Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 6, Juni 2022
HUBUNGAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DAN ILMU HUMANIORA
DITINJAU DARI PERSPEKTIF SEJARAH PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN
Kristanti Winarti Huldayanti
Universitas Kristen Indonesia, Indonesia
Email: [email protected]� ��
Abstrak
Humaniora (humanities) sebagai ilmu pengetahuan yang pusat
perhatiannya pada manusia dan budaya memainkan peranan penting dalam sejarah
peradaban manusia. Pendidikan Agama Kristen (PAK) dalam sejarahnya berdampingan
dengan perkembangan ilmu Humniora untuk mendidik manusia menjadi manusiawi
namun tidak terlepas dari keimanan kristen. Dengan memperhatikan prinsip
tersebut, PAK seharusnya dapat mengintegrasikan�
metode-metode penyelidikan analitik dan kritis yang berasal dari
apresiasi nilai-nilai kemanusiaan dan kemampuan unik jiwa manusia untuk
mengekspresikan dirinya sebagai bagian poin penting ajaran PAK. Tujuan penelitian ini adalah
untuk membahas hubungan PAK dan ilmu Humaniora ditinjau dari perspektif� sejarah PAK untuk menyumbangkan rekomendasi
hasil penelitian kepada institusi pendidikan maupun para pendidik PAK terkait
desain kurikulum PAK yang mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan dan budaya
manusia.� Metode
penelitian yang dilakukan dalam penyusunan makalah ini adalah studi kepustakaan.
Untuk menghasilkan manusia yang bermoral dan berakhlak mulia
berdasarkan nilai-nilai kekristenan dan kemanusiaan,� PAK dapat menjadi wadah yang penting dalam
mendidik generasi muda untuk mengapresiasikan nilai-nilai kehidupan dan
keluhuran jiwa manusia dalam kehidupan sehari-harinya sebagai ciptaan Tuhan.
Kata Kunci: pendidikan
agama kristen, humaniora, sejarah
Abstract
Humanities as a science that focuses on humans and culture plays an
important role in the history of human civilization. Christian Religious
Education (PAK) has historically been side by side with the development of the
science of Humniora to educate humans to be human but cannot be separated from
Christian faith. By paying attention to these principles, PAK should be able to
integrate analytical and critical methods of inquiry derived from the
appreciation of human values and the unique ability of the human
soul to express itself as part of the important points of PAK's teachings. The
purpose of writing this paper is to discuss the relationship between PAK and Humanities
in terms of the historical perspective of PAK to contribute research
recommendations to educational institutions and PAK educators regarding the
design of the PAK curriculum that integrates human values and
human culture. The research method used in the preparation of this paper is
literature study. To produce moral and noble human beings based on Christian
and human values, PAK can be an important forum in educating the younger
generation to appreciate the values of life and the nobility of the
human soul in daily life as God's creation.
Keywords: christian religious education, humanities, history
Pendahuluan
Pendidikan Agama
Kristen atau PAK� pada saat ini merupakan bagian
dari "warisan" konsep metode dan tujuan pendidikan yang ingin dicapai
oleh� guru atau pendidik karakter pendahulu
yang terus dikembangkan sejak awal PAK ada. Secara historis PAK juga berkembang
dan berbuah mengikuti perkembangan
zaman, ilmu pengetahuan, dan
teknologi. Secara umum pendidikan terkait erat dengan perubahan zaman yang
berkaitan dengan sistem nilai dan gaya
hidup (Kolibu, 2018).
Seiring
perkembangan zaman, bertumbuh pula ilmu-ilmu sosial yang berkaitan satu dengan
lainnya, baik secara langusung maupun tidak langsung berdampak pada kekayaan
keilmuan itu sendiri.� Salah satu ilmu
yang berkaitan erat dengan PAK adalah Ilmu udaya atau humaniora adalah ilmu
yang mempelajari� agaimana� menyeakan atau memperaiki atau meningkatkan
manusia menjadi lebih manusiawi dan berbudaya.
Dalam ahasa Latin humaniora disebut �Liberia artes�
yang berarti studi tentang manusia. Dalam pendidikan Yunani
kuno humaniora disebut �Trivium� yang berarti
logika retorika dan tata bahasa. Pada dasarnya humaniora adalah ilmu yang
mempelajari nilai-nilai humanistik yang meliputi kajian agama filsafat seni
sejarah dan linguistik.������ Nilai
kemanusiaan meliputi nilai-nilai yang berkaitan dengan
harkat dan martabat seseorang. Dikarenakan manusia tidak dapat hidup
seorang diri tetapi memerlukan manusia lain untuk dapat hidup berdampingan,
membantu serta berkarya secara bersama-sama, maka nilai-nilai kemanusiaan ini
merupakan perekat utama untuk menciptakan tata hubungan yang harmonis,
berbudaya dan beradab. Manusia mengenal nilai-nilai kemanusiannya berdasarkan
pengalaman hubungan dan interakasi yang terjalin diantara sesame manusia.� Nilai-nilai kemanusian menjadi nilai-nilai
luhur yang dijunjung bersama oleh keseluruhan anggota masyarakat sebagai suatu
komitmen berkehidupan yang menghasilkan peradaban dan budaya dari suatu
komunitas.
Permasalahannya
adalah apakah PAK saat ini telah mampu menterjemahkan nilai-nilai kemanusiaan
itu di dalam konsep pengajaran serta kurikulum dan ajarannya? Apakah
Agama Kristen dapat juga dikategorikan sebagai ajaran agama yang humanis?
Apakah pendidikan Kristen dapat menggunakan prinsip-prinsip kemanusiaan atau humanis dalam ajarannya? Menurut beberapa pandangan
humanis non agama, label humanis yang digunakan dalam isitilah humanis Kristen
hanya merupakan reaksi atas penggunaan label humanis oleh para humanis non
agama. Tantangan kehidupan Abad 21 adalah masyarakat yang eksklusif, terpisah
dan terkotak-kotakan berdasarkan status-status sosial dan ekonomi, perbedaan
suku, agama, maupun kewarganegaraan, paham, dan
keyakinan yang memilih untuk tidak peduli dan apatis terhadap permasalahan
kemanusiaan.� Berdasarkan hal tersebut, yang menjadi tantangan adalah bagaimana PAK dapat
dikembangkan untuk mendidik dan membangun generasi-generasi yang bukan hanya
mengenal agamanya, tetapi juga mampu mengimplementasikan nilai-nilai
kekristenan dalam kehidupan bermasyarakatnya. PAK
harus dikembangkan lebih lanjut, sehingga dapat membentuk
karakter� dan integritas siswa dalam hal penghayatannya
kepada Tuhan serta dalam hal memanusiakan manusia (Kolibu, 2018).
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, digunakan
metode penelitian kualitatif deskriptif yang di dalamnya memberi penekanan quality tentang masalah-masalah humaniora dan kaitannya dengan Pendidikan agama
Kristen (PAK) yang ditinjau dari
sejarah PAK. Pengumpulan
data melalui telaah studi
kepustakaan yang dilakukan secara kritis dan mendalam. Penelitian ini menggunakan sumber data dengan mengumpulkan bacaan literatur dan bahan penelitian
lainnya berupa buku, artikel
yang relevan tentang ilmu hubungan humaniora
dan PAK yang ditinjau dari perspektif sejarah PAK.
Hasil
Dan Pembahasan
Ilmu
Humaniora
Secara
etimologis kata �humaniora� berasal
dari kata sifat atau keadaan dari kata latin �humanus� yang berarti manusia. Sedangkan dalam bentuk
komparatif, �humaniora�
memiliki makna yang lebih manusiawi. Berdasarkan pengertian etimologis tersebut
Hassan Shadily memerikan definisi humaniora sebagai
ilmu yang dianggap bertujuan menjadikan manusia lebih
manusiawi (artinya di sini� lebih
manusiawi ialah lebih berbudaya) (Daliman, 1983).� Humaniora
adalah� ilmu� yang mempelajari apa yang diciptakan atau
dirasakan oleh manusia. Dengan kata
lain bahwa humaniora adalah ilmu yang berhubungan
dengan rasa seni manusia seperti sastra,
musik, patung, lukisan, dan sebagainya (Darmadi & MM, 2017).� Secara
tradisional ilmu humaniora ia terdiri dari : filsafat, seni, ilmu-ilmu agama,
dan ilmu sejarah (liberal arts) (Bolo et al., 2020).�
Ilmu-ilmu
humaniora tidak dapat dimasukkan ke dalam ilmu-ilmu sosial karena bukan
merupakan ilmu
tentang gerak aktivitas kehidupan manusia,
tetapi yang dipelajari adalah kecenderungan �rasa� dan �perasaaan�
memunculkan bakat dan minat masyarakat dengan menjadi kreatif. Oleh karena itu erangkat dari pemahaman� manusia yang demikian selain mempelajari
ilmu-ilmu lain perlu juga mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan. Hal ini karena ilmu
pengetahuan dan teknologi muncul dari latar elakang peradaan dan udaya. Dasarnya
adalah humaniora dan erkat itu manusia dapat erpikir erkreasi erhasrat dan
erimajinasi dan kemudian mengemangkan kreativitas. Jadi humaniora masih
memainkan peran penting. Lingkup humaniora pada awalnya hanya mencakup ahasa
dan sastra klasik tetapi kemudian diperluas ke teologi filsafat� hukum�
sejarah filologi linguistik sastra dan seni, dan
psikologi (Darmadi & MM, 2017).
Sebagai
ilmu yang berorientasi pada humaniora yaitu memanusiakan
manusia,
harus dikatakan bahwa� subjek
dari proses pendidikan humanistik ini adalah manusia itu sendiri. Manusia juga
merupakan titik awal untuk mengajarkan humaniora karena hanya manusia yang
memiliki kemampuan untuk merefleksikan diri dan dunianya. Manusia adalah titik
awal untuk mempelajari diri mereka sendiri dan dunia mereka. Orang adalah
mereka yang� mampu membawa
makna dan nilai tertinggi bagi diri mereka sendiri dan bagi
dunia. Dengan kata lain apakah manusia dan dunia� menjadi lebih
manusiawi,� tergantung� bagaimana mereka eksis
dengan segala potensi yang ada di dalam�
diri mereka. Tampaknya dengan identitas seperti ini dapat dikatakan bahwa
manusia memiliki fungsi dan posisi yang sangat unik dan tak tergantikan di
dunia ini. Oleh karena itu manusia juga merupakan faktor terpenting dalam
mempelajari humaniora karena� pada prinsipnya
humaniora adalah ilmu yang mempelajari dan mengembangkan
faktor manusia (Setyawan, 2015).
Tujuan dari
humaniora sendiri adalah untuk untuk membuat
orang lebih manusiawi yaitu membuat
orang lebih berbudaya. Sedangkan tujuan dijelaskan lebih
rinci yaitu muara manusia adalah munculnya karakter manusia yaitu pribadi
yang berkeinginan dan berjuang untuk
mencapai hubungan yang lebih baik berdasarkan
prinsip kemanusiaan melayani kepentingan manusia lain. Wardani mengemukakan
tujuan dari ilmu humaniora itu sendiri adalah membebaskan
pikiran untuk mandiri dalam mencari, memilih, dan
menggunakan informasi menjadikan manusia lebih
manusiawi yaitu leih berbudaya (Murtopo, 2017).
Mempelajari
humaniora akan membuat seseorang lebih manusiawi, lebih berbudaya.
Hal ini jelas sangat penting dalam mengikuti kemajuan teknologi yang terkadang
membuat orang merasa bermartabat,
karena hampir semua peran bisa digantikan oleh mesin sehingga� manusia bisa
saja bertingkah seperti mesin dan kehilangan hati nurani. Memang berkat ilmu pengetahuan dan teknologi,
manusia dapat pulih dari tekanan alam yang berat� yang selalu mengganggunya,� tetapi mulai secara sistematis bergantung
pada hasil kreativitas dan organisasinya. Akibatnya
generasi muda kekurangan ruang dan kesempatan�
berimajinasi. Orang yang hanya ingin� sesuatu terjadi dengan cepat tanpa pemrosesan
dan akhirnya hanya menjadi pengguna dan meniru teknologi. Untuk itu ruang
kreativitas harus dibangun dan ruang untuk berimajinasi.
Ruang yang dibangun dan
banyak dimiliki orang
di masa lalu terutama melalui bidang humaniora (Darmadi & MM, 2017) dengan memahami ilmu ini harus terarah ke masa depan
tanpa melepaskan diri dari masa lampau dan masa kini.
Hubungan Humaniora dengan
Ilmu-ilmu Sosial dan Sejarah
Humaniora dan
ilmu-ilmu sosial mempunyai objek studi yang sama yaitu memahami orang sebagai budaya,
makhluk intelektual dan makhluk sosial. Keduanya ingin menemukan
generalisasi-generalisasi. Perbedaan antara kedua bidang
studi tersebut terletak pada penekanannya (emphasis).
Ilmu-ilmu sosial mencari generalisasi sebagai
model untuk memprediksi dan mengendalikan fenomena sosial di masa depan.
Sedangkan humaniora lebih mementingkan mencari contoh yang dapat dijadikan� contoh atau model. Ilmu-ilmu sosial lebih
fokus pada masa kini dan masa depan, sedangkan humaniora
lebih fokus pada studi masa lalu.
Di antara
ilmu-ilmu sosial, sejarah adalah yang paling dekat dengan humaniora. Sejarah
sebagai bagian dalam humaniora memberikan sumbangan terbesar sebagai metode
untuk memahami manusia. Pendekatan historis dipandang sebagai yang paling tepat
untuk memahami manusia, sebab manusia memang hanya dapat dipahami dari
kesejarahannya.
Sejarah Pendidikan Agama Kristen
a.
Pendidikan
Agama di Era Yesus
Yesus lahir dan besar di
lingkungan� Yahudi yang sangat
mempengaruhi ajaran agamanya. Yesus memiliki hubungan� khusus dengan Bapa-Nya.
Namun hubungan itu tidak menghalangi Yesus untuk belajar
seperti anak laki-laki Yahudi lainnya. Kata-kata Yesus dalam Lukas 6:40,
Matius 10:24-25, dan Yohanes 13:16-17
menunjukkan setidaknya� bagaimana
Yesus belajar. Di mana Dia pernah menjadi
murid, kemudian� Dia belajar
dengan guru-gurunya. Seperti anak laki-laki Yahudi yang lainnya,
keluarganya adalah guru pertamanya. Mengajar adalah bagian
yang sangat penting dari pelayanan Yesus. Dia mengajar di kuil-kuil, di
sinagoge-sinagoge, di tepi danau, atau di perahu-perahu
nelayan, di perbukitan, dan di dataran. Dalam gaya mengajar Yesus,
setidaknya ada delapan bentuk atau pendekatan pengajaran yaitu khotbah,
orientasi hafalan,
perwujudan, dialog, studi kasus, pertemuan, dan
gerakan simulasi atau simbolis. PAK pada abad pertama Masehi, berfokus
pada dua sisi yaitu ajaran Yesus dan pemenuhan isi surat-surat tertua dan termuda Perjanjian Baru yaitu surat-surat Tesalonika. Paulus mengkhotbahkan
Injil tetapi dia juga mengajar dan isi�
keduanya berasal dari Wahyu yang dia terima
dari Allah. Begitu orang menjadi beriman melalui khotbah, mereka segera membutuhkan
pendidikan agama agar� dapat terus mengembangkan
keimanannya. Di antara jemaat Tesalonika,
setidaknya ada empat jenis ajaran yaitu doktrin Teologis,
doktrin moral, perintah gereja, kata-kata yang
merujuk ucapan Yesus (Boehlke, 1997).
b.
Pendidikan
Agama Kristen dalam Gereja Purba
Pada awal abad ke-2, orang Kristen sedikit meskipun kelompok Kristen hadir di
banyak kota di sekitar Mediterania. Pendidikan agama
Kristen yang dikembangkan oleh gereja kuno adalah upaya untuk melawan budaya
yang nilai-nilainya memusuhi itu di lingkungan yang lebih
luas. Dihadapkan dengan ini,
muncul
tanggapan yang heterogen. Ada pemimpin seperti Tertullian yang ingin menarik
garis� yang jelas antara gereja dan budaya.
Tidak ada netralitas di antara keduanya. Komunitas Kristen terpaksa memisahkan
diri dari pengaruh budaya Yunani-Romawi. Namun pemikir lain seperti
Hieronimus dan Basil ingin mengambil keuntungan dari hasil budaya
yang tidak secara langsung bertentangan dengan iman Kristen ini. Namun,
ketegangan yang ada pada abad pertama� antara budaya
tertentu dan nilai-nilai gerejawi tidak ada,
akhirnya mereda pada saat itu tetapi berlanjut selama berabad-abad berikutnya
bahkan gereja dapat menjadi garam dunia melalui perjuangan
terus-menerus dengan lingkungan yang luas di mana Tuhan telah menempatkannya.
Pada tahap yang lebih
spesifik, gereja kuno juga menghadapi tantangan agama seperti
doktrin Gnostik, Mitraisme, dan Neoplatonisme. Pada saat yang sama gereja
harus merenungkan hubungannya dengan negara. Pokok-pokok
perdebatan segera muncul sehubungan
dengan pertanyaan di mana letak kesetiaan mutlak seorang Kristen. Dalam proses
menjawab pertanyaan ini, sejumlah nyawa orang
Kristen telah dikorbankan. Yang lain berdebat
dengan� pendukung negara dalam hal
mengapa orang Kristen tidak dapat berpartisipasi dalam
upacara keagamaan negara. Tetapi mereka ingin menjadi warga negara yang setia
dan bertanggung jawab.
Di lingkungan yang luas inilah pemikiran dan praktik
pendidikan agama Kristen muncul. Pada hakekatnya upaya tersebut berangkat
dari perjuangan teologis. Meskipun detailnya harus dipelajari dalam bidang
dogma dan sejarah gereja, pada umumnya beberapa
perjuangan tersebut harus diuraikan di sini sehingga semua perjuangan
teologis gereja selama berabad-abad tidak lepas dari pelayanannya di bidang
PAK). Perjuangan teologis adalah bagian dari Pendidikan agama Kristen. Namun PAK� tidak meliatkan anggota gereja dalam perjuangan
teologisnya tidak dengan pendidikan agama Kristen yang sejati. Ini juga memahas
agaimana gereja mencoa menjelaskan dan mengajarkan identitas Yesus dari
Nazaret. Tapi isnis ini ukan jalan satu arah. Melalui semua ajaran ini anggota
gereja didorong untuk menggali ke dalam akar iman mereka. Selanjutnya secara
umum juga ada pengajaran melalui dua macam upaya yaitu dari isi himne yang
diluncurkan oleh Efraim pendeta Syria dan melalui kualitas hidup umat Kristen
itu sendiri yang diunggulkan melalui iadah umum doa priadi� dan puasa. . Secara khusus pandangan
masing-masing dari lima pendidik esar juga disajikan yaitu Clement Origen
Jerome Chrysostom dan Augustine. Mengenai lemaga-lemaga esar yang dikemangkan
oleh Gereja kuno setidaknya ada tiga jenis yang menonjol yaitu gereja iadat
sekolah doktrin untuk calon anggota Gereja dan sekolah katekese semacam
perguruan tinggi (Boehlke, 1997).�
c.
Pendidikan
Agama Kristen pada Abad pertengahan
Keadaan jemaat pada abad pertengahan kebanyakan adalah
tuna aksara dan para pemimpin yang terdidik entah imam atau awam kurang sekali
jumlahnya, gereja mengajar melalui penggunaan lambang-lambang. Misalnya,
tentang lambang-lambang berupa sakramen baptisan dan misa khususnya, drama
agamawi, seni lukis/patung, buku naskah berhiasan, dan seni bangunan. Semuanya
itu cenderung mendobrak hati indrawi warga jemaat ketimbang mendorong perkembangan
pengetahuan dan pengertian mereka.
Membangun atas keadaan tersebut isu pedagogis abadi
mencakup ketegangan kreatif antara pemupukan perasaan misteri agamawi dan
perkembangan bagian kognitif dalam diri para warga persekutuan kristen.
Ketegangan ini sangat peka bagi persekutuan protestan indonesia yang berasal
dari suku-suku yang mengutamakan pentingnya memperoleh pengetahuan serta
memahami isinya, peranan simbolisme cenderung dikesampingkan. Namun didalam
kehidupan iman mesti ada tempat bagi keindahan.
Pada abad pertengahan gereja mengembangkan sejumlah wadah
pedagogis, tempat pelaksanaan pendidikan agama Kristen (PAK):
jemaat itu sendiri, universitas, dan wadah pedagogis yang berlangsung di bawah
naungan biara. Karena jaringan perhubungan terbatas sekali pada zaman itu,
wadah-wadah pendidikan agama Kristen
(PAK) berasal dari pelbagai titik
geografis dan gerejawi dan bukan dari pusat tertentu, misalnya kepausan.
Keterlibatan kita dengan pengalaman gereja abad pertengahan mungkin membuka
mata terhadap sumbangan para pemikir sebagaimana mereka ini diwakili oleh enam
orang saja, yaitu:
1.
Karel
Agung, kita diperkenalkan dengan seorang awam berkuasa yang haus akan
pengetahuan. Dia tidak merasa puas dengan taraf iman yang sudah dicapainya. Dia
sudah menjadi seorang pelajar teladan sebelum dia menyalurkan dana, sarana, dan
tenaga negara dan gereja demi kepentingan perkembangan para warga kristen yang
terdidik.
2.
Raja
Alfred dari inggris memahami pentingnya sumber tertulis dalam bahasa daerah
sebagai dasar bagi pendidikan. Dia tidak hanya memanfaatkan dana perbendaharaan
negara demi rencana darurat menerjemhkan buku-buku latin kedalam bahasa inggris
kuno.
3.
Robanus
Maurus dari jerman mengajukan pertanyaan pokok di bidang pendidikan agama Kristen
(PAK) berupa pendidikan Teologi.
Apakah sudah cukup dalam pendidikan seorang calon pendeta kalau dia dilatih
menjadi seorang tukang liturgi dan sakramen saja?
atau sebaliknya, pendidikannya perlu mencakup vak-vak bukan teologis yang
merupan lingkungan luas tempat tugas berteologi berlangsung sebelum mempelajari
vak-vak teologis
4.
Abelardus
mendidik kita tentang kepentingan mengajukan pertanyaan sebagai dasar
memperoleh pengetahuan dan pemahaman baru. Dalam pengalamannya, belum ada
jawaban mutlak sebagaimana nampak perbedaan pendapat diantara bapa-bapa gereja
yang termulia.
5.
Thomas
Aquino
6.
Gerson (Boehlke, 1997)
d.
Pendidikan
Agama Kristen pada zaman reformasi Protestan (Luther & Calvin)
Sumbangan Luther:
1)
Luther
mengaitkan pendidikan dengan teologi atau dengan kata lain, teologinya
merupakan dasar teori pendidikannya
2)
Prestasi
menerjemahkan Alkitab kedalam bahasa jerman turut mengembangan bahasa jerman
sehingga semua warga jerman dihubungkan satu sama lain. Serentak dengan itu,
bahasa jerman memaikan peranan luar biasa dalam perkembangan pendidikan jerman.
3)
Luther
melihat bahwa semua orang berhak beljara membaca dan menulis sebagai dasar
menjadi orang percaya yang terdidik sehingga ��bukan lagi anak-anak, yang
diombang ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran�� (ef 4:14a). Khusus bagi
warga dewasa khotbah dikembangkan menjadi wadah paling utama untuk pendidikan.
4)
Dia
juga mendorong para pemimpin kotapraja sehingga didirikannya sekolah-sekolah
��negeri�� yang dibiayai kas pemerintah setempat. Dan semua anak wajib
disekolahkan.
5)
Luther
menyusun bahan pendidikan khuss untuk anak didik, yaitu katekismus kecil. Karya
itu memupuk penyusunan banyak katekismus lainnya sebagai bahan tercetak paling
utama dalam rangka mendidik kaum muda.
6)
Dia
amat prihatin terhadap perbedaan sifat setiap anak, suatu fakta yang perlu
diperhatikan sebagai dasar mengembangkan tugas-tugas belajar yang sesuai.
7)
Luther
cenderung lebih maju ketimbang pendekatan yang dominan di antara kebanyakan
pendidik sezamannya.
8)
Luther
menitik-beratkan peranana mutlak musik dalam proses mendidik orang-orang di
samping menjadi unsur umum dalam liturgi dengan demikian warga jemaat adalah
peserta aktif dan bukan pasif.
9)
Luther
amat sadar akan kemungkinan-kemungkinan yang tersirat dalam pengalaman
pendidikan, dengan akibat warga kristen berhak bertumbuh dalam iman kristen
sehingga dihayati �nya dalam kehidupan sehari-hari.
10) Luther mendsak warga jerman menghargai pentingnya
perpustakaan-perpustakaan sebagai alat pelengkap mutlak dalam rangka
mengembangkan sumber pengetahuan dan pengertian demi kebutuhan perseorangan,
gereja, masyarakat, dan negara (Boehlke, 1997).
Sumbangan Calvin:
1)
Kehidupan
Calvin merupakan teladan bagi siapa saja, tentang seorang Kristen
yang mengasihi Tuhan dengan segenap pikirannya. Dia merupakan seorang
pelajar Alkitab dan kebudayaan seumur hidupnya.
2)
Calvin
ingin mendidik pikiran insani yang tidak mempercayai perasaannya yang kurang
mantap. Melalui institutionya dia menjelaskan isi iman kristen secara teratur sebagaimana
didapatinya dalam Alkitab.
3)
Intinya
adalah pengetahuan minimal yang perlu diketahui dan dipahami oleh setiap warga
kristen. Walaupun ia tidak mempercayai perasaan insani sebagai bukti kedalaman
iman, namun dia ingin menghasilkan para warga dari semua golongan umur yang
menaklukan diri sedemikan rupa kepada Tuhan dalam kehidupan sehari-hari mereka
dengan mewujudkan bukti pemilihan mereka, dalam Yesus kristus.
4)
Melalui
pengajarannya mereka dididik agar tidak memperhatikan keadaan jiwanya secara
pribadi saja, tetapi agar memandang keluar, dalam arti memanfaatkan iman untuk
mengubah masyarakat sekitarnya sesuai dengan injil.
5)
Pendidikan
agama kristen adalah bagian integral dari pelayanan gereja karena gerejalah
sang ibu yang mengasuh anak-anaknya. Calvin menjunjng tinggi khotbah sebagai
sarana untuk menginjili serta mendidik para warga jemaat, serta mempersiapkan
katekismus untuk mendidik kaum muda (Boehlke, 1997).
6)
Dia
mendidik jemaat memuji Tuhan melalui penggunaan mazmur-mazmur yang dinyanyikan
jemaat dalam bahasa Perancis. Ia pun menetapkan sakramen baptisan sebagai tanda
pemilihan Tuhan dalam Yesus Kristus dan sakramen perjamuan kudus sebagai
karunia mutlak ada dalam kebaktian selama menjauhkan kedua-duanya dari ketakhyulan.
7)
Ia
juga mendorong pemerintah dan masyarakat Jenewa
mendirikan akademi sebagai pusat persekolahan gereja Am,
baik bagi anak didik maupun bagi kaum muda.
e.
Pendidikan
Agama Kristen di Indonesia
Pendidikan agama Kristen
di Indonesia dimulai sejak masuknya pedagang dari Portugis di pulau ternate
pada tahun 1538 kemudian berlanjut pada daerah-daerah di indonesia lainnya.
Adapun Dr. Homrighausen, diundang ke konferensi di sukabumi untuk
memperkenalkan ilmu dan praktek Pendidikan Agama Kristen kepada para pemimpin
persekutuan Kristen di Indonesia. Konferensi studi itu diselenggarakan oleh
Panitia Theologi DGI dan berlangsung dari 20 Mei s/d 10 Juni 1955 di Asrama
Pendidikan yang terletak di jalan Cipelang no. 8, Sukabumi. Studi ini diikuti
oleh 53 utusan dari 21 gereja (sinode), 15 peninjau yang delapan diantaranya
berasal dari dalam negeri dan tujuh tenaga misi dari luar negeri serta dua
orang anggota staf dari dua sinode dan seorang dari DGI, dua pemimpin serta 26
anggota GMKI, yang melaksanakan pelbagai tugas yang berkaitan dengan kelancaran
konferensi.
Ada penilaian khusus dari team konferensi pada saat itu
bahwa sekalipun ada guru pendidikan Agama kristen. Namun pendidikan Agama
kristen memiliki perkembangan yang kurang maksimal sehingga salah satu saran
dari konferensi PAK pada saat itu adalah kebutuhan yang sangat mendesak bagi kurikulum
sekolah minggu yang betitik tolak dari keadaan Indonesia bertemu ketika KOMPAK
DGI mengadakan konferensi.
Sesuai dengan jati diri republik Indonesia sebagai negara
Pancasila, vak agama sudah masuk ke dalam kurikulum wajib di sekolah-sekolah
sejak dasawarsa 50-an, kemudian disusun kurikulum vak Agama bagi anak didik SD,
SLTP, SLTA.
Hubungan PAK dan ilmu Humaniora
dalam perspektif sejarah PAK
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), Humaniora adalah ilmu
pengetahuan yang meliputi filsafat, hukum, sejarah, bahasa, sastra seni; dan
makna instrinsik nilai-nilai humanisme.� Humaniora atau ilmu budaya adalah ilmu yang
mempelajari tentang cara membuat atau mengangkat manusia menjadi lebih
manusiawi dan berbudaya. Menurut bahasa Latin Humaniora
biasa disebut artes liberals yaitu studi tentang kemanusiaan. Sedangkan
menurut pendidikan Yunani Kuno, humaniora disebut dengan trivium yaitu
logika, retorika dan gramatika. Pada hakikatnya, humaniora merupakan ilmu-ilmu
yang bersentuhan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang mencakup studi agama,
filsafat, seni, sejarah dan ilmu-ilmu bahasa.
Woodhouse dalam
artikelnya The Nature of Humanities: Historical Perspective menjelaskan
bahwa istilah humaniora berasal dari program pendidikan yang dikembangkan oleh
Cicero (106-43 SM), yang disebutnya humanitas yaitu sebuah corak pendidikan
untuk menjadikan manusia lebih menjadi manusiawi (humanior).� Pada masa Renaissance (1200-1500), para
humanist Italia menghidupkan kembali istilah humanitas, menjadi �studia
humanitatis� yang mencakup gramatika, retorika, puisi, sejarah dan
filsafat. Semua mata pelajaran tersebut dipelajari dalam bahasa Latin.
Studi humanitatis ini hampir secara eksklusif dipusatkan pada kebudayaan Yunani
dan Latin (Sastrapratedja, 2001).� Masa Renaissance
merupakan masa perkembangan Humaniora awal. Masa Renaissance memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
�
Penemuan
dunia dalam arti manusia mulai menyadari berhadapan dengan dunia sebagai
kenyataan yang harus diolah dan dikembangkan oleh manusia.
�
Penemuan
individualitas dalam arti manusia mulai menyadari dirinya sebagai individu,
yaitu sebagai keutuhan yang berdiri sendiri dan tidak �tenggelam� dalam dunia
dan masyarakatnya.
�
Penemuan
kebebasan dalam arti manusia menyadari dirinya tidak ditentukan oleh nasib,
tetapi oleh dirinya sendiri.
�
Penemuan
objektivitas dalam arti bahwa kita dapat menyeldiki kenyataan sebagaimana
adanya dengan mengurangi pendapat atau tanggapan pribadi yang belum terbukti.
Pada zaman
Renaissance inilah muncul istilah humanisme.
Humanisme Renaissance adalah suatu gerakan susastra dan filsafat pada abad 14
sampai 17 dimulai di Italia kemudia menyebar ke seluruh Eropa. Para humanis
adalah para ilmuan/ ahli naskah-naskah kesusasteraan Yunani dan Latin.
Humanitas adalah pendidikan yang berlandaskan pada studi humantatis atau
humaniora yaitu sebuah kurikulum yang menekankan mata pelajaran gramatika, retorika,
sejarah, puisi dan filsafat. Selama periode Renaisans, kebanyakan kaum humanis
adalah religius, jadi perhatian mereka adalah untuk "memurnikan dan
memperbarui Kekristenan," bukan menghapusnya. Dengan
pendidikan ini diharapkan orang menjadi manusia yang utuh dan bebas. Humanisme
Renaisans juga menginspirasi kecintaan belajar dan "cinta sejati pada
buku; para humanis membangun koleksi buku dan perpustakaan universitas mulai
dikembangkan. Istilah humaniora lama-kelamaan diganti dengan istilah
artes liberals (liberal arts) atau humanities di Amerika. Program
pendidikan klasik ini diteruskan sebagai dasar pendidikan pada abad ke-18
dan 19 di Eropa (Sastrapratedja, 2001). Hingga akhirnya kita mengenal dengan istilah liberal
education.
Menurut
Soedjatmoko, Tujuan Pendidikan Humaniora di Indonesia adalah sebagai berikut:
�
Pengenalan
menyeluruh terhadap budaya nasional, budaya daerah asal, dan budaya daerah lain
di Nusantara.
�
Pemahaman
mengenai sejarah Indonesia dan kaitannya dengan sejarah dunia.
�
Penguasaan
bahasa Indonesia, baik secara tertulis maupun lisan dan sekurang-kurangnya satu
bahasa daerah.
�
Kemampuan
memahami sekurang-kurangnya satu bahasa asing beserta budaya dimana bahasa itu
digunakan.
�
Kemampuan
menikmati dan membuat penilaian terdidik terhadap karya-karya seni.
�
Kemampuan
menganalisis dan menilai masalah-masalah etis, masalah-masalah kebijakan umum, dan
persoalan yang menyangkut nilai (khususnya yang menyangkut pengetahuan dan
teknologi).
�
Kemampuan
melakukan kritik secara bertanggung jawab.
Beberapa
contoh Kasus: a) Humanisme
Sekuler. Cita-cita dari humanisme sekuler: manusia mengakui dirinya
sebagai bagian dari alam yang kekal dan tidak diciptakan oleh Allah. Tujuannya:
memperbaiki manusia tanpa kehadiran Allah atau tanpa bantuan dari Allah.
Humanisme sekuler lahir di Masa Pencerahan (Renaissance) yang terjadi di abad
ke-18 dan pemikiran bebas di abad ke-19. Moralitas dan asumsi
mengenai keadilan para humanis sekuler ini bersandar pada akal budi saja.
Mereka mengabaikan otoritas Alkitab, yang justru diandalkan oleh orang Kristen
sebagai sumber utama untuk mengetahui mana yang benar dan salah, baik dan
jahat. Dalam penyelidikan mereka tentang asal-usul kehidupan,
para humanis sekuler tidak mengakui jika Allah yang menciptakan manusia dari
debu tanah. Mereka juga menganggap bukan Allah yang menciptakan bumi dan
seluruh isinya dari ketiadaan. Bagi para humanis sekuler, alam adalah kekuatan
kekal yang bisa menopang dirinya sendiri. Para humanis sekuler
mungkin akan terkejut ketika tahu kalau ada banyak orang Kristen yang juga
memiliki sikap skeptisisme terhadap agama. Mereka juga berkomitmen untuk
menggunakan penalaran kritis dalam merespon berbagai pengajaran. Seperti halnya
orang-orang Berea, para humanis Kristen membaca dan mendengarkan berbagai
pengajaran, namun akan memeriksa semua hal dalam terang Alkitab (Kis 17:11). Tidak
seperti para humanis sekuler, yang menolak gagasan tentang kebenaran yang
disingkapkan oleh Allah dalam Alkitab, orang Kristen menaati Firman Tuhan, yang
merupakan standar utama yang digunakan untuk mengukur atau menguji kualitas
dari segala sesuatu. Sebelum kita mempertimbangkan respon orang Kristen
terhadap humanisme sekuler, kita harus mempelajari istilah humanisme itu
sendiri. Humanisme umumnya diingat sebagai kelahiran kembali atau kebangkitan
dari pembelajaran dan budaya kuno yang berlangsung selama masa Pencerahan.
Selama masa ini, para �humanis� mengembangkan moda pembelajaran yang ketat
berdasarkan model Yunani dan Romawi. Mereka berusaha membangun gaya Latin yang
baru, terutama yang terkait seni sastra dan seni rupa. Lembaga-lembaga politik
juga didasarkan pada model tersebut. Plato, seperti halnya Nietzsche, percaya pada konsep
�pengulangan kekal� (reinkarnasi). Ia (dan orang-orang Yunani pada umumnya)
memberi hormat kepada para dewa hanya seadanya saja. Bagi mereka, manusia
adalah ukuran bagi segala sesuatu. Ekspresi kontemporer dari humanisme sekuler
menolak kedua unsur Kristen nominal, baik yang terkait tanda-tanda dan
kebenaran Alkitab yang penting. Misalnya seperti fakta bahwa manusia diciptakan
menurut gambar dan rupa dari Pencipta mereka, yaitu Allah yang diungkapkan
dalam Alkitab. Juga mengenai kehidupan dan pelayanan Tuhan Yesus di dunia. Fakta-fakta
empiris yang telah diverifikasi ini tidak bertentangan dengan kebenaran
Alkitab. Tapi, terjadi peralihan yang drastis dari kebenaran yang bersandar
pada otoritas Alkitab menuju humanisme naturalistik � di mana timbul adanya
penolakan terhadap otoritas dan kebenaran Alkitab. Kemudian, gerakan ini
mengarah pada bentuk sekuler dari humanism, yang dinyatakan secara terbuka,
yang terjadi selama masa Pencerahan, yang berlangsung pada abad ke-18 dan
ke-19. Gerakan ini berakar dan bertumbuh di seluruh Eropa, yang berkembang
pesat di Jerman.Terkait budaya, para humanis sekuler mengandalkan metode kritis
ketika menafsirkan Alkitab. Mereka menolak kemungkinan adanya campur tangan
Ilahi dalam sejarah manusia. Mereka menganggap Alkitab hanya sebagai �buku
sejarah yang suci.� Dikenal dengan istilah �kritik-tinggi-Alkitab� (higher
criticism), humanisme sekuler tersebar di sekolah-sekolah teologi dan
mengajarkan pendekatan rasional atau antroposentris untuk studi Alkitab.
Dimulai di Jerman, di akhir abad ke-19 �kritik-tinggi-Alkitab� berusaha
�mengabaikan dokumen yang ada� dan meremehkan pentingnya pesan otoritatif dari
teks Alkitab. Meskipun �kritik-tinggi-Alkitab� menggerogoti iman
sebagian orang, namun orang-orang seperti B. B. Warfield di Princeton Seminary,
William Erdman, dan lain-lain, secara teguh tetap membela Alkitab sebagai
Firman Allah. Misalnya, dalam menanggapi orang-orang skeptis yang
mempertanyakan benar tidaknya Rasul Yohanes sebagai penulis Injil keempat,
Erdman dan para hamba Tuhan yang setia lainnya telah membela hal-hal yang
penting ini dengan argumen yang kritis dan dasar ilmiah yang bisa diterima
kalangan intelektual. Bagaimana seharusnya orang Kristen menanggapi humanisme
sekuler? Untuk para pengikut Sang Jalan (Kis 9:2; 19:19, 23), setiap bentuk sah
dari humanisme harus memandang realisasi penuh dari potensi manusia dengan
menyelaraskan pikiran dan kehendaknya terhadap pikiran dan kehendak Allah.
Allah menginginkan supaya tidak ada manusia yang binasa, melainkan supaya semua
orang bertobat dan mewarisi hidup yang kekal sebagai anak-anak-Nya (Yoh 3:16;
1:12). b) Humanisme Kristen. Humanisme
Kristen menganggap prinsip-prinsip humanis seperti martabat manusia universal,
kebebasan individu, dan pentingnya kebahagiaan sebagai komponen penting dan
utama dari ajaran Yesus. Secara historis, kekuatan utama yang membentuk
perkembangan humanisme Kristen adalah doktrin Kristen bahwa Tuhan, dalam
pribadi Yesus, menjadi manusia untuk menebus umat manusia, dan perintah lebih
lanjut bagi kolektif manusia yang berpartisipasi (gereja) untuk menjalankan
kehidupan umat Kristus. Banyak dari ide-ide ini telah muncul di antara para praktisi
humanis, dan akan berkembang menjadi humanisme Kristen pada akhir abad ke-15,
yang melaluinya cita-cita "kemanusiaan yang sama, alasan universal,
kebebasan, kepribadian, hak asasi manusia, emansipasi dan kemajuan manusia, dan
memang sangat berakar pada nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Humanisme
Kristen dimulai menjelang akhir abad ke-15 dengan karya-karya awal tokoh-tokoh
seperti Jakob Wimpfeling, John Colet, dan Thomas More dan akan mendominasi
sebagian besar pemikiran di paruh pertama abad ke-16 dengan munculnya banyak
orang. Tokoh-tokoh intelektual Renaisans dan humanistik yang
berpengaruh seperti Jacques Lef�vre d'�taples dan terutama Erasmus, yang akan
menjadi sarjana terhebat di Renaisans utara:
1.
Jakob
Wimpfeling(1450-1528).
Meskipun para humanis pertama tidak melakukan banyak hal
untuk mengarahkan karya intelektual mereka ke arah reformasi gereja dan
menghidupkan kembali kehidupan spiritual melalui pendidikan humanis,
tanda-tanda dan praktik perintis pertama dari gagasan ini muncul bersama Jakob
Wimpfeling, seorang humanis dan teolog Renaisans. Wimpfeling sangat kritis
terhadap perlindungan gerejawi dan mengkritik korupsi moral banyak pendeta,
namun, rasa takutnya menghentikannya dari mengubah karyanya dari ucapan menjadi
tindakan karena takut kontroversi. Meskipun dia suka membaca banyak tulisan
klasik dari zaman kuno klasik, dia takut memperkenalkannya pada arus utama
agama Kristen dan berusaha menggunakan karya-karya para Bapa Gereja Latin dan
beberapa penyair Kristen dari Kekaisaran Romawi Akhir untuk menciptakan bentuk
pendidikan baru.
2.
John
Colet (1467-1519) adalah tokoh besar lainnya dalam humanisme Kristen awal, yang
memberikan pengaruh budaya yang jauh lebih besar daripada orang sezamannya
yaitu Jakob Wimpfeling. Colet mendapatkan apresiasi dalam menggunakan metode
humanistik dalam menganalisis teks dan mengembangkan ide-ide rinci dan
prinsip-prinsip humanis, dan menggunakan metode humanistik ini ia mulai
aplikasi alkitabiah pada surat-surat Rasul Paulus.
3.
Erasmus
(1466-1536) adalah sarjana terbesar dari Renaisans utara
dan sarjana humanis Kristen paling berpengaruh dalam sejarah, menjadi sarjana
paling terkenal di Eropa pada zamannya. Salah satu komponen penentu kesuksesan
intelektualnya adalah penguasaan bahasa Yunani. Pada 1505, dia menerjemahkan
Euripides 'Hecuba dan, dan pada 1506, dia menerjemahkan Euripides' Iphigenia
dalam Aulis, keduanya diterbitkan pada 1506.
Nilai-Nilai Kemanusiaan yang Terintegrasi dalam
Sejarah PAK
Pada bagian ini
akan ditinjau hal-hal yang menjadi nilai-nilai kemanusiaan yang dapat dikaitkan
(integrasikan) pada sejarah perkembangan Pendidikan Agama Kristen (PAK). Institute of Satya Sau Education yang
dikutip oleh Chibber dalam tulisan Clarry Sada�
mengemukaan lima macam nilai-nilai kemanusiaan, yaitu sebagai berikut:
1.
Nilai
Kebenaran. Kebenaran adalah sesuatu yang tidak berubah dan bersifat kekal.
Salah satu ajaran pokok PAK adalah mengajarkan kebenaran kepada naradidik agar
naradidik hidup dalam kebenaran. Kebenaran mungkin diungkapkan� atau dinyatakan melalui berbagai jalur,nama
dan bentuk tetapi kebenaran itu selalu satu.�
Unsur-unsur nilai-nilai kebenaran antara lain adalah selalu ingin tahu, tidak
diskriminasi, intuisi, mencari pengetahuan, semangat
menyelidiki atau menemukan suka terhadap kebenaran.
2.
Nilai
Kedamaian. Kedamaian adalah� suka cita
dan ketenangan yang muncul dari dalam diri. Kedamaian membutuhkan kemampuan
seseorang untuk berinstrospeksi dan bersadar diri sehingga orang akan mampu menata
pikiran,perkataan dan kebutuhannya. Pikiran yang jernih membutuhkan
kedisiplinan untuk melalukan instrospeksi diri dan merenungkan pengalamanya. Oleh
karena itu kedamaian
sejati membutuhkan suatu usaha tanpa harus memperhitungkan untung
atau rugi, berhasil atau gagal, kepedihan
atau kebahagiaan. Unsur-unsur kedamaian antara lain ketenangan, konsentrasi, daya
tahan, ketabahan, kesucian, disipilin diri, dan menghormati diri
sendiri dan orang lain.
3.
Nilai
Cinta Kasih. Cinta atau Cinta kasih adalah belas kasih murni yang memotivasi
pelayanan tanpa pamrih demi kabaikan bagi orang lain. Cinta kasih mungkin lebih
baik diungkapkan atau dinyatakan sebagai energi
yang meresap� pada seluruh jiwa manusia.
Oleh karena itu, cinta atau
cinta kasih bukan sekedar perasaan emosi atau nafsu saja, melainkan sesuatu
yang lebih mendalam dan lebih mendasar dari hakekat manusia. Cinta bukan hanya
dimiliki oleh manusia namun cinta juga dimiliki oleh seluruh mahkluk hidup di dunia
ini. Unsur-unsur nilai cinta antara lain adalah toleransi, kepedulian, empati
dan kasih sayang. Cinta kasih dapat diartikan sebagai tindakan memberi dan
memaafkan. Unsur-unsur lain cinta kasih adalah kepedulian, penyerahan, empati, kesabaran, dan
persahabatan.
4.
Nilai
Perilaku yang benar atau Kebajikan. Perilaku yang benar atau kebajikan adalah
sikap yang benar. Perilaku tersebut adalah sifat yang diturunkan dari kemurahan
hati dan cinta kasih seseorang kepada yang lain. Perilaku yang benar dalam
suatu tindakan akan menjadi kebajikan. Perilaku yang benar berasal dari kata
Sansekerta �dharma� yang mencakup sejumlah kode dari etik, sifat
etis dan moral kejujuran dan keadilan. Semuanya bermakna �lakukan yang baik, lihat
yang baik, dan berkelakuan baik�. Perilaku yang benar atau kebajikan sebagai �payung�
perilaku manusia dimaksudkan menjadi tuntunan manusia dalam mencapai keinginannya.
Misalnya orang harus mampu memanfaatkan waktu, energi, uang, makanan secara sadar dan benar. Dengan demikian, perilaku
yang benar akan terbentuk melalui suatu proses pendidikan yang panjang.
Unsur-unsur nilai perilaku yang benar atau kebajikan adalah kebersihan, semangat
juang, tujuan, kewajiban, kejujuran dan pelayanan terhadap orang lain.
5.
Nilai
Tanpa Kekerasan. Tanpa kekerasan adalah puncak dari semua nilai-nilai kemanusiaan
yang telah disebutkan diatas. Wujud dari nilai tanpa kekerasan adalah taat dan
menghormati hukum alam dan hukum dan peraturan. Nilai tanpa kekerasan� merupakan cerminan wujud dari pada
moralitas� dan integritas sehingga
perdamaian dunia dan keharmonisan global akan tercapai apabila etik tanpa
kekerasan dapat diwujudkan dalam kehidupan dunia. Unsur-unsur nilai tanpa
kekerasan adalah kesadaran akan tanggung jawab sebagai warga negara, kasih
sayang, mempertimbangkan orang lain, tidak
berbahaya, suka menolong dan keadilan yang tercipta. Nilai-nilai tersebut juga dapat
disederhanakan menjadi dua kelompok, yaitu: a) nilai
�nilai nurani, dan b) nilai-nilai memberi. Nilai-nilai nurani adalah nilai yang ada di dalam diri
manusia yang kemudian berkembang menjadi perilaku serta cara memperlakukan
orang lain. Contohnya: kejujuran, keberanian,
cinta damai, penguasaan
diri, dan lain sebagainya. Sedangkan nilai-nilai memberi adalah nilai yang
perlu dipraktekkan� atau diberikan yang
kemudian akan diterima sebanyak yang diberikan. Contohnya: setia, dapat
dipercaya, hormat, cinta, kasih sayang, dan lain sebagainya.
Sementara menurut Koentjaraningrat mengatakan bahwa nilai-nilai kemanusiaan� yaitu sesuatu yang menyangkut kelakuan dan
perbuatan manusia yang sesuai dengan norma dan menghormati martabat manusia (Koentjaraningrat, 2011). Nilai-nilai kebenaran sama dengan nilai-nilai
kemanusiaan, yaitu sifat-sifat (hal-hal penting) atau berguna dalam kehidupan (Nurgiyantoro, 2010). Oleh sebab itu dari pengertian seperti yang disebutkan
diatas dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa�
nilai adalah kapasitas manusia�
yang dapat diwujudkan� dalam
bentuk gagasan, konsep, kondisi psokologis atau tindakan yang berharga (nilai
subjek), serta berharganya sebuah gagasan atau konsep, kondisi
psikologis atau tindakan (nilai objek) berdasarkan standar agama, filsafat
(etika dan stetika) serta norma-norma masyarakat (rujukan nilai) yang diyakini
oleh individu sehingga menjadi dasar untuk menimbang, bersikap
dan berperilaku bagi individu dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat.�� �
Makna Nilai-Nilai Kemanusiaan
Dalam Kehidupan Manusia� Saat Ini
Era globalisasi banyak memberikan manfaat� pasitif bagi umat manusia. Dengan kemajuan
teknologi banyak kemudahan-kemudahan yang didapatkan, misalnya dalam bidang
pendidikan, komunikasi, transportasi, ekonomi, pariwisata dan lain sebagainya (Sunarta, 2019).
Tetapi dampak negatif
juga tidak bisa dipungkiri, yaitu adanya degradasi moral yang harus dihadapi sehingga sering�
muncul di televisi ataupun di media sosial
banyak terjadi perilaku kekerasan, kekejaman, penggunaan narkotika, aborsi, pembuangan
bayi, seks bebas dan lain sebagainya. Hal ini merupakan cerminan bahwa nlai-nilai
kemanusiaan saat ini sudah mengalami kemerosotan (degradasi). Padahal
pendidikan di sekolah sekarang ini sudah banyak mengalami kemajuan atau perkembangan jika dibandingkan
dengan zaman dahulu. Di sekolah sudah
diajarkan tentang etika, norma, pendidikan agama, pendidikan budi
pekerti, dan lain sebagainya yang semuanya menuntun peserta didik untuk menjadi manusia yang seutuhnya. Oleh sebab itu ada
beberapa makna nilai-nilai kemanusiaan yang perlu dikembangkan di lingkungan
sekolah ataupun gereja pada masa kini, yaitu:
1.
Bersikap
Religius. Religius adalah sikap dan perilaku�
patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya. Toleran terhadap
pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
Inilah makna yang perlu kita kembangkan.
2.
Jujur.
Mengajarkan kejujuran kepada naradidik dilingkungan sekolah adalah hal yang
sangat mendasar dan utama. Konsisten dengan ucapan dan tindakan sesuai dengan
hati nurani dan dapat dipercaya.
3.
Toleransi.
Toleransi adalah sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan, baik perbedaan
agama,suku,ras,sikap atau pendapat dirinya dengan orang lain.
4.
Disiplin.
Disiplin juga merupakan makna yang sangat perlu untuk dikembangkan pada masa
kini.� Dengan disiplin berarti kita patuh
kepada aturan yang ada.
5.
Kerja
keras. Kerja keras adalah perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam
menghadapi dan mengatasi berbagai hambatan belajar, tugas atau yang lainnya,
dengan sungguh-sungguh dan pantang menyerah.
6.
Cinta
Damai. Adalah sikap perilaku,perkataan atau perbuatan yang membuat orang lain
merasa senang,tentram dan damai.
7.
Tanggung
jawab. Adalah sikap dan perilaku seseorang yang ditunjukan dalam melaksanakan
tugas sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku.
Inilah makna
nilai-nilai kemanusiaan yang dapat dikembangkan bagi para peserta didik termasuk juga kepada pendidik atau guru, agar tercipta suatu suasana yang saling menguntungkan. Selain itu juga dapat diimplikasikan untuk Pendidikan Agama Kristen, yaitu:
�
Alkitab
merupakan fondasi pendidikan Kristen. Semua kebenaran yang ada adalah bersumber
dari Allah. Sumber dari kebenaran Allah adalah Firman Allah yang tercantum
dalam Alkitab. Seluruh kebenaran dunia harus diuji oleh kebenaran Allah.
�
Setiap
orang Kristen harus memerlukan sebuah filsafat yang berlandaskan pada Kristus
bukan pada ajaran turun-temurun, tipu daya yang sia-sia atau prinsi-prinsip dunia
ini.
�
Pentingnya
Pendidikan Agama Kristen menjadi payung bagi siswa dari indoktrinasi humanism
dengan menyingkapkan kesalahan ajaran serta menanamkan nilai-nilai Iman Kristen
yang berpusat pada kehidupan dan ajaran Kristus.
Kesimpulan
Kualitas dari
hasil Pendidikan Agama Kristen dapat diukur dari hasil akhir yang didapatkan,
yakni ada perubahan dan perkembangan peserta didik dalam pengetahuan, sikap, dan
moral serta keimanan spiritualnya kepada Tuhan sesuai nilai-nilai keKristenan.
Dalam mencapai tujuan tersebut di atas, PAK sebagai ilmu pengetahuan seharusnya mampu
mengembangkan konsep-konsep ajaran yang mendukung dan bermanfaat dalam
menguatkan dan menambah kualitas kurikulum dan mata pelajarannya. Ilmu
Humaniora merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari sifat, nilai dan
tujuan-tujuan kehidupan manusia, baik secara individu maupun komunitas atau
masyarakat dan menghasilkan pemikiran-pemikiran filsafat, sosial, mapun budaya yang berkaitan erat dengan tujuan PAK secara
umum yang pada akhirnya membantu manusia untuk mengenali sifat-sifat kemanusiaannya
dan memahami dirinya sebagai ciptaan Tuhan yang memiliki tujuan dalam menjalani
kehidupannya. Humaniora memperlihatkan proses pendidikan yang terus
menerus mengarah pada kesempurnaan, yang semakin manusiawi. Dalam
perspektif sejarah PAK, Humaniora mengalami masa pencerahan dan juga kritik
tetapi terus menggaungkan pentingnya dunia pendidikan khsusunya PAK
mempertimbangkan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan terintegrasi dalam ajarannya.
Memahami Ilmu Humaniora melalui sejarah PAK membantu para pendidik PAK
memiliki� paradigma� mendidik yang mengejawantahkan nilai-nilai
kemanusiaan sebagai bagian dari nilai-nilai�
kekristenan dalam konsep ajaran PAK. Salah
satu agenda penting dalam mengatasi krisis dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia
adalah melalui pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan akhlak,
pendidikan budi pekerti, pendidikan karakter dan PAK
dapat memainkan peranan yang sangat penting untuk mendukung hal tersebut. Untuk
menghasilkan manusia yang bermoral dan berakhlak mulia berdasarkan nilai-nilai
kekristenan dan kemanusiaan,� PAK dapat
menjadi wadah yang penting dalam mendidik generasi muda untuk mengapresiasikan
nilai-nilai kehidupan dan keluhuran jiwa manusia dalam kehidupan sehari-harinya
sebagai ciptaan Tuhan.
Memanusiakan manusia dalam arti yang relevan dengan PAK
adalah untuk memahami perintah Tuhan Yesus terkait Hukum Kasih (Matius
22:37-40; Markus 12:28-34; Lukas 10:25-28). PAK harus terus menerus berkembang
seiring perkembangan zaman; memampukan manusia; peka terhadap konteks, pergumulan
bangsa, dan menjawab kebutuhan orang percaya.
Dalam penulisan penelitian ini, penulis merekomendasikan beberapa hal berikut ini yang dapat
digunakan oleh institusi pendidikan atau para pendidik Agama Kristen dalam PAK
di Abad 21, antara lain:
1). Mempelajari dan menggunakan
cabang-cabang pengetahuan humaniora dalam menyusun kurikulum PAK dapat
memberikan wawasan yang luas bagi peserta didik dalam membantu mereka untuk hidup dalam masyarakat
yang majemuk di mana mereka akan berhadapaan dengan beragam perbedaan
tetapi tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. 2). Aplikasi
Ilmu Humaniora dalam PAK bukan saja dapat membantu mencegah konflik-konflik
yang berdasarkan perbedaan-perbedaan dan tetapi juga dapat membantu menyatukan
kemanusiaan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. 3). PAK
perlu mengangkat penilitian-penilitian baru di era Abad 21 di mana
tata kehidupan manusia secara umum mengalami krisis nilai-nilai kemanusiaan dan
PAK dapat memberikan solusi yang tepat melalui desain kurikulum yang dapat
menjawab tantangan-tantangan tersebut.�������
Boehlke,
Robert Richard. (1997). Sejarah Perkembangan Pikiran Dan Praktek Pendidikan
Agama Kristen: Dari Yohanes Amos Comenius Hingga Berkembangan Pak Di Indonesia
(Vol. 2). Bpk Gunung Mulia. Google Scholar
Bolo,
Andreas Doweng, Soares, Arnaldo J. R., Sigiro, Ely Elprida, Borgias,
Fransiskus, Ganeswara, Ganjar Muhammad, Seva, Kristining, Silitonga, Samson
Ganda J., Setiarmo, Sophan Ajie, Laku, Sylvester Kanisius, & Djunatan,
Stephanus. (2020). Pancasila Dalam Pendidikan Humaniora: Interkulturalisme
Dan Globalisasi-Internasionalisasi. Inteligensia Media (Kelompok Penerbit
Intrans Publishing). Google Scholar
Daliman,
A. (1983). Pendidikan Humaniora Dalam Rangka Pembaharuan Sistem Pendidikan
Nasional. Cakrawala Pendidikan, 3(3). Google Scholar
Darmadi,
H., & Mm, M. M. (2017). Integrasi Agama Dan Ilmu Pengetahuan: Diandra
Kreatif. Diandra Kreatif. Google Scholar
Koentjaraningrat.
(2011). Nilai-Nilai Manusia, Nilai Estetika, Dan Nilai Moral Manusia.
Jakarta, Gramedia Utama.
Kolibu,
Dirk Roy. (2018). Peran Pendidikan Agama Kristen Di Universitas Kristen Indonesia
Dalam Konstelasi Nasional Pembangunan Bangsa Bedasarkan Nilai-Nilai Pancasila. Prosiding
Seminar Nasional & Call For Paper: Revitalisasi Indonesia Melalui Identitas
Kemajemukan Berdasarkan Pancasila, 210�222. Uki Press. Google Scholar
Murtopo,
Ali. (2017). Integrasi Agama Dan Ilmu Pengetahuan. Al-Afkar: Jurnal
Keislaman & Peradaban, 5(2). Google Scholar
Nurgiyantoro.
(2010). Nilai-Nilai Kebenaran Dalam Manusia. Bandung: YKBK.
Sastrapratedja,
Michael. (2001). Pendidikan Sebagai Humanisasi. Penerbitan Universitas
Sanata Dharma. Google Scholar
Setyawan,
Antonius Ary. (2015). Peran Pendidikan Humaniora Dalam Pembinaan Manusiawi
Kristiani Di Seminari Mertoyudan. Media Aplikom, 4(3), 23�32.
Google Scholar
Sunarta,
I. Wayan. (2019). Integrasi Pendidikan Nilai Nilai Kemanuisiaan Ke Dalam
Penbelajaran Kewarganegaraan Di Sekolah Dasar. Adi Widya: Jurnal Pendidikan
Dasar, 2(2), 106�112. Google Scholar
Copyright
holder: Kristanti Winarti Huldayanti (2022) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |