Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 6, Juni 2022

 

KINERJA TERMAL PEMANAS AIR TENAGA SURYA SISTEM AKTIF BERBAHAN PENYIMPAN ENERGI AIR DAN PARAFFIN WAX DENGAN VARIASI HEAT FLUX

 

Muhammad Nadjib, Thoharudin, Fitroh Anugrah Kusuma Yudha

Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]


 

Abstrak

Pemanas air tenaga surya (PATS) konvensional memiliki kekurangan karena memerlukan volume thermal energy storage (TES) yang besar. Aplikasi phase-change material (PCM) pada sistem PATS menarik untuk dikembangkan mengingat densitas energinya tinggi. Kajian eksperimental pengaruh heat flux terhadap unjuk kerja sistem PATS aktif yang berisi PCM di tangki horisontal belum pernah diungkap. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara eksperimental kinerja termal sistem PATS aktif yang melibatkan PCM sebagai media penyimpan energi termal dengan variasi heat flux menggunakan solar simulator. Sistem PATS yang dipakai dalam eksperimen ini memakai tangki dengan volume 60 liter. Tangki PATS diisi dengan 13 buah kapsul silinder berbahan tembaga yang disusun menjadi alat penukar kalor. Paraffin wax dengan berat 331,5 gram dimasukkan ke dalam setiap kapsul. Termokopel sebanyak 23 buah dipasang di sisi air dan paraffin wax. Eksperimen dilakukan selama proses charging dengan waktu 98 menit. Variasi heat flux yang digunakan adalah 800 W/m2, 1000 W/m2 dan 1200 W/m2. Analisis unjuk kerja termal dilakukan berdasarkan data temperatur air dan paraffin wax untuk setiap variasi kemudian dibandingkan hasilnya. Penambahan heat flux dari 800 W/m2 ke 1200 W/m2 mampu meningkatkan kecepatan pemanasan rata-rata HTF, kecepatan pemanasan rata-rata PCM dan akumulasi energi termal tersimpan masing-masing sebesar 10,8%, 9,44% dan 10,76%. Penambahan heat flux di kolektor memberi kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan unjuk kerja sistem PATS aktif berbasis PCM.

 

Kata Kunci:�� Heat flux; kapsul; paraffin wax; pemanas air tenaga surya; phase-change material

 

Abstract

Conventional solar water heaters (SWH) have disadvantages because they require a large volume of thermal energy storage (TES). The application of phase-change materials (PCM) in the SWH system is interesting to develop, considering its high energy density. An experimental study of the effect of heat flux on the performance of an active SWH system containing PCM in a horizontal tank has never been disclosed. This study aims to experimentally examine the thermal performance of an active SWH system involving PCM as a thermal energy storage medium with variations in heat flux using a solar simulator. The experiment used an active SWH system with a tank volume of 60 liters. Thirteen copper cylindrical capsules were filled inside the tank. The arrangement of the capsules forms a heat exchanger. Paraffin wax weighing 331.5 grams is inserted into each capsule. Twenty-three thermocouples were installed on the waterside and paraffin wax. The experiment was carried out during the charging process for 98 minutes. The variation of heat flux used is 800 W/m2, 1000 W/m2, and 1200 W/m2. Thermal performance analysis was carried out based on water temperature data and paraffin wax for each variation and then compared the results. The addition of heat flux from 800 W/m2 to 1200 W/m2 increased the average heating speed of HTF, average heating speed of PCM, and accumulated stored thermal energy by 10.8%, 9.44%, and 10.76%, respectively. The addition of heat flux in the collector contributes significantly to the increase in the performance of PCM-based active SWH systems.

 

Keywords: capsule; heat flux; paraffin wax; phase change material; solar water heater

 

Pendahuluan

Dunia saat ini sedang mengalami perubahan iklim yang harus diwaspadai. Emisi karbon ke lingkungan akibat penggunaan energi fosil menjadi salah satu kontributornya. Pemerintah berusaha meminimalkan dampak perubahan iklim dalam proses pembangunan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional merekomendasikan kebijakan rendah karbon yang diusulkan untuk dilaksanakan pada periode 2020-2045 di sektor energi yaitu antara lain mendorong transisi ke sumber energi terbarukan. Rekomendasi ini dimaksudkan untuk meningkatkan penyediaan energi primer berbasis pada energi baru dan terbarukan agar dapat memenuhi kebutuhan energi nasional.

Energi terbarukan yang tersedia di alam adalah energi matahari, energi biomassa, energi angin, energi air dan energi panas bumi. Di antara bentuk-bentuk energi terbarukan tersebut, energi matahari adalah sumber utama bagi energi terbarukan lainnya. Ketersediaan energi matahari di Indonesia sangat melimpah. Insolasi energi matahari rata-rata di Indonesia adalah sebesar 4,8 kW/m2/hari (Sugiyono, Anindhita, & Wahid, 2019). Oleh karena itu, Indonesia berpotensi mengembangkan energi matahari untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam rangka mengurangi konsumsi energi fosil. Keuntungan penggunaan energi matahari antara lain sifatnya yang selalu terbarukan dan tidak menimbulkan polusi udara sehingga ramah terhadap lingkungan (Shahsavari & Akbari, 2018).

Salah satu alat yang menggunakan energi matahari sebagai sumber energi untuk proses pemanasan air dikenal dengan pemanas air tenaga surya (PATS). PATS telah digunakan masyarakat baik untuk keperluan domestik atau industri. Operasional PATS digolongkan menjadi dua yaitu sistem aktif dan pasif (Jamar, Majid, Azmi, Norhafana, & Razak, 2016). Sirkulasi air pada PATS sistem aktif dibantu dengan pompa sedangkan pada sistem pasif mengandalkan konveksi alamiah. Pemakaian PATS terbukti dapat mengurangi konsumsi energi fosil (Uctug & Azapagic, 2018). PATS yang beredar di masyarakat menggunakan air sebagai material penyimpan energi termal (thermal energy storage, TES). Material ini memiliki kelebihan seperti harganya murah dan nilai konduktivitas termalnya tinggi. Akan tetapi, air memiliki kekurangan yaitu densitas energinya rendah. Pengaruh densitas rendah adalah sistem PATS memerlukan ukuran volume TES yang besar sehingga memiliki karakteristik sistem yang berat (Fazilati & Alemrajabi, 2013). Di sisi lain, ada material penyimpan energi termal yang bekerja dengan perubahan fase selama penyerapan atau pelepasan energi yang disebut phase-change material (PCM). Paraffin wax adalah salah satu tipe PCM yang menjadi pilihan untuk diaplikasikan pada PATS sebagai material penyimpan energi termal. Paraffin wax memiliki keuntungan seperti proses perubahan fasenya reversible (Nomura, Tsubota, Oya, Okinaka, & Akiyama, 2013), kalor laten tinggi dan temperatur perubahan fasenya sesuai untuk sistem pemanasan memakai energi matahari (Agyenim, Hewitt, Eames, & Smyth, 2010); (Bouadila, Fte�ti, Oueslati, Guizani, & Farhat, 2014). Namun demikian, material paraffin wax mempunyai kelemahan yaitu konduktivitas termalnya rendah sehingga proses perpindahan kalornya juga rendah. Pengkapsulan PCM di dalam kapsul dapat meningkatkan perpindahan kalor (Fukahori et al., 2016). Penggunaan kapsul dapat meningkatkan luas permukaan perpindahan kalor sehingga aliran kalor lebih besar.

Para peneliti terdahulu telah melakukan penelitian tentang penggunaan PCM pada PATS sistem aktif. �Pemakaian modul PCM pada tangki air panas untuk pemanas air domestik menghasilkan air panas dengan waktu pemakaian yang lebih lama (Cabeza, Ibanez, Sole, Roca, & Nogues, 2006). Prestasi termal penggunaan kombinasi material penyimpan kalor laten dan penyimpan kalor sensibel lebih baik daripada sistem PATS konvensional (Nallusamy, Sampath, & Velraj, 2007). Pengkapsulan PCM memakai alumunium silindris mampu meningkatkan fraksi matahari sekitar 4�8% dibandingkan dengan PATS tanpa PCM (Ibanez, Cabeza, Sol�, Roca, & Nogu�s, 2006). Pemakaian PCM memberikan peningkatan unjuk kerja termal pada tangki PATS (Mazman et al., 2009). Laju aliran massa dan temperatur air masuk tangki yang berisi PCM dengan kapsul alumunium silindris berpengaruh besar pada saat charging (Vijay Padmaraju, Viginesh, & Nallusamy, 2008). Kapsul silinder tembaga berisi paraffin wax dimasukkan ke dalam tangki PATS dan disimpulkan bahwa temperatur air meningkat lebih cepat pada posisi tangki yang lebih tinggi (Kanimozhi & Bapu, 2012). Efisiensi sistem PATS meningkat secara signifikan karena adanya PCM [17]. Integrasi PCM dan air di dalam tangki mampu mempertahankan temperatur air masuk kolektor yang rendah sehingga mengurangi rugi-rugi di kolektor (Teamah, Lightstone, & Cotton, 2018). Penyerapan kalor di tangki air yang diisi dengan PCM lebih tinggi daripada tangki yang hanya diisi air saja (Nazir et al., 2019). Solar simulator dapat digunakan untuk penelitian secara indoor pada PATS yang berisi PCM untuk menyelidiki perilaku termal di dalam tangka (Nadjib, Suhanan, & Waluyo, 2020). Penyisipan PCM di tangki PATS berdampak pada semakin lama penurunan temperatur air bila dibandingkan dengan PATS tanpa PCM (Chargui & Tashtoush, 2021).

Penelitian yang telah dilakukan secara umum memberi informasi bahwa pengintegrasian air dan PCM sebagai material penyimpan kalor dapat meningkatkan unjuk kerja termal sistem PATS. Penelitian terdahulu belum membahas pengaruh perubahan energi yang diterima kolektor terhadap unjuk kerja termal tangki sistem PATS aktif dengan posisi horizontal dan di dalamnya terdapat susunan kapsul PCM. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji secara eksperimental unjuk kerja termal sistem PATS aktif berbasis PCM dengan variasi heat flux dari solar simulator.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan peralatan PATS sistem aktif dengan skema yang ditunjukkan di Gambar 1. Alat penelitian memiliki komponen utama yaitu solar simulator, kolektor, tangki, alat penukar kalor berupa susunan kapsul berisi PCM, pompa dan instalasi perpipaan. Solar simulator berfungsi sebagai sumber energi untuk kolektor. Jumlah daya lampu halogen adalah 7,2 kW. Kolektor yang dipakai adalah tipe pelat datar dan memiliki luas permukaan 2 m2. Kolektor dengan sudut kemiringan 20� dirangkaikan pada tangki. Tangki TES memiliki volume 60 liter dan dipasang dengan posisi horisontal. Kapsul jenis silinder sebanyak 13 buah dipasang di dalam tangki. Pemasangan kapsul adalah sejajar dengan sumbu tangki. Material kapsul adalah pipa tembaga dengan diameter luar 1 inci dan panjang 100 cm. �Berat paraffin wax yang diisikan di tiap kapsul adalah 331,5 gram. Susunan kapsul ini membentuk sebuah alat penukar kalor. Termokopel yang digunakan adalah tipe K dan berjumlah 25 buah. Pemasangan termokopel adalah dua buah di sisi masuk dan keluar tangki; delapan buah di HTF dalam tangki; dan 15 buah di dalam kapsul PCM. Instalasi PATS ini dipasang pompa untuk mensirkulasikan air. Proses kalibrasi termokopel dilakukan sebelum dipasang di posisi masing-masing.

Sumber energi untuk sistem PATS pada eksperimen ini adalah solar simulator. Energi termal yang diserap oleh kolektor dipakai untuk memanaskan air yang berada di jalur-jalur pipa tembaga di dalam kolektor. Air panas �kemudian dialirkan secara paksa ke tangki TES. Penelitian ini memakai variasi heat flux sebesar 800 W/m2, 1000 W/m2 dan 1200 W/m2. Laju aliran massa HTF dibuat konstan yaitu 2 liter/menit. Penelitian ini dilakukan pada proses charging selama 98 menit untuk setiap variasi. Pengaturan heat flux di solar simulator dilakukan dengan mengatur jarak antara lampu dan kolektor serta mengatur tegangan listrik. Parameter yang direkam adalah temperatur HTF dan temperatur PCM. Hasil data temperatur tersebut dipakai untuk membuat grafik evolusi temperatur rata-rata HTF dan PCM. Selain itu, data diolah untuk mendapatkan unjuk kerja termal di tangki yaitu kalor yang tersimpan sesaat dan energi termal akumulatif. Langkah berikutnya adalah menganalisis perubahan heat flux terhadap unjuk kerja termal.

Bahan yang dipakai dalam penelitian adalah air dan paraffin wax. Air berfungsi sebagai fluida pemindah energi termal (heat transfer fluid, HTF). �Paraffin wax berperan sebagai PCM untuk menyimpan energi termal. Paraffin wax yang digunakan adalah jenis RT52. �

 

������ �������� ���������������������������������������������������������������

Gambar 1

Skema alat penelitian

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Evolusi Temperatur Rata-rata HTF

Gambar 2 menunjukkan evolusi temperatur rata-rata HTF untuk setiap variasi heat flux selama proses charging. Evolusi temperatur rata-rata menggambarkan proses kenaikan temperatur dari awal sampai akhir pemanasan yang dirata-rata dari semua titik termokopel. Secara umum, grafik di Gambar 2 memperlihatkan bahwa proses kenaikan temperatur terjadi secara kontinyu (tidak fluktuatif). Fenomena ini disebabkan oleh energi termal yang diterima kolektor adalah konstan.

Gambar 2 memperlihatkan bahwa setiap variasi heat flux memiliki evolusi temperatur rata-rata yang berbeda.� Gambar 2 belum memberikan informasi dengan jelas pengaruh heat flux terhadap evolusi temperatur rata-rata HTF. Grafik untuk ketiga heat flux tidak terjadi secara berurutan sehingga tidak dapat menjelaskan secara langsung pengaruhnya terhadap temperatur. Untuk itu diperlukan analisis lebih lanjut tentang karakteristik pemanasan HTF yang disajikan di Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1, temperatur awal charging untuk ketiga variasi adalah berbeda. Perbedaan ini mempengaruhi evolusi temperatur rata-rata HTF seperti yang terlihat di Gambar 2. Kecepatan pemanasan rata-rata menggambarkan kenaikan temperatur yang terjadi dalam setiap menit. Kecepatan pemanasan rata-rata tertinggi terjadi pada heat flux 1200 W/m2. Semakin tinggi heat flux maka kecepatan pemanasan rata-rata HTF semakin besar sehingga proses pemanasannya semakin cepat.

 

Gambar 2

�Evolusi temperatur rata-rata HTF

 

Tabel 1

Karakteristik Pemanasan HTF

Heat Flux (W/m�)

Temperatur

Kecepatan Pemanasan (�C/menit)

Awal (�C)

Akhir (�C)

800

28,78

52,74

0,247

1000

26,82

51,45

0,254

1200

25,76

52,31

0,274

 

B.    Evolusi Temperatur Rata-rata PCM

Evolusi temperatur rata-rata untuk PCM dengan variasi heat flux disajikan di Gambar 3. Perilaku proses pemanasan untuk PCM mirip seperti HTF. Kenaikan temperatur PCM terjadi secara kontinyu. Heat flux konstan menyebabkan produksi air panas di kolektor stabil. Proses transfer energi termal di dalam tangki juga relatif stabil sehingga menyebabkan kenaikan temperatur PCM tidak fluktuatif.

Grafik di Gambar 3 menunjukkan bahwa evolusi temperatur rata-rata untuk heat flux 800 W/m2 berada paling atas. Akan tetapi, fenomena ini tidak dapat menyimpulkan bahwa heat flux 800 W/m2 berpengaruh paling kuat terhadap kenaikan temperatur rata-rata PCM. Temperatur awal PCM untuk heat flux 800 W/m2 paling besar sehingga grafik proses pemanasannya berada paling atas.

 

Gambar 3

Evolusi temperatur rata-rata PCM

 

Evaluasi tentang heat flux yang paling berpengaruh dalam proses pemanasan memerlukan informasi parameter lain yaitu kecepatan pemanasan rata-rata. Tabel 2 menyajikan karakteristik proses pemanasan untuk PCM. Heat flux 1200 W/m2 menghasilkan kecepatan pemanasan rata-rata yang tertinggi walaupun di grafik Gambar 3 tidak berada paling atas. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi heat flux maka proses pemanasan PCM semakin cepat.

 

Tabel 2

�Karakteristik pemanasan PCM

Heat Flux (W/m�)

Temperatur

Kecepatan Pemanasan Rata-rata (�C/menit)

Awal (�C)

Akhir (�C)

800

28,76

50,98

0,237

1000

26,60

49,51

0,244

1200

25,58

50,21

0,259

 

C.    Perbandingan Evolusi Temperatur Rata-rata HTF dan PCM

Proses pemanasan HTF dan PCM terjadi di dalam tangki TES. Perbandingan proses pemanasan HTF dan PCM untuk setiap variasi heat flux diberikan di Gambar 4. Gambar 4(a), Gambar 4(b) dan Gambar 4(c) masing-masing menunjukkan perbandingan evolusi temperatur rata-rata untuk heat flux 800 W/m2, 1000 W/m2 dan 1200 W/m2.

Ketiga grafik di Gambar 4 memperlihatkan bahwa evolusi temperatur rata-rata HTF lebih tinggi daripada PCM selama proses charging. HTF berperilaku sebagai sumber kalor bagi PCM. Oleh karena itu temperatur HTF lebih tinggi daripada PCM. Air panas dari kolektor disalurkan ke tangki. Suplai air panas mengakibatkan temperatur HTF di tangki meningkat. Perbedaan temperatur antara HTF dan PCM menyebabkan terjadinya perpindahan kalor sehingga temperatur PCM naik. Tabel 3 menunjukkan perbedaan temperatur HTF dan PCM pada awal dan akhir proses charging untuk ketiga variasi heat flux. Semakin tinggi heat flux, semakin besar perbedaan temperatur HTF dan PCM di akhir charging. Kejadian ini menginformasikan bahwa heat flux berperan signifikan dalam evolusi temperatur baik untuk HTF maupun PCM.

(a)

(b)

(c)

Gambar 4. Perbandingan evolusi temperatur HTF dan PCM: (a) 800 W/m2, (b) 1000 W/m2, (c) 1200 W/m2

 

Tabel 3

Kondisi temperatur awal HTF dan PCM

Heat Flux (W/m�)

Selisih temperatur HTF dan PCM

Awal (�C)

Akhir (�C)

800

0,02

1,76

1000

0,21

1,94

1200

0,18

2,10

 

D.    Kalor Tersimpan Sesaat

Air panas yang dihasilkan kolektor bercampur dengan HTF di dalam tangki. Pencampuran air ini mengakibatkan terjadinya perindahan kalor yang diterima oleh HTF. Kalor tersimpan sesaat adalah jumlah kalor yang dipindah dari air panas ke HTF di tangki. Kalor ini diestimasikan berdasar selisih temperatur air di sisi masuk dan keluar tangki [12]. Gambar 5 menunjukkan kalor tersimpan sesaat untuk ketiga variasi heat flux.

 

Gambar 5

Kalor tersimpan sesaat

 

Grafik kalor tersimpan sesaat untuk semua variasi heat flux naik dengan tajam di awal proses charging. Perbedaan temperatur yang tinggi antara air masuk tangki dan HTF di dalam tangki di awal pemanasan menyebabkan perpindahan kalor yang besar sehingga kenaikan temperatur HTF dan PCM meningkat drastis. Perbedaan temperatur antara air masuk dan HTF di tangki lama kelamaan mengecil. Perpindahan kalor yang terjadi sedikit demi sedikit berkurang. Oleh karena itu, kalor tersimpan sesaat mulai landai sekitar menit ke-10 sampai akhir pemanasan.

Gambar 5 menunjukkan bahwa semakin besar heat flux maka kalor tersimpan sesaat semakin tinggi. Energi termal tinggi yang diterima kolektor menghasilkan air panas keluar dari kolektor semakin tinggi temperaturnya. Saat air panas tersebut masuk ke tangki, perbedaan temperatur dengan HTF di tangki semakin besar sehingga perpindahan kalornya juga semakin besar. Grafik di Gambar 5 juga menunjukkan bahwa evolusi kalor tersimpan sesaat berfluktuasi selama proses charging. Pencampuran antara air panas masuk tangki dan HTF di dalam tangki dipengaruhi oleh aliran air yang tidak seragam di sepanjang penampang tangki. Kejadian ini menyebabkan temperatur air di titik-titik pemasangan termokopel tidak seragam.

E.    Akumulasi Energi Termal Tersimpan

Kalor tersimpan sesaat apabila dijumlahkan secara akumulasi selama proses charging menghasilkan energi termal tersimpan kumulatif seperti disajikan di Gambar 6. Akumulasi energi termal tersimpan untuk variasi heat flux 800 W/m2, 1000 W/m2 dan 1200 W/m2 masing-masing adalah 9,09 MJ, 9,38 MJ dan 10,07 MJ. Persentase kenaikan.

 

Gambar 6

Kumulasi Energi Termal

 

Akumulasi energi termal tersimpan dari heat flux 800 W/m2 ke 1000 W/m2 dan ke 1200 W/m2 masing-masing adalah 3,19% dan 10,76%. Persentase kenaikan akumulasi energi termal tersimpan dari heat flux 1000 W/m2 dan ke 1200 W/m2 adalah 7,34%. Penambahan heat flux dapat meningkatkan perolehan akumulasi energi termal yang tersimpan di dalam tangki TES. Akumulasi energi termal tersimpan adalah unjuk kerja yang penting pada sistem PATS karena dapat memprediksi waktu yang diperlukan untuk memperoleh simpanan energi termal di tangki.

 

Kesimpulan

Pengaruh heat flux terhadap kinerja termal sistem PATS aktif yang mengintegrasikan air dan paraffin wax sebagai material penyimpan energi termal telah dikaji secara eksperimen. Eksperimen secara indoor menggunakan solar simulator berhasil dilaksanakan. Peningkatan heat flux memberi kontribusi yang signifikan terhadap penambahan kinerja sistem PATS berbasis PCM. Kenaikan heat flux dari 800 W/m2 ke 1200 W/m2 mampu meningkatkan kecepatan pemanasan rata-rata HTF, kecepatan pemanasan rata-rata PCM dan akumulasi energi termal tersimpan masing-masing sebesar 10,8%, 9,44% dan 10,76%.

BIBLIOGRAFI

 

Agyenim, Francis, Hewitt, Neil, Eames, Philip, & Smyth, Mervyn. (2010). A review of materials, heat transfer and phase change problem formulation for latent heat thermal energy storage systems (LHTESS). Renewable and Sustainable Energy Reviews, 14(2), 615�628. Google Scholar

 

Bouadila, Salwa, Fte�ti, Mehdi, Oueslati, Mohamed Mehdi, Guizani, Amenallah, & Farhat, Abdelhamid. (2014). Enhancement of latent heat storage in a rectangular cavity: Solar water heater case study. Energy Conversion and Management, 78(December 2018), 904�912. https://doi.org/10.1016/j.enconman.2013.07.094 Google Scholar

 

Cabeza, Luisa F., Ibanez, Manuel, Sole, Cristian, Roca, Joan, & Nogues, Miquel. (2006). Experimentation with a water tank including a PCM module. Solar Energy Materials and Solar Cells, 90(9), 1273�1282. Google Scholar

 

Chargui, Ridha, & Tashtoush, Bourhan. (2021). Thermoeconomic Analysis of Solar Water Heaters Integrating Phase Change Material Modules and Mounted in Football Pitches in Tunisia. Journal of Energy Storage, 33(November 2020), 102129. https://doi.org/10.1016/j.est.2020.102129 Google Scholar

 

Fazilati, Mohammad Ali, & Alemrajabi, Ali Akbar. (2013). Phase change material for enhancing solar water heater, an experimental approach. Energy Conversion and Management, 71, 138�145. https://doi.org/10.1016/j.enconman.2013.03.034 Google Scholar

 

Fukahori, Ryo, Nomura, Takahiro, Zhu, Chunyu, Sheng, Nan, Okinaka, Noriyuki, & Akiyama, Tomohiro. (2016). Macro-encapsulation of metallic phase change material using cylindrical-type ceramic containers for high-temperature thermal energy storage. Applied Energy, 170, 324�328. Google Scholar

 

Ibanez, Manuel, Cabeza, Luisa F., Sol�, Cristian, Roca, Joan, & Nogu�s, Miquel. (2006). Modelization of a water tank including a PCM module. Applied Thermal Engineering, 26(11�12), 1328�1333. Google Scholar

 

Jamar, Amzaa, Majid, Z. A. A., Azmi, W. H., Norhafana, M., & Razak, A. A. (2016). A review of water heating system for solar energy applications. International Communications in Heat and Mass Transfer, 76, 178�187. Google Scholar

 

Kanimozhi, B., & Bapu, B. R. Rames. (2012). Experimental study of thermal energy storage in solar system using PCM. Advanced Materials Research, 433�440, 1027�1032. https://doi.org/10.4028/www.scientific.net/AMR.433-440.1027 Google Scholar

 

Mazman, Muhsin, Cabeza, Luisa F., Mehling, Harald, Nogues, Miquel, Evliya, Hunay, & Paksoy, Halime �. (2009). Utilization of phase change materials in solar domestic hot water systems. Renewable Energy, 34(6), 1639�1643. Google Scholar

 

Nadjib, Muhammad, Suhanan, & Waluyo, Joko. (2020). Experimental investigation of thermal behavior in an active type solar water heater based on phase change material using solar simulator. AIP Conference Proceedings, 2296(1), 20040. AIP Publishing LLC. Google Scholar

 

Nallusamy, N., Sampath, S., & Velraj, R. (2007). Experimental investigation on a combined sensible and latent heat storage system integrated with constant/varying (solar) heat sources. Renewable Energy, 32(7), 1206�1227. Google Scholar

 

Nazir, Hassan, Batool, Mariah, Bolivar Osorio, Francisco J., Isaza-Ruiz, Marllory, Xu, Xinhai, Vignarooban, K., Phelan, Patrick, Inamuddin, & Kannan, Arunachala M. (2019). Recent developments in phase change materials for energy storage applications: A review. International Journal of Heat and Mass Transfer, 129, 491�523. https://doi.org/10.1016/j.ijheatmasstransfer.2018.09.126 Google Scholar

 

Nomura, Takahiro, Tsubota, Masakatsu, Oya, Teppei, Okinaka, Noriyuki, & Akiyama, Tomohiro. (2013). Heat storage in direct-contact heat exchanger with phase change material. Applied Thermal Engineering, 50(1), 26�34. https://doi.org/10.1016/j.applthermaleng.2012.04.062 Google Scholar

 

Shahsavari, Amir, & Akbari, Morteza. (2018). Potential of solar energy in developing countries for reducing energy-related emissions. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 90(June 2017), 275�291. https://doi.org/10.1016/j.rser.2018.03.065 Google Scholar

 

Sugiyono, A., Anindhita, I. F., & Wahid, L. (2019). Adiarso,�Outlook Energi Indonesia 2019: Dampak Peningkatan Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan Terhadap Perekonomian Nasional.� In Pusat Pengkajian Industri Proses dan Energi �. Google Scholar

 

Teamah, H. M., Lightstone, M. F., & Cotton, J. S. (2018). Potential of cascaded phase change materials in enhancing the performance of solar domestic hot water systems. Solar Energy, 159(October 2017), 519�530. https://doi.org/10.1016/j.solener.2017.11.034 Google Scholar

 

Uctug, Fehmi Gorkem, & Azapagic, Adisa. (2018). Life cycle environmental impacts of domestic solar water heaters in Turkey: The effect of different climatic regions. Science of the Total Environment, 622, 1202�1216. Google Scholar

 

Vijay Padmaraju, S. A., Viginesh, M., & Nallusamy, N. (2008). Comparitive study of sensible and latent heat storage systems integrated with solar water heating unit. Renewable Energy and Power Quality Journal, 1(6), 55�60. https://doi.org/10.24084/repqj06.218 Google Scholar

 

 

 

 

Copyright holder:

Muhammad Nadjib, Thoharudin, Fitroh Anugrah Kusuma Yudha (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: