dalam mayarakat yang dapat meningkatkan literasi (Kranich, 2001).
Penawaran program ini berlaku sama untuk semua kalangan masyarakat dan disini
perpustakaan menyediakan tempat bagi anggota masyarakat untuk bekerja bersama,
baik untuk hal yang bersifat pribadi, maupun terkait kepentingan bersama�
Johnson (2000) menyatakan bahwa
perpustakaan desa terkadang adalah satu-satunya sumber material dan interaksi
sosial untuk anak-anak, termasuk melayani kelompok �kelompok seperti tuna
wisma, kaum miskin, ibu bekerja, pengangguran, buta huruf, mereka dengan
penyakit mental dan juga kelompok minoritas (p.40). Hal ini sejalan dengan
pendekatan inklusif seperti dijelaskan di atas. Dengan ini, perpustakaan umum
di pedesaan mempunyai potensi untuk berkontribusi pada modal sosial masyarakat
dengan memfasilitasi masyarakatnya agar dapat bekerja bersama untuk memperbaiki
kehidupan mereka.
Terdapat hubungan statistik yang
signifikan antara frekuensi penggunaan perpustakaan dan tingkat pelibatan masyarakat
(community engagement), dengan social trust/ kepercayaan
social (Griffis & Johnson, 2014).
Selain itu interaksi antara pengguna perpustakaan dan pengelola perpustakaan
dapat membangun modal sosial. Pola interaksi ini dapat meringankan isolasi
sosial, dengan menyediakan tempat yang aman untuk anak-anak berkumpul,
membangun identitas lokal, dan menyediakan koneksi di antara anggota masyarakat
dan organisasi lain (Griffis & Johnson, 2014).
Studi Most di tahun 2009 menyatakan
bahwa melalui penyediaan tempat pertemuan gratis untuk kelompok masyarakat atau
komunitas yang berbeda-beda, perpustakaan umum di daerah rural di Florida dapat
membangun modal sosial masyarakatnya. Hal ini juga mampu mendukung masyarakat
untuk membangun dan memelihara hubungan satu sama lain. Hasil studi (Heuertz, 2009)
juga menunjukkan hal senada, dimana perpustakaan dapat menjangkau dan menyatukan
masyarakat dari kelompok yang berbeda, sekaligus juga mendorong rasa
kepemilikan masyarakat terhadap perpustakaan.
Temuan dari dari studi Griffis dan
Johnson 2014, menunjukkan bahwa perpustakaan membangun modal sosial dengan
memfasilitasi terjadinya kohesi sosial di masyarakat, diantaranya dengan
menjadi hub (penghubung) sosial dan
informasi, sebagai integrator bagi pendatang dan kelompok minoritas, sebagai
simbol dari identitas lokal dan otonom, dan sebagai pendukung untuk pusat
berjejaring masyarakat yang lebih besar.
Inklusi sosial dan modal sosial dalam
konteks perpustakaan umum adalah memberikan layanan sebagai platform untuk membangun jaringan sosial
dengan membiarkan masyarakat dari kelas sosial, kelompok umur, dan tingkat
pendapatan yang berbeda untuk berinteraksi di dalam masyarakat dengan anggota
keluarga mereka dan teman-temannya (Chen dan Ke, 2017; Griffis dan Johnson,
2014; Johnson, 2012; Marshall, 2009).
Analisis Modal Sosial dalam Pemberdayaan
Masyarakat
Studi
mengenai modal sosial dapat mengidentifikasi jenis insentif yang dapat
mendorong anggota masyarakat untuk berkolaborasi dalam program dengan minat
bersama. Jika donor atau pemilik program yakin bahwa tindakan kolektif yang
tinggi akan berkontribusi pada efektivitas pembangunan yang lebih besar, temuan
ini kemudian dapat menginformasikan penargetan atau pemilihan program-program
pemberdayaan masyarakat selanjutnya. Di level negara, studi mengenai modal
mosial membantu pejabat pemerintah dan pelaku pembangunan lainnya memahami
kondisi masyarakat sebagai akibat dari suatu program pemberdayaan, sehingga
dengan demikian dapat membantu menyusun kebijakan yang lebih praktis.
Penelitian
modal sosial juga meningkatkan kemampuan development agencies untuk
mengkomunikasikan tujuan program kepada masyarakat lokal. Sebagai contoh studi
tentang dampak diferensial dari ikatan modal sosial di dalam komunitas,
menjembatani modal sosial (hubungan horizontal antara aktor heterogen) dan
menghubungkan/linking modal sosial telah menarik perhatian pada pentingnya
keterkaitan. antara komunitas miskin dan jaringan yang lebih besar (World Bank
2000). Studi-studi ini telah mengarahkan NGO untuk membantu masyarakat
membangun kapasitas organisasi dan memperkuat hubungan mereka dengan lembaga
dan pasar di luar mereka sebagai cara untuk meningkatkan mobilitas masyarakat
miskin.
Hasil studi
tentang modal sosial telah memberikan kontribusi untuk meningkatkan desain
program pembangunan. Sebagai contoh, sebuah studi tiga tahun (Barron, Diprose
dan Woolcock 2006) untuk mengeksplorasi bagaimana Program Pengembangan
Kecamatan, suatu program berskala nasional di Indonesia membentuk kapasitas
masyarakat untuk resolusi konflik. Hasil studi menunjukkan bahwa PPK
menghasilkan lebih sedikit konflik kekerasan dibandingkan program serupa
lainnya, dan bila dilaksanakan dengan baik, dapat memperkuat pemerintah daerah.
Temuan ini telah diintegrasikan ke dalam desain program baru untuk daerah
pedesaan yang dilanda konflik di Indonesia, misalnya, program Dukungan untuk
Daerah Miskin dan Tertinggal.
Studi terkait
modal sosial juga memberikan kontribusi penting untuk evaluasi dampak.� Studi World Bank tahun 2006 menemukan Dana
Investasi Sosial Thailand adalah instrumen yang efektif untuk membangun
kepemimpinan dan jaringan, serta meningkatkan suara penduduk desa dalam
hubungannya dengan otoritas
otoritas formal (Dudwick et al., 2006).
Studi tersebut juga menunjukkan bahwa intervensi pembangunan dapat mempengaruhi
jaringan sosial secara positif dan secara negatif.
Dari
sejumlah Policy Paper yang mempromosikan perpustakaan umum sebagai
pendorong modal sosial, sebagian besar mengkritik Putnam karena hampir tidak
menyebutkan peran perpustakaan dalam karya utamanya tentang Modal Sosial di Amerika; (dalam Bowling
alone, 2000) (Boaden, 2005; Bourke, 2005; Bundy, 2005; Goulding, 2004; (Kranich, 2001);
(V�rheim, 2007)).
(V�rheim, 2007),
memberikan gambaran menarik
dan perspektif di lapangan. Goulding menekankan pentingnya asosiasi sukarela
dalam menciptakan modal sosial, sesuai dengan perspektif masyarakat dalam
pembentukan modal sosial. Namun dia juga menggarisbawahi pentingnya pemerintah
dalam membuat kebijakan untuk mengembangkan asosiasi sukarela dan modal sosial,
dalam hal ini di Inggris. Hal ini dilakukan dengan mendukung institusi politik
lokal dan institusi masyarakat. Selain itu, dia menegaskan bahwa layanan dan tempat
memungkinkan orang untuk bertemu secara teratur, namun sifat informal sama
pentingnya dengan asosiasi. Singkatnya, dia menekankan pentingnya perpustakaan
sebagai ruang publik �yang menyatukan masyarakat yang beragam menjadi satu
komunitas untuk belajar, mengumpulkan informasi, dan berefleksi� (Goulding,
2004).
Metode Penelitian
Studi ini akan menggunakan metode kualitatif,
dengan pengumpulan data melalui indepth
interview dan focus group discussion
secara daring kepada target responden Studi ini difokuskan untuk mengeksplorasi
bagaimana pendekatan inklusi diterapkan oleh perpustakaan dan kelompok
masyarakat mana saja yang dijangkau oleh perpustakaan. Studi ini juga
mengeksplorasi bagaimana perpustakaan membangun kepercayaan, norma, dan
jaringan di masyarakat desa.
Lokasi
Penelitian ini dilakukan di tiga desa
Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Ketiga desa tersebut adalah Desa Ngablak
Kecamatan Ngablak, Desa Ngablak Kecamatan Srumbung, dan Desa Mangunsari Kecamatan
Sawangan, yang bergabung menjadi mitra program Transformasi Perpustakaan
berbasis Inklusi Sosial mulai tahun 2019 hingga saat ini.
Responden
Studi ini mengambil responden secara
acak dari tiga desa yang yang menjadi penerima manfaat
program di Kabupaten Magelang
Provinsi Jawa Tengah.
Responden penelitian ini dibagi dalam beberapa kategori sesuai dengan metode
dan data yang ingin didapat untuk menjawab pertanyaan penelitian. Untuk
rinciannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
|
Responden
|
Jumlah
|
Keterangan
|
Indepth
Interview |
Kepala
Desa |
3 orang |
1 orang
per desa |
Pengelola
Perpustakaan Desa |
3 orang |
1 orang
per desa |
|
Dinas
Perpustakaan Kabupaten |
2 orang |
|
|
Bappeda
Kabupaten Magelang |
1 orang |
|
|
Focus Group Discussion |
Kelompok
Pemuda |
5 orang |
1
kelompok |
Kelompok
Perempuan |
5 orang |
1
kelompok |
|
Kelompok
elderly/ Lanjut usia |
5 orang |
1
kelompok |
|
Kelompok
dengan Disabilitas |
5 orang |
1 kelompok
|
|
Kelompok
pria |
5 orang |
1
kelompok |
Teknik Pengumpulan Data
Indepth
interview dan focus
group discussion dilakukan secara daring melalui platform video conference dan telepon yang mudah digunakan oleh masyarakat. Indepth interview dilakukan kepada
kepala desa, pengelola perpustakaan desa, Kepala dan staf Dinas Perpustakaan Kabupaten,
dan staf Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Magelang. Sementara
focus group discusion dilakukan
kepada beberapa kelompok masyarakat, yaitu kelompok dengan disabilitas,
perempuan, dan kelompok lanjut usia, pemuda, dan pria dengan peserta lima orang
untuk setiap kelompoknya.
Analisis Data
Data kualitatif dari indepth interview dan focus group discussion, diolah dengan
menggunakan software NVivo, guna
mengorganisasikan data agar dapat disajikan dan dianalisa. Analisis difokuskan
pada penerapan pendekatan inklusif yang dilakukan oleh perpustakaan, dan
bagaimana perpustakaan desa membangun ketiga komponen modal sosial yaitu
kepercayaan, norma dan jaringan di masyarakat desa Kabupaten Magelang, Provinsi
Jawa Tengah.
Hasil dan Pembahasan
Modal sosial
diwujudkan melalui infrastruktur dinamis dari jaringan-jaringan kerjasama antar
manusia (Putnam, 2020).
Jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi,
memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama. Masyarakat yang
sehat cenderung memiliki jaringan sosial yang kuat. (Putnam, 2020)
berargumen bahwa jaringan-jaringan sosial yang erat akan memperkuat perasaan
kerjasama para anggotanya serta manfaat-manfaat dari partisipasinya itu. Oleh
karenanya, jaringan sosial sebagai modal sosial lahir dari bawah berdasarkan interaksi
yang saling menguntungkan, dan dapat ditingkatkan penguatannya melalui pemberdayaan.
Studi ini melihat pada tiga parameter
modal sosial, yaitu kepercayaan (trust),
norma‐norma (norms) dan jaringan‐jaringan
(networks), dan bagaimana hal ini
dibangun melalui perpustakaan berbasis inklusi. Kepercayaan diukur
dengan melihat bagaimana tingkat kepercayaan masyarakat kepada perpustakaan
sebagai public space dan bagaimana
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan desa dan juga kepada
anggota masyarakat lain yang saling berinteraksi di perpustakaan. Norma-norma
yang dieksplorasi adalah norma-norma apa saja yang dibangun dan dikuatkan di
kehidupan masyarakat desa dengan adanya community
engagement di perpustakaan dan layanan yang menjangkau kelompok inklusi di
masyarakat.
Jaringan (network) mengekplorasi gambaran interaksi dan hubungan yang terjadi antara satu individu dengan
individu lain). Analisis
jaringan sosial terbukti sangat bermanfaat dalam diskusi tentang modal sosial.
Modal sosial memberi individu akses ke sumber daya orang lain yang dapat
dimanfaatkan untuk merealisasikan tujuan mereka dan dengan demikian merupakan
struktur peluang yang dihasilkan oleh hubungan sosial (Lin, 1982; Coleman,
1990; Burt, 1992).
A.
Mekanisme membangun kepercayaan
Kepercayaan
di dalam masyarakat terbangun dengan adanya kegiatan-kegiatan yang dilakukan
oleh perpustakaan. Ada kegiatan yang bersifat lifeskill training,
seperti seperti pelatihan membuat sabun, membuat keranjang pisang, merajut, dan
menjahit. Perpustakaan desa juga ikut ikut berperan dalam kegiatan posyandu,
vaksinasi, kerjasama dengan sekolah-sekolah di desa (Paud, SD, dan MTs) untuk
memfasilitasi kegiatan belajar, membantu pendaftaran sertifikasi halal produk
UKM, mengedukasi ibu hamil bersama puskesmas dan desa dalam upaya mengurangi stunting.
Perpustakaan
berperan sebagai fasilitator dalam berbagai kegiatan masyarakat, dari situ
masyarakat mulai membangun kepercayaan dengan menjadikan perpustakaan sebagai
wadah dari berbagai kegiatan dimana masyarakat saling berinteraksi.
Perpustakaan menjadi tempat warga desa saling bertemu dan berinteraksi,
sebagian sebelumnya sudah saling mengenal, namun ada juga pengunjung yang
membangun relasi baru atau saling mengenal melalui program yang diadakan oleh
perpustakaan, terutama ibu muda yang merupakan orang baru di desa Ngablak
Kecamatan Srumbung. Di Desa ngablak Kecamatan Ngablak, perpustakaan berhasil membangun
kepercayaan warga karena ada program-program yang secara langsung membantu memberdayakan
masyarakat, menambah wawasan, dan membantu perekonomian warga untuk
meningkatkan taraf hidup. Hal ini membuat kepercayaan masyarakat kepada
perpustakaan semakin meningkat, apalagi sebelumnya perpustakaan dapat dikatakan
jarang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat.
Indikasi
lain dari terbangunnya
kepercayaan di dalam masyarakat adalah dengan adanya kegiatan-kegiatan yang
diadakan oleh perpustakaan berasal dari masyarakat dan untuk masyarakat. Warga
masyarakat saling memberi edukasi atau mengajari warga lain untuk menjahit dan
merajut tanpa dipungut biaya. Melalui perpustakaan masyarakat mempunyai kesempatan untuk
saling bertemu dan sharing satu sama lain mengenai topik-topik yang terkait
dengan mata pencaharian seperti membahas topik seperti pertanian, pengasuhan
anak, atau sekedar untuk mengobrol. Ada bapak-bapak yang ke perpustakaan untuk refreshing
dengan memanfaatkan fasilitas perpustakaan, terkadang sambil membawa anaknya
untuk bermain di perpustakaan.� Dari
kalangan dewasa, tidak hanya ibu-ibu, lansia juga memiliki semangat untuk
membaca dan berjejaring dengan masyarakat lain. Kebiasaan tolong menolong dan
gotong royong semakin terpupuk melalui kegiatan yang diadakan perpustakaan
B. Mekanisme membangun norma
Norma
atau kebiasaan yang terbangun lebih ke aspek kebiasaan membaca, perubahan pada
teknologi pertanian, pengelolaan sampah, serta norma kepedulian dan
kegotongroyongan yang sebenarnya sudah ada di masyarakat makin dikuatkan,
seperti dana Salak Pustaka yang dijelaskan di atas. Penelitian menemukan adanya
norma baru yang terbentuk di kalangan masyarakat yaitu dengan adanya �salak
pustaka� dimana masyarakat akan menyumbangkan dana sebanyak satu batang
penjualan pohon salak untuk membantu perpustakaan dalam menjalankan program.
Perpustakaan juga menjadi tempat titik kumpul bagi masyarakat apabila terjadi
bencana erupsi gunung merapi. �Perpustakaan berusaha semaksimal
mungkin untuk terlibat di berbagai kegiatan masyarakat dan mengenalkan
perpustakaan sebagai fasilitas yang bisa digunakan untuk berbagai kegiatan yang dibutuhkan masyarakat.
Melalui
Kerjasama Perpustakaan dengan
sekolah dan bisnis lokal, Perpustakaan membangun kebiasaan minum susu sehingga
membangun nilai baru dan meningkatkan gizi anak sekolah di desa ngablak,
melalui kerja sama dengan salah satu cafe yang secara rutin memberikan susu
pada anak-anak sekolah dasar sekali dalam sebulan. Kebiasaan lain terbangun di
kalangan ibu-ibu
yang sering mengakses buku dan komputer di perpustakaan untuk mencari ide-ide
usaha berjualan makanan. Ibu-ibu tidak hanya
bisa mengurus rumah tangga, namun juga jadi melek teknologi.� Kelompok Lansia yang tergabung di PWRI juga
menjadi rajin membaca, karena di setiap pertemuan bulanan mereka akan mampir
dan membaca di perpustakaan.
Perpustakaan juga berperan
untuk membangun kebiasaan belajar di perpustakaan
sekaligus sebagai upaya untuk mendistraksi anak dari bermain ponsel pintar dan
mendorong anak untuk bersosialisasi dengan teman-teman yang ditemui di
perpustakaan sambil belajar. Hal ini terkait juga dengan upaya perpustakaan
mendukung pembelajaran jarak jauh karena adanya jaringan internet yang bisa
diakses secara gratis. Dan bagi mereka yang tinggal di pedesaan, berkunjung ke
perpustakaan bisa menghilangkan rasa bosan dan menjadi sarana rekreasi bagi
warga.�
Di bidang pertanian, ada norma dan
kebiasaan baru yang terbangun hasil belajar di perpustakaan diantaranya cara
bertani sebelumnya tradisional di mana masyarakat mulai belajar teknik
pertanian modern dan ramah lingkungan, serta melakukan pemasaran modern seperti
pemasaran online. Masyarakat juga menjadi tahu cara pengolahan sampah jadi
lebih baik, jadi mengetahui cara mengelompokkan sampah berdasarkan jenis
sampahnya, sehingga meningkatkan kebersihan lingkungan desa.
C. Mekanisme membangun
jaringan
Perpustakaan
selalu terbuka untuk siapapun yang ingin bergabung. Jadi siapapun bisa
berkolaborasi dengan perpustakaan untuk membangun relasi di masyarakat.
Perpustakaan berusaha menjadi fasilitator dalam berbagai kebutuhan masyarakat
untuk mengakses berbagai informasi dan koneksi baru. Perpustakaan juga menjalin
kerja sama dengan berbagai instansi diluar perpustakaan.
Mayoritas
masyarakat di Desa Ngablak Srumbung adalah muslim NU (Nahdlatul Ulama), karena
latar belakang yang sama, masyarakat cenderung lebih mudah untuk disatukan dan
diarahkan. Sehingga sebetulnya jaringan sosial sudah terbentuk.
Sehingga,
jika ada program desa maupun perpustakaan masyarakat mudah untuk dijaring dan
menerima sosialisasi dari perpustakaan.
Masyarakat juga memiliki
persepsi yang baik terhadap program perpustakaan,
terbukti dengan adanya program dana salak pustaka.� Beberapa masyarakat desa juga memiliki minat
dan kesukaan dalam membaca buku, akan tetapi seringkali masyarakat malu untuk
datang ke perpustakaan karena berbagai macam alasan seperti takut omongan
tetangga dan lain sebagainya. Perpustakaan bekerja sama dengan
pemerintahan desa dan karang taruna untuk mengadakan program yang melibatkan
berbagai kelompok masyarakat seperti Ibu-ibu PKK, anak sekolah, lansia, pemuda,
dan juga kelompok difabel. Program-program ini cukup efektif untuk membangun
interaksi antara masyarakat yang pada akhirnya memperkuat jaringan antar
anggota masyarakat.
Program-program perpustakaan
sangat berpengaruh dalam mendorong terjadinya
interaksi sosial, ini karena kelompok pemuda jadi mengenal pemuda dari dusun
lain dan membentuk interaksi baru, pemuda menjadi lebih akrab dengan perangkat
desa, pengurus perpustakaan dan banyak orang lainnya. Perpustakaan
melakukan berbagai kerjasama dengan pihak-pihak seperti sekolah dan desa. Perpustakaan
juga mengadakan kegiatan story telling untuk anak-anak, dan menyediakan ruang
dan fasilitas untuk siswa SD dan MI yang terletak di Desa Ngablak Srumbung.
D. Analisis pembangunan modal sosial
Hasil studi menunjukkan perpustakaan
menjadi mata rantai penting dalam proses komunikasi sosial dan membuat
masyarakat terhubung dalam suatu jaringan. Perpustakaan menjadi agen akan akses
kepada pengetahuan dan informasi, dan telah berekspansi dengan memasukkan peran
aktif masyarakat di dalam layanan dan kegiatan-kegiatannya. Keberadaan
perpustakaan membuat interaksi masyarakat semakin kuat. Selain itu, pengetahuan
masyarakat juga meningkat. Pengetahuan tersebut dapat diaplikasikan masyarakat
untuk meningkatkan ekonomi. Dari kalangan dewasa, tidak hanya ibu-ibu, lansia
juga memiliki semangat untuk membaca dan berjejaring dengan masyarakat lain.
Kebiasaan tolong menolong dan gotong royong semakin terpupuk melalui kegiatan
yang diadakan perpustakaan. Sebenarnya apabila terus dioptimalkan, perpustakaan
memiliki potensi dan peran untuk bisa mencerdaskan masyarakat. Namun, karena
masyarakat yang kurang mengenal dan memahami manfaat yang bisa didapatkan,
penerapannya belum maksimal.
Peran
perpustakaan dalam membangun modal sosial yang pertama adalah membuka akses
dan informasi kepada masyarakat. Asesibilitas akan meningkatkan wawasan dan
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengelola informasi. Hal ini bisa
menguatkan kepercayaan antar masyarakat terkait penyebaran informasi. Program
transformasi menjadi pusat kegiatan masyarakat. Perpustakaan menjadi ruang
publik dimana masyarakat bertemu (menjadi simpul) dan berinteraksi untuk
bertukar informasi, wawasan, dan menambah jejaring antar warga masyarakat.
Semakin besar dampak yang dirasakan oleh masyarakat secara langsung dalam
jangka waktu yang lama, maka semakin meningkat pula kepercayaan masyarakat.
Dilihat dari regulasi, perpustakaan punya fungsi strategis yang bisa menjangkau
kelompok masyarakat kecil di desa, pembangunan itu dimulai dari desa.
Perpustakaan sebagai sumber informasi dan berperan sebagai penyedia akses
menjadi kekuatan untuk membangun jaringan, norma sosial, dan juga kebiasaan
baru di masyarakat desa.
Kesimpulan
Implementasi Program Tranformasi
Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial di Kabupaten Magelang Jawa Tengah
menunjukkan terjadinya perubahan di masyarakat desa. Keterlibatan dan
partisipasi aktif masyarakat di perpustakaan memberi manfaat di beberapa aspek
kehidupan lainnya, seperti ruang untuk belajar daring, mengembangkan pertanian
dan usaha kecil, serta mengembangkan keterampilan di bidang teknologi.
Perubahan
yang terjadi ini dipengaruhi oleh penerapan pendekatan inklusi yang membuat
perpustakaan desa menjangkau lebih banyak kelompok masyarakat untuk datang dan
berkegiatan di perpustakaan. Berbagai upaya seperti sosialisasi, promosi,
kerjasama dengan pihak-pihak lain sudah dilakukan untuk menjangkau masyarakat,
hanya saja hasilnya belum optimal. Perpustakaan desa di Kabupaten Magelang telah
berupaya menjangkau kelompok masyarakat seperti pemuda, anak-anak, dan kelompok
perempuan, sementara kelompok lansia dan bapak-bapak baru sedikit yang
dijangkau. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan inklusi perlu ditingkatkan dan
diperluas penerapannya oleh perpustakaan desa, agar dapat menjangkau kelompok
masyarakat yang lebih luas lagi untuk memanfaatkan layanan perpustakaan.
Pada aspek pembangunan modal sosial, perpustakaan melalui layanan dan
kegiatan-kegiatannya memberikan ruang netral untuk masyarakat bisa saling
bertemu, berinteraksi, dan pada akhirnya menguatkan norma, kepercayaan dan
hubungan di antara mereka. Norma yang dibangun terkait kebiasaan membaca,
belajar, kegotong royongan, kepedulian, dan juga kebiasaan-kebiasaan baru dalam
mengolah pertanian. Dengan partisipasi aktif masyarakat dalam mengikuti
kegiatan dan terkadang saling mengajari antar masyarakat memperkuat hubungan
antar warga. Selain terbangunnya hubungan antar warga, hubungan dengan desa
lain dan juga stakeholder lain dan pemerintah desa juga terbangun, sehingga
membuat perpustakaan makin dikenal oleh masyarakat. Pertemuan-pertemuan ini
mendorong terjadinya kohesi sosial di dalam masyarakat. Namun perpustakaan
perlu terus mengupayakan kegiatan-kegiatan dan layanan dilakukan secara rutin
dan berulang agar modal sosial yang terbangun ini tidak mengendur.
Dudwick, Nora, Kuehnast, Kathleen, Jones, Veronica Nyhan,
& Woolcock, Michael. (2006). Analyzing social capital in context. A
Guide to Using Qualitative Methods and Data, 1, 46. Google Scholar
Fourie, Ina. (2007). Public libraries addressing social
inclusion: how we may think... Google Scholar
Griffis, Matthew R., & Johnson, Catherine A. (2014).
Social capital and inclusion in rural public libraries: A qualitative approach.
Journal of Librarianship and Information Science, 46(2), 96�109. Google Scholar
Heuertz, Linda. (2009). Rural libraries building
communities. University of Washington. Google Scholar
Johnson, Catherine A. (2010). Do public libraries contribute
to social capital?: A preliminary investigation into the relationship. Library
& Information Science Research, 32(2), 147�155. Google Scholar
Kranich, Nancy. (2001). Features-Libraries Create Social
Capital-Robert Putnam�s Bowling Alone struck a nerve with Americans in need of places
where they can share interests and concerns and connect with fellow. Library
Journal, 126(19), 40�41. Google Scholar
Putnam, Robert D. (2020). �Bowling Alone: America�s Declining
Social Capital�: Journal of Democracy (1995). In The City Reader (pp.
142�150). Routledge. Google Scholar
Suharto, Edi. (2000). Modal sosial dan kebijakan publik. Google Scholar
V�rheim, Andreas. (2007). Social capital and public
libraries: The need for research. Library & Information Science Research,
29(3), 416�428. Google Scholar
Copyright
holder: Masnur Esterida Cornelia (2022) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |