Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 6, Juni 2022

 

PERENCANAAN DAN ANALISIS KEBIJAKAN TERKAIT TATA KELOLA PESISIR BAGI PEMERINTAH KOTA SEMARANG

 

Alin Fithor, Dewi Muliana

Doktor Manajemen Sumberdaya Pantai, Universitas Diponegoro Semarang, Magister Manajemen, Universitas Pancasakti, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Penelitian tahun 2011 dengan metode Digital Elevation Mode (DEM) menetapkan beberapa titik lokasi konstan terdampak banjir tiap musim hujan yakni kawasan pesisir dari ujung timur sampai ujung barat. Metode penelitian yang digunakan yakni jenis penelitian kualitatif atau disebut juga dengan metode penelitian naturalistik maupun metode etnografi. Adapun struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Dalam hal ini wilayah pesisir bermakna suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Sementra definisi dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (selanjutnya PWK-PK) Pasal 1 Ayat (2), disebutkan bahwa wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.

 

Kata Kunci: perencanaan, analisis kebijakan, tata Kelola pesisir

 

Abstract

A 2011 study using the Digital Elevation Mode (DEM) method determined several constant location points affected by floods every rainy season, namely coastal areas from the east end to the west end. The research method used is a type of qualitative research or also known as naturalistic research methods and ethnographic methods. The structure of space is the arrangement of settlement centers and a network system of infrastructure and facilities that serve as support for the socio-economic activities of people who hierarchically have functional relationships. In this case, coastal areas mean a transitional area between land and ocean. As defined in Law Number 27 of 2007 concerning the Management of Coastal Areas and Small Islands (hereinafter PWK-PK) Article 1 Paragraph (2), it is stated that coastal areas are transitional areas between land and sea ecosystems that are affected by changes in land and sea.

 

Keywords: coastal planning, policy analysis, governance

 

 

 

 

Pendahuluan

Rencana Tata Kelola Kawasan di Perkotaan memiliki banyak implikasi sosial, budaya, politik dan ekonomi serta bersinggungan langsung pada aspek lingkungan hidup di sekitarnya. Tak ayal, pembahasan tata kelola kawasan berkorelasi dengan seperangkat disiplin keilmuan lainnya terutama dengan legal formal perundang-undangan yang sudah ditetapkan pemerintah. Hal demikian wajar mengingat fungsi tata kelola kawasan berfokus pada upaya memaksimalkan pemanfaatan sumber daya di dalamnya, sehingga seringkali terdapat serangkaian konflik dalam pemberdayaannya, baik antar masyarakat dan pemilik modal, ataupun dengan pemerintah.(Imran, 2013).

Sebetulnya ada korelasi yang memiliki timbal-balik dalam hubungan perencanaan kota dengan aspek kesehatan masyarakat serta kelestarian lingkungan hidup. Untuk itulah, diperlukan studi multidisipliner dalam merancang suatu perencanaan kota yang menjaga kelestarian hidup serta kesehatan masyarakat. Karena keluasan background interdisipliner yang dibutuhkan tersebut maka dalam kajian perencanaan tata kelola kawasan kota tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja, semisal pakar arsitektur, tetapi harus didiskusikan, dirumus-ujikan, dibuat bangunan konseptual terlebih dahulu dengan para pakar di bidang geografi, ilmu ekonomi, ilmu kesehatan, serta ilmu hukum, kalau perlu pakar di bidang agama dan budayawan juga perlu disinergikan bersama. Dari beragam background tersebutlah baru bisa dimunculkan perencanaan tata kota yang terpadu, holistik dan ramah lingkungan (Ratodi, 2016).

Lebih-lebih di tengah kemajuan teknologi dan perkembangan pesat perekonomian di kota-kota besar di Indonesia dewasa ini, menyebabkan pembangunan besar-besaran di kawasan perkotaan. Pembangunan besar-besaran terutama di bidang kontruksi gedung pencakar langit, kawasan hunian baru, serta kawasan industri baru, serta kawasan teluk untuk akses transportasi laut serta pelebaran jalan maupun jalan layang berpengaruh pada kesehatan masyarakat serta lingkungan hidup di sekitarnya. Berbagai persoalan di perkotaan besar pun mulai nampak, seperti persoalan padat penduduk yang berimplikasi pada menumpuknya sampah, kemacetan kendaraan di jalanan, polusi udara dan banjir karena minimnya kawasan hijau untuk menyeterilkan udara dan menyerap air hujan, serta alih fungsi lahan yang menyebabkan berkurangnya kawasan hijau maupun kawasan pertanian, minimnya akses air tanah yang bersih hingga abrasi di pantai. Berbagai persoalan ini hampir rata terjadi di seluruh kota besar di Indonesia termasuk juga di kota Semarang, yang menjadi ibukota Provinsi Jawa Tengah. (Harris, 2015)

Kebijakan terkait Tata Kelola kawasan Pesisir oleh pemerintah Kota Semarang patut menjadi perhatian. Mengingat hampir di setiap musim hujan tiba, di kawasan tersebut selalu terjadi kebanjiran. Anomali banjir di kawasan pesisir kota Semarang diakibatkan oleh berbagai faktor. Pertama, adanya perubahan tata kelola kawasan pesisir yang awalnya berupa lahan tambak, rawa, dan sawah�di mana secara alamiah berfungsi sebagai penampung air dari kiriman maupun pasang air laut�namun kini telah berubah menjadi lahan pemukiman, kawasan industri dan pemanfaatan lainnya. Faktor kedua, disebabkan oleh adanya penurunan tanah (land subsidance). Penurunan tanah ini disebabkan pembangunan besar-besaran di kawasan daratan baik untuk industri maupun perumahan yang menyedot pemakaian air tanah secara berlebih, sehingga menimbulkan penurunan permukaan air tanah, kondisi tutupan lahan terkait dengan beban bangunan, dan konsolidasi. Dalam penelitian para ahli menyebutkan angka penurunan permukaan air bawah tanah di sekitar Pelabuhan Tanjung Emas saja mencapai 15-20 cm per tahun, hal senada juga terjadi rata di kawasan pesisir lainnya di Kota Semarang.(Kahar et al., 2011)

Penelitian tahun 2011 dengan metode Digital Elevation Mode (DEM) menetapkan beberapa titik lokasi konstan terdampak banjir tiap musim hujan yakni kawasan pesisir dari ujung timur sampai ujung barat. Mulai dari Kecamatan Tugu (257,2 hektare), Kecamatan Semarang Barat (237,19 hektare, Kecamatan Semarang Tengah (22,95 hektare), Kecamatan Semarang Utara (508,28 hektare), Kecamatan Semarang Timur (44,15 hektare), Kecamatan Genuk (377,68 hektare), Kecamatan Gayamsari (73,23 hektare) dan Kecamatan Semarang Selatan (18,12 hektare) dengan total luasan keseluruhan sebesar 1538,80 Hektare di kawasan pesisir Kota Semarang. (Ramadhany et al., 2012) Hingga tahun 2019, titik banjir tersebut masih terus menjadi anomali meskipun sudah ada upaya penanggulangan yang dilakukan oleh pemerintah Kota Semarang. Beberapa lokasi di kawasan pesisir barat sudha mulai bisa dikurangi sebaran luasannya namun di kawasan pesisir timur masih belum ada peningkatan, mengingat luas dampak banjir masih sama. Dengan demikian konsep tata kelola kawasan pesisir kota Semarang masih belum cukup tangguh menghadapi banjir tersebut, baik secara fisik, sosial, ekonomi, maupun institusi.(Erlani & Nugrahandika, 2019)

Sejatinya pemerintah baik itu Kota Semarang maupun Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Pusat sudah menetapkan serangkaian kebijakan yang berkaitan dengan perencanaa tata kelola kawasan pesisir di antaranya Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2019 Tentang Rencana Tata Ruang Laut; Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Tengah No. 13 Tentang RZWP3K Tahun 2018-2038; Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang Tahun 2011-2031. Namun apakah sepenuhnya pedoman kebijakan yang sudah ditetapkan berjalan dengan baik di lapangan atau tidak? Bertolak dari peranyaat itulah penelitian ini dilakukan untuk mencoba menjawab persoalan tersebut.

Secara teknis, kebijakan publik hanya dibedakan dalam tiga tahapan, yaitu (1) policy formulation (2) policy implementation dan (3) policy evaluation. Tahap formulasi kebijakan (policy formulation) ini merupakan tahapan yang sangat penting untuk menentukan tahapan berikutnya pada proses kebijakan publik. Pakar lainnya berpendapat bahwa perumusan usulan kebijakan yang baik dan komprehensif akan sangat dipengaruhi oleh keberhasilan para analis kebijakan dalam merumuskan masalah kebijakan itu sendiri. Tahap yang kedua, tahap implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang begitu kompleks dan terkadang bermuatan politis dengan berbagai kepentingan di dalamnya. Tahap yang ketiga adalah tahap evaluasi kebijakan. Di mana evaluasi ditujukan untuk melihat sebagian-sebagian kegagalan suatu kebijakan dan untuk mengetahui apakah kebijakan yang telah dirumuskan dan dilaksanakan dapat menghasilkan dampak yang diinginkan. (Agustino, 2016) Karakteristik utama dari kebijakan adalah pengaturannya tidak secara tegas diperintahkan dalam peraturan perundang-undangan, akan tetapi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan hal itu diberlakukan dan dipatuhi sebagaimana layaknya peraturan hukum yang absah.(Aminuddin Ilmar, 2014)

Sedangkan analisis kebijakan adalah sebentuk penelitian terapan yang dipakai untuk mendeskripikan pemahaman yang detail terkait persoalan sosial teknis dan untuk mencari peluang solusi-solusi yang lebih baik. Keberadaan analisis kebijakan dikarenakan adanya kebijakan yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan, sehingga menimbulkan persoalan baru. Sehingga analisis kebijakan sangat urgen fungsinya untuk diterapkan, agar diperoleh pertimbangan secara sains, rasional dan objektif, apakah kebijakan didesain secara komprehensi dalam mewujudkan kesejahteraan umum atau belum. Keberadaan analisis kebijakan di sini sebatas memaparkan data yang ada bukan untuk menyetujui atau menolak adanya kebijakan yang telat ditetapkan.(Sulmiah et al., 2019)

Adapun pendekatan dalam analisis kebijakan sebagaimana dipaparkan Suharno mencakup tiga bentuk; (1) evaluasi semu, pendekatan yang mengunakan metode �metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid tentang hasil kebijakan, tanpa memersoalkan lebih detail ihwal nilai dan manfaat dari hasil kebijakan itu bagi individu, kelompok sasaran dan masyarakat secara luas. asumsi pendekatan ini adalah bahwa nilai atau manfaat suatu hasil kebijakan akan terbukti dengan sendirinya serta akan diukur dan dirasakan secara langsung baik oleh individu, kelompok maupun publik secara luas. (2) evaluasi formal, yakni pendekatan yang memakai metode-metode deskriptif untuk menghasilkan infrmasi yang valid tentang hasil kebijakan dengan tetap melakukan evaluasi terhadap hasil berdasarkan tujuan kebiakan yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan dan tenaga administratif kebijakan. (3) evaluasi keputusan teoritis, yakni upaya menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan akuntbel tentang hasil kebijakan yang dinilai secara eksplisit oleh para pelaku kebijakan. Di mana pendekatan ini bertujuan untk menghubungkan antara hasil kebijakan dengan nilai-nilai dari pelaku kebijakan itu sendiri.(Suharno, 2010)

Perencanaan kawasan secara leksikal bermakna proses, cara, perbuatan merancangkan pengembangan suatu kawasan agar dicapai pertumbuhan yang efisien dan teratur. (Tarigan, 2004) Tarigan mengelaborasikan pengelolaan wilayah sebagai wilayah adalah suatu proses yang melibatkan banyak pihak dengan tujuan agar penggunaan ruang itu memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya kepada masyarakat dan terjaminnya kehidupan yang berkesinambungan.(Tarigan, 2004) Sementara definisi tata ruang dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Adapun struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Dalam hal ini wilayah pesisir bermakna suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan.(Rokhmin & Jacub, 1996) Sementra definisi dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (selanjutnya PWK-PK) Pasal 1 Ayat (2), disebutkan bahwa wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif atau disebut juga dengan metode penelitian naturalistik maupun metode etnografi. Penelitian kualitatif dilakukan pada objek alamiah yang berkembang apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti dan kehadiran peneliti tidak begitu mempengaruhi dinamika pada objek tersebut.(Suwandi, 2008) Pendekatan kualitatif ini akan mendorong peneliti terjun ke lapangan dan mengamati secara langsung aktivitas-aktivitas yang dilakukan di lokasi penelitian, untuk memperoleh gambaran dan data-data terkait masalah penelitian yaitu berusaha untuk memberikan gambaran atau deskriptif mengenai Perencanaan dan Analisis Kebijakan terkait Tata Kelola Pesisir bagi Pemerintah Kota Semarang. Berdasarkan dengan persoalan ini penulis mengunakan pendekatan evaluasi semu�yang sudah dipaparkan sebelumnya, di mana penelitian ini hendak menyajikan informasi valid dan akuntabel tentang hasil kebijakan dengan fakta yang terjadi di lapangan. Sehingga penelitian ini tidak melebar pada pembahasan nilai maupun manfaat kebijakan maupun dampaknya yang bersinggungan langsung dengan masyarakat.

Adapun sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yakni: (1) Data Primer; Data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya, data primer ini disebut data asli atau data baru. Data primer didapat dari sumber informan yaitu individu tau perseorangan seperti hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti. Data primer ini antara lain catatan hasil wawancara, hasil obervasi lapangan dan data-data mengenai informan. (2) Data Sekunder; Data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang ada. Data ini digunakan untuk mendukung informasi primer yang telah diperoleh dari bahan pustaka, literatur, perpustakaan atau dari laporan-laporan penelitian terdahulu. Data sekunder di antaranya adalah dokumen kelengkapan dari instansi pelaksana dan hasil penelitian lain.(Hasan, 2004)

 

Hasil dan Pembahasan

Kajian ini mendiskusikan ihwal analisis kebijakan terkait Tata Kelola Pesisir bagi Pemerintah Kota Semarang. Di mana kebijakan yang berkenaan dengan tata kelola kawasan mula-mula diterbitkan oleh pemerintahan Kota Semarang tahun 2011. Data menujukkan bahwa kawasan pesisir di Kota Semarang meliputi wilayah dengan luas 5.039,17 Hektare atau panjangnya sekitar 25 Km, yang terbagi ke dalam Kecamatan kecamatan Tugurejo sepanjang 3,5 Km, Kecamatan Semarang Barat sepanjang 8,94 Km, Kecamatan Semarang Utara sepanjang 5,56 Km, dan Kecamatan Genuk sepanjang 7 Km. Kawasan pesisir ini pada akhirnya dibagi menjadi daerah lima pantai, yakni dari barat ke timur: Pantai Tirang, Pantai Maron, Pantai Marina, Pantai Baruna dan Pantai Cipta. Di mana pada saat itu kebijakan yang diteken disesuaikan dengan kondisi di lapangan ataupun proyeksi ke depannya, dikeluarkanlah Perda Kota Semarang Nomor 14 tahun 2011 tentang rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang tahun 2011-2031 yang mencakup tata kelola kawasan pesisir. Di dalam Perda ini menunjukkan bahwa Pantai Tirang ditetapkan sebagai kawasan peruntukan wisata, pantai Maron dan Marina ditetapkan sebagai kawasan peruntukan perumahan, sedangkan pantai Baruna dan Cipta ditetapkan sebagai kawasan transportasi. Penetapan ini berlaku dan dijadikan pedoman dalam proses pembangunan kawasan pesisir Kota Semarang sejak tahun 2011 hingga direncanakan sampai tahun 2031.

 

Tabel 1

Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang Tahun 2011-2031

No.

Nama Pantai

Lokasi

Kawasan

1.

Pantai Tirang

Kelurahan Tugurejo,

Kecamatan Tugu

Kawasan Peruntukan Wisata

2.

Pantai Maron

Kelurahan Tambakharjo,

Kecamatan Semarang Barat

Kawasan Peruntukan Perumahan

 

3.

Pantai Marina

Kelurahan Panggung Lor,

Kecamatan Semarang Utara

Kawasan Peruntukan Perumahan

4.

Pantai Baruna

Kelurahan Kuningan,

Kecamatan Semarang Utara

Kawasan Transportasi

5.  

Pantai Cipta

Kelurahan Bandarharjo,

Kecamatan Semarang Utara

Kawasan Transportasi

 

Pada tahun 2018, pemerintah Provinsi Jawa Tengah menetapkan Perda Jateng No 13 yang di dalamnya juga mengatur tentang tata kelola kawasan di kawasan pesisir Kota Semarang. Dengan hadirnya Perda Jateng No 13 Tahun 2018 ini menetapkan penggantian zona kawasan sebagaimana mulanya sudah ditetapkan dalam Perda Kota Semarang No 14 tahun 2011. Di mana pada mulanya pantai Tirang sebagai kawasan wisata berubah status menjadi kawasan konservasi. Pantai Maron semula ditetapkan sebagai kawasan peruntukan perumahan berubah statusnya menjadi kawasan konservasi dan kawasan strategis nasional. Pantai Marina yang semula kawasan peruntukan perumahan berubah status menjadi kawasan strategis Nasional. Pantai Baruna dan Pantai Cipta yang awalnya ditetapkan sebagai kawasan transportasi berubah status menjadi kawasan pemanfaatan umum yakni untuk pelabuhan laut serta diproyeksikan untuk kawasan wisata.

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 2

Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Tengah No. 13 Tentang RZWP3K Tahun 2018-2038

No

Nama Pantai

Lokasi

Kawasan

Zona

Kode Zona

1

Pantai Tirang

Kelurahan Tugurejo,

Kecamatan Tugu

Kawasan Konservasi

KK

KK-21, KK-22, KK-23, KK-24, KK-25

2

Pantai Maron

Kelurahan Tambakharjo,

Kecamatan Semarang Barat

Kawasan Konservasi

Kawasan Strategis Nasional

KK

KSN

KK-33

KSN-02

3

Pantai Marina

Kelurahan Panggung Lor,

Kecamatan Semarang Utara

Kawasan Strategis Nasional

KSN

KSN-02

4

Pantai Baruna

Kelurahan Kuningan,

Kecamatan Semarang Utara

Kawasan Pemanfaatan Umum

KPU

 

KPU-PL(PelabuhanLaut)

KPU-W(Wisata)

5

Pantai Cipta

Kelurahan Bandarharjo,

Kecamatan Semarang Utara

Kawasan Pemanfaatan Umum

KPU

KPU-PL(PelabuhanLaut)

KPU-W(Wisata)

 

Selanjutnya pada tahun 2019, pemerintah pusat mengeluarkan PP No 32 tentang Rencana Tata Ruang Laut yang di dalamnya mencakup kawasan pesisir Kota Semarang. Ada perbedaan penetapan zona kawasan pada empat pantai di Kota Semarang dibandingkan dengan Perda Jateng No 13 tahun 2018. Pantai Tirang masih ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Sedangkan perubahan terjadi pada penetapan pantai Maron, Marina, Baruna dan Cipta pada PP No 32 diubah statusnya menjadi kawasan pemanfaatan umum. Kawasan pemanfaatan umum di sini meliputi: Zona Perikanan; Zona Pariwisata; Zona Industri Kelautan; Zona Pertambangan; Zona Pengelolaan Energi; Zona Pertahanan dan Keamanan; dan Zona Transportasi.

 

Tabel 3

Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2019 Tentang Rencana Tata Ruang Laut

No

Nama Pantai

Lokasi

Kawasan

Zona

1

Pantai Tirang

Kelurahan Tugurejo, Kecamatan Tugu

Kawasan Konservasi

Kawasan Konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil; Kawasan Konservasi maritim; Kawasan Konservasi perairan; dan Kawasan Konservasi lainnya

2

Pantai Maron

Kelurahan Tambakharjo, Kecamatan Semarang Barat

Kawasan Pemanfaatan Umum

 

Zona Perikanan; Zona Pariwisata; Zona Industri Kelautan; Zona Pertambangan;

Zona Pengelolaan Energi; Zona Pertahanan dan Keamanan; dan

Zona Transportasi.

3

Pantai Marina

Kelurahan Panggung Lor, Kecamatan Semarang Utara

Kawasan Pemanfaatan Umum

Zona Perikanan;

Zona Pariwisata;

Zona Industri Kelautan;

Zona Pertambangan;

Zona Pengelolaan Energi;

Zona Pertahanan dan Keamanan; dan

Zona Transportasi.

4

Pantai Baruna

Kelurahan Kuningan, Kecamatan Semarang Utara

Kawasan Pemanfaatan Umum

Zona Perikanan;

Zona Pariwisata;

Zona Industri Kelautan;

Zona Pertambangan;

Zona Pengelolaan Energi;

Zona Pertahanan dan Keamanan; dan

Zona Transportasi.

5

Pantai Cipta

Kelurahan Bandarharjo, Kecamatan Semarang Utara

Kawasan Pemanfaatan Umum

Zona Perikanan;

Zona Pariwisata;

Zona Industri Kelautan;

Zona Pertambangan;

Zona Pengelolaan Energi;

Zona Pertahanan dan Keamanan; dan

Zona Transportasi.

 

Merujuk dari ketiga kebijakan tersebut, nampaklah ada tumpang tindih antara satu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kota, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Kalaupun bukan tumpang tindih penulis melihatnya sebagai bentuk pembaharuan kebijakan terkait tata kelola kawasan pesisir di Kota Semarang. Dilihat dari jangka waktu penetapannya, kebjakan Perda Jateng No 13 tahun 2018 boleh dikatakan sebagai pembaharuan atas Perda Kota Semarang no 14 tahun 2011 di mana jarak tempo penetapan kebijakan tersebut adalah 7 tahun berjalan. Namun pembaharuan kebijakan yang cukup frontal terjadi antara Perda Jateng No 13 tahun 2018 diperbaharui oleh PP no 32 tahun 2019 di mana selisih jarak antara dua kebijakan ini hanya dalam hitungan bulan saja. Dan pembaharuan tata kelola kawasan berubah drastis antara yang ditetapkan Pemprov Jateng dengan Pemerintah Pusat. Perbedaan penetapan kawasan tersebut bisa dilihat lebih detail di tabel 2 dan 3.

Mengacu pada pendekatan evaluasi semu, maka penulis akan mendeskripsikan temuan di lapangan berkaitan dengan tata kelola kawasan pesisir Kota Semarang. Pertama, di pantai Tirang dilihat secara faktual di lapangan menunjukkan bahwa wilayah ini mendekati sebagai wilayah konservasi sehingga dilarang mendirikan bangunan apapun atau tidak berpenghuni, namun demikian di pantai ini masih dimanfaatkan secara umum oleh masyarakat untuk kawasan budidaya perikanan. Kedua, di Pantai Maron saat ini dikelola sebagai kawasan pariwisata, budidaya erikanan, dan industri kelautan.

Temuan di lapangan juga menunjukkan di Pantai Maron menjadi kawasan reklamasi berkonflik dengan PT. Indo Persada Usahatama. Ketiga, di Pantai Marina pengelolaannya di lapangan dipakai sebagai kawasan pariwisata yang bercampur dengan kawasan perumahan elite di Kota Semarang. Keempat di Pantai Baruna dan Pantai Cipta bila mengacu pada PP No 32 di kedua pantai ini seharusnya dikelola untuk pemanfaatan umum yakni meliputi Zona Perikanan; Zona Pariwisata; Zona Industri Kelautan; Zona Pertambangan; Zona Pengelolaan Energi; Zona Pertahanan dan Keamanan; dan Zona Transportasi. Namun fakta di lapangan menunjukkan kedua pantai saat ini masih berupa kawasan lahan kosong yang belum dikelola. Faktor bencana banjir rob yang cakupannya cukup luas dan intens memang menjadi pertimbangan serius apabila ingin melakukan pembangunan di kedua kawasan pantai tersebut.

 

Tabel 4

Kondisi saat ini di kawasan Pesisir Kota Semarang

No.

Nama Pantai

Lokasi

Kawasan

1.

Pantai Tirang

Kelurahan Tugurejo,

Kecamatan Tugu

Kawasan Tidak Berpenghuni

Kawasan Budidaya Perikanan

2.

Pantai Maron

Kelurahan Tambakharjo,

Kecamatan Semarang Barat

Kawasan Reklamasi Berkonflik dengan PT. Indo Persada Usahatama

3.

Pantai Marina

Kelurahan Panggung Lor,

Kecamatan Semarang Utara

Kawasan Wisata bercampur dengan kawasan perumahan elite di kota Semarang

4.

Pantai Baruna

Kelurahan Kuningan,

Kecamatan Semarang Utara

Kawasan Lahan Kosong

6.  

Pantai Cipta

Kelurahan Bandarharjo,

Kecamatan Semarang Utara

Kawasan Lahan Kosong

 

Pada tabel 4 diatas menunjukkan kondisi eksisting lokasi berdasarkan pada realita lapangan, setelah itu diperbarui dari hasil berbagai rencana pada tabel berikut :

 

Tabel 5

Perbandingan kondisi eksisting dengan rencana program pemerintah provinsi dan pemerintah kota

Judul aturan

Nama aturan Daerah

Tahun berlaku

Kesesuaian isi peraturan dengan lokasi penelitian

Pemerintah Provinsi Jawa Tengah

Rencana program jangka panjang

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No.3 Tahun 2008

Berlaku tahun 2005-2025

�        Dinas pekerjaan umum, dermaga padat, perlu diperlebar

�        Dinas pekerjaan umum, kerusakan pantai meningkat

�        Dinas lingkungan hidup, penurunan muka tanah 3-9 cm per tahun dan intrusi +- 3500 meter dari pantai

�        Tantangan : mewujudkan regulasi dan pegawasan dalam pengambilan air tanah

Rencana program jangka menegah daerah

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No.5 Tahun 2019

Berlaku tahun 2018-2023

�        Kawasan sempadan pantai, direncanakan +- 8.786 hektar di pantai utara sejauh 100 meter dari pasang tertinggi

�        Kawasan rawan gelombang pasang

�        Kawasan rawan abrasi

�        Dinas pekerjaan umum, sumberdaya alam dan penataan ruang, memiliki program pengelolaan sungai, pantai dan pengendalian banjir

Rencana kerja pemerintah daerah

Peraturan Gubernur Provinsi Jawa Tengah No.26 Tahun 2021

Berlaku tahun 2022

�        Program pengelolaan hutan, pelaksanaan rehabilitasi lahan kritis(ekosistem mangrove dan pantai)

�        Program pengelolaan sumberdaya alam, pembangunan sarana dan prasarana sungai dan pantai

Pemerintah Kota Semarang

Rencana program jangka panjang

Peraturan Daerah Kota Semarang No.6 Tahun 2010

Berlaku tahun 2005-2025

�        Penataan kawasan pantai sebagai bagian pemulihan cadangan sumberdaya alam

�        Pengurangan potensi banjir dan rob

�        Daerah pantai 0.75 meter diatas permukaan laut

�        Kawasan pantai terkena rob

�        Kepentingan pembangunan lebih besar daripada kepentingan alam

�        Reklamasi tambak dan pantai sebagai isu strategis

�        Kawasan utara kota menjadi pusat pertumbuhan nasional

Rencana program jangka menegah daerah

Peraturan Daerah Kota Semarang No.6 Tahun 2021

Berlaku tahun 2021-2026

�        Pantai harus melakukan rekayasa teknis menjadi kawasan wisata dengan ancaman banjir dan rob

�        Pantai yang memiliki sungai menjadi tempat pembuangan limbah

�        Optimalisasi pengolahan limbah belum dapat mengurangi pencemaran

�        Reklamasi pantai sebagai isu strategis sumberdaya alam dan lingkungan hidup

�        Perwujudan pola ruang III, kawasan lindung kode A

�        (III.A.5) PSDA perlindungan dan penguatan garis pantai

�        (III.A.6) PSDA penghijauan sempadan pantai

�        (III.A.7) PSDA pengaturan pemanfaatan sempadan pantai hasil reklamasi

�        (III.A.18) PSDA pembuatan tanggul pantai

�        Perwujudan pola ruang III, kawasan strategis kode C

�        (III.C.4) Penataan ruang, pengembangan kawasan rekamasi pantai

�        Pantai marina dihadapkan ancaman rob dan penurunan muka air tanah

�        Target rasio luas permukiman sepanjang pantai kota sebesar 93.74 % pada 2021 dan 100% pada 2026

Rencana kerja pemerintah daerah

Peraturan Walikota Semarang No.46 Tahun 2020

Berlaku tahun 2021 dilanjutkan 2022 sementara

�        Pantai menjadi kawasan rawan bencana abrasi

�        Pantai menjadi kawasan bencana angin topan

�        Koordinasi dinas lingkungan hidup, 1 dokumen kajian pemetaan sebaran mangrove dan kerusakan pantai

�        Dinas pekerjaan umum sebagai langkah pengaman pantai, pengadaan rumah pompa pengendali banjir terdiri dari wilayah barat, wilayah tengah 1, wilayah tengah 2, wilayah pusat, dan wilayah timur

�        Dinas pekerjaan umum sebagai langkah pengaman pantai, pembangunnan sumur air tanah

�        Dinas penataan ruang sebagai kawasan sempadan pantai

 

 

Kesimpulan

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa serangkaian kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah Kota Semarang maupun Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Pusat perihal tata kelola kawasan pesisir Kota Semarang memiliki peruntukan tata kelola yang berbeda-beda dalam jarak penetapan yang cukup singkat.� Dan temuan di lapangan menunjukkan bahwa penetapan kebijakan tersebut belum sepenuhnya diterapkan di lapangan. Terutama di kawasan pantai Baruna dan pantai Cipta sama sekali belum tersentuh pembangunan sehingga kawasan tersebut masih berupa lahan kosong yang tiap tahunnya ditetapkan sebagai daerah rawan bencana banjir rob yang skala dampaknya cukup luas.

 

 


BIBLIOGRAPHY

 

Agustino, L. (2016). Dasar-dasar kebijakan publik (Edisi Revisi). Bandung: Alfabeta. Google Scholar

 

Aminuddin Ilmar, S. (2014). Hukum tata pemerintahan. Prenada Media. Google Scholar

 

Erlani, R., & Nugrahandika, W. H. (2019). Ketangguhan Kota Semarang dalam menghadapi bencana banjir pasang air laut (Rob). Journal of Regional and Rural Development Planning (Jurnal Perencanaan Pembangunan Wilayah Dan Perdesaan), 3(1), 47�63. Google Scholar

 

Harris, S. (2015). Penataan Ruang Kota Dalam Perspektif Sosial, Ekonomi Dan Sumber Daya Alam. Sosio E-Kons, 7(2). Google Scholar

 

Hasan, I. (2004). Analisis data penelitian dengan statistik. Google Scholar

 

Imran, S. (2013). Fungsi tata ruang dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup Kota Gorontalo. Jurnal Dinamika Hukum, 13(3), 457�467. Google Scholar

 

Kahar, S., Purwanto, P., & Hidajat, W. K. (2011). Dampak Penurunan Tanah dan Kenaikan Muka Laut Terhadap Luasan Genangan Rob di Semarang. Jurnal Presipitasi: Media Komunikasi Dan Pengembangan Teknik Lingkungan, 7(2), 83�91. Google Scholar

 

Ramadhany, A. S., Subardjo, P., & Suryo, A. A. D. (2012). Daerah Rawan Genangan Rob di Wilayah Semarang. Journal of Marine Research, 1(2), 174�180. Google Scholar

 

Ratodi, M. (2016). Pendekatan Perencanaan Perkotaan Dalam Konteks Kesehatan Perkotaan. EMARA Indonesian Journal of Architecture, 2(1), 35�41. Google Scholar

 

Rokhmin, D., & Jacub, R. (1996). Pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Google Scholar

 

Suharno. (2010). Dasar-Dasa Kebijakan Publik, Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta Press, hlm. 115-116.

 

Sulmiah, S., Sakawati, H., Widyawati, W., & Rukmana, N. S. (2019). Analisis Kebijakan Pembangunan Kawasan Metropolitan Di Indonesia Timur: Dampak terhadap Tata Kelola Perkotaan. Jurnal Ilmu Administrasi (JIA), 16(2), 258�272. Google Scholar

 

Suwandi, D. (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: PT Rineka Cipta, hlm. 25-26.

 

Tarigan, R. (2004). Perencanaan Pembangunan Wilayah, PT. Bumi Aksara.

 

Copyright holder:

Alin Fithor, Dewi Muliana (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: