Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 6, Juni 2022
DAMPAK MEDIA SOSIAL DALAM QUARTER
LIFE CRISIS GEN Z DI INDONESIA
Amanda Permatasari, Mohammad
Ammar Marsa, Setyonugroho
Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR
Jakarta, Indonesia
Email: �[email protected],
[email protected], [email protected]
Abstrak
Sosial media sebagai salah satu media tempat berlangsungnya komunikasi massa saat ini telah
menjadi kebutuhan dan dikonsumsi oleh masyarakat luas dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai konten yang ada di media massa dapat memberikan dampak kepada setiap yang menkonsumsinya. Penelitian ini dilakukan untuk melihat dampak
dari sosial media terhadap diri individu
yang tergolong
dalam generasi Z. Terlihat bahwa media sosial memberikan dampak terhadap individu, seperti salah satunya adalah merubah perasaan atau sikap seseorang. Quarter
Life Crisis adalah salah satu dampak yang timbul pada pengguna sosial media yang berada pada generasi Z. Dampak ini membuat Generasi Z yang mengkonsumsi konten yang mengandung unsur ekonomi dan materil merasa takut gagal dalam karir dan pendidikan di masa yang akan datang.
Kata kunci: Media sosial, Quarter life crisis, Gen Z.
Abstract
Social media as one of the media where mass communication takes place has
now become a necessity and consumed by the wider community in everyday life.
Various content in the mass media can have an impact on everyone who consumes
it. This study was conducted to see the impact of social media on individuals
belonging to generation Z. It can be seen that social media has an impact on
individuals, such as changing one's feelings or attitudes. The Quarter Life
Crisis is one of the impacts that arise on social media users who are in
generation Z. This impact makes Generation Z who consume content that contains
economic and material elements feel afraid of failing in their careers and
education in the future.
Keywords:
social media, Quarter
life crisis, Gen z.
Pendahuluan
Perkembangan teknologi merupakan salah satu kemajuan terbesar dalam era
digital ini. Lahirnya media social membangun perubahan yang cukup besar pada
masyarakat, baik itu dalam aspek budaya, etika, dan norma. Social media sebagai
bentuk komunikasi data berbasis web mempunya berbagai macam
bentuk seperti blog, micro blog, wiki, situs jejaring sosial, situs berbagi
foto, pesan instan, situs berbagi video, podcast, widget, dunia virtual, dan banyak lagi. Di masa teknologi saat ini
penggunaan social media terus meningkat, dari berbagai kalangan usia, suku, dan
ras sudah hamper semua mempunyai akun social media. Indonesia yang mempunyai
jumlah penduduk besar memiliki peluang untuk perubahan social yang tinggi.
Dampak social media terhadap anak muda sangat signifikan, hal ini mendukung
bahwa social media telah menjadi bagian erat dari kehidupan sehari-hari
masyarakat. Walaupun social media tidak menutup kemungkinan untuk mempermudah
kemampuan mereka secara social, dikarenakan pesatnya perkembangan teknologi
anak muda, diharuskan untuk menerima berbagai macam gaya hidup.
Krisis
kehidupan sudah merupakan sesuatu yang lumrah, hampir semua orang pernah mengalaminya.
Setiap orang di dunia pasti melewati beberapa fase perkembangan mulai dari bayi
hingga lanjut usia. Baltes, Lindenberger, dan (Skiba, Poloni-Staudinger, Gallini, Simmons, &
Feggins-Azziz, 2006) Staudinger
(2006) memaparkan bahwa ada empat tahapan perkembangan yang dilalui yaitu
anak-anak, remaja, dewasa dan lansia.Ada beberapa macam krisis kehidupan
seperti, mid-life crisis, quarter life crisis, dan existential crisis. Quarter
life crisis banyak diartikan sebagai periode dimana anak muda memasuki masa
dewasa atau dunia nyata, hal ini dapat terjadi pada masa dewasa awal yaitu
kisaran umur 18 hingga 30 tahun. Dalam studi sebelumnya melalui penelitian
media social twitter, menunjukan bahwa Pengguna yang merujuk ke QLC ditemukan
memposting lebih banyak tentang perasaan emosi yang campur aduk, merasa
terjebak, menginginkan perubahan, karier, penyakit, sekolah, dan keluarga.
Bahasa mereka cenderung terfokus pada masa depan. Krisis dewasa awal biasanya
berkisar pada perjuangan dengan perasaan terkunci dari komitmen orang dewasa
(tidak dapat menemukan pekerjaan atau cinta), atau perasaan terkunci dalam
peran kehidupan yang kemudian dialami sebagai ketidakcocokan identitas
seseorang, atau sebagai umumnya menyesakkan (Robinson, 2019). Berdasarkan
definisi tersebut, hal ini menunjukkan bahwa quarter life crisis dapat
ditujukan kepada generasi muda milenial dan generasi z.
Mengikuti tradisi barat yang mengelompokan generasi untuk menyortir
dalam nomenklatur seperti Gen X, Gen Y, dan juga Gen Z. Generasi Z, atau Gen
Berikutnya dalam beberapa studi dikatakan memberikan daya tarik yang aneh pada
pembuat keputusan pemasaran dan akademisi di seluruh dunia. Generasi Z
merupakan masyarakat yang sudah terpapar teknologi sedari kecil. Hal ini dapat
dilihat dari penggunaan teknologi dalam kurikulum sekolah, Gen Z sudah terbiasa
memanfaatkan teknologi untuk belajar sejak sekolah dasar. Ini membuat Gen Z
secara natural nyaman dengan teknologi, cara mereka berinteraksi juga sebagian
besar bergantung dengan teknologi. Maka mereka adalah salah satu generasi
pemakai media social teraktif dan terbanyak.
Komunikasi
massa (mass communication) adalah komunikasi melalui media massa modern, yang
meliputi surat kabar yang mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi
yang ditujukan kepada umum, dan film yang dipertunjukkan di gedung-gedung
bioskop. Pesan-pesannya bersifat umum, disampaikan secara cepat, serentak dan
selintas. Meskipun khalayak ada kalanya menyampaikan pesan kepada lembaga,
karena lembagalah yang menentukan agendanya. Komunikasi antarpribadi,
komunikasi kelompok, komunikasi publik dan komunikasi organisasi berlangsung
juga dalam proses untuk mempersiapkan pesan yang disampaikan media massa ini.
Everett M. Rogers menyatakan bahwa selain media massa modern terdapat media
massa tradisional yang meliputi teater rakyat, juru dongeng keliling, juru
pantun dan lain-lain.
(Effendy, 2003) Media
massa adalah media komunikasi dan informasi yang melakukan penyebaran informasi
secara massal dan dapat diakses oleh masyarakat secara massal pula. Dapat
diartikan bahwa media massa merupakan alat yang berfungsi untuk menyebarluaskan
informasi kepada masyarakat luas dan serentak, serta dapat diakses oleh umum.(Bungin, 2006)
Internet
adalah suatu jaringan komputer yang satu dengan yang lain saling terhubung
untuk keperluan komunikasi dan informasi. Internet berbasis pada sebuah
protocol yang disebut TCP/IP (Tranmission Control Protocol / Internet
protocol). Sebuah komputer dalam satu jaringan internet dapat berada di mana
saja atau bahkan di seluruh Indonesia. Sering juga internet diartikan sebagai
jaringan komputer di seluruh dunia yang berisikan informasi dan sebagai sarana
komunikasi data yang berupa suara, gambar, video dan juga teks.(Riska,
Harihanto, & Nurmanina, 2014)
Menurut
Steven H. Chaffee, ada lima jenis efek kehadiran media massa sebagai benda
fisik, yaitu : (1) Efek Ekonomi Kehadiran media massa di tengah kehidupan
manusia dapat menumbuhkan berbagai usaha produksi, distribusi dan konsimsi jasa
media massa.
(2) Efek Sosial, Efek sosial berkaitan dengan perubahan pada struktur atau
interaksi sosial sebagai akibat dari kehadiran media massa. Misalnya kehadiran
televisi dapat meningkatkan status sosial dari pemiliknya. Penjadwalan kegiatan
sehari-hari Sebelum pergi kekantor, masyarakat kota pada umumnya membaca koran
dahulu. (3) Efek Hilangnya Perasaan Tidak Nyaman Misalnya seorang gadis yang
sedang dimabuk cinta akan mendengarkan lagu-lagu yang bertema cinta atau
melankolis. Media digunakan untuk memuaskan kebutuhan psikologisnya dengan
tujuan menghilangkan rasa kesepian. (4) Efek Menumbuhkan Perasaan Tertentu
Kehadiran media massa bukan saja dapat menghilangkan perasaan tidak nyaman pada
diri seseorang, tetapi dapat juga menumbuhkan perasaan tertentu baik positif
maupun negatif.
Menurut (Fischer, 2008) quarter-life
crisis adalah perasaan khawatir yang hadir atas ketidakpastian kehidupan
mendatang seputar relasi, karier, dan kehidupan sosial yang terjadi sekitar
usia 20-an. Mendukung pernyataan tersebur (Nash et al., 2010) mengatakan
bahwa yang dihadapi ketika mengalami quarter life crisis adalah masalah terkait
mimpi dan harapan, tantangan kepentingan akademis, agama dan spiritualitasnya,
serta kehidupan pekerjaan dan karier. Permasalahan-permasalahan tersebut muncul
ketika individu masuk pada usia 18-28 tahun atau Ketika telah menyelesaikan
pendidikan menengah, contohnya mahasiswa. Menurut Alifandi (2016) lompatan
akademis yang sering dialami oleh mahasiswa ke dunia kerja terkadang
menimbulkan luka dan ketidakstabilan emosi mengalami krisis emosional.
Krisis yang
dialami mahasiswa disebabkan oleh berbagai tuntutan kehidupan yang dihadapi.
Umumnya penyebab krisis yang utama adalah karena lanya tuntutan dari orang tua
terhadap langkah apa yang akan diambil di masa mendatang (Arnett, 2014) dan stres
karena masalah akademik (Slamet 2003; Kartika, Deria, & Ruhansih, 2018).
Telah diketahui bersama bahwasanya Indonesia adalah negara kolektivistik di
mana penilaian dan tanggapan dari lingkungan adalah hal yang dianggap penting
bahkan dapat memengaruhi bagaimana individu berperilaku. Tantangan lain yang
turut berkontribusi terhadap krisis emosional yang dialami oleh mahasiswa
adalah kompleksnya masa transisi yang penuh dengan ketidakpastian sehingga
menimbulkan depresi bagi individu yang mengalami (Haase, Heckhausen, &
Silbereisen, 2012). Hal ini diperparah dengan pengalaman negatif seperti
berbagai penolakan yang berdampak langsung terhadap kesejahteraan pribadi,
harga diri (Robinson, 2018).
(Schmidt, 2000) mengatakan
generasi adalah sekelompok individu yang mengidentifikasi kelompok berdasarkan
pada tahun lahir, usia, lokasi, dan peristiwa dalam kehidupan kelompok individu
yang memiliki pengaruh signifikan dalam fase pertumbuhan. Pada bukunya(Farrand, Fridman, Stillman, & Schaumberg, 2017)� How the Next Generation Is Transforming the
Workplace dijelaskan perbedaannya, salah satu perbedaan gen Y dan gen Z adalah
generasi Z menguasai teknologi dengan lebih maju, pikiran lebih terbuka dan
tidak terlalu peduli dengan norma.
There are
several names for Gen Z such as �Post millennials�, �Facebook generation�,
�Digital Natives, �Switchers�, �Dotcom children�, �Netgeneration�, �iGeneration�,
�C - Connection � generation�, �D - Digital � generation�, �R - Responsibility
� generation� (Csobanka, 2016, p. 67).
Metode Penelitian
Metode penelitian yang
digunakan penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan
metode deskriptif. Pendekatan penelitian kualitatif merupakan suatu penelitian
yang digunakan untuk meneliti pada objek yang alamiah dimana peneliti adalah
sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan,
analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih
menekankan makna daripada generalisasi (Sugiyono 2007: 1). Penelitian
kualitatif bertujuan mempertahankan bentuk dan isi perilaku manusia dan
menganalisis kualitas- kualitasnya, alih-alih mengubahnya menjadi entitas-entitas
kuantitatif (Mulyana, Adnan, Indriatmoko, Priyono,
& Moeliono, 2008). Dalam penelitian deskriptif ini, penulis akan mengumpulkan data � data
informasi yang diperoleh untuk membuat deskipsi, gambaran atau lukisan secara
sistematis, mengenai objek yang dibahas.
Hasil dan Pembahasan
1.
Media Sosial
dan Kontennya di Indonesia
Hasil penelitian (Nasrullah, 2015) konsumen internet dan aplikasi sosial di Indonesia mendekati angka tinggi, penetrasi internet kurang lebih 15% atau dapat dikatakan pengguna internet mencapai 38 juta lebih. di Indonesia, bahkan media digital membuka kesempatan untuk diskusi publik dan lebih banyak kebebasan dibandingkan dengan media tradisional, apalagi, kampanye online (blog, Facebook, dan YouTube) telah menjadi lebih luas kesadaran, khususnya penggalangan dana di antara siswa (Weiss, 2014). Dalam salah satu artikelnya, Kompas.com menuliskan �Digital 2021: The Latest Insights Into The State of Digital itu, menyebutkan bahwa dari total 274,9 juta penduduk di Indonesia, 170 juta di antaranya telah menggunakan media sosial. Dengan demikian, angka penetrasinya sekitar 61,8 persen. Dan Angka pengguna aktif media sosial di Indonesia tersebut tumbuh sebesar 10 juta atau sekitar 6,3 persen dibandingkan bulan Januari 2020.�
(Kremer et al., 2020) mengatakan efek kerugian yang didapat dari penggunaan media sosial adalah orang yang dekat dapat dijauhkan dan orang yang jauh dapat di dekatkan secara cepat. Hal ini menunjukan bahwa dampak media sosial bagi interaksi seseorang dengan lingkungannya sangatlah signifikan dan ini juga mempengaruhi tidak hanya interaksi namun gaya hidup, karena platform media sosial tidak menutup koneksi hanya dalam ranah lingkungan yang kita kenal, kita juga dapat melihat konten kehidupan sehari-hari selebriti dan influencer, ini sangat memungkinan bagi masyarakat Indonesia berpikir adanya kesenjangan sosial diantara satu sama lain.
Berdasarkan data dari Kementerian Informasi, Komunikasi dan Teknologi (KOMINFO, 2014) dan Warga Negara Indonesia Survei Pengguna Internet (APJII, 2018), Anak muda dalam kasus ini yang bisa dikatakan sebagai generasi Z masih menjadi mayoritas pengguna internet dan media social dari Indonesia. Data terbaru dari We Are Social dan Hootsuite menunjukkan bahwa YouTube telah menjadi Platform media sosial paling aktif di Indonesia (88%), diikuti oleh Facebook (82%) dan Instagram (79%). Sebagai perbandingan, WhatsApp (84%) telah menjadi messenger paling aktif atau aplikasi chat (88%), diikuti oleh Line (50%) dan Facebook Messenger (50%) (Kemp, 2020). Dari data diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa platform sosial media dan kontennya mempunyai efek yang signifikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Media social mempunyai keunggulan untuk menghubungkan berbagai macam orang, sebagai contoh teman sekolah, teman kerja dan saudara jauh. Kita dapat melihat kehidupan mereka tanpa bertemu secara langsung. Hal ini dapat berdampak baik dan juga buruk, dengan kita melihat konten-konten tersebut kita dapat merasakan kesenjangan sosial. Salah satu contoh platform media sosial yang kerap dipakai adalah Instagram, menurut (Akhmad & Prili, 2018) Dampak negatif instagram bagi remaja yaitu krisis percaya diri, persaingan kehidupan mewah dan tidak mau menerima kenyataan. Dalam hal ini remaja zaman sekarang selalu mengikuti trend yang sedang berlangsung di dunia dan dikalangan mereka, karena mereka tidak mau dibilang ketinggalan zaman oleh teman-temannya dan dianggap populer jika mengikuti zaman.
Generasi Z dibesarkan dengan web sosial, mereka berpusat pada digital dan teknologi adalah identitas mereka (Singh & Dangmei, 2016). Generasi Z juga dapat dikenal dengan native digital mereka sudah terbiasa menggunakan media digital untuk berbagai tujuan, misalnya, �mengembangkan dan memelihara koneksi, membangun citra diri, mengekspresikan pikiran dan emosi, dan mencari hiburan� (Nuzulita & Subriadi, 2020, h. 1). Pada penelitian sebelumnya, Siska Kusuma Ningsih dalam keterangan resminya, ia mengatakan bahwa �Sebanyak 83% remaja tidak bisa lepas dari media sosial (medsos) walau hanya sehari� Rabu (1/6/2016). Dari pernyataan tersebut kita dapat mengetahui bahwa generasi Z merupakan generasi yang mempunyai hubungan kuat dengan media social, dan ini berdampak dengan cara mereka berpikir dan juga cara mereka melihat kehidupan. Hal ini juga menyangkut bagaimana mereka menjalani gaya hidup mereka.
Quarter life crisis secara sederhana merupakan keraguan seseorang terhadap diri mereka sendiri disaat mereka memasuki fase kedewasaan. Namun, yang membuat perbedaan respon yang terjadi kepada setiap generasi dikarenakan pengaruh lingkungan dan era dimana mereka memasuki fase ini. Seperti data yang telah dilampirkan Generasi Z merupakan generasi yang tumbuh dengan ikatan kuat pada teknologi, maka hubungan mereka dengan media sosial dalam perkembangan hidup pun tidak bisa dihindari. Dalam artikel mereka, Vice menuliskan bahwa salah satu pemasok Lasha OMS melakukan survey terhadap kehidupan Generasi Z, �Lhasa OMS mewawancarai 2.010 orang berusia 18-37 untuk lebih memahami tingkat stres, bagaimana ini memengaruhi kehidupannya, dan cara mereka mengurangi stres. Hasilnya menunjukkan sebagian besar kaum millenial dan Gen Z gampang stres karena memikirkan pekerjaan, kesehatan, politik, dan teknologi.�.
Dari beberapa wawancara yang penuilis lakukan mengenai �apa yang menjadi faktor keraguan mereka pada fase ini?� (1) Joshua (23 Tahun) mengatakan, di saat ia membuka media sosial instagram ia melihat banyak dari teman sekolah dan kampus sudah menikah atau tunangan. (2) Daniel (19 Tahun) �disaat harus milih jurusan untuk kuliah dan belum pasti kita mau milih apa tapi teman dan saudara udah tau mau kerja apa sampai step-step yang mau mereka ambil�. (3) Jecinta (23 Tahun) mengatakan �kalau buka soscmed terus ngeliat temen-temen udah punya jabatan, udah ada yang punya anak juga udah nikah. Kadang suka bikin ngerasa gagal aja gitu, kita aja masih suka bingung gara-gara ga suka sama kerjaan yang kita sekarang punya tapi kok ngeliat orang-orang kayanya hidup udah settle� ujarnya.
Kesimpulan
Penggunaan sosial media pada masa ini merupakan sebuah kebutuhan yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Hadirnya internet yang semakin canggih telah mempermudah cara dan akses bagi setiap orang. Generasi Z merupakan generasi yang paling banyak menggunakan sosial media. Di dalam sosial media, terdapat banyak sekali jenis dan bentuk konten yang dapat dikonsumsi oleh setiap penggunanya, baik suara, gambar, maupun kombinasi suara dan gambar (video). Salah satu wadah sosial media yang memiliki tingkat konsumsi tertinggi saat ini adalah Youtube. Salah satu konten di Youtube yang banyak dinikmati atau dikonsumsi oleh generasi Z adalah Vlog yang berisi tentang kehidupan sehari-hari para figur publik yang tidak jarang menunjukkan kesuksesan hidup mereka seperti kekayaan, harta yang dimiliki, dan material lainnya. Hal ini ternyata menimbulkan atau merubah pikiran penontonnya. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Vice, timbul perasaan stress karena setelah menonton konten tersebut, mereka menjadi takut dan khawatir terhadap masa depan mereka yang terlihat seolah olah menjadi lebih menyeramkan dan menyulitkan.
Setelah melihat data diatas, penulis bisa menyimpulkan bahwa sebagian besar dari generasi Z membandingkan diri mereka dengan apa yang ada di media sosial. Tidak hanya melalui wawancara namun, penulis menemukan banyak pernyataan dan studi bahwa media sosial mempunyai dampak yang sangat signifikan dalam fase-fase kehidupan Generasi Z. Faktor media sosial berperan sangat penting dalam situasi Quarter Life Crisis Generasi Z, karena teknologi ini kerap digunakan sebagai pembanding kehidupan antara mereka dan orang lain.
Saran penulis untuk praktisi atau pembuat konten, dalam proses membuat konten dapat dimasukan konten-konten motivasi dan edukasi tentang langkah � langkah berbisnis, berkonten, dan perjalanan keluh kesah mereka menuju kesuksesan yang dapat ditujukan kepada masyarakat yang menonton. Saran social akan penulis tujukan masyarakat generasi Z agar lebih memilih dan memproses lebih lanjut konten yang dilihat di dalam platform media sosial. Banyak bukti bahwa tidak semua konten yang berada di media social merupakan konten asli yaitu virtual image. Masyarakat dihimbau untuk lebih cermat dalam berpikir bahwa tidak semua orang dapat menjalakan kehidupan yang persis seperti orang lain.
Arnett, Jeffrey Jensen. (2014). Emerging Adulthood:
The Winding Road From The Late Teens Through The Twenties. Oxford
University Press.
Bungin, Burhan H. M. (2006). Sosiologi
Komunikasi: Teori, Paradigma, Dan Diskursus Teknologi Komunikasi Di Masyarakat.
Language, 19(395p), 24cm.
Effendy, Onong Uchjana. (2003). Ilmu,
Teori Dan Filsafat Komunikasi (Citra Adit, Vol. 200). Bandung: Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Farrand, Kimberly F., Fridman, Moshe,
Stillman, Ipek �zer, & Schaumberg, Debra A. (2017). Prevalence Of Diagnosed
Dry Eye Disease In The United States Among Adults Aged 18 Years And Older. American
Journal Of Ophthalmology, 182, 90�98.
Https://Doi.Org/0.1016/J.Ajo.2017.06.033
Fischer, Kristen. (2008). Ramen Noodles,
Rent And Resumes: An After-College Guide To Life. Supercollege, Llc.
Kremer, St�phane, Lersy, Fran�ois, De S�ze,
J�rome, Ferr�, Jean Christophe, Maamar, Adel, Carsin-Nicol, B�atrice, Collange,
Olivier, Bonneville, Fabrice, Adam, Gilles, & Martin-Blondel, Guillaume.
(2020). Brain Mri Findings In Severe Covid-19: A Retrospective Observational Study.
Radiology. Https://Doi.Org/10.1148/Radiol.2020202222
Mulyana, Agus, Adnan, Hasantoha,
Indriatmoko, Yayan, Priyono, Agus, & Moeliono, Moira. (2008). Belajar
Sambil Mengajar: Menghadapi Perubahan Sosial Untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam.
Cifor.
Nash, Paul G., Macefield, Vaughan G.,
Klineberg, Iven J., Gustin, Sylvia M., Murray, Greg M., & Henderson, Luke
A. (2010). Bilateral Activation Of The Trigeminothalamic Tract By Acute
Orofacial Cutaneous And Muscle Pain In Humans. Pain�, 151(2),
384�393. Https://Doi.Org/10.1016/J.Pain.2010.07.027
Nasrullah, Rulli. (2015). Media Sosial:
Perspektif Komunikasi, Budaya, Dan Sosioteknologi. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, 2016, 2017.
Robinson, Oliver C. (2019). A Longitudinal
Mixed-Methods Case Study Of Quarter-Life Crisis During The Post-University
Transition: Locked-Out And Locked-In Forms In Combination. Emerging
Adulthood, 7(3), 167�179. Https://Doi.Org/10.1177/2167696818764144
Schmidt, Klaus. (2000). G�bekli Tepe,
Southeastern Turkey: A Preliminary Report On The 1995-1999 Excavations. Pal�orient,
45�54.
Singh, Amarendra P., & Dangmei,
Jianguanglung. (2016). Understanding The Generation Z: The Future Workforce. South-Asian
Journal Of Multidisciplinary Studies, 3(3), 1�5.
Skiba, Russell J., Poloni-Staudinger, Lori,
Gallini, Sarah, Simmons, Ada B., & Feggins-Azziz, Renae. (2006). Disparate
Access: The Disproportionality Of African American Students With Disabilities
Across Educational Environments. Exceptional Children, 72(4),
411�424.
Weiss, Meredith. (2014). New Media, New
Activism: Trends And Trajectories In Malaysia, Singapore And Indonesia. International
Development Planning Review, 36(1), 91�110.
Https://Doi.Org/10.3828/Idpr.2014.6
������
Copyright holder: Amanda Permatasari, Mohammad Ammar Marsa, Setyonugroho (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |