Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 6, Juni 2022

 

UPAYA UNICEF MELALUI PROGRAM END VIOLENCE UNTUK MENGATASI KEKERASAN ANAK DK SEKOLAH TAHUN 2018-2020

 

Qorry Oktavia Permata Putri

Universitas Pembangunan Nasional �Veteran� Jawa Timur, Indonesia

�Email: [email protected]

 

Abstrak

UNICEF merupakan organisasi internasional yang bekerja untuk membantu kesejahteraan anak-anak. Indonesia merupakan negara dengan tingkat kekerasan anak yang tinggi. Kekerasan pada anak telah menjadi prioritas multisectoral untuk UNICEF. UNICEF terlibat aktif dalam pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap anak di dalam dan sekitar sekolah. Kampanye End Violence muncul untuk membantu kesejahteraan anak-anak dalam menghadapi kekerasan. Kekerasan di sekolah juga mempunyai dampak jangka panjang terhadap pekembangan anak-anak. Kampanye End Violence merupakan kampanye yang mengupayakan untuk mengakhiri kekerasan terhadap anak-anak. Melalui Kampanye End Violence, maka kekerasan dalam sekolah akan berkurang dengan adanya program-program dibawah naungan UNICEF dan pemerintah.

 

Kata kunci: UNICEF, End Violence, kekerasan pada anak

 

Abstract

UNICEF is an international organization that works to help the welfare of children. Indonesia is a country with a high level of child violence. Violence against children has become a multisectoral priority for UNICEF. UNICEF is actively involved in the prevention and response to violence against children in and around schools. The End Violence campaign came into existence to assist the well-being of children in the face of violence. Violence in schools also has a long-term impact on children's development. The End Violence campaign is a campaign that seeks to end violence against children. Through the End Violence Campaign, violence in schools will be reduced through programs under the auspices of UNICEF and the government.

 

Keywords: UNICEF, End Violence, violence against children

 

Pendahuluan

Pendidikan merupakan hak setiap anak yang penting untuk pertumbuhan anak. Melalui pendidikan, anak dapat mengembangkan berpikir kritis, mengasah bakat, mengembangkan kemampuan untuk bersosialiasi, dan mengembangkan kepercayaan diri. Namun untuk beberapa anak, sekolah dapat menjadi lingkungan yang jauh dari kata menyenangkan dimana kekerasan akan terjadi di sana. Kekerasan verbal, playground fighting, hukuman fisik, bullying, dan beberapa kekerasan lainnya dengan perlakuan yang memalukan.

Kekerasan pada anak di sekolah bukanlah hal baru yang terjadi di masyarakat kita. Kekerasan yang tertuju pada anak bisa terjadi di dalam dunia pendidikan akibat dari tidak adanya pemahaman untuk menanggulangi tindakan tersebut dari para pengajar maupun dari masyarakat.� Kekerasan pada anak terjadi di mana pun dan hampir universal. Penelitian menunjukkan bahwa tiga dari empat anak di dunia mengalami kekerasan setiap tahunnya dan kekerasan berdampak pada 1,7 miliar anak-anak dalam setahun. Kekerasan-kekerasan yang dialami anak tersebut termasuk perilaku bullying dan hukuman fisik ketika berada di sekolah.

Pasal 54 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak menegaskan bahwa lingkungan sekolah merupakana lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan baik oleh siswa, pengelolah, dan pihak sekolah. Kasus kekerasan pada anak merupakan kasus yang tidak mengenal batasan negara. Lebih dari 50% anak mengalami perilaku kekerasan baik secara fisik maupun emosional. Perilaku-perilaku tersebut berupa pendisiplinan, razia,dan menghukum yang identic dengan kekerasan. Kekerasan secara fisik dapat berakibat fatal bagi anak-anak seperti depresi, berperilaku agresif, dan gangguan untuk menyelesaikan masalah atau problem solving.

Bagi jutaan siswa di dunia, sekolah bukanlah tempat yang aman untuk belajar dan berkembang, namun sebaliknya sekolah menjadi tempat yang berbahaya untuk mereka belajar. Sebagian dari mereka menerima perlakuan yang tidak menyenangkan. Bullying bukanlah satu-satunya bentuk kekerasan yang dihadapi oleh siswa. Terdapat hukuman fisik yang harus dihadapi oleh siswa-siwa yang masih bersekolah. Di beberapa negara, terdapat sekitar 720 juta anak yang duduk di bangku sekolah yang tidak mendapatkan perlingdungan hukum dari kekeras fisik di sekolah. Bagaimana pun, bentuk kekerasan di sekolah dapat berakibat pada tubuh, pikiran, dan hidup yang berbahaya. Hal tersebut menyebabkan cedera fisik, depresi, kecemasan, dan bunuh diri. Efek jangka pendek yang ditimbulkan dapat berakibat pada prestasi murid sedangkan efek jangka panjang panjang adalah masa depan murid.

Isu kekerasan pada anak dapat menjadi konsentrasi untuk ditangani dunia agar dapat menciptakan generasi yang lebih baik di masa depan. Hal tersebut sangat disayangkan karena sekolah merupakan tempat dimana edukasi berada. Edukasi merupakan kunci untuk mencipatakan masyarakat yang damai namun berjuta-juta anak di dunia merasa tidak aman berada di sekolah. Dalam kasus bullying, anak laki-laki dan anak perempuan sama-sama memiliki resiko yang tinggi. Anak perempuan akan cenderung untuk menjadi korban dalam bentuk psikologi sedangkan anak laki-laki akan cenderung menjadi korban dalam bentuk kekerasan fisik atau ancaman. Begitu pun dengan hukuman fisik yang masih berlaku di sekolah. Terdapat 67 negara-negara di dunia yang masih memberlakukan hukuman fisik kepada murid di sekolah. Guru masih menggunakan hukuman fisik untuk mendisiplinkan murid. Di Lebanon, murid sering mendapatkan pukulan, tamparan, dan dipermalukan sedangkan di Afrika Selatan, beberapa murid yang memiliki keterbatasan seperti cacat sensorik dan intelektual, dan autism kerap menerima kekerasan fisik dan ditelantarkan oleh gurunya baik di sekolah umum maupun di sekolah luar biasa.

Beberapa negara seperti Vietnam, Indonesia, Kambodia, dan Nepal, murid-murid mencirikan sekolah sebagai tempat yang tidak aman karena sekolah merupakan tempat yang berkonstribusi terhadap kekerasan fisik, bahasa yang memalukan, dan pelecehan dari siswa lain. Analisa data dari Vietnam, Peru, Ethiopia, dan India mengindikasikan penyebab murid-murid tidak suka sekolah karena kekerasan di sekolah baik secara fisik maupun verbal yang dilakukan oleh guru dan murid-murid lainnya. Tradisi kekerasan di sekolah dapat diminimalisir jika kualitas tenaga pengajar atau guru diperbaiki. Jika tradisi kekerasan masih terus berlangsung, maka kampanye sekolah sebagai tempat yang aman tidak akan efektif lagi.

Menurut International Center for Research on Woman (ICRW) menemukan bahwa tujuh dari sepuluh anak di Asia mengalami kekerasan saat bersekolah di Asia. Indonesia sebanyak 84 persen kasus kekerasan kepada anak. Terdapat tiga alasan mengapa kekerasan di sekolah harus dihentikan yaitu pertama, untuk memastikan lingkungan belajar yang aman. Kedua, menghindari kekerasan berulang. Ketiga, korban cenderung untuk memiliki pendidikan yang rendah dan tingkat upah yang kecil.

Angka kekerasan anak di Indonesia terbilang tinggi. Sejumlah kasus kekerasan terhadap anak dalam dunia pendidikan semakin mempersuram wajah pendidikan. Jumlah praktek kekerasan yang masih merajalela di sejumlah lembaga pendidikan membuat sekolah bukan menjadi tempat yang aman bagi anak-anak yang sedang tumbuh berkembang. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kekerasan termasuk dalam kejahatan yang tergolong dalam penganiayaan, perampokan, kesusilaan, dan kejahatan terhadap orang lain yang dapat menyebabkan luka atau kematian. Berbagai bentuk kekerasan dapat menjadi motif sebagian perilaku budaya masyarakat Indonesia yang mampu mereduksi tata nilai kepribadian bangsa.

Survey nasional yang dilakukan oleh Kementrian PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) pada tahun 2018 menemukan bahwa 62 persen anak perempuan dan anak laki-laki mengalami satu atau lebih dari satu bentuk kekerasan sepanjang hidupnya. Anak-anak Indonesia juga mengalami kekerasan di lingkungan yang seharusnya aman dan berada tepat di tangan orang yang dapat mereka percaya. Data terbaru juga menyebutkan bahwa anak-anak di Indonesia terpapar efek psikologis atau pun hukuman fisik saat berada di rumah. Pada tahun 2018, survey menemukan bahwa 41 persen anak yang berusia 15 tahun pernah mengalami perundungan minimal sekali dalam satu bulan. Kekerasan tersebut melibatkan fisik dan psikologis.� Isu kekerasan yang dilakukan oleh guru juga termasuk isu yang signifikan. Terdapat 20 persen murid laki-laki dan 75 persen murid perempuan pernah melaporkan bahwa mereka pernah ditampar atau dipukul oleh guru� mereka dalam 12 bulan terakhir. Sebanyak 84 persen anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Kasus ini lebih tinggi daripada negara tetangga yakni Pakistan (43 persen), Vietnam (79 persen), Kamboja (73 persen), dan Nepal (79 persen). Pihak sekolah dan guru masih memberlakukan hukuman fisik bagi siswa yang nakal. Bagaimana pun, hukuman fisik di sekolah masih sah atau berlaku di Indonesia. Dari banyaknya kasus kekerasan di sekolah, masih banyak kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan di sejumlah daerah yang tidak mengetahui Permendikbud Nomor 82 tahun 2015 mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan yang didalamnya sudah tertera menangani kasus kekerasan dengan baik. Anak-anak di Indonesia merupakan subjek kekerasan baik di rumah maupun di sekolah. Guru sering menggunakan hukuman berupa fisik dan emosional untuk mendisiplinkan siswa mereka. Mereka tidak memiliki pengetahuan mengenai disiplin positive.

 

Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif� memaparkan suatu perisitiwa atau situasi. Tujuan dari penelitian adalah untuk menjawab dan menjelaskan permasalahan yang akan diteliti secara rinci� dengan mempelajari suatu kejadian secara maksimal. Penelitian ini mengacu pada pertanyaan �bagaimana� dan berusaha untuk mengetahui bagaimana suatu peristiwa yang terjadi. Maka berdasarkan penjelasan tersebut, penulis memilih menggunaka metode kualitatif untuk mengkaji bagaimana upaya UNICEF melalui program End Violence untuk mengatasi kekerasan anak di sekolah Indonesia. Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah metode penelitian berbasis dokumen. Dokumen merupakan bahan yang menyediakan informasi tertentu yang keberadaannya secara independen diperoleh dari tindakan peneliti. Menurut Christopher Lamont, dokumen yang dimaksud dalam metode ini yaitu dokumen primer dan dokumen sekunder. Dalam melakukan penelitian, sebagian besar mengharuskan kita untuk dapat mengakses dokumen primer. Dokumen primer merupakan sumber asli yang ditulis oleh individu yang langsung mengalami peristiwa tersebut. Pada dokumen sekunder merupakan dokumen yang mengacu pada dokumen primer. Menurut Kenneth D. Bailey, dokumen sekunder merupakan dokumen yang diperoleh dari orang-orang yang tidak hadir di peristiwa tersebut atau di tempat kejadian tersebut, namun mereka menerima informasi tersebut dengan membaca dokumen primer atau melakukan wawancara dengan pihak yang bersangkutan.

 

Hasil dan Pembahasan

Pencegahan Kekerasan di Sekolah

UNICEF bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mendukung berbagai upaya pencegahan kekerasan pada anak-anak di Indonesia. Upaya ini terdiri dari adanya bukti-bukti yang dapat memantau terkait peraturan dan kebijakan terkait anak, perkembangan kapasitas terkait dengan kesejahteraan anak, dan memberikan dukungan terkait dengan reformasi kebijakan dan berbagai program-program yang berkaitan dengan kesejahteran anak-anak di seluruh Indonesia.

 

Gambar 1

Pendekatan UNICEF Indonesia

Sumber : (UNICEF)

PBB mendefiniskan kekerasan terhadap anak dalam artikel 19 Konvensi Hak Anak adalah segala bentuk kekerasan mental atau fisik, cedera dan pelecehan, penelentaran atau perlakuan lalai, penganiayaan atau eksploitasi, termasuk pelecehan seksual. Hak anak untuk terbebas dari segala macam bentuk kekerasan telah ditegaskan oleh Komite PBB General Comment no. 13.� Konvensi Hak Anak menetapkan penghormatan pada hak-hak anak sebagai landasan prinsip dan standar perilaku internasional terhadap anak. Konvensi Hak Anak mengakui bahwa anak yang berada di bawah usia 18 tahun harus diizinkan untuk tumbuh berkembang, belajar, dan bermain serta dilindungi dari bahaya. Negara wajib untuk menghormati hak � hak anak dan melindungi anak dari bentuk kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi. Dalam SDG 16.2 mencantumkan target bahwa:

�Mengakhiri pelecehan, eksploitasi, perdagangan manusia dan semua bentuk kekerasan dan penganiayaan terhadap anak-anak�.

SDG berupaya untuk menghapus segala bentuk kekerasan. Upaya yang dilakukan yakni dengan bekerja sama dengan pemerintah atau komunitas terkait untuk menemukan solusi jangka panjang yang dapat menghadapi rasa tidak aman dan konflik akibat dari masalah ini. Upaya untuk menghentikan kekerasan pada anak tidak dapat ditunda. Untuk melindungi anak dari berbagai macam bentuk kekerasan, maka diperlukan sinergi dari seluruh pemangku kepentingan untuk menyediakan pendidikan yang positif serta aman dan nyaman bagi anak.

 

Gambar 2

Pilar Perlindungan Anak

Sumber: (UNICEF)

Korban kekerasan pada masa kecil memiliki dampak yang akan berpengaruh seumur hidup, yakni berdampak pada pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Untuk mengatasi kekerasan pada anak tersebut, UNICEF berupaya dengan memiliki naungan program-program kampanye kekerasan anak yakni End Violence, diantaranya Roots : Untuk mengatasi perundungan pada anak-anak, program Roots hadir dengan inisiatif bermaksud untuk meningkatkan kualitas hubungan antar teman dan mengurangi insiden terjadinya intimidasi dan kekerasan di antara teman sebaya. Program Roots hadir dan dikembangkan di Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan, di daerah pedesan dan perkotaan provinsi-provinsi tersebut. Pada tahun 2018, terdapat lebih dari 10.000 siswa yang dijangkau oleh program Roots. Pada tahun 2019, terdapat 4.421 siswa yang telah dijangkau oleh program ini.

Safe to Learn : Safe to Laern merupakan inisiatif global yang muncul untuk mengakhiri kekerasan anak di sekolah sehingga anak dapat berkembang, belajar, dan meraih mimpi mereka. Safe to Learn juga membuka peluang untuk mengakhiri kekerasan, meningkatkan hasil pembelajaran, meningkatkan kesadaran dan mengubah sikap terhadap kekerasan anak. Safe to Learn menyarankan untuk memberikan ruang kepada keluarga dan masyarakat di sekolah untuk mengakhiri kekerasan pada anak. Focus pada strategi ini yaitu pada sekotor pendidikan.

Anak � anak di Indonesia merupakan subjek kekerasan baik di rumah, sekolah, komunitas, dan teman sebaya hingga orang dewasa. Guru sering kali menggunakan hukuman dalam bentuk kekerasan fisik dan kekerasan emosional untuk mendisiplinkan anak. Hukuman merujuk pada beberapa cara, diantaranya memukul, muncubit, dan menampar. Hukuman fisik merupakan hukuman yang dilakukan kepada anak-anak oleh orang tua, pengasuh, guru, dan yang lainnya atas nama �disiplin�. Hukuman fisik ini telah dialami oleh anak-anak di banyak negara. Hukuman fisik tidak hanya melanggar hak-hak dasar atas martabat dan integritas tubuh, namun juga berdampak pada keterlibatan anak � anak di sekolah dan kapasitas belajar.

Proses pendidikan merupakan komitmen jangka panjang untuk siswa. Mengubah perilaku siswa harus menjadi bagian dari proses, bukan untuk dihukum. Tenaga pendidik atau guru juga harus memberikan contoh yang baik untuk siswanya. UNICEF medukung pengembangan dan implementasi program disiplin positive oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlidungan Anak (KPPA) berkolaborasi dengan NGO Yayasan Nusantara Sejati. Program ini mengintregasikan pencegahan kekerasan. Pelatihan untuk guru dapat mengatasi kekerasan yang mempengaruhi anak dan dapat membangun lingkungan yang aman dan mendukung anak untuk berkembang.

Program pelatihan kepada guru ini mengintegrasikan untuk pencegahan kekerasan. Tujuan dari program pelatihan ini adalah untuk memperkuat perilaku positif, melatih guru, kepala sekolah, dan komite sekolah dalam memdidik anak tanpa menggunakan kekerasan fisik dan kekerasan verbal. Pelatihan disiplin positif dilaksanakan secara berjenjang, yakni melalui pelatihan pelatih pengawas pendidikan kabupaten, kemudian melatih kelompok Kerja Guru Sekolah Dasar, dan Guru Mata Palajaran. Selain itu juga Kelompok Kerja untuk Sekolah Menengah dan memberikan mereka saran lanjutan dan pendampingan.

Inisiatif disiplin positive didasarkan pada hasil postif tahun 2016 di Provinsi Papua dan Papua Barat. Hasil evaluasi yang didukung oleh UNICEF menunjukkan bahwa terdapat penurunan penggunaan hukuman fisik dan emosional yang dilakukan oleh guru. Masing-masing mengalami penurunan sebanyak 20,57 persen untuk Provinsi Papua dan 13,47 persen untuk Provinsi Papua Barat. Pada tahun 2019, Kementrian Perlindungan Perempuan dan Anak mengadaptasi model disiplin positive dan mengimplementasikan di lebih dari 30 kota dan 15 provinsi. Selain itu juga memberikan pelatihan kepada 3000 guru dan staf. Penerapan disiplin positf yang sudah diterapkan sangatlah tepat untuk direaplikasi oleh lembaga pendidikan lainnya.

Penerapan disiplin positif merupakan hal penting untuk diterapkan di sekolah. Disiplin positif merupakan pendekatan alternatif hukuman fisik. Melalui disiplin psotif, anak dapat memastikan bahwa hukuman yang diterima bersifat logis sehingga anak tidak akan mengulangi perilaku yang tidak diinginkan. Pendekatan dengan disiplin postif menanamkan bahwa penyelesaian masalah tidak dengan menggunakan kekerasan.

 

Kesimpulan

Kampanye End Violence merupakan kampanye global yang ditujukan pada dunia. Kampanye ini terutama ditujukan untuk melindungi anak-anak dan remaja, selain itu juga mendorong untuk mencegah kekerasan. Isu kekerasan pada anak dapat menjadi konsentrasi untuk ditangani dunia agar dapat menciptakan generasi yang lebih baik di masa depan. Hal tersebut sangat disayangkan karena sekolah merupakan tempat dimana edukasi berada. Sekolah bukan lagi menjadi tempat yang aman untuk anak-anak, sedangkan anak-anak membutuhkan sekolah untuk mengeksplor bakat dan minat mereka. Edukasi merupakan kunci untuk mencipatakan masyarakat yang damai namun berjuta-juta anak di dunia merasa tidak aman berada di sekolah. Angka kekerasan anak di Indonesia terbilang tinggi. Sejumlah kasus kekerasan terhadap anak dalam dunia pendidikan semakin mempersuram wajah pendidikan. Dampak negatif kekerasan di sekolah tidak hanya pada anak-anak yang terkena dampak langsungnya. Namun juga berdampak pada kehidupan orang-orang yang menyaksikannya dan menciptakan suasana kecemasan dan ketidakamanan yang tidak sesuai dengan pembelajaran. Kekerasan atau ancaman kekerasan bahkan bisa sedemikian rupa sehingga keluarga merasa terdesak untuk menjauhkan anak-anak mereka dari sekolah, dan mendorong penelantaran sekolah sebagai sarana untuk mencegah kekerasan dan kerugian lebih lanjut. Akibatnya, kesempatan pendidikan, dengan segala manfaatnya bagi individu dan masyarakat, bisa sangat terhambat.

�� Kampanye End Violence hadir untuk menyelamatkan anak-anak dari kekerasan khususnya kekerasan di sekolah yang mereka hadapi. Melalui kampanye End Violence, anak-anak terselamtakn karena berbagai upaya yang dilakukan UNICEF melalui kampanye End Violence. Safe to Learn menghadirkan inisiatif yang didedikasikan untuk mengakhiri kekerasan anak dalam sekolah sehingga anak-anak bebas untuk belajar, berkembang, dan mengejar impian mereka. Program Roots yang hadir untuk mengupayakan agar perundungan pada anak semakin berkurang dengan mengadakan pemilihan agen perubahan sebagai salah satu upaya Program Roots. Selain itu pelatihan pada guru untuk menerapkan disiplin postif terbukti berguna untuk memajukan wajah pendidikan Indonesia tanpa menggunakan kekerasan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

Abidin, Y. Z. (2015). Metode Penelitian Komunikasi (Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi). Bandung: Pustaka Setia.

Aliya, H. (2020). Berperan Penting untuk Pelanggan dan Perusahaan, Pelajari Apa Itu Newsletter.https://glints.com/id/lowongan/apa-itu-newsletter-adalah/#.YMx-j2gzbIW

Ardianto, E., Komala, L., & Karlinah, S. (2019). Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

BLUECORE. (2016). How Millennials Actually Want Brands to Engage with Them. https://bluecoreweb.wpengine.com/resources/millennials-engage-brands-report-2016/

Cangara, H. (2016). Pengantar Ilmu Komunikasi. Depok: RajaGrafindo Persada.

Catch Me Up! (2020). Tentang Kami. https://catchmeup.id/tentang-kami/

Ghozali, I. (2021). Aplikasi Analisis Multivariate (Dengan Program IBM SPSS 26). Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Inayah, H. (2021). Perempuan di Startup Digital: Breaking the Glass Ceiling. https://www.cocreate.id/articles/haifa-breaking-the-glass-ceiling/

Maverick�s Analytics Team. (2020). Where Gen Y and Z Get Their News From: Tips to Stay Relevant to the Digital Natives. https://twitter.com/mavtweets/status/1338794184354893826

McQuail, D. (2010). McQuail�s Mass Communication Theory. London. Sage Publications.

Nurudin. (2019). Pengantar Komunikasi Massa. Depok: RajaGrafindo Persada.

Rakhmat, J. (2013). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Rakhmat, J., & Ibrahim, I. S. (2019). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Siregar, S. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana.

Sugiyono. (2021). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono, & Susanto, A. (2017). Cara Mudah Belajar SPSS & LISREL (Teori dan Aplikasi untuk Analisis Data Penelitian). Bandung: Alfabeta.

Waryanto, B., & Millafati, Y. A. (2006). Transformasi Data Skala Ordinal ke Interval Dengan Menggunakan Makro Minitab. Jurnal Informatika Pertanian, 15. https://www.litbang.pertanian.go.id/warta-ip/pdf-file/4.budiwaryantoipvol-15.pdf.

 

Copyright holder:

Qorry Oktavia Permata Putri (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: