Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 6, Juni 2022
UPAYA UNICEF MELALUI
PROGRAM END VIOLENCE UNTUK MENGATASI KEKERASAN ANAK DK SEKOLAH TAHUN 2018-2020
Qorry Oktavia Permata Putri
Universitas Pembangunan Nasional �Veteran� Jawa Timur, Indonesia
�Email: [email protected]
Abstrak
UNICEF merupakan organisasi internasional yang bekerja untuk membantu kesejahteraan anak-anak. Indonesia merupakan negara dengan tingkat kekerasan anak yang tinggi. Kekerasan pada anak telah menjadi prioritas multisectoral untuk UNICEF. UNICEF terlibat aktif dalam pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap anak di dalam dan sekitar sekolah. Kampanye End Violence muncul untuk membantu kesejahteraan anak-anak dalam menghadapi kekerasan. Kekerasan di sekolah juga mempunyai dampak jangka panjang terhadap pekembangan anak-anak. Kampanye End Violence merupakan kampanye yang mengupayakan untuk mengakhiri kekerasan terhadap anak-anak. Melalui Kampanye End Violence, maka kekerasan dalam sekolah akan berkurang dengan adanya program-program dibawah naungan UNICEF dan pemerintah.
Kata kunci: UNICEF, End Violence, kekerasan pada anak
Abstract
UNICEF is an international organization that works to help
the welfare of children. Indonesia is a country with a high level of child
violence. Violence against children has become a multisectoral priority for
UNICEF. UNICEF is actively involved in the prevention and response to violence
against children in and around schools. The End Violence campaign came into
existence to assist the well-being of children in the face of violence.
Violence in schools also has a long-term impact on children's development. The
End Violence campaign is a campaign that seeks to end violence against
children. Through the End Violence Campaign, violence in schools will be
reduced through programs under the auspices of UNICEF and the government.
Keywords: UNICEF, End Violence, violence against children
Pendahuluan
Pendidikan merupakan hak setiap anak
yang penting untuk pertumbuhan anak. Melalui pendidikan, anak dapat mengembangkan
berpikir kritis, mengasah bakat, mengembangkan kemampuan untuk bersosialiasi, dan mengembangkan kepercayaan diri. Namun untuk
beberapa anak, sekolah dapat menjadi
lingkungan yang jauh dari kata menyenangkan dimana kekerasan akan terjadi di sana. Kekerasan verbal,
playground fighting, hukuman fisik,
bullying, dan beberapa kekerasan
lainnya dengan perlakuan yang memalukan.
Kekerasan pada anak di sekolah
bukanlah hal baru yang terjadi di masyarakat kita. Kekerasan yang tertuju pada anak bisa terjadi
di dalam dunia pendidikan akibat dari tidak
adanya pemahaman untuk menanggulangi tindakan tersebut dari para pengajar maupun dari masyarakat.� Kekerasan pada anak terjadi di mana pun dan hampir universal. Penelitian menunjukkan bahwa tiga dari empat
anak di dunia mengalami kekerasan setiap tahunnya dan kekerasan berdampak pada 1,7 miliar anak-anak dalam setahun. Kekerasan-kekerasan yang
dialami anak tersebut termasuk perilaku bullying dan hukuman fisik ketika berada
di sekolah.
Pasal 54 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak menegaskan bahwa lingkungan sekolah merupakana lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan baik oleh siswa, pengelolah, dan pihak sekolah. Kasus kekerasan pada anak merupakan kasus yang tidak mengenal batasan negara. Lebih dari 50% anak mengalami
perilaku kekerasan baik secara fisik
maupun emosional. Perilaku-perilaku tersebut berupa pendisiplinan, razia,dan menghukum
yang identic dengan kekerasan.
Kekerasan secara fisik dapat berakibat
fatal bagi anak-anak seperti depresi, berperilaku agresif, dan gangguan untuk menyelesaikan masalah atau problem solving.
Bagi jutaan siswa
di dunia, sekolah bukanlah tempat yang aman untuk belajar dan berkembang, namun sebaliknya sekolah menjadi tempat yang berbahaya untuk mereka belajar. Sebagian dari mereka menerima
perlakuan yang tidak menyenangkan. Bullying bukanlah satu-satunya bentuk kekerasan yang dihadapi oleh siswa. Terdapat hukuman fisik yang harus dihadapi oleh siswa-siwa yang masih bersekolah. Di beberapa negara, terdapat sekitar 720 juta anak yang duduk di bangku sekolah yang tidak mendapatkan perlingdungan hukum dari kekeras fisik
di sekolah. Bagaimana pun, bentuk kekerasan di sekolah dapat berakibat
pada tubuh, pikiran, dan hidup yang berbahaya. Hal tersebut menyebabkan cedera fisik, depresi,
kecemasan, dan bunuh diri. Efek jangka
pendek yang ditimbulkan dapat berakibat pada prestasi murid sedangkan efek jangka panjang
panjang adalah masa depan murid.
Isu kekerasan pada anak dapat menjadi
konsentrasi untuk ditangani dunia agar dapat menciptakan generasi yang lebih baik di masa depan. Hal tersebut sangat disayangkan karena sekolah merupakan tempat dimana edukasi
berada. Edukasi merupakan kunci untuk mencipatakan masyarakat yang damai namun berjuta-juta anak di dunia merasa tidak aman berada
di sekolah. Dalam kasus bullying, anak laki-laki dan anak perempuan sama-sama memiliki resiko yang tinggi. Anak perempuan akan cenderung untuk menjadi korban dalam bentuk psikologi
sedangkan anak laki-laki akan cenderung menjadi korban dalam bentuk kekerasan
fisik atau ancaman. Begitu pun dengan hukuman fisik yang masih berlaku di sekolah. Terdapat 67 negara-negara di dunia yang masih
memberlakukan hukuman fisik kepada murid di sekolah. Guru masih menggunakan hukuman fisik untuk mendisiplinkan
murid. Di Lebanon, murid sering mendapatkan
pukulan, tamparan, dan dipermalukan sedangkan di Afrika
Selatan, beberapa murid yang memiliki
keterbatasan seperti cacat sensorik dan intelektual, dan autism kerap menerima kekerasan fisik dan ditelantarkan oleh gurunya baik di sekolah umum maupun
di sekolah luar biasa.
Beberapa negara seperti Vietnam,
Indonesia, Kambodia, dan Nepal, murid-murid mencirikan sekolah sebagai tempat yang tidak aman karena
sekolah merupakan tempat yang berkonstribusi terhadap kekerasan fisik, bahasa yang memalukan, dan pelecehan dari siswa lain.
Analisa data dari Vietnam, Peru, Ethiopia, dan India mengindikasikan penyebab
murid-murid tidak suka sekolah karena kekerasan di sekolah baik secara fisik
maupun verbal yang dilakukan
oleh guru dan murid-murid lainnya. Tradisi kekerasan di sekolah dapat diminimalisir
jika kualitas tenaga pengajar atau guru diperbaiki. Jika tradisi kekerasan masih terus berlangsung,
maka kampanye sekolah sebagai tempat yang aman tidak akan efektif
lagi.
Menurut International Center for Research on Woman (ICRW) menemukan bahwa tujuh dari sepuluh
anak di Asia mengalami kekerasan saat bersekolah di Asia. Indonesia sebanyak
84 persen kasus kekerasan kepada anak. Terdapat tiga alasan mengapa
kekerasan di sekolah harus dihentikan yaitu pertama, untuk memastikan lingkungan belajar yang aman. Kedua, menghindari
kekerasan berulang. Ketiga, korban cenderung untuk memiliki pendidikan yang rendah dan tingkat upah yang kecil.
Angka kekerasan anak di Indonesia terbilang tinggi. Sejumlah kasus kekerasan terhadap anak dalam
dunia pendidikan semakin mempersuram wajah pendidikan. Jumlah praktek kekerasan yang masih merajalela di sejumlah lembaga pendidikan membuat sekolah bukan menjadi
tempat yang aman bagi anak-anak yang sedang tumbuh berkembang.
Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), kekerasan
termasuk dalam kejahatan yang tergolong dalam penganiayaan, perampokan, kesusilaan, dan kejahatan terhadap orang lain
yang dapat menyebabkan luka atau kematian.
Berbagai bentuk kekerasan dapat menjadi motif sebagian perilaku budaya masyarakat Indonesia yang mampu mereduksi tata nilai kepribadian bangsa.
Survey nasional yang dilakukan oleh Kementrian PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak) pada tahun 2018 menemukan
bahwa 62 persen anak perempuan dan anak laki-laki mengalami satu atau lebih dari
satu bentuk kekerasan sepanjang hidupnya. Anak-anak Indonesia
juga mengalami kekerasan di
lingkungan yang seharusnya aman dan berada tepat di tangan orang yang dapat mereka percaya.
Data terbaru juga menyebutkan
bahwa anak-anak di
Indonesia terpapar efek psikologis atau pun hukuman fisik saat
berada di rumah. Pada tahun 2018, survey menemukan bahwa 41 persen anak yang berusia 15 tahun pernah mengalami
perundungan minimal sekali dalam satu bulan.
Kekerasan tersebut melibatkan fisik dan psikologis.� Isu kekerasan yang dilakukan oleh guru juga termasuk
isu yang signifikan. Terdapat 20 persen murid laki-laki dan 75 persen murid perempuan pernah melaporkan bahwa mereka pernah ditampar
atau dipukul oleh guru� mereka
dalam 12 bulan terakhir. Sebanyak 84 persen anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Kasus ini lebih tinggi
daripada negara tetangga yakni Pakistan (43 persen),
Vietnam (79 persen), Kamboja
(73 persen), dan Nepal (79 persen).
Pihak sekolah dan guru masih memberlakukan hukuman fisik bagi
siswa yang nakal. Bagaimana pun, hukuman fisik di sekolah masih sah atau
berlaku di Indonesia. Dari banyaknya
kasus kekerasan di sekolah, masih banyak kepala sekolah
dan kepala dinas pendidikan di sejumlah daerah yang tidak mengetahui Permendikbud Nomor 82 tahun 2015 mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan yang didalamnya
sudah tertera menangani kasus kekerasan dengan baik. Anak-anak di Indonesia merupakan subjek kekerasan baik di rumah maupun di sekolah. Guru sering menggunakan hukuman berupa fisik dan emosional untuk mendisiplinkan siswa mereka. Mereka tidak memiliki pengetahuan mengenai disiplin positive.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini,
penulis menggunakan metode penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif� memaparkan
suatu perisitiwa atau situasi. Tujuan
dari penelitian adalah untuk menjawab
dan menjelaskan permasalahan
yang akan diteliti secara rinci� dengan
mempelajari suatu kejadian secara maksimal. Penelitian ini mengacu pada pertanyaan �bagaimana� dan berusaha untuk mengetahui bagaimana suatu peristiwa yang terjadi. Maka berdasarkan
penjelasan tersebut, penulis memilih menggunaka metode kualitatif untuk mengkaji bagaimana upaya UNICEF melalui program End
Violence untuk mengatasi kekerasan anak di sekolah Indonesia. Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah metode penelitian berbasis dokumen. Dokumen merupakan bahan yang menyediakan informasi tertentu yang keberadaannya secara independen diperoleh dari tindakan peneliti.
Menurut Christopher Lamont, dokumen
yang dimaksud dalam metode ini yaitu
dokumen primer dan dokumen sekunder. Dalam melakukan penelitian, sebagian besar mengharuskan kita untuk dapat mengakses
dokumen primer. Dokumen
primer merupakan sumber asli yang ditulis oleh individu yang langsung mengalami peristiwa tersebut. Pada dokumen sekunder merupakan dokumen yang mengacu pada dokumen primer. Menurut Kenneth
D. Bailey, dokumen sekunder
merupakan dokumen yang diperoleh dari orang-orang yang tidak hadir di peristiwa tersebut atau di tempat kejadian tersebut, namun mereka menerima
informasi tersebut dengan membaca dokumen primer atau melakukan wawancara dengan pihak yang bersangkutan.
Hasil dan Pembahasan
Pencegahan Kekerasan di Sekolah
UNICEF bekerja sama dengan berbagai
pihak untuk mendukung berbagai upaya pencegahan kekerasan pada anak-anak di
Indonesia. Upaya ini terdiri dari adanya
bukti-bukti yang dapat memantau terkait peraturan dan kebijakan terkait anak, perkembangan
kapasitas terkait dengan kesejahteraan anak, dan memberikan dukungan terkait dengan reformasi kebijakan dan berbagai program-program yang berkaitan
dengan kesejahteran anak-anak di seluruh Indonesia.
Gambar 1
Pendekatan UNICEF Indonesia
Sumber :
PBB mendefiniskan kekerasan terhadap anak dalam artikel
19 Konvensi Hak Anak adalah segala bentuk
kekerasan mental atau fisik, cedera dan pelecehan, penelentaran atau perlakuan lalai, penganiayaan atau eksploitasi, termasuk pelecehan seksual. Hak anak
untuk terbebas dari segala macam
bentuk kekerasan telah ditegaskan oleh Komite PBB General Comment no. 13.� Konvensi Hak Anak menetapkan penghormatan pada hak-hak anak sebagai landasan
prinsip dan standar perilaku internasional terhadap anak. Konvensi Hak Anak mengakui bahwa anak yang berada di bawah usia 18 tahun
harus diizinkan untuk tumbuh berkembang,
belajar, dan bermain serta dilindungi dari bahaya. Negara wajib untuk menghormati
hak � hak anak dan melindungi anak dari bentuk
kekerasan, diskriminasi,
dan eksploitasi. Dalam SDG
16.2 mencantumkan target bahwa:
�Mengakhiri pelecehan,
eksploitasi, perdagangan manusia dan semua bentuk kekerasan dan penganiayaan terhadap anak-anak�.
SDG berupaya untuk
menghapus segala bentuk kekerasan. Upaya yang dilakukan yakni dengan bekerja
sama dengan pemerintah atau komunitas terkait untuk menemukan solusi jangka panjang
yang dapat menghadapi rasa tidak aman dan konflik akibat dari masalah ini.
Upaya untuk menghentikan kekerasan pada anak tidak dapat
ditunda. Untuk melindungi anak dari berbagai macam
bentuk kekerasan, maka diperlukan sinergi dari seluruh
pemangku kepentingan untuk menyediakan pendidikan yang positif serta aman dan nyaman bagi anak.
Gambar 2
Pilar Perlindungan Anak
Sumber:
Korban kekerasan pada
masa kecil memiliki dampak yang akan berpengaruh seumur hidup, yakni berdampak
pada pendidikan, kesehatan,
dan kesejahteraan. Untuk mengatasi kekerasan pada anak tersebut, UNICEF berupaya dengan memiliki naungan program-program kampanye kekerasan anak yakni End Violence, diantaranya Roots : Untuk mengatasi perundungan pada anak-anak,
program Roots hadir dengan inisiatif bermaksud untuk meningkatkan kualitas hubungan antar teman dan mengurangi insiden terjadinya intimidasi dan kekerasan di antara teman sebaya. Program Roots hadir dan
dikembangkan di Jawa Tengah
dan Sulawesi Selatan, di daerah pedesan
dan perkotaan provinsi-provinsi
tersebut. Pada tahun 2018, terdapat lebih dari 10.000 siswa yang dijangkau oleh program Roots. Pada tahun
2019, terdapat 4.421 siswa
yang telah dijangkau oleh
program ini.
Safe to Learn : Safe to Laern merupakan inisiatif global yang muncul untuk mengakhiri kekerasan anak di sekolah sehingga anak dapat berkembang,
belajar, dan meraih mimpi mereka. Safe to Learn juga membuka peluang untuk mengakhiri kekerasan, meningkatkan hasil pembelajaran, meningkatkan kesadaran dan mengubah sikap terhadap kekerasan anak. Safe to Learn menyarankan untuk memberikan ruang kepada keluarga
dan masyarakat di sekolah untuk mengakhiri kekerasan pada anak. Focus pada
strategi ini yaitu pada sekotor pendidikan.
Anak � anak di Indonesia merupakan subjek kekerasan baik di rumah, sekolah, komunitas, dan teman sebaya hingga orang dewasa. Guru sering kali menggunakan hukuman dalam bentuk kekerasan
fisik dan kekerasan emosional untuk mendisiplinkan anak. Hukuman merujuk pada beberapa cara, diantaranya memukul, muncubit, dan menampar. Hukuman fisik merupakan
hukuman yang dilakukan kepada anak-anak oleh orang tua, pengasuh, guru, dan yang lainnya atas nama
�disiplin�. Hukuman fisik ini telah
dialami oleh anak-anak di banyak negara. Hukuman fisik tidak hanya
melanggar hak-hak dasar atas martabat
dan integritas tubuh, namun juga berdampak pada keterlibatan anak � anak di sekolah dan kapasitas belajar.
Proses pendidikan merupakan komitmen jangka panjang untuk siswa. Mengubah
perilaku siswa harus menjadi bagian
dari proses, bukan untuk dihukum. Tenaga pendidik atau guru juga harus memberikan contoh yang baik untuk siswanya. UNICEF medukung pengembangan dan implementasi program disiplin
positive oleh Kementrian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlidungan Anak (KPPA) berkolaborasi dengan NGO Yayasan
Nusantara Sejati. Program ini
mengintregasikan pencegahan
kekerasan. Pelatihan untuk guru dapat mengatasi kekerasan yang mempengaruhi anak dan dapat membangun lingkungan yang aman dan mendukung anak untuk berkembang.
Program pelatihan kepada guru ini mengintegrasikan untuk pencegahan kekerasan. Tujuan dari program pelatihan ini adalah
untuk memperkuat perilaku positif, melatih guru, kepala sekolah, dan komite sekolah dalam memdidik
anak tanpa menggunakan kekerasan fisik dan kekerasan verbal. Pelatihan disiplin positif dilaksanakan secara berjenjang, yakni melalui pelatihan
pelatih pengawas pendidikan kabupaten, kemudian melatih kelompok Kerja Guru Sekolah Dasar, dan Guru Mata Palajaran.
Selain itu juga Kelompok Kerja untuk Sekolah Menengah
dan memberikan mereka saran
lanjutan dan pendampingan.
Inisiatif disiplin positive didasarkan pada hasil postif tahun 2016 di Provinsi Papua dan Papua Barat. Hasil evaluasi
yang didukung oleh UNICEF menunjukkan
bahwa terdapat penurunan penggunaan hukuman fisik dan emosional yang dilakukan oleh
guru. Masing-masing mengalami penurunan
sebanyak 20,57 persen untuk Provinsi Papua dan 13,47 persen untuk Provinsi
Papua Barat. Pada tahun 2019, Kementrian
Perlindungan Perempuan dan Anak mengadaptasi
model disiplin positive dan mengimplementasikan
di lebih dari 30 kota dan 15 provinsi. Selain itu juga memberikan pelatihan kepada 3000 guru dan staf. Penerapan disiplin positf yang sudah diterapkan sangatlah tepat untuk direaplikasi
oleh lembaga pendidikan lainnya.
Penerapan disiplin positif
merupakan hal penting untuk diterapkan
di sekolah. Disiplin positif merupakan pendekatan alternatif hukuman fisik. Melalui disiplin psotif, anak dapat
memastikan bahwa hukuman yang diterima bersifat logis sehingga anak tidak
akan mengulangi perilaku yang tidak diinginkan. Pendekatan dengan disiplin postif menanamkan bahwa penyelesaian masalah tidak dengan
menggunakan kekerasan.
Kesimpulan
Kampanye End Violence merupakan kampanye global yang ditujukan
pada dunia. Kampanye ini terutama ditujukan untuk melindungi anak-anak dan remaja, selain itu juga mendorong untuk mencegah kekerasan. Isu kekerasan pada anak dapat menjadi
konsentrasi untuk ditangani dunia agar dapat menciptakan generasi yang lebih baik di masa depan. Hal tersebut sangat disayangkan karena sekolah merupakan tempat dimana edukasi
berada. Sekolah bukan lagi menjadi
tempat yang aman untuk anak-anak, sedangkan anak-anak membutuhkan sekolah untuk mengeksplor bakat dan minat mereka. Edukasi merupakan kunci untuk mencipatakan masyarakat yang damai namun berjuta-juta anak di dunia merasa tidak aman berada
di sekolah. Angka kekerasan
anak di Indonesia terbilang
tinggi. Sejumlah kasus kekerasan terhadap anak dalam
dunia pendidikan semakin mempersuram wajah pendidikan. Dampak negatif kekerasan di sekolah tidak hanya
pada anak-anak yang terkena
dampak langsungnya. Namun juga berdampak pada kehidupan orang-orang yang menyaksikannya
dan menciptakan suasana kecemasan dan ketidakamanan yang tidak sesuai dengan
pembelajaran. Kekerasan atau ancaman kekerasan
bahkan bisa sedemikian rupa sehingga keluarga merasa terdesak untuk menjauhkan anak-anak mereka dari sekolah, dan mendorong penelantaran sekolah sebagai sarana untuk mencegah
kekerasan dan kerugian lebih lanjut. Akibatnya,
kesempatan pendidikan, dengan segala manfaatnya
bagi individu dan masyarakat, bisa sangat terhambat.
�� Kampanye
End Violence hadir untuk menyelamatkan anak-anak dari kekerasan khususnya kekerasan di sekolah yang mereka hadapi. Melalui kampanye End Violence, anak-anak terselamtakn karena berbagai upaya yang dilakukan UNICEF melalui kampanye End Violence. Safe to Learn menghadirkan
inisiatif yang didedikasikan
untuk mengakhiri kekerasan anak dalam sekolah sehingga
anak-anak bebas untuk belajar, berkembang, dan mengejar impian mereka. Program Roots yang
hadir untuk mengupayakan agar perundungan
pada anak semakin berkurang dengan mengadakan pemilihan agen perubahan sebagai salah satu upaya Program Roots. Selain itu pelatihan pada guru untuk menerapkan disiplin postif terbukti berguna untuk memajukan wajah pendidikan Indonesia tanpa menggunakan kekerasan.
BIBLIOGRAFI
Abidin, Y. Z. (2015).
Metode Penelitian Komunikasi (Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi). Bandung: Pustaka Setia.
Aliya, H. (2020). Berperan Penting untuk Pelanggan dan Perusahaan, Pelajari Apa Itu
Newsletter.https://glints.com/id/lowongan/apa-itu-newsletter-adalah/#.YMx-j2gzbIW
Ardianto, E., Komala, L., & Karlinah, S. (2019). Komunikasi
Massa: Suatu Pengantar.
Bandung: Simbiosa Rekatama
Media.
BLUECORE. (2016). How
Millennials Actually Want Brands to Engage with Them.
https://bluecoreweb.wpengine.com/resources/millennials-engage-brands-report-2016/
Cangara, H. (2016). Pengantar Ilmu
Komunikasi. Depok: RajaGrafindo
Persada.
Catch Me Up! (2020). Tentang Kami. https://catchmeup.id/tentang-kami/
Ghozali, I. (2021). Aplikasi Analisis
Multivariate (Dengan Program IBM SPSS 26). Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Inayah, H. (2021).
Perempuan di Startup Digital: Breaking the Glass Ceiling.
https://www.cocreate.id/articles/haifa-breaking-the-glass-ceiling/
Maverick�s Analytics
Team. (2020). Where Gen Y and Z Get Their News From: Tips to Stay Relevant to
the Digital Natives. https://twitter.com/mavtweets/status/1338794184354893826
McQuail, D. (2010). McQuail�s Mass Communication
Theory. London. Sage Publications.
Nurudin. (2019). Pengantar Komunikasi
Massa. Depok: RajaGrafindo Persada.
Rakhmat, J. (2013). Psikologi Komunikasi.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Rakhmat, J., & Ibrahim, I. S. (2019). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Siregar, S. (2013). Metode Penelitian
Kuantitatif. Jakarta: Kencana.
Sugiyono. (2021). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono, & Susanto, A. (2017). Cara Mudah
Belajar SPSS & LISREL (Teori
dan Aplikasi untuk Analisis Data Penelitian).
Bandung: Alfabeta.
Waryanto, B., & Millafati, Y. A.
(2006). Transformasi Data Skala Ordinal ke Interval Dengan Menggunakan Makro Minitab. Jurnal
Informatika Pertanian, 15.
https://www.litbang.pertanian.go.id/warta-ip/pdf-file/4.budiwaryantoipvol-15.pdf.
Copyright holder: Qorry Oktavia Permata
Putri (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |