Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.
7, No. 6,
Juni
2022
KINERJA
TERMAL PEMANAS AIR TENAGA SURYA SISTEM
AKTIF BERBAHAN PENYIMPAN ENERGI AIR DAN PARAFFIN WAX DENGAN VARIASI HEAT FLUX
Muhammad Nadjib, Thoharudin, Fitroh Anugrah Kusuma Yudha
Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas
Muhammadiyah, Indonesia
Email: [email protected],
[email protected], [email protected]
Abstrak
Pemanas air tenaga surya (PATS) konvensional memiliki kekurangan karena memerlukan volume thermal
energy storage (TES) yang besar. Aplikasi
phase-change material (PCM) pada sistem PATS menarik untuk dikembangkan
mengingat densitas energinya tinggi. Kajian eksperimental pengaruh heat flux terhadap unjuk kerja sistem PATS aktif yang berisi PCM di tangki horisontal belum pernah diungkap.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara eksperimental kinerja termal sistem PATS aktif yang melibatkan PCM sebagai media penyimpan energi termal dengan
variasi heat flux menggunakan
solar simulator. Sistem PATS yang dipakai
dalam eksperimen ini memakai tangki
dengan volume 60 liter. Tangki PATS diisi dengan 13 buah kapsul silinder berbahan tembaga yang disusun menjadi alat penukar kalor.
Paraffin wax dengan berat 331,5 gram dimasukkan ke dalam setiap
kapsul. Termokopel sebanyak 23 buah dipasang di sisi air dan paraffin
wax. Eksperimen dilakukan selama proses charging dengan waktu 98 menit. Variasi heat flux yang digunakan adalah 800 W/m2, 1000 W/m2 dan 1200 W/m2. Analisis unjuk kerja termal dilakukan
berdasarkan data temperatur
air dan paraffin wax untuk setiap
variasi kemudian dibandingkan hasilnya. Penambahan heat flux dari 800
W/m2 ke 1200 W/m2 mampu meningkatkan kecepatan pemanasan rata-rata HTF, kecepatan
pemanasan rata-rata PCM dan akumulasi
energi termal tersimpan masing-masing sebesar
10,8%, 9,44% dan 10,76%. Penambahan heat flux di kolektor memberi kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan unjuk kerja sistem
PATS aktif berbasis PCM.
Kata Kunci:�� Heat flux; kapsul;
paraffin wax; pemanas air tenaga
surya; phase-change material
Abstract
Conventional solar water heaters (SWH) have disadvantages because they
require a large volume of thermal energy storage (TES). The application of
phase-change materials (PCM) in the SWH system is interesting to develop,
considering its high energy density. An experimental study of the effect of
heat flux on the performance of an active SWH system containing PCM in a
horizontal tank has never been disclosed. This study aims to experimentally examine
the thermal performance of an active SWH system involving PCM as a thermal
energy storage medium with variations in heat flux using a solar simulator. The
experiment used an active SWH system with a tank volume of 60 liters. Thirteen
copper cylindrical capsules were filled inside the tank. The arrangement of the
capsules forms a heat exchanger. Paraffin wax weighing 331.5 grams is inserted
into each capsule. Twenty-three thermocouples were installed on the waterside
and paraffin wax. The experiment was carried out during the charging process
for 98 minutes. The variation of heat flux used is 800 W/m2, 1000 W/m2, and
1200 W/m2. Thermal performance analysis was carried out based on water
temperature data and paraffin wax for each variation and then compared the
results. The addition of heat flux from 800 W/m2 to 1200 W/m2 increased the
average heating speed of HTF, average heating speed of PCM, and accumulated
stored thermal energy by 10.8%, 9.44%, and 10.76%, respectively. The addition
of heat flux in the collector contributes significantly to the increase in the
performance of PCM-based active SWH systems.
Keywords: capsule; heat flux; paraffin wax; phase
change material; solar water heater
Pendahuluan
Dunia saat ini
sedang mengalami perubahan iklim yang harus diwaspadai. Emisi karbon ke
lingkungan akibat penggunaan energi fosil menjadi salah satu kontributornya. Pemerintah berusaha meminimalkan dampak perubahan iklim dalam proses pembangunan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional merekomendasikan
kebijakan rendah karbon yang diusulkan untuk dilaksanakan pada periode 2020-2045 di sektor energi yaitu antara
lain mendorong transisi ke sumber energi
terbarukan. Rekomendasi ini dimaksudkan untuk meningkatkan penyediaan energi primer berbasis pada energi baru dan terbarukan agar dapat memenuhi kebutuhan energi nasional.
Energi terbarukan yang tersedia di alam adalah energi matahari,
energi biomassa, energi angin, energi
air dan energi panas bumi. Di antara bentuk-bentuk energi terbarukan tersebut, energi matahari adalah sumber utama
bagi energi terbarukan lainnya. Ketersediaan energi matahari di Indonesia sangat melimpah.
Insolasi energi matahari rata-rata di Indonesia adalah
sebesar 4,8 kW/m2/hari
(Sugiyono, Anindhita, & Wahid, 2019).
Oleh karena itu, Indonesia berpotensi mengembangkan energi matahari untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam rangka mengurangi
konsumsi energi fosil. Keuntungan penggunaan energi matahari antara lain sifatnya yang selalu terbarukan dan tidak menimbulkan polusi udara sehingga ramah terhadap lingkungan (Shahsavari & Akbari, 2018).
Salah satu alat
yang menggunakan energi matahari sebagai sumber energi untuk
proses pemanasan air dikenal
dengan pemanas air tenaga surya (PATS). PATS telah digunakan masyarakat baik untuk keperluan domestik atau industri.
Operasional PATS digolongkan
menjadi dua yaitu sistem aktif
dan pasif (Jamar, Majid, Azmi, Norhafana, & Razak, 2016).
Sirkulasi air pada PATS sistem
aktif dibantu dengan pompa sedangkan
pada sistem pasif mengandalkan konveksi alamiah. Pemakaian PATS terbukti dapat mengurangi konsumsi energi fosil (Uctug & Azapagic, 2018).
PATS yang beredar di masyarakat
menggunakan air sebagai
material penyimpan energi termal (thermal energy storage, TES). Material ini memiliki kelebihan
seperti harganya murah dan nilai konduktivitas termalnya tinggi. Akan tetapi, air memiliki kekurangan yaitu densitas energinya rendah. Pengaruh densitas rendah adalah sistem
PATS memerlukan ukuran
volume TES yang besar sehingga
memiliki karakteristik sistem yang berat (Fazilati & Alemrajabi, 2013).
Di sisi lain, ada material penyimpan energi termal yang bekerja dengan perubahan fase selama penyerapan
atau pelepasan energi yang disebut phase-change
material (PCM). Paraffin wax adalah salah satu tipe PCM yang menjadi pilihan untuk diaplikasikan pada PATS sebagai material penyimpan energi termal. Paraffin wax
memiliki keuntungan seperti proses perubahan fasenya reversible (Nomura, Tsubota, Oya, Okinaka, & Akiyama, 2013),
kalor laten tinggi dan temperatur perubahan fasenya sesuai untuk sistem pemanasan
memakai energi matahari (Agyenim, Hewitt, Eames, & Smyth, 2010);
(Bouadila, Fte�ti, Oueslati, Guizani, & Farhat, 2014).
Namun demikian, material paraffin
wax mempunyai kelemahan
yaitu konduktivitas termalnya rendah sehingga proses perpindahan kalornya juga rendah. Pengkapsulan PCM di dalam kapsul dapat meningkatkan
perpindahan kalor (Fukahori et al., 2016).
Penggunaan kapsul dapat meningkatkan luas permukaan perpindahan kalor sehingga aliran kalor lebih besar.
Para peneliti terdahulu telah melakukan penelitian tentang penggunaan PCM pada PATS sistem aktif. �Pemakaian modul PCM pada tangki air panas untuk pemanas
air domestik menghasilkan
air panas dengan waktu pemakaian yang lebih lama (Cabeza, Ibanez, Sole, Roca, & Nogues, 2006).
Prestasi termal penggunaan kombinasi material penyimpan kalor laten dan penyimpan kalor sensibel lebih baik daripada sistem
PATS konvensional (Nallusamy, Sampath, & Velraj, 2007).
Pengkapsulan PCM memakai alumunium silindris mampu meningkatkan fraksi matahari sekitar 4�8% dibandingkan dengan PATS tanpa PCM (Ibanez, Cabeza, Sol�, Roca, & Nogu�s, 2006).
Pemakaian PCM memberikan peningkatan unjuk kerja termal pada tangki PATS (Mazman et al., 2009).
Laju aliran massa dan temperatur air masuk tangki yang berisi PCM dengan kapsul alumunium silindris berpengaruh besar pada saat charging (Vijay Padmaraju, Viginesh, & Nallusamy, 2008).
Kapsul silinder tembaga berisi paraffin wax
dimasukkan ke dalam tangki PATS dan disimpulkan bahwa temperatur air meningkat lebih cepat pada posisi tangki yang lebih tinggi (Kanimozhi & Bapu, 2012).
Efisiensi sistem PATS meningkat secara signifikan karena adanya PCM [17]. Integrasi PCM dan air di dalam tangki mampu
mempertahankan temperatur
air masuk kolektor yang rendah sehingga mengurangi rugi-rugi di kolektor (Teamah, Lightstone, & Cotton, 2018).
Penyerapan kalor di tangki air yang diisi dengan PCM lebih tinggi daripada tangki yang hanya diisi air saja (Nazir et al., 2019).
Solar simulator dapat digunakan
untuk penelitian secara indoor pada PATS yang berisi
PCM untuk menyelidiki perilaku termal di dalam tangka (Nadjib, Suhanan, & Waluyo, 2020).
Penyisipan PCM di tangki
PATS berdampak pada semakin
lama penurunan temperatur
air bila dibandingkan dengan PATS tanpa PCM (Chargui & Tashtoush, 2021).
Penelitian yang telah dilakukan
secara umum memberi informasi bahwa pengintegrasian air dan PCM
sebagai material penyimpan kalor dapat meningkatkan
unjuk kerja termal sistem PATS. Penelitian terdahulu belum membahas pengaruh perubahan energi yang diterima kolektor terhadap unjuk kerja termal
tangki sistem PATS aktif dengan posisi
horizontal dan di dalamnya terdapat
susunan kapsul PCM. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengkaji secara eksperimental unjuk kerja termal sistem
PATS aktif berbasis PCM dengan variasi heat flux dari solar simulator.
Metode
Penelitian
Penelitian ini menggunakan
peralatan PATS sistem aktif dengan skema
yang ditunjukkan di Gambar 1. Alat penelitian memiliki komponen utama yaitu solar simulator, kolektor,
tangki, alat penukar kalor berupa
susunan kapsul berisi PCM, pompa dan instalasi perpipaan. Solar
simulator berfungsi sebagai
sumber energi untuk kolektor. Jumlah daya lampu
halogen adalah 7,2 kW. Kolektor
yang dipakai adalah tipe pelat datar
dan memiliki luas permukaan 2 m2. Kolektor
dengan sudut kemiringan 20� dirangkaikan pada tangki. Tangki TES memiliki volume 60 liter dan dipasang dengan posisi horisontal. Kapsul jenis silinder
sebanyak 13 buah dipasang di dalam tangki. Pemasangan kapsul adalah sejajar
dengan sumbu tangki. Material kapsul adalah pipa tembaga dengan diameter luar 1 inci dan panjang 100 cm. �Berat paraffin
wax yang diisikan di tiap
kapsul adalah 331,5 gram. Susunan kapsul ini membentuk sebuah
alat penukar kalor. Termokopel yang digunakan adalah tipe K dan berjumlah 25 buah. Pemasangan termokopel adalah dua buah di sisi
masuk dan keluar tangki; delapan buah di HTF dalam tangki; dan 15 buah di dalam kapsul PCM. Instalasi PATS ini dipasang pompa untuk mensirkulasikan air. Proses
kalibrasi termokopel dilakukan sebelum dipasang di posisi masing-masing.
Sumber energi untuk
sistem PATS pada eksperimen
ini adalah solar
simulator. Energi termal
yang diserap oleh kolektor dipakai untuk memanaskan
air yang berada di jalur-jalur
pipa tembaga di dalam kolektor. Air panas �kemudian
dialirkan secara paksa ke tangki
TES. Penelitian ini memakai variasi heat flux sebesar 800 W/m2, 1000 W/m2 dan 1200
W/m2. Laju aliran
massa HTF dibuat konstan yaitu 2 liter/menit. Penelitian ini dilakukan pada proses charging
selama 98 menit untuk setiap variasi.
Pengaturan heat flux di solar simulator
dilakukan dengan mengatur jarak antara lampu dan kolektor serta mengatur tegangan listrik. Parameter yang direkam adalah temperatur HTF dan temperatur PCM. Hasil data temperatur
tersebut dipakai untuk membuat grafik
evolusi temperatur
rata-rata HTF dan PCM. Selain itu,
data diolah untuk mendapatkan unjuk kerja termal di tangki yaitu kalor
yang tersimpan sesaat dan energi termal akumulatif.
Langkah berikutnya adalah menganalisis perubahan heat
flux terhadap unjuk kerja termal.
Bahan yang dipakai dalam penelitian adalah air dan paraffin wax. Air berfungsi
sebagai fluida pemindah energi termal (heat transfer fluid, HTF). �Paraffin wax berperan
sebagai PCM untuk menyimpan energi termal. Paraffin wax yang digunakan
adalah jenis RT52. �
������ �������� ���������������������������������������������������������������
Gambar
1
Skema
alat penelitian
Hasil dan Pembahasan
A. Evolusi
Temperatur Rata-rata HTF
Gambar 2 menunjukkan
evolusi temperatur
rata-rata HTF untuk setiap variasi heat flux selama
proses charging. Evolusi temperatur
rata-rata menggambarkan proses kenaikan
temperatur dari awal sampai akhir
pemanasan yang dirata-rata dari semua titik
termokopel. Secara umum, grafik di Gambar 2 memperlihatkan bahwa proses kenaikan temperatur terjadi secara kontinyu (tidak fluktuatif). Fenomena ini disebabkan oleh energi termal yang diterima kolektor adalah konstan.
Gambar 2 memperlihatkan
bahwa setiap variasi heat flux memiliki
evolusi temperatur
rata-rata yang berbeda.� Gambar 2 belum memberikan informasi dengan jelas pengaruh
heat flux terhadap evolusi
temperatur rata-rata HTF. Grafik
untuk ketiga heat flux
tidak terjadi secara berurutan sehingga tidak dapat menjelaskan secara langsung pengaruhnya terhadap temperatur. Untuk itu diperlukan analisis lebih lanjut tentang karakteristik pemanasan HTF yang disajikan di Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1, temperatur awal charging untuk ketiga variasi
adalah berbeda. Perbedaan ini mempengaruhi
evolusi temperatur
rata-rata HTF seperti yang terlihat
di Gambar 2. Kecepatan pemanasan
rata-rata menggambarkan kenaikan
temperatur yang terjadi dalam setiap menit.
Kecepatan pemanasan
rata-rata tertinggi terjadi
pada heat flux 1200 W/m2. Semakin tinggi heat flux maka kecepatan pemanasan rata-rata HTF
semakin besar sehingga proses pemanasannya semakin cepat.
�Evolusi temperatur rata-rata HTF
Tabel 1
Karakteristik Pemanasan HTF
Heat
Flux (W/m�) |
Temperatur |
Kecepatan Pemanasan (�C/menit) |
|
Awal
(�C) |
Akhir
(�C) |
||
800 |
28,78 |
52,74 |
0,247 |
1000 |
26,82 |
51,45 |
0,254 |
1200 |
25,76 |
52,31 |
0,274 |
B.
Evolusi Temperatur Rata-rata PCM
Evolusi temperatur rata-rata untuk PCM dengan variasi heat flux disajikan
di Gambar 3. Perilaku proses pemanasan
untuk PCM mirip seperti HTF. Kenaikan temperatur PCM terjadi secara kontinyu. Heat flux
konstan menyebabkan produksi air panas di kolektor stabil. Proses transfer energi termal di dalam tangki juga relatif stabil sehingga menyebabkan kenaikan temperatur PCM tidak fluktuatif.
Grafik di Gambar 3 menunjukkan bahwa evolusi temperatur
rata-rata untuk heat flux 800 W/m2 berada paling atas. Akan tetapi, fenomena ini tidak dapat
menyimpulkan bahwa heat
flux 800 W/m2 berpengaruh paling kuat terhadap kenaikan
temperatur rata-rata PCM. Temperatur
awal PCM untuk heat flux
800 W/m2 paling besar sehingga
grafik proses pemanasannya berada paling atas.
Gambar
3
Evolusi temperatur rata-rata PCM
Evaluasi tentang heat flux yang
paling berpengaruh dalam
proses pemanasan memerlukan
informasi parameter lain yaitu
kecepatan pemanasan
rata-rata. Tabel 2 menyajikan
karakteristik proses pemanasan
untuk PCM. Heat flux 1200 W/m2 menghasilkan kecepatan pemanasan rata-rata yang tertinggi
walaupun di grafik Gambar 3
tidak berada paling atas. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin tinggi heat flux maka
proses pemanasan PCM semakin
cepat.
Tabel 2
�Karakteristik pemanasan PCM
Heat
Flux (W/m�) |
Temperatur |
Kecepatan Pemanasan Rata-rata (�C/menit) |
|
Awal
(�C) |
Akhir
(�C) |
||
800 |
28,76 |
50,98 |
0,237 |
1000 |
26,60 |
49,51 |
0,244 |
1200 |
25,58 |
50,21 |
0,259 |
C.
Perbandingan Evolusi Temperatur
Rata-rata HTF dan PCM
Proses pemanasan
HTF dan PCM terjadi di dalam
tangki TES. Perbandingan
proses pemanasan HTF dan PCM untuk
setiap variasi heat flux
diberikan di Gambar 4. Gambar 4(a), Gambar 4(b) dan
Gambar 4(c) masing-masing menunjukkan perbandingan evolusi temperatur rata-rata untuk heat
flux 800 W/m2, 1000 W/m2 dan 1200 W/m2.
Ketiga grafik di Gambar 4 memperlihatkan bahwa evolusi temperatur rata-rata HTF lebih tinggi daripada
PCM selama proses charging. HTF berperilaku sebagai sumber kalor bagi
PCM. Oleh karena itu temperatur HTF lebih tinggi daripada PCM. Air panas dari kolektor
disalurkan ke tangki. Suplai air panas mengakibatkan temperatur HTF di tangki meningkat. Perbedaan temperatur antara HTF dan PCM menyebabkan terjadinya perpindahan kalor sehingga temperatur PCM naik. Tabel 3 menunjukkan perbedaan temperatur HTF dan PCM
pada awal dan akhir proses charging
untuk ketiga variasi heat flux. Semakin
tinggi heat flux, semakin
besar perbedaan temperatur HTF dan PCM di akhir charging.
Kejadian ini menginformasikan bahwa heat flux berperan signifikan dalam evolusi temperatur
baik untuk HTF maupun PCM.
(a)
(b)
(c)
Gambar
4. Perbandingan evolusi temperatur HTF dan PCM: (a) 800 W/m2, (b) 1000
W/m2, (c) 1200 W/m2
Tabel 3
Kondisi temperatur awal HTF dan PCM
Heat
Flux (W/m�) |
Selisih temperatur
HTF dan PCM |
|
Awal
(�C) |
Akhir
(�C) |
|
800 |
0,02 |
1,76 |
1000 |
0,21 |
1,94 |
1200 |
0,18 |
2,10 |
D.
Kalor Tersimpan Sesaat
Air panas
yang dihasilkan kolektor bercampur dengan HTF di dalam tangki. Pencampuran
air ini mengakibatkan terjadinya perindahan kalor yang diterima oleh HTF. Kalor tersimpan sesaat adalah jumlah
kalor yang dipindah dari air panas ke HTF di tangki. Kalor ini diestimasikan
berdasar selisih temperatur air di sisi masuk dan keluar tangki [12]. Gambar 5 menunjukkan
kalor tersimpan sesaat untuk ketiga
variasi heat flux.
Gambar
5
Kalor tersimpan sesaat
Grafik kalor tersimpan
sesaat untuk semua variasi heat flux
naik dengan tajam di awal proses charging. Perbedaan
temperatur yang tinggi antara air masuk tangki dan HTF di dalam tangki di awal pemanasan menyebabkan perpindahan kalor yang besar sehingga kenaikan temperatur HTF dan PCM meningkat drastis. Perbedaan temperatur antara air masuk dan HTF di tangki lama kelamaan mengecil. Perpindahan kalor yang terjadi sedikit demi sedikit berkurang. Oleh karena itu, kalor tersimpan
sesaat mulai landai sekitar menit ke-10 sampai akhir pemanasan.
Gambar 5 menunjukkan bahwa semakin besar
heat flux maka kalor
tersimpan sesaat semakin tinggi. Energi termal tinggi
yang diterima kolektor menghasilkan air panas keluar dari kolektor
semakin tinggi temperaturnya. Saat air panas tersebut masuk ke tangki,
perbedaan temperatur dengan HTF di tangki semakin besar sehingga
perpindahan kalornya juga semakin besar. Grafik di Gambar 5 juga menunjukkan
bahwa evolusi kalor tersimpan sesaat berfluktuasi selama proses charging. Pencampuran
antara air panas masuk tangki dan HTF di dalam tangki dipengaruhi
oleh aliran air yang tidak seragam di sepanjang penampang tangki. Kejadian ini menyebabkan
temperatur air di titik-titik
pemasangan termokopel tidak seragam.
E.
Akumulasi Energi Termal
Tersimpan
Kalor tersimpan sesaat
apabila dijumlahkan secara akumulasi selama proses charging menghasilkan
energi termal tersimpan kumulatif seperti disajikan di Gambar 6. Akumulasi energi termal tersimpan untuk variasi heat flux
800 W/m2, 1000 W/m2 dan 1200 W/m2
masing-masing adalah 9,09 MJ, 9,38 MJ dan 10,07 MJ. Persentase kenaikan.
Gambar
6
Kumulasi Energi Termal
Akumulasi energi termal
tersimpan dari heat flux 800 W/m2 ke 1000 W/m2 dan ke
1200 W/m2 masing-masing adalah
3,19% dan 10,76%. Persentase kenaikan
akumulasi energi termal tersimpan dari heat flux 1000 W/m2 dan ke 1200 W/m2 adalah
7,34%. Penambahan heat flux dapat meningkatkan perolehan akumulasi energi termal yang tersimpan di dalam tangki TES. Akumulasi energi termal tersimpan
adalah unjuk kerja yang penting pada sistem PATS karena dapat memprediksi waktu yang diperlukan untuk memperoleh simpanan energi termal di tangki.
Kesimpulan
Pengaruh heat flux terhadap kinerja termal sistem PATS aktif yang mengintegrasikan air dan paraffin wax sebagai material penyimpan energi termal telah
dikaji secara eksperimen. Eksperimen secara indoor menggunakan solar
simulator berhasil dilaksanakan.
Peningkatan heat flux memberi
kontribusi yang signifikan terhadap penambahan kinerja sistem PATS berbasis PCM. Kenaikan heat
flux dari 800 W/m2 ke
1200 W/m2 mampu meningkatkan
kecepatan pemanasan
rata-rata HTF, kecepatan pemanasan
rata-rata PCM dan akumulasi energi
termal tersimpan
masing-masing sebesar 10,8%, 9,44% dan 10,76%.
Agyenim, Francis, Hewitt,
Neil, Eames, Philip, & Smyth, Mervyn. (2010). A review of materials, heat
transfer and phase change problem formulation for latent heat thermal energy
storage systems (LHTESS). Renewable and Sustainable Energy Reviews, 14(2),
615�628. Google Scholar
Bouadila, Salwa, Fte�ti,
Mehdi, Oueslati, Mohamed Mehdi, Guizani, Amenallah, & Farhat, Abdelhamid.
(2014). Enhancement of latent heat storage in a rectangular cavity: Solar water
heater case study. Energy Conversion and Management, 78(December
2018), 904�912. https://doi.org/10.1016/j.enconman.2013.07.094 Google Scholar
Cabeza, Luisa F., Ibanez,
Manuel, Sole, Cristian, Roca, Joan, & Nogues, Miquel. (2006).
Experimentation with a water tank including a PCM module. Solar Energy
Materials and Solar Cells, 90(9), 1273�1282.
Google Scholar
Chargui, Ridha, &
Tashtoush, Bourhan. (2021). Thermoeconomic Analysis of Solar Water Heaters Integrating
Phase Change Material Modules and Mounted in Football Pitches in Tunisia. Journal
of Energy Storage, 33(November 2020), 102129. https://doi.org/10.1016/j.est.2020.102129 Google Scholar
Fazilati, Mohammad Ali,
& Alemrajabi, Ali Akbar. (2013). Phase change material for enhancing solar
water heater, an experimental approach. Energy Conversion and Management,
71, 138�145. https://doi.org/10.1016/j.enconman.2013.03.034 Google Scholar
Fukahori, Ryo, Nomura,
Takahiro, Zhu, Chunyu, Sheng, Nan, Okinaka, Noriyuki, & Akiyama, Tomohiro.
(2016). Macro-encapsulation of metallic phase change material using
cylindrical-type ceramic containers for high-temperature thermal energy
storage. Applied Energy, 170, 324�328. Google Scholar
Ibanez, Manuel, Cabeza,
Luisa F., Sol�, Cristian, Roca, Joan, & Nogu�s, Miquel. (2006).
Modelization of a water tank including a PCM module. Applied Thermal
Engineering, 26(11�12), 1328�1333. Google Scholar
Jamar, Amzaa, Majid, Z. A.
A., Azmi, W. H., Norhafana, M., & Razak, A. A. (2016). A review of water
heating system for solar energy applications. International Communications
in Heat and Mass Transfer, 76, 178�187. Google Scholar
Kanimozhi, B., & Bapu,
B. R. Rames. (2012). Experimental study of thermal energy storage in solar
system using PCM. Advanced Materials Research, 433�440,
1027�1032. https://doi.org/10.4028/www.scientific.net/AMR.433-440.1027 Google Scholar
Mazman, Muhsin, Cabeza,
Luisa F., Mehling, Harald, Nogues, Miquel, Evliya, Hunay, & Paksoy, Halime �.
(2009). Utilization of phase change materials in solar domestic hot water
systems. Renewable Energy, 34(6), 1639�1643. Google Scholar
Nadjib, Muhammad, Suhanan,
& Waluyo, Joko. (2020). Experimental investigation of thermal behavior in
an active type solar water heater based on phase change material using solar
simulator. AIP Conference Proceedings, 2296(1), 20040. AIP
Publishing LLC. Google Scholar
Nallusamy, N., Sampath,
S., & Velraj, R. (2007). Experimental investigation on a combined sensible
and latent heat storage system integrated with constant/varying (solar) heat
sources. Renewable Energy, 32(7), 1206�1227. Google Scholar
Nazir, Hassan, Batool,
Mariah, Bolivar Osorio, Francisco J., Isaza-Ruiz, Marllory, Xu, Xinhai,
Vignarooban, K., Phelan, Patrick, Inamuddin, & Kannan, Arunachala M.
(2019). Recent developments in phase change materials for energy storage
applications: A review. International Journal of Heat and Mass Transfer,
129, 491�523. https://doi.org/10.1016/j.ijheatmasstransfer.2018.09.126 Google Scholar
Nomura, Takahiro, Tsubota,
Masakatsu, Oya, Teppei, Okinaka, Noriyuki, & Akiyama, Tomohiro. (2013).
Heat storage in direct-contact heat exchanger with phase change material. Applied
Thermal Engineering, 50(1), 26�34.
https://doi.org/10.1016/j.applthermaleng.2012.04.062 Google Scholar
Shahsavari, Amir, &
Akbari, Morteza. (2018). Potential of solar energy in developing countries for
reducing energy-related emissions. Renewable and Sustainable Energy Reviews,
90(June 2017), 275�291. https://doi.org/10.1016/j.rser.2018.03.065 Google Scholar
Sugiyono, A., Anindhita,
I. F., & Wahid, L. (2019). Adiarso,�Outlook Energi Indonesia 2019: Dampak
Peningkatan Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan Terhadap Perekonomian Nasional.�
In Pusat Pengkajian Industri Proses dan Energi �. Google Scholar
Teamah, H. M., Lightstone,
M. F., & Cotton, J. S. (2018). Potential of cascaded phase change materials
in enhancing the performance of solar domestic hot water systems. Solar
Energy, 159(October 2017), 519�530.
https://doi.org/10.1016/j.solener.2017.11.034 Google Scholar
Uctug, Fehmi Gorkem, &
Azapagic, Adisa. (2018). Life cycle environmental impacts of domestic solar
water heaters in Turkey: The effect of different climatic regions. Science
of the Total Environment, 622, 1202�1216. Google Scholar
Vijay Padmaraju, S. A.,
Viginesh, M., & Nallusamy, N. (2008). Comparitive study of sensible and
latent heat storage systems integrated with solar water heating unit. Renewable
Energy and Power Quality Journal, 1(6), 55�60.
https://doi.org/10.24084/repqj06.218 Google Scholar
Copyright
holder: Muhammad
Nadjib, Thoharudin, Fitroh Anugrah Kusuma Yudha (2022) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |