Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 6, Juni 2022

 

DAMPAK MEDIA SOSIAL DALAM QUARTER LIFE CRISIS GEN Z DI INDONESIA

 

Amanda Permatasari, Mohammad Ammar Marsa, Setyonugroho

Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR Jakarta, Indonesia

Email: �[email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Sosial media sebagai salah satu media tempat berlangsungnya komunikasi massa saat ini telah menjadi kebutuhan dan dikonsumsi oleh masyarakat luas dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai konten yang ada di media massa dapat memberikan dampak kepada setiap yang menkonsumsinya. Penelitian ini dilakukan untuk melihat dampak dari sosial media terhadap diri individu yang tergolong dalam generasi Z. Terlihat bahwa media sosial memberikan dampak terhadap individu, seperti salah satunya adalah merubah perasaan atau sikap seseorang. Quarter Life Crisis adalah salah satu dampak yang timbul pada pengguna sosial media yang berada pada generasi Z. Dampak ini membuat Generasi Z yang mengkonsumsi konten yang mengandung unsur ekonomi dan materil merasa takut gagal dalam karir dan pendidikan di masa yang akan datang.

 

Kata kunci: Media sosial, Quarter life crisis, Gen Z.

 

Abstract

Social media as one of the media where mass communication takes place has now become a necessity and consumed by the wider community in everyday life. Various content in the mass media can have an impact on everyone who consumes it. This study was conducted to see the impact of social media on individuals belonging to generation Z. It can be seen that social media has an impact on individuals, such as changing one's feelings or attitudes. The Quarter Life Crisis is one of the impacts that arise on social media users who are in generation Z. This impact makes Generation Z who consume content that contains economic and material elements feel afraid of failing in their careers and education in the future.

 

Keywords: social media, Quarter life crisis, Gen z.

 

Pendahuluan

Perkembangan teknologi merupakan salah satu kemajuan terbesar dalam era digital ini. Lahirnya media social membangun perubahan yang cukup besar pada masyarakat, baik itu dalam aspek budaya, etika, dan norma. Social media sebagai bentuk komunikasi data berbasis web mempunya berbagai macam bentuk seperti blog, micro blog, wiki, situs jejaring sosial, situs berbagi foto, pesan instan, situs berbagi video, podcast, widget, dunia virtual, dan banyak lagi. Di masa teknologi saat ini penggunaan social media terus meningkat, dari berbagai kalangan usia, suku, dan ras sudah hamper semua mempunyai akun social media. Indonesia yang mempunyai jumlah penduduk besar memiliki peluang untuk perubahan social yang tinggi. Dampak social media terhadap anak muda sangat signifikan, hal ini mendukung bahwa social media telah menjadi bagian erat dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Walaupun social media tidak menutup kemungkinan untuk mempermudah kemampuan mereka secara social, dikarenakan pesatnya perkembangan teknologi anak muda, diharuskan untuk menerima berbagai macam gaya hidup.

Krisis kehidupan sudah merupakan sesuatu yang lumrah, hampir semua orang pernah mengalaminya. Setiap orang di dunia pasti melewati beberapa fase perkembangan mulai dari bayi hingga lanjut usia. Baltes, Lindenberger, dan (Skiba, Poloni-Staudinger, Gallini, Simmons, & Feggins-Azziz, 2006) Staudinger (2006) memaparkan bahwa ada empat tahapan perkembangan yang dilalui yaitu anak-anak, remaja, dewasa dan lansia.Ada beberapa macam krisis kehidupan seperti, mid-life crisis, quarter life crisis, dan existential crisis. Quarter life crisis banyak diartikan sebagai periode dimana anak muda memasuki masa dewasa atau dunia nyata, hal ini dapat terjadi pada masa dewasa awal yaitu kisaran umur 18 hingga 30 tahun. Dalam studi sebelumnya melalui penelitian media social twitter, menunjukan bahwa Pengguna yang merujuk ke QLC ditemukan memposting lebih banyak tentang perasaan emosi yang campur aduk, merasa terjebak, menginginkan perubahan, karier, penyakit, sekolah, dan keluarga. Bahasa mereka cenderung terfokus pada masa depan. Krisis dewasa awal biasanya berkisar pada perjuangan dengan perasaan terkunci dari komitmen orang dewasa (tidak dapat menemukan pekerjaan atau cinta), atau perasaan terkunci dalam peran kehidupan yang kemudian dialami sebagai ketidakcocokan identitas seseorang, atau sebagai umumnya menyesakkan (Robinson, 2019). Berdasarkan definisi tersebut, hal ini menunjukkan bahwa quarter life crisis dapat ditujukan kepada generasi muda milenial dan generasi z.

Mengikuti tradisi barat yang mengelompokan generasi untuk menyortir dalam nomenklatur seperti Gen X, Gen Y, dan juga Gen Z. Generasi Z, atau Gen Berikutnya dalam beberapa studi dikatakan memberikan daya tarik yang aneh pada pembuat keputusan pemasaran dan akademisi di seluruh dunia. Generasi Z merupakan masyarakat yang sudah terpapar teknologi sedari kecil. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan teknologi dalam kurikulum sekolah, Gen Z sudah terbiasa memanfaatkan teknologi untuk belajar sejak sekolah dasar. Ini membuat Gen Z secara natural nyaman dengan teknologi, cara mereka berinteraksi juga sebagian besar bergantung dengan teknologi. Maka mereka adalah salah satu generasi pemakai media social teraktif dan terbanyak.

Komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi melalui media massa modern, yang meliputi surat kabar yang mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditujukan kepada umum, dan film yang dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop. Pesan-pesannya bersifat umum, disampaikan secara cepat, serentak dan selintas. Meskipun khalayak ada kalanya menyampaikan pesan kepada lembaga, karena lembagalah yang menentukan agendanya. Komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok, komunikasi publik dan komunikasi organisasi berlangsung juga dalam proses untuk mempersiapkan pesan yang disampaikan media massa ini. Everett M. Rogers menyatakan bahwa selain media massa modern terdapat media massa tradisional yang meliputi teater rakyat, juru dongeng keliling, juru pantun dan lain-lain.

(Effendy, 2003) Media massa adalah media komunikasi dan informasi yang melakukan penyebaran informasi secara massal dan dapat diakses oleh masyarakat secara massal pula. Dapat diartikan bahwa media massa merupakan alat yang berfungsi untuk menyebarluaskan informasi kepada masyarakat luas dan serentak, serta dapat diakses oleh umum.(Bungin, 2006)

Internet adalah suatu jaringan komputer yang satu dengan yang lain saling terhubung untuk keperluan komunikasi dan informasi. Internet berbasis pada sebuah protocol yang disebut TCP/IP (Tranmission Control Protocol / Internet protocol). Sebuah komputer dalam satu jaringan internet dapat berada di mana saja atau bahkan di seluruh Indonesia. Sering juga internet diartikan sebagai jaringan komputer di seluruh dunia yang berisikan informasi dan sebagai sarana komunikasi data yang berupa suara, gambar, video dan juga teks.(Riska, Harihanto, & Nurmanina, 2014)

Menurut Steven H. Chaffee, ada lima jenis efek kehadiran media massa sebagai benda fisik, yaitu : (1) Efek Ekonomi Kehadiran media massa di tengah kehidupan manusia dapat menumbuhkan berbagai usaha produksi, distribusi dan konsimsi jasa media massa. (2) Efek Sosial, Efek sosial berkaitan dengan perubahan pada struktur atau interaksi sosial sebagai akibat dari kehadiran media massa. Misalnya kehadiran televisi dapat meningkatkan status sosial dari pemiliknya. Penjadwalan kegiatan sehari-hari Sebelum pergi kekantor, masyarakat kota pada umumnya membaca koran dahulu. (3) Efek Hilangnya Perasaan Tidak Nyaman Misalnya seorang gadis yang sedang dimabuk cinta akan mendengarkan lagu-lagu yang bertema cinta atau melankolis. Media digunakan untuk memuaskan kebutuhan psikologisnya dengan tujuan menghilangkan rasa kesepian. (4) Efek Menumbuhkan Perasaan Tertentu Kehadiran media massa bukan saja dapat menghilangkan perasaan tidak nyaman pada diri seseorang, tetapi dapat juga menumbuhkan perasaan tertentu baik positif maupun negatif.

Menurut (Fischer, 2008) quarter-life crisis adalah perasaan khawatir yang hadir atas ketidakpastian kehidupan mendatang seputar relasi, karier, dan kehidupan sosial yang terjadi sekitar usia 20-an. Mendukung pernyataan tersebur (Nash et al., 2010) mengatakan bahwa yang dihadapi ketika mengalami quarter life crisis adalah masalah terkait mimpi dan harapan, tantangan kepentingan akademis, agama dan spiritualitasnya, serta kehidupan pekerjaan dan karier. Permasalahan-permasalahan tersebut muncul ketika individu masuk pada usia 18-28 tahun atau Ketika telah menyelesaikan pendidikan menengah, contohnya mahasiswa. Menurut Alifandi (2016) lompatan akademis yang sering dialami oleh mahasiswa ke dunia kerja terkadang menimbulkan luka dan ketidakstabilan emosi mengalami krisis emosional.

Krisis yang dialami mahasiswa disebabkan oleh berbagai tuntutan kehidupan yang dihadapi. Umumnya penyebab krisis yang utama adalah karena lanya tuntutan dari orang tua terhadap langkah apa yang akan diambil di masa mendatang (Arnett, 2014) dan stres karena masalah akademik (Slamet 2003; Kartika, Deria, & Ruhansih, 2018). Telah diketahui bersama bahwasanya Indonesia adalah negara kolektivistik di mana penilaian dan tanggapan dari lingkungan adalah hal yang dianggap penting bahkan dapat memengaruhi bagaimana individu berperilaku. Tantangan lain yang turut berkontribusi terhadap krisis emosional yang dialami oleh mahasiswa adalah kompleksnya masa transisi yang penuh dengan ketidakpastian sehingga menimbulkan depresi bagi individu yang mengalami (Haase, Heckhausen, & Silbereisen, 2012). Hal ini diperparah dengan pengalaman negatif seperti berbagai penolakan yang berdampak langsung terhadap kesejahteraan pribadi, harga diri (Robinson, 2018).

(Schmidt, 2000) mengatakan generasi adalah sekelompok individu yang mengidentifikasi kelompok berdasarkan pada tahun lahir, usia, lokasi, dan peristiwa dalam kehidupan kelompok individu yang memiliki pengaruh signifikan dalam fase pertumbuhan. Pada bukunya(Farrand, Fridman, Stillman, & Schaumberg, 2017)� How the Next Generation Is Transforming the Workplace dijelaskan perbedaannya, salah satu perbedaan gen Y dan gen Z adalah generasi Z menguasai teknologi dengan lebih maju, pikiran lebih terbuka dan tidak terlalu peduli dengan norma.

There are several names for Gen Z such as �Post millennials�, �Facebook generation�, �Digital Natives, �Switchers�, �Dotcom children�, �Netgeneration�, �iGeneration�, �C - Connection � generation�, �D - Digital � generation�, �R - Responsibility � generation� (Csobanka, 2016, p. 67).

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Pendekatan penelitian kualitatif merupakan suatu penelitian yang digunakan untuk meneliti pada objek yang alamiah dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi (Sugiyono 2007: 1). Penelitian kualitatif bertujuan mempertahankan bentuk dan isi perilaku manusia dan menganalisis kualitas- kualitasnya, alih-alih mengubahnya menjadi entitas-entitas kuantitatif (Mulyana, Adnan, Indriatmoko, Priyono, & Moeliono, 2008). Dalam penelitian deskriptif ini, penulis akan mengumpulkan data � data informasi yang diperoleh untuk membuat deskipsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, mengenai objek yang dibahas.

 

Hasil dan Pembahasan

1.       Media Sosial dan Kontennya di Indonesia

Hasil penelitian (Nasrullah, 2015) konsumen internet dan aplikasi sosial di Indonesia mendekati angka tinggi, penetrasi internet kurang lebih 15% atau dapat dikatakan pengguna internet mencapai 38 juta lebih. di Indonesia, bahkan media digital membuka kesempatan untuk diskusi publik dan lebih banyak kebebasan dibandingkan dengan media tradisional, apalagi, kampanye online (blog, Facebook, dan YouTube) telah menjadi lebih luas kesadaran, khususnya penggalangan dana di antara siswa (Weiss, 2014). Dalam salah satu artikelnya, Kompas.com menuliskan �Digital 2021: The Latest Insights Into The State of Digital itu, menyebutkan bahwa dari total 274,9 juta penduduk di Indonesia, 170 juta di antaranya telah menggunakan media sosial. Dengan demikian, angka penetrasinya sekitar 61,8 persen. Dan Angka pengguna aktif media sosial di Indonesia tersebut tumbuh sebesar 10 juta atau sekitar 6,3 persen dibandingkan bulan Januari 2020.�

(Kremer et al., 2020) mengatakan efek kerugian yang didapat dari penggunaan media sosial adalah orang yang dekat dapat dijauhkan dan orang yang jauh dapat di dekatkan secara cepat. Hal ini menunjukan bahwa dampak media sosial bagi interaksi seseorang dengan lingkungannya sangatlah signifikan dan ini juga mempengaruhi tidak hanya interaksi namun gaya hidup, karena platform media sosial tidak menutup koneksi hanya dalam ranah lingkungan yang kita kenal, kita juga dapat melihat konten kehidupan sehari-hari selebriti dan influencer, ini sangat memungkinan bagi masyarakat Indonesia berpikir adanya kesenjangan sosial diantara satu sama lain.

Berdasarkan data dari Kementerian Informasi, Komunikasi dan Teknologi (KOMINFO, 2014) dan Warga Negara Indonesia Survei Pengguna Internet (APJII, 2018), Anak muda dalam kasus ini yang bisa dikatakan sebagai generasi Z masih menjadi mayoritas pengguna internet dan media social dari Indonesia. Data terbaru dari We Are Social dan Hootsuite menunjukkan bahwa YouTube telah menjadi Platform media sosial paling aktif di Indonesia (88%), diikuti oleh Facebook (82%) dan Instagram (79%). Sebagai perbandingan, WhatsApp (84%) telah menjadi messenger paling aktif atau aplikasi chat (88%), diikuti oleh Line (50%) dan Facebook Messenger (50%) (Kemp, 2020). Dari data diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa platform sosial media dan kontennya mempunyai efek yang signifikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

2.                  Dampak Media Sosial terhadap Generasi Z di Indonesia

Media social mempunyai keunggulan untuk menghubungkan berbagai macam orang, sebagai contoh teman sekolah, teman kerja dan saudara jauh. Kita dapat melihat kehidupan mereka tanpa bertemu secara langsung. Hal ini dapat berdampak baik dan juga buruk, dengan kita melihat konten-konten tersebut kita dapat merasakan kesenjangan sosial. Salah satu contoh platform media sosial yang kerap dipakai adalah Instagram, menurut (Akhmad & Prili, 2018) Dampak negatif instagram bagi remaja yaitu krisis percaya diri, persaingan kehidupan mewah dan tidak mau menerima kenyataan. Dalam hal ini remaja zaman sekarang selalu mengikuti trend yang sedang berlangsung di dunia dan dikalangan mereka, karena mereka tidak mau dibilang ketinggalan zaman oleh teman-temannya dan dianggap populer jika mengikuti zaman.

Generasi Z dibesarkan dengan web sosial, mereka berpusat pada digital dan teknologi adalah identitas mereka (Singh & Dangmei, 2016). Generasi Z juga dapat dikenal dengan native digital mereka sudah terbiasa menggunakan media digital untuk berbagai tujuan, misalnya, �mengembangkan dan memelihara koneksi, membangun citra diri, mengekspresikan pikiran dan emosi, dan mencari hiburan� (Nuzulita & Subriadi, 2020, h. 1). Pada penelitian sebelumnya, Siska Kusuma Ningsih dalam keterangan resminya, ia mengatakan bahwa �Sebanyak 83% remaja tidak bisa lepas dari media sosial (medsos) walau hanya sehari� Rabu (1/6/2016). Dari pernyataan tersebut kita dapat mengetahui bahwa generasi Z merupakan generasi yang mempunyai hubungan kuat dengan media social, dan ini berdampak dengan cara mereka berpikir dan juga cara mereka melihat kehidupan. Hal ini juga menyangkut bagaimana mereka menjalani gaya hidup mereka.

3.                  Quarter Life Crisis Generasi Z di Indonesia

Quarter life crisis secara sederhana merupakan keraguan seseorang terhadap diri mereka sendiri disaat mereka memasuki fase kedewasaan. Namun, yang membuat perbedaan respon yang terjadi kepada setiap generasi dikarenakan pengaruh lingkungan dan era dimana mereka memasuki fase ini. Seperti data yang telah dilampirkan Generasi Z merupakan generasi yang tumbuh dengan ikatan kuat pada teknologi, maka hubungan mereka dengan media sosial dalam perkembangan hidup pun tidak bisa dihindari. Dalam artikel mereka, Vice menuliskan bahwa salah satu pemasok Lasha OMS melakukan survey terhadap kehidupan Generasi Z, �Lhasa OMS mewawancarai 2.010 orang berusia 18-37 untuk lebih memahami tingkat stres, bagaimana ini memengaruhi kehidupannya, dan cara mereka mengurangi stres. Hasilnya menunjukkan sebagian besar kaum millenial dan Gen Z gampang stres karena memikirkan pekerjaan, kesehatan, politik, dan teknologi.�.

Dari beberapa wawancara yang penuilis lakukan mengenai �apa yang menjadi faktor keraguan mereka pada fase ini?� (1) Joshua (23 Tahun) mengatakan, di saat ia membuka media sosial instagram ia melihat banyak dari teman sekolah dan kampus sudah menikah atau tunangan. (2) Daniel (19 Tahun) �disaat harus milih jurusan untuk kuliah dan belum pasti kita mau milih apa tapi teman dan saudara udah tau mau kerja apa sampai step-step yang mau mereka ambil�. (3) Jecinta (23 Tahun) mengatakan �kalau buka soscmed terus ngeliat temen-temen udah punya jabatan, udah ada yang punya anak juga udah nikah. Kadang suka bikin ngerasa gagal aja gitu, kita aja masih suka bingung gara-gara ga suka sama kerjaan yang kita sekarang punya tapi kok ngeliat orang-orang kayanya hidup udah settle� ujarnya.

 

Kesimpulan

Penggunaan sosial media pada masa ini merupakan sebuah kebutuhan yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Hadirnya internet yang semakin canggih telah mempermudah cara dan akses bagi setiap orang. Generasi Z merupakan generasi yang paling banyak menggunakan sosial media. Di dalam sosial media, terdapat banyak sekali jenis dan bentuk konten yang dapat dikonsumsi oleh setiap penggunanya, baik suara, gambar, maupun kombinasi suara dan gambar (video). Salah satu wadah sosial media yang memiliki tingkat konsumsi tertinggi saat ini adalah Youtube. Salah satu konten di Youtube yang banyak dinikmati atau dikonsumsi oleh generasi Z adalah Vlog yang berisi tentang kehidupan sehari-hari para figur publik yang tidak jarang menunjukkan kesuksesan hidup mereka seperti kekayaan, harta yang dimiliki, dan material lainnya. Hal ini ternyata menimbulkan atau merubah pikiran penontonnya. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Vice, timbul perasaan stress karena setelah menonton konten tersebut, mereka menjadi takut dan khawatir terhadap masa depan mereka yang terlihat seolah olah menjadi lebih menyeramkan dan menyulitkan.

Setelah melihat data diatas, penulis bisa menyimpulkan bahwa sebagian besar dari generasi Z membandingkan diri mereka dengan apa yang ada di media sosial. Tidak hanya melalui wawancara namun, penulis menemukan banyak pernyataan dan studi bahwa media sosial mempunyai dampak yang sangat signifikan dalam fase-fase kehidupan Generasi Z. Faktor media sosial berperan sangat penting dalam situasi Quarter Life Crisis Generasi Z, karena teknologi ini kerap digunakan sebagai pembanding kehidupan antara mereka dan orang lain.

Saran penulis untuk praktisi atau pembuat konten, dalam proses membuat konten dapat dimasukan konten-konten motivasi dan edukasi tentang langkah � langkah berbisnis, berkonten, dan perjalanan keluh kesah mereka menuju kesuksesan yang dapat ditujukan kepada masyarakat yang menonton. Saran social akan penulis tujukan masyarakat generasi Z agar lebih memilih dan memproses lebih lanjut konten yang dilihat di dalam platform media sosial. Banyak bukti bahwa tidak semua konten yang berada di media social merupakan konten asli yaitu virtual image. Masyarakat dihimbau untuk lebih cermat dalam berpikir bahwa tidak semua orang dapat menjalakan kehidupan yang persis seperti orang lain.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Arnett, Jeffrey Jensen. (2014). Emerging Adulthood: The Winding Road From The Late Teens Through The Twenties. Oxford University Press.

 

Bungin, Burhan H. M. (2006). Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, Dan Diskursus Teknologi Komunikasi Di Masyarakat. Language, 19(395p), 24cm.

 

Effendy, Onong Uchjana. (2003). Ilmu, Teori Dan Filsafat Komunikasi (Citra Adit, Vol. 200). Bandung: Bandung: Citra Aditya Bakti.

 

Farrand, Kimberly F., Fridman, Moshe, Stillman, Ipek �zer, & Schaumberg, Debra A. (2017). Prevalence Of Diagnosed Dry Eye Disease In The United States Among Adults Aged 18 Years And Older. American Journal Of Ophthalmology, 182, 90�98. Https://Doi.Org/0.1016/J.Ajo.2017.06.033

 

Fischer, Kristen. (2008). Ramen Noodles, Rent And Resumes: An After-College Guide To Life. Supercollege, Llc.

 

Kremer, St�phane, Lersy, Fran�ois, De S�ze, J�rome, Ferr�, Jean Christophe, Maamar, Adel, Carsin-Nicol, B�atrice, Collange, Olivier, Bonneville, Fabrice, Adam, Gilles, & Martin-Blondel, Guillaume. (2020). Brain Mri Findings In Severe Covid-19: A Retrospective Observational Study. Radiology. Https://Doi.Org/10.1148/Radiol.2020202222

 

Mulyana, Agus, Adnan, Hasantoha, Indriatmoko, Yayan, Priyono, Agus, & Moeliono, Moira. (2008). Belajar Sambil Mengajar: Menghadapi Perubahan Sosial Untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam. Cifor.

 

Nash, Paul G., Macefield, Vaughan G., Klineberg, Iven J., Gustin, Sylvia M., Murray, Greg M., & Henderson, Luke A. (2010). Bilateral Activation Of The Trigeminothalamic Tract By Acute Orofacial Cutaneous And Muscle Pain In Humans. Pain�, 151(2), 384�393. Https://Doi.Org/10.1016/J.Pain.2010.07.027

 

Nasrullah, Rulli. (2015). Media Sosial: Perspektif Komunikasi, Budaya, Dan Sosioteknologi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2016, 2017.

 

Robinson, Oliver C. (2019). A Longitudinal Mixed-Methods Case Study Of Quarter-Life Crisis During The Post-University Transition: Locked-Out And Locked-In Forms In Combination. Emerging Adulthood, 7(3), 167�179. Https://Doi.Org/10.1177/2167696818764144

 

Schmidt, Klaus. (2000). G�bekli Tepe, Southeastern Turkey: A Preliminary Report On The 1995-1999 Excavations. Pal�orient, 45�54.

 

Singh, Amarendra P., & Dangmei, Jianguanglung. (2016). Understanding The Generation Z: The Future Workforce. South-Asian Journal Of Multidisciplinary Studies, 3(3), 1�5.

 

Skiba, Russell J., Poloni-Staudinger, Lori, Gallini, Sarah, Simmons, Ada B., & Feggins-Azziz, Renae. (2006). Disparate Access: The Disproportionality Of African American Students With Disabilities Across Educational Environments. Exceptional Children, 72(4), 411�424.

 

Weiss, Meredith. (2014). New Media, New Activism: Trends And Trajectories In Malaysia, Singapore And Indonesia. International Development Planning Review, 36(1), 91�110. Https://Doi.Org/10.3828/Idpr.2014.6

������

Copyright holder:

Amanda Permatasari, Mohammad Ammar Marsa, Setyonugroho (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: